Online Edisi 5/Thn. I/November 2012 AA. Navis Hamsad Rangkuti Amien Kamil Welinda Syafri Wildan F. Mubarock Putu Gede Pradipta Perayaan Ulang Tahun Kopi Sastra ke-4 Puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2012 Kemendikbud Robohnya Surau Kami Malam Sastra Bulan Purnama #2
Majalah Online Kopi Sastra Edisi 5/Tahun 1 /November 2012
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Sampul depan:AirLukisan karya Siswa-siswi Kelas X F4 SMK Farmasi Annisa Cibinong Bogor
Online
Redaksi Majalah Online terbuka dalam segala bentuk komunikasi berupa tegur sapa, kiriman karya, liputan kegiatan, komunitas sastra/budaya (regional/kampus/sekolah), pengajuan pemasangan Iklan Pustaka Budaya maupun Iklan Umum Komersil melalui surel ke [email protected], atau pesan pada https://www.facebook.com/kopisastra
Pemimpin Redaksi-Penanggung Jawab: Presiden Kopi Sastra Wakil Pemimpin Redaksi: Celoteh Jincurichi Pengumpul Naskah: Celoteh Jincurichi, Helmy Fahruroji, Nugraha A. Baesuni Editor: Indri Guli, Sanghitam, Peliput Berita: Doni Dartafian A., Indra Nugraha, Rahmat Halomoan, Agus Arifin Pemotret: Hady Alvino. Sekretaris: Restu Restiani. Perancang Grafis dan Tata Letak: SangHitam. Ilustrasi Gambar: Wahyudimalamhari, Distribusi: Celoteh Jincurichi, Miftahul Falah,
. Iklan dan Keuangan: Nugraha A. Baesuni, Presiden Kopi Sastra, Qustan Sabar. Surel Redaksi: [email protected]
Nugraha A. Baesuni.
Havid Yazid Al Gifari
Salam sastra dan Budaya,Alhamdul i lah , Ma ja lah
Online Kopi Sastra sudah sampai di edisi lima. Tak ada sesuatu yang lebih berarti dari masih banyaknya pembaca majalah ini. Terima kasih kepada para Sahabat yang setia meluangkan waktunya untuk membaca majalah ini.
Semakin panjang usia kami, semakin ingin kami menancapkan diri di dunia sastra dan budaya Indonesia. Kami memang bukan majalah legal, bukan pula majalah ilegal. Tapi kami terus berusaha mencari legalitas kami sebagai majalah sastra di Indonesia.
Banyak majalah sastra beredar di secara online atau cetak. Sudah pasti mereka merupakan majalah yang memiliki legalitas tinggi di Indonesia. Kami ingin menjadi salah satu bagian dari mereka yang diakui secara undang-undang atau diakui sebagai salah satu majalah yang, setidaknya, dibaca dan dinikmati banyak orang.
Salam sastra dan budaya.
Redaksi Majalah Online Kopi Sastra
MEJA REDAKSI
REKOMENDASI
AA. Navis, 5
WANGI
ULAS
TOKOH
LIMUN
TUNAS
Robohnya Surau Kami, 40
Hamsad Rangkuti, 11
2
Ujung Senja
Wildan Fauzi Mubarock, 46
Wahyudimalamhari, 57
3
Perayaan Ulang Tahun Kopi Sastra ,
ke-4 16
Welinda Syafri, 31
REKOMENDASI 68
Mulai edisi 6, Majalah On l ine Kop i Sas t ra akan menyediakan Kolom Pembaca yang berisi apa pun yang dituliskan pembaca setia Kopi Sastra. Tulisan bisa dikirim m e l a l u i s u r e l k e [email protected] dengan subjek Kolom Pembaca. Tulisan bebas namun tidak mengandung maksud memfitnah dan unsur pelecehan SARA.
Putu Gede Pradipta, 51
Amien Kamil, 44
LEGIT
Malam Sastra Bulan Purnama, 64
Puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2012 Kemendikbud, 54
Sampul depan:AirLukisan karya Siswa-siswi Kelas X F4 SMK Farmasi Annisa Cibinong Bogor
Online
Redaksi Majalah Online terbuka dalam segala bentuk komunikasi berupa tegur sapa, kiriman karya, liputan kegiatan, komunitas sastra/budaya (regional/kampus/sekolah), pengajuan pemasangan Iklan Pustaka Budaya maupun Iklan Umum Komersil melalui surel ke [email protected], atau pesan pada https://www.facebook.com/kopisastra
Pemimpin Redaksi-Penanggung Jawab: Presiden Kopi Sastra Wakil Pemimpin Redaksi: Celoteh Jincurichi Pengumpul Naskah: Celoteh Jincurichi, Helmy Fahruroji, Nugraha A. Baesuni Editor: Indri Guli, Sanghitam, Peliput Berita: Doni Dartafian A., Indra Nugraha, Rahmat Halomoan, Agus Arifin Pemotret: Hady Alvino. Sekretaris: Restu Restiani. Perancang Grafis dan Tata Letak: SangHitam. Ilustrasi Gambar: Wahyudimalamhari, Distribusi: Celoteh Jincurichi, Miftahul Falah,
. Iklan dan Keuangan: Nugraha A. Baesuni, Presiden Kopi Sastra, Qustan Sabar. Surel Redaksi: [email protected]
Nugraha A. Baesuni.
Havid Yazid Al Gifari
Salam sastra dan Budaya,Alhamdul i lah , Ma ja lah
Online Kopi Sastra sudah sampai di edisi lima. Tak ada sesuatu yang lebih berarti dari masih banyaknya pembaca majalah ini. Terima kasih kepada para Sahabat yang setia meluangkan waktunya untuk membaca majalah ini.
Semakin panjang usia kami, semakin ingin kami menancapkan diri di dunia sastra dan budaya Indonesia. Kami memang bukan majalah legal, bukan pula majalah ilegal. Tapi kami terus berusaha mencari legalitas kami sebagai majalah sastra di Indonesia.
Banyak majalah sastra beredar di secara online atau cetak. Sudah pasti mereka merupakan majalah yang memiliki legalitas tinggi di Indonesia. Kami ingin menjadi salah satu bagian dari mereka yang diakui secara undang-undang atau diakui sebagai salah satu majalah yang, setidaknya, dibaca dan dinikmati banyak orang.
Salam sastra dan budaya.
Redaksi Majalah Online Kopi Sastra
MEJA REDAKSI
REKOMENDASI
AA. Navis, 5
WANGI
ULAS
TOKOH
LIMUN
TUNAS
Robohnya Surau Kami, 40
Hamsad Rangkuti, 11
2
Ujung Senja
Wildan Fauzi Mubarock, 46
Wahyudimalamhari, 57
3
Perayaan Ulang Tahun Kopi Sastra ,
ke-4 16
Welinda Syafri, 31
REKOMENDASI 68
Mulai edisi 6, Majalah On l ine Kop i Sas t ra akan menyediakan Kolom Pembaca yang berisi apa pun yang dituliskan pembaca setia Kopi Sastra. Tulisan bisa dikirim m e l a l u i s u r e l k e [email protected] dengan subjek Kolom Pembaca. Tulisan bebas namun tidak mengandung maksud memfitnah dan unsur pelecehan SARA.
Putu Gede Pradipta, 51
Amien Kamil, 44
LEGIT
Malam Sastra Bulan Purnama, 64
Puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2012 Kemendikbud, 54
“Semua orang menyalahkan Mayor Udin menyuruh Si B a n g k a k y a n g p a n d i r membersihkan pistol berpeluru. Karena tiba-tiba pistol itu meledak ketika lagi dibersihkan dan ketika itu pula isteri mayor yang kebetulan lewat di halaman. D i a t e r t e m b a k t e p a t d i jantungnya. Dan mati. Begitulah yang tersiar ke mana-mana di seluruh daerah komando Mayor Udin. Maka semua orang pun d a t a n g m e l a y a t d a n menyampaikan rasa ikut berduka cita.”
WANGI
Online
5 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Si Bangkak
AA. Navis
“Semua orang menyalahkan Mayor Udin menyuruh Si B a n g k a k y a n g p a n d i r membersihkan pistol berpeluru. Karena tiba-tiba pistol itu meledak ketika lagi dibersihkan dan ketika itu pula isteri mayor yang kebetulan lewat di halaman. D i a t e r t e m b a k t e p a t d i jantungnya. Dan mati. Begitulah yang tersiar ke mana-mana di seluruh daerah komando Mayor Udin. Maka semua orang pun d a t a n g m e l a y a t d a n menyampaikan rasa ikut berduka cita.”
WANGI
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
6Online
7 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Semua orang tafakur ketika
jenazah isteri yang tertembak itu
dimasukkan ke liang lahat setelah tujuh
pucuk senapan menyalvo. Melebihi
u p a c a r a m i l i t e r p a d a w a k t u
penguburan beberapa orang prajurit
yang mati dalam pertempuran tanpa
salvo demi menghemat peluru. Si
Bangkak duduk mencangkung di
lereng bukit sambil nanap memandang
ke kaki buki t tempat upcara
berlangsung. Tak terbaca pada
wajahnya apa guratan dalam jatinya,
sama seperti sediakala, Seorang saja
yang tidak ikut bersedih waktu itu.
Yaitu Kepala Desa. Bertahun-tahun
kemudian Si Dali tahu, mengapa
Kepala Desa itu tidak ikut bersedih.
Bertahun-tahun kemudian pula Si Dali
mence r i t akan pe r i s t iwa yang
sebenarnya terjadi.
***
Ketika pasukan Mayor Udin
menyingkir ke pedalaman karena kota
telah dikuasai lawan, Si Bangkak pun
ikut menyingkir. Tak jelas benar
mengapa dia ikut ke pedalaman. Dia
bukan tentera. Juga bukan pejabat.
Mungkin karena ikut- ikutan saja demi
m e l i h a t s e m u a o r a n g p a d a
meninggalkan kota secara hampir
serempak.
Si Bangkak berbadan kekar
dengan tingginya sekitar 165 senti.
Sedikit orang saja yang sama tingginya
dengan Si Bangkak di masa itu.
Meskipun demikian, dia bukanlah laki-
laki yang menarik. Cirinya khas pada
tubuhnya ialah pada kening di atas
h i d u n g n y a a d a d a g i n g y a n g
membengkak sebesar kuning telur
mentah yang lepas dari putihnya.
Karena itulah dia dinamakan Si
Bangkak. Kakinya seperti tidak
berbetis, hampir sama besarnya dari
bawah lutut sampai ke mata kaki. Tapi
kaki itu kuatnya bukan main. Tak
pernah le lah. Set iap ber jalan
langkahnya cepat seperti berlari tanpa
alas kaki. Dengan langkah seperti itu
pula dia pergi bila saja ada orang
menyuruhnya. Siapapun dapat
menyuruhnya. Tapi jangan harap dia
akan mau kalau disuruh membawa
barang berat, meskipun dikasi makan
atau uang.
S i B a n g k a k
mempunyai kepandaian
khusus, yang tidak semua
orang bisa melakukannya.
Dia pintar memijat. Dan
lembut sentuhannya. Orang
akan terkantuk-kantuk bila
seluruh tubuhnya dipijat Si
B a n g k a k . K e p a n d a i a n
k h u s u s i t u l a h y a n g
menyebabkan Mayor Udin,
yang sering masuk angin
sangat membutuhkan Si
B a n g k a k . S e l a m a d i
pedalaman Mayor Udin
hampir praktis kurang dur.
Ada kalanya
dia tidak sempat
tidur sampai dua hari dua
malam. Kurang tidur bukan
karena mengatur taktik dan
strategi perang. Melainkan
karena keasyikan main ceki,
sebagai pengisi waktu yang
luang dan panjang karena
tidak ada musuh yang datang
menyerang.
Si Bangkak berbadan kekar d e n g a n t i n g g i n y a s e k i t a r 1 6 5 senti. Sedikit orang saja yang sama tingginya d e n g a n S i B a n g k a k d i m a s a i t u . M e s k i p u n demikian, dia bukanlah laki-l a k i y a n g menarik.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
6Online
7 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Semua orang tafakur ketika
jenazah isteri yang tertembak itu
dimasukkan ke liang lahat setelah tujuh
pucuk senapan menyalvo. Melebihi
u p a c a r a m i l i t e r p a d a w a k t u
penguburan beberapa orang prajurit
yang mati dalam pertempuran tanpa
salvo demi menghemat peluru. Si
Bangkak duduk mencangkung di
lereng bukit sambil nanap memandang
ke kaki buki t tempat upcara
berlangsung. Tak terbaca pada
wajahnya apa guratan dalam jatinya,
sama seperti sediakala, Seorang saja
yang tidak ikut bersedih waktu itu.
Yaitu Kepala Desa. Bertahun-tahun
kemudian Si Dali tahu, mengapa
Kepala Desa itu tidak ikut bersedih.
Bertahun-tahun kemudian pula Si Dali
mence r i t akan pe r i s t iwa yang
sebenarnya terjadi.
***
Ketika pasukan Mayor Udin
menyingkir ke pedalaman karena kota
telah dikuasai lawan, Si Bangkak pun
ikut menyingkir. Tak jelas benar
mengapa dia ikut ke pedalaman. Dia
bukan tentera. Juga bukan pejabat.
Mungkin karena ikut- ikutan saja demi
m e l i h a t s e m u a o r a n g p a d a
meninggalkan kota secara hampir
serempak.
Si Bangkak berbadan kekar
dengan tingginya sekitar 165 senti.
Sedikit orang saja yang sama tingginya
dengan Si Bangkak di masa itu.
Meskipun demikian, dia bukanlah laki-
laki yang menarik. Cirinya khas pada
tubuhnya ialah pada kening di atas
h i d u n g n y a a d a d a g i n g y a n g
membengkak sebesar kuning telur
mentah yang lepas dari putihnya.
Karena itulah dia dinamakan Si
Bangkak. Kakinya seperti tidak
berbetis, hampir sama besarnya dari
bawah lutut sampai ke mata kaki. Tapi
kaki itu kuatnya bukan main. Tak
pernah le lah. Set iap ber jalan
langkahnya cepat seperti berlari tanpa
alas kaki. Dengan langkah seperti itu
pula dia pergi bila saja ada orang
menyuruhnya. Siapapun dapat
menyuruhnya. Tapi jangan harap dia
akan mau kalau disuruh membawa
barang berat, meskipun dikasi makan
atau uang.
S i B a n g k a k
mempunyai kepandaian
khusus, yang tidak semua
orang bisa melakukannya.
Dia pintar memijat. Dan
lembut sentuhannya. Orang
akan terkantuk-kantuk bila
seluruh tubuhnya dipijat Si
B a n g k a k . K e p a n d a i a n
k h u s u s i t u l a h y a n g
menyebabkan Mayor Udin,
yang sering masuk angin
sangat membutuhkan Si
B a n g k a k . S e l a m a d i
pedalaman Mayor Udin
hampir praktis kurang dur.
Ada kalanya
dia tidak sempat
tidur sampai dua hari dua
malam. Kurang tidur bukan
karena mengatur taktik dan
strategi perang. Melainkan
karena keasyikan main ceki,
sebagai pengisi waktu yang
luang dan panjang karena
tidak ada musuh yang datang
menyerang.
Si Bangkak berbadan kekar d e n g a n t i n g g i n y a s e k i t a r 1 6 5 senti. Sedikit orang saja yang sama tingginya d e n g a n S i B a n g k a k d i m a s a i t u . M e s k i p u n demikian, dia bukanlah laki-l a k i y a n g menarik.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
8
Sekali waktu Nunung, isteri
Mayor Udin, diserang sakit kepala yang
amat sangat. Dua aspirin yang
ditelannya tidak menolong. Sedangkan
Mayor Udin sedang tidak bisa
diganggu. Lagi asyik main ceki dalam
posisi kalah. Dia marah dipanggil
isterinya dari kamar tidur. Sangka
Mayor Udin, Nunung lagi masuk angin,
seperti yang sering dialaminya sendiri.
Yang apabila telah dipijat Si Bangkak
selama setengah jam, sakit kepalanya
hilang dan kemudian dia tertidur
dengan pulasnya.
"Bangkak." panggil Mayor
Udin. "Unimu sakit kepala. Pijat dia."
Tanpa banyak pikir Si
Bangkak yang lagi duduk di ambang
pintu, segera berdiri. Langsung menuju
Nunung ke kamar tidur. Nunung yang
tak tahan lagi menderita sakit, dan tahu
Si Bangkak disuruh suaminya, lantas
berkata: "Ya. Tolong pijat cepat."
katanya sambil memberikan botol
balsem.
S e t e l a h k e n i n g d a n
tengkuknya dipijat, rasa sakit kepala
N u n u n g m e m a n g d i r a s a n y a
Online
9 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
berkurang. Lalu Si Bangkak
disuruhnya memijat punggugnya
juga, seperti yang biasa dilakukan
p a d a M a y o r U d i n . S a m b i l
menelungkup dirasakannya benar
betapa enaknya pijatan Si Bangkak.
Dia pun mulai terkantuk.
Sekali merasa enaknya
dipijat, kecanduanlah dia. Sejak itu,
bila Mayor Udin asyik main ceki di
ruang depan, bila sakit kepala
Nunung pun datang. Si Bangkak
dipanggilnya untuk memijat .
Peristiwa itu memang tidak perlu
dicurigai. Nunung dan Mayor Udin
sepasang anak manusia yang jatuh
cinta semenjak masa remaja, sama-
sama cinta pertama. Keduanya
dipercaya tak pernah terlibat kasih
dengan fihak ketiga dalam situasi
apapun. Lagi pula lebih sering ada
perempuan lain di kamar itu. Namun
selalu jadi bahan olok-olok oleh
banyak perwira sampai ke prajurit,
dengan mengatakan bahwa mereka
lebih suka jadi Si Bangkak saja di
masa perang itu.
Nunung lalu berkhayal,
apabila Mayor Udin sampai terlelap
karena betisnya dipijat, maka dia pun
ingin pula mencoba. "Apa salahnya, Si
Bangkak, biar laki-laki, dia cuma Si
Bangkak. Lagi pula pintu kamar selalu
terbuka. Dan ada perempuan lain
bersamanya." katanya dalam hati.
Nunung keenakan dipijat. Mayor Udin
tak terganggu lagi oleh erangan
Nunung yang diserang sakit kepala,
bila dia main ceki. Namun keduanya
tidak tahu bagaimana perasaan hati Si
Bangkak setiap memijat Nunung yang
berkulit mulus itu.
***
Menurut Kepala Desa, dia
m e l i h a t b e n a r S i B a n g k a k
menodongkan pistol ke isteri Mayor
Udin. Lalu menekan pelatuknya. Tapi
dia tidak mau mengatakan apa yang
dilihatnya kepada siapa pun. Karena
tidak ada untung-ruginya menghukum
Si Bangkak. Katanya: "Bagaimana pun
pandirnya Si Bangkak, dia 'kan seorang
laki-laki. Bukan anak kecil ingusan
atau orang gaek jompo."
M a k a S i D a l i d a p a t
merasakan betapa tersiksa hati Si
Bangkak setiap memijat perempuan
itu. Justru karena bodohnya itulah dia
sampai mampu melakukan apa yang
tidak mungkin dilakukan oleh laki-
laki lain, jika disuruh memijat
perempuan muda yang mulus
kulitnya. Karena bodohnya itulah dia
membunuh setan di kepalanya dengan
menembak isteri seorang mayor.
1 Mei 1996
Haji Ali Akbar Navis (lahir di
Kampung Jawa, Padang, Sumatera
Barat, 17 November 1924 –
meninggal 22 Maret 2003 pada umur
78 tahun) adalah seorang sastrawan
dan budayawan terkemuka di
Indonesia yang lebih dikenal dengan
nama A.A. Navis. Ia menjadikan
menul i s sebaga i a l a t da lam
kehidupannya. Karyanya yang
terkenal adalah cerita pendek
Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang
Pencemooh' adalah sosok yang
c e p l a s - c e p l o s , a p a a d a n y a .
(Wikipedia)
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
8
Sekali waktu Nunung, isteri
Mayor Udin, diserang sakit kepala yang
amat sangat. Dua aspirin yang
ditelannya tidak menolong. Sedangkan
Mayor Udin sedang tidak bisa
diganggu. Lagi asyik main ceki dalam
posisi kalah. Dia marah dipanggil
isterinya dari kamar tidur. Sangka
Mayor Udin, Nunung lagi masuk angin,
seperti yang sering dialaminya sendiri.
Yang apabila telah dipijat Si Bangkak
selama setengah jam, sakit kepalanya
hilang dan kemudian dia tertidur
dengan pulasnya.
"Bangkak." panggil Mayor
Udin. "Unimu sakit kepala. Pijat dia."
Tanpa banyak pikir Si
Bangkak yang lagi duduk di ambang
pintu, segera berdiri. Langsung menuju
Nunung ke kamar tidur. Nunung yang
tak tahan lagi menderita sakit, dan tahu
Si Bangkak disuruh suaminya, lantas
berkata: "Ya. Tolong pijat cepat."
katanya sambil memberikan botol
balsem.
S e t e l a h k e n i n g d a n
tengkuknya dipijat, rasa sakit kepala
N u n u n g m e m a n g d i r a s a n y a
Online
9 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
berkurang. Lalu Si Bangkak
disuruhnya memijat punggugnya
juga, seperti yang biasa dilakukan
p a d a M a y o r U d i n . S a m b i l
menelungkup dirasakannya benar
betapa enaknya pijatan Si Bangkak.
Dia pun mulai terkantuk.
Sekali merasa enaknya
dipijat, kecanduanlah dia. Sejak itu,
bila Mayor Udin asyik main ceki di
ruang depan, bila sakit kepala
Nunung pun datang. Si Bangkak
dipanggilnya untuk memijat .
Peristiwa itu memang tidak perlu
dicurigai. Nunung dan Mayor Udin
sepasang anak manusia yang jatuh
cinta semenjak masa remaja, sama-
sama cinta pertama. Keduanya
dipercaya tak pernah terlibat kasih
dengan fihak ketiga dalam situasi
apapun. Lagi pula lebih sering ada
perempuan lain di kamar itu. Namun
selalu jadi bahan olok-olok oleh
banyak perwira sampai ke prajurit,
dengan mengatakan bahwa mereka
lebih suka jadi Si Bangkak saja di
masa perang itu.
Nunung lalu berkhayal,
apabila Mayor Udin sampai terlelap
karena betisnya dipijat, maka dia pun
ingin pula mencoba. "Apa salahnya, Si
Bangkak, biar laki-laki, dia cuma Si
Bangkak. Lagi pula pintu kamar selalu
terbuka. Dan ada perempuan lain
bersamanya." katanya dalam hati.
Nunung keenakan dipijat. Mayor Udin
tak terganggu lagi oleh erangan
Nunung yang diserang sakit kepala,
bila dia main ceki. Namun keduanya
tidak tahu bagaimana perasaan hati Si
Bangkak setiap memijat Nunung yang
berkulit mulus itu.
***
Menurut Kepala Desa, dia
m e l i h a t b e n a r S i B a n g k a k
menodongkan pistol ke isteri Mayor
Udin. Lalu menekan pelatuknya. Tapi
dia tidak mau mengatakan apa yang
dilihatnya kepada siapa pun. Karena
tidak ada untung-ruginya menghukum
Si Bangkak. Katanya: "Bagaimana pun
pandirnya Si Bangkak, dia 'kan seorang
laki-laki. Bukan anak kecil ingusan
atau orang gaek jompo."
M a k a S i D a l i d a p a t
merasakan betapa tersiksa hati Si
Bangkak setiap memijat perempuan
itu. Justru karena bodohnya itulah dia
sampai mampu melakukan apa yang
tidak mungkin dilakukan oleh laki-
laki lain, jika disuruh memijat
perempuan muda yang mulus
kulitnya. Karena bodohnya itulah dia
membunuh setan di kepalanya dengan
menembak isteri seorang mayor.
1 Mei 1996
Haji Ali Akbar Navis (lahir di
Kampung Jawa, Padang, Sumatera
Barat, 17 November 1924 –
meninggal 22 Maret 2003 pada umur
78 tahun) adalah seorang sastrawan
dan budayawan terkemuka di
Indonesia yang lebih dikenal dengan
nama A.A. Navis. Ia menjadikan
menul i s sebaga i a l a t da lam
kehidupannya. Karyanya yang
terkenal adalah cerita pendek
Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang
Pencemooh' adalah sosok yang
c e p l a s - c e p l o s , a p a a d a n y a .
(Wikipedia)
Online
11 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
@WRdesignArt@WRdesignArt
DESAIN EKSKLUSIFDESAIN EKSKLUSIF
HANYA ANDA YANG MEMILIKI
Hamsad Rangkuti Masih Sakit
TOKOH
Kira-kira, apa yang terjadi bila seorang lelaki yang sendirian di dek kapal melihat seorang wanita bergaun ketat di buritan kapal sedang menangis? Lebih jauh lagi, ternyata diketahui bahwa wanita molek bertubuh seksi itu sedang frustasi karena dicampakkan kekasihnya.
Sumber gambar: Google Image
Kami desain buku, majalah, kalender, dan segala kebutuhan dokumentasi Anda dengan unik dan eksklusif
Online
11 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
@WRdesignArt@WRdesignArt
DESAIN EKSKLUSIFDESAIN EKSKLUSIF
HANYA ANDA YANG MEMILIKI
Hamsad Rangkuti Masih Sakit
TOKOH
Kira-kira, apa yang terjadi bila seorang lelaki yang sendirian di dek kapal melihat seorang wanita bergaun ketat di buritan kapal sedang menangis? Lebih jauh lagi, ternyata diketahui bahwa wanita molek bertubuh seksi itu sedang frustasi karena dicampakkan kekasihnya.
Sumber gambar: Google Image
Kami desain buku, majalah, kalender, dan segala kebutuhan dokumentasi Anda dengan unik dan eksklusif
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
12Online
13 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Kemudian, wanita itu melepaskan sepatunya, perhiasannya, gaun ketatnya, lalu melemparkan semuanya ke lautan. Ya, wanita seksi itu telanjang sendirian. Lalu, wanita seksi itu berkata kepada satu-satunya lelaki di dekatnya, “maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” Kira-kira, apa yang akan dilakukan lelaki itu?
Itu adalah sepotong resensi cerpen berjudul Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu karangan Hamsad Rangkuti. Sejak tahun 2003, Hamsad memasukkan cerpen tersebut kedalam sebuah buku berjudul 'Bibir dalam Pispot'. Buku tersebut mendapat respon yang sangat bagus dari pembaca. Detail cerita sangat tergambar dengan jelas pada setiap cerpen ada pada buku itu. Ya, salah satu ciri khas Hamsad adalah mendeskripsikan cerpennya dengan detail, ringkas, dan kena. Ia diakui sebagai maestro cerpen Indonesia.
Sumber gambar: thejakartapost.com
Sayangnya, kini Hamsad masih berjuang untuk
sembuh dari sakitnya. Lelaki kelahiran Medan yang sangat
matang di dunia sastra Indonesia ini masih sakit.
Hamsad sempat dirawat di rumah sakit pada Januari
2012. Saat itu, ia harus buang air kecil melalui perut dan makan
memakai selang melalui hidung. Dia lalu menjalani operasi
pemasangan cincin untuk menormalkan buang airnya.
September lalu Hamsad terpaksa pulang ke rumah setelah
mengurungkan operasi darurat terkait penyakit prostat yang
telah dideritanya sejak dua tahun lalu. Mirisnya, Sang Maestro
gagal dioperasi karena tak ada biaya.
Sampai tulisan ini diterbitkan, redaksi Kopi Sastra
belum menerima kabar kesembuhan Sang Maestro cerpen. Ia
masih terbaring di RS Siloam Gleneagles, Lippo Karawaci,
Tangerang.
Di rumah sakit ini, Hamsad bukan satu-satunya
seniman yang dirawat, tapi ada juga Putu Wijaya. Lelaki
bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang lahir di
Tabanan, Bali, 11 April 1944 ini menderita stroke dan
pendarahan pada batang otaknya.
Orang-orang yang ingin membantu Hamsad dapat
mengirimkan bantuan ke rekening BNI cabang Margonda,
Depok, nomor 0106423653 atas nama Hamsad Rangkuti.
Terkait nomor rekening ini, redaksi Kopi Sastra mendapat info
dari web resmi Tempo. (NAB, dari berbagai sumber)
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
12Online
13 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Kemudian, wanita itu melepaskan sepatunya, perhiasannya, gaun ketatnya, lalu melemparkan semuanya ke lautan. Ya, wanita seksi itu telanjang sendirian. Lalu, wanita seksi itu berkata kepada satu-satunya lelaki di dekatnya, “maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” Kira-kira, apa yang akan dilakukan lelaki itu?
Itu adalah sepotong resensi cerpen berjudul Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu karangan Hamsad Rangkuti. Sejak tahun 2003, Hamsad memasukkan cerpen tersebut kedalam sebuah buku berjudul 'Bibir dalam Pispot'. Buku tersebut mendapat respon yang sangat bagus dari pembaca. Detail cerita sangat tergambar dengan jelas pada setiap cerpen ada pada buku itu. Ya, salah satu ciri khas Hamsad adalah mendeskripsikan cerpennya dengan detail, ringkas, dan kena. Ia diakui sebagai maestro cerpen Indonesia.
Sumber gambar: thejakartapost.com
Sayangnya, kini Hamsad masih berjuang untuk
sembuh dari sakitnya. Lelaki kelahiran Medan yang sangat
matang di dunia sastra Indonesia ini masih sakit.
Hamsad sempat dirawat di rumah sakit pada Januari
2012. Saat itu, ia harus buang air kecil melalui perut dan makan
memakai selang melalui hidung. Dia lalu menjalani operasi
pemasangan cincin untuk menormalkan buang airnya.
September lalu Hamsad terpaksa pulang ke rumah setelah
mengurungkan operasi darurat terkait penyakit prostat yang
telah dideritanya sejak dua tahun lalu. Mirisnya, Sang Maestro
gagal dioperasi karena tak ada biaya.
Sampai tulisan ini diterbitkan, redaksi Kopi Sastra
belum menerima kabar kesembuhan Sang Maestro cerpen. Ia
masih terbaring di RS Siloam Gleneagles, Lippo Karawaci,
Tangerang.
Di rumah sakit ini, Hamsad bukan satu-satunya
seniman yang dirawat, tapi ada juga Putu Wijaya. Lelaki
bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang lahir di
Tabanan, Bali, 11 April 1944 ini menderita stroke dan
pendarahan pada batang otaknya.
Orang-orang yang ingin membantu Hamsad dapat
mengirimkan bantuan ke rekening BNI cabang Margonda,
Depok, nomor 0106423653 atas nama Hamsad Rangkuti.
Terkait nomor rekening ini, redaksi Kopi Sastra mendapat info
dari web resmi Tempo. (NAB, dari berbagai sumber)
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
14
HAMSAD RANGKUTI
Hamsad Rangkuti, Lahir di Titikuning, Medan, 7 Mei 1943. Setelah keluar
dari SLTA sebelum tamat (1964) ia memilih dunia menulis secara autodidak.
Terakhir ia menjabat pemimpin redaksi majalah sastra Horison. Pernah
menjadi redaktur harian Patriot dan Sinar Masyarakat di Medan (1963-1965),
lalu pindah bekerja di Persatuan Produsen Film Indonesia (1966-1968),
Majalah Sastra (1968), dan sejak 1969 bekerja di majalah sastra Horison.
(kumpulan cerpen, 1982), Lampu Merah (novel, 1988, merupakan pemenang
hadiah harapan Sayembara Mengarang Roman DKJ, 1980 dengan judul:
Ketika Lampu Berwarna Merah), Kereta Pagi Jam 5 (1994), Mudik (1996),
Sampah Bulan Desember (kompas, 2000), Bibir dalam Pispot (kumpulan
cerpen, 2003), dan Panggilan Rasul (kumpulan cerpen, 2010). Beberpa
karyanya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan diantologikan dalam
Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991, Ed. Suratan, Markasan, Kuala
Lumpur, Malaysia).
Prestasi dan penghargaan yang pernah diterima, antara lain: Hadiah
Harapan Sayembara menulis Novel DKJ (1981), Penghargaan Insan Seni
Indonesia Mal Taman Anggrek & Musicafe (1999), Penghargaan Sastra
Pemerintah DKI (2000), Penghargaan Khusus Kompas atas kesetiaan dalam
penulisan cerpen,Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001), Penghargaan
Khusus KOMPAS (2001), Pemenang Cerita Anak Terbaik 75 tahun Balai
Pustaka (2001), Khatulistiwa Literary Award pada (2002). SEA Write Award
(2008.)
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
16Online
17 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Perayaan Ulang Tahun Kopi Sastra ke-4
Dengan sederhana kami merayakan ulang tahun Kopi Sastra yang sampai sekarang masih menjadi komunitas
yang sederhana.
19 Oktober 2012, pukul 19.30, selasar antara gedung FKIP
dan gedung FE Universitas Pakuan Bogor.
Malam dihembus angin dingin. Beberapa anak muda muslim
yang masih dalam keadaan rambut basah air wudhu sedang duduk
santai bersama dua gelas kopi hitam yang hangat. Beberapa yang lain
telah lebih dulu hangat dengan obrolan-obrolan kecilnya. Ada juga
yang tengah melantunkan Get Up Stand Up milik Bob Marley dengan
cara sendu. Inilah suasana setengah jam sebelum peringatan ulang
tahun ke-4 Kopi Sastra.
LIMUN
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
16Online
17 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Perayaan Ulang Tahun Kopi Sastra ke-4
Dengan sederhana kami merayakan ulang tahun Kopi Sastra yang sampai sekarang masih menjadi komunitas
yang sederhana.
19 Oktober 2012, pukul 19.30, selasar antara gedung FKIP
dan gedung FE Universitas Pakuan Bogor.
Malam dihembus angin dingin. Beberapa anak muda muslim
yang masih dalam keadaan rambut basah air wudhu sedang duduk
santai bersama dua gelas kopi hitam yang hangat. Beberapa yang lain
telah lebih dulu hangat dengan obrolan-obrolan kecilnya. Ada juga
yang tengah melantunkan Get Up Stand Up milik Bob Marley dengan
cara sendu. Inilah suasana setengah jam sebelum peringatan ulang
tahun ke-4 Kopi Sastra.
LIMUN
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
18Online
19 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
P a d a m a l a m i t u ,
berkumpullah segenap jajaran
kementrian Kopi Sastra menemani
presiden serta wakilnya. Tentu,
pada malam itu pula hadir
komplotan Pohon Kopi demi
mewarnai acara.
K e t i k a w a k t u
menunjukkan pukul 20 .15 ,
Nugraha Hura-hura mengawali
acara dengan salam dan prakata.
Ketika prakata belum tuntas,
datanglah salah satu dosen Sastra
Indonesia Universitas Pakuan,
Bapak Aam Nurjaman. Kehadiran
beliau yang berpredikat akademisi
sekaligus penggiat sastra yang
bertahan sejak lebih dari 20 tahun
lalu hingga sekarang, membuat
acara semakin lengkap.
Nugraha Hura-
h u r a k e m u d i a n
m e n y e r a h k a n
keberlangsungan acara
kepada Presiden Kopi
Sastra untuk kemudian
i a m e n y a m p a i k a n
keinginan dan hasratnya.
Ta k b a n y a k y a n g
disampaikan Presiden
Kopi Sastra dalam
p i d a t o n y a , m a l a h
pidatonya ini cukup
'garing dan hambar'.
Mungkin sebelumnya
beliau tidak latihan. Atau
t im penul is p idato
Presiden Kopi Sastra
tidak menyediakan teks
p i d a t o y a n g b i s a
d i p a s a n g d i
Teleprompter layaknya
SBY atau Obama.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
18Online
19 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
P a d a m a l a m i t u ,
berkumpullah segenap jajaran
kementrian Kopi Sastra menemani
presiden serta wakilnya. Tentu,
pada malam itu pula hadir
komplotan Pohon Kopi demi
mewarnai acara.
K e t i k a w a k t u
menunjukkan pukul 20 .15 ,
Nugraha Hura-hura mengawali
acara dengan salam dan prakata.
Ketika prakata belum tuntas,
datanglah salah satu dosen Sastra
Indonesia Universitas Pakuan,
Bapak Aam Nurjaman. Kehadiran
beliau yang berpredikat akademisi
sekaligus penggiat sastra yang
bertahan sejak lebih dari 20 tahun
lalu hingga sekarang, membuat
acara semakin lengkap.
Nugraha Hura-
h u r a k e m u d i a n
m e n y e r a h k a n
keberlangsungan acara
kepada Presiden Kopi
Sastra untuk kemudian
i a m e n y a m p a i k a n
keinginan dan hasratnya.
Ta k b a n y a k y a n g
disampaikan Presiden
Kopi Sastra dalam
p i d a t o n y a , m a l a h
pidatonya ini cukup
'garing dan hambar'.
Mungkin sebelumnya
beliau tidak latihan. Atau
t im penul is p idato
Presiden Kopi Sastra
tidak menyediakan teks
p i d a t o y a n g b i s a
d i p a s a n g d i
Teleprompter layaknya
SBY atau Obama.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
20Online
21 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Seperti merasakan kegaringan itu, Presiden Kopi Sastra kemudian meminta
dengan memelas (baca: memaksa dengan cara halus) Bapak Aam Nurjaman untuk
memberikan ucapan selamat serta wejangan kepada keluarga besar Kopi Sastra.
Bapak Aam Nurjaman (untuk kemudian sebut saja Pak Aam) pun beranjak dan
berdiri di stage. Bisa ditebak, hanya ada tiga alasan untuk beliau berbicara di hadapan
pengurus Kopi Sastra: (1) Merasa terpaksa/ditodong Presiden Kopi Sastra yang
semaunya itu; (2) Kasihan pada pengurus Kopi Sastra yang kebanyakan berbadan
kurus dan berilmu payah; (3) Merasa terpanggil untuk mendukung dan membantu
Kopi Sastra yang seejak empat tahun lalu konsisten untuk berkarya. Alasan ketiga ini
yang tentunya diharapkan keluarga besar Kopi Sastra. Amin.
Dalam sambutannya Pak Aam menyampaikan rasa bangga atas beragam
hal positif yang selama ini dilakukan Kopi Sastra. Beliau berpesan agar tidak
mengurangi sedikit pun tensi semangat yang selama ini terjaga, malah kalau bisa
ditambah. Menurutnya, kegiatan-kegiatan seperti ini akan memberikan semangat
dan esensi yang luar biasa bagai individu-individu terlibat di masa depan.
Bukan asal-asalan Pak Aam menyampaikan pesan tersebut, karena beliau
memang merasakan sendiri manfaat dari kegiatan semacam Kopi Sastra ini. Ya,
semasa kuliahnya Bapak Aam pun terlibat dengan kegiatan menulis dan
kesusasteraan. Salah satu rekan seperjuangannya saat itu adalah Agus R. Sarjono
yang kini ternama sebagai Penyair dan pentolan Jurnal Sastra Kritik.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
20Online
21 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Seperti merasakan kegaringan itu, Presiden Kopi Sastra kemudian meminta
dengan memelas (baca: memaksa dengan cara halus) Bapak Aam Nurjaman untuk
memberikan ucapan selamat serta wejangan kepada keluarga besar Kopi Sastra.
Bapak Aam Nurjaman (untuk kemudian sebut saja Pak Aam) pun beranjak dan
berdiri di stage. Bisa ditebak, hanya ada tiga alasan untuk beliau berbicara di hadapan
pengurus Kopi Sastra: (1) Merasa terpaksa/ditodong Presiden Kopi Sastra yang
semaunya itu; (2) Kasihan pada pengurus Kopi Sastra yang kebanyakan berbadan
kurus dan berilmu payah; (3) Merasa terpanggil untuk mendukung dan membantu
Kopi Sastra yang seejak empat tahun lalu konsisten untuk berkarya. Alasan ketiga ini
yang tentunya diharapkan keluarga besar Kopi Sastra. Amin.
Dalam sambutannya Pak Aam menyampaikan rasa bangga atas beragam
hal positif yang selama ini dilakukan Kopi Sastra. Beliau berpesan agar tidak
mengurangi sedikit pun tensi semangat yang selama ini terjaga, malah kalau bisa
ditambah. Menurutnya, kegiatan-kegiatan seperti ini akan memberikan semangat
dan esensi yang luar biasa bagai individu-individu terlibat di masa depan.
Bukan asal-asalan Pak Aam menyampaikan pesan tersebut, karena beliau
memang merasakan sendiri manfaat dari kegiatan semacam Kopi Sastra ini. Ya,
semasa kuliahnya Bapak Aam pun terlibat dengan kegiatan menulis dan
kesusasteraan. Salah satu rekan seperjuangannya saat itu adalah Agus R. Sarjono
yang kini ternama sebagai Penyair dan pentolan Jurnal Sastra Kritik.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
22Online
23 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Malam yang sederhana itu menyenyap ketika Pak Aam memimpin doa
bersama sebagai ucap syukur dan harapan bersama segenap penghadir acara Ultah
Kopi Sastra yang ke-4. Doa
berlangsung dengan khidmat,
hadirin mengucap syukur dengan
cermat dan mengamini lamat-
lamat.Setelah pembacaan doa bersama selesai, kemudian tibalah giliran
komplotan Pohon Kopi memberikan ucapan dengan caranya masing-masing. Malam
yang sederhana itu membuncah dengan diawali pembacaan puisi oleh Nurhadi,
kemudian Chairil Aray, serta musikalisasi puisi yang dibawakan dua personil
Musikalisasi Puisi Diksatrasia yakni Doni Dartafian dan Deden Ganesha Hidayat.
Nugraha-Hura-hura pun membacakan dua puisi di sela-sela memandu acara.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
22Online
23 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Malam yang sederhana itu menyenyap ketika Pak Aam memimpin doa
bersama sebagai ucap syukur dan harapan bersama segenap penghadir acara Ultah
Kopi Sastra yang ke-4. Doa
berlangsung dengan khidmat,
hadirin mengucap syukur dengan
cermat dan mengamini lamat-
lamat.Setelah pembacaan doa bersama selesai, kemudian tibalah giliran
komplotan Pohon Kopi memberikan ucapan dengan caranya masing-masing. Malam
yang sederhana itu membuncah dengan diawali pembacaan puisi oleh Nurhadi,
kemudian Chairil Aray, serta musikalisasi puisi yang dibawakan dua personil
Musikalisasi Puisi Diksatrasia yakni Doni Dartafian dan Deden Ganesha Hidayat.
Nugraha-Hura-hura pun membacakan dua puisi di sela-sela memandu acara.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
24Online
25 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Acara ditutup dengan mantra yang
dibacakan Havid Yazid. Mantra tersebut berisi
doa-doa selamat dan bahagia bagi manusia,
serta cacian juga kutukan bagi para pembuat
nista.
Selesainya acara, Kopi Sastra
melanjutkan obrolan bersama para Pohon Kopi
lainnya. Ditemani kretek dan beberapa gelas
Kopi Hitam pekat, kami tulis kembali rencana
untuk merajut mimpi-mimpi kami. (NAB)
Pasang Aksimu!
Kami sediakan space iklan (non iklan baris) murah di sini
hanya Rp. 150.000,-/satu halaman penuhuntuk edisi Desember 2012
silakan hubungi:08567360301 (Wahyu)085781187826 (Nunu)Atau pindai kode batang ini
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
24Online
25 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Acara ditutup dengan mantra yang
dibacakan Havid Yazid. Mantra tersebut berisi
doa-doa selamat dan bahagia bagi manusia,
serta cacian juga kutukan bagi para pembuat
nista.
Selesainya acara, Kopi Sastra
melanjutkan obrolan bersama para Pohon Kopi
lainnya. Ditemani kretek dan beberapa gelas
Kopi Hitam pekat, kami tulis kembali rencana
untuk merajut mimpi-mimpi kami. (NAB)
Pasang Aksimu!
Kami sediakan space iklan (non iklan baris) murah di sini
hanya Rp. 150.000,-/satu halaman penuhuntuk edisi Desember 2012
silakan hubungi:08567360301 (Wahyu)085781187826 (Nunu)Atau pindai kode batang ini
Online
31 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Di Jalanan Malam Ini
Welinda Syafri
TUNAS
Kutatap nanar bulan di atas sana. Bull shit! Aku tidak melihatnya. Hanya otak manusiaku yang meyakinkanku bahwa ada bulan di atas sana.
Seharusnya ada bulan…. Seperti yang dikatakan guru astronomiku beberapa tahun yang lalu. Ya, dari mana aku bisa tahu tentang dunia ini kalau saja tidak ada yang memberitahukan. Dari mana aku bisa tahu kalau benda bercahaya di malam hari itu adalah bulan. Ya, ada yang bersudut lima dan itu namanya bintang. Ah, kalau yang ini aku tidak terlalu yakin. Memori terpelajarku bercampur baur dengan gambar-gambar di tanah kering yang sering kubuat bersama teman-temanku lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Benda bersudut lima, dan orang-orang menyebutnya bintang.
Sumber gambar: Google Images
Online
31 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Di Jalanan Malam Ini
Welinda Syafri
TUNAS
Kutatap nanar bulan di atas sana. Bull shit! Aku tidak melihatnya. Hanya otak manusiaku yang meyakinkanku bahwa ada bulan di atas sana.
Seharusnya ada bulan…. Seperti yang dikatakan guru astronomiku beberapa tahun yang lalu. Ya, dari mana aku bisa tahu tentang dunia ini kalau saja tidak ada yang memberitahukan. Dari mana aku bisa tahu kalau benda bercahaya di malam hari itu adalah bulan. Ya, ada yang bersudut lima dan itu namanya bintang. Ah, kalau yang ini aku tidak terlalu yakin. Memori terpelajarku bercampur baur dengan gambar-gambar di tanah kering yang sering kubuat bersama teman-temanku lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Benda bersudut lima, dan orang-orang menyebutnya bintang.
Sumber gambar: Google Images
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
32Online
33 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Tidak ada bulan atau pun bintang
malam ini. Mereka kalah oleh awan
hitam yang menyelimuti langit. Awan,
itu juga bagian lagian dari memori
terpelajarku. Yang jelas, lampu jalanan
yang membuat malam ini aku bisa
melihat sekeliling. Ada deretan toko
y a n g s u d a h t u t u p s e m u a . D i
seberangnya, ada kantor pos tua yang
terkikis usia dan modernisasi. Masih
adakah yang mengirim surat hari ini
h a n y a u n t u k m e n g u n g k a p k a n
perasaannya sementara warung-warung
internet bermekaran bak jamur dan
menawarkan kemajuan teknologi yang
bernama surat elektronik? Klik
sekarang, sampai sekarang. Setidaknya
itu yang kutahu beberapa waktu lalu
ketika menemani tetanggaku ke warnet
ujung gang. Aku sudah sering
mendengarnya, dari televisi-televisi,
koran bekas bungkus makanan, dari
omongan orang-orang, tapi baru sekali
itu aku melihat proses canggih teknologi
itu. Internet, email dan semua yang
ditawarkan dunia maya.
“Mas, ada korek?”
Seorang laki-laki, tidak lebih
muda dariku, tiba-tiba sudah ada di
sampingku. Tersenyum dengan
sebatang rokok yang belum menyala di
antara kedua bibirnya yang mulai
menghitam. Sorot matanya tidak tajam,
tapi begitu dalam, seolah ada hitungan
tak terhingga dari hidup yang berenang
bebas di dalam kedua matanya.
“Ada korek?” laki-laki itu
bertanya lagi, melihat responku yang
lambat.
“Oh, ada Mas.” jawabku buru-
buru.
Kurogoh saku celana dan
mengeluarkan sebuah Zippo tua, milik
bapak yang disimpan ibu kemudian
diberikan kepadaku. Laki-laki itu
menerimanya dan segera menyalakan
rokok di mulutnya. Dengan hikmat dia
melakukan hisapan pertama, hisapan
yang dalam, sedalam tatapan matanya
yang sulit untuk kujelaskan.
“Mas bukan orang sini ya?”
tanyanya kemudian.
Segumpal asap keluar dari mulut
dan hidungnya.
“Bukan Mas.” jawabku sambil
meraih zippo yang disodorkannya
kembali padaku.
“Makasih koreknya.” Aku hanya
mengangguk. “Ngapain malam-malam
ke sini? Nyari siapa?” tanya laki-laki itu
lagi.
Ya, pertanyaan lumrah. Sedini
hari ini, aku masih berjalanan di jalan
umum yang sepi, sendirian. Aku
tersenyum saja, entah karena merasa dia
tidak perlu tahu atau karena merasa
malu.
Laki-laki itu sedikit terkekeh.
Yang ini aku juga tidak tahu kenapa. Apa
yang ada di dalam pikirannya tentang
aku? Tentang kenapa aku di sini.
“Ya sudah. Apa pun yang kamu
cari, selamat menikmati malam ini,”
u j a r n y a s a m b i l b e r b a l i k d a n
meninggalkanku. “Sekali lagi makasih
koreknya.”
Laki-laki itu membalikkan
punggung sambil terus berjalan. Ada
senyum tersungging di wajahnya.
Matanya pun ikut tersenyum dan seperti
memenjarakan apa yang baru saja kami
lewati. Percakapan singkat barusan,
seolah aku bisa melihat itu di matanya,
berenang bersama semua yang telah
dipenjarakan di dalam matanya.
Aku meringis. “Aku sedang
mencari Cinta, Mas.” ujarku setengah
berteriak.
Aku tidak ingin laki-laki itu
berpikiran buruk tentangku. Aku
memang tidak mengenalnya, mungkin
tidak akan pernah lagi bertemu
dengannya. Tapi kalau saja dia bercerita
tentang pertemuan denganku malam ini,
kepada siapa pun itu, aku tidak ingin ada
cerita yang buruk tentangku. Hanya
tidak ingin suatu saat ada yang melihat
kisahku yang salah berenang di
matanya.
Laki-laki itu menghentikan
langkahnya. Terdiam sebentar sebelum
akhirnya membalikkan badannya ke
arahku.
“Yang kau cari….” ujarnya
padaku, sepertinya hanya ingin
meyakinkan saja.
“Cinta.” jawabku setengah
tersipu.
“Cinta? Kau sedang mencari
Cinta?”
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
32Online
33 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Tidak ada bulan atau pun bintang
malam ini. Mereka kalah oleh awan
hitam yang menyelimuti langit. Awan,
itu juga bagian lagian dari memori
terpelajarku. Yang jelas, lampu jalanan
yang membuat malam ini aku bisa
melihat sekeliling. Ada deretan toko
y a n g s u d a h t u t u p s e m u a . D i
seberangnya, ada kantor pos tua yang
terkikis usia dan modernisasi. Masih
adakah yang mengirim surat hari ini
h a n y a u n t u k m e n g u n g k a p k a n
perasaannya sementara warung-warung
internet bermekaran bak jamur dan
menawarkan kemajuan teknologi yang
bernama surat elektronik? Klik
sekarang, sampai sekarang. Setidaknya
itu yang kutahu beberapa waktu lalu
ketika menemani tetanggaku ke warnet
ujung gang. Aku sudah sering
mendengarnya, dari televisi-televisi,
koran bekas bungkus makanan, dari
omongan orang-orang, tapi baru sekali
itu aku melihat proses canggih teknologi
itu. Internet, email dan semua yang
ditawarkan dunia maya.
“Mas, ada korek?”
Seorang laki-laki, tidak lebih
muda dariku, tiba-tiba sudah ada di
sampingku. Tersenyum dengan
sebatang rokok yang belum menyala di
antara kedua bibirnya yang mulai
menghitam. Sorot matanya tidak tajam,
tapi begitu dalam, seolah ada hitungan
tak terhingga dari hidup yang berenang
bebas di dalam kedua matanya.
“Ada korek?” laki-laki itu
bertanya lagi, melihat responku yang
lambat.
“Oh, ada Mas.” jawabku buru-
buru.
Kurogoh saku celana dan
mengeluarkan sebuah Zippo tua, milik
bapak yang disimpan ibu kemudian
diberikan kepadaku. Laki-laki itu
menerimanya dan segera menyalakan
rokok di mulutnya. Dengan hikmat dia
melakukan hisapan pertama, hisapan
yang dalam, sedalam tatapan matanya
yang sulit untuk kujelaskan.
“Mas bukan orang sini ya?”
tanyanya kemudian.
Segumpal asap keluar dari mulut
dan hidungnya.
“Bukan Mas.” jawabku sambil
meraih zippo yang disodorkannya
kembali padaku.
“Makasih koreknya.” Aku hanya
mengangguk. “Ngapain malam-malam
ke sini? Nyari siapa?” tanya laki-laki itu
lagi.
Ya, pertanyaan lumrah. Sedini
hari ini, aku masih berjalanan di jalan
umum yang sepi, sendirian. Aku
tersenyum saja, entah karena merasa dia
tidak perlu tahu atau karena merasa
malu.
Laki-laki itu sedikit terkekeh.
Yang ini aku juga tidak tahu kenapa. Apa
yang ada di dalam pikirannya tentang
aku? Tentang kenapa aku di sini.
“Ya sudah. Apa pun yang kamu
cari, selamat menikmati malam ini,”
u j a r n y a s a m b i l b e r b a l i k d a n
meninggalkanku. “Sekali lagi makasih
koreknya.”
Laki-laki itu membalikkan
punggung sambil terus berjalan. Ada
senyum tersungging di wajahnya.
Matanya pun ikut tersenyum dan seperti
memenjarakan apa yang baru saja kami
lewati. Percakapan singkat barusan,
seolah aku bisa melihat itu di matanya,
berenang bersama semua yang telah
dipenjarakan di dalam matanya.
Aku meringis. “Aku sedang
mencari Cinta, Mas.” ujarku setengah
berteriak.
Aku tidak ingin laki-laki itu
berpikiran buruk tentangku. Aku
memang tidak mengenalnya, mungkin
tidak akan pernah lagi bertemu
dengannya. Tapi kalau saja dia bercerita
tentang pertemuan denganku malam ini,
kepada siapa pun itu, aku tidak ingin ada
cerita yang buruk tentangku. Hanya
tidak ingin suatu saat ada yang melihat
kisahku yang salah berenang di
matanya.
Laki-laki itu menghentikan
langkahnya. Terdiam sebentar sebelum
akhirnya membalikkan badannya ke
arahku.
“Yang kau cari….” ujarnya
padaku, sepertinya hanya ingin
meyakinkan saja.
“Cinta.” jawabku setengah
tersipu.
“Cinta? Kau sedang mencari
Cinta?”
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
34Online
35 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Aku mengangguk, masih dengan
wajah malu-malu. Laki-laki itu
mendekatiku. Ah, haruskah aku
membagi ceritaku dengannya?
Ya, aku sedang mencari Cinta.
Ini hari pertamaku mencarinya. Sudah
sejak Subuh tadi aku keluar rumah
dengan degup yang membara akan
kerinduan pada Cinta. Aku ingin
bertemu dengannya, dengan Cinta yang
kucatat di ingatan paling dalam sejak
aku mendengar namanya.
“Ini Cinta.” ujar ibuku di tengah
malam buta saat dia terbangun karena
tangisan kehausan di usiaku yang
berbilang hari dan aku mencatatnya.
Cinta.
Lalu besok, besoknya lagi,
besoknya lagi, aku mencatatnya dari
mulut ibuku yang sederhana, yang
berbalut daster tua dan telah mengenal
Cinta dari ibunya, dari siapa pun yang
kemudian berkata, “Ini Cinta”. Cinta
yang kata ibuku kemudian pergi, dibawa
pergi bapak di dalam kopernya dan tak
pernah kembali, seperti bapak yang tak
pernah kembali.
Lalu Cinta kembali. Kekasihku
membisikannya pelan ke telingaku, “Ini
Cinta”, lagi, lagi, dan lagi. Tapi
ia pun kemudian berkata, “Cinta pergi.”
dan aku tak pernah melihat kekasihku
lagi.
Maka kini aku mencari Cinta.
Aku merindukannya. Akan kubawa dia
pulang, untuk Ibu dan kekasihku agar
mereka bisa berkata, “Ini Cinta.” lagi.
Dan haruskah ini kuceritakan padanya
yang asing ini?
“Buk!” Aku terhuyung ke
belakang. Laki-laki itu meninjuku di
wajah!
“Itu untuk untukmu, dan ini
untuk Cinta yang kau cari!” Dia
meninjuku lagi, di rahang yang sama.
Matanya murka, seolah ada gelombang
pasang yang terjadi di sana. Gelombang
pasang yang begitu buruk dan
menghancurkan.
Rasa ngilu mengalir di wajahku.
Aku bukan petarung ulung, bahkan
bukan petarung sama sekali, tidak
pernah terlibat dalam perkelahian apa
pun. Aku benar-benar tidak tahu harus
berbuat apa. Aku tidak tahu cara
menghindar, apalagi membalas semua
pukulan itu.
Maka kini aku mencari Cinta. Aku mer indukannya . Akan kubawa dia pulang, untuk Ibu dan kekasihku agar m e r e k a b i s a berkata, “Ini Cinta.” lagi. Dan haruskah in i kucer i t akan padanya yang asing ini?
Tiga kali. Empat kali. Laki-laki
itu mengamuk padaku.
“Mas....”, rintihku.
“Ada hubungan apa kau dengan
Cinta? Masih memujanya
sedemikian besar?”
M a t a h i t a m n y a s e d a n g
menelanjangiku. Mencoba masuk ke
bagian terdalam dari jiwaku dengan
membawa gada dan parang. Kenapa
dia? Ada apa dengannya?
Laki-laki itu menghabisiku. Ya,
berita-berita yang kudengar di televisi,
di koran-koran, tentang seseorang yang
menghabisi orang lain. Kini itu terjadi
padaku. Dia masih menyisakan rohku,
tapi semua ragaku telah dicabutnya
dengan sangar.
Aku kehilangan energi, bahkan
untuk merintih padanya, apalagi
memakinya. Darah segar keluar dari
mulut dan hidungku. Aku terkulai
lemah di atas aspal yang mulai dingin
dibasahi udara malam. Sakit, aku tidak
pernah sesakit ini.
“Sakit? Kau pikir ini semua
sakit?” bentaknya seolah membaca
pikiranku. Siapa laki-laki ini? Kenapa
dia melakukan semua ini padaku?
“Sekarang kau lihat apa itu sakit!”
““
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
34Online
35 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Aku mengangguk, masih dengan
wajah malu-malu. Laki-laki itu
mendekatiku. Ah, haruskah aku
membagi ceritaku dengannya?
Ya, aku sedang mencari Cinta.
Ini hari pertamaku mencarinya. Sudah
sejak Subuh tadi aku keluar rumah
dengan degup yang membara akan
kerinduan pada Cinta. Aku ingin
bertemu dengannya, dengan Cinta yang
kucatat di ingatan paling dalam sejak
aku mendengar namanya.
“Ini Cinta.” ujar ibuku di tengah
malam buta saat dia terbangun karena
tangisan kehausan di usiaku yang
berbilang hari dan aku mencatatnya.
Cinta.
Lalu besok, besoknya lagi,
besoknya lagi, aku mencatatnya dari
mulut ibuku yang sederhana, yang
berbalut daster tua dan telah mengenal
Cinta dari ibunya, dari siapa pun yang
kemudian berkata, “Ini Cinta”. Cinta
yang kata ibuku kemudian pergi, dibawa
pergi bapak di dalam kopernya dan tak
pernah kembali, seperti bapak yang tak
pernah kembali.
Lalu Cinta kembali. Kekasihku
membisikannya pelan ke telingaku, “Ini
Cinta”, lagi, lagi, dan lagi. Tapi
ia pun kemudian berkata, “Cinta pergi.”
dan aku tak pernah melihat kekasihku
lagi.
Maka kini aku mencari Cinta.
Aku merindukannya. Akan kubawa dia
pulang, untuk Ibu dan kekasihku agar
mereka bisa berkata, “Ini Cinta.” lagi.
Dan haruskah ini kuceritakan padanya
yang asing ini?
“Buk!” Aku terhuyung ke
belakang. Laki-laki itu meninjuku di
wajah!
“Itu untuk untukmu, dan ini
untuk Cinta yang kau cari!” Dia
meninjuku lagi, di rahang yang sama.
Matanya murka, seolah ada gelombang
pasang yang terjadi di sana. Gelombang
pasang yang begitu buruk dan
menghancurkan.
Rasa ngilu mengalir di wajahku.
Aku bukan petarung ulung, bahkan
bukan petarung sama sekali, tidak
pernah terlibat dalam perkelahian apa
pun. Aku benar-benar tidak tahu harus
berbuat apa. Aku tidak tahu cara
menghindar, apalagi membalas semua
pukulan itu.
Maka kini aku mencari Cinta. Aku mer indukannya . Akan kubawa dia pulang, untuk Ibu dan kekasihku agar m e r e k a b i s a berkata, “Ini Cinta.” lagi. Dan haruskah in i kucer i t akan padanya yang asing ini?
Tiga kali. Empat kali. Laki-laki
itu mengamuk padaku.
“Mas....”, rintihku.
“Ada hubungan apa kau dengan
Cinta? Masih memujanya
sedemikian besar?”
M a t a h i t a m n y a s e d a n g
menelanjangiku. Mencoba masuk ke
bagian terdalam dari jiwaku dengan
membawa gada dan parang. Kenapa
dia? Ada apa dengannya?
Laki-laki itu menghabisiku. Ya,
berita-berita yang kudengar di televisi,
di koran-koran, tentang seseorang yang
menghabisi orang lain. Kini itu terjadi
padaku. Dia masih menyisakan rohku,
tapi semua ragaku telah dicabutnya
dengan sangar.
Aku kehilangan energi, bahkan
untuk merintih padanya, apalagi
memakinya. Darah segar keluar dari
mulut dan hidungku. Aku terkulai
lemah di atas aspal yang mulai dingin
dibasahi udara malam. Sakit, aku tidak
pernah sesakit ini.
“Sakit? Kau pikir ini semua
sakit?” bentaknya seolah membaca
pikiranku. Siapa laki-laki ini? Kenapa
dia melakukan semua ini padaku?
“Sekarang kau lihat apa itu sakit!”
““
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
36Online
37 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Laki-laki itu meraih kakiku dan
menariknya. Dia menyeretku. Bisa
kurasakan aspal perlahan masuk
menembus celana dan kemejaku.
Kulitku tergores, melebar dan berdarah.
Tuhan, apakah aku akan mati
malam ini?
“Lihat!” Laki-laki itu berhenti
menyeretku, tepat ketika aku hampir
saja kehilangan kekuatan untuk
menahan semua rasa sakit itu. Dia
meraih kerah baju dan mengangkatku
berdiri.
“Lihat!” ujarnya sekali lagi,
buas. Telunjuk laki-laki itu menebar
arah ke hadapanku. Sebuah pekuburan.
“Itu bapakku, ibuku, adik-
adikku. Itu istriku, anak-anakku.” Dia
menunjuk kuburan itu satu-satu.
“Di mana Cinta saat mereka
meregang nyawa sa tu - sa tu d i
hadapanku?”
Dia bertanya, dengan rahang
merapat tertahan. Menebar pandangan
dan napas bau amis darah.
“Bapakku meregang nyawa di
hadapan para dokter yang tengah sibuk
makan siang. Ibuku mati saat mencari
keadilan buat bapakku. Saudara-
s a u d a r a k u m a t i k a r e n a
kehilangan penopang hidup. Istriku,
anak-anakku mati kelaparan di tengah
sawah yang menguning.”
Hening. Pekat.
“Apa itu Cinta? Di mana dia saat
aku membutuhkannya?”, tanya laki-laki
itu, lirih. “Cinta itu hanya sebuah omong
kosong . Omong kosong! J ad i
berhenti lah mencari Cinta dan
memujanya!”
Mata laki-laki itu kini meredup,
kelam. Ada rasa sakit yang begitu pekat
berhamburan dari matanya. Ya, itulah
mata yang memenjarakan semua yang
pernah d i l iha tnya . Mata yang
menyimpan seluruh hidup yang ambigu,
terkadang bersahabat dan melenakan, di
lain waktu begitu kejam dan menindas.
Aku menelan ludah, bercampur
dengan darah yang sudah tidak berasa
lagi. Bukan, itu bukan Cinta seperti apa
yang pernah kudengar. Cinta tidak
seperti itu. Cinta bukan omong kosong!
Cinta…. tidak. Itu bukan
Cinta yang kudengar dari mulut
Ibuku, bukan Cinta yang dibisikkan
kekasihku ke telingaku. Bukan
Cinta yang dibicarakan hidupku.
Cinta yang kudengar adalah arwah
suci yang mendamaikan bumi. Cinta
yang kudengar adalah …
Cinta… Apakah itu kamu?
Membaca tulisanku ini?
“ D i m a n a
Cinta saat mereka
meregang nyawa
s a t u - s a t u d i
hadapanku?”
Welinda Syafri, Padang-11 Januari 1984, domisili Bangka Belitung.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
36Online
37 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Laki-laki itu meraih kakiku dan
menariknya. Dia menyeretku. Bisa
kurasakan aspal perlahan masuk
menembus celana dan kemejaku.
Kulitku tergores, melebar dan berdarah.
Tuhan, apakah aku akan mati
malam ini?
“Lihat!” Laki-laki itu berhenti
menyeretku, tepat ketika aku hampir
saja kehilangan kekuatan untuk
menahan semua rasa sakit itu. Dia
meraih kerah baju dan mengangkatku
berdiri.
“Lihat!” ujarnya sekali lagi,
buas. Telunjuk laki-laki itu menebar
arah ke hadapanku. Sebuah pekuburan.
“Itu bapakku, ibuku, adik-
adikku. Itu istriku, anak-anakku.” Dia
menunjuk kuburan itu satu-satu.
“Di mana Cinta saat mereka
meregang nyawa sa tu - sa tu d i
hadapanku?”
Dia bertanya, dengan rahang
merapat tertahan. Menebar pandangan
dan napas bau amis darah.
“Bapakku meregang nyawa di
hadapan para dokter yang tengah sibuk
makan siang. Ibuku mati saat mencari
keadilan buat bapakku. Saudara-
s a u d a r a k u m a t i k a r e n a
kehilangan penopang hidup. Istriku,
anak-anakku mati kelaparan di tengah
sawah yang menguning.”
Hening. Pekat.
“Apa itu Cinta? Di mana dia saat
aku membutuhkannya?”, tanya laki-laki
itu, lirih. “Cinta itu hanya sebuah omong
kosong . Omong kosong! J ad i
berhenti lah mencari Cinta dan
memujanya!”
Mata laki-laki itu kini meredup,
kelam. Ada rasa sakit yang begitu pekat
berhamburan dari matanya. Ya, itulah
mata yang memenjarakan semua yang
pernah d i l iha tnya . Mata yang
menyimpan seluruh hidup yang ambigu,
terkadang bersahabat dan melenakan, di
lain waktu begitu kejam dan menindas.
Aku menelan ludah, bercampur
dengan darah yang sudah tidak berasa
lagi. Bukan, itu bukan Cinta seperti apa
yang pernah kudengar. Cinta tidak
seperti itu. Cinta bukan omong kosong!
Cinta…. tidak. Itu bukan
Cinta yang kudengar dari mulut
Ibuku, bukan Cinta yang dibisikkan
kekasihku ke telingaku. Bukan
Cinta yang dibicarakan hidupku.
Cinta yang kudengar adalah arwah
suci yang mendamaikan bumi. Cinta
yang kudengar adalah …
Cinta… Apakah itu kamu?
Membaca tulisanku ini?
“ D i m a n a
Cinta saat mereka
meregang nyawa
s a t u - s a t u d i
hadapanku?”
Welinda Syafri, Padang-11 Januari 1984, domisili Bangka Belitung.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
38Online
39 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Pasang Aksimu!
Kami sediakan space iklan (non iklan baris) murah di sini
hanya Rp. 100.000,-/satu halaman penuhuntuk edisi Desember 2012
silakan hubungi:08567360301 (Wahyu)085781187826 (Nunu) Atau pindai kode batang ini
ULAS
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
38Online
39 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Pasang Aksimu!
Kami sediakan space iklan (non iklan baris) murah di sini
hanya Rp. 100.000,-/satu halaman penuhuntuk edisi Desember 2012
silakan hubungi:08567360301 (Wahyu)085781187826 (Nunu) Atau pindai kode batang ini
ULAS
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
40Online
41 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
K e n g k a w a n
sekalian pasti pernah
m e m b a c a c e r p e n
'Robohnya Surau Kami'
karya A. A. Navis. Kalau
pun belum membaca
pa l ing t i dak pe rnah
mendengar judul tersebut
atau pengarangnya. Kalau
memang belum pernah
mendengar sama sekali,
maka kali ini kami beritahu
bahwa cerpen tersebut
adalah cerpen monumental
yang pernah ada dalam
khazanah sastra Indonesia.
Cerpen 'Robohnya Surau Kami' ini adalah salah
satu cerpen yang paling berpengaruh di dunia sastra
Indonesia. Melalui cerpen ini, A. A. Navis tak segan
mengkritik "orang-orang beriman" dalam perspektif agama
Islam yang konservatif atau cenderung ekstrem dan arabis.
Tapi nilai-nilai moral yang disampaikan justru sangat
Islami. Bahwa bekerja berarti beribadah, tetapi beribadah
saja belum tentu bekerja.
Robohnya Surau Kami yang dimak sud bukan roboh
secara fisik, melainkan tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri
ini. Di akhir cerita, terdapat dialog antara Tuhan dengan sang
Ustadz yang menjadi penggalan cerita yang paling mengena.
Bila kengkawan belum membaca cerita ini, segeralah
membacanya, karena anda akan langsung mendapatkan nilai luar
biasa mulia.
Profil pengarang
Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal publik dengan
sebutan AA. Navis lahir di Padang Panjang pada tanggal 17
November 1924.Navis belajar di INS Kayutanam dari tahun 1932
sampai 1943. Sejak tahun 1968 kembali mengabdi untuk lembaga
pendidikan yang didirikan oleh Muhammad Syafei itu. Lebih dari
20 buku sudah dihasilkan olehnya. Mulai dari kumpulan cerpen,
puisi, novel, kumpulan esai, hingga penulisan biografi dan
otobiografi. Pada tahun 1956, ia menulis kumpulan cerpen
Robohnya Surau Kami yang merupakan karya monumental dalam
dunia sastra Indonesia. Beliau meninggal dunia dalam usia 79
tahun, sekitar pukul 05.00, Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit
Yos Sudarso, Padang.
Robohnya Surau Kami
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
40Online
41 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
K e n g k a w a n
sekalian pasti pernah
m e m b a c a c e r p e n
'Robohnya Surau Kami'
karya A. A. Navis. Kalau
pun belum membaca
pa l ing t i dak pe rnah
mendengar judul tersebut
atau pengarangnya. Kalau
memang belum pernah
mendengar sama sekali,
maka kali ini kami beritahu
bahwa cerpen tersebut
adalah cerpen monumental
yang pernah ada dalam
khazanah sastra Indonesia.
Cerpen 'Robohnya Surau Kami' ini adalah salah
satu cerpen yang paling berpengaruh di dunia sastra
Indonesia. Melalui cerpen ini, A. A. Navis tak segan
mengkritik "orang-orang beriman" dalam perspektif agama
Islam yang konservatif atau cenderung ekstrem dan arabis.
Tapi nilai-nilai moral yang disampaikan justru sangat
Islami. Bahwa bekerja berarti beribadah, tetapi beribadah
saja belum tentu bekerja.
Robohnya Surau Kami yang dimak sud bukan roboh
secara fisik, melainkan tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri
ini. Di akhir cerita, terdapat dialog antara Tuhan dengan sang
Ustadz yang menjadi penggalan cerita yang paling mengena.
Bila kengkawan belum membaca cerita ini, segeralah
membacanya, karena anda akan langsung mendapatkan nilai luar
biasa mulia.
Profil pengarang
Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal publik dengan
sebutan AA. Navis lahir di Padang Panjang pada tanggal 17
November 1924.Navis belajar di INS Kayutanam dari tahun 1932
sampai 1943. Sejak tahun 1968 kembali mengabdi untuk lembaga
pendidikan yang didirikan oleh Muhammad Syafei itu. Lebih dari
20 buku sudah dihasilkan olehnya. Mulai dari kumpulan cerpen,
puisi, novel, kumpulan esai, hingga penulisan biografi dan
otobiografi. Pada tahun 1956, ia menulis kumpulan cerpen
Robohnya Surau Kami yang merupakan karya monumental dalam
dunia sastra Indonesia. Beliau meninggal dunia dalam usia 79
tahun, sekitar pukul 05.00, Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit
Yos Sudarso, Padang.
Robohnya Surau Kami
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
42Online
43 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Beberapa karyanya yang telah dibukukan adalah:
· Robohnya Surau Kami (1956)
· Bianglala (1963)
· Hujan Panas (1964)
· Kemarau (1967)
· Si Gadis dalam Sunyi (1970)
· Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
· Di Lintasan Mendung (1983)
· Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
· Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
· Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
· Cerita Rakyat Sumbar (1994)
· Jodoh (1998)
· Saraswati (2002)
· Bertanya Kerbau Pada Pedati
· Antologi Lengkap AA Navis (2004. Berisi 68 dari
69 cerpen yang pernah dibuat AA Navis semasa hidupnya).
(NAB dari berbagai sumber)
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
42Online
43 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Beberapa karyanya yang telah dibukukan adalah:
· Robohnya Surau Kami (1956)
· Bianglala (1963)
· Hujan Panas (1964)
· Kemarau (1967)
· Si Gadis dalam Sunyi (1970)
· Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
· Di Lintasan Mendung (1983)
· Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
· Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
· Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
· Cerita Rakyat Sumbar (1994)
· Jodoh (1998)
· Saraswati (2002)
· Bertanya Kerbau Pada Pedati
· Antologi Lengkap AA Navis (2004. Berisi 68 dari
69 cerpen yang pernah dibuat AA Navis semasa hidupnya).
(NAB dari berbagai sumber)
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
44Online
45 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Mereka bilang aku minggu siang yang tak pernah lelah
sementara buku jariku sering berdarah
Memetik senar hingga sayap jiwaku terbang
mencabik senar hingga paruh jiwaku patah
Nada itu, selalu membawaku pada musim-musim
melewati gurun, lembah, ngarai hingga lorong mimpi
Trompet melengking, genderang tambur bergema
langkah lars serdadu luka tertatih
menahan perih, sehabis perang gerilya
Billy Holiday menyanyi, suaranya galau
menyalak mengoyak tabir kelam malam
"This call its from the Blues!"
Ada yang sedang berendam dalam aquarium
Di balik podium Imperium itu,
ia masih menyanyi lagu lama yang itu-itu juga
Sementara kita, masih berdesakan di gheto dan
kamp pengungsi, perut diganjal mie instan + nasi basi
Warta di televisi, anak jalanan disodomi plus dimutilasi
Para penyair masih sibuk diskusi soal diksi
wakil rakyat koalisi untuk kepentingan sendiri
dan demonstrasi sudah hampir tak punya gigi
"This call its from the Blues!"
Sambil bersandar di tiang listrik trotoar pinggir jalan
menyaksikan buruh, pedagang kaki-lima, pelacur serta
penganggur bertahan hidup serta mengais mimpi
di jantung negri yang penuh korupsi
"This call its from the Blues!"
Billy Holiday menyanyi, suaranya parau
menyalak mengoyak kelam malam
Ada yang terjarah, terjajah dan terluka
sementara kita disini, terkesima
menantikan lokomotif perubahan yang dijanjikan
tak kunjung muncul di stasiun harapan
2010
Call Its From The Blues
Amien Kamil
Amien Kamil, lahir di Jakarta 2 Mei 1963.1983, sempat belajar di Sinematografi Institut Kesenian Jakarta.1986-1996, bergabung dengan Bengkel Teater rendra terlibat dalam beberapa pementasan di kota-kota besar di Indonesia.1988, ikut serta dalam “The First New York International Festival Of The Arts”, sempat juga mengikuti workshop di “Bread & Puppets Theatre” di Vermont, USA.1990, Pentas di Tokyo & Hiroshima, Japan. 1999, Tour Musik Iwan Fals di Seoul, Korea.Lighting Design untuk konser musik Iwan Fals hingga tahun 2002, pentas di seluruh kota besar di Indonesia.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
44Online
45 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Mereka bilang aku minggu siang yang tak pernah lelah
sementara buku jariku sering berdarah
Memetik senar hingga sayap jiwaku terbang
mencabik senar hingga paruh jiwaku patah
Nada itu, selalu membawaku pada musim-musim
melewati gurun, lembah, ngarai hingga lorong mimpi
Trompet melengking, genderang tambur bergema
langkah lars serdadu luka tertatih
menahan perih, sehabis perang gerilya
Billy Holiday menyanyi, suaranya galau
menyalak mengoyak tabir kelam malam
"This call its from the Blues!"
Ada yang sedang berendam dalam aquarium
Di balik podium Imperium itu,
ia masih menyanyi lagu lama yang itu-itu juga
Sementara kita, masih berdesakan di gheto dan
kamp pengungsi, perut diganjal mie instan + nasi basi
Warta di televisi, anak jalanan disodomi plus dimutilasi
Para penyair masih sibuk diskusi soal diksi
wakil rakyat koalisi untuk kepentingan sendiri
dan demonstrasi sudah hampir tak punya gigi
"This call its from the Blues!"
Sambil bersandar di tiang listrik trotoar pinggir jalan
menyaksikan buruh, pedagang kaki-lima, pelacur serta
penganggur bertahan hidup serta mengais mimpi
di jantung negri yang penuh korupsi
"This call its from the Blues!"
Billy Holiday menyanyi, suaranya parau
menyalak mengoyak kelam malam
Ada yang terjarah, terjajah dan terluka
sementara kita disini, terkesima
menantikan lokomotif perubahan yang dijanjikan
tak kunjung muncul di stasiun harapan
2010
Call Its From The Blues
Amien Kamil
Amien Kamil, lahir di Jakarta 2 Mei 1963.1983, sempat belajar di Sinematografi Institut Kesenian Jakarta.1986-1996, bergabung dengan Bengkel Teater rendra terlibat dalam beberapa pementasan di kota-kota besar di Indonesia.1988, ikut serta dalam “The First New York International Festival Of The Arts”, sempat juga mengikuti workshop di “Bread & Puppets Theatre” di Vermont, USA.1990, Pentas di Tokyo & Hiroshima, Japan. 1999, Tour Musik Iwan Fals di Seoul, Korea.Lighting Design untuk konser musik Iwan Fals hingga tahun 2002, pentas di seluruh kota besar di Indonesia.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
46Online
47 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Gerimis Aku Menangis
Wildan F. Mubarock
Sumber gambar: Google Images
Aku sangat
k a g u m p a d a
Aminah. Bukan
karena kecantikan
dan kelembutannya
pada setiap pria.
K e k a g u m a n k u
p a d a n y a l e b i h
karena kemandiria,
ke t ekunan , dan
k e b e r a n i a n y a
menantang hidup
t a n p a m a m p u
melihat kehidupan
itu sendiri.
Sore i tu, langit gelap tak
bersahabat. Aku duduk disampingnya
dalam bus tanpa alat pendingin dan
kepenatan sebagai pewarna. Aku perhatikan
Aminah asyik bercengkrama dengan ponsel
pintarnya. Entah dengan siapa dia
berbincang. Namun yang pasti raut
wajahnya terlihat begitu sumringah. Bila
diterka-terka seperinya dengan seseorang
yang sangat spesial. Itu terlihat dari
wajahnya yang memerah serta senyumnya
yang melukiskan kebahagiaan.
“Mas, bisa bantu saya”?, ujarnya.
Kemudian lembaran uang kembalian dari
Pak Kondektur Aminah tunjukan padaku.
“Ini berapa?”, tanyanya sebari menunjukan
uang lima ribu rupiah padaku.
Kedua tangan Aminah begitu
terampil memisakan lembaran demi
lembaran pada saku pakaianya. Ia memang
tak mampu melihat tapi mampu mengatasi
dengan kecerdasanya . Kecerdasa
menuntuntunya untuk tak pernah salah
dalam memberikan uang pada Pak
Kondektur. Aminah mampu mengingat di
saku sebelah mana dia menyimpan
lembaran uangnya. Subhanallah.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
46Online
47 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Gerimis Aku Menangis
Wildan F. Mubarock
Sumber gambar: Google Images
Aku sangat
k a g u m p a d a
Aminah. Bukan
karena kecantikan
dan kelembutannya
pada setiap pria.
K e k a g u m a n k u
p a d a n y a l e b i h
karena kemandiria,
ke t ekunan , dan
k e b e r a n i a n y a
menantang hidup
t a n p a m a m p u
melihat kehidupan
itu sendiri.
Sore i tu, langit gelap tak
bersahabat. Aku duduk disampingnya
dalam bus tanpa alat pendingin dan
kepenatan sebagai pewarna. Aku perhatikan
Aminah asyik bercengkrama dengan ponsel
pintarnya. Entah dengan siapa dia
berbincang. Namun yang pasti raut
wajahnya terlihat begitu sumringah. Bila
diterka-terka seperinya dengan seseorang
yang sangat spesial. Itu terlihat dari
wajahnya yang memerah serta senyumnya
yang melukiskan kebahagiaan.
“Mas, bisa bantu saya”?, ujarnya.
Kemudian lembaran uang kembalian dari
Pak Kondektur Aminah tunjukan padaku.
“Ini berapa?”, tanyanya sebari menunjukan
uang lima ribu rupiah padaku.
Kedua tangan Aminah begitu
terampil memisakan lembaran demi
lembaran pada saku pakaianya. Ia memang
tak mampu melihat tapi mampu mengatasi
dengan kecerdasanya . Kecerdasa
menuntuntunya untuk tak pernah salah
dalam memberikan uang pada Pak
Kondektur. Aminah mampu mengingat di
saku sebelah mana dia menyimpan
lembaran uangnya. Subhanallah.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
48Online
49 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Sudah hampir satu jam kami bersama,
Aminah tak pernah tahu bahwa sosok yang
duduk disampinya bukanlah pria muda,
melainkan aku. Usiaku sudah senja hampir
enam puluh tahun. Aku bahkan sudah beruban,
mataku memerlukan kacamata untuk melihat
dengan jelas. Tubuhku pun dinaungi kerentaan.
Penyakit mudah sekali singgah di tubuh
kurusku. Mudah sekali aku lelah, sering kali aku
tak kuasa menahan takdir. Menjadi tua dan
terus bekerja sebenarnya bukan pilihanku.
Sore mulai nampak, Buku pertamaku
ada dalam pelukan Aminah. Aku nyaris
tercengang karena pikirku untuk apa dia
membelinya. Bukankah dia tak bisa membaca
karena buta? Ada beribu tanya dalam hatiku.
Padahal aku tak pernah memaksakan murid-
muridku untuk membeli buku karyaku.
Bagiku memaksakan kehendak adalah
kebodohan. Seperti bangsa ini yang selalu saja
dibodohi bangsa asing atau bangsanya sendiri.
Ketidak mampuanku memaksa murid-muridku
membuat ketidak-larisan bukuku. Hasilnya,
hanya satu buku yang terjual dan pembelinya
adalah Aminah. Miris hatiku, tapi aku tak mesti
menangis.
Sampai detik ini Aminah belum menyadari
keberadaan gurunya. Dia masih terlihat asik dengan ponsel
pintarnya. Tapi bukan seseorang yang dihubunginya kali ini.
Sebuah earphone berbentuk hati melekat pada telinganya.
Irama musik mengalun-alunkan tubuhnya yang indah dan
penuh pesona. Mesti Jakarta panas, keteduhan irama lagu
membawanya dalam kantuk dan ketenangan jiwa.
“Bruuk...!”, Kemudian buku karyaku terjatuh persis di
sebelah kaki kiriku. Spontan aku membungkuk dan
mengambil buku Aminah yang merupakan buku karyaku.
Sebuah tulisan di halaman pertama terbaca oleh mataku
yang jail persis di bawah nama Siti Aminah. “Untuk
guruku, untuk pelitaku, untuk mataku, untuk terangku,
Maaf, Aminah tak bisa membacanya Pak, tapi Semoga...,
pulang nanti Bapak ada ongkos.
Wildan Fauzi M. Lahir di Bogor 7 Desember 1984. Aktivitas saat ini adalah sebagai dosen di Universitas Pakuan Bogor.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
48Online
49 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Sudah hampir satu jam kami bersama,
Aminah tak pernah tahu bahwa sosok yang
duduk disampinya bukanlah pria muda,
melainkan aku. Usiaku sudah senja hampir
enam puluh tahun. Aku bahkan sudah beruban,
mataku memerlukan kacamata untuk melihat
dengan jelas. Tubuhku pun dinaungi kerentaan.
Penyakit mudah sekali singgah di tubuh
kurusku. Mudah sekali aku lelah, sering kali aku
tak kuasa menahan takdir. Menjadi tua dan
terus bekerja sebenarnya bukan pilihanku.
Sore mulai nampak, Buku pertamaku
ada dalam pelukan Aminah. Aku nyaris
tercengang karena pikirku untuk apa dia
membelinya. Bukankah dia tak bisa membaca
karena buta? Ada beribu tanya dalam hatiku.
Padahal aku tak pernah memaksakan murid-
muridku untuk membeli buku karyaku.
Bagiku memaksakan kehendak adalah
kebodohan. Seperti bangsa ini yang selalu saja
dibodohi bangsa asing atau bangsanya sendiri.
Ketidak mampuanku memaksa murid-muridku
membuat ketidak-larisan bukuku. Hasilnya,
hanya satu buku yang terjual dan pembelinya
adalah Aminah. Miris hatiku, tapi aku tak mesti
menangis.
Sampai detik ini Aminah belum menyadari
keberadaan gurunya. Dia masih terlihat asik dengan ponsel
pintarnya. Tapi bukan seseorang yang dihubunginya kali ini.
Sebuah earphone berbentuk hati melekat pada telinganya.
Irama musik mengalun-alunkan tubuhnya yang indah dan
penuh pesona. Mesti Jakarta panas, keteduhan irama lagu
membawanya dalam kantuk dan ketenangan jiwa.
“Bruuk...!”, Kemudian buku karyaku terjatuh persis di
sebelah kaki kiriku. Spontan aku membungkuk dan
mengambil buku Aminah yang merupakan buku karyaku.
Sebuah tulisan di halaman pertama terbaca oleh mataku
yang jail persis di bawah nama Siti Aminah. “Untuk
guruku, untuk pelitaku, untuk mataku, untuk terangku,
Maaf, Aminah tak bisa membacanya Pak, tapi Semoga...,
pulang nanti Bapak ada ongkos.
Wildan Fauzi M. Lahir di Bogor 7 Desember 1984. Aktivitas saat ini adalah sebagai dosen di Universitas Pakuan Bogor.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
50Online
51 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Pasang Aksimu!
Kami sediakan space iklan (non iklan baris) murah di sini
hanya Rp. 150.000,-/satu halaman penuhuntuk edisi Desember 2012
silakan hubungi:08567360301 (Wahyu)085781187826 (Nunu) Atau pindai kode batang ini
AtapPutu Gede Pradipta
Bila hujan yang menjadikanmu pucatLangit muram selalu saja meratapAku bersedia tumpas sampai menguap
2010
Menguasai dahan juga rimbun awanBelum pasti adalah letak jawabanSampai hutan bersedia dikembalikan
2010
BurungPutu Gede Pradipta
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
50Online
51 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Pasang Aksimu!
Kami sediakan space iklan (non iklan baris) murah di sini
hanya Rp. 150.000,-/satu halaman penuhuntuk edisi Desember 2012
silakan hubungi:08567360301 (Wahyu)085781187826 (Nunu) Atau pindai kode batang ini
AtapPutu Gede Pradipta
Bila hujan yang menjadikanmu pucatLangit muram selalu saja meratapAku bersedia tumpas sampai menguap
2010
Menguasai dahan juga rimbun awanBelum pasti adalah letak jawabanSampai hutan bersedia dikembalikan
2010
BurungPutu Gede Pradipta
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
52Online
53 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
LautPutu Gede Pradipta
Siapa yang akan diabukan kembaliMelarutkanmu seorang diriBenar kau menangis sepanjang hari
2010
Jangan membuka kami yang pemalu di rakHarga-harga tetap memperjuangkan kamiDi mana uang mempunyai kemauan sendiri
2010
BukuPutu Gede Pradipta
Putu Gede Pradipta lahir di Denpasar, 18 Desember 1988. Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Dwijendra Denpasar
Putu Gede Pradipta
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
52Online
53 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
LautPutu Gede Pradipta
Siapa yang akan diabukan kembaliMelarutkanmu seorang diriBenar kau menangis sepanjang hari
2010
Jangan membuka kami yang pemalu di rakHarga-harga tetap memperjuangkan kamiDi mana uang mempunyai kemauan sendiri
2010
BukuPutu Gede Pradipta
Putu Gede Pradipta lahir di Denpasar, 18 Desember 1988. Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Dwijendra Denpasar
Putu Gede Pradipta
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
54Online
55 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2012 Kemendikbud
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan acara Puncak Bulan Bahasa
dan Sastra 2012 di Gedung Samudera, Rawamangun Jakarta, Selasa, (30/10).
Berbagai telah dilaksanakan selama satu bulan pada bulan Oktober 2012 ini,
mengangkat tema "Bahasa Indonesia Perekat Kerukunan Hidup
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara".
Dalam sambutanya, Kepala Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Mahsun mengatakan, bahasa adalah sarana
komunikasi bagi masyarakat yang
menyepakatinya. Dengan dasar tersebut,
bahasa diidentifikasikan seperti organisme.
“Oleh karena itu bahasa memiliki arti yang
penting bagi kehidupan kita, karena Bahasa
I n d o n e s i a a d a l a h b a h a s a y a n g
mempersatukan kita" kata Mahsun.
Tujuan bulan bahasa dan sastra
2012 adalah menumbuhkembangkan
kecintaan masyarakat terhadap bahasa dan
sastra Indonesia. Hal itu mengingat bahwa
tatanan kehidupan global yang dihadapi saat
ini mengharuskan semua komponen
masyarakat untuk lebih memperkuat
kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
54Online
55 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2012 Kemendikbud
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan acara Puncak Bulan Bahasa
dan Sastra 2012 di Gedung Samudera, Rawamangun Jakarta, Selasa, (30/10).
Berbagai telah dilaksanakan selama satu bulan pada bulan Oktober 2012 ini,
mengangkat tema "Bahasa Indonesia Perekat Kerukunan Hidup
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara".
Dalam sambutanya, Kepala Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Mahsun mengatakan, bahasa adalah sarana
komunikasi bagi masyarakat yang
menyepakatinya. Dengan dasar tersebut,
bahasa diidentifikasikan seperti organisme.
“Oleh karena itu bahasa memiliki arti yang
penting bagi kehidupan kita, karena Bahasa
I n d o n e s i a a d a l a h b a h a s a y a n g
mempersatukan kita" kata Mahsun.
Tujuan bulan bahasa dan sastra
2012 adalah menumbuhkembangkan
kecintaan masyarakat terhadap bahasa dan
sastra Indonesia. Hal itu mengingat bahwa
tatanan kehidupan global yang dihadapi saat
ini mengharuskan semua komponen
masyarakat untuk lebih memperkuat
kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
56
Ulasan
Online
57 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Online
47
Online
Ujung Senja
Sedikit ulasan untuk pembelajaran di sekolah
Mengenal Seni Oleh Wahyudimalamhari
Bulan bahasa dan sastra tahun ini
melibatkan siswa, mahasiswa, dan masyarakat
umum. Adapun kegiatan yang dilakukan
meliputi Pemberian Penghargaan Adibahasa,
penilaian penggunaan bahasa Indonesia di
media massa cetak (tingkat nasional), debat
bahasa antarmahasiswa se-Jabodetabek dan
Banten, pemilihan Duta Bahasa (tingkat
Nasional), parade mural cinta Bahasa
Indonesia, sayembara penulisan proposal
penelitian kebahasaan dan kesastraan ( tingkat
nasional), sayembara penulisan cerpen remaja
(tingkat nasional), lomba keterampilan
berbahasa Indonesia bagi peserta BIPA (
tingkat nasional), dan festival musikalisasi
puisi bagi siswa SLTA se-Jabodetabek.
Sumber: kemdiknas.go.id/kemdikbud
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
56
Ulasan
Online
57 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Online
47
Online
Ujung Senja
Sedikit ulasan untuk pembelajaran di sekolah
Mengenal Seni Oleh Wahyudimalamhari
Bulan bahasa dan sastra tahun ini
melibatkan siswa, mahasiswa, dan masyarakat
umum. Adapun kegiatan yang dilakukan
meliputi Pemberian Penghargaan Adibahasa,
penilaian penggunaan bahasa Indonesia di
media massa cetak (tingkat nasional), debat
bahasa antarmahasiswa se-Jabodetabek dan
Banten, pemilihan Duta Bahasa (tingkat
Nasional), parade mural cinta Bahasa
Indonesia, sayembara penulisan proposal
penelitian kebahasaan dan kesastraan ( tingkat
nasional), sayembara penulisan cerpen remaja
(tingkat nasional), lomba keterampilan
berbahasa Indonesia bagi peserta BIPA (
tingkat nasional), dan festival musikalisasi
puisi bagi siswa SLTA se-Jabodetabek.
Sumber: kemdiknas.go.id/kemdikbud
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
58Online
59 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Mengenal Seni
Wahyudimalamhari
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia
Seni atau kesenian merupakan bagian dari
kebudayaan. Yaitu gagasan manusia yang
diekspresikan melalui pola kelakuan tertentu
sehingga menghasilkan karya yang indah dan
bermakna. Bentuk kesenian adalah (1)
Pengetahuan, gagasan, nilai-nilai yang ada pada
pikiran manusia; (2) Pola kelakuan tertentu untuk
mewujudkan gagasan; (3) Hasil kelakuan yang
berupa karya seni.
Sebelum beranjak kepada materi seni lebih
lanjut. Baiknya kita mengenal sejarah kesenian
terlebih dahulu. Terutama mengenai sejarah
kesenian di Indonesia.
S e j a r a h k e s e n i a n I n d o n e s i a , d a l a m
perkembangan periodisasinya telah mengalami
berbagai kemajuan seiring dengan kompleksnya
kebudayaan itu sendiri yang cenderung melesat
tajam. Pada dasarnya, kesenian di Indonesia
mempunyai lima tahap periodisasi kronologis
yang juga mewakili tahapan kesenian lain yang
tidak termaktup di dalamnya. Sedangkan
periodisasi itu adalah:
Sumber gambar: Google Images Sumber gambar: Google Images
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
58Online
59 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Mengenal Seni
Wahyudimalamhari
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia
Seni atau kesenian merupakan bagian dari
kebudayaan. Yaitu gagasan manusia yang
diekspresikan melalui pola kelakuan tertentu
sehingga menghasilkan karya yang indah dan
bermakna. Bentuk kesenian adalah (1)
Pengetahuan, gagasan, nilai-nilai yang ada pada
pikiran manusia; (2) Pola kelakuan tertentu untuk
mewujudkan gagasan; (3) Hasil kelakuan yang
berupa karya seni.
Sebelum beranjak kepada materi seni lebih
lanjut. Baiknya kita mengenal sejarah kesenian
terlebih dahulu. Terutama mengenai sejarah
kesenian di Indonesia.
S e j a r a h k e s e n i a n I n d o n e s i a , d a l a m
perkembangan periodisasinya telah mengalami
berbagai kemajuan seiring dengan kompleksnya
kebudayaan itu sendiri yang cenderung melesat
tajam. Pada dasarnya, kesenian di Indonesia
mempunyai lima tahap periodisasi kronologis
yang juga mewakili tahapan kesenian lain yang
tidak termaktup di dalamnya. Sedangkan
periodisasi itu adalah:
Sumber gambar: Google Images Sumber gambar: Google Images
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
60Online
61 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
1. Masa Prasejarah
Pada masa ini dibagi menjadi empat masa; pertama,
Zaman Batu Tua (Paleolithic), dalam masa ini
peninggalan-peninggalan seni yang paling menonjol
adalah alat-alat batu yang dipecah secara kasar, seperti;
alat pemotong, penumbuk serta kapak. Kedua, Zaman
Batu Pertengahan (Mesolithic), karya seni yang penting
di jaman ini adalah; lukisan-lukisan pada dinding-
dingding batu terutama di bagian timur dari kepulauan.
Ketiga, Zaman Batu Baru/ Akhir (neolithic), peradaban
manusia yang telah mengenal pertanian dan kelautan
telah melahirkan alat-alat seni yang berupa; gerabah,
pembuatan kain dari kayu, pembentukan kayu dan batu
yang telah dikembangkan kemudian alat mata panah dari
batu, lumpang dan alu, beliung halus, hiasan dari kerang
dan biji binatang serta manik-manik.
Pada zaman Megalith peninggalan kebudayaan yang
cukup penting adalah; menhir peringatan, tempat duduk
nenek moyang, altar di atas diatas bangunan berundak,
peti dan sarkofagus serta patung-patung dan figur-figur
yang dipahat dari batu-batu monolith besar. Dan yang
terakhir Zaman Perunggu, peninggalan kesenian penting
yang telah diwariskan adalah; ketrampilan dasar nenek
moyang dalam peleburan logam serta pandai dalam
lahirnya berbagai pandal logam yang telah mewarnai
pada masa ini.
2. Masa Datangnya Hindu dan Budha
Masa yang mulai penuh warna. Mengapa?
Karena pada masa ini nusantara mulai berani
untuk bersentuhan dengan pelbagai dunia asing
yang masuk melalui pelabuhan-pelabuhan yang
tersebar di tanah air. Semisal dengan adanya
asimilasi serta adaptasi kebudayaan India.
Perkawinan antar pedagang pendatang dengan
peribumi atau warga asli telah melahirkan
sebuah kebudayaan maju nan komplek yang
mampu berbicara banyak pada masa itu.
Pun juga dengan pertukaran barang-barang
mineral dan logam sebagai tanda jasa baik alat
pembayaran karena barter masih menjadi opsi
mutlak ketika sistem uang belum banyak dikenal
oleh khayalak penduduk setempat. Pun juga
dengan menjamurnya berbagai patung-patung
Budha dalam berbagai dewa-dewa yang diyakini
dalam aliran kepercayaan mereka. Pendirian
candi-candi kemudian monumen-monumen,
batuan artefak.
Dan beragam pakaian serta perhiasan, senjata
alat instrumental, musik, tari-tarian serta tingkah
laku pendeta. Sedangkan pada bidang seni rupa;
bangunan candi pada dinding gerbang
pemendian seni.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
60Online
61 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
1. Masa Prasejarah
Pada masa ini dibagi menjadi empat masa; pertama,
Zaman Batu Tua (Paleolithic), dalam masa ini
peninggalan-peninggalan seni yang paling menonjol
adalah alat-alat batu yang dipecah secara kasar, seperti;
alat pemotong, penumbuk serta kapak. Kedua, Zaman
Batu Pertengahan (Mesolithic), karya seni yang penting
di jaman ini adalah; lukisan-lukisan pada dinding-
dingding batu terutama di bagian timur dari kepulauan.
Ketiga, Zaman Batu Baru/ Akhir (neolithic), peradaban
manusia yang telah mengenal pertanian dan kelautan
telah melahirkan alat-alat seni yang berupa; gerabah,
pembuatan kain dari kayu, pembentukan kayu dan batu
yang telah dikembangkan kemudian alat mata panah dari
batu, lumpang dan alu, beliung halus, hiasan dari kerang
dan biji binatang serta manik-manik.
Pada zaman Megalith peninggalan kebudayaan yang
cukup penting adalah; menhir peringatan, tempat duduk
nenek moyang, altar di atas diatas bangunan berundak,
peti dan sarkofagus serta patung-patung dan figur-figur
yang dipahat dari batu-batu monolith besar. Dan yang
terakhir Zaman Perunggu, peninggalan kesenian penting
yang telah diwariskan adalah; ketrampilan dasar nenek
moyang dalam peleburan logam serta pandai dalam
lahirnya berbagai pandal logam yang telah mewarnai
pada masa ini.
2. Masa Datangnya Hindu dan Budha
Masa yang mulai penuh warna. Mengapa?
Karena pada masa ini nusantara mulai berani
untuk bersentuhan dengan pelbagai dunia asing
yang masuk melalui pelabuhan-pelabuhan yang
tersebar di tanah air. Semisal dengan adanya
asimilasi serta adaptasi kebudayaan India.
Perkawinan antar pedagang pendatang dengan
peribumi atau warga asli telah melahirkan
sebuah kebudayaan maju nan komplek yang
mampu berbicara banyak pada masa itu.
Pun juga dengan pertukaran barang-barang
mineral dan logam sebagai tanda jasa baik alat
pembayaran karena barter masih menjadi opsi
mutlak ketika sistem uang belum banyak dikenal
oleh khayalak penduduk setempat. Pun juga
dengan menjamurnya berbagai patung-patung
Budha dalam berbagai dewa-dewa yang diyakini
dalam aliran kepercayaan mereka. Pendirian
candi-candi kemudian monumen-monumen,
batuan artefak.
Dan beragam pakaian serta perhiasan, senjata
alat instrumental, musik, tari-tarian serta tingkah
laku pendeta. Sedangkan pada bidang seni rupa;
bangunan candi pada dinding gerbang
pemendian seni.
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
62Online
63 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
3. Masa Islam
Keajaan-kerajan Islam yang muncul pertama kai di Sumatra
telah memberi aroma lain pada perkembangan seni di
nusantara. Namun dalam hal ini perkembangan kesenian yang
terjadi di Indonesia lebih terfokus pada kesenian yang terjadi
pada masa Islamisasi di Jawa. Kita melihat bagaimana peran
yang sangat sentral dari sembilan wali yang telah mencoba
mengislamkan penduduk Jawa tak hanya dari segi religi
namun juga dalam kesenian. Ini dapat terlihat pada mulai
munculnya kesenian gamelan, wayang kulit/ orang dan
ketoprak yang tetap digemari hingga sekarang.
4. Masa Orang-orang Eropa
Bangsa-bangsa barat yang mulai merambah nusantara dari
Portugis hingga yang terakhir Jepang, telah meletakkan dasar
pemikiran keseniannya dalam perangai seni dan kesenian
hampir di segala sektor. Semisal Portugis yang hanya singgah
dalam beberapa tahun telah mampu dan sukses menularkan
tradisi musik keroncong hingga sekarang, meskipun dalam
awal penyusupannya hanya difokuskan di wilayah Indonesia
bagian timur. Kemudian bangsa Belanda yang mulai
menunggangi nusantara juga sngat getol dengan lukisan,
puisi, menggambar dan berbagai cinderamata yang diberikan
untuk raja-raja yang mau ikut tunduk kepada kebijakan
pemerintahan kolonial.
5. Masa Kemerdekaan
Indonesia yang telah merdeka mempunyai hak penuh dalam mengelola
keseniannya. Berbagai aliran seni telah lahir dan berkembang pada masa
ini. Pelukis-pelukis kenamaan dari Jawa dan Bali telah hadir dan
memberi warna segar dalam perkembangan seni di tanah air. Basuku
Abdullah, Afandi dalan seantero nama-nama orang besar dalam
perkembangan seni di nusantara.
Pun juga denga seni-seni yang lain yang tak kalah hebatnya mulai
merambah dalam berbagai sektor. Pertunjukan, drama, opera hingga
musik (dangdut) telah menjadi komoditi utama dalam menyerap masa
yang begitu getolnya mengkomsumsi aliran musik ini.
Namun tentu saja perkembangan musik ini tidak berhenti hingga ini saja.
Seiiring dengan berjalannya waktu perkembangan seni di nusantara tetap
akan hadir senafas dengan semakin kompleksnya masyarakat yang
begitu butuhnya akan keberadaan seni. Semakain tinggi tingakat
pemikiran mereka, maka semakin maju pula keingginan mereka untuk
mewujudkan seni yang mandiri, kompleks dan penuh inovasi.
Wahyudimalamhari adalah nama pena dari Wahyudi.
Lahir di Bogor, 5 April beberapa tahun lalu. Setelah
lulusan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
jurusan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Pakuan
Bogor, ia melanjutkan studi di jurusan Administrasi
Pendidikan pada universitas yang sama, Saai ini
bekerja sebagai guru mata pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di SMK Binantara dan PT. Bintang
Pelajar juga mengajar Seni dan Budaya di SMK Annisa.
Acara dimulai pukul 20.10 WIB, terlambat 40 menit dari
yang dijadwalkan. Acara dibawakan oleh Ons Untoro yang juga
selaku direktur Tembi Rumah Budaya. Dalam pengantarnya, Ons
mengatakan bahwa acara Malam Sastra Bulan Purnama kali ini
sengaja diselenggarakan di pendopo Tembi Rumah Budaya, bukan di
amphiteater seperti MSBP sebelumnya untuk mengantisipasi hujan.
“Kalau hujan, penyairnya bisa lari, tapi alat-alat (soundsystem) nya
tidak,” jelas Ons Untoro.
MBPS #2 dibagi menjadi 3 sesi, sesi pembacaan puisi,
musikalisi puisi, dan ditutup dengan sesi spontanitas. Dalam sesi
pembacaan puisi, ada 12 penyair wanita dari 15 penyair yang
dijadwalkan hadir memeriahkan acara. Kedua belas penyair ini
membacakan puisi ciptaan mereka sendiri.
Adalah Eko Purwati, seorang sastrawan yang aktif pada
tahun 80-an yang mendapat giliran pertama membacakan empat
puisinya: Ini Hariku, Sajak Mimpiku, Sajak Malamku dan Maafkan
Aku. Disusul kemudian Ririe Rengganis, penyair asal Surabaya yang
membacakan tiga puisi, yaitu Pada Lorong Rumahmu, Musim Gugur
di Beranda dan Terimakasih untuk Opah. Yang ketiga, Diah Ayu,
penyair asal Solo, membacakan Senandung Malam, Terpenjara, dan
Jiwa Merapuh. Selanjutnya secara bergiliran ada Retno Iswandari,
mahasiswi Magister Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada membaca
dua puisi: Riwayat Dosadan Merah Hidup dan Merah Waktu (Pada
Iwan Simatupang), dan Okti Muktini yang membacakan satu
puisinya berjudul Pahlawan Devisa.
Sumber gambar: mediasastra.com
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
64Online
65 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Malam Sastra Bulan Purnama #2
Kamis 10 november 2011, bertempat di
pendopo Tembi Rumah Budaya, Malam Sastra
Bulan Purnama #2 (MSBP) dilangsungkan. Tema
MSBP #2 adalah “Membuka Hati Membaca
Puisi”. Acara yang diselenggarakan setiap malam
bulan purnama, untuk kali ini memilih para
penyair wanita untuk membacakan puisi-puisinya.
Acara dimulai pukul 20.10 WIB, terlambat 40 menit dari
yang dijadwalkan. Acara dibawakan oleh Ons Untoro yang juga
selaku direktur Tembi Rumah Budaya. Dalam pengantarnya, Ons
mengatakan bahwa acara Malam Sastra Bulan Purnama kali ini
sengaja diselenggarakan di pendopo Tembi Rumah Budaya, bukan di
amphiteater seperti MSBP sebelumnya untuk mengantisipasi hujan.
“Kalau hujan, penyairnya bisa lari, tapi alat-alat (soundsystem) nya
tidak,” jelas Ons Untoro.
MBPS #2 dibagi menjadi 3 sesi, sesi pembacaan puisi,
musikalisi puisi, dan ditutup dengan sesi spontanitas. Dalam sesi
pembacaan puisi, ada 12 penyair wanita dari 15 penyair yang
dijadwalkan hadir memeriahkan acara. Kedua belas penyair ini
membacakan puisi ciptaan mereka sendiri.
Adalah Eko Purwati, seorang sastrawan yang aktif pada
tahun 80-an yang mendapat giliran pertama membacakan empat
puisinya: Ini Hariku, Sajak Mimpiku, Sajak Malamku dan Maafkan
Aku. Disusul kemudian Ririe Rengganis, penyair asal Surabaya yang
membacakan tiga puisi, yaitu Pada Lorong Rumahmu, Musim Gugur
di Beranda dan Terimakasih untuk Opah. Yang ketiga, Diah Ayu,
penyair asal Solo, membacakan Senandung Malam, Terpenjara, dan
Jiwa Merapuh. Selanjutnya secara bergiliran ada Retno Iswandari,
mahasiswi Magister Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada membaca
dua puisi: Riwayat Dosadan Merah Hidup dan Merah Waktu (Pada
Iwan Simatupang), dan Okti Muktini yang membacakan satu
puisinya berjudul Pahlawan Devisa.
Sumber gambar: mediasastra.com
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
66Online
67 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Usai selingan musikalisasi puisi Andaikan Aku Jadi Hujan yang
dibawakan oleh Budhi Wiryawan, pembacaan puisi dilanjutkan oleh Umi
Kulsum dengan puisinya, Kapal Retak dan Mengingatmu. Lalu disusul oleh
Mutia sukma, penyair termuda diantara penyair yang hadir malam itu
membaca 3 puisinya:Firman, Sumpah, dan Usaha Mengenang dan
Herlinatiens, novelis yang membaca 3 puisi (yang ia sebut dengan catatan-
catatan facebooknya) yaitu Lohgawe, Mata Hujan, dan Berlarian dalam
Hujan. Selanjutnya Abidah El Khalieqy, mendeklamasikan nukilan novelnya
yang terkenal Perempuan Berkalung Sorban. Dan yang terakhir adalah
Naomi Srikandi, aktor dan sutradara teater dengan puisinya: Ulang Tahun
Superman,AH!, dan Sundal.
Usai Naomi membacakan puisinya, Ons Untoro
membuka sesi spontanitas. Beberapa hadirin yang
datang saat itu pun ikut unjuk kebolehan dengan
membaca puisi mereka masing-masing. Diantaranya,
Septiana dengan puisinya yang berjudul Senja di
Parangtritis, Farukh HT dengan puisinya, Rindu.
Adapula seorang tamu dari Difabel community dengan
musikalisasi puisinya Nota Kesepahaman. Selain itu
ada pula Slamet Riyadi dari PSK (Persada Studi Klub)
dengan puisinya yang berjudul Mengenang Toto
Sudarto Bachtiar. Acara MSBP #2 ditutup dengan
musikalisasi puisi oleh Ikun Sri Kuncoro dan paripurna
pada pukul 22.00 WIB.
Sumber: mediasastra.com
Sumber gambar: mediasastra.com
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
66Online
67 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Usai selingan musikalisasi puisi Andaikan Aku Jadi Hujan yang
dibawakan oleh Budhi Wiryawan, pembacaan puisi dilanjutkan oleh Umi
Kulsum dengan puisinya, Kapal Retak dan Mengingatmu. Lalu disusul oleh
Mutia sukma, penyair termuda diantara penyair yang hadir malam itu
membaca 3 puisinya:Firman, Sumpah, dan Usaha Mengenang dan
Herlinatiens, novelis yang membaca 3 puisi (yang ia sebut dengan catatan-
catatan facebooknya) yaitu Lohgawe, Mata Hujan, dan Berlarian dalam
Hujan. Selanjutnya Abidah El Khalieqy, mendeklamasikan nukilan novelnya
yang terkenal Perempuan Berkalung Sorban. Dan yang terakhir adalah
Naomi Srikandi, aktor dan sutradara teater dengan puisinya: Ulang Tahun
Superman,AH!, dan Sundal.
Usai Naomi membacakan puisinya, Ons Untoro
membuka sesi spontanitas. Beberapa hadirin yang
datang saat itu pun ikut unjuk kebolehan dengan
membaca puisi mereka masing-masing. Diantaranya,
Septiana dengan puisinya yang berjudul Senja di
Parangtritis, Farukh HT dengan puisinya, Rindu.
Adapula seorang tamu dari Difabel community dengan
musikalisasi puisinya Nota Kesepahaman. Selain itu
ada pula Slamet Riyadi dari PSK (Persada Studi Klub)
dengan puisinya yang berjudul Mengenang Toto
Sudarto Bachtiar. Acara MSBP #2 ditutup dengan
musikalisasi puisi oleh Ikun Sri Kuncoro dan paripurna
pada pukul 22.00 WIB.
Sumber: mediasastra.com
Sumber gambar: mediasastra.com
Edisi 5 / Thn. I / November 2012Online
68Online
69 Edisi 5 / Thn. I / November 2012
Kami juga mengundang semua pembaca untuk mengirimkan karya, liputan kegiatan, komunitas sastra/budaya
(regional/kampus/sekolah), pengajuan pemasangan Iklan Pustaka Budaya maupun Iklan Umum Komersil melalui surel ke
[email protected], atau pesan pada https://www.facebook.com/kopisastra
Kami mengundang semua pembaca
Online
untuk memberi kritik dan saran
agar kami bisa lebih baik
Sebagai upaya melestarikan Majalah Online Kopi Sastra, kami pun mengundang para pembaca untuk turut serta membantu kami dengan
berdonasi kepada Majalah Online Kopi Sastra.
D o n a s iKlik!
REKOMENDASIJudul: Aku Jalak Bukan JablayPenulis : Aira Miranty DewiPenerbit: Gramedia Pustaka UtamaTerbit: 2012
Tidak mudah jadi orangtua tunggal. Masyarakat memandang sinis status janda (single parent). Kenapa jadi janda disebut aib, apalagi kalau si janda ini cantik dan merawat diri?
Novel ini menjawab pandangan itu berdasarkan kisah nyata yang pernah dialami oleh Aira Miranti Dewi. Ia sudah 14 tahun menjadi orangtua mandiri (single parent) bagi kedua anaknya.
Judul: Wali SangaPenulis: Damar ShashangkaPenerbit : DolphinTerbit : Oktober 2012
Ketika Majapahit hancur oleh serangan Dêmak pada tahun 1478, tanah Jawa penuh dengan pergolakan. Masa itu adalah masa penyebaran Islam secara besar-besaran. Majelis Wali Sanga, selaku wadah besar para ulama, didukung pemerintahan Islam di pesisir utara, mulai merambah ranah politik. Bahkan Sunan Giri menitahkan pembakaran lontar-lontar agama leluhur, Siwa Budha, yang masih banyak disimpan penduduk Jawa. Karena merasa ulama seharusnya hanya berperan sebagai pencerah dan pembimbing pemerintah dan masyarakat, Syekh Siti Jênar menyatakan diri keluar dari Majelis Wali Sanga. Para ulama di Jawa pun di ambang perpecahan.
Kami juga mengundang semua pembaca untuk mengirimkan karya, liputan kegiatan, komunitas sastra/budaya
(regional/kampus/sekolah), pengajuan pemasangan Iklan Pustaka Budaya maupun Iklan Umum Komersil melalui surel ke
[email protected], atau pesan pada https://www.facebook.com/kopisastra
Kami mengundang semua pembaca
Online
untuk memberi kritik dan saran
agar kami bisa lebih baik
Sebagai upaya melestarikan Majalah Online Kopi Sastra, kami pun mengundang para pembaca untuk turut serta membantu kami dengan
berdonasi kepada Majalah Online Kopi Sastra.
D o n a s iKlik!
REKOMENDASIJudul: Aku Jalak Bukan JablayPenulis : Aira Miranty DewiPenerbit: Gramedia Pustaka UtamaTerbit: 2012
Tidak mudah jadi orangtua tunggal. Masyarakat memandang sinis status janda (single parent). Kenapa jadi janda disebut aib, apalagi kalau si janda ini cantik dan merawat diri?
Novel ini menjawab pandangan itu berdasarkan kisah nyata yang pernah dialami oleh Aira Miranti Dewi. Ia sudah 14 tahun menjadi orangtua mandiri (single parent) bagi kedua anaknya.
Judul: Wali SangaPenulis: Damar ShashangkaPenerbit : DolphinTerbit : Oktober 2012
Ketika Majapahit hancur oleh serangan Dêmak pada tahun 1478, tanah Jawa penuh dengan pergolakan. Masa itu adalah masa penyebaran Islam secara besar-besaran. Majelis Wali Sanga, selaku wadah besar para ulama, didukung pemerintahan Islam di pesisir utara, mulai merambah ranah politik. Bahkan Sunan Giri menitahkan pembakaran lontar-lontar agama leluhur, Siwa Budha, yang masih banyak disimpan penduduk Jawa. Karena merasa ulama seharusnya hanya berperan sebagai pencerah dan pembimbing pemerintah dan masyarakat, Syekh Siti Jênar menyatakan diri keluar dari Majelis Wali Sanga. Para ulama di Jawa pun di ambang perpecahan.