Makalah Akhir Individu untuk Mata Kuliah Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat PROGRAM PERTUKARAN PELAJAR SEBAGAI IMPLEMENTASI SOFT POWER DAN INSTRUMEN DIPLOMASI AMERIKA SERIKAT DENGAN NEGARA MUSLIM PASCA TRAGEDI 9/11 Binar Sari Suryandari 1006664685
33
Embed
Makalah Akhir Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat
Program Pertukaran Pelajar Sebagai Implementasi Soft Power dan Instrumen Diplomasi Amerika Serikat dengan Negara Muslim Pasca Tragedi 9/11
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Makalah Akhir Individu untuk Mata Kuliah Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat
PROGRAM PERTUKARAN PELAJAR SEBAGAI IMPLEMENTASI SOFT POWER DAN INSTRUMEN DIPLOMASI AMERIKA SERIKAT DENGAN NEGARA MUSLIM PASCA TRAGEDI 9/11
Binar Sari Suryandari 1006664685
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001
merupakan sebuah fenomena yang menandai bangkitnya kembali terorisme di dunia
internasional. Apa yang terjadi pada hari itu benar-benar mengguncang masyarakat
internasional. Dunia saat itu menyaksikan kebangkitan jaringan terorisme internasional
yang berhasil menyerang salah satu negara dengan power terbesar di dunia yaitu Amerika
Serikat. Peristiwa ini dilakukan dengan cara penyerangan yang berbeda dari aksi
terorisme sebelumnya, yaitu membajak dan menabrakkan pesawat terbang ke gedung
kembar World Trade Center yang terletak di kota New York pada tanggal 11 September
2001. Sekitar tiga ribu orang tewas akibat serangan terorisme ini. Tragedi mengenaskan
ini tidak hanya mempengaruhi Amerika Serikat sebagai negara ’korban’ dalam
merumuskan kebijakannya terkait terorisme, tragedi ini juga mengubah pandangan
masyarakat dunia dan negara-negara lain dalam membentuk kebijakan dalam melawan
terorisme.
Peristiwa terorisme yang terjadi tersebut jelas menciptakan pergeseran-pergeseran
yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam kebijakan-kebijakannya. Hal ini
diimplementasikan melalui kebijakan ”War on Terror” yang dikemukakan oleh Presiden
Bush dan kebijakan-kebijakan lainnya. Namun demikian, kebijakan dalam hal ini
bukanlah hanya kebijakan dalam bidang hard power, namun juga kebijakan dalam bidang
soft power. Pasca terjadinya tragedi 9/11 tersebut, Amerika Serikat merumuskan
kebijakan dan metode diplomasi untuk dapat mencegah hal serupa dari kemungkinan
terulang kembali. Tragedi 9/11 ini seringkali diasosiasikan dengan eksistensi umat
muslim di dunia. Hal ini dikarenakan kelompok jaringan terorisme pelaku indak
kejahatan terorisme di Amerika Serikat pada 11 September 2001 yang didalangi oleh
Osama Bin Laden tersebut mengatasnamakan agama Islam sebagai latar belakang
tindakannya.1 Keterkaitan agama dalam peristiwa ini pada akhirnya juga menjadi salah
1 Fareed Zakaria, “The Politics Of Rage: Why Do They Hate Us?” yang diakses dari http://www.thedailybeast.com/newsweek/2001/10/14/the-politics-of-rage-why-do-they-hate-us.html pada 28 Desember 2012 pukul 21.09 WIB.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
satu penentu dan karakteristik khusus yang menjadi pertimbangan pemerintah Amerika
Serikat dalam merumuskan kebijakannya.
Kebijakan dan diplomasi yang diambil oleh Amerika Serikat terkait peristiwa
terorisme tersebut pada dasarnya beragam. Budaya merupakan salah satu dimensi yang
dimanfaatkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk dapat menanggulangi masalah
terorisme ini. Sejak terjadinya tragedi 9/11, terdapat peningkatan yang cukup signifikan
atas jumlah siswa dari negara muslim yang menempuh pendidikan ataupun mengikuti
program pertukaran pelajar di Amerika Serikat.2 Hal ini mengindikasikan usaha
pemerintah Amerika Serikat untuk melaksanakan kebijakan dan diplomasinya dalam
bidang budaya untuk dapat meredam masalah terorisme bernafaskan Islam yang terjadi di
Amerika Serikat. Fenomena peningkatan jumlah pelajar dari negara muslim dan jumlah
program pertukaran pelajar yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan negara-negara
muslim di dunia inilah yang menarik perhatian penulis untuk mengangkat fenomena
tersebut sebagai topik dalam makalah ini.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa makalah ini akan membahas mengenai
kebijakan dan diplomasi Amerika Serikat pasca 9/11 yang melibatkan unsur budaya dan
pengimplementasian program pertukaran pelajar dengan negara-negara Muslim di dunia.
Makalah ini secara umum ingin mengkaji lebih dalam mengenai usaha pemerintah
Amerika Serikat dalam diplomasinya untuk dapat mengambil hati dan menciptakan
pemahaman antara Amerika Serikat dengan negara-negara muslim untuk mencegah
peristiwa serupa terulang kembali.
1.2 Pertanyaan Permasalahan
Dalam makalah ini, pertanyaan permasalahan yang berusaha dijawab adalah:
“Bagaimana penerapan program pertukaran pelajar sebagai instrumen diplomasi
Amerika Serikat dengan negara Muslim pasca tragedi 9/11?”. Dengan demikian,
makalah ini akan menjelaskan mengenai penerapan program pertukaran pelajar yang
dilakukan oleh Amerika Serikat dengan negara Muslim pasca tragedi 9/11, serta
bagaimana pelaksanaan program tersebut dapat menjadi salah satu instrumen dalam
pelaksanaan diplomasi antara Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim di dunia.
2 Nambee Ragavan, “International Student Exchange Among Muslim Nations; Soft Power and Voting Alliances at the United Nations”, dalam Political Science Senior Thesis, Bemidji State University, 2011, hlm. 2.
2
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
1.3 Kerangka Pemikiran
1.3.1 Soft Power
Dalam bukunya, Joseph S. Nye mengatakan bahwa power merupakan
kemampuan untuk mempengaruhi perilaku pihak lain untuk mendapatkan hasil yang
kita inginkan.3 Namun terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mempengaruhi perilaku pihak lain, baik dengan memaksa mereka, melalui
kekerasan, ataupun melalui usaha menarik hati agar mereka juga menginginkan apa
yang kita inginkan. Dalam hal ini, soft power berbeda dengan hard power yang
syarat dengan unsur militer, pemaksaan, dan kekerasan. Nye menyatakan bahwa soft
power merupakan usaha untuk mempengaruhi pihak lain agar menginginkan apa
yang kita inginkan melalui usaha melibatkan pihak tersebut, dan bukan melalui
pemaksaan atau kekerasan.4 Soft power bergantung pada kemampuan untuk
membentuk keinginan atau preferensi pihak lain.5 Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa pada dasarnya soft power merupakan usaha untuk dapat mempengaruhi dan
mendorong pihak lain dalam menginginkan apa yang kita inginkan melalui
pelibatan dan perangkulan pihak tersebut sehingga pihak tersebut juga
menginginkan apa yang kita inginkan.
Bagi Nye, soft power tidak sama dengan sekedar pengaruh dan soft power juga
lebih dari usaha membujuk atau menggerakkan pihak lain melalui argumen, tetapi
juga melibatkan kemampuan untuk memikat pihak lain, dan pemikatan tersebut
seringkali berujung pada persetujuan dan dukungan.6 Berbeda dengan hard power
yang membuat pihak lain menyetujui apa yang kita lakukan secara paksa melalui
kekuatan militer atau sanksi ekonomi yang dapat dijatuhkan, soft power berusaha
memikat hati pihak lain melalui nilai-nilai, budaya, dan pemeliharaan hubungan
sosial di antara keduanya. Nye menyatakan bahwa terdapat tiga sumber soft power,
yaitu (1) Budaya, (2) Political Values, (3) Kebijakan Luar Negeri.7
Pengimplementasian soft power ini menjadi lebih signifikan dibanding hard power
di masa ini mengingat perkembangan zaman yang disertai dengan kecanggihan ilmu
3 Joseph S. Nye, Jr., Soft Power: The Means to Success in World Politics (New York: Public Affairs, 2004) hlm. 2.4 Ibid., hlm. 5.5 Ibid.6 Ibid., hlm. 6.7 Ibid., hlm. 11.
3
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat.
1.3.2 Diplomasi Publik (Public Diplomacy)
Konsep public diplomacy pertama dikenalkan oleh Edward Murrow pada
Tahun 1963 sebagai salah satu cara untuk menangani pengaruh dari pola tingkah
laku publik dalam formasi dan eksekusi kebijakan luar negeri. Public Diplomacy
berbeda dengan diplomasi tradisional yang interaksinya hanya antara pemerintah,
namun juga keterlibatan aktor non-state seperti organisasi dan individu. Aktivitas
public diplomacy adalah (1) melaporkan peristiwa luar negeri dan dampaknya
terhadap kebijakan, (2) media komunikasi, antara diplomat dan koresponden asing,
dan sebagai (3) proses komunikasi lintas budaya. 8 Public diplomacy merupakan
salah satu cara untuk mempromosikan kepentingan nasional dan keamanan
nasional melalui pemahaman yang sama, sharing informasi, dan mempengaruhi
masyarakat asing serta memperluas dialog antara individu, institusi, serta rekan
yang berada di luar negeri. Secara sempit, public diplomacy dapat didefinisikan
sebagai proses pemerintah dalam berkomunikasi dengan masyarakat asing sebagai
ajakan untuk lebih memahami ide dan idealisasi negara, institusi dan kebudayaan,
serta tujuan nasional dan kebijakan yang berlaku.9
Agar dapat berfungsi secara efektif public diplomacy harus dilihat sebagai
komunikasi dua arah. Public diplomacy tidak hanya meliputi pembentukan pesan
yang ingin disampaikan oleh suatu negara, namun juga sebagai alat analisa dan
memahami bagaimana pesan tersebut diinterpretasikan serta menjadi alat untuk
mengembangkan dan berkomunikasi sebagai pendukung persuasi.10 Dampak yang
dihasilkan dari public diplomacy terdiri dari 4 bentuk, yaitu :
1) Meningkatkan familiaritas masyarakat terhadap negara pelaku , dengan
cara memikirkannya serta update terhadap opini yang diberikan oleh
negara tersebut.
8 Edward R. Murrow, Public Diplomacy (Tufts University : The Edward R. Murrow Center, 2005), diakses dari http://fletcher.tufts.edu/murrow/public-diplomacy.html pada tanggal 29 Desember 2012 pukul 12.15 WIB.9 Hans. N. Tuck, Communicating with the World : U.S. Public Diplomacy Overseas (New-York : St. Martins Press, 1990), Hal. 3.10
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
2) Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap negara pelaku , dengan
membentuk persepsi positif yang kemudian mengajak orang lain untuk
melihat isu global dari perspektif yang sama.
3) Membentuk ikatan dengan masyarakat , dengan memperkuat ikatan baik
dari segi edukasi, tourism, produksi nasional, dan kooperasi ilmiah untuk
mengajak lebih memahami nilai-nilai yang dianut.
4) Memberi influence pada masyarakat , dengan realisasi adanya investasi
dan kerjasama yang terjalin.
1.3.3 Diplomasi Budaya (Cultural Diplomacy)
Secara umum, diplomasi budaya merupakan bagian dari diplomasi publik
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Diplomasi budaya merupakan upaya
mencapai pemahaman bersama melalui institusi budaya, NGO, organisasi
pendidikan, dan kelompok lainnya yang bergerak di bidang yang serupa. Milton C.
Cummings mempaparkan bahwa diplomasi budaya adalah bentuk pertukaran ide,
informasi, nilai, sistem, tradisi, kepercayaan, dan aspek budaya lainnya dengan
intense untuk menciptakan pemahaman bersama. Pelaku diplomasi budaya adalah
para “diplomat budaya” yaitu penjelajah, akademisi, seniman, dan lain-lain yang
mengutamakan interaksi dengan budaya asing. 11 Pada dasarnya, diplomasi budaya
memberikan peluang untuk penciptaan pemahaman dan penghargaan akan adanya
kesamaan serta perbedaan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di
dalamnya.
Cultural diplomacy mendorong penciptaan landasan akan ‘trust’ atau rasa
percaya antara pihak yang terlibat sehingga pada akhirnya rasa percaya tersebut
dapat digunakan untuk persetujuan politik, ekonomi, dan militer.12 Diplomasi
budaya juga lebih mengena dan dapat menyentuh aktor-aktor hingga level
masyarakat dan individu. Diplomasi jenis ini juga lebih mudah untuk disampaikan
atau ditanamkan pada generasi muda, masyarakat non-elit, dan lingkup masyarakat
11 Institute of Cultural Diplomacy, What is Cultural Diplomacy?, diakses dari http://www.culturaldiplomacy.org/index.php?en_culturaldiplomacy pada tanggal 29 Desember 2012 pukul 13.00 WIB.12 US Department of State, “Cultural Diplomacy: The Linchpin of Public Diplomacy” dalam Report of the Advisory Committee on Cultural Diplomacy, September 2005, hlm. 1.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
yang lebih luas karena pada dasarnya menekankan pada hubungan antar
masyarakat.13 Tidak hanya itu, diplomasi budaya dapat menjembatani perbedaan
dan kesalah-pahaman antara masyarakat yang berbeda sehingga kebencian antara
masyarakat tersebut dapat lebih diredam. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
diplomasi budaya dapat mendorong terciptanya keterbukaan, mendorong open-
mindedness, dan toleransi antar masyarakat.
13 Ibid., hlm. 2.
6
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam bab ini, pembahasan akan dibagi menjadi empat bagian. Pembagian ini
dilakukan untuk kemudahan pemahaman mengenai topik dalam makalah ini. Pada bagian
pertama, penulis akan menjelaskan mengenai persepsi anti-Amerikanisme yang muncul
dalam masyarakat dunia hingga pada akhirnya mewujudkan terjadinya tragedi terorisme 9/11.
Dalam bagian tersebut pula akan dibahas mengenai bagaimana peristiwa tersebut
mengindikasikan besarnya persepsi anti-Amerikanisme selama ini. Pada bagian kedua, akan
dijelaskan kebijakan terkenal yang diambil oleh Amerika Serikat pasca terjadinya tragedi
9/11, yaitu kebijakan yang dikenal sebagai “War On Terror”. Dalam bagian ini, penulis akan
menjelaskan bagaimana sesungguhnya kebijakan yang melibatkan unsur kekerasan tersebut
gagal dalam meredam persepsi anti-Amerikanisme dan justru dapat memperburuk hubungan
antara Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim di dunia.
Pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan mengenai kebijakan dan diplomasi Amerika
Serikat yang mengedepankan unsur soft power, yaitu melalui pelaksanaan program
pertukaran pelajar. Dalam bagian tersebut, penulis akan memaparkan peningkatan
pelaksanaan program tersebut antara Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim di dunia
dan bagaimana pelaksanaan program tersebut sebagai instrumen diplomasi yang memiliki
perbedaan sifat dengan pelaksanaan kebijakan “War On Terror” yang dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Selanjutnya, pada bagian terakhir akan dijelaskan mengenai analisa penulis akan
pelaksanaan program pertukaran pelajar tersebut sebagai instrumen diplomasi publik dengan
melibatkan unsur budaya bagi Amerika Serikat pasca tragedi 9/11. Bagian analisa ini juga
akan memaparkan opini penulis mengenai signifikansi pelaksanaan program tersebut dan
bagaimana pelaksanaan program tersebut dapat lebih berkontribusi dalam pengurangan
persepsi anti-Amerikanisme di negara-negara Muslim.
2.1 Amerika Serikat, Anti-Americanism, dan Tragedi 9/11
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Amerika Serikat merupakan salah satu
negara dengan power terbesar dalam sistem internasional. Negara ini dianggap sebagai
salah satu negara adidaya yang cukup mendominasi agenda-agenda dan interaksi antar
7
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
negara-negara di dunia. Hal ini pada dasarnya kembali pada kepemilikan power yang
besar oleh Amerika Serikat sehingga negara tersebut mampu memberikan pengaruh baik
secara langsung maupun tidak langsung pada apa yang tengah terjadi di dunia. Selain itu,
Amerika Serikat juga dikenal sebagai negara yang kental dengan sistem kapitalisme dan
sering sering terlibat serta melakukan intervensi pada konflik-konflik yang terjadi di
dunia. Nyatanya, posisi dan apa yang selama ini dilakukan Amerika Serikat dalam
kerangka sistem internasional tidak seluruhnya berdampak baik pada Amerika Serikat
sebagai negara. Terdapat banyak pihak yang pada akhirnya tidak menyukai posisi dan apa
yang dilakukan oleh Amerika Serikat tersebut. Persepsi ini seringkali disebut dengan anti-
Amerikanisme.
Rubinstein dan Smith mengatakan anti-Amerikanisme sebagai “any hostile act or
expression that becomes part and parcel of an undifferentiated attack on the foreign
policy, society, culture and values of the United States.”14 Dasar utama dari anti-
Amerikanisme ini adalah kepercayaan bahwa apapun yang dilaksanakan oleh Amerika
Serikat merupakan sebuah usaha negara tersebut untuk menguasai dunia, dan negara
tersebut akan menggunakan power-nya, baik dalam bidang militer, ekonomi, budayam
maupun kesuksesannya untuk mencapai kepentingan mereka.15 Persepsi ini muncul akibat
posisi Amerika Serikat dan bagaimana Amerika Serikat bertindak terhadap suatu konflik
atau permasalahan. Selain itu, persepsi ini juga dikatakan sebagai bentuk gerakan anti-
kapitalisme yang merupakan sistem inti negara adidaya tersebut. Dengan demikian, pada
dasarnya anti-Amerikanisme ini dapat dipahami sebagai sebuah persepsi kebencian
terhadap Amerika Serikat yang tumbuh di berbagai belahan dunia. Persepsi anti-
Amerikanisme ini seringkali juga diasosiasikan dengan eksistensi agama Islam. Hal ini
terjadi akibat beberapa kebijakan Amerika Serikat yang dinilai mendiskriminasi dunia
Islam.
Apa yang terjadi pada 11 September 2001 merupakan sebuah hantaman keras bagi
pemerintah dan masyarakat Amerika Serikat pada saat itu. Peristiwa tersebut seolah
mencerminkan bagaiman besarnya kebencian yang diarahkan kepada Amerika Serikat
sebagai negara. Terorisme yang terjadi tersebut dinyatakan sebagai terorisme yang
dilatar-belakangi oleh agama, dan hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya anti-
14 Alvin Z. Rubinstein, dan Donald E. Smith, “Anti-Americanism in the Third World” dalam Annals of the American Academy of Political and Social Science 497 (1), 1988, hlm. 36. 15 Barry Rubin dan Judith Colp Rubin, “Anti-Americanism Re-Examined” dalam Brown Journal of World Affairs, Summer / Fall 2004, Vol. XI, Issue 1, hlm. 18.
8
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
Amerikanisme berkembang secara lebih besar dan pesat dari apa yang diprediksikan oleh
Amerika Serikat. Peristiwa terorisme tersebut tak ayal menjadi cerminan nyata akan
besarnya persepsi kebencian dan anti-Amerikanisme yang tertanam di masyarakat seluruh
dunia. Anggapan bahwa terorisme berkaitan erat dengan anti-Amerikanisme dan ajaran
agama Islam inilah yang pada dasarnya membentuk dan mengarahkan kebijakan-
kebijakan luar negeri Amerika Serikat setelah tragedi 9/11 yang akan dijelaskan pada
bagian-bagian selanjutnya.
2.2 Kegagalan Kebijakan ‘War On Terror’ Pasca Tragedi 9/11
Peristiwa terorisme yang terjadi pada 11 September 2001 tersebut tentunya sangat
mencengangkan publik Amerika Serikat sebagai negara ‘korban’ terorisme. Peristiwa
tersebut nyatanya juga cukup mengagetkan serta membangkitkan amarah para pengambil
keputusan Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai ‘negara korban’ saat itu menanggapi
peristiwa tersebut secara keras. Pemerintah Amerika Serikat, terutama Presiden Amerika
Serikat, pada saat itu mencanangkan sebuah kebijakan politik yang disebut sebagai ‘War
On Terror’. Istilah ‘War On Terror’ ini pada dasarnya adalah sebuah kebijakan yang
mengecam segala jenis teror. Amerika Serikat mengutuk tindak terorisme yang
menyerang negaranya tersebut. ‘War On Terror’ pun menjadi sebuah istilah yang
dicanangkan oleh Presiden Bush dalam rangka menanggapi apa yang terjadi kepada
negaranya. Kemarahan Bush tersebut pun terlihat dari beberapa pernyataan yang
dikemukakannya dalam pidato-pidato pasca peristiwa 9/11, seperti dalam salah satu
pidatonya ia mengatakan, “Either you are with us, or you are with the terrorists.”16
Kebijakan ’War On Terror’ yang disodorkan oleh Bush tersebut merupakan sebuah
kebijakan yang memerangi terorisme. Kebijakan ini dilaksanakan melalui peningkatan
keamanan secara besar-besaran. Selain itu, administrasi Bush juga melaksanakan
kebijakan ini dengan menyerang atau menginvasi negara-negara yang dianggap sebagai
sumber teroris.17 Pada dasarnya negara-negara lain menyadari bahaya terorisme dan
menunjukkan simpati mereka terhadap Afganistan yang dimulai antara Oktober dan
16 Disampaikan oleh George W. Bush dalam pidatonya pada tanggal 20 September 2001 di Washington D.C., diakses dari http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/09/20010920-8.html pada 29 Desember 2012 pukul 21.19 WIB.17 Patrick Hayden, “The “War On Terror” and The Just Use of Military Force” dalam Tom Lansford et. al. (ed.), America’s War On Terror, Second Edition (Burlington: Ashgate Publishing Company, 2009) hlm. 49.
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
Desember 2001.18 Pasukan Amerika Serikat masuk ke Afganistan dan mengintervensi
Northern Alliance untuk menggulingkan pemerintahan fundamentalis Taliban yang
dianggap telah menyediakan tempat berlindung bagi Osama bin Laden dan jaringan
terorisnya, yaitu Al-Qaeda yang merupakan pelaku tindak terorisme 11 September 2001.
Aksi Amerika Serikat tersebut sangat didukung oleh aliansi NATO dan dilegitimasi oleh
resolusi PBB.19 Amerika Serikat ternyata tidak berhenti sampai di situ. Pada 2002,
administrasi Bush memutuskan untuk melakukan perang melawan Irak dan mulai saat
itulah dukungan-dukungan dari dunia internasional mulai berkurang. Kebijakan ini sering
dianggap sebagai kebijakan yang memerangi umat muslim, hal ini tentu merupakan
implikasi dari serangan-serangan Amerika Serikat yang menyerang negara-negara yang
mayoritas berpenduduk muslim. Masyarakat dunia merasa bahwa Presiden Bush secara
tidak langsung menganggap Islam merupakan agama bagi para teroris dan sebagai alasan
di balik terorisme yang terjadi.
Kebijakan ”War On Terror” ini lama-kelamaan pun semakin terlihat gagal dalam
memperoleh simpati masyarakat internasional. Hal ini dikemukakan oleh Anup Shah
dalam artikelnya. Ia mengatakan bahwa terdapat tiga jenis dampak internasional yang
terkait dengan reputasi negara Amerika Serikat atas implementasinya akan ”War On
Terror” 20, yaitu:
a. Semakin banyaknya masyarakat yang marah terkait dengan nama baik Islam
yang tercoreng. Dengan adanya persepsi buruk Amerika Serikat terhadap
umat muslim, agama Islam sering menjadi agama yang dianggap
melatarbelakangi sekelompok orang melakukan terorisme.
b. Amerika Serikat sedikit demi sedikit kehilangan simpati dari dunia
internasional karena serangannya terhadap negara-negara yang
digeneralisasikan sebagai sumber teroris, seperti Afganistan. Citra dan
reputasi Amerika Serikat juga semakin memburuk akibat keradikalan
kebijakan pemberantasan terorisme di dunia.
c. Dampak yang ketiga ini berhubungan dengan segi sosial, yaitu banyaknya
korban yang berjatuhan akibat penerapan kebijakan ”War On Terror” yang
radikal.
18 Joseph S. Nye, Jr., Op.Cit., hlm 19419 Ibid.20 Anup Shah, ““War On Terror”” yang diakses dalam http://www.globalissues.org/issue/245/war-on-terror pada 29 Desember 2012 pukul 22.03 WIB.