Top Banner

of 27

makalah APM

Jul 19, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I PENDAHULUAN Secara bahasa Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab yaitu Muhammad yang berarti Nabi Muhammad SAW. Kemudian ditambah ya nisbah yang artinya menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti umat Muhammad SAW atau pengikut Muhammad SAW. Secara etimologis dapat diartikan semua orang yang mengikuti Nabi Muhammad SAW adalah orang Muhammadiyah. Secara Istilah Muhammadiyah adalah sebuah Persyarikatan yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta untuk jangka waktu tidak terbatas. Muhammadiyah adalah gerakan islam, Dakwah amar maruf nahi munkar dan tajdid yang bersumber pada Al-Quran dan As Sunnah. Kelahiran Muhammadiyah tidak lain kerena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaranajaran Al-Quran. Dan apa yang digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam kehidupan yang riil dan konkrit. Gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, konkrit dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil alamin. Oleh alasan tersebut Muhammadiyah disebut sebagai gerakan Islam. Di samping itu, Muhammadiyah juga memiliki identitas sebagai gerakan dakwah maksudnya adalah Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar perjuangannya yaitu dakwah Islam, amar makruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai medan atau kancah perjuangannya. Muhamadiyah berkiprah di tengahtengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai amal usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat hidup orang banyak seperti berbagai macam ragam lembaga pendidikan mulai dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi, membangun Rumah Sakit, Panti Asuhan dan sebagainya. Seluruh amal usaha Muhammadiyah itu merupakan manifestasi atau perwujudan dakwah islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan yang tunggal, yaitu untuk

1

dijadikan sarana dan wahana dakwah Islam sebagaimana yang diajarkan al-Quran dan as-Sunnah Shahihah. Identitas Muhammadiyah yang selanjutnya adalah sebagai gerakan Tajdid, maksudnya adalah Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan atau gerakan reformasi. Secara istilah tajdid memiliki pengertian pemurnian dan peningkatan, pengembangan, modernisasi, dan yang semakna dengannya. Pemurnian maksudnya adalah pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan kepada Al-Quran dan As-Shahihah. Muhammadiyah meyakini matan ajaran Islam yang harus dipelihara sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah adalah yang berkaitan dengan Aqidah dan Ibadah. Dalam sejarah perkembangan umat Islam ditemukan praktek percampuran ajaran 7 islam antara aqiadah dengan bukan adiadah, misalnya mengkramatkan kuburana, mengkeramatkan ulama, dan sebagainya. Padahal dalam ajaran Islam yang harus dikeramatkan itu hanyalah Allah SWT. Hal inilah yang menjadi tugas Muhammadiyah untuk memurnikan Aqidah Islam kembali. Sejak lahirnya Muhammadiyah memang sudah dapat diketahui asas gerakannya, namun pada tahun 1938-1942 di bawah kepemimpinan Kyai Mas Mansur mulai dilembagakan idiologi Muhammadiyah, yaitu dengan lahir konsep Dua Belas langkah Muhammadiyah. Yaitu memperdalam iman, memperluas faham keagamaan, memperbuahkan budi pekerti, menuntun amalan intiqad, menguatkan persatuan, menegakkan keadilan, melakukan kebijaksanaan, menguatkan tanwir, mengadakan musyawarah, memusyawaratkan putusan, mengawasi gerakan kedalam dan memperhubungkan gerakan keluar. Dengan lahirnya konsep ini maka Muhammadiyah tumbuh menjadi paham dan kekuatan sosial-keagamaan dan sosial politik tertentu di Indonesia. Pada tahun 1942-1953 dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo dirumuskan konsep idiologi Muhammadiyah secara lebih sistematik yaitu ditandai dengan lahirnya Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1968 dalam muktamar Muhammadiyah ke 37 di Yogyakarta perumusan idiologi Muhammadiyah semakin mengental, ditandai dengan lahirnya Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Warga Muhammadiyah.

2

Oleh karena esensi dari gerakan Muhammadiyah adalah menyampaikan ideologi keagamaan tersebut, maka lebih penting menjadikan ideologi ini sebagai ukuran kemuhammadiyahan seseorang dari pada ukuran formalitas organisatoris. Hal ini juga berarti bahwa upaya untuk menyebarkan, menjelaskan dan menanamkan ideologi ini jauh lebih penting dari pada mengurus formalitas organisatoris. Kegagalan menanamkan ideologi ini,menyebabkan Muhammadiyah

kehilangan esensinya, kemudian yang tinggal hanya dimensi lahiriahnya belaka. Upaya untuk memelihara ideologi keagamaan Muhammadiyah ini kemudian dilembagakan dengan membentuk Majlis Tarjih yang dalam perkembangan terakhir sejak mutamar ke 43 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Tarjih adalah suatu metode atau cara untuk menyelesaikan dua atau lebih dalil yang saling berbeda atau bertentangan. Ahli ushul mendefinisikan tarjih sebagai membandingkan dua dalil yang bertentangan dan mengambil yang terkuat di antara keduanya. Kedua dalil yang bertentangan itu memiliki kedudukan yang sama yaitu sama-sama zhanni. Dalam membahas dalil-dalil yang ada, para mujtahid bertentangan satu dengan yang lainnya karena adanya dua atau lebih dalil yang muncul, yang kedudukan dalil-dalil tersebut sama-sama zhanni, maka untuk menyelesaikan pertentangan itu diadakanlah tarjih. Muhammadiyah sebagai persyarikatan memiliki tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.. Untuk mencapai tujuan tersebut, Muhammadiyah melaksanakan dakwah dan tajdid, dengan usaha-usaha antara lain mempergiat dan memperdalam penyelidikan agama Islam yang benar dan murni. Tarjih bagi Muhammadiyah tidak hanya sekedar menyelesaikan dua dalil yang berbeda atau bertentangan, akan tetapi maknanya lebih luas dari itu, yaitu ijtihad. Bertarjih dalam Muhammadiyah berarti melakukan ijtihad.

3

Majelis Tarjih(yang di dalamnya terdapat Lajnah Tarjih) adalah lembaga ijtihad dalam Muhammadiyah. Oleh karena itu, makalah ini membahas tentang muhammadiyah dan tajdid.

4

BAB II ISI A. Konsep Tajdid Menurut Muhammadiyah K. H. A. Badawi, ketua PP Muhammadiyah 1962 1968 menulis dalam suara muhammadiyah Juli 1967 tentang Tajdid dan Muhammadiyah. Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan Islam yang bermaksud dakwah, mengajak kepada kepada Islam. Bagi yang telah islam, ajakan itu bersifat tajdid, yaitu kembali kepada ajaran Islam yang asli murni, seperti yang telah diwahyukan oleh Allah SWT (Al-Quran) dan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW (Hadits yang sahih) serta yang dikerjakan oleh sahabat dan ulama salaf yang sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Hadits, dengan mempergunakan akal, pikiran dan dengan penyelidikan yang cermat, tidak bertaklid. Tajdid diambil dari bahasa arab yang berkata dasar jaddadayujaddidutajdiidan yang arinya memperbaharui. menurut bahasa tajdid adalah Tamimy adalah menghidupkan, memberikan membangkitkan dan mengembalikan. Menurut muhammadiyah M.djindar tajdid bahwa yang dimaksud dengan

pada sidang tanwir tahun 1968, seorang tokoh yaitu penjelasan

pembaharuan. Dipandang dari sasaranya, Tajdid itu mempunyai dua segi: pertama, tajdid berarti kembali kepada keaslian dan kemurnian. Itu bila sasarannya adalah soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap dan tidak berubah-ubah.

Kedua, tajdid berarti modernisasi, bila tajdid sasarannya mengenai masalah seperti metode, sistem, tekhnik, strategi, taktik perjuangan dan lain-lain yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi, kondisi, ruang dan waktu. Tajdid dalam kedua seginya itu sesungguhnya itu merupakan watak dari

ajaran islam itu sendiri. Dan dengan sendirinya, watak tajdid tersebut menjadi watak dan jiwa Gerakan Muhammadiyah yang merupakan gerakan yang berasas

5

dan memperjuangkan ajaran Islam. Tajdid yang perlu dilakukan adalah dalam bidang idiologi, bidang khittah, gerak dan amal usaha serta bidang organisasi. B. Peran Majelis Tarjih B.1 Sejarah Majelis Tarjih Tarjih berasal dari kata "rojjaha yurajjihu- tarjihan", yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat. Jadi secara bahasa tajrih merupakan cara pengambilan sesuatu dengan membandingkan antara dua hal yang saling bertentangan dan mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan rumusan tarjih ini. Sebagian besar ulama Hanafiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, memberikan rumusan bahwa tarjih itu perbuatan mujtahid, sehingga dalam kitab Kasyf-u l-Asrar disebutkan bahwa tarjih itu adalah: Artinya: Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan (dua dalil) yang saling bertentangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu. Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat. Dalam Konggres Muhammadiyah ke-16 pada tahun 1927 di Pekalongan KH Mas Mansur al-Marhum yang ketika itu menjabat sebagai konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya mengusulkan agar didirikan semacam majlis ulama yang secara khusus bertugas membahas masalah-masalah agama. Usul tersebut berdasarkan pertimbangan adanya kekhawatiran timbul perpecahan di kalangan orang-orang

6

Muhammadiyah , terutama ulamanya karena perbedaan paham dalam masalahmasalah hukum agama. Perbedaan-perbedaan demikian sebagaimana terbukti dalam sejarah telah menyebabkan pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam, terutama ulamanya sehingga timbullah madzhab-madzhab dan kefanatikan terhadapnya, sehingga meretakkan ukhuwah Islamiyah dan menghancurkan persatuan umat Islam. Beliau juga khawatir kalau Muhammadiyah sampai menyimpang dari hukum agama, karena mengejar kebesaran lahiriyah mengabaikan tujuan utamanya. Akhirnya usul tersebut diterima secara aklamasi, dan sejak itulah berdiri Majlis Tarjih yang kemudian dalam Mutamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam sampai sekarang ini. Dalam Muktamar Muhamadiyah ke-17 pada tahun 1928 di Yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majlis Tarjih Pusat yang diketuai oleh KH. Mas Mansur dan disekretarisi oleh Kh. Aslam Z. dilengkapi dengan beberapa anggota pengurus. Dibuat pula anggaran dasar atau qaidahnya antara lain berbunyi: Bahwa B.2 Tugas Majlis Tarjih adalah: 1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat. 2. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada pimpinan persyarikatan. 3. Mendampingi dan membantu pimpinan persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran islam. 4. Membantu pimpinan persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama. 5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang ke arah yang lebih maslahat. 6. Mengamat-amati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama.

7

7. Menerima, menyelidiki, dan mentarjihkan atau menetapkan hukum masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, yang memang penting dalam perjalanan Muhammadiyah.8. Penyelidikan dan pembahasan tersebut, hendaklah berdasarkan al-Quran

dan al-Hadits dengan berpedoman pada ushul fiqh yang dipandang mutabar, dan mementingkan riwayat dan maknanya; tidak mengutamakan aql di atas naql. Sejak itu dilakukan identifikasi terhadap berbagai masalah agama, seperti masalah ushalli, gambar, alat al-malahi (musik), kenabian sesudah Nabi Muhammad saw. dalam kaitannya dengan klaim Ahmadiyah Qadhiyan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah adalah seorang nabi, dan sebagainya. Muktamar Tarjih yang pertama diadakan pada tahun 1929 bersama-sama dengan Konggres Muhammadiyah ke-18 di Solo. Masalah-masalah yang telah teridentifikasi tersebut, kemudian dibahas dalam muktamar yang pertama ini, selanjutnya sisanya dikaji dalam muktamar-muktamar berikutnya. Adapun masalah pertama yang diputuskan kemudian disusun manjadi kitab, ialah kitab iman dan sembahyang, kemudian disusul masail syatta (macam-macam masalah) seperti masalah gambar, musik, lotre, api unggun, arak-arakan Aisyiyah dan sebagainya. Demikian muktamar-demi muktamar belakangan diubah dengan istilah musyawarah nasional, dilakukan sehingga menghasilkan Himpunan Putusan Tarjih, dan Qaidah-qaidahnya dan termasuk Qaidah Pengembangan Pemikiran Islam. Struktur Majlis tersebut mengalami beberapa kali perubahan. Sedang sekarang ini Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) secara struktural terdiri dari MTPPI Pusat, Wilayah, dan Daerah. Masing-masing berfungsi sebagai pembantu dan oleh karena itu berada di bawah Pimpinan Muhamadiyah sesuai dengan tingkatannya.

B.3 Pokok-Pokok Manhaj Tarjih:8

1. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah Al-Quran dan As-Sunnah.

2. Dalam memutuskan suatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. 3. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.4. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya

MajelisTarjih yang paling benar. 5. Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir.6. Tidak menolak ijma shahabat, sebagai dasar sesuatu keputusan. 7. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung taarudl, digunakan cara al-

jamuwa l-tawfiq. Dan kalau tidak dapat baru dilakukan tarjih. 8. Menggunakan asas sad-u l-dzaraiuntuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.9. Mentalil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al-

Quran dan As-Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syariah. 10. Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hokum dilakukan dengan cara konprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah. 11. Dalil-dalil umum Al-Quran dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah.12. Dalam mengamalkan agama islam, prinsip al-tasyir.

13. Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari AlQuran dan As-Sunnah pemahamannya dapat dengan menggunakan akal sepanjang diketahui latarbelakang dan tujuannya. 14. Dalam hal-hal yang termasuk al-Umur-u l-Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan demi kemaslahatan umat. 15. Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat dapat diterima. 16. Dalam memahami nash maka dharir didahulukan dari tawil dalam bidang aqidah.

9

B.4 Mekanisme pengambilan keputusan Majelis Tarjih Terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan dalam perspektif Islam, dibahas oleh majlis ini dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al-istinbath, kemudian menarik natijah hukumnya, Hasil keputusan majlis ini, kemudian diajukan ke pimpinan Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya. Selanjutnya pimpinan Muhammadiyahlah yang memiliki otoritas untuk mentanfidzkan atau tidak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki. Jika telah ditanfidzkan, maka keputusan tersebut mengikat secara organisatoris terhadap warga Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya masing-masing, yakni tanfidz oleh pimpinan pusat, mengikat selurus warga Muhammadiyah, tanfidz oleh pimpinan wilayah, mengikat warganya pada wilayah yang bersangkutan, demikian pula oleh pimpinan daerah, mengikat daerahnya semata. Semua yang telah ditanfidzkan masih tetap terbuka untuk diadakan tinjauan ulang. Jika dikemudian hari ditemukan dalil dan istinbath yang lebih baik, maka dengan melalui mekanisme organisatoris seperti di atas, hal-hal yang telah ditanfidzkan dikaji ulang, kemudian diubah sesuai dengan penemuan tersebut. Dengan demikian, segala keputusan tersebut tidak kemudian menjelma menjadi suatu madzhab yang senantiasa berwatak dasar mempertahankan dan melahirkan fanatisme. Bahkan untuk membentengi dari fanatisme, sikap menyalahkan tidak boleh ada terhadap pandangan yang berbeda dari hasil tarjih yang didapatkan dari istinbath yang dilakukan majlis ini. B.5 Tarjih Muhammadiyah di Bidang Ibadah Sehubungan dengan sangat pentingnya pembahasan tentang ibadah, maka Lajnah Tarjih telah mencurahkan perhatian yang besar dalam masalah ibadah ini. Terjadinya banyak khilafiyah dalam masalah-masalah ibadah sangat mengkhawatirkan Muhammadiyah. Maka dalam hal ibadah ini, Muhammadiyah

10

berpegang teguh kepada tuntunan Rasulullah SAW. tanpa memberikan tambahan ataupun pengurangan sedikitpun. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam mengambil keputusannya, Muhammadiyah mempunyai ciri khusus dalam masalah ibadah ini, yaitu tidak sebagaimana umumnya dalam kitab-kitab fikih, di mana terdapat syarat, rukun, dan mana yang wajib atau sunnat pada suatu macam rangkaian ibadah. Semuanya tersusun dalam bentuk tuntunan tanpa menyebut status hukum dari perbuatan, perkataan, dan rangkaian ibadah tersebut. Argumentasi yang dipegang oleh Muhammadiyah adalah bahwa terjadinya pokok pangkal yang menimbulkan perselisihan dalam masalah ibadah ini adalah karena para ulama terdahulu dalam menghukumkan sesuatu ibadah tersebut antara satu dengan yang lainnya berbeda. Selanjutnya, bila ditanyakan bagaimana jika kita tidak mengamalkan salah satu tuntunan tersebut? Jawabnya, bersediakah kita melaksanakan ibadah sebagaimanayang dituntunkan Rasulullah atau tidak. Apabila dijawab dengan sah atau tidak dalam mengamalkan tuntunan tersebut, berarti membuka tabir perselisihan kembali. Untuk lebih menjelaskan tuntunan ibadah versi tarjih Muhammadiyah, berikut ini dikemukakan beberapa contoh: 1. Putusan Tarjih Muhammadiyah tentang Tuntunan Shalat Jumat Apabila tiba hari Jumat, dirikanlah shalat Jumat dua rakaat dengan berjamaah. Sebelum shalat hendaklah Imam berkhutbah dua kali dengan berdiri dan duduk di antara kedua khutbah itu. Di dalam khutbah Imam supaya membaca beberapa ayat al-Quran dan memberikan peringatan-peringatan kepada orang banyak. Dan berangkatlah ke masjid pagi-pagi. Dan sebelum berangkat mandilah lebih dahulu lalu mengenakan pakaianmu yang terbaik dan kenakanlah (usaplah) wangi-wangian apabila ada padamu, kemudian berangkatlah ke Masjid dengan tenang. Setelah tiba di Masjid shalatlah sekuatmu dan jangan mengganggu seseorang; kemudian apabila Imam berkhutbah dengarkanlah dengan penuh perhatian. Apabila kamu masuk Masjid pada waktu Imam sedang berkhutbah, maka kerjakanlah shalat dua rakaat yang ringan (cepatan). Apabila Imam telah duduk di atas mimbar, maka adzanlah salah seorang dari kamu dan apabila Imam telah turun

11

dari mimbar, maka berqamatlah. Imam hendaklah memulai khutbahnya dengan ucapah tahmid, tasyahud dan selawat kepada Nabi SAW. Lalu berwasiat dengan taqwa dan kemudian berdoa. Dan singkatkanlah khutbah serta agak panjangkanlah shalat. Dalam shalat jamaah hendaklah Imam membaca surat Sabbih isma rabbika al- ala, sesudah surat Al-Fatihah pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua hendaklah membaca Hal ata-ka hadits al-gha-syiyah. Dan kerjakanlah shalat empat atau dua rakaat sesudahnya. Semua rangkaian tuntunan ini didasarkan kepada Hadis shahih. Di mana Hadis-Hadis tersebut sebagian besar terdapat dalam kitab Shahih Muslim pada Kitab al-Jumah. 2. Bacaan al-Fatihah Mamum dalam Shalat Jamaah Begitu pula dalam masalah yang banyak diperselisihkan oleh para ulama, Lajnah Tarjih juga tidak menyebut status hukumnya. Cukup dimasukkan dalam rangkaian tuntunan jika memang ada dasarnya. Contohnya ialah mengenai bacaan al-Fatihah bagi mamum dalam shalat berjamaah. Sebagaimana diterangkan oleh Ibn Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid, bahwa ulama telah sepakat, di mana Imam Malik tidak menanggung mamum mengenai fardlu shalat, kecuali bacaan al-Al-Fatihah. Mengenai bacaan al-Fatihah bagi mamum para ulama telah berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa mamum dalam shalat sirri membaca alFatihah bersama-sama imam, dan tidak membacanya dalam shalat jahar. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan al-Fatihah gugur pada pihak mamum, baik pada shalat sirri maupun pada shalat jahar. Sedangkan Imam Syafii berpendapat bahwa mamum wajib membaca alFatihah saja dalah shalat jahriyah, dan membaca al-Fatihah beserta surat apabila shalat sirriyah. Imam Ahmad ibn Hanbal mewajibkan membaca al-Fatihah waktu tidak terdengarnya bacaan imam, baik karena bacaannya sirr atau karena jauhnya, dan melarang membacanya waktu didengarnya bacaan imam. Sehubungan dengan masalah ini, Lajnah Tarjih telah mengambil keputusan dengan ciri khas sebagaimana disebutkan di atas, sbb: Hendaklah kamu

12

memperhatikan dengan tenang bacaan Imam apabila keras bacaannya, maka janganlah kamu membaca sesuatu selain surat al-Fatihah. Dari keputusan tersebut mengandung pengertian bahwa mamum diharuskan membaca al-Fatihah pada shalat jaharmaupun dalam shalat sirri. Melihat putusan Lajnah Tarjih ini, ternyata pendapatnya sama dengan Imam Syafii. Adapun dalil yang digunakannya ialah sebagaimana dicantumkan dalam HPT sebagai berikut: . . : ) (. : . . : . : . : ) (. : .: . Mengingat Hadis Ubadah ibn Shamit bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Tiada sah shalat orang yang tak membaca permulaan Kitab (al-Fatihah) (HR. al-Bukhari dan Muslim). Dan ada lagi Hadis Ubadah dari riwayat Ahmad, al-Daruquthni dan al-Baihaqi, katanya: Rasulullah SAW. shalat shubuh, maka beliau mendengar orang-orang yang mamum nyaring bacaannya. Setelah selesai beliau menegur: Aku kira kamu sama membaca di belakang imammu? Kata Ubadah: Kita sama menjawab: Ya Rasulallah, demi Allah, benar!. Maka sabda beliau: Janganlah kamu mengerjakan demikian, kecuali dengan bacaan al-Fatihah. Dan mengingat pula Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Annas, yang berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Apakah kamu membaca dalam shalatmu di belakang imammu, padahal imam itu membaca? Janganlah kamu mengerjakannya, hendaklah seseorang membaca al-Fatihah pada dirinya (dengan suara rendah yang hanya didengar sendiri). Hadis-Hadis tersebut dapat kita temui dalam kitab-kitab: Shahih Muslim pada Kitab al-Shalat, Shahih al-Bukhari pada Kitab al-Shalat, Shahih al-Tirmidzi Juz I Abwab al-Shalat, dan dalam Sunan al-Baihaqi. 3. Putusan Tentang Qunut

13

Masalah qunut termasuk masalah klasik dan terus berbeda pendapat di kalangan umat Islam. Hal ini disebabkan telah berpengaruhnya pendapat para ulama dahulu yang memang sudah memperselisihkannya. Di antara fuqaha ada yang berpendapat bahwa qunut shubuh itu hukumnya mustahab (disukai). Ini adalah pendapat Imam Malik. Menurut Imam Syafii hukumnya dalam shalat shubuh itu sunnat. Lain lagi dengan Imam Abu Hanifah tidak boleh qunut dalam shalat shubuh, tetapi qunut hanya boleh dikerjakan dalam shalat witir, dan sebagian fuqaha berpendapat bahwa qunut itu dapat dilakukan dalam setiap saat. Mengenai qunut ini tarjih Muhammadiyah berpendapat bahwa qunut dalam pengertian berdiri lama untuk membaca doa di dalam shalat memang ada tuntunannya. Tetapi tidak membenarkan qunut itu khusus untuk shalat shubuh. Jadi qunut sebagai bagian daripada shalat, tidak khusus hanya diutamakan pada shalat shubuh. Sedangkan mengenai qunut witir, tarjih Muhammadiyah mengambil keputusan tawaqquf, sebagaimana disebutkan di muka. 4. Puasa bagi Orang Hamil dan Menyusui Putusan tentang masalah apakah orang hamil dan menyusui yang meninggalkan puasanya wajib qadha atau fidyah saja, juga masalah baru dalam masalah khilafiyah. Dalam masalah ini terdapat perbedaan di kalangan para ulama, yaitu menjadi empat golongan. Pertama, mengatakan bahwa bagi orang hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa cukup membayar fidyah saja, dan tidak wajib atasnya mengqadha. Landasan mereka adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar dan Ibn Abbas. Kedua, yaitu yang dikemukakan oleh Abu Hanifah dan para sahabatnya, bahwa orang hamil dan menyusui wajib mengqadha saja, dan tidak perlu membayar fidyah. Ketiga, merupakan pendapat Imam Syafii, bahwa orang hamil dan menyusui itu keduanya harus mengqadha dan juga membayar fidyah. Keempat, membedakan antara orang hamil dan menyusui. Pada orang hamil hanya wajib mengqadha, sedang orang yang menyusui atasnya wajib qadha dan fidyah. Sehubungan dengan masalah ini, tarjih Muhammadiyah telah mengambil putusan sebagaimana dapat dilihat dalam HPT sbb: Dan bila berpuasa itu terasa

14

terlalu berat bagimu karena tuamu atau sakit lama yang tidak diharapkan sembuhnya, maka boleh berbuka, tetapi berfidyah dengan memberi makan kepada orang miskin buat setiap harinya satu mud begitu juga karena mengandung atau menyusui. Di sini jelas bahwa Muhammadiyah berpendapat orang yang hamil/mengandung dan menyusui di mana ia meninggalkan puasa, kepadanya hanya dikenakan untuk membayar fidyah, sebagaimana orang tua dan orang sakit yang tidak diharapkan lagi sembuhnya. Dalam hal ini pandangan Muhammadiyah kebetulan Abbas. Adapun dalil yang menjadi landasan Lajnah Tarjih Muhammadiyah sebagaimana tercantum dalam HPT sbb: . : : ) (. ) (. . : Menurut Hadis Anas ibn Malik al-Kabiyyi bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Sungguh Tuhan Allah Yang Maha Besar dan Mulia telah membebaskan puasa dan separoh shalat bagi orang yang bepergian, serta membebaskan puasa dari orang hamil dan menyusui (HR al-Khamsah). Dan Ibn Abbas berkata kepada jariyahnya yang hamil: Engkau termasuk orang yang keberatan berpuasa, maka engkau hanya wajib berfidyah dan tidak usah mengganti puasa (HR. al-Bazzar ditashihkan oleh al-Daruquthni). Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn Abbas, bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi orang yang mengandung dan menyusui untuk berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya. Hadis-Hadis di atas dapat ditemui dalam kitab Sunan Abu Dawud dalam Kitab Shaum, Juz II. sama dengan pandangan golongan yang pertama, yang menguatkan dalilnya dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar dan Ibn

15

B.6 Tarjih Muhammadiyah di Bidang Muamalah Pandangan Muhammadiyah dalam hal muamalah agak lebih fleksibel, tidak seketat dalam hal ibadah. Persoalan-persoalan atau masalah-masalah muamalah duniawiyah bagi Muhammadiyah memegang prinsip ajaran Islam, sesuai dengan sabda Nabi: Antum alamu bi umuri dunya-kum (kamu lebih tahu masalah duniamu). Hal lain yang menjadikan landasan Muhammadiyah tentang kelenturan dalam bidang muamalah duniawiyah, dikarenakan persoalan-persoalan ini terus berkembang, sejalan dengan perkembangan zaman itu sendiri. Pada makalah akan dipaparkan salah satu persoalan bagaimana pandangan Muhammadiyah dalam menghadapi masalah-masalah yang bersifat kontemporer. Labih menarik lagi jika pembahasan ini menyangkut hal-hal yang bersifat aktual, walaupun persoalan itu sendiri telah lama terjadi, yaitu masalah tentang aborsi. Aborsi atau abortus secara bahasa berarti keguguran, pengguguran kandungan atau membuang janin. Dalam arti yang lebih rinci, abortus ialah keadaan di mana terjadi pengakhiran atau ancaman pengakhiran kehamilan sebelum fetus hidup di luar kandungan. Menurut para ahli medis, ada dua macam aborsi atau abortus. Pertama, abortus spontaneus, yaitu abortus yang terjadi secara spontan atau tidak disengaja. Abortus spontaneus bisa terjadi karena salah satu pasangan berpenyakit kelamin, kecelakaan, dan sebagainya. Kedua, abortus provocatus, yaitu abortus yang disengaja. Abortus provocatus ini terdiri dari dua jenis, yaitu abortus artificialis therapicus dan abortus provocatus criminalis. Abortus artificialis therapicus adalah abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yakni apabila tindakan abortus tidak diambil bisa membahayakan jiwa ibu. Sedangkaan abortus provocatus criminalis adalah abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Misalnya, aborsi yang dilakukan untuk meleyapkan janin dalam kandungan akibat hubungan seksual di luar pernikahan, atau mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki. Dalam menyelesaikan masalah abortus ini, Muhammadiyah sudah cukup maju dibandingkan dengan para ahli fikih dan ahli tafsir terdahulu. Adapun dalil

16

yang dijadikan dasar untuk menetapkan proses kejadian manusia adalah sebagai berikut: .( 14 -13 :) Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah. Pencipta Yang Paling Baik (QS. Al-Muminun: 13-14) .( ) Bahwasanya salah seorang kamu dihimpun dapam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk air mani, kemudian selama 40 hari berikutnya dalam bentuk segumpal darah, kemudian 40 hari berikutnya dalam bentuk segumpal daging, kemudian Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh. (HR. Muttafaq alaih, dengan lafazh Muslim). Ketika memahami teks al-Quran dan al-Hadis di atas, Muhammadiyah telah menggunakan analisis ilmu pengetahuan modern di bidang ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya, termasuk filsafat. Berdasarkan pemahaman yang multi disipliner itu, Muhammadiyah berpendapat bahwa pengguguran kandungan sejak pembuahan hukumnya haram. Hal ini berarti, bahwa usia kandungan empat bulan atau 120 hari, seperti dijelaskan dalam Hadis di atas tidak dianggap sebagai batas kehidupan manusia. Oleh karena itu, Muhammadiyah tidak begitu saja menerima penjelasan yang terdapat dalam Hadis Nabi tentang peniupan ruh itu. Secara eksplisit Hadis itu menyatakan bahwa pada usia 40 hari yang ketiga (120 hari) dari proses kejadian

17

manusia, Allah mengutus Malaikat untuk meniupkan ruh kepada janin yang ada dalam rahim ibunya. Namun Muhammadiyah tidak menerima pendapat bahwa ruh dalam Hadis itu berarti nyawa yang menyebabkan janin menjadi hidup (Hadis di atas diartikan peniupan ruh itu sebagai nyawa untuk hidup, Muhammadiyah tidak sependapat dengan itu). Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa kenyataan menunjukkan bahwa pembuahan itu sendiri telah dinyatakan hidup kemudian berkembang menjadi alaqat, dan berikutnya menjadi mudghat sampai 120 hari. Menurut Muhammadiyah, ruh yang ditiupkan oleh Malaikat ke dalam janin yang telah berusia empat bulan itu bukanlah ruh hayati, melainkan adalah ruh insani. Pemahaman dan penalaran seperti ini menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Kelihatannya, penalaran Muhammadiyah dalam hal ini telah dipengaruhi oleh pemikiran ahli filsafat Islam dan ahli kedokteran. Dalam filsafat Islam, jiwa itu bukanlah hayat. Manusia, dalam konsep filsafat Islam terdiri dari tiga unsur: tubuh, hayat dan jiwa. Dengan demikian, hayat itu saja sudah ada sejak terjadinya pembuahan, bukan setelah janin berusia empat bulan. Pengaruh filsafat Islam lainnya terhadap pemikiran Muhammadiyah juga dapat dilihat dalam memahami ayat al-Quran dan al-Hadis tentang proses kejadian manusia itu, bahwa sebagaimana diketahui para filosof muslim tidak segan-segan mentakwil teks al-Quran dan al-Hadis sesuai dengan jalan pikiran mereka. Tegasnya, dengan melalui analisis di atas, Muhammadiyah berpendapat bahwa abortus provocatus criminalis sejak terjadinya pembuahan hukumnya haram. Sedangkan abortus artificialis therapicus atau abortus provocatus medicinalis dapat dibenarkan dalam keadaan darurat, terutama karena adanya kekhawatiran atas keselamatan ibu waktu mengandung. Argumentasi lainnya adalah sbb: (195 : ... ) Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan(QS. alBaqarah:195). (29: )18

Dan janganlah kamu membunuh dirimu: sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS. Al-Nisa:29). ( 173: ) Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya (QS. Al-Baqarah:173). Selain ayat-ayat al-Quran di atas, Muhammadiyah juga menggunakan kaidah fiqhiyah, sebagai berikut: Keadaan memaksa menjadikan bolehnya yang terlarang.

Jika berbenturan antara dua mafsadat, maka harus diperhatikan yang peling besar madharatnya dengan cara mengerjakan yang paling ringan madharatnya. Berdasarkan argumentasi Muhammadiyah di atas, dapat dikatakan bahwa menyelamatkan ibu, yang eksistensinya sudah jelas dan sudah mempunyai hak dan kewajiban, harus didahulukan daripada menyelamatkan janin yang belum dilahirkan. Pengguguran janin dengan kesengajaan seperti itu adalah madharat, namum kematian ibu disebabkan menyelamatkan janin juga adalah madharat. Madharat yang kedua jauh lebih besar daripada yang pertama. Kematian ibu akan membawa dampak yang tidak baik bagi keluarga yang ditinggalkannya. Oleh karenanya diperbolehkan melakukan aborsi dalam kondisi darurat seperti itu. C. Metode Istinbath dan Ijtihad

19

Kata istinbath masdar dari kata kerja (fiil) istanbatha-yastanbithu. Artinya, mengeluarkan makna dari suatu ungkapan kata. Istinbath menurut bahasa adalah mengeluarkan atau menetapkan. Sedangkan menurut istilah suatu kaidah dalam ushul fiqih dalam menetapkan hukum secara ijtihad. Jalan-jalan istinbath yang ditempuh ahli ushul-fiqih dalam usahanya, ialah dengan memahami makna ungkapan itu dari segi: 1. Penetapan kata itu ada yang dimaksudkan umum atau khusus. 2. Penggunaannya ada yang digunakan dalam art i majazi (metafora). 3. Jelas dan tidak jelasnya makna. 4. Petunjuknya, denotatif atau konotatif. Dasar hukum berijtihad dalam Muhammadiyah Muhammadiyah (melalui lembaga Majelis atau Lajnah Tarjihnya) dalam soal-soal yang menyangkut ibadah dan muamalah bersumber kepada al-Quran dan al-Sunnah. Sedangkan ijtihad hanyalah merupakan jalan untuk mengeluarkan hukum dari dua sumber tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Himpunan Putusan Tarjih berikut: 1. Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Quran dan al-Hadis. 2. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih di dalam al-Quran atau al-Sunnah Shahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath daripada nashnash yang ada melalui persamaan illat: sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf. Atas dasar keputusan Lajnah Tarjih tersebut, maka sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1969 di Ponorogo (di dalam Matan Keyakinan Muhammadiyah) memberi penjelasan bahwa yang dimaksud dengan al-Quran, ialah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud

20

dengan al-Sunnah (al-Hadis), ialah penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran alQuran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang dimaksud dengan ijtihad, ialah menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran agama. Sedangkan apa yang disebut ijma, qiyas, istihsan, istidlal dan maslahah mursalah, di mana para imam madzhab telah menjadikannya sebagai sumber hukum, maka terhadap istilah-istilah tersebut Lajnah Tarjih Muhammadiyah tidak memandang sebagai sumber hukum. Namun demikian, Lajnah Tarjih Muhammadiyah menganggapnya sebagai sarana untuk menggali hukum yang sifatnya tidak mengikat. Adapun kriteria al-Sunnah yang digunakan oleh Tarjih Muhammadiyah ialah al-Sunnah yang shahih. Akal fikiran yang digunakan oleh Tarjih Muhammadiyah untuk berijtihad, ialah hasil ijtihad Lajnah Tarjih Muhammadiyah sendiri, bukan hasil ijtihad ulama terdahulu, namun demikian hasil ijtihad ulama terdahulu dijadikan sebagai bahan pengkajian dan penelitian kembali. Motif Lajnah Tarjih menggunakan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber hukum yang mutlak adalah untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bidah dan khurafat. Juga untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia. Selain itu, juga untuk menegakkan nilai-nilai moral dan untuk terlaksananya muamalah duniawiyah, yang dijiwai ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Sedangkan ijtihad sebagai metode atau cara memahami al-Quran dan alSunnah adalah untuk mengimbangi beberapa pendapat yang taashub kepada suatu madzhab yang menyatakan pintu ijtihad sudah tertutup. Muhammadiyah berpendapat pintu ijtihad selalu dan tetap terbuka. Oleh karenanya dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak ada nashnya haruslah berijtihad. Penggunaan kedua sumber dan diperkuat oleh metode ijtihad tersebut, menunjukkan Muhammadiyah tidak menganut sesuatu madzhab dari madzhabmadzhab yang ada. Metodologi Istinbath Hukum dalam Muhammadiyah

21

Cara-cara istinbath hukum dalam Lembaga Tarjih Muhammadiyah (manhaj tarjih Muhammadiyah) di antaranya sebagai berikut:1. Nash yang qathi. Mengenai hal ini tidak ada masalah. Tidak boleh

diperdebatkan lagi, tidak ada lapangan ijtihad padanya.2. Terdapat nash, namun saling diperselisihkan, atau nash itu satu dengan yang

lain saling bertentangan, atau nash itu mempunyai nilai yang berbeda, maka Lembaga Tarjih Muhammadiyah menempuh cara sbb:a. Tawaqquf, yaitu bersikap membiarkan tanpa mengambil keputusan,

karena kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan tersebut tidak lagi dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan alternatif mana yang dianggap terkuat.b. Tarjih, yaitu mengambil jalan yang lebih kuat di antara dalil-dalil

yang bertentangan (memilih satu alternatif dalil yang dianggapnya lebih kuat). Dalam hal bertarjih ini cara yang ditempuh, yaitu Jarh(cela) itu didahulukan daripada tadil sesudah keterangan yang jelas dan sah menurut anggapan syara.Riwayat orang yang telah terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima bila ia menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersanad sambung, sedang tadlisnya itu tidak sampai tercela. Pendapat sahabat akan perkataan musytarak, pada salah satu artinya wajib diterima. Penafsiran sahabat antara arti kata yang tersurat dengan yang tersirat, arti kata yang tersurat itu yang diutamakan/diamalkan.c. Jamu, yaitu menjama atau menggabung atau menghimpun antara

kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Misalnya jika ada Hadis ahad yang shahih namum bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam, maka bisa jadi atau ada kemungkinan Hadis itu bersifat insidental atau anjuran yang tidak mengikat.3. Mengenai masalah-masalah yang tidak ada nashnya, sedangkan terhadapnya

diperlukan ketentuan hukumnya dalam masyarakat. Dalam hal semacam ini

22

Lembaga Tarjih Muhammadiyah berusaha mengeluarkan hukum atau menetapkan dengan jalan ijtihad dengan berpedoman kepada prinsipprinsip ajaran Islam, seperti prinsip kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Memberikan atau menetapkan sesuatu hukum dengan beralasan adanya darurat yang dapat menimbulkan kemudharatan. Menurut ahli ushul fiqih ijtihad berarti mencurahkan segenap kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan hukum syaraamali dengan satu metode. muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur yaitu: 1. Al-ijtihad Al-Bayani Menjelaskan hukum yang kasusnya terdapat dalam nash Al-Quran dan Hadist Menurut ulama Hanafiah, ada lima bayan/keterangan. Bayan Taqrir Bayan Tafsir Bayan Taghyir Bayan Tabdil Bayan Dlarurah

2. Al-ijtihad Al-Qiyasi Menyelsaikan kasus baru, dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam Al-Quran dan Hadist. Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya secara langsung, Tetapi ada nash al-Quran maupun al-Sunnah yang menunjukkan keharamannya. 3. Al-ijtihad Al-istishlahi

23

Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak ada nash langsung yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan mendasarkan masalah yang akan dicapai. Dalam menjawab berbagai persoalan yang ada, manhaj pengembangan pemikiran islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu pertama, prinsip al-muraah (konservasi) yaitu upaya pelestarian nila-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelsaikan permasalahan yang muncul. Pelestarian ini dapat dilakukan dengan cara pemurnian ajaran islam. Kedua prinsip al-tahdithi (inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran islam guna memenuhi tuntutan spiritual masyarakat islam sesuai dengan perkembangan sosial. Ketiga prinsip al-ibtikari (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran islam secara kreatif, konstraktif dalam menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini dilakukan dengan menerima nilai-nilai luar islam dengan penyesuaian seperlunya (adaptif). Atau dengan penyerapan nilai elemen luaran dengan penyaringan secukupnya (selektif).

BAB III KESIMPULAN Memperhatikan uraian dalam makalah ini, yaitu pandangan tarjih Muhammadiyah dalam bidang ibadah dan muamalah, ada segi-segi prinsip yang berbeda di antara keduanya, di mana dalam hal ibadah pandangan Muhammadiyah terlihat kaku dan tegas, dengan tidak mentolerir, atau berpegang kepada salah satu

24

madzhab, tetapi hanya berpegang kepada al-Quran dan petunjuk Rasul-Nya. Ketegasan Muhammadiyah dalam bidang ibadah dilandasi dengan hasratnya yang kuat untuk menghindari perselisihan pendapat yang tidak pernah berkesudahan. Semestinyalah dalam masalah ibadah ini tidak akan terjadi perubahan, dengan berubahnya masa atau zaman. Shalat di masa Nabi, sama dengan shalat di masa sekarang, kecuali dalam hal-hal tertentu, itupun telah pula disyariatkan. Jalan satusatunya berpeganglah kepada madzhab yang satu, yaitu madzhab Rasulullah SAW. Dalam hal-hal yang menyangkut muamalah duniawiyah lebih fleksibel, lebih lentur, bahkan bisa jadi pandangan Muhammadiyah yang sekarang belum tentu sama dengan pandangannya di hari sebelumnya atau di kemudian harinya. Dalam hal ibadah pandangan Muhammadiyah terlihat kaku dan tegas, dengan tidak memtolerir, atau berpegang kepada salah satu madzhab, tetapi hanya berpegang kepada al-Quran dan petunjuk Rasul-Nya. Kelenturan Muhammadiyah dalam memahami persoalan muamalah, dikarenakan masalah muamalah terus berkembang sepanjang perkembangan masa atau zaman itu sendiri. Muhammadiyah mempercayai Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dalam menetapkan suatu hukum yang lalu djalankan dan dianut oleh para pengikutnya, kesimpulannya muhammadiyah bersifat terbuka dan toleran, tidak menilai bahwa keputusannya lah yang paling benar, bila ada pendapat dari siapapun akan diterima sepanjang memiliki landasan yang lebih kuat dan arjah, maka pendapat yang telah ditetapkan oleh majelis kemungkinan akan berubah. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran al-Karim. Bakry, M. Natsir, Peranan Lajnah Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: C.V. Karya Indah, Cet. I, 1985 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos Publishing House, 1995, Cet.I, h. 94, yang dikutip dari WHO (World Health Organization). Fetus itu dianggap belum dapat hidup di luar kandungan jika usia kehamilan belum mencapai 28 minggu.

25

Berita Resmi Muhammadiyah, Nomor Khusus, Tanfidz Keputusan Muktamar Tarjih Muammadiyah XXII, P.P. Muhammadiyah, 1990 Dasuki, Hafizh dkk. 1977. Ensiklopedi Hukum Islam, Cet I. Jakarta: P.T. Intermasa Djamil, Fathurrahman. 1990.Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Cet I. Jakarta: Logos Publishing House Khalaf, Abd al-Wahhab, Khulashah Tarikh Tasyri al-Islamy, Jakarta: al-Majlis Ala al-Indonesia li al-Dawah al-Islamiyyah, Cet. VIII, T.Th. M. Natsir Bakri, Ibid, h. 42-43 Tidak ada lapangan/peluang bagi ijtihad dalam masalah yang sudah ada nashnya yang sharih lagi qathi. Lihat Abd al-Wahhab Khalaf, Khulashah Tarikh Tasyri al-Islamy, Jakarta: al-Majlis al-Ala al-Indonesia li al-Dawah al-Islamiyah, T.Th), Cet. VIII, h. 13-14 Majlis Tarjih Muhammadiyah, Pembinaan Hukum Fiqh di Bidang Muamalat, Suara Muhammadiyah, I, 15 Juli 1965, h. 31 Mubarok, Jaih. METODOLOGI IJTIHAD HUKUM ISKAM. Yogyakarta. UII Press 2002 Muhammadiyah, Majlis Tarjih, Pembinaan Hukum Fiqh di Bidang Muamalat, Suara Muhammadiyah, I, 15 Juli 1965 Muhammadiyah, P.P., Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Persatuan, Cet. III, T.Th. Muslim, Shahih Muslim, T. Tempat: Dar al-Fikr, Juz II, T.Th. Nasution, Harun, Konsep Manusia dalam Islam dikaitkan dengan Hayat dan Maut, dimuat dalam Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontempor, Jakarta: IAIN, 1988 Pasha, B.Ed, Kamal, Drs. H. Musthafa dan, darban, SU, Adaby, Drs. H. Ahmad. MUHAMMADIYAH sebagai GERAKAN ISLAM dalam prespektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta. LPPI Universitas MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA cetakan III 200326

Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, T. Tempat: Dar alFikr, Juz I, T.Th. Tamimy, Djindar dan Djarnawi Hadikusuma, Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar dan Kepribadian Muhammadiyah, Yogyakarta: P.T. Persatuan, Cet. II, 1972 PP Muhammdiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: T.Th., Cet. III, h.278 http://www.muhammadiyah.or.id/news-90-detail-tarjih-dalam-bidang-ibadah-danmuamalah.html. Selasa, 29-03-2011 http://almasakbar45.blogspot.com/2011/01/majlis-tarjih-muhammadiyah.html

27