BAB IPENDAHULUAN
A. Latar belakang
Inkompatibilitas ABO merupakan suatu keadaan akibat reaksi
ikatan antara antibodi dalam plasma darah dengan antigen pada sel
darah merah. Keadaan ini dapat dijumpai pada kesalahan memberikan
tranfusi darah dari donor ke penerima dan ketidaksesuaian golongan
darah ibu dan janinnya pada waktu kehamilan. Inkompatibilitas ABO
dalam kasus kesalahan memberikan tranfusi darah dapat mengakibatkan
reaksi tranfusi letal (lethal tranfusion reaction), sehingga
membutuhkan penanganan dengan cepat dan tepat. Kasus
inkompatibilitas pada kesalahan tranfusi sangat jarang ditemukan
pada era kesehatan modern seperti sekarang. Pengidentifikasian
golongan darah donor dan penerima (crossmatch test) sudah memadai,
selain itu tuntutan sikap untuk disiplin dan berhati-hati dalam
memberikan pelayanan kesehatan oleh praktisi kesehatan
menghindarkan dari kelalaian dalam pemberian tranfusi darah yang
tidak sesuai dengan resipien.Inkompatibilitas ABO dalam kehamilan
adalah suatu keadaan dimana umur sel darah merah janin atau
neonatus yang memendek akibat antibodi ibunya. Inkompatibilitas ABO
lebih sering ditemukan pada bayi golongan darah A atau B dan ibu
golongan darah O. Angka kejadian dalam kasus ini lebih bermakna
dibandingkan dengan kehamilan inkompatibel pada ibu golongan darah
A atau B. Kehamilan inkompatibilitas ibu golongan darah O dengan
janin golongan darah A atau B ditemukan sekitar 15-40% dari seluruh
kehamilan.Inkompatibilitas ABO dalam keadaan ini dapat menyebabkan
bayi kuning (ikterus) dan kadar bilirubin meningkat, jika ikterus
pada bayi tidak mendapatkan penanggulangan yang baik akan berakibat
kernikterus (penimbunan bilirubin di sel-sel otak), yang berdampak
keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral (cerebral palsy), tuli,
dan bahkan kematian.Inkompatibilitas ABO didapatkan Sekitar 20%-30%
pada penderita ikterus neonatal dari berbagai ras. Sejumlah
penelitian menemukan bahwa resiko kejadian PHN (Penyakit Hemolitik
Neonatal) ABO lebih tinggi pada ras kulit berwarna dibandingkan
dengan ras kulit putih. Di Afrika Selatan ditemukan 47% dari
penderita ikterus neonatal disebabkan oleh inkompatibilitas ABO.
Dalam masyarakat Indonesia, kelompok golongan darah O merupakan
persentase tertinggi dibandingkan kelompok golongan darah lainnya
yaitu 40,8%, diikuti golongan A, B kemudian. AB. Di Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSUPN CM),
59,2% ibu bergolongan darah O melahirkan bayi golongan darah A atau
B.mInkompatibilitas ABO sering ditemukan pada kasus ikterus
neonatal, meskipun bermanifestasi ringan sampai sedang jika tidak
ditangani dengan segera dapat berakibat buruk bagi kesehatan bayi.
pemahaman yang baik mengenai jenis inkompatibilitas beserta gejala
klinis yang muncul, dapat sangat membantu praktisi kesehatan untuk
dapat membedakan jenis inkompatibilitas yang dihadapi sehingga
dapat pula menentukan jenis terapi yang tepat-guna bagi janin. Oleh
sebab itu, inkompatibilitas ABO perlu untuk dipelajari dan
dicermati dengan baik.B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar inkompatibilitas ABO
serta melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan
inkompatibilitas ABO
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui struktur anatomi dan fisiologi sel darah
manusia
b. Mengetahui sistem penggolongan darah manusia
c. Mengetahui pengertian inkompatibilitas ABO.
d. Mengetahui penyebab inkompatibilitas ABO.
e. Mengetahui manifestasi klinis inkompatibilitas ABO.
f. Mengetahui patofisiologi inkompatibilitas ABO
g. Mengetahui prognosis dan komplikasi pada inkompatibitas
ABO
h. Mengetahui pemeriksaan diagnostik inkompatibilitas ABO
i. Mengetahui penatalaksanaan pada inkompatibilitas ABO
j. Membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan
inkompatibilitas ABO
BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Anatomi Fisiologi
1. Komponen darah manusiaVolume darah manusia sekitar 6-8% (5
liter) dari total berat badan. Komponen penyusun darah terdiri dari
sel darah dan plasma darah. Sel darah merupakan 45% penyusun
komponen darah. Sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit),
sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Semua sel
darah tersebut terendam dalam larutan kompleks yang disebut plasma
darah. Kandungan plasma sebesar 55% dari komponen penyusun darah,
dan sisanya 1% merupakan sel darah putih dan keping darah.Gambar 1.
Komponen penyusun darah
a. Sel darah merah
Eritrosit merupakan bagian utama dari sel darah. Setiap
milliliter darah mengandung rata-rata sekitar 5 miliar eritrosit
(sel darah merah), yang secara klinis sering dilaporkan dalam
hitung terdapat 5 juta per millimeter kubik (mm3). Eritrosit
berbentuk lempeng bikonkaf,yang merupakan sel gepeng berbentuk
piringan yang dibagian tengah dikedua sisinya mencekung,seperti
sebuah donat dengan bagian tengah mengepeng bukan berlubang dengan
diameter 8m, tepi luar tebalnya 2m dan bagian tengah 1m.Gambar 2.
Penampang eritrosit
Sel darah merah memiliki struktur yang jauh lebih sederhana
dibandingkan kebanyakan sel pada manusia. Pada hakikatnya, sel
darah merah merupakan suatu membran yang membungkus larutan
hemoglobin (protein ini membentuk sekitar 95% protein intrasel sel
darah merah), dan tidak memiliki organel sel, misalnya mitokondria,
lisosom atau aparatus Golgi. Sel darah manusia, seperti sebagian
sel darah merah pada hewan, tidak berinti. Namun, sel darah merah
tidak inert secara metabolis. Melalui proses glikolisis, sel darah
merah membentuk ATP yang berperan penting dalam proses untuk
mempertahankan bentuknya yang bikonkaf dan juga dalam pengaturan
transpor ion (mis. oleh Na+-K+ ATPase dan protein penukar anion
serta pengaturan air keluar-masuk sel. Bentuk bikonkaf ini
meningkatkan rasio permukaan-terhadap-volume sel darah merah
sehingga mempermudah pertukaran gas. Sel darah merah mengandung
komponen sitoskeletal yang berperan penting dalam menentukan
bentuknya.b. Sel darah putihJumlah sel darah putih sekitar 5-10
ribu dalam setiap mikrometerdarah manusia. Fungsi utamanya adalah
melawan infeksi. Selain itu jg berfungsi untuk mencerna zat seperti
sel yang sudah mati, sisa jaringan dan eritrosit yg sudah tua. Sel
darah putih juga berfungsi sebagai proteksi terhadap benda asing yg
masuk ke aliran darah, seperti alergen dan proteksi melawan sel-sel
yg bermutasi, seperti kanker. Sel darah putih bersifat diapedesis,
dapat dengan mudah keluar-masuk jaringan dan pembuluh darah.Gambar
3. Sel darah putih
c. Keping darahMerupakan bagian terkecil dari sel darah, dengan
diameter 1-4 mikrometer. Trombosit mempunyai peranan penting dalam
proses pembekuan darah. Volume normal dari trombosit berkisar
150-450 ribu mikroliter.Gambar 4. Platelets
d. Plasma darahPlasma merupakan cairan yg relatif jernih, cairan
berwarna kekuningan, yg mengandung gula, lemak, protein, dan
larutan garam yg berfungsi membawa sel darah merah, lekosit,
trombosit dan bahan kimia lain. Kandungan plasma darah sebagian
besar (90-95%) adalah air, dan sisanya merupakan substansi albumin,
globulin dan fibrinogen, dan zat metabolik lainnya.Gambar 5. Plasma
darah
2. Pembentukan sel Darah Merah
Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam
kantong kuning (yolk sac) saat embrio pada minggu-minggu pertama.
Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoisis. Setelah beberapa
bulan kemudian, eritrosit terbentuk di dalam hati, limfa, dan
kelenjar sumsum tulang. Produksi eritrosit ini dirangsang oleh
hormon eritropoietin. Setelah dewasa eritrosit dibentuk di sumsum
tulang membranosa. Semakin bertambah usia seseorang, maka
produktivitas sumsum tulang semakin turun.
Sel pembentuk eritrosit adalah hemositoblas yaitu sel batang
myeloid yang terdapat di sumsum tulang. Sel ini akan membentuk
berbagai jenis leukosit, eritrosit, megakariosit (pembentuk keping
darah). Rata-rata umur sel darah merah kurang lebih 120 hari.
Sel-sel darah merah menjadi rusak dan dihancurkan dalam sistem
retikulum endotelium terutama dalam limfa dan hati.Hemoglobin
dipecah menjadi asam amino (globin) untuk digunakan sebagai protein
dalam jaringan-jaringan dan zat besi dalam hem dari hemoglobin
dikeluarkan untuk dibuang dalam pembentukan sel darah merah lagi.
Sisa hem dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin (warna kuning
empedu) dan biliverdin, yaitu yang berwarna kehijau-hijauan yang
dapat dilihat pada perubahan warna hemoglobin yang rusak pada luka
memar.
Gambar 6. Pembentukan sel darah
3. Penghancuran sel darah merahPenghancuran sel darah merah
terjadi dalam sistem retikuloendotelial yaitu dalam hati dan limpa.
Hemoglobin bebas dipecah menjadi heme (persenyawaan
Fe-protoporfirin) dan globin. Persenyawaan Fe-protoporfirin
kemudian menjadi hematin. Rantai porfirin dipecah oleh suatu
oksidasi pada jembatan a-metan, Fe tetap terikat pada persenyawaan
ikatan globin pun tetep tidak terputus. Persenyawaan tersebut
dinamakan verdo-hemoglobin. Kemudian Fe dan globin lepas dan
terbentuk biliverdin. Biliverdin selanjutnya akan menjadi
bilirubin. Fe yang dilepaskan itu diikat oleh protein dalam
jaringan dan melalui plasma diangkut ke sumsum tulang untuk
dipergunakan pada pembentukan heme, sedangkan globin yang
dilepaskan akan dipecah menjadi asam amino lagi yang kemudia
disintesis menjadi protein.Bilirubin yang dibentuk (tidak larut
dalam air) diikat oleh albumin dan diangkut dalam plasma dari
tempat penghancuran ke hati. Dalam hati bilirubin ini bersenyawa
dengan asam glukoronat dengan bantuan enzim glukoronil transverase.
Persenyawaan ini larut dalam air dan menyebabkan reaksi Hijmans van
den Bergh positif. Bilirubin yang belum bersenyawa dengan asam
glukoronat akan bereaksi indirek dengan reagensia Hijmans van den
Bergh. Persenyawaan bilirubin-glukoronid ini akan keluar dari hati
dan masuk ke dalam saluran pencernaan. Oleh bakteri yang ada pada
usus, persenyawaan ini akan diubah menjadi urobilin yang akan
dikeluarkan bersama-sama tinja dalam bentuk sterkobilin. Sebagian
urobilinogen yang terdapat dalam usus akan diserap kembali melalui
plasma, sebagian kembali ke hati dan sebagian lagi dikeluarkan
melalui ginjal.
Gambar 7. Destruksi eritrosit
4. Golongan Darah ManusiaManusia memiliki Alel ganda pada
golongan darah ABO dan Rh. Dalam golongan darah sistem ABO,
penggolongan darah pada manusia dipengaruhi oleh alel IO, IA, dan
IB. Sifat alel golongan darah manusia memiliki ketentuan sebagai
berikut:
a. Sifat alel IO resesif terhadap IA dan IB,
b. IA dan IB saling kodominan dan tidak saling mengalahkan. c.
Interaksi ketiga alel tersebut menghasilkan 4 variasi fenotip
golongan darah, yaitu A, B, AB dan O. Atas dasar sifat dari alel
tersebut, didapatkan karakteristik sebagai berikut:
a. Orang dengan alel IA dapat membentuk aglutinogen atau antigen
yang disebut antigen-A pada permukaan eritrosit dan membentuk
antibodi atau aglutinin atau anti-B dalam serum atau plasma darah.
b. Orang dengan alel IB dapat membentuk antigen-B dalam eritrosit,
dan zat anti-A dalam serum darah. c. Golongan darah AB memiliki
antigen-A dan antigen-Bd. Golongan darah O tidak memiliki
antigenGambar 8. Karakteristik golongan darah ABO:
Gambar 9. Klasifikasi golongan darah ABO:
B. Konsep Inkompatibilitas ABO
1. Definisi inkompatibilitas ABOInkompatibilitas grup darah
(ABO) merupakan suatu mekanisme yang melibatkan ikatan antara
antibodi plasma darah dengan antigen pada permukaan (membran) sel
darah merah (eritrosit). Reaksi antara antigen-antibodi ini
menimbulkan reaksi penggumpalan darah (aglutinasi) (Joyce Poole,
2001).Keadaan inkompatibilitas ABO dapat dialami oleh seorang yang
mendapatkan tranfusi darah dan antara ibu dan janinnya selama
periode kehamilan. Inkompatibilitas ABO merupakan suatu kondisi
sebagai akibat dari ketidaksesuaian golongan darah antara ibu dan
janin yang dikandungnya (Ann Longsdon, 2012). Inkompatibilitas ABO
dalam kehamilan adalah suatu keadaan dimana umur sel darah merah
janin atau neonatus yang memendek akibat antibodi ibunya2. Etiologi
inkompatibilitas ABO2.1 Pada tranfusi darah
Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan karena
ketidaksesuaian golongan darah antara penerima dan pendonor.
Ketidaksesuaian ini mengakibatkan adanya reaksi penghancuran pada
sel darah merah donor oleh antibodi penerima. Keadaan ini disebut
lethal tranfusion reaction.
Keadaan ini terjadi karena kurang hati-hati dan teliti dalam
memberikan transfusi darah pada:
1) Golongan A, B, atau AB kepada penerima yang bergolongan darah
O
2) Golongan darah A atau AB kepada penerima yang bergolongan
darah B
3) Golongan darah B atau AB kepada penerima yang bergolongan
darah A.
2.2 Pada kehamilan
Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh
ketidakcocokan dari golongan darah ibu dengan golongan darah janin,
dimana umumnya ibu bergolongan darah O dan janinnya bergolongan
darah A, atau B, atau AB. Dikarenakan dalam kelompok golongan darah
O, terdapat antibodi anti-A dan anti-B (IgG) yang muncul secara
natural, dan dapat melewati sawar plasenta. Situasi ini dapat juga
disebabkan oleh karena robekan pada membran plasenta yang
memisahkan darah maternal dengan darah fetal, sama halnya seperti
pada previa plasenta, abruptio placenta, trauma, dan
amniosentesis.3. Manifestasi klinis inkompatibilitas ABO
3.1 Pada tranfusi darah Awal manifestasi klinis umumnya tidak
spesifik, dapat berupa demam menggigil, nyeri kepala, nyeri pada
panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin berwarna
kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria). Pada reaksi hemolitik akut
yang terjadi di intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat
berupa disseminated intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal
akut (GGA), dan syok. Pada reaksi hemolitik tipe lambat memunculkan
gejala dan tanda klinis reaksi timbul 3 sampai 21 hari setelah
transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan
hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus
prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi.
Beberapa kasus reaksi hemolitik tipe lambat tidak memperlihatkan
gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang
positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria
dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang
terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, reaksi
ini akan memperburuk kondisi penyakit3.2 Pada kehamilan
Manifestasi yang ditimbulkan inkompatibilitas ABO pada kehamilan
terhadap janin bervariasi mulai dari ikterus ringan dan anemia
sampai hidrops fetalis.
Manifestasi yang muncul pada bayi setelah persalinan
meliputi:
1) Asfiksia
2) Pucat (oleh karena anemia)
3) Distres pernafasan
4) Jaundice
5) Hipoglikemia
6) Hipertensi pulmonal
7) Edema (hydrops, berhubungan dengan serum albumin yang
rendah)
8) Koagulopati (penurunan platelets dan faktor pembekuan
darah)
9) Kern ikterus (oleh karena hiperbilirubinemia)Inkompatibilitas
ABO ialah penyebab tersering dari kasus hemolitik pada neonatus.
Sekitar 15% dari bayi yang lahir berisiko untuk mengalami hal ini,
namun manifestasi nyata hanya terjadi pada sekitar 0,3-2,2%.
Inkompatibilitas ABO terjadi jika ibu hamil dengan golongan darah
tipe O dan janin yang dikandungnya memiliki golongan darah A atau
B. Keadaan ini diperkirakan kurang dari limabelas persen (15%)
kehamilan, dan kejadian hemolitik pada kasus ini tidak lebih dari
tiga persen (3%). Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO yang
parah hanya mencapai satu persen (1%) dari seribu kehamilan.
Inkompatibilitas pada kelompok golongan darah mayor di antara
ibu dan fetus umumnya akan berakhir pada kasus yang lebih ringan
dibandingkan pada kasus inkompatibilitas Rh. Penyakit ini sering
tidak parah jika dibandingkan dengan inkompatibilitas Rh, ditandai
anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia neonatus ringan
sampai sedang serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi
tukar. Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan
suatu penyebab hemolisis. Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita
oleh anak pertama (40%), dan anak-anak berikutnya makin lama makin
baik keadaannya. Pada beberapa kasus, penyakit hemolitik ABO tampak
hiperbilirubinemia ringan sampai sedang selama 24-48 jam pertama
kehidupannya. Hal ini jarang muncul dengan anemia yang signifikan.
Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan kernikterus terutama
pada neonatus preterm.Gambar 10. Hydrops fetalis dan ikterus
4. Patofisiologi inkompatibilitas ABO
Patofisiologi yang dapat menjelaskan timbulnya reaksi hemolitik
pada inkompatibilas ABO akibat kesalahan transfusi adalah antibodi
dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang
inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit
(10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin
banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin
meningkatkan risiko.Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam
pembuluh darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi
hipersensitivitas tipe II. Reaksi hemolitik akut akibat transfusi
merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan
antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A,
anti-B, atau terkadang antirhesus. Proses hemolitik dibantu oleh
reaksi komplemen sampai terbentuknya C5b6789 (membrane attack
complex). Reaksi komplemen ini terjadi di dalam intravaskuler dan
merupakan reaksi hemolisis tipe akut. Pada beberapa kasus juga
dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dan eritrosit
resipien sebagai antigen (minor incompatability). Malah dapat
terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dengan eritrosit
donor sendiri sebagai antigen (inter-donor incompatability) pada
saat diberikan kepada resipien, tetapi kasus seperti ini jarang.
Reaksi hemolitik pada tranfusi tipe lambat diawali dengan reaksi
antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses
hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang
mengandung eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang
berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya
eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh
makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1
atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi
tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dandihancurkan di
limpa.Gambar 11. Reaksi antigen-antibodi pada lethal blood
tranfusion
Sedangkan patofisiologi yang dapat menjelaskan timbulnya
penyakit inkompabilitas ABO pada kehamilan terjadi ketika sistem
imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin
yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam
beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang
dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki
antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan
distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG
tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam
peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan
diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi
aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia
(reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh
tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah
merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas
(yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran
hati dan limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar
dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai
komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya
untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat
memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada
permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang
penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen
eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika
terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya
terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi
janin.
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi
maternal sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di
luar kandungan, amniosentesis. Penghancuran sel-sel darah merah
dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan
tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk
dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat
mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada
suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya
penumpukan bilirubin yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia,
yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat berkembang
menjadi kernikterus. Gejala lain yang mungkin hadir adalah
peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula darah, dimana
keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis
ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang
memberikan gambaran membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini
menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang
maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut
untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru.
Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan masalah jantung.Gambar
12. Mekanisme inkompatibilitas ABO pada kehamilan
5. Prognosis dan komplikasi pada inkompatibilitas ABO
5.1 Inkompatibilitas ABO pada reaksi transfusi
Dalam kasus ini penderita dapat mengalami masalah yang serius
hingga kematian. Penatalaksanaan yang tepat dapat menyelamatkan
jiwa penderita. Komplikasi yang mungkin muncul pada
inkompatibilitas ABO sebagai akibat reaksi tranfusi adalah gagal
ginjal, syok anafilaktik, dan kematian5.2 Inkompatibilitas ABO pada
kehamilan
Secara keseluruhan, angka survival dapat mencapai 85-90%, namun
dapat berkurang sebanyak 15% pada janin dengan hidrops fetus.
Kebanyakan janin yang bertahan hidup dari gestasi allo-imunisasi,
tetap memiliki keutuhan fungsi neurologis. Walau begitu,
abnormalitas neurologis telah dilaporkan berkaitan dengan derajat
beratnya anemia dan asfiksia perinatal. Risiko tuli sensori-neural
juga dapat meningkat.
Pada dasarnya prognosis inkompatibilitas ABO pada kehamilan
adalah baik, karena hemolisis pada neonatus pada umumnya
berlangsung singkat dan jarang menjadi hydrops fetalis. Hal ini
disebabkan oleh:1) IgG anti-A (atau anti-B) yang memasuki sirkulasi
fetus dari ibu yang mempunyai antigen A (atau antigen B) atau ibu
dengan golongan darah O sangat sedikit yang berikatan dengan sel
darah merah fetus2) Surface antigen A (atau antigen B) sel darah
merah fetus belum berkembang dengan sempurna pada masa kehamilan,
sehingga hanya sedikit (dalam jumlah kecil) reaksi antigen-antibodi
yang terjadi.Komplikasi yang mungkin terjadi pada inkompatibilitas
ABO pada kehamilan adalah kern ikterus, gagal jantung oleh karena
anemia berat, hydrops fetalis (jarang terjadi). 6. Pemeriksaan
diagnostik inkompatibilitas ABO
6.1. Pemeriksaan diagnostik pada inkompatibilitas ABO reaksi
tranfusia. Pemeriksaan crossmatch ulang antara darah pendonor dan
penerimab. Direct Antiglobulin Test (DAT)c. Pemeriksaan serologis
rhesusd. Urinalisis didapatkan adanya hemoglobinuriae. Pemeriksaan
lain untuk mengetahui komplikasi dari reaksi hemolitik, antara
lain: Renal function test LDH, bilirubin dan haptoglobin Status
koagulasi (prothrombin time, partial thromboplastin time, dan
fibrinogen).6.2. Pemeriksaan diagnostik pada inkompatibilitas ABO
pada kehamilana. Hitung sel darah merahPengukuran status anemia
akan lebih akurat menggunakan darah vena sentral atau arteri
dibandingkan dengan menggunakan darah kapiler. Pemeriksaan darah
akan memberikan gambaran sel darah merah yang ternukleasi,
retikulositosis, polikromasia, anisositosis, sferosit, dan
fragmentasi sel. Hitung retikulosit dapat mencapai 40% pada pasien
tanpa intervensi intrauterine. Hitung sel darah merah yang
ternukleasi meningkat disertai peningkatan palsu leukosit,
menunjukkan keadaan eritropoiesis. Sferosit lebih umum ditemukan
pada kasus inkompatibilitas ABO melalui pemeriksaan gambaran darah
tepi.Retikulosit merupakan sel darah merah imatur. Jika terjadi
anemia, sumsum tulang berusaha mengkompensasi dengan meningkatkan
aktivitas eritropoiesis, yang tercermin pada peningkatan hitung
retikulosit. Jika produksisu msum tulang terganggu maka hitung
retikulosit akan tetap rendah.Gambar 13. Nilai normal hemoglobin,
hematokrit dan retikulosit pada neonatus
b. Direct Coomb Test (DCT)
Untuk mengetahui apakah sel darah merah diselubungi oleh IgG
atau komplemen, artinya apakah ada proses sensitisasi pada sel
darah merah di invivo (pada tubuh pasien).
Bahan yang dipergunakan : sel darah merah pasien
Sampel yang diperlukan : darah dengan antikoagulan EDTA
Gambar 14. DCT negatif
Gambar 15. DCT positif
c. Pemeriksaan bilirubin serum
Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin mencapai >5 mg/dl.
Kadarbilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15 mg/dl,
namun jika masih 15mg/dl.
7. Penatalaksanaan pada inkompatibilitas ABO
7.1 Pada inkompatibilitas ABO reaksi tranfusi
a. Pemberian tranfusi harus diberhentikanb. Pemberian cairan
intravena
Dilakukan hidrasi dengan PZ (3000ml/m2/hari)c. Untuk pencegahan
GGA: Dapat diberikan dopamin dosis rendah 1-5 mcg/kg/menit Diuretik
osmotik: manitol (100 ml/kg/hari), selanjutnya diberikan
30ml/kg/hari atau furosemid 1-2ml/kgBBd. Jika dijumpai tanda DIC,
pertimbangkan untuk dilakukan tranfusi FFP, kriopresipitat, dan/
atau trombosit.7.2 Pada inkompatibilitas ABO masa kehamilan
1) Farmakologi
a. Pemberian antihistamin
b. Pemberian steroids
c. Cairan intravena2) Non farmakologi
a. Fototerapi
Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa
fotoreaksi apabila terpajan ke sinar dalam rentang cahaya tampak,
terutama sinar biru (panjang gelombang 420 nm - 470 nm) dan hal ini
akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan bilirubin yang
dibentuk oleh sinar bersifat polar oleh karena itu akan larut dalam
air dan akan lebih mudah `diekskresikan melalui urine. Bilirubin
dalam jumlah yang sangat kecil juga akan dipecah oleh oksigen yang
sangat reaktif secara irreversibel yang diaktifkan oleh sinar.
Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut diekskresikan melalui urine
dan empedu. Fototerapi kurang efektif diterapkan pada bayi dengan
penyakit hemolitik, tetapi mungkin dapat berguna untuk mengurangi
laju akumulasi pigmen setelah melakukan transfusi tukar.Beberapa
hal yang perlu diperhatikan selama berlangsung terapi sinar ini
ialah:
a) Diusahakan agar tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin,
bila perlu bukalah pakaian bayi
b) Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang memantulkan
cahaya untuk melingungi sel-sel retina dan mencegah gangguan
maturasi seksual
c) Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah
jarak terbaik untuk mendapat energi cahaya yang optimal
d) Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar
sinar
e) Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali
f) Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya
sekali dalam 24 jam
g) Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi
cairan bayih) Lama terapi sinar dicatat
b. Transfusi darah
Transfusi eritrosit dengan packed red cells (PRC) yang sudah
diuji crossmatch merupakan terapi paling umum untuk anemia berat
pada neonatus. Mengingat risikonya, baik infeksi maupun
non-infeksi, perlunya transfusi darah sering diperdebatkan. Berikut
kriteria tranfusi untuk neonatus:
Gambar 16. Tabel kriteria tranfusi neonatus
c. Suplementasi zat giziDefisiensi zat besi pada periode
neonatal disebabkan oleh proses kehilangan darah kronis atau
deplesi cepat cadangan zat besiyang jumlahnya terbatas. Defisiensi
zat besi terjadi lebih berat pada bayi prematur yang pertumbuhannya
lebih cepat dan cadangan zat besinya minimal. Oleh karena itu
suplementasi zat besi sering diperlukan untuk mendukung proses
eritropoiesis yang efektif. Terapi utama adalah mengatasi penyebab
deplesi zat besi (misalnya kehilangan darah akut atau kronis,
masalah absorbsi) dan
memberikan suplementasi dengan zat besi elemental 6
mg/kgBB/hari.d. Tranfusi tukar
Transfusi tukar bertujuan untuk membersihkan antibodi yang ada
di sirkulasi atau karena tingginya kadar bilirubin akibat proses
hemolisis. Pada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi
sebagai berikut:a) Anemia hemolitik isoimun berat dengan eritrosit
tersensitisasi dan isoantibodi dalam sirkulasib) Anemia hemolitik
kronis atau anemiahemoragik dengan peningkatan tekananvena
sentralc) Koagulopati konsumtifd) Pada semua keadaan dengan kadar
bilirubin indirek < 20 mg%
e) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1
mg%/jam
f) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal
jantung
g) Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat 3dtk15. Genitalia :
perempuan, labia mayora hampir tertutupRefleks rooting : (+)
Refleks sucking : (+)
Refleks Moro : (+) 13
Refleks tonic neck : (+)
Refleks grasp : plantar +/+, palmar +/+III. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Tanggal Pemeriksaan Hasil
25 Maret 2010Hb
Ht
Leukosit
Trombosit11,9 gr/dL
36 vol %
8.300/ul
201.000/ul
25 Maret 2010Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
Gol.darah
GDS
Na
K
Cl
Ureum darah
Creatinine darah
CRP
Foto toraks15,8 gr/dL
50 vol%
20.000/ul
334.000/ul
A/+
56 mg/dL
137 mEq/L
6,1 mEq/L
104 mEq/L
34 mg/dL
1,14 mg/dL
(-)
Kesan :
Pulmo: DD/TTN
Awal HMD
Cor : besar dan bentuk
dalam batas normal
25 Maret 2010Bilirubin total
Bilirubin indirek
Bilirubin direk24,7 mg/dL
23,9 mg/dL
0,8 mg/dL
IV. RESUME
Pasien lahir pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 17.15 WIB dengan
cara sectio caesaria atas indikasi partus lama. Pasien terlihat
ikterik di seluruh tubuh. BB 2200 gr, PB 46 cm, H-36 minggu,
ketuban pecah dini 15,5 jam, warna jernih. Pasien tidak memiliki
kelainan bawaan, anus (+). APGAR Score 8/9. Minum ASI habis 70 cc.
Mekoneum (+), BAK (+).Pada 25 Maret 2010 pukul 11.15 WIB pasien
terlihat sesak nafas, merintih, nafas cuping hidung (+), sianosis
(+). Oleh karena itu pasien dipindahkan ke ruang rawat perinatologi
RSUP Fatmawati. Pasien mengalami sesak nafas. Perdarahan (-), pucat
(-), muntah (-), kejang (-), demam (-), refleks hisap baik, minum
habis 7 x 4 cc, tonus otot baik, BAB dan BAK normal. Selama hamil
ibu pasien mengeluh tidak nafsu makan, berat badan hanya naik 5 kg.
Riwayat sakit, minum obat dan jamu selama hamil disangkal ibu.
Golongan darah ibu adalah O, tidak tahu rhesus (+) atau (-). Pasien
merupakan anak pertama, di keluarga pasien tidak ada yang menderita
penyakit hemolitik, pembesaran hati dan limpa, dan anemia.Pada
pemeriksaan fisik tanggal 26 Maret 2010 ditemukan :
Tanda vital : HR : 120 x / menit RR : 43 x / menit Suhu : 36 C
diukur di aksila
Kulit : ikterik (+) di seluruh tubuh, pucat (-), plethora (-),
ptekie (-), hematom (-), sianosis (-).
Kepala : normocephali, cephal hematom (-), rambut halus.
Mata : SI +/+, katarak (-), ikterik pada sklera +/+Hidung :
napas cuping hidung (-).
Mulut : pucat (-).
Ekstremitas : pucat (-), ikterik +, plantar crease, CRT > 3
dtkGenitalia : perempuan, labia mayora hampir tertutupPemeriksaan
penunjang foto toraks pada 25 Maret 2010 menunjukkan gambaran
corakan bronkovaskuler kasar, tampak streaky line
minimal.Pemeriksaan laboratorium 25 Maret 2010 :
Tanggal Pemeriksaan Hasil
25 Maret 2010Bilirubin total
Bilirubin indirek
Bilirubin direk24,7 mg/dL
23,9 mg/dL
0,8 mg/dL
V. PENATALAKSANAAN
1. ASI/PASI 8x20cc2. IVFD N5 + KCl + Ca Glukonas 8,6cc/jam3.
Cefotaxim 2 x 100 mg4. Aminosteril 35 cc5. Terapi sinar6. Cek
albumin, UL, Cek ulang bilirubin serum1. Analisa DataNoData
EtiologiMasalah
1.DS:
Ibu bayi M mengatakan bahwa kulit bayinya berwarna kuning saat
lahirDO:
Ikterik pada seluruh tubuh,
Bilirubin total :24,7 mg/dL
Bilirubin indirek: 23,9 mg/dL
Bilirubin direk: 0,8 mg/dLHemolisis ekstravaskuler
Peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam darah
Hepar tidak mampu melakukan konjungasi
Sebagian masuk kembali ke siklus enterohepatik
Peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam darah
Ikterus
Gangguan integritas kulit
Integritas kulit
2. DS:
Ibu bayi M mengatakan
bahwa bayinya sesak napas
DO:
pasien terlihat sesak nafas,
merintih, nafas cuping hidung (+), CRT > 3dtkHepar tidak
mampu melakukan konjungasi
Sebagian masuk kembali ke siklus Enterohepatik
Peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam darah
Gangguan transport OksigenGangguan perfusi jaringan
Gangguan
Perfusi jaringan
3.DS:
Ibu bayi M mengungkapkan
bayinya memiliki kelainan dengan BAB berwarna putih
Ibu bayi M mengatakan bahwa kulit bayinya berwarna kuning saat
lahir
DO:
Feses pucat
Bilirubin total :24,7 mg/dL
Bilirubin indirek: 23,9 mg/dL
Bilirubin direk: 0,8 mg/dLSumber informasi tentang penyakit
inadekuat
Kurang pengetahuan tentang etiologi, proses, dan pengobatan
tentang penyakitAnsietas
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan
transport oksigen sekunder peningkatan bilirubin 2. Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan ikterus3. Ansietas berhubungan
dengan kurang pengetahuan tentang penyakitIntervensi Keperawatan1.
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan transport
oksigen sekunder peningkatan bilirubinTujuan : asupan oksigen bayi
adekuat
Kriteria hasil : dalam waktu 1x24 jam, napas normal
20-25x/menit
Mandiri - Observasi
1) Monitor bunyi paru; frekuensi napas, kedalaman, dengan
indikator dari penggunaan alat penunjang yang efektif.2) Awasi
tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan
tingkat kesadaran
Mandiri - health education
3) Jelaskan prosedur pengobatan kepada keluarga4) Jelaskan
penggunaan alat bantu pernafasan
Kolaborasi
5) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan
pemeriksaan gas darah arteri (GDA) dan penggunaan alat bantu yang
dianjurkan6) Konsultasikan kebutuhan oksigenasi klien
7) Siapkan klien untuk ventilasi atau oksigenasi mekanis bila
perlu.
Intervensi Keperawatan
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus
Tujuan : integritas kulit bayi normal
Kriteria hasil : dalam waktu 1x24 jam kadar bilirubin direk dan
indirek normal, warna
kulit normalMandiri - Observasi
1) Monitor tanda-tanda vital2) Monitor warna kulit setiap 8
jam3) Monitor kadar bilirubin direk dan indirek.4) Masase daerah
kulit yang menonjol5) Jaga kelembapan dan kebersihan
kulitKolaborasi dan Health education
6) Kolaborasi pemberian terapi sinar7) Berikan health
education8) Kolaborasi dalam pemberian pemberian:
ASI/PASI 8x20cc IVFD N5 + KCl + Ca Glukonas 8,6cc/jam
ge 19
Intervensi Keperawatan3. Ansietas berhubungan dengan feses
pucat
Tujuan : meningkatkan pengetahuan keluarga tentang proses
penyakit
Kriteria hasil : keluarga bisa menerima kondisi klien, kecemasan
keluarga menurunMandiri Health education
1) Memberikan pengetahuan tentang proses penyakit2) Berikan
kesempatan pada keluarga untuk mengungakapkan perasaan3) Bersama
keluarga memberikan perawatan personal hygiene4) Libatkan keluarga
dalam setiap tindakan keperawatan kepada pasien .
DAFTAR PUSTAKA
1) Sabiston, David C. Buku ajar bedah (sabistons essentials
surgery).alih bahasa Petrus Andrianto, Timan I.S; editor: Jonathan
Oswari. Jakarta: EGC, 19952) Wang, et.al., (2005). Hemolytic
Disease of the Newborn Caused by a High Titer Anti-Group B IgG From
a Group A Mother. Pediatric Blood & Cancer
3) Haque KM, and Rahman M. (2000). An Unusual Case of
ABO-Haemolytic Disease of the Newborn. Bangladesh Medical Research
Council 4) Mennuti, M. (2011). Management of Pregnancy with ABO
Incompatibility.The Foundation for Exxcellence in Women's Health
Care5) Stiller RJ, et.al., Fetal ascites associated with ABO
incompatibility:case report and review of the literature. Am J
Obstet Gynecol 1996. No.175(S): p.1371-1372
6) McDonnell M, et.al.( 1998 ). Hydrops fetalis due to ABO
incompatibility. Arch Dis Child Fetal neonatal Ed. 78: p. 220-2217)
Yi-Bin Chen. (2014). Leukemia/Bone Marrow Transplant Program,
Massachusetts General Hospital.
8) Joyce Poole, (2001). International Blood Group Reference
Laboratory.. ENCYCLOPEDIA OF LIFE SCIENCES & Nature Publishing
Group: Bristol, UK9) Intensive Care Nursery House Staff
Manual.2004). Hemolytic Disease of the Newborn. The Regents of the
University of California