BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Munculnya fenomena aliran sesat tidak terlepas dari problem psikologis baik para tokoh pelopornya, pengikutnya serta masyarakat secara keseluruhan. Problem aliran sesat mengindikasikan adanya anomali nilai-nilai di masyarakat. Aliran sesat bukan fenomena baru, selain dia mengambarkan anomali, juga kemungkinan adanya deviasi sosial yaitu selalu ada komunitas yang abnormal. Baik berada dalam abnormalitas demografis, abnormalitas sosial, maupun abnormalitas psikologis. Sedangkan bentuk deviasi dapat bersifat individual, situasional dan sistemik. Abnormalitas perilaku seseorang tidak dapat diukur hanya dengan satu kriteria, karena bisa jadi seseorang berkategori normal dalam pengertian kepribadian tetapi abnormal dalam pengertian sosial dan moral. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Munculnya fenomena aliran sesat tidak terlepas dari problem psikologis baik
para tokoh pelopornya, pengikutnya serta masyarakat secara keseluruhan. Problem
aliran sesat mengindikasikan adanya anomali nilai-nilai di masyarakat.
Aliran sesat bukan fenomena baru, selain dia mengambarkan anomali, juga
kemungkinan adanya deviasi sosial yaitu selalu ada komunitas yang abnormal. Baik
berada dalam abnormalitas demografis, abnormalitas sosial, maupun abnormalitas
psikologis. Sedangkan bentuk deviasi dapat bersifat individual, situasional dan
sistemik. Abnormalitas perilaku seseorang tidak dapat diukur hanya dengan satu
kriteria, karena bisa jadi seseorang berkategori normal dalam pengertian kepribadian
tetapi abnormal dalam pengertian sosial dan moral. Demikian halnya dengan para
penganut aliran sesat, akan diperoleh kriterium kategori yang tidak tegas. Salah satu
yang paling mungkin untuk menyatakan kesesatan adalah defenisi atau batasan
ketidaksesatan yang bersifat formalistik atau diakui sebagai batasan institusional.
Walaupun sudah jelas dituangkan dalam Firman Allah SWT:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”
(Al-Maidah 5:3).
Merebaknya panji-panji yang bertentangan dengan esensi ajaran agama Islam
dewasa ini, tentu melahirkan problematika yang serius, yang patut untuk
1
didiskusikan, Mengingat tidak ada perubahan aturan ibadah yang telah ditetapkan
oleh Nabi Muhammad SAW.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, kami mencoba memaparkan pembahasan tentang latar
belakang munculnya aliran-aliran sesat di Indonesia, mengapa aliran-aliran tersebut
dianggap/divonis sesat dan bagaimana cara menghindarinya.
C. TUJUAN
Dari penjelasan makalah ini kami sebagai penulis bertujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Agama Islam di samping itu untuk memperdalam pemahaman
mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang pemikiran aliran-aliran sesat
Islam yang tersebar di Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI ALIRAN SESAT
Kata sesat dapat diartikan sebagai keyakinan yang dianut seseorang yang
menjadi keyakinan publik, atau menjadi keyakinan para pengikutnya, sehingga orang
yang di ikuti keyakinannya yang sesat disebut menyesatkan. Sedangkan pengertian
“sesat menyesatkan” (dallun mudillun) adalah paham atau pemikiran yang dianut dan
diamalkan oleh sebuah kelompok yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam
serta dinyatakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyimpang berdasarkan dalil
Syar’i1.
Aliran sesat dapat didefinisikan sebagai suatu kepercayaan yang menyimpang
dari mainstream masyarakat, namun batasan ini menjadi rancu karena kriteria
kesesatan bersifat multikriteria. Oleh karena itu silang pendapat apakah suatu aliran
sesat atau tidak merupakan masalah tersendiri yang tidak mudah. Aliran hanya dapat
dinyatakan sebagai sesat apabila mengacu pada satu kumpulan kriteria yang
dinyatakan secara apriori sebagai “tidak sesat”. Oleh karena itu ukuran sosiologis,
politis dan psikologis hanya merupakan penjelas saja tentang kemungkinan-
kemungkinan mengapa seseorang/kelompok menjadi bagian dari aliran sesat.
1 (Rakermas MUI, 6/11/07, Jakarta)
3
B. FENOMENA ALIRAN SESAT
Pertanyaan kita apakah aliran sesat itu semakna dengan gerakan sempalan.
Martin van Bruinussen (Pendiri International Institute of The Study of Islam in
Modern WORLD / ISIM) mengatakan memang agak sedikit sukar membedakan
antara mana gerakan sempalan, mana gerakan yang dinilai menyimpang atau sesat
dan mana gerakan keagamaan yang dilarang karena kepentingan politik. Dalam
konteks sosiologis gerakan keagamaan, secara sederhana hanya dikenal dua
terminologi yaitu aliran ortodoks (mainstream) dan aliran sempalan. Gerakan
ortodoks atau mainstream dianggap Islam yang paling ”tepat” dan (dalam batas-batas
tertentu) dinilai paling benar, disamping dianut oleh banyak orang. Dalam konteks
Indonesia, menurut Martin gerakan ini diwakili oleh organisasi seperti MUI,
Muhammadiyah maupun NU. Sedangkan istilah gerakan sempalan menurut Martin
lazim dipakai secara normatif untuk aliran agama yang dinilai sesat dan
membahayakan. Namun, Martin menegaskan bahwa, kedua istilah tersebut berlaku
secara kontekstual, dalam artian status ortodoksi dan sempalan atau sesat itu tidak
berlaku tetap, akan tetapi dinamis. Kemudian, Martin juga menyadari bahwa, prinsip-
prinsip seperti ini memang beresiko, karena dalam sejarah perkembangan pemikiran
dalam Islam terlihat bagaimana antara kalangan tradisionalis dan modernis saling
menilai ”sesat” satu sama lain, meskipun penilaian ini ada yang dinyatakan secara
eksplisit ada yang tidak.
Batasan terhadap pengertian atau istilah yang kita gunakan menjadi sangat
penting, untuk menghindari kesewenang-wenangan tafsir atas gerakan keagamaan.
Terus terang saja, khusus untuk kata aliran atau kelompok sempalan, dalam kosa kata
4
Indonesia bermakna peyoratif2, baik dalam konteks sosial maupun politik. Istilah ini
oleh pemerintah Orde Lama dan Orde Baru di jadikan instrumen untuk munculnya
beberapa gerakan keagamaan yang dinilai ”mengancam” stabilitas dan integrasi
bangsa. Ternyata instrumen ini efektif untuk ”membasmi” kelompok-kelompok yang
dikelompokkan sebagai ekstrim kanan.
Seiring dengan perubahan waktu dan perkembangan masyarakat, ternyata
istilah “sesat” ini juga tetap bermakna peyoratif dan tetap efektif untuk mengeliminasi
keberadaan kelompok lain yang dinilai ”berseberangan” dengan sikap dan pendirian
”Kita”. Hanya dengan satu kata, ”sesat”, ”menghina”, orang tanpa pikir panjang bisa
serta merta kehilangan kendali rasionalitas dan rasa kerahiman antara sesama
manusia. Ironisnya, terkadang ”mereka” bertindak tanpa mengetahui duduk persoalan
secara persis dan mendalam. Terlebih lagi, jika institusi atau tokoh-tokoh kharismatik
yang menjustifikasi penilaian tersebut, mereka akan semakin yakin, seakan-akan
membawa SK pembenaran untuk merusak, memukul dan membunuh satu sama lain.
Dalam konteks ini, sekali lagi untuk menghindari kesewenang-wenangan
dalam menjustifikasi keberadaan pluralitas paham, kita perlu membuat batasan yang
lebih rasional dan jernih, bukan semata-mata atas dasar ketidaksenangan atau
ketidaksukaan subjektif, apalagi prasangka. Kalau kita menelaah secara lebih
mendalam tentang keberadaan paham-paham keagamaan, tidak memadai menilai
sesat sebuah paham jika semata berdasarkan karena orang berbeda paham dengan
kita. Kemudian, jika kita ingin mengatakan bahwa, ini atau itu adalah ajaran yang
sesat, setidaknya kita dapat menjelaskan, atas dasar apa kita menilai sebuah ajaran itu 2 Peyoratif ialah unsur bahasa yang memberikan makna menghina, merendahkan, dan sebagainya’ – http://kamusbahasaindonesia.org
5
sesat. Di karenakan di Indonesia aliran sesat terus saja berkembang. Tidak hanya
aliran sesat yang beranggotakan banyak orang, aliran sesat yang beranggotakan
beberapa orang pun tumbuh subur. Bak jamur di musim hujan, aliran-aliran sesat
berkembang sejak kran reformasi dibuka. Maka penyesatan demi penyesatan
menghinggapi umat Islam. Sebagian ajarannya menjadikan para pemeluknya
menyimpang dari ajaran Islam. Setidaknya, untuk sampai kepada penilaian tentang
sesat tidaknya sebuah ajaran agama adalah; (1) harus dibedakan antara sengaja
merusak dan menghina ajaran agama dengan sekedar perbedaan persfektif dalam
melakukan penafsiran; (2) wilayah mana yang dinilai telah ”dirusak” oleh mereka
yang dinilai sesat, seperti wilayah peribadatan yang telah berlaku qath’i, atau wilayah
aqidah atau mu’amalah yang terbuka peluang terjadinya dialog dengan menghadirkan
beragam persfektif, seperti filosofis, mistik (tashawuf), logika dan ilmu pengetahuan;
(3) dilihat dari aspek teologis, yaitu apakah ajaran tersebut cenderung membawa
orang kepada kemudharatan atau semangat pembangkangan (perlawanan) terhadap
kemashalatan umum. Inipun membutuhkan satu kajian yang lebih mendalam, agar
tidak terjadi tirani atas nama kebenaran dan menghindarkan kemudharatan bagi
ummat; (4) hal yang paling penting, dan ini jarang terjadi dalam kehidupan nyata,
perlu ada ruang dialog terbuka secara santun dan rasional, tidak untuk memeriksa
kepercayaan (tahkim), akan tetapi untuk memahami konstruksi atau persfektif mereka
yang memiliki pandangan keagamaan yang berbeda. Jika keempat hal ini kita
praktekkan, setidaknya dapat mengurangi praktek kesewenang-wenangan dalam
penafsiran.
6
Ditambah lagi, dalam sejarah perkembangan Islam, seringkali intrik politik
berhasil menyelinap ke dalam justifikasi normatif keagamaan, sehingga sukar menilai
bahwa, proses justifikasi kesesatan sebagai murni fenomena normatif keagamaan,
akan tetapi ”kental” dengan kepentingan ideologi dan politik praktis.
Tabel yang dikemukakan oleh R. Hrair Dekmejian berikut memperlihatkan bahwa,
konflik senantiasa mewarnai proses peralihan kekuasaan politik dalam Islam. Kalau
kita mengkaji secara lebih mendalam, juga akan terlihat dalam konstelasi politik
tersebut, juga inklud proses justifikasi normatif keagamaan, sebagai sarana untuk
meningkatkan konsolidasi diri. Sebagai contoh, ketika terjadi konflik antara
pendukung Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Syofyan, kemudian berbuntut
dengan penguatan afiliasi pengikut menjadi Syi’ah dan Al Sunnah, memperlihatkan
bagaimana konflik ini tidak hanya memecah ummat Islam ke dalam afiliasi politik
praktis, akan tetapi juga membuat ummat Islam terjebak pada posisi diametral untuk
saling mengkafirkan (atau saling mengklaim sesat) antara satu dengan lainnya.
Tabel 1. Gerakan Keagamaan Dalam IslamPemimpin Gerakan Sebab-sebab
‘Umar II (w.720) Degenerasi moral Umayyah
Ibn Hanbal (w. 855)Imposisi Abbasiyah terhadap doktrin atau represi nagara yang dikuasai Mu’tazilah.
Ibn Hazm (w. 1064) Kemunduran dan kekalahan Umayyah di Spanyol.
Ibn Taimiyyah (w. 132Kehancuran Abbasiyah/Penaklukan Bangsa Tatar / Krisis ekonomi dan moral.
Ibn ‘Abd al-Wahhab (w.1791)
Kemunduran Turki-Utsmani/Krisis moral dan agama.
Gerakan Sanusiyah (1880an)
Krisis keagamaan masyarakat tribal/Penaklukan Bangsa Italia.
Gerakan Mahdiyah (1880an)
Konflik keagamaan masyarakat tribal/Krisis ekonomi / Penguasa Anglo-Mesir-Turki.
Gerakan Salafiyyah (1890an)
Militer Eropa/Imperialisme kultural dan ekonomi.
Ikhwanul Muslimin (1930an)
Krisis sosial-ekonomi-politik/Kehadiran imperialis Inggris.
7
Sumber : R. Hrair Dekmejian, “Islamic Revival, Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Diversity and Unity, 1988. (dalam Moeflich Hasbullah, 2007)
Untuk memahami fenomena aliran yang dinilai sesat di Indonesia, kami
sebagai penulis melihatnya sebagai sebuah gejala sosio-politis, ketimbang sebagai
sebuah gejala keagamaan murni. Secara sosiologis, bermunculan banyak aliran sesat
dan fenomena masyarakat mudah ”percaya” dengan segala janji-janji yang instan, ini
dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah; ketika masyarakat sedang
mengalami diorientasi hidup, ketika masyarakat mengalami frustasi secara sosial,
politik dan ekonomi (atau ketika masyarakat terlalu lama berada dalam kondisi
”penderitaan”), ketika masyarakat tidak mampu lagi menghadapi kenyataan hidup
yang serba sulit. Disorientasi hidup adalah kondisi dimana manusia tidak lagi
memiliki arah atau pedoman hidup yang jelas. Segala jalan yang mereka tempuh tidak
memberikan arti dan bermakna lagi bagi mereka. Akibatnya mereka terus menerus
mencari pemuasan diri, namun rasa dahaga juga bergerak (berbanding terbalik) dari
hasrat pemuasan tersebut. Akibatnya, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh
hanya kesenangan yang bersifat semu dan palsu (pseudo) belaka. Kondisi seperti ini
yang disebut dengan disorientasi hidup, akibatnya mereka akan sangat mudah
diombang-ambing oleh situasi (keadaan), karena mereka berharap dapat menemukan
kepuasan yang mereka cari, meskipun kadang akal sehat mereka tidak lagi berfungsi
sepenuhnya.
Kondisi kedua adalah ketika masyarakat mengalami frustasi secara sosial,
politik dan ekonomi. Akibat terlalu lama menderita secara ekonomi dan sosial, orang
8
akan merasa kehilangan harapan (hopeless), kehilangan masa depan (futureless) dan
kehilangan gairah (passionless) yang pada akhirnya akan ”meruntuhkan”
kepercayaan secara politik (kepada otoritas politik). Pekerjaan sulit, cari makan sulit,
sehari-hari kita hidup dalam ”dunia yang terancam” dan lingkaran kekerasan,
kebengisan melihat tabiat para pemimpin (atau mereka yang mengklaim suara rakyat)
ataupun kemarahan terhadap sepak terjang para penegak hukum, kondisi-kondisi ini
akan mendorong timbulnya kemarahan yang menggumpal, yang akan berbuntut rasa
frustasi secara sosial, ekonomi maupun secara politik. Kondisi mental seperti akan
membuat kita tidak stabil, baik secara intelektual, mental dan sosial. Orang yang
”rapuh” situasi intelektual, mental dan sosial tersebut akan sangat gampang terjebak
kepada lingkaran kemarahan (kekerasan) atau mengambil jalan pintas ”escafe from
reality” (lari dari kenyataan). Pilihan untuk menjadi penganut ajaran-ajaran sesat
yang menjanjikan dengan cepat solusi atas persoalan tersebut. Atau malah
mengambil bagian dari gerakan perlawanan sosial – sebagai bentuk reaksi – terhadap
keadaan yang dinilai korup (despotism, meskipun dalam tafsiran kesemestaan dirinya
sendiri), dimana kekerasan adalah salah satu manifestasi dari semangat pembebasan
tersebut.
Kondisi ketiga adalah ketika masyarakat tidak mampu lagi menghadapi
kenyataan hidup yang serba sulit. Menurut Hrair Dekmejian (Profesor Ilmu Politik
Universitas Souther California Los Angeles) dalam bukunya Islam and Revolution:
Fundamentalism in the Arab World (Syracuse University Press, 1985) mengatakan
bahwa, ada relevansi antara krisis sosial dengan kebangkitan agama. Dengan
mengambil sampel yang terjadi di dunia Islam (selama 14 abad) memperlihatkan
9
bahwa, Islam telah menunjukkan kapasitasnya yang unik untuk memperbarui dan
mereformulasi dirinya melalui suatu sistem yang ia sebut self-regenerating social
mechanism (mekanisme sosial regenerasi diri). Mekanisme ini berfungsi merespon
suasana dimana ideologi-ideologi dan kekuatan-kekuatan sosial sedang bertempur
satu sama lain. Mekanisme tersebut berfungsi “secara otomatis” pada saat integritas
moral atau eksistensi umat sedang terancam. Dekmejian berupaya membuktikan
tesisnya bahwa, siklus dinamika krisis dan kebangkitan ini terimplementasikan pada
hampir sepanjang sejarah Islam. Reaksi kebangkitan dalam sejarah dunia Islam
beragam, mulai dari gerakan radikal (revivalis) hingga gerakan neo-moderen
(liberalis). Jika analisa Dekmejian ini kita pakai, ketika krisis yang terjadi (baik
dalam konteks sosial, ekonomi dan politik) terus menerus terjadi tanpa ada
penyelesaian, lambat laun ia akan membentuk siklus dinamika krisis, dalam kondisi
seperti ini maka akan muncul beragam reaksi (kebangkitan), mulai dari gerakan yang
”diam” (seperti ajaran-ajaran agama yang menyimpang), tapi ada juga yang memilih
gerakan yang sifatnya ”ramai” (dengan cara kekerasan). Krisis sosial (kemiskinan,
kebodohan, prostitusi, perjudian dsb), krisis ekonomi (kenaikan harga BBM,
kesulitan mencari lapangan kerja dan rasa hopeless), krisis politik (runtuhnya
kepercayaan terhadap pemimpin dan elit politik).
Sebagaimana yang telah diuraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aliran sesat
di Indonesia disebabkan beberapa faktor, antara lain:
1. Kurang efektifnya dakwah atau lemahnya pembinaan umat beragama secara
internal
10
2. Adanya pihak eksternal yang memicu, sebagaimana tercantum dalam
Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 109 dan 120
“Banyak di antara ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat
mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena
rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka
maafkanlah dan berlapang dada-lah, sampai Allah memberikan perintah-Nya.
Sungguh Allah Maha kuasa ata ssegala sesuatu” (QS.AlBaqarah:109)
“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidakakan rela kepadamu
(Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah,
‘Sesungguh nya petunjuk Allah itu petunjuk (yang sebenarnya)’. Dan jika
engkau mengikuti keinginan mereka setelah itu (kebenamn) sampai
kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah” (QS.
Al Baqarah:120).
Dan di Indonesia sendiri adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim
terbesar di dunia. Dan dalam diri mereka (orang-orang yang ingin
menghancurkan Islam) adanya suatu kekhawatiran bahwa peradaban Islam
diprediksi akan kembali berjaya seperti dimasa Dinasti Abbasiyah (750 – 1258
M). Oleh karena itu , mereka menghancurkan akidah umat Islam agar umat
Islam terpecah belah dan tidak Berjaya kembali.
3. Pengaruh globalisasi dan informasi yang membawa paham-paham yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
11
4. Rasa frustasi umat akibat kondisi keterpurukan ekonomi yang lemah sehingga
membuat seseorang kurang mendalami ajaran agamanya dan dapat dikatakan
bahwa “kefakiran itu menyebabkan kekafiran”.
Dari fenomena kehidupan ini, bangsa Indonesia mengalami kehebohan yang
luar biasa. Paham atau aliran menyimpang (sesat) merebak dimana-mana. PBNU
mencatat, sejak tahun 2001 hingga 2008 sedikitnya ada sekitar 250 paham atau aliran
yang menyimpang berkembang di Indonesia. Mulai dari aliran kerajaan Lia Eden,
pemimpin agama “Salamullah” yang mengaku dirinya sebagai perwakilan Jibril,
pengikut “al-Qiyadah” yang mengimani Ahmad Musaddeq sebagai Rasulnya,
“Ahmadiyah” yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa- al-Masih, “Darul
Arqam”, pemimpinnya mengaku bertemu dengan Nabi, komunitas yang menjalankan
shalat dengan dua bahasa dan beberapa aliran lainnya. Ciri-ciri dari kesesatan atau
aliran sesat yang berkembang di Indonesia, dikemukakan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang mengeluarkan maklumat tentang 10 ciri aliran sesat, yaitu:
1. Mengingkari rukun iman (Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci,
Rasul, Hari Akhir, Qadha dan Qadar) dan mengingkari rukun Islam
balikan Hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu”. (HR. Muslim)
Terakhir, penulis menasehati diri sendiri dan kaum muslimin sekalian agar
membudayakan sikap saling menasehati dalam kebaikan. Karena Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat” (HR.Bukhari dan
Muslim). Maka tulisan ini adalah bentuk nasehat di balik sebuah harapan besar agar
kaum muslimin sekalian terhindar dari jalan-jalan kesesatan dan bersatu di jalan
kebenaran. Sehingga jika pembaca menemukan ciri-ciri aliran sesat sebagaimana
telah disebutkan, kewajiban pertama adalah menasehati. Bukan menyesat-nyesatkan,
mencaci-maki, melakukan aksi anarkis apalagi memvonis kafir. Sebab, terjerumus
dalam jalan kesesatan belum tentu kafir. Dan juga kami mengharap melalui masukan
dari rekan-rekan sekalian. Wa Allah A’alam bi shawab.
DAFTAR PUSTAKA
20
Majelis Ulama Indonesia (MUI), ”10 (Sepuluh) Kriteria Aliran Sesat”, 9 November 2007. Diakses dari http://www.media-islam.or.id/2007/11/09/mui-sepuluh-kriteria-aliran-sesat.
Martin van Bruinessen, "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social and cultural background"), dalam Ulumul Qur'an vol. III no. 1, 1992, 16-27. Diakses dari http://igitur-archive.library.uu.nl/let/2007-0313-203322/bruinessen_92_gerakan_sempalan.pdf
Yahdillah, “Aliran Sesat Dalam Perspektif Psiklogi”, 20 Juli 2008. Diakses dari http://www.ilmupsikologi.com/?p=51
Eka Hendry Ar., “Memahami Aliran Sesat di Indonesia: Tinjauan Sosiologi”, 22 April 2009. Diakses dari http://caireu-mediasipontianak.com/main.php?op=informasi&sub-informasi=1&mode=detail&id=23&lang=id
An-Natijah, “Timbulnya Aliran Sesat”, 29 Juli 2008. Diakses dari http://mimbarjumat.com/archives/104
Yulian Purnama, “Aliran Sesat, Kenali dan Hindari”, 12 Maret 2009 (“Buletin At-Tauhid). Diakses dari http://buletin.muslim.or.id/manhaj/aliran-sesat-jauhi-dan-hindari
Moh. Yasin, “Pseudo-Mujtahid dan Menjamurnya Aliran Sesat”, 28 Agustus 2008, Di akses dari http://muhammad-yasin.blogspot.com/2008/08/pseudo-mujtahid-dan-menjamurnya-aliran.html. Dan dimuat di Koran Suara Karya, Edisi 29 Agustus 2009