Top Banner
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 117/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON (IV) J A K A R T A RABU, 7 JANUARI 2015
19

Mahkamah Konstitusi RI

Mar 10, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Mahkamah Konstitusi RI

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---------------------

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 117/PUU-XII/2014

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981

TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA

PIDANA

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI DARI

PEMOHON

(IV)

J A K A R T A

RABU, 7 JANUARI 2015

Page 2: Mahkamah Konstitusi RI

i

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

-------------- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 117/PUU-XII/2014

PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana [Pasal 1 angka 24, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Raja Bonaran Situmeang ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon (IV) Rabu, 7 Januari 2015, Pukul 10.46 – 11.39 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Arief Hidayat (Ketua) 2) Aswanto (Anggota) 3) Maria Farida Indrati (Anggota) 4) Muhammad Alim (Anggota) 5) Wahiduddin Adams (Anggota) 6) Patrialis Akbar (Anggota) Dewi Nurul Savitri Panitera Pengganti

Page 3: Mahkamah Konstitusi RI

ii

Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon:

1. Kores Tambunan

2. Ulhaq

3. Amor Tampubolon

4. Poltak Marbun

5. Eben Ezer Sitorus

6. Wilfrid F. Sihombing

7. Mangasi Harianja

8. Charles Hutagalung

B. Ahli dari Pemohon:

1. Natalius Pigai 2. Made Darma Weda

C. Pemerintah:

1. Rusdi Hadi Teguh 2. Mualimin Abdi 3. Budijono 4. Nasrudin

Page 4: Mahkamah Konstitusi RI

1

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismilaahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam perkara Nomor 117/PUU-XII/2014, dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Perlu saya sampaikan pada Pemohon, Pemerintah, dan Saksi yang

dihadirkan oleh Pemohon. Pada persidangan Pleno hari ini, sesuai dengan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, semestinya Pleno harus dihadiri minimal tujuh orang Hakim, pada hari ini dua orang Hakim telah mengakhiri purna baktinya dan akan digantikan pelantikannya pengucapan sumpah baru nanti siang, sehingga dua orang Hakim kosong, dan seorang Hakim Mahkamah Konstitusi sedang sakit, sehingga tidak bisa Pleno. Tapi, kita bersidang masih dimungkinkan oleh Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, tidak dalam sidang Pleno, tapi Panel yang diperluas karena tidak mengambil putusan. Saya mohon persetujuan ... minta persetujuan dari Pemohon, apakah bisa dilanjutkan atau ada keberatan yang harus dicatat, saya persilakan Pemohon.

2. KUASA HUKUM PEMOHON: KORES TAMBUNAN Terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Kuasa Hukum Pemohon, setuju Yang Mulia.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT Setuju ya. Baik, terima kasih. Dari Pemerintah?

4. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Setuju, Yang Mulia.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, kalau begitu kita lanjutkan persidangan ini. Untuk Acara agendanya mendengarkan Saksi Ahli, mendengarkan Ahli dari Pemohon yang sudah didatangkan Pemohon dua orang. Yang pertama, Pak Natalius Pigai, S.I.P. Sudah hadir. Kemudian, Dr. Made Darma Weda, S.H., M.S., sudah hadir, ya. Saya persilakan diambil sumpahnya terlebih dulu, yang Pak Natalius Pigai, beragama Katolik, kemudian Pak Dr.

SIDANG DIBUKA PUKUL 10.46 WIB

KETUK PALU 3X

Page 5: Mahkamah Konstitusi RI

2

Made Darma Weda beragama Hindu. Saya mohon berkenan Prof. Maria untuk mengambil sumpah, untuk yang beragama Katolik terlebih dulu.

6. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, mohon ikuti saya. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.”

7. AHLI DARI PEMOHON: NATALIUS PIGAI

Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.

8. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih. Mohon ikuti saya. “Om Atah Parama Wisesa, saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Om, Santi, Santi, Santi, Om.”

9. AHLI DARI PEMOHON: MADE DARMA WEDA

Om Atah Parama Wisesa, saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Om, Santi, Santi, Santi, Om.

10. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI

Terima kasih.

11. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Prof. Maria. Silakan kembali ke tempat! Rohaniwan, terima kasih. Baik, saya tanyakan kepada Pemohon, Ahli siapa dulu yang akan diminta untuk memberikan keterangannya?

12. KUASA HUKUM PEMOHON: KORES TAMBUNAN

Terima kasih, Yang Mulia. Kami permohonan ke dalam persidangan ini, yang pertama adalah Dr. Made Darma Weda, S.H., M.S. Terima kasih, Yang Mulia.

Page 6: Mahkamah Konstitusi RI

3

13. KETUA: ARIEF HIDAYAT Saya persilakan kepada Pak Dr. Made Darma Weda untuk memberikan keterangannya di podium yang tersedia. Saya persilakan. Persidangan kita satu jam, oleh karena itu saya mohon kepada Para Ahli untuk bisa memberikan keterangan highlights-nya saja karena makalah, keterangan tertulis sudah kami terima, saya persilakan, waktunya tidak lebih dari 15 menit.

14. AHLI DARI PEMOHON: MADE DARMA WEDA Baik, Yang Mulia Majelis Hakim, Para Pemohon, dan Termohon yang saya hormati. Perkenankan saya menyampaikan pendapat saya yang terkait dengan permohonan judicial review, terhadap Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Ada beberapa hal yang dianggap rancu atau tidak memberikan kejelasan di dalam KUHAP, yaitu di Pasal 1 angka 14 ada bukti permulaan, kemudian Pasal 1 angka 20 itu cukup bukti. Kemudian di dalam Pasal 17 bukti permulaan yang cukup, dan Pasal 21 itu disebutkan bukti yang cukup.

Istilah yang berbeda-beda di dalam KUHAP ini memberikan kerancuan atau memberikan pemahaman yang berbeda-beda antar instansi. Salah satu contoh adalah ketika penyidik melakukan proses penyidikan itu ada Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Di situ disebutkan bahwa bukti permulaan adalah alat bukti berupa laporan polisi dan satu alat bukti yang sah. Jadi alat bukti yang ditentukan oleh … atau yang dipergunakan oleh pihak kepolisian adalah laporan polisi dan satu alat bukti yang sah. Kalau beranjak pada KUHAP terkait dengan alat bukti yang sah dalam Pasal 118 ayat ... Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa ada keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam hal ini tidak ada disebutkan laporan polisi sebagai alat bukti. Kemudian melihat pada Pasal 183 KUHAP, di situ ditentukan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan dua alat bukti yang sah, ya, ditambah juga keyakinan hakim. Jadi dari proses sistem peralihan pidana hanya ketika hakim menjatuhkan pemidanaan itu ada apa ... batasan atau kriteria yang jelas, yaitu dua alat bukti yang sah. Sedangkan dalam proses penyidikan itu tidak ada disebutkan berapa jumlah alat bukti yang sah. Saya mengutip beberapa prinsip di dalam hukum acara pidana atau hukum pidana formil dan juga hukum pidana materiil. Bahwa kalau di dalam hukum pidana materiil itu dikenal adanya asas nullum delictum atau asas legalitas, ya. Maka di dalam KUHAP itu juga ada asas legalitas

Page 7: Mahkamah Konstitusi RI

4

yang harus ditaati oleh penegak hukum. Asas legalitas ini diperlukan dalam konteks bahwa penegak hukum itu harus benar-benar menerapkan hukum atau menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal adanya prinsip lex certa dan prinsip lex scripta. Hukum acara pidana dan hukum pidana itu tidak hanya diperlukan untuk melindungi pemerintah atau negara tetapi juga dipergunakan untuk melindungi masyarakat. Oleh karena itu prinsip nullum delictum ini adalah bagaimana hukum ini melindungi masyarakat ketika masyarakat berhadapan dengan pemerintah atau negara. Jadi asas legalitas ini secara keseluruhan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu pertama memperkuat kepastian hukum. Kemudian menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan deterrence function, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Pasal 1 ayat (1) KUHP atau yang sering disebut sebagai asas legalitas itu muncul karena adanya kondisi atau rezim yang otoriter. Oleh karena itu, di dalam hukum pidana sangat ketat di dalam memegang asas atau prinsip legalitas. KUHAP atau hukum acara pidana di Indonesia itu sesungguhnya dibuat atau didasarkan pada prinsip due process of law. Due process of law ini juga merupakan bagian dari negara hukum dengan mengutip pendapat Dicey bahwa the rule of law itu terdiri dari supremacy of law, equality before the law, dan due process of law. Oleh karena itu, due process of law itu adalah terkait juga dengan masalah hak asasi manusia. Proses penetuan seseorang menjadi tersangka, kemudian melakukan penangkapan dan penahanan, dan juga melakukan pemidanaan itu adalah bagian yang sangat bersentuhan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, harus ditentukan secara tepat dan rigid. Berdasarkan paparan singkat saya, menurut saya cukup bukti, bukti permulaan atau bukti yang cukup itu harus ditentukan secara definitif, ya. Beranjak pada Pasal 183 KUHAP dan 184 ayat (1) KUHAP, maka yang disebut dengan alat bukti itu adalah tidak boleh keluar dari apa yang ditentukan di dalam Pasal 184 KUHAP dan demikian juga mengenai jumlah harus ditentukan, kalau menurut saya sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, yaitu terkait dengan dua alat bukti. Demikian beberapa paparan saya, Yang Mulia. Terima kasih.

15. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Made. Berikutnya Pak Natalius Pigai, saya persilakan.

Page 8: Mahkamah Konstitusi RI

5

16. AHLI DARI PEMOHON: NATALIUS PIGAI Baik, terima kasih Pimpinan Hakim Yang Mulia dan para Majelis Hakim, para Pemohon dan Termohon yang saya hormati. Saya perlu menyampaikan bahwa posisi saya adalah individu yang memahami hak asasi manusia, jadi khusus di sini. Dan di sini saya hadir sebagai seorang individu yang mempraktik penegakan HAM dan memahami hukum-hukum hak asasi manusia, jadi tidak merepresentasi apapun. Ini saya perlu tegaskan ya. Yang pertama saya perlu sampaikan bahwa saya akan menyampaikan hal yang sifatnya terkait dengan hak asasi manusia, jadi tidak menyangkut kasuistik, apalagi kasus-kasus yang terkait dengan korupsi dan lain sebagainya, itu adalah sebuah tindakan hostis humanis generis yang tidak disukai semua orang. Tetapi dari sisi perspektif hak asasi manusia siapapun tentu kita berprinsip melindungi yang bersangkutan secara individu, itu sikap. Sejahat apapun orangnya, hak-hak yang melekat padanya tentu menjadi perhatian kami sebagai pejuang penegak HAM, kemudian kami yang memahami prinsip-prinsip hak asasi manusia. Oleh karena itu saya ingin sampaikan secara singkat, tidak lebih dari lima menit, Pimpinan Majelis. Mohon izin saya akan membacakan saja karena ini menyangkut prinsip-prinsip hukum pidana yang terkait dengan aspek hak asasi manusia. Saya tentu kehadiran saya di sini berdasarkan permintaan dari pembela yang terkait dengan pengujian ketentuan Pasal 1 ayat (14), Pasal 17, dan 21 tentang KUHAP, khususnya mengenai bukti permulaan yang cukup, ya. Berikut saya ingin sampaikan hak-hak tersangka, dalam pengertian ini secara keseluruhan ya, dalam proses hukum pidana yang sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Antara lain yang pertama bahwa tentu kita menyadari bahwa satu sebagai bangsa Indonesia yang berdasarkan negara hukum, berasaskan Pancasila, maka hal ini mengadung arti bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama, setara, equal di hadapan hukum tanpa adanya diskriminasi, ras, suku, agama, politik, dan status sosial. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan tegas menyatakan prinsip hukum yang mensyaratkan adanya keadilan dan penerapan hukum (fairness in the application of the law) dengan halnya ... demikian halnya Indonesia juga sudah mengadopsi hukum hak asasi manusia internasional melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yaitu konvenan PBB tentang hak sipil dan politik yang juga memuat tentang prinsip-prinsip penting yang tegaknya sebuah sistem peradilan pidana yang adil, ya ini korelasinya ya.

Lalu yang kedua, tentu juga bahwa terkait dengan ketentuan mengenai bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP) diatur bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pindana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud

Page 9: Mahkamah Konstitusi RI

6

dengan bukti permulaan cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 1 angka 14 KUHAP. Adapun Pasal 1 angka 14 KUHAP menjelaskan mengenai definisi tersangka sebagai seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Membaca pasal-pasal tersebut di atas, para Majelis Hakim Yang Mulia, dapat disimpulkan bahwa KUHAP tidak mengatur mengenai difinisi bukti permulaan yang cukup dalam tahap penangkapan, ini pemahaman kami ya. Namun hal ini diatur dalam keputusan bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, Kapolri, nomornya tertera di dalam makalah saya tentang peningkatan koordinasi penanganan perkara pidana.

Peraturan Kapolri sebagaimana disebutkan … nomornya … yang tentang pedoman administrasi penyidikan tindak pidana, di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan 1 alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Tetapi, Pasal 184 KUHAP tidak disebutkan dalam laporan polisi sebagai bukti permulaan. Menurut M. Yahya Harahap, mengenai apa yang dimaksud dengan permulaan yang cukup, ya, bukti permulaan cukup, pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik, akan tetapi sangat disadari cara penerapan yang demikian bisa menimbulkan ketidakpastian dalam praktek hukum, serta sekaligus membawa kesulitan bagi pra peradilan untuk menilai tentang ada atau tidaknya permulaan bukti yang cukup. Yang paling rasional dan realistis apabila perkataan permulaan dibuang, ini menurut Professor apa … menurut Yahya Harahap, ya. Sehingga, kalimat itu berbunyi, “Diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup”, jadi kalau kata permulaan dibuang, itu cukup bisa membuat para terdakwa atau tersangka merasa puas karena tentu penangkapan dan lain-lain itu adalah bisa disertai dengan bukti yang kuat. Yang keenam bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, menyatakan bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 alat bukti termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, disimpan, baik secara biasa maupun elektronik. Ini perlu saya tegaskan, jadi 2 alat bukti itu kepada terdakwa atau tersangka harus diberitahu, kenapa? Karena pemberitahuan kepada yang bersangkutan ini menyangkut right to know, hak untuk diketahui. Kenapa? Hak untuk diketahui adalah hak yang melekat kepada setiap orang atau setiap individu, bukan kepada orang lain. Kasus itu adalah kasus yang dihadapai yang bersangkutan.

Page 10: Mahkamah Konstitusi RI

7

Oleh karena itu, tidak ada alasan bahwa alat bukti tersebut bisa dibuktikan di peradilan. Ini hal yang sangat prinsipiil dalam konteks hak asasi manusia. Right to know harus diberitahukan sebelum proses peradilan dilaksanakan. Saya kira itu. Kemudian yang berikutnya adalah bahwa penjabaran di atas, bukti permulaan yang cukup sebagai dasar penahanan penetapan tersangka atau penjatuhan putusan oleh hakim, diatur secara kualitatif, dalam hal ini dalam tahapan penangkapan penetapan tersangka, bukti permulaan yang cukup tersebut benar-benar menunjukkan bahwa yang bersangkutan diduga keras melakukan tindak pidana dan dalam tahapan penjatuhan putusan, alat bukti tersebut telah meyakinkan hakim bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Kemudian yang berikutnya, proses peradilan pidana dalam konteks hak asasi manusia, secara tegas diatur hak tersangka melalui ketentuan Pasal 9 ayat (1) Hak Kovenan PBB, Hak Sipil, dan Politik menyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi, tidak seorangpun yang dapat ditangkap, ditahan secara sewenang-wenang, tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. Jadi, prosedur yang ditetapkan oleh hukum mungkin para hakim bisa merujuk Pasal 84, ya. Pasal 9 ayat (2) juga pada undang-undang yang sama menegaskan, “Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada penangkapannya dan harus segera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan kepadanya.” Itu yang disebut yang tadi saya sampaikan right to know, yang melekat kepada setiap individu. Kemudian, terkait dengan dukungan terhadap Kovenan PBB, di dalam hukum HAM kita di Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 juga menyatakan demikian, “Setiap oang yang ditangkap, ditahan, dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah. Sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Kepastian ini dilakukan untuk melindungi seorang yang akan ditetapkan sebagai tersangka dan rumusannya hampir sama dengan pengertian terhadap para hukum acara pidana di Amerika yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan harus didasarkan atas affidavit and testimony … affidavit dan testimoni, yakni harus didasar kepada ada bukti dan kesaksian. Ini yang sudah mulai akhir-akhir.

Dengan telah dirumuskan ketentuan bahwa penyidik dan JPU berkewajiban mengumpulkan alat bukti sesuai dengan cara yang tidak melawan hukum dan hanya alat bukti yang diperoleh secara sah menurut hukum yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahannya. Hal itu juga menjadi bagian dari upaya perlindungan hak

Page 11: Mahkamah Konstitusi RI

8

asasi manusia, khususnya bagi tersangka atau terdakwa dalam proses pengumpulan alat bukti untuk tidak dipaksa, disiksa, direkayasa, dan lain agar mengakui kesalahannya sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Konvenan PBB tentang Sipil dan Politik. Bahwa pemberitahuan atas tuduhan yang disangkakan atau mengenai alasan penahanan dengan bukti-bukti tersebut menjadi bagian dari upaya pemenuhan hak untuk mendapatkan informasi yang dijamin dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi, Pasal 942 sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karena itu, para Majelis Hakim yang saya hormati, Yang Mulia, saya ingin sampaikan bahwa berdasarkan seluruh penjelasan sebagaimana 1 sampai 12, maka juga berdasarkan hukum hak asasi manusia dan rujukan-rujukan lainnya, maka kami, saya mendukung agar dilakukan Mahkamah Konstitusi menegaskan atau menerbitkan norma dengan menghapus Ketentuan Pasal 1 ayat (14), Pasal 17, dan Pasal 21 KUHAP, khususnya mengenai frasa bukti permulaan yang cukup karena tidak memberikan kepastian dan berpotensi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di dalam penerapannya. Saya kira demikian dan terima kasih.

17. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Natalius. Berikutnya sekarang, Pemohon apakah ada yang akan diperdalam lebih lanjut dari keterangan para ahli?

18. KUASA HUKUM PEMOHON: KORES TAMBUNAN Terima kasih, Yang Mulia. Kami sudah cukup tadi pemaparan dari ahli, baik dari Pak Made maupun Pak Pigai. Terima kasih.

19. KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup. Terima kasih. Dari Pemerintah cukup?

20. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Sedikit, Yang Mulia.

21. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, silakan.

Page 12: Mahkamah Konstitusi RI

9

22. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih. Saya mau mohon izin untuk kepada Pak Made Darma Weda untuk memberikan penjelasan lebih lanjut. Kalau melihat penjelasan Pak Made bahwa di sini kan ada 2 hal yang dibedakan. Yang pertama, adalah terkait Pasal 1 angka 14 dan Pasal 1 angka 20.

Jika kita lihat, Pasal 1 angka 14 dan Pasal 1 angka 20 itu adalah masuk Bab I yang terkait dengan ketentuan umum. Kalau kita lihat di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa ketentuan umum itu sebagaimana kita ketahui untuk menjelaskan memberikan konsistensi terhadap pasal-pasal berikutnya yang ada di … kalau istilahnya itu zaman Undang-Undang Nomor 10 di dalam batang tubuhnya.

Kalau kita baca, Pak Made Pasal 1 angka 14, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Nah, Pasal 1 angka 14 kan ingin menjelaskan tersangka. Nah, kemudian Pasal 1 angka 20 di situ ingin menjelaskan bahwa penangkapan. Nah, kalau kita bandingkan atau kita hubungkan dengan Pasal 17 di sana terkait dengan bahwa sebentar, Yang Mulia, perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang. Jadi memang pembentuk undang-undang khususnya KUHAP yang dahulu itu disebut sebagai bahwa karya emas memang karya agung, memang pembentuk undang-undang ingin membedakan hal demikian. Itu yang pertama, saya perlu penjelasan lebih lanjut. Yang kedua, pertanyaan pemerintah adalah apakah ini terkait dengan konstitusionalitas normanya atau implementasi di dalam penegakan hukumnya? Utamanya para penyidik, polisi maupun kejaksaan maupun KPK itu sendiri.

Jadi, hemat kami pemerintah perlu ingin memberikan atau memperoleh penjelasan yang lebih lanjut karena ini juga terkait nanti dengan adanya rencana perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terkait dengan hukum acara pidana. Terima kasih, Yang Mulia.

23. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Sebelum dijawab, mungkin dari Hakim ada? Yang Mulia Bapak Patrialis? Saya persilakan.

24. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Kepada Pak Dr. Made. Jadi, Pak Made ya, tadi sudah menjelaskan tentang masalah bukti di dalam empat hal, Pasal 1 angka 14, Pasal 120, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) yang semuanya berkaitan dengan masalah bukti.

Page 13: Mahkamah Konstitusi RI

10

Memang para ahli di dalam memberikan keterangannya di depan persidangan ini berbeda-beda, tidak sama. Ada para ahli yang memberikan keterangannya mencoba mengaitkan dengan pokok perkara yang sedang dihadapi oleh Pemohon, sehingga diharap keterangan ahli itu dapat membantu memberikan jalan keluar dalam persidangan seperti yang diharapkan oleh Para Pemohon.

Nah, kalau tadi Pak Made menjelaskan secara normatif dan hal-hal yang ideal kita bisa memahami pikiran ahli. Saya ingin memperdalam sedikit, ingin mendalami, kalau kita kaitkan dengan kasus yang sedang dihadapi oleh Pemohon karena di dalam permohonannya jelas latar belakang kenapa pasal-pasal ini dipersoalkan kan adalah akibat dari Pemohon ditahan oleh KPK dengan tidak menjelaskan terhadap bukti permulaan yang cukup yang bagaimana yang dimaksudkan. Ini alasannya kan begitu oleh Pemohon.

Saya ingin pendapat Pak Made. Silakan kalau Pak Made ingin menjawab boleh, enggak juga enggak apa karena ini hak pribadi dari Ahli. Bagaimana halnya kaitan dengan ketidakjelasan empat kualifikasi atau penjelasan mengenai pembuktian tadi dikaitkan dengan kasus ini yang dialami oleh Pemohon. Secara normatif bagaimana? Tapi boleh dijawab, boleh tidak, ya. Ya karena ada juga yang ingin membatasi diri hanya dengan keilmuan. Karena ini sebetulnya yang diharapkan oleh Pemohon kalau ... kalau enggak kan enggak mungkin Pak Made diminta untuk hadir di sini oleh Pemohon.

Yang kedua dengan Pak Natalius ya, Pak Natalius Pigai. Ini kan tokoh HAM sekarang di indonesia. Tapi tadi sudah mencoba membatasi diri dalam kapasitas pribadi sebagai pejuang HAM.

Tadi Pak Natalius mencoba mengutip juga pendapat Pak Yahya Harahap bahwa sebaiknya kata permulaan itu dibuang, ya cukup dengan bukti yang cukup. Ya, kan? Saya juga ingin menanyakan dalam kerangka perspektif HAM yang dimaksudkan oleh Pak Natalius tadi, juga mengaitkan dengan Covenant PBB, alasan-alasan yang sah, dan prosedur-prosedur menurut hukum terhadap penangkapan penahanan seseorang. Apakah menurut Pak Natalius secara pribadi ada pelanggaran HAM di dalam pemahaman? Karena tadi Pak Natalius mengungkap dan Pak Made juga mengungkap surat edaran Kapolri bahwa bukti itu cukup dengan laporan dan satu bukti. Sementara 184 KUHAP dua bukti yang sah. Ada juga yang me ... jangan sampai ada unus testis nullus testis, kan begitu. Saya minta tanggapan kedua Ahli. Terima kasih.

25. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Ada yang lain? Cukup. Saya persilakan Pak Made dulu atau Pak Natalius. Saya persilakan untuk menjelaskan penjelasan lebih lanjut. Silakan.

Page 14: Mahkamah Konstitusi RI

11

26. AHLI DARI PEMOHON: MADE DARMA WEDA Terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama tadi ada pertanyaan intinya adalah apakah di dalam norma ataukah di dalam implementasi. Tadi sepintas saya menyampaikan bahwa di dalam hukum pidana itu ada satu prinsip suatu asas lex certa, yang kemudian lex stricta yang itu muncul dari asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Nah, dari sini kalau kita lihat norma-norma dalam KUHAP, ini hanya salah satu norma saja. Sebenarnya ada juga norma, misalnya saya ambil contoh setelah penangkapan segera diberitahukan kepada keluarga. Nah, segera ini nomenklatur segera ini, ini kan ternyata dalam praktiknya ini menimbulkan penafsiran macam-macam. Ya, okelah kalau kejahatan biasa 1x24 jam mungkin begitu, tapi kalau untuk wilayah-wilayah yang mungkin di Papua begitu yang berjauhan begitu tidak cukup waktu 1x24 jam mungkin perlu waktu yang cukup lama. Nah, di sinilah pada akhirnya ketidakjelasan di dalam norma ini, ini yang menimbulkan penegak hukum untuk menafsirkan secara berbeda-beda. Saya ambil contoh tadi ada perkap-nya perkap (peraturan kapolri) di situ menunjukkan laporan, kaget juga kan laporan menjadi alat bukti padahal kalau kita bicara mengenai alat bukti adalah apa yang tercantum di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Jadi prinsip di dalam hukum pidana kalau memang diperlukan dan memang diperlukan ini, bukan kalau lagi tapi diperlukan. Norma yang betul-betul jelas sehingga tidak timbul penafsiran yang bisa dilakukan oleh masing-masing penegak hukum, jadi cukup bukti, bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup misalnya itu menimbulkan banyak apa ... penafsiran sehingga kalau menurut saya dalam konteks nanti perubahan KUHAP misalnya tentukan saja kenapa tidak, dua misalnya alat bukti ya, dua alat bukti untuk menentukan tersangka, ya. Menentukan ... dalam proses sistem peradilan pidana itu memang ada satu proses, tapi menurut saya proses penyidikan yang menentukan tersangka, kemudian penangkapan, penahanan, dan pemidanaan ini sama-sama proses yang menurut saya cukup mengerikan ketika orang menjadi ... diproses menjadi tersangka itu juga luar biasa. Jadi tidak salah sebenarnya dalam kasus korupsi orang jadi sakit, sebenarnya memang betul sakit itu, dipanggil polisi juga makanya saya selalu bilang sama teman-teman polisi hati-hati, begitu orang ditentukan tersangka dia akan ... mungkin yang enggak punya sakit gula bisa gula juga gitu, hipertensinya jadi tinggi.

Nah, ini dalam proses ini menurut saya sama, ya, ketika orang ditentukan jadi tersangka, ditangkap, kemudian dijatuhi pidana itu dua hal apa ... hal yang sangat berkaitan dengan HAM, ya. Jadi kenapa sebetulnya penyadapan itu harus dari apa ... di dalam hukum itu penyadapan itu harus izin ketua pengadilan karena di situ sudah mulai ada pengurangan hak-hak seseorang. Ketika orang ditentukan sebagai

Page 15: Mahkamah Konstitusi RI

12

tersangka itu orang akan berkurang kebebasannya, bisa di apa ... enggak boleh ke luar negeri, enggak bebas keluarganya, dan sebagainya. Begitu ditangkap orang juga begitu juga, ya.

Nah, dalam konteks penyidikan yang begitu apa ... bersentuhan, ya, dengan nilai-nilai HAM itu di situlah sebetulnya harus pasti, ya, harus pasti penentuan atau norma hukumnya, ya, jangan sampai ada penafsiran yang berbeda-beda. Itu jawaban saya untuk pemerintah.

Kemudian Yang Mulia Pak Patrialis Akbar, sudah lama enggak ketemu di DPR sering ketemu, ya. Jadi bukti permulaan yang cukup dalam kasus korupsi, ada standar ganda enggak jelas juga di proses penyidikan, saya kira saya tidak tahu kalau di KPK tapi kalau yang sering saya alami apa ... ketahui di kepolisian ketika orang ditentukan sebagai tersangka sebetulnya dia kan berhak untuk mendapatkan BAP-nya, ya, tapi sering kali tidak bisa, ya, padahal undang-undang sudah memberikan jaminan bahwa tersangka itu berhak, dia harus tahu dakwaannya apa, tuduhannya apa, ya. Nah, termasuk juga alat buktinya seharusnya dia juga diberitahu, gitu, beritahu. Jadi kalau dalam kasus korupsi tadi disampaikan oleh teman sebelah saya ini itu ada bukti yang cukup juga, itu juga seharusnya diuraikan, ya, diuraikan juga. Semasih kita berbicara di sini berdialog di dalam Pasal 3 KUHAP itu ditentukan bahwa peradilan itu dilaksanakan berdasarkan undang-undang ini, itu Pasal 3 KUHAP. Jadi kalau berdasarkan Pasal 3 KUHAP sebenarnya tertutup kemungkinan hukum acara pidana di luar KUHAP, kan logika hukumnya seperti itu, tapi masih ada yang sifatnya lex specialis.

Jadi dalam kasus korupsi menurut saya juga perlu ada apa ... ada kriteria minimal, kriteria minimal untuk menentukan berapa sih sebetulnya jumlah yang apa ... yang cukup itu, ya. Buat saya angka itu tidak terlalu penting, mau misalnya dibuat satu alat bukti misalnya dalam proses penyidikan, satu alat bukti ketika mau melakukan penangkapan, itu saya serahkan kepada Majelis Hakim. Tapi yang jelas bahwa harus ada norma yang pasti, yang definitif. Demikian.

27. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Pak, sebentar. Pak Natalius, pertanyaan saya saya ubah, ya, saya ubah pertanyaannya adalah ada hubungan apa dengan HAM kasus yang sedang dihadapi ini? Itu ya pertanyaan saya.

28. AHLI DARI PEMOHON: NATALIUS PIGAI Baik, terima kasih, Pak Hakim Yang Mulia Pak Patrialis, senior kamilah. Saya kan junior, saya aktifis 1998. Jadi jauh, saya masih menghormati Bapak. Yang pertama, pelanggaran yang paling utama adalah right to know. Sudah saya sampaikan karena ini menyangkut individu karena itu yang bersangkutan harus diberitahukan, termasuk

Page 16: Mahkamah Konstitusi RI

13

bukti-buktinya di awal. Hal ini juga terkait ditegaskan di dalam Pasal 9 ayat (1) covenant PBB. Tidak dapat ditangkap, ditahan sewenang-wenang. Diberitahu sesegera mungkin termasuk tuduhan yang dikenakan. Kemudian yang kedua, ini terkait dengan yang arahan tadi ya. Saya ingin tegaskan bahwa kemudian dikaitkan juga dengan berkap dan apa namanya … keputusan bersama ya. Dari sisi prinsip Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang kami anut, Undang-Undang Nomor 39 Pasal 73. Hak asasi manusia yang tadi ya right to know, tidak disiksa, tidak ditangkap, tidak dituduh, harus dibuktikan, itu kan semua aspek HAM. Itu hanya bisa dibatasi dengan undang-undang. Berarti alat bukti keterangan ahli surat tunjuk keterangan dan laporan polisi itu bukan undang-undang dari prinsip HAM. Undang-Undang HAM ya, Pasal 73 saya bacakan. Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini antara lain yang tadi saya sebut pasal … dan beberapa pasal yang termaktub dalam catatan saya ini. Hanya dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, tidak berdasarkan apalagi terka-terka. Jadi itulah dasar saya mengatakan pelanggaran HAM. Tapi kalau disebutkan peraturan perundang-undangan, mungkin saya bisa memaklumi.

29. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya, tapi ini kan kasusnya di KPK bukan dengan Peraturan Kapolri? Itu coba.

30. AHLI DARI PEMOHON: NATALIUS PIGAI Ya, oleh karena itu saya tidak begitu ini ya. Tetapi yang sejauh saya tahu bukti yang harus disampaikan kepada yang bersangkutan bahwa mereka sedang menguji ini karena mereka tidak mengerti apakah bukti tersebut keterangan saksi kah, keterangan ahli, surat, petunjuk, atau keterangan terdakwa, mereka tidak tahu. Patokan yang saya baca di media-media itu adalah laporan kepolisian. Oleh karena itulah saya mengatakan seandainya di dalam terlepas dari kasus dalam proses pengujian ini. Sebaiknya bukti itu tidak boleh lagi tambah-tambah, Pak. Ya, bukti itu cukup tertulis di dalam undang-undang dalam hukum pidana apa pun. Sehingga lebih jelas dan tegas. Setiap individu yang berperkara dia bisa menyiapkan diri untuk apa … menghadapi proses peradilan. Jadi patokan saya di situ, terima kasih.

31. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, cukup ya. Oh, ada tambahan. Silakan Yang Mulia Prof. Aswanto.

Page 17: Mahkamah Konstitusi RI

14

32. HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia. Saya ingin klarifikasi untuk Pak Dr. Made Darma ya. Ini yang dipersoalkan adalah bukti permulaan yang cukup. Nah, memang seringkali ditumpangtindihkan mengenai bukti ... alat bukti, barang bukti. Nah, termasuk di dalamnya konkretnya bukti permulaan itu sebenarnya apa. Apakah alat bukti atau barang bukti, gitu. Itu konkret. Lalu apakah bukti permulaan itu termasuk di dalamnya rangkaian tindakan atau perbuatan yang secara rasional dapat dinilai sebagai petunjuk terhadap terjadinya suatu perbuatan pidana. Mohon apa namanya ... penjelasan Bapak. Cukup, Yang Mulia.

33. AHLI DARI PEMOHON: MADE DARMA WEDA Baik, terima kasih, Yang Mulia. Di dalam beberapa kajian terkait dengan bukti permulaan yang cukup, ini memang apa … saya di makalah saya, saya memikir mengenai apa … pendapat dari Lamintang dan juga M. Yahya Harahap.

Memang di dalam Pasal 17 itu apa … pengertian bukti permulaan ini memang tidak … tidak ada kejelasan. Sehingga, itu memang harus diberikan suatu kejelasan. Kejelasan dalam arti bahwa harus ditentukan … sebenarnya kalau kita bicara mengenai bukti yang … bukti permulaan, bukti itu bukti seperti apa sih? Atau berapa jumlahnya? Seperti itu, ya. Tapi kalau di dalam … kemudian, di dalam KUHAP kalau kita bicara bukti, tentu alat bukti, termasuk alat bukti itu petunjuk, ataukah ada saksi ya, kemudian ada surat misalnya, seperti itu, Yang Mulia, ya. Jadi, dalam konteks hukum acara pidana, bisa saja itu menjadi suatu petunjuk. Ya, petunjuk itu diakui juga di dalam Pasal 184 KUHAP, ya. Sering kita menyitir di dalam kajian-kajian pembahasan, itu ada yang disebut sebagai Miranda Rules, sering … sering kali itu di ... disitir. Tapi kita hanya menyitir punya orang, tapi tidak bisa membuat bagaimana sebetulnya ketika penyidik itu melakukan penangkapan, atau penahanan, dan ada sesuatu yang tidak dilakukan di dalam proses itu, apakah itu bisa batal? Ataukah bisa melakukan gugatan? Itu, Yang Mulia. Kemudian, sering juga saya diminta menjadi ahli di … mengenai praperadilan. Nah, ini juga hakim rancu juga. Karena salah satu alasan praperadilan itu adalah tidak cukup bukti, gitu. Ini tidak cukup bukti, apakah buktinya cukup, enggak? Nah, pihak … misalnya pihak dari kepolisian tidak pernah memberikan terbuka, sebenarnya buktinya itu apa, gitu? Itu, Yang Mulia.

Jadi, dalam hukum pidana ya, selalu kita berpegang pada ketentuan lex certa dan lex stricta. Terima kasih.

Page 18: Mahkamah Konstitusi RI

15

34. KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, Yang Mulia? Baik. Sudah selesai kita dengar keterangan dari Ahli. Saya tanya kepada Pemohon, apakah masih ada ahli lagi atau sudah cukup?

35. KUASA HUKUM PEMOHON: KORES TAMBUNAN Untuk ahli, Yang Mulia, kami sudah cukup. Tapi bukti tertulis, kami masih ada, Yang Mulia.

36. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, bisa … bisa ditambah, ya.

37. KUASA HUKUM PEMOHON: KORES TAMBUNAN Terima kasih.

38. KETUA: ARIEF HIDAYAT Dari Pemerintah, cukup?

39. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Cukup.

40. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Kalau cukup, maka kita seluruh rangkaian persidangan dalam perkara ... dalam perkara ini sudah selesai, ya. Buktinya bisa diserahkan sekarang kalau sudah ada ya, supaya segera disahkan. Sudah siap untuk diserahkan tambahan alat buktinya?

41. KUASA HUKUM PEMOHON: KORES TAMBUNAN Sudah, Yang Mulia.

42. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. Petugas, saya silakan untuk (suara tidak terdengar jelas). Ada daftarnya?

Page 19: Mahkamah Konstitusi RI

16

43. KUASA HUKUM PEMOHON: KORES TAMBUNAN Ada, Yang Mulia. P-6 sama P-10.

44. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. Baik. Sambil dicek tambahan alat buktinya, di validasinya. Karena persidangan sudah selesai, maka kepada Pemohon, dan Pemerintah, dan DPR, bisa menyerahkan kesimpulan, ya? Kesimpulannya paling lambat hari Rabu, 14 Januari Tahun 2015, di Kepaniteraan, paling lambat pukul 16.00 WIB, ya. Jadi, saya ulangi, kesimpulan paling lambat diserahkan pada hari Rabu, 14 Januari Tahun 2015, pukul 16.00 WIB. Jadi, bukti sudah dicek dan sudah benar, maka ada tambahan bukti P-6, P-7, P-8, P-9, dan P-10, betul, Pemohon? Dengan ini saya sahkan.

Baik. Saudara Pemohon, Pemerintah, dan Para Ahli, terutama Para Ahli, atas nama Mahkamah Konstitusi, saya ucapkan terima kasih sudah memberikan keterangan di dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Sidang selesai dan ditutup.

Jakarta, 7 Januari 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004

SIDANG DITUTUP PUKUL 11.39 WIB

KETUK PALU 3X

Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.

KETUK PALU 1X