BAB I
PENDAHULUANEtik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari
moralitas. Etik harus dibedakan dengan sains yang mempelajari
moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari
pengaturan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan
moral yang saat itu berlaku tentang issue-issue tertentu.
Etik terbagi atas etik normatif dan metaetik (etik analitik).
Pada etik normatif, para filosof mencoba menegakkan apa yang benar
dan salah secara moral dalam kaitannya dengan tindakan manusia.
Sedangkan pada metaetik, lebih memperhatikan analisis kedua konsep
moral di atas.
Pada dasarnya setiap individu memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu
kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial dan kebutuhan
kreatif-spiritual. Dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan
atau kedokteran, selain mempetimbangkan keempat kebutuhan dasar di
atas, keputusan hendaknya juga mempertimbangkan hak-hak asasi
pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan pelanggaran
pula terhadap kebutuhan pasien.
Dalam praktik kedokteran, ada yang disebut dengan 4 kaidah dasar
moral yang terdiri dari prinsip otonomi yang menghormati hak-hak
pasien, termasuk di dalamnya informed consent, lalu prinsip
beneficence yang mengutamakan tindakan bertujuan untuk kepentingan
pasien, prinsip non-malefience yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien, serta prinsip justice yang mengutamakan
keadilan dalam bersikap maupun mendistribusikan sumber daya. Kaidah
dasar moral di atas inilah yang dijadikan pedoman para dokter dalam
mengambil keputusan klinis.
BAB II
LAPORAN KASUSSeorang pasien berusia 62 tahun datang ke rumah
sakit dengan karsinoma kolon yang telah terminal. Pasien masih
cukup sadar, berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi
kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini.
Ia juga memiliki pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang
ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan bermacam-macam tampak
sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya
memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta
kepada dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi
yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU, dll),
dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju
apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang
dibutuhkan.BAB III
PEMBAHASAN
I. ASPEK HUKUM (PERMENKES No.1419/MENKES/PER/2005 tentang
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi pasal 17)
Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahlu harus memberika
penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan
dilakukan dan mendapat persetujuan pasienPasien berhak menolak
tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan
serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh
informasi yang jelas tentang penyakitnya.
Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan
bila pasien meminta untuk dihentikan pengobatan, maka terapi harus
dihentikan kecuali dengan penghentian terapi akan mengakibatkan
keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien
Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang
dokter dapat dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin
kedokteran apabila tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis,
dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya
dalam melakukan praktik kedokteran.
Peraturan Menteri Kesehatan No 585/MenKes/Per/IX/1989 tentang
persetujuan tindakan medik3
Pasal 1. Permenkes No 585/MenkKes/Per/IX/1989
(a) Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tidndakan medik yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut;
(b) Tindakan medika adalah suatu tindakan yang dilakukan
terhadap pasien berupa diagnostik atau terapeutik;
(c) Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh;
(d) Dokter adalah dokter umum/dokter spesialis dan dokter
gigi/dokter gigi spesialis yang bekerja di rumah sakit, puskesmas,
klinik atau praktek perorangan/bersama.
Pasal 2. Permenkes No 585/MenkKes/Per/IX/1989
(1) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya
(4) Cara penyampaian dan isi informasi haru disesuaikan dengan
tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien
Pasal 3. Permenkes No 585/MenkKes/Per/IX/1989
(1) Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi dengan
persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
(2) Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini tidak diperlukan persetujuan tertulis, cukup
persetujuan lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan
secara nyata-nyata atau secara diam-diam.
Pasal 4. Permenkes No 585/MenkKes/Per/IX/1989
(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada
pasien, baik diminta maupun tidak diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.
Kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat
merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak
diberikan informasi.
(3) Dalam hal hal sebagaimana dimaksud ayat (2) dokter dengan
persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada
keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat/paramedik
lainnya sebagai saksi.
Pasal 5. Permenkes No 585/MenkKes/Per/IX/1989
(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian
dari tindakan medik yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun
terapeutik.
(2) Informasi diberikan secara lisan.
Pasal 8. Permenkes No 585/MenkKes/Per/IX/1989
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam
keadaan sadar dan sehat mental
(2) Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah telah
berumur 21 tahun (duapuluh satu) tahun atau telah menikah
Pasal 9. Permenkes No 585/MenkKes/Per/IX/1989
(1) Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (cura
tele) persetujuan diberikan oleh wali/currator
(2) Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental,
persetujuan diberikan oleh orang tua/wali/curator
Pasal 12. Permenkes No 585/MenkKes/Per/IX/1989
(1) Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang
persetujuan tindakan medik.
(2) Pemberian persetujuan tindakan medik yang dilaksanakan di
rumah sakit/klinik, maka rumah sakit/klinik yang bersangkutan ikut
bertanggung jawab
Pasal 13. Permenkes No 585/MenkKes/Per/IX/1989
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya
persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya.
II. ETIKA PROFESI KEDOKTERANEtika adalah disiplin ilmu yang
mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau
perbuatan seseorang individu atau institusi yang dilihat dari
moralitas.
Terdapat 2 teori etika yang paling banyak dianut oleh orang ,
yaitu
1. Teori Deontologi , adalah mengajarkan bahwa baik-buruknya
suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I
Kant)
2. Teori teleogi, adalah mengajarkan untuk menilai tindakan
dengan melihat hasilnya atau akibatnya ( D Hume, J Bentham, JS
Mills)
Dari dua teori etika yang kita ketahui, Teori Deontologi lebih
mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya, sedangkan
Teori Teologi lebih ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran
(Justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).
Etika adalah cabang ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar
salahnya suatu sikap atau perbuatan dilihat dari moralitas. Etik
deskriptif yaitu bidang sains yang mempelajari moralitas merupakan
pengatuan empiris tentang moralitas dan menjelaskan pandangan moral
tentang isu-isu yang terjadi pada ketika itu. Etika sendiri terbagi
kepada :
Etika normatif : Penegakan terhadap apa yang benar secara moral
dan mana yang salah secara moral dalam kaitannya.
Etika metaetik: Memperlihatkan analisis dari kedua konsep moral
yang telah disebutkan.1Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa:
seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang
profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum
dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani.
Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam
menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan:
1. Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),
2. Mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan
pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Sumpah dokter yang paling banyak dikenal adalah sumpah
Hippocrates yang berisikan kewajipan-kewajipan dokter dalam
berprilaku dan bersikap atau seperti code of conduct bagi dokter.
Kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) dibuat dengan mengacu
kepada Kode Etik Kedokteran Internasional yang berunsurkan tentang
kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajipan terhadap
sesame dan kewajipan terhadap diri sendiri.
KODEKI berisikan:
KEWAJIBAN UMUMPasal 1:Setiap dokter harus menjunjung tinggi,
menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2:
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3:
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4:
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang
bersifat memuji diri.
Pasal 5:
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6:
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan
dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang
belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan
keresahan masyarakat.
Pasal 7:
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a:
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan
penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b:
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan
pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya
yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien
Pasal 7c:
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga
kepercayaan pasien
Pasal 7d:
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8:
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9:
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang
kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling
menghormati. KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIENPasal 10:
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal
ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan,
maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten
yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11:
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam
beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12:
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.
Pasal 13:
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
bersedia dan mampu memberikannya. 2 KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN
SEJAWATPasal 14:
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15:
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman
sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang
etis. KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRIPasal 16:
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat
bekerja dengan baik.
Pasal 17:
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan. Beauchamp and
Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle)
dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut
adalah :
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak
pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self
determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan
doktrin informed consent;
2. Princip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan
tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak
hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga
perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi
buruknya (mudharat);
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang
tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal
sebagai "primum non nocere" atau "above all do no harm".
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan
fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan
sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar,
jujur dan terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien),
confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity
(loyalitas dan promise keeping).1,2III.
PROSEDUR TINDAKAN MEDISPerawatan penderita tergantung pada
tingkat staging kanker itu sendiri. Terapi akan jauh lebih mudah
bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan kanker
stadium 1 dan 2 masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada
stadium yang lanjut, atau ditemukan pada stadium dini dan tidak
diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan jauh lebih sulit.
Klasifikasi menurut kanker usus besar menurut Dukes :
Stadium 1 : Kanker terjadi di dalam dinding kolon
Stadium 2 : Kanker telah menyebar hingga ke lapisan otot
kolon
Stadium 3 : Kanker telah menyebar ke kelenjar-kelenjar limfa
Stadium 4 : Kanker telah menyebar ke organ-organ lain.
Tujuan pengobatan kanker ada dua, yaitu kuratif dan paliatif.
Pengobatan kuratif merupakan upaya yang ditujukan untuk mencapai
kesembuhan penyakit kanker. Sementara pengobatan paliatif ditujukan
pada penderita kanker yang sudah tidak memungkinkan kembali
dicapainya kesembuhan.
Di antara pilihan terapi untuk penderitanya, pilihan operasi
masih menduduki peringkat pertama, dengan ditunjang oleh kemoterapi
dan/atau radioterapi (mungkin diperlukan).
Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan abdomen dan rektal
Pemeriksaan Penunjang meliputi :
Pengujian darah samar
Enema barium: tumor dan kelainan lain pada kolon memberikan
gambaran bayangan gelap pada gambaran rontgen.
Kolonoskopi.
Biopsi: ditemukan adenokarsinoma.
Ultrasonografi: melihat metastasis kanker ke kelenjar getah
bening di hati dan abdomen.
CT scan
Pemeriksaan antigen karsinoembrionik (CEA)
Indikasi / Penatalaksanaan MedisPengobatan pada pasien
tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi yang berhubungan.
Endoskopi, ultrasonografi dan laparoskopi telah terbukti berhasil
dalam pentahapan kanker kolorektal. Pengobatan medis untuk kanker
kolorektal paling sering dalam bentuk pendukung atau terapi
adjuvan. Terapi adjuvan biasanya diberikan selain pengobatan bedah.
Pilihan mencakup kemoterapi, terapi radiasi atau imunoterapi.
Medika Mentosa
1. Kemoterapi
5-flurouracil merupakan obat pilihan untuk kemoterapi karsinoma
kolon. Lemavisole serta leucovorin digunakan untuk pasien stadium 3
pasca operasi.
2. Agen biologic
Contoh obat yang digunakan adalah bevacizumab (Avastin) dan
Panitumumab (Vectibix).
3. Radioterapi
Peran radioterapi dalam pengobatan kanker kolon masih terbatas
tetapi radioterapi tetap menjadi modalitas terapi standar. Untuk
memperkecil tumor, mencapai hasil yang lebih baik dari pembedahan,
dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk tumor yang tidak
dioperasi atau tidak dapat disekresi, radiasi digunakan untuk
menghilangkan gejala secara bermakna
4. Terapi simptomatik
Termasuk antibiotic, analgesik dan lain-lain. Antara analgesik
yang dugunakan adalah golongan non steroid seperti aspirin dan
ibuprofen dan golongan opiod seperti morfin, fentanil,
oxycodone,codein dan tramadol. Pemberian dimulai dengan analgesik
lemah dosis rendah dan ditingkatkan sesuai kebutuhan pasien.
Non Medika Mentosa
1. Pembedahan
Pembedahan masih merupakan terapi pilihan untuk memperpanjang
kehidupan pasien. Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai :
Reseksi segmental dengan anostomosis (pengangkatan tumor dan
porsi usus pada sisi pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus
limfatik)
Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid isbandin
(pengangkatan tumor dan porsi sigmoid dan semua isban serta
sfingter anal )
Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan
anostomosis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan
dekompresi usus awal dan persiapan usus sebelum reseksi)
Kolostomi isbandin atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi
obstruksi yang tidak dapat direseksi). 2. Diet
Berdasarkan kajian, pasien yang mengamalkan pemakanan daging
merah, biji-bijian, lemak dan makanan bergula tinggi lebih rentan
untuk kambuh isbanding pasien yang mengamalkan diet tinggi serat
dan protein. 4,5IV. INFORMED CONSENTInformed Consent adalah istilah
yang telah diterjemahkan dan lebih sering disebut dengan
Persetujuan Tindakan Medik. Secara harfiah, Informed Consent
terdiri dari dua kata, yaitu : Informed dan Consent. Informed
berarti telah mendapat informasi/penjelasan/keterangan. Consent
berarti memberi persetujuan atau mengizinkan. Dengan demikian
Informed Consent itu merupakan suatu persetujuan yang diberikan
pasien/keluarga setelah mendapatkan informasi (Kerbala, 1993).
Pengertian Informed Consent sebagai suatu kesepakatan/persetujuan
pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya
setelah mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang
dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai
segala resiko yang mungkin terjadi. Informed Consent dalam
Permenkes No. 585 tahun 1989 ditafsirkan sebagai Persetujuan
Tindakan Medik adalah persetujuan yang diberikan pasien atau
keluarganya atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan
medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut (pasal 1). Dalam
pengertian demikian, Persetujuan Tindakan Medik dapat dilihat dari
dua sudut, yaitu pertama membicarakan Persetujuan Tindakan Medik
dari pengertian umum, adalah persetujan yang diperoleh dokter
sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medik apapun
yang akan dilakukan. Dan kedua membicarakan Persetujuan Tindakan
Medik dari pengertian khusus, adalah persetujuan Tindakan Medik
yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin tertulis dari
pasien/keluarga pada tindakan operatif, lebih dikenal sebagai Surat
Izin Operasi surat perjanjian dan lainlain, istilah yang dirasa
sesuai oleh rumah sakit tersebut.6Elemen informed consentInformed
consent memiliki 3 elemen, yaitu:1. Treshold elements
Sifat elemen ini lebih ke syarat yaitu pemberi consent haruslah
seseorang yang kompeten (berkapasitas untuk membuat keputusan).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) adalah apabila
telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yag tidak di
bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21
tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang
dianggap tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental
sedemikian rupa atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian
rupa, sehingga kemampuan membuat keputusannya terganggu.
2. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure
(pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Pengertian
berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada
tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikan rupa
agar pasien dapat mecapai pemahaman yang adekuat.
3. Consent elements
Elemen ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness
(kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan, misinterpretasi
ataupun paksaan. Passien juga harus bebas dari tekanan yang
dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan dibiarkan
apabila tidak menyetujui tawarannya. Consent dapat diberikan dengan
dinyataka maupun tidak dinyatakan.
Dinyatakan (expressed) : dinyatakan dapat secara lisan, maupun
tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti
di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yag
berisiko mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes
tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis
tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.
Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis,
namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukan jawabannya.
Consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktek
sehari-hari.6Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik (Informed
Consent) yaitu :
1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent),
yaitu bisa dalam keadaan normal (biasa) atau darurat, umumnya
tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum misal
menyuntik pasien. Bila pasien dalam keadaan gawat darurat Emergency
memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak
bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ditempat,
maka dokter dapat melakukan tindakan edik terbaik menurut dokter
(Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 11).
2. Dinyatakan (Expressed Consent), yaitu persetujuan dinyatakan
secara lisan atau tertulis. Persetujuan secara lisan diperlukan
pada tindakan medis yang tidak mengandung resiko tinggi seperti
pencabutan kuku, sedangkan persetujuan secara tertulis mutlak
diperlukan pada tindakan medis yang mengandung resiko tinggi
seperti tindakan pembedahan perlu surat pernyataan dari
pasien/keluarga.
Dalam Permenkes No.585/MENKES/PER/IX/1989 menyatakan bahwa
dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada
pasien/keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus
disampaikan. Informasi harus diberikan sebelum dilakukannya suatu
tindakan operasi atau yang bersifat invasif, baik yang berupa
diagnostik maupun terapeutik. Menurut Kerbala (1993), fungsi
informasi dokter kepada pasien sebelum pasien memberikan
consent-nya, dapat dibedakan atas:a. Fungsi Informasi bagi
pasien
Berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk menentukan
diri sendiri. Dalam arti bahwa pasien berhak penuh untuk
diterapkannya suatu tindakan medis atau tidak.
b. Fungsi Informasi bagi dokter
Dilihat dari pihak dokter maka informasi dalam proses Informed
consent pun mempunyai fungsi yang tidak kecil. Azwar (1991)
mengemukan ada 5 hal pentingnya fungsi informasi bagi dokter:
1. Dapat membantu lancarnya tindakan kedokteran
Dengan penyampaian informasi kepada pasien mengenai penyakit,
terapi, keuntungan, risiko, dan lain-lain. Dari tindakan medis yang
akan dilakukan maka terjalin hubungan yang baik antara dokter dan
pasien. Sementara pasien pun akan menentukan hal yang terbaik
dengan landasan informasi dokter tadi, sehingga tindakan-tindakan
medis pun akan lancar dijalani oleh kedua pihak karena keduanya
telah memahami kegunaan semua tindakan medis itu.
2. Dapat mengurangi timbulnya akibat sampingan dan
komplikasi
Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberi dampak yang
baik dalam komunikasi dokter pasien terutama dalam menerapkan
terapi. Misal dokter sebelum menyuntik pasien dengan penisilin
bertanya, apakah pasien alergi terhadap penisilin? Bila pasien
memang alergi maka akibat/risiko yang besar jika terjadi
anafilaktik shock dapat dihindari. Betapa risiko besar itu akan
menimpa pasien bila dokter tidak bertanya kepada pasien.
3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan
penyakit
Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagai akibat
adanya pengetahuan dan pemahaman yang cukup dari pasien terhadap
tindakan kedokteran yang akan dilakukan, maka proses pemulihan dan
penyembuhan penyakit akan lebih cepat. Keadaan yang demikian juga
jelas akan menguntungkan dokter, karena dapat mengurangi beban
kerja.
4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan
Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan disini adalah sebagai
akibat dari lancarnya tindakan kedokteran, berkurangnya akibat
sampingan dan komplikasi serta cepatnya proses pemulihan dan
penyembuhan penyakit.
5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum
Apabila disuatu pihak, tindakan dokter yang dilakukan memang
tidak menimbulkan masalah apapun, dan dilain pihak, kalaupun
kebetulan sampai menimbulkan masalah, misalnya akibat sampingan dan
atau komplikasi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelalaian
dan ataupun kesalahan tindakan (malpractice). Timbulnya masalah
tersebut sematamata hanya karena berlakunya prinsip ketidakpastian
hasil dari setiap tindakan kedokteran/medis. Dengan perkataan lain,
semua tindakan kedokteran yang dilakukan memang telah sesuai dengan
standar pelayanan profesi (standar profesi medis) yang telah
ditetapkan.
Informasi yang harus diberikan sebelum dilakukan tindakan
operasi oleh dokter kepada pasien atau keluarga adalah yang
berkenaan dengan :
a. Tindakan operasi apa yang hendak dilakukan.
b. Manfaat dilakukan operasi tersebut.
c. Resiko yang terjadi pada operasi tersebut.
d. Alternatif lain apa yang ada (ini kalau memang ada dan juga
kalau mungkin
dilakukan).
e. Apa akibatnya jika operasi tidak dilakukan.
V. REKAM MEDISRekam medis adalah berkas yang berisikan catatan
dan dokumen tentang pasien yang berisikan pemeriksaan, pengobatan
,tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Catatan atau rekaman itu menjadi sangat berguna untuk mengingatkan
kembali dokter tentang keadaan, hasil pemeriksaan, dan pengobatan
yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat ulang
setelah beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah beberapa
tahun kemudian. Dengan adanya rekam medis, ia bisa mengingat atau
mengenali keadaan pasien saat diperiksa sehingga lebih mudah
melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya. Kewajiban dokter
untruk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan dipertegas
dalam UUPK seperti terdapat pada pasal 46: (1). Setiap dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis. (2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan
kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu,
dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Selanjutnya dalam pasal 79 diingatkan tentang sanksi hukum yang
cukup berat, yaitu denda paling banyak Rp.50.000.000,- bila dokter
terbukti sengaja tidak membuat rekam medis.
Dalam Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM, disebut
pengertian RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan
lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan. Sedangkan pasal
12 Permenkes 749a menyatakan bahwa : (1) pemaparan isi rekam medis
hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan ijin
tertulia pasien, (2) pempinan sarana pelayanan kesehatan dapat
memaparkan isi rekam medis tanpa seijin pasien berdasarkan
peraturan perundang-undangan.7Berikut adalah acuan secara umum
untuk menentukan bentuk dan isi rekam medis:
1. Rekam medis hendak nya disusun secara sistematik untuk
memudahkan pencarian dan kompilasi data.
2. Hanya orang-orang tertentu saya yang ditunjuk
mendokumentasikan dan menyimpan rekan medis.
3. Masukan pada rekam medis hendaknya dicatat pada saat
perawatan yang diuraikan.4 Singkatan dan simbol sebaiknya hanya
digunakan dalam rekam edis bila sesuai dengan ketentuan yang
berlaku1.Isi Rekam MedisDi rumah sakit didapat dua jenis Rekam
Medis, yaitu:
Rekam Medis untuk pasien rawat jalan
Rekam Medis untuk pasien rawat inap
Untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat, RM
memiliki informasi pasien, antara lain:
a. Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)
b. Riwayat penyakit (anamnesis) tentang :
keluhan utama
riwayat sekarang
riwayat penyakit yang pernah diderita
riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkan
c. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium,
foto rontgen, scanning, MRI, dan lain lain.
d. Diagnosis dan/atau diagnosis banding
e. Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan
pejabat kesehatan yang berwenang.
Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang
terdapat dalam rawat jalan, dengan tambahan:
Persetujuan tindakan medik
Catatan konsultasi
Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya
Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan
Resume akhir dan evaluasi pengobatan.
Secara umum kegunaan Rekam Medis adalah:
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan
lainnya yang ikut ambil bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan
dan perawatan pasien. Dengan membaca RM, dokter atau tenaga
kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat pasien (misalnya,
pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui
penyakit, perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan
lain-lain tanpa harus berjumpa satu sama lain. Ini tentu merupa-kan
sarana komunikasi yang efisien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang
harus diberikan kepada pasien. Segala instruksi kepada perawat atau
komunikasi sesama dokter ditulis agar rencana pengobatan dan
perawatan dapat dilaksanakan.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan
penyakit dan pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di rumah
sakit. Bila suatu waktu diperlukan bukti bahwa pasien pernah
dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan serta perkembangan
penyakit selama dirawat, tentu data dari RM dapat mengungkapkan
dengan jelas.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu
pelayanan yang diberikan kepada pasien. Baik buruknya pelayanan
yang diberikan tercermin dari catatan yang ditulis atau data yang
didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan studi
ataupun evaluasi dari pelayanan yang diberikan.
5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun
dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan
(tuntutan) dari pasien kepada dokter maupun rumah sakit, data dan
keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima semua pihak.6.
Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan
penelitian dan pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data
klinik pasien hanya dapat diper-gunakan bila telah direncanakan
terlebih dahulu.
7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan
medik pasien. Bila pasien mau dipulangkan, bagian administrasi
keuangan cukup melihat RM, dan segala biaya yang harus dibayar
pasien/keluarga dapat ditentukan.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta
sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan.
Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan
dokumentasi, bila diperlukan dapat digunakan sebagai dasar untuk
pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yang memerlukan masa
mendatang.VI. PROSEDUR TERAPIPerawatan paliatif sangat luas dan
melibatkan tim interdisipliner yang tidak hanya mencakup dokter dan
perawat tetapi mungkin juga ahli gizi, ahli fisioterapi, pekerja
sosial, psikolog/psikiater, rohaniwan, dan lainnya yang bekerja
secara terkoordinasi dan melayani sepenuh hati.8
Perawatan dapat dilakukan secara rawat inap, rawat jalan, rawat
rumah (home care),day caredanrespite care. Rawat rumah dilakukan
dengan kunjungan ke rumah pasien, terutama mereka yang tidak dapat
pergi ke rumah sakit. Kunjungan dilakukan oleh tim untuk memantau
dan memberikan solusi atas masalah-masalah yang dialami pasien dan
keluarganya, baik masalah medis maupun psikis, sosial, dan
spiritual.Day careadalah menitipkan pasien selama jam kerja jika
pendamping atau keluarga yang merawatnya memiliki keperluan lain
(sepertiday carepada penitipan anak). Sedangkanrespite careadalah
layanan yang bersifat psikologis melalui konseling dengan psikolog
atau psikiater, bersosialisasi dengan penderita kanker lain,
mengikuti terapi musik, dll.8
Beberapa karakteristik perawat paliatif adalah:
Mengurangi rasa sakit dan keluhan lain yang mengganggu.
Menghargai kehidupan dan menyambut kematian sebagai proses yang
normal.
Tidak berusaha mempercepat atau menunda kematian.
Mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual dalam perawatan
pasien.
Membantu pasien hidup seaktif mungkin sampai akhir hayat.
Membantu keluarga pasien menghadapi situasi selama masa sakit
dan setelah kematian.
Menggunakan pendekatan tim untuk memenuhi kebutuhan pasien dan
keluarganya, termasuk konseling masa duka cita, jika
diindikasikan.
Meningkatkan kualitas hidup, dan mungkin juga secara positif
memengaruhi perjalanan penyakit.
Bersamaan dengan terapi lainnya yang ditujukan untuk
memperpanjang usia, seperti kemoterapi atau terapi radiasi, dan
mencakup penyelidikan yang diperlukan untuk lebih memahami dan
mengelola komplikasi klinis yang berat.
Program perawatan paliatif awalnya mulai untuk meredakan gejala
kanker dan efek samping dari pengobatan kanker. Perawatan paliatif
sekarang sedang ditawarkan kepada pasien lain yaitu pasien dengan
penyakit kronis namun sebagian besar pasien yang diobati dalam
program perawatan paliatif nasional masih pasien kanker.9
Manfaat dari perawatan paliatif untuk pasien kanker adalah
signifikan. Kanker sering menimbulkan gejala menyedihkan yang
membutuhkan perawatan dari ahli. Gejala seperti nyeri, sesak napas,
mual dan / atau muntah, dan sembelit mungkin kanker terkait dan
masing-masing memiliki dampak negatif pada kualitas hidup.
Bahkan pengobatan yang digunakan untuk mengobati kanker dapat
dianggap paliatif. Kemoterapi dan radiasi dapat mengurangi ukuran
tumor dan dengan demikian mengurangi gejala penyakit. Dokter
kadang-kadang akan merekomendasikan kemoterapi dan / atau radiasi
dimaksudkan untuk meningkatkan kenyamanan dan gejala penurunan
penyakit, disebut paliatif kemoterapi atau radiasi paliatif. Jenis
perawatan paliatif ini tidak dimaksudkan untuk menyembuhkan kanker,
tetapi untuk meningkatkan kualitas hidup.
Mengobati kanker dengan kemoterapi, radiasi, hormon, dan tipe
perawatan lain dapat menciptakan masalah lain yang perlu ditangani.
Mual dan muntah, kehilangan nafsu makan, infeksi oral thrush,
masalah kulit, dan penurunan fungsi seksual hanya beberapa gejala
yang dapat terjadi akibat pengobatan kanker. Ahli perawatan
paliatif sering kali dapat membantu pasien mentoleransi pengobatan
kanker untuk waktu yang cukup lama dengan kurang nyaman.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pasien kanker yang menerima
perawatan paliatif benar-benar hidup lebih lama. Pernah dianggap
sebagai end-of-life care, perawatan paliatif kini menjangkau pasien
jauh lebih awal. Tim perawatan paliatif di seluruh negara yang
mendorong untuk perawatan paliatif dimulai pada saat didiagnosis
kanker. Semakin lama seorang pasien kanker memiliki semangat hidup
dengan bantuan tim perawatan paliatif, semakin besar kemungkinan
dia untuk hidup lebih lama, menerima dukungan emosional dan
spiritual yang dia butuhkan, dan rencana ke depan untuk masa
depannya.
Di negara maju begitu diagnosis ditegakkan diberikan obat anti
kanker dalam proporsi yang besar, yang makin mengecil makin dekat
ajal sebaliknya tindakan paliatif mulai dengan proporsi yang kecil
dan makin membesar makin dekat ajal. Sedangkan di negara
berkembang, sebagian besar mulai dengan tindakan paliatif yang
makin besar mendekati ajal, sedangkan hanya sedikit penerapan untuk
pengobatan anti kanker kuratif yang makin kecil semakin mendekati
ajal.10
VII. DAMPAK HUKUM
Dampak hukum atas keputusan yang diambil:
Informed consent
Jika dokter melakukan tindakan medis tanpa pemberitahuan dan
penjelasan kepada pasien terlebih dahulu/tanpa informed consent
maka dokter dapat dikenakan dengan pasal 351 KUHP tentang
penganiayaan. Atau ahli anestesi yang membius tanpa informed
consent sebelumnya dapat dikenakan pasal 89 KUHPyaitu membuat orang
tidak berdaya disamakan dengan melakukan kekerasan.
Rekam medis
Menurut UU Praktik Kedokteran Pasal 47 Ayat (2) rekam medis
harus disimpan dijagakerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi dan
sarana kesehatan. Sementara jika dengan sengaja tidak membuat rekam
medis dapat dikenakan sanksi hukuman penjara maksimal 1 (satu)
tahun atau denda Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sesuai
dengan UU No. 29 tahun 2004.BAB IV
TINJAUAN PUSTAKAEUTHANASIA1. Seputar Euthanasia
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan
kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:1. Orthothanasia, yaitu
kematian yang terjadi karena proses alamiah.2. Dysthanasia, yaitu
kematian yang terjadi secara tidak wajar.3. Euthanasia, yaitu
kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter.11Dalam tulisan ini, kita akan berbicara
mengenai euthanasia saja. Pertama-tama perlu diklarifikasi arti
kata euthanasia itu sendiri. Euthanasia bukanlah pengertian yang
jelas dan baku, sebab di balik istilah yang sama ternyata ada
pengertian yang berbeda. Perbedaan pengertian ini terjadi dalam
perjalanan sejarah. Harus diakui bahwa terkadang terjadi perbedaan
persepsi dari kalangan ahli, moralis, medis dengan pihak Gereja
sendiri. Setidaknya dengan penelusuran arti euthanasia, kita
semakin mampu menangkap apa itu euthanasia.
2.1. ArtiKata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa
Yunani eu (baik) dan thnatos (kematian). Jadi secara harafiah
euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good death)
atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada
gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani
kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti mati
dengan mudah, mati dengan baik atau kematian yang baik.12 Secara
etimologis, euthanasia di zaman kuno berarti kematian yang tenang
tanpa penderitaan yang hebat. Dalam arti aslinya (Yunani) kata ini
lebih berpusat pada cara seseorang mati yakni dengan hati yang
tenang dan damai, namun bukan pada percepatan kematian.Dewasa ini
orang menilai euthanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran
yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada di
sakratul maut. Kadang-kadang proses meringankan penderitaan ini
disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Dalam
arti yang lebih sempit, euthanasia dipahami sebagai mercy killing,
membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan,
entah terhadap anak cacat, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak
tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang
dianggap tidak bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi
keluarga serta masyarakat. Akhir-akhir ini banyak terdengar sebutan
lain lagi: assisted suicide atau bunuh diri yang dibantu dokter.
Maksudnya adalah dokter membantu pasien terminal untuk membunuh
dirinya jika ia memilih mengakhiri penderitaannya. Hal ini biasanya
dilakukan dengan menulis resep untuk obat yang mematikan dalam
dosis besar. Perbedaan dengan euthanasia adalah bahwa pasien
terminal membunuh dirinya sendiri, ia tidak dibunuh oleh dokternya.
Karena alasan itu, secara psikologis bunuh diri dengan bantuan
seperti itu barangkali tidak membebani hati nurani profesi medis
daripada euthanasia langsung, tetapi secara etis tidak ada banyak
perbedaan. 2.2. Sejarah Euthanasia
Sebenarnya, persoalan euthanasia bukanlah hal yang baru.
Sepanjang sejarah manusia, euthanasia sudah diperdebatkan dan
dipraktekkan. Pada jaman sekarang disebutkan bahwa:
Dewasa ini, baik di negara-negara Eropa, Amerika Utara maupun
Indonesia, perdebatan etis, moral, dan teologis tentang euthanasia
semakin marak. Persoalan legalisasi euthanasia pun menjadi tuntutan
umum, bahkan euthanasia sudah dilegalkan di Belanda dan Luxemburg.
Sementara itu, praktek euthanasia sendiri pun diyakini sudah banyak
dilakukan, juga di Indonesia, meskipun secara legal hal itu
dilarang. 2.3. Macam-macam EuthanasiaSebelum kita meninjau
persoalan medis, etis, dan teologis, kita perlu mengerti dulu
berbagai macam euthanasia. Ada berbagai macam euthanasia:2.3.1.
Dari Sudut Cara/BentukDari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat
dibedakan dalam tiga hal:a. Euthanasia aktif, artinya mengambil
keputusan untuk melaksanakan dengan tujuan menghentikan kehidupan.
Tindakan ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga
kesehatan lainnya untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si
pasien. Misalnya, melakukan injeksi dengan obat tertentu agar
pasien terminal meninggal. b. Euthanasia pasif, artinya memutuskan
untuk tidak mengambil tindakan atau tidak melakukan terapi. Dokter
atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien.
Misalnya, terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada
biaya, tidak ada alat ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya
menghentikan terapi yang telah dimulai dan sedang berlangsung.c.
Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan
sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal
ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan
tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas
permintaan.132.3.2. Dari Sudut Maksud (Voluntarium)Dari sudut
maksud, euthanasia dapat dibedakan:a. Euthanasia langsung (direct),
artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada kematian. b.
Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak
langsung untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya
meringankan penderitaan.2.3.3. Dari Sudut Otonomi Penderita
Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam tiga
jenis: a. Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak
sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompetent).b.
Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan
diwakili oleh orang lain (transmitted judgement).c. Penderita tidak
sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted
judgement).2.3.4. Dari Sudut Motif dan Prakarsa
Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi
dua:a. Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri
yang meminta agar hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang
tak tersembuhkan atau karena sebab lain.b. Prakarsa dari pihak
luar; artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien
dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu
misalnya keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban atau
belas kasih. Bisa juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena
ideologi tertentu atau kepentingan yang lain.2.4. Beberapa Aspek
Euthanasia
2.4.1. Aspek HukumUndang undang yang tertulis dalam KUHP hanya
melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana,
atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Dalam aspek
hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia
tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan
pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan
pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat
menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang
tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya
seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh
pasal-pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain
338, 340, 344, 345, dan 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga
dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314,
1315, dan 1319 KUH Perdata. Secara formal tindakan euthanasia di
Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka
kemungkinan terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang
dilakukan.132.4.2. Aspek Hak AsasiHak asasi manusia selalu
dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak
tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati
sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan
dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak
langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila
dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau
lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.132.4.3. Aspek
Ilmu PengetahuanPengetahuan kedokteran dapat memperkirakan
kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai
kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu
kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan
kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak
boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya.
Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat
dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada
kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan
dana.132.4.4. Aspek AgamaKelahiran dan kematian merupakan hak dari
Tuhan sehingga tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai
hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri.
Pernyataan ahli-ahli agama secara tegas melarang tindakan
euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan
dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur.
Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat, dapat
dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan
Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang
segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam
penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan
pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan
memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis
bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter dan
berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di
tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau
seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan
sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi
upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak
Tuhan. Dalam hal-hal seperti ini manusia sering menggunakan standar
ganda. Hal-hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum
hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa
mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal
tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai
dalil untuk menopangnya.132.5. Cara-cara EuthanasiaTindakan
euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:a. Langsung
dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih
pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.b. Sukarela tetapi
tidak langsung: pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil
sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat
mengakhiri penderitaan dan hidupnya.c. Langsung tetapi tidak
sukarela: dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan
memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.d. Tidak langsung
dan tidak sukarela: merupakan tindakan euthanasia pasif yang
dianggap paling mendekati moral.3. Tinjauan Kedokteran
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga
arti, yaitu:a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman
tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.b.
Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberikan obat penenang.c. Mengakhiri penderitaan dan hidup
seorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri
dan keluarganya.Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:a. Berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu.b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian,
atau tidak memperpanjang hidup pasien.c. Pasien menderita suatu
penyakit yang sulit untuk disembuhkan.d. Atas atau tanpa permintaan
pasien dan atau keluarganya.e. Demi kepentingan pasien dan atau
keluarganya.Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang
euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan
bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan
dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas
menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun
memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.
Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia,
termasuk di Indonesia.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang
kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter
harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter
tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun
menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi
apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau
kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara
keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut.
Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang
berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan
sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan
dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan
keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang
diharapkan.
Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia
adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan
mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di
Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru
menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan
dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan.
Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan
penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat
itu.Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan
melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis
dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas
ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar
batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi
dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu
tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi
berkompeten melakukan perawatan medis.
BAB V
KESIMPULANSeorang dokter itu haruslah memastikan dirinya berada
dalam keadaan yang optimum dengan senantiasa menerapkan etika
profesi kedokteran yang berlandaskan konsep dasar moral yaitu
prinsip otonomi, prinsip beneficence, prinsip non-maleficence, dan
prinsip justice. Jenis hubungan dokter-pasien sangat depengaruhi
oleh etika profesi kedokteran, sebagai konsekuensi dari
kewajiba-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu
hubungan tersebut. Dokter dituntut untuk dapat mengerti dengan
jelas aspek etika dalam dunia kedokteran yaitu mengetahui hak serta
kewajibannya sebagai seorang dokter dan juga norma-norma yang harus
dipatuhi serta nilai-nilai moral dalam etika kedokteran untuk
membina hubungan yang lebih baik dengan pasien maupun keluarga
pasien
Dokter diharapkan dapat memberikan informasi secara lengkap dan
jelas tentang penyakit serta tindakan apa yang akan dilakukan
kepada pasien dan juga komplikasi maupun resiko dari tindakan
tersebut dengan inform consent. Dokter juga harus menghormati
hak-hak pasien. Segala tindankan pemeriksaan terhadap pasien harus
di catat seluruhnya dan disimpan dalam suatu rekam medis.
Suatu tindakan medis terhadap pasien tanpa memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap
sebagai penyerangan atas hak orang lain atau melanggar hukum dan
seorang dokter dapat dikenakan pidana sesuai dengan
pelanggarannya.DAFTAR PUSTAKA
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum
Kedokteran. Jakarta; 2007.
2. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Jakarta: EGC; 2007.
3. Peraturan Perundang-undangan Bidang kedokteran. 1st ed.1994.
Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1994.
p. 20-4.4. Hubungan dokter dan pasien. Available at:
http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/06/hubungan-dokter-pasien.html.
Accessed on April 8th 2013.
5. Etika Profesi dalam Kesehatan. Available at:
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/gynecology/2019661-etika-profesi-dalam-kesehatan/.
Accessed on April 8th 2013.
6. Informed Consent. Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16619/4/Chapter%20II.pdf.
Accesed on April 15th 2013.7. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD.
Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta; 2007 .p. 60-3,79.8.
Perawatan Paliatif, Perawatan yang Tidak untuk Menyembuhkan.
Available at:
http://majalahkesehatan.com/perawatan-paliatif-perawatan-yang-tidak-untuk-menyembuhkan/.
Accessed on April 8th 2013.9. Temel J, et al. "Early Palliative
Care for Patients with Metastatic NonSmall-Cell Lung Cancer" New
England: Journal of Medicine; 2010. 363:733-742.
10. Currow D, Agar MR, Abernethy AP (2011). "Tackling the
Challenges of Clinical Trials in Palliative Care". Pharm Med 25
(1): 715. doi:10.2165/11539790-000000000-00000.
11. Bertens, K., Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah
Aktual, Yogyakarta: Kanisius, 2001.12. Bertens, K., Sketsa-sketsa
Moral: 50 Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Kanisius,
1994.13. Samil, Ratna Suprapti, Etika Kedokteran Indonesia,
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994.1