1 BUSYRA Buletin Syiar Rahmatul Asri TOKOH: Abbas Mahmud Aqqad (JURNALIS ISLAM) Headline News: Teknis Jitu, Metode Praktek Info Pondok: Wisuda Santri XI Opini: Think To Be Better Cerbung: Dia Adikku, Bukan Aril!!! Tausiah: 6 Amalan Kebaikan Santri Berprestasi: Ukhti Wulung Pertiwi Edisi IV Juli 2013/Ramadhan 1434 INFAK: RP 3000
Buletin Santri Pondok Pesantren Modern Rahmatul Asri
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BUSYRA Buletin Syiar Rahmatul Asri
TOKOH:
Abbas Mahmud Aqqad (JURNALIS ISLAM)
Headline News: Teknis Jitu, Metode Praktek
Info Pondok: Wisuda Santri XI
Opini: Think To Be Better
Cerbung: Dia Adikku, Bukan Aril!!!
Tausiah: 6 Amalan Kebaikan
Santri Berprestasi: Ukhti Wulung Pertiwi
Edisi IV Juli 2013/Ramadhan 1434
H
INFAK: RP 3000
1
SALAM REDAKSI
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu alaikum wr.wb
Puji syukur atas kehadirat
Sang pencipta yang maha kuasa,
yang memberi kita rahmat serta
inayah-Nya, yakni Allah SWT.
Shalawat serta salam tercurah
kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad Saw yang menjadi
panutan dan memberi contoh
akhlak yang baik.
Alhamdulillah, edisi Juli
ini kami akhirnya bisa menjadi
bacaan shaahibul BUSYRA. Tentunya banyak kekurangan dalam karya kami
ini namun, kami akan berusaha sekeras mungkin untuk memberikan yang
terbaik kami agar pembaca tidak bosan untuk membacanya dan menjadi
tertarik untuk terus mengikuti terbitan buletin kami berikutnya. Mudah-
mudahan kami dapat memberikan informasi yang akurat dan sesuai dengan
apa yang shaahibul inginkan mengenai sekolah kami ini, yaitu Pondok
Oleh: Ahrieza Falahi Dalimoenthe ”Ilmu itu datangnya dari buku, dan bukan dari penulis”A. M.Aqqad” Aku tidak pernah terpengaruh oleh siapapun dan aku ingin menjadi diriku sendiri “A.M.Aqqad” The Crusher writter” Saad Zaghlo
A. Prolog Seorang pemikir ulung,filosof serta ulama sekaligus jurnalis di penghujung-awal abad 19 dan 20. Putra dari Ibrahim Mahmud Al-Aqqad ini dilahirkan pada hari Jum„at di Kota Aswan, dalam ruang lingkup keluarga terhormat yang amat memperhatikan pertumbuhannya. Ayah beliau sendiri bertugas disalah satu Kantor Arsip Provinsi Aswan, yang pada saat itu kondisi kodifikasi arsip Mesir
sendiri dalam keadaan yang memang kurang
kondusif. Keadaan ini
memaksa ayahnya untuk
selalu menghabiskan
waktu di meja kantornya. Kakek beliau bernama Muhammad Aga As-Syarif yang mana garis keturunannya sampai kepada Abbas bin Abdel Mutallib kakek dari Rasulullah SAW. Pada masa kecilnya beliau sering mengikuti halaqah yang diisi oleh salah seorang ulama Azhar yaitu Sheikh Ahmad Al- Jadawi bersama ayahandanya. Dimana Ahmad Al-Jadawi sendiri banyak mengadopsi pemikiranpemikiran Jamaluddin Al-Afghani. Jadi sebenarnya dari masa yang amat belia sekali tanpa Aqqad sadari telah tertanam didalam dirinya beragam dan corak dari
tokoh-tokoh keislaman pada masa itu. Dimasa kecilnya beliau memiliki kemampuan yang amat lain dari teman-teman sebayanya. Seperti halnya dibangku sekolah, pada masa yang amat belia sekali ia sudah dapat memahami hal-hal yang berkenaan dengan sosial. Aqqad juga gemar membaca, salah satu kitab yang amat ia gandrungi adalah “Kisah 1001 satu malam” dan Diwan Baha Al-Zuhairi juga kitab yang dikarang oleh Al- Abshihi yang berjudul “Al- Mustathraf fil Fannil Mustazhraf”. Imam Muhammad Abduh pada saat berkunjung ke Sekolah Dasar Nasional dimana Aqqad berseragam SD-nya berkata mengenai intelektual yang dimiliki Aqqad melalui karya-karya sicilik Aqqad, sambil berdecak kagum Imam Muhammad Abduh berkata: “Sesiapapun yang menulis ini akan menjadi penulis nantinya”. Namun pendidikan formal yang dienyam–nya tidaklah seperti yang diharapkan, karena pada usia yang sangat muda sekali yaitu ketika ia berumur 15 tahun ia meninggalkan bangku sekolah atau setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar.
Adapun sebab yang mendorong beliau untuk meninggalkan pendidikannya adalah kemauan dirinya sendiri, dengan kata lain Aqqad sendiri lebih gemar untuk membaca sendiri daripada untuk mengenyam pendidikan
9
secara formal. Mungkin jika beliau meneruskan pendidikannya sampai pada bangku kuliah, maka akan lain lagi kisah petualangan seorang penulis ini, bisa jadi ia akan berangkat ke Eropa dan akan setara dengan para pemikir-pemikir terkemuka Mesir lainnya pada masa itu. Namun bagi beliau pendidikan formal bukanlah segalanya, dengan terputusnya pendidikan tidak menjadikan beliau berhenti untuk mendalami apa yang ia rasa menarik bagi dirinya, hal ini dapat dilihat ketika ia mulai bekerja sebagai salah seorang buruh upahan disebuah Pabrik Sutra di kota Demyaat. Ia memanfaatkan gaji dan waktu luang untuk membeli bukubuku, membaca dan menulis terutama di bidang politik dan sastra. Aqqad berkata didalam sebuah karyanya yang berjudul Abqareyyas Siddiq: “aku tidak menulis tentang sejarah kekhilafahannya dan bukan juga tentang tragedi-tragedi yang terjadi pada masa itu, akan tetapi yang kutuliskan adalah gambaran pribadi dari seorang khalifah besar dimana kita dapat mengenalnya lebih dekat untuk lebih memperjelas kreasi-kreasi beliau serta faktorfaktor yang mendorong kesuksesan beliau”. Dari paparan yang disampaikan beliau kami mencoba untuk mengambil intisariapa sebenarnya yang terbesit dari pemikiran Aqqad dalam karyanya yang satu ini, bahwa sebenarnya bagi setiap generasi penerus yang terpenting adalah mampu untuk mengembangkan prilaku-prilaku serta faktor-faktor yang mendukung kesuksesan baik
itu dari segi dakwah, akhlak kepada manusia dan yang tak kalah pentingnya lagi akhlak terhadap sang Khalik. Hal ini jelas seperti apa yang disampaikan beliau dalam buku yang sama: “…tidaklah penting bagi kita kecil besarnya kepribadian Abu Bakar dimata ummat Islam, karena pada dasarnya ia akan mengecil dan membesar, karena semua itu tergantung pada kaca-mata orang-orang yang memandangnya, karena pada dasarnya hal-hal yang kecil memiliki hal yang lebih penting dari pada hal-hal yang terkesan besar namun memiliki kepentingan yang sedikit” B. Aqqad dan Jurnalistik Disaat Aqqad mulai menuangkan tinta pikirannya ketika mendalami hal-hal yang berkenaan dengan jurnalistik dan pers, Aqqad memiliki pengalaman yang berbeda seperti apa yang dialami para wartawan atau jurnalis-jurnalis lain pada masa itu. Ia harus bekerja keras membagi waktu menjadi seorang pegawai Jalur Lintas Perusahaan Kereta Api di kota Zaqaziq provinsi Sharkeyya dan menjadi seorang yang mengamati permasalahan sastra dan politik Mesir pada saat itu. Pada umur 16 tahun tepatnya pada tahun 1905 M ia bertolak menuju ibu kota, dengan berbekalkan berbagai pengalaman menulis, ia memberanikan diri untuk datang menghadap para tokoh-tokoh yang ada pada masa itu di kota Kairo, yang diantara lain adalah: Ya„qub Shoorof, George Zidane dan Mohammad Farid yang pada saat menjadi salah seorang tokoh nasionalis terkemuka. Setelah
10
berselang 2 tahun yaitu pada tahun 1907 Aqqad bertemu dengan salah seorang pemuka jurnalis keislaman dan seorang evaluator politik dan sastra Mohammad Farid Wajdi. Aqqad datang pada Farid Wajdi dan menawarkan diri untuk menjadi salah satu staffnya diharian Dustur. Dan pada tahun yang sama Aqqad bertemu dengan Saad Zaghlool dimana beliau pada masa itu menjabat menjadi Menteri Penerangan, dimana pada masa itu siasat politik Saad Zaghlool yang ia terapkan diperkantoran divisi penerangan sendiri banyak ditentang oleh banyak kalangan. Hubungan yang erat antara guru dan murid -red. Aqqad dan Farid- ini semakin akrab, hal ini dikarenakan
seluruh kolom serta rubrik yang diterbitkan pada setiap edisinya ditangani langsung oleh mereka berdua. Dimana Aqqad sendiri menangani editorial dan terjemah. Aqqad terjun langsung pada harian ini mulai dari awalnya sampai pada akhir dari edisi ini. Setelah terhentinya harian perdana dimana Aqqad banyak belajar bagaimana tentang percaturan dunia pers, Aqqad kembali bekerja sebagai penulis sastra di Kementrian Wakaf, namun tugas yang emban dikementrian tak membuatnya betah sehingga ia meninggalkan pekerjaanya itu pada tahun 1913. Dan pada tahun yang sama Aqqad mencoba kembali untuk kembali ke dunia pers yaitu bekerja sebagai
wartawan diharian yang mendukung perjuangan politik Khadaiwi Abbas Helmi. Kembali lagi seperti biasanya ia kembali hengkang dari harian tersebut karena merasa visi dan misi partai tersebut kurang sejalan dengan alur pemikiran yang dimiliki Aqqad dimana saat itu pimpinan redaksi adalah Sheikh Ali Yosef. Aqqad juga pernah menjabat sebagai salah seorang staff pengajar bersamasama dengan salah seorang penulis legendaries Mesir yaitu Ibraheem Abdel Kadir Al-Mazni. Pengalaman mengajar bagi Aqqad sendiri disini bukanlah untuk yang pertama kalinya, karena pada umur yang relatif muda yaitu; 15 tahun, Aqqad telah terhimpun dalam staff pengajar muda di Kota Aswan yang dipimpin oleh Mostafa Kamil sendiri. Dunia tulis menulis adalah dunianya Aqqad, ia tidak pernah menyerah untuk selalu menyelami
air-air dimana ia dapat menimba ilmu dari sesiapapun.. Walaupun kondisi pers dan jurnalistik Mesir pada saat itu sangat tidak kondusif. Hal itu dikarenakan masa transisi dari pemerintahan kolonial kepemerintahan revolusi. Tidak sekali Aqqad berpindah-pindah rumah redaksi dimulai dari tahun ia datang ke Ibu Kota diantara rumah-rumah redaksi yang pernah ia datangi adalah Harian El-Ahali yaitu pada tahun 1917, Harian Al-Ahram yang terbit di Alexandria pada tahun 1919.
Tak sekali Aqqad sendiri mengalami ancaman ataupun intimidasi melalui tulisan-tulisannya disetiap harian dimana ia bertugas menjadi dewan redaksi didalamnya. Namun segala ancaman tadi tak membuatnya ketar-ketir dalam melantunkan penanya diatas kertas, karena dengan menulis bagi Aqqad
11
sendiri adalah kebebasan segala-galanya, baik itu kebebasan berpikir, ekspresi maupun membumikan ide-ide yang tersimpan baik didalam benaknya. Berkisar pada tahun yang sama juga, Aqqad mulai membumikan karya-karyanya, yang pada awalnya ia lebih banyak berkonsentrasi pada bidang sastra dimana pada saat yang sama juga khazanah kesusastraan jazirah arab dipenuhi para pakar-pakar sastra diantaranya adalah Amirus Syua„ra Ahmad Syauqi. Yang mana Aqqad sendiri banyak menentang buah-buah piker Ahmad Syauqi yang banyak tertuang kedalam syair-syair yang dikumandangkan Syauqi. Diantara karya-karya Aqqad adalah: “Khalasatul Yaumeyya”,1912, Dar Heelal “Sudzuur”, 1913 “El-Insaan Ats-sani”, 1913 “Yaqdzatus Sabah”, 1916, Karya sastra Aqqad Perdana. Salah satu petisi Aqqad yang jelas-jelas menentang Syauqi adalah apa yang Aqqad sampaikan sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir adalah: “Kita telah mendengar keributan yang ditimbulkan seorang yang bernama Syauqi tentang perihal
kehebatannya, namun kita lalui semua itu dengan diam (tanpa reaksi-red) seperti halnya kita melalui hiruk-pikuknya keributan yang telah dilalui sebelumnya. Yaitu dengan tidak memperdulikan kemasyhurannya juga dengan tidak mencounter karya karyanya dalam sastra. Karena sesungguhnya hasil karya Syauqi sendiri adalah salah satu pengikut mazhab „self-desructive‟ yang kami anggap sebagai buah karya dari para orang-orang yang sombong.” Aqqad menilai bahwa kesuksesan Syauqi sendiri didukung karena ia kerap akrab dengan orang-orang pers yang tidak segansegan untuk mengelu-elukannya dalam media, begitu juga dengan hubungannya dengan orang-orang pemerintah dimana Aqqad menganggapnya adalah sebuah kebetulan. Aqqad sendiri juga tidak segan-segan untuk menulis dibeberapa majalah edisi-edisi yang banyak menjadi sorotan khalayak umum pada masa itu, yaitu menjadi penulis dimajalah: Ruzel Yosser, Heelal, Akhbarul Yom dan Majalah Azhar.