Top Banner
TRADISI UPACARA LABUHAN MERAPI Para pria paruh baya yang siap mendaki mengenakan pakaian sorjan bercorak biru dan hitam dengan mengenakan blangkon khas Jogja yang memiliki mondolan atau semacam jendolan di belakang blangkon yang merupakan pembeda antara blangkon Solo dengan Jogja. Sementara itu para wanita paruh baya mengenakan kebaya berwarna hitam polos dengan bawahan kain, beberapa diantaranya juga menyanggul rambutnya dengan rapi. Mereka adalah Abdi Dalem Kawasan Merapi yang pagi itu akan melawan hawa dingin dan terjalnya jalur pendakian Gunung
22

Macam budaya lokal

Mar 25, 2016

Download

Documents

Buku ini berisi bahan bacaan mengenai macam-macam budaya lokal beberapa suku di Indonesia
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Macam budaya lokal

TRADISI UPACARA LABUHAN MERAPI

Para pria paruh baya yang siap mendaki mengenakan pakaian sorjan bercorak biru dan hitam dengan mengenakan blangkon khas Jogja yang memiliki mondolan atau semacam jendolan di belakang blangkon yang merupakan pembeda antara blangkon Solo dengan Jogja.

Sementara itu para wanita paruh baya mengenakan kebaya berwarna hitam polos dengan bawahan kain, beberapa diantaranya juga menyanggul rambutnya dengan rapi. Mereka adalah Abdi Dalem Kawasan Merapi yang pagi itu akan melawan hawa dingin dan terjalnya jalur pendakian Gunung Merapi untuk melaksanakan upacara sakral tahunan bernama Labuhan Merapi.

Upacara adat Labuhan Merapi merupakan sebuah ritual untuk memperingati Jumenengen Ndalem (naik tahta) Sri Sultan Hamengkubuwono X yang dilaksanakan setiap tanggal 30 Rejeb atau

Page 2: Macam budaya lokal

menjelang tanggal 1 Ruwah pada tanggalan Jawa. Setiap tahun ada dua tempat yang dijadikan tempat Labuhan, Pantai Parangkusumo merupakan tempat selain Gunung Merapi yang menjadi tempat diadakannya Labuhan. Namun Labuhan Merapi memiliki rangkain yang lebih lama dan kompleks ketimbang labuhan Parangkusumo.

Selain ditujukan sebagai peringatan naik tahta Sri Sultan, ada juga yang menyatakan kalau Labuhan Merapi terkait erat dengan sejarah Merapi lebih tepatnya sejarah mengenai penguasa Gunung Merapi. Maka dari itu Labuhan ini identik dengan Kyai Sapu Jagad, Empu Rama, Empu Ramadi, Krincing Wesi, Branjang Kawat, Sapu Angin, Mbah lembang Sari, Mbah Nyai Gadhung Wikarti dan Kyai Mergantoro yang semuanya merupakan nama mitikal penguasa Merapi. Labuhan ini ditujukan untuk menghormati para penguasa tersebut dengan memberi berkah yang akan dibawa dari kediaman juru kunci Merapi sampai tempat diadakannya Labuhan.

Dalam konteks kekinian Labuhan Merapi juga ditujukan untuk memohon agar Gunung Merapi tidak meletus. Kedekatan masyarakat Jogja dengan meletusnya Gunung Merapi memang tak bisa terbantahkan, beberapa kali Gunung Merapi dengan wedus gembelnya yang terkenal itu mencemaskan warga sekitar Merapi. Bahkan diperkirakan letusan yang terjadi pada tahun 1006 selain membuat bagian tengah Pulau Jawa berselimut abu putih juga membuat Kerajaan Mataram Kuno harus pindah ke Jawa Timur.

Rangkain Labuhan Merapi dimulai sehari sebelum para Abdi Dalem kawasan Gunung Merapi mendaki Gunung Merapi untuk memberi berkah tepatnya pada Senin 12 Juli lalu. Acara awal itu berupa seserahan secara simbolis Ubarampe dari Kraton Ngayogyakarta oleh seorang utusan yang ditunjuk Sri Sultan Hamengkubuwono X kepada Camat kawasan Cangkringan. Setelah Ubarampe diterima Camat maka akan dilanjutkan dengan menyerahkan Ubarampe kepada juru kunci Gunung Merapi yakni Mbah Marijan.

Ubarampe sendiri merupakan perlengkapan sesaji yang digabungkan dalam sebuah peti untuk labuhan. Ubarampe berbentuk seperti sebuah peti untuk mengangkut jenazah dengan panjang sekitar satu setengah meter. Ubarampe dicat merah dan dilapisi kain bercorak diatasnya. Diatas Ubarampe terdapat hiasan berbentuk tanduk berwarna emas. Pada saat Labuhan, Ubarampe akan digotong oleh beberapa Abdi Dalem sambil mendaki Gunung Merapi.

Isi Ubarampe sendiri terdiri dari barang-barang yang akan dilabuh. Ada lima jenis kain di Ubarampe yakni kain limar, destar (bahan untuk blangkon yang masih berbentuk kain), semekan gadung (kain berwarna hijau), gadung melati (berwarna hijau dengan list warna putih di ujungnya), dan peningset udaraga. Sementara barang-barang lain selain kain yang ada di Ubarampe antara lain wewangian, uang cindik (uang yang terbuat dari kain cindik dan hanya terdapat di Kraton), ratus (semacam rokok) dan lapak (pelana kuda).

Page 3: Macam budaya lokal

Di belakang batu besar berukir logo Kraton Jogja terdapat semacam pendopo yang digunakan untuk menaruh Ubarampe dan sajian-sajian untuk Labuhan. Di kiri dan kanan pendopo terdapat dua buah bangunan kecil dari kayu untuk menaruh sesaji ketika upacara dilakukan. Bangunan tersebut tingginya kira-kira setinggi betis orang dewasa.

Ubarampe diletakkan di pendopo utama, kemudian kelima jenis kain yang terdapat di dalamnya digelar berjajar di pendopo ini. Di bawah jajaran kain tepatnya di anak tangga pendopo berjejer beberapa peralatan yang digunakan untuk seserahan. Setelah semua bahan untuk sesaji disiapkan maka upacara Labuhan pun dimulai. Doa-doa mulai dipanjatkan agar Gunung Merapi tidak menampakkan aktivitas yang membahayakan.

Selesai memanjatkan doa-doa Abdi Dalem kemudian menyiapkan berkah yang akan diberikan pada para warga dan wisatawan yang ikut menyaksikan upacara Labuhan Merapi. Berkah tersebut ditujukan agar para penerima berkah ikut mendoakan agar Gunung Merapi tak meletus. Bentuk

Page 4: Macam budaya lokal

berkah itu sendiri sangat sederhana, hanya sekitar tiga sendok makan nasi putih dengan ayam goreng yang dipotong kecil-kecil atau dalam istilah Jawa disuwir. Nasi dan ayam itu kemudian dimasukkan dalam plastik bening yang biasa digunakan untuk membuat es batu. Setiap pengunjung akan diberikan satu bungkus berkah tersebut ketika akan pulang.

Setelah semua pengunjung pulang barulah seorang atau beberapa utusan yang telah ditunjuk dari Kraton membawa berkah menuju puncak Merapi. Seorang Abdi Dalem yang mengantar menuturkan bahwa si utusan baru akan berangkat menuju puncak Merapi ketika semua pengunjung sudah pulang terlebih dahulu.

Page 5: Macam budaya lokal
Page 6: Macam budaya lokal

TRADISI NGABEN

Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah atau kremasi umat Hindu di Bali, Indonesia. Acara Ngaben merupakan suatu ritual yang dilaksanakan guna mengirim jenasah kepada kehidupan mendatang. Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Tidak ada airmata, karena jenasah secara sementara waktu tidak ada dan akan menjalani reinkarnasa atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).

Kata Ngaben sendiri mempunyai pengertian bekal atau abu yang semua tujuannya mengarah tentang adanya pelepasan terakhir kehidupan manusia. Dalam ajaran Hindu Dewa Brahma mempunyai beberapa ujud selain sebagai Dewa Pencipta Dewa Brahma dipercaya juga mempunyai ujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara Ngaben sendiri adalah proses penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa dapat kembali ke sang pencipta, api penjelmaan dari Dewa Brahma bisa membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang telah meningggal.

Makna Lain dari Upacara Ngaben adalah : untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda/Pinandita mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.

Pelaksanaan Ngaben itu sendiri harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan pendeta untuk menetapkankan kapan hari baik untuk dilakukannya upacara. Sambil menunggu hari baik yang akan ditetapkan, biasanya pihak keluarga dan dibantu masyarakat beramai ramai melakukan Persiapan tempat mayat ( bade/keranda ) dan replica berbentuk lembu yang terbuat dari bambu, kayu, kertas warna-warni, yang nantinya untuk tempat pembakaran mayat tersebut.

Page 7: Macam budaya lokal

Di pagi harinya saat upacara ini dilaksanakan, seluruh keluarga dan masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Sebelum upacara dilaksanakan Jasad terlebih dahulu dibersihkan/dimandikan, Proses pelaksanaan pemandian di pimpin oleh seorang Pendeta atau orang dari golongan kasta Bramana.Setelah proses pemandian selesai , mayat dirias dengan mengenakan pakaian baju adat Bali, lalu semua anggota keluarga berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir dan diiringi doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh kedamaian dan berada di tempat yang lebih baik.

Mayat yang sudah dimandikan dan mengenakan pakaian tersebut diletakan di dalam“Bade/keranda” lalu di usung secara beramai-ramai, seluruh anggota keluarga dan masyarakat berbarisdidepan “Bade/keranda”. Selama dalam perjalanan menuju tempat upacara Ngabentersebut, bila terdapat persimpangan atau pertigaan, Bade/keranda akan diputar putar sebanyak tiga kali, ini dipercaya agar si arwah bingung dan tidak kembali lagi ,dalam pelepasan jenazah tidak ada isak tangis, tidak baik untuk jenazah tersebut, seakan tidak rela atas kepergiannya.Arak arakan yang menghantar kepergian jenazah diiringi bunyi gamelan,kidung suci.Pada sisi depan dan belakang Bade/keranda yang di usung terdapat kain putih yang mempunyai makna sebagai jembatan penghubung bagi sang arwah untuk dapat sampai ketempat asalnya.

Page 8: Macam budaya lokal

Setelah sampai dilokasi kuburan atau tempat pembakaran yang sudah disiapkan, mayat di masukan/diletakan diatas/didalam “Replica berbentuk Lembu“ yang sudah disiapkan dengan terlebih dahulu pendeta atau seorang dari kasta Brahmana membacakan mantra dan doa, lalu upacara Ngaben dilaksanakan, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi abu. Sisa abu dari pembakaran mayat tersebut dimasukan kedalam buah kelapa gading lalu kemudian di larungkan/dihayutkan ke laut atau sungai yang dianggap suci.

Page 9: Macam budaya lokal

BUDAYA BANJAR : BAAYUN ANAK

Adalah tradisi ibu-ibu masyarakat banjar jika menidurkan anak bayinya dengan cara mengayun, sejak zaman dahulu sampai sekarang. Ayunan itu terbuat dari tapih bahalai atau kain kuning dengan ujung –ujungnya diikat dengan tali haduk ( ijuk ). Ayunan ini biasanya digantungkan pada palang plapon di ruang tengah rumah. Pada tali tersebut biasanya diikatkan Yasin, daun jariangau, kacang parang, katupat guntur, dengan maksud dan tujuan sebagai penangkal hantu – hantu atau penyakit yang mengganggu bayi. Posisi bayi yang diayun ada yang dibaringkan dan ada pula posisi duduk dengan istilah dipukung. Mengayun anak ini ada yang mengayun biasa dan ada yang badundang. Mengayun biasa adalah mengayun dengan berayun lepas sedang mengayun badundang adalah mengayun dengan memegang tali ayunan. Yang lebih menarik adalah menidurkan anak ini sang ibu sambil bernyanyi, bernyanyi dengan suara merdu berayun-ayun atau mendayu-dayu. Lirik lagu ini sangat puitis. Liriknya seperti ini :

Guring – guring anakku guringGuring diakan dalam pukunganAnakku nang bungas lagi bauntungHidup baiman mati baiman

Catatan : Jika anaknya posisi berbaring lirik “ pukungan “ diganti dengan “ ayunan “.Isi lirik ini adalah pujian anaknya yang cantik ( cakap ) dan doa agar anaknya kelak kuat imannya dalam agama sampai akhir hayatnya.Seandainya anaknya masih rewel tidak juga mau tidur, biasanya sang ibu berkata : His ! cacak ! anakku jangan diganggu inya sudah guring.

Maayun anak ini terkadang sengaja diadakan pada acara Mauludan yakni tanggal 12 Rabiul Awwal. Dengan maksud agar mendapat berkah kelahiran Nabi Muhammad SAWPada perkembangannya, maayun anak ini menjadi sebuah tradisi budaya yang setiap tahun digelar

Page 10: Macam budaya lokal

dengan istilah “ Baayun Maulud” Baayun Maulud ini sungguh berisi pesan-pesan religiusitas, filosofis dan local wisdom ( kearifan local ).Baayun Maulud ini setiap tanggal 12 Rabiul Awwal yakni menyambut dan memperingati Maulud Rasul, oleh masyarakat Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara selalu mengadakan upacara Baayun Anak atau Baayun Maulud. Tradisi budaya ini mulai popular sejak tahun 1990-an.Baayun Anak ini adalah salah satu agenda tahunan bagi Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru Kalimantan Selatan. Yang lebih unik lagi pesta Baayun Anak ini bukan hanya baayun anak tetapi pesertanya juga dari manula yakni nenek-nenek dan kakek-kakek. Mereka sengaja ikut baayun karena nazar. Nazar ini karena sudah tercapai niat atau tujuannya seperti sudah kesampaian naik haji, mendapat rejeki yang banyak atau untuk maksud agar penyakitnya hilang dan panjang umur.

Page 11: Macam budaya lokal

Tradisi Telinga Panjang Suku Dayak

Budaya dan tradisi Suku Dayak. Suku yang hidup di Pulau Borneo ini selain punya seni tato juga memiliki tradisi telinga panjang yang hampir punah seiring dengan arus globalisasi dan

perkembangan jaman.

Jika masih ada yang mempertahankannya, itu pun tinggal segelintir orang Dayak berusia lanjut.Alasannya, lantaran generasi muda suku Dayak merasa malu memiliki daun telinga yang panjang

dan kerap diolok-olok saat mereka bertandang ke kota. Selain itu, trend di ranah fashion juga cukup berpengaruh untuk meredam dan perlahan menghilangkan tradisi tersebut. Biasanya mereka yang

bertelinga panjang sengaja memotong ujung daun telinganya lewat sebuah operasi kecil.Namun tidak semua sub suku Dayak di Pulau Kalimantan punya tradisi ini. Hanya beberapa

kelompok saja yang mengenal budaya telinga panjang, itupun yang mendiami wilayah pedalaman. Seperti masyarakat Dayak Iban, Dayak Kayaan, Dayak Taman dan Dayak Punan. Semisal Suku

Dayak Kayaan mengenal tradisi ini dengan sebutan Telingaan Aruu yang dimulai saat seseorang masih bayi dan hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan.

Setelah luka bekas tindikan mengering, kemudian di pasang benang yang lalu diganti oleh kayu sehingga lubang kian lama makin membesar. Prosesi penindikan telinga ini dikenal dengan sebutan Mucuk Penikng. Anting akan ditambahkan satu persatu ke dalam telinga yang lama kelamaan akan

mebuat lubang semakin membesar dan memanjang.

Berbeda dengan Suku Dayak Kayaan, tradisi telinga panjang di Suku Dayak Iban tidak dilakukan dengan member pemberat, hamper serupa dengan tradisi di Suku Dayak Taman. Menurut Guru

Besar Hukum Adat Universitas Tanjungpura, Prof. Dr. Yohanes Cyprianus Thambun Anyang yang dikutip dari laman ceritadayak.com, “Pada Dayak Taman, tradisi telinga panjang tidak terkait dengan strata sosial tertentu. Tradisi ini khususnya untuk perempuan hanya sebagai identitas

keperempuanannya.”

Page 12: Macam budaya lokal

TRADISI ADAT JAWA

Brokohan, yaitu upacara kelahiran bayi. Sesaji yang disediakan yaitu dawet, gula Jawa (satu tangkep), kelapa, kembang setaman.

Selapanan, yaitu upacara pemberian nama pada bayi yang baru lahir. Upacara itu diadakan pada hari ke-35 setelah kelahirannya.

Tedhak Siten, upacara ini diperuntukkan bagi bayi yang berusia antara 5-6 bulan pada saat pertama kali turun ke tanah.Urutan upacara tedhak siten:1. Menginjakkan kaki bayi ke atas jadah sebanyak tujuh piring. Artinya agar kelak setelah dewasa

Page 13: Macam budaya lokal

selalu ingat tanah airnya.2. Menaikkan bayi setahap demi setahap ke atas tangga bersusun tujuh yang terbuat dari tebu wulung. Artinya agar ia mendapat kehidupan sukses dan dinamis setahap demi setahap.3. Memasukkan bayi berikut inang pengasuh ke dalam kurungan dan menanti sampai bayi tersebut mengambil barang-barang yang disediakan dalam kurungan yang terdiri dari buku, pensil, wayang kulit, perhiasan emas berlian, dan mainan. Benda yang pertama kali diambil sang bayi akan melambangkan kehidupannya kelak.4. Siraman, yaitu memandikan bayi dengan air bunga setaman yang bertujuan agar ia dapat menjalani kehidupan yang bersih dan lurus.

Tetesan, yaitu upacara khitanan untuk putri raja yang berusia 8 tahun. Upacara tetesan diadakan di Bangsal Pengapit sebelah selatan Dalem Prabayeksa. Dihadiri oleh garwa dalem, putra dalem, wayah, buyut, serta canggah.Selain itu juga abdi dalem bedaya, emban, amping, abdi dalem keparak berpangkat tumenggung serta Rio yang duduk di emper bangsal pengapit. Abdi dalem lainnya berada di halaman sekitarnya.Busana yang dikenakan untuk upacara tetesan terdiri dari nyamping cindhe yang dikenakan dengan model sabukwala, lonthong kamus bludiran, cathok kupu terbuat dari emas, slepe, kalung ular, subang gelang tretes, dan cincin tumenggul. Sanggulnya berbentuk konde dengan pemanis bros di tengahnya dan hiasan bulu burung bangau yang disebut lancur. Di atas sanggul diletakkan pethat berbentuk penganggalan atau bulan sabit.

Supitan, yaitu upacara khitanan untuk putra bangsawan yang berusia kira-kira 14 tahun.Setelah menjalani upacara supitan para bangsawan tinggal di Ksatriyan terpisah dari ibunya dan saudara perempuannya.

Tarapan, yaitu upacara inisisasi haid pertama bagi anak perempuan. Busana yang dikenakan terdiri dari nyamping cindeh, lonthong kamus bludiran, udhet cindhe,slepe, gelang kana, sangsangan sungsun, subang, dan cincin.Sanggulnya berbentuk tekuk dengan hiasan pethat gunungan. Di bagian tengah sanggul dikenakan bros, lancur, serta peniti renteng sebagai jebehan di keri kanan. Upacara diadakan di Bangsal Sekar Kedaton sebelah selatan Kedaton Kulon.Upacara ini termasuk upacara intern wanita, sehingga para pria termasuk Sultan tidak boleh hadir dalam upacara tersebut.

Perkawinan, terus hamil, dan ada upacara Nggangsali (5 bulan) dan Mitoni (7 bulan). Usia 9 bulan, bayi lahir. Brokohan lagi, dan seterusnya.

Page 14: Macam budaya lokal

Pernikahan Adat Batak"Magodang anak, pangolihononhon, magodang boru pahutaon (pamulion)"Artinya: Jika putra sudah dewasa, ia akan dicarikan istri (dinikahkan) dan jika putri sudah dewasa dia patut bersuami (tinggal di kampung suaminya).Teks: Ratri Suyani

Masyarakat Batak, tak terkecuali di kota-kota besar termasuk Jakarta, masih memegang kuat nilai-nilai budaya. Mulai dari sistem kekerabatan, hingga adat istiadat (termasuk ruhut paradaton dalam perhelatan adat mulai dari bayi, anak, remaja, perkawinan dan kematian) tetap terpelihara dalam kehidupan sehari-hari. Berikut Weddingku paparkan urut-urutan adat pernikahan di dalam masyarakat Batak khususnya Batak Toba yang lazim digunakan terutama di kota Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia, mulai dari patiur baba ni mual (mohon doa restu) hingga marunjuk (pesta pernikahan).

A. PATIUR BABA NI MUAL (permisi dan mohon doa restu Tulang)

Prosesi ini merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh orangtua terhadap hula-hula (kelompok marga asal sang istri) sebelum putranya menikah. Menurut adat, putri tulang (saudara kandung laki-laki dari pihak ibu) adalah jodoh pertama dari putranya. Apabila pasangan hidup yang dipilih bukan putri tulang, maka orang tuanya perlu membawa putranya permisi dan mohon doa restu tulang. Adat ini hanya dilakukan pada putra pertama yang akan menikah.

Page 15: Macam budaya lokal

B. MARHORI-HORI DINGDING (perkenalan keluarga secara tertutup)

Beberapa bulan sebelum pesta pernikahan, keluarga pihak laki-laki (paranak/pangoli) mengunjungi keluarga pihak perempuan (parboru/oroan) dengan maksud memperkenalkan diri dan menetapkan tanggal dan hari untuk lamaran. Marhori-hori dingding hanya dilakukan oleh keluarga inti saja, karena sesuai dengan artinya (marhori = berkomunikasi, dingding = dinding) pertemuan ini diadakan secara intim dan tertutup. Suguhan yang dibawakan pun cukup berupa kue atau buah.

C. MARHUSIP (perundingan diam-diam) & PATUA HATA (melamar secara resmi):

Beberapa waktu kemudian, atas hasil pembicaraan hori-hori dingding maka diadakan pembicaraan yang lebih formal antar keluarga dekat (belum melibatkan masyarakat luar). Baik pihak paranak maupun parboru didampingi oleh raja adat masing-masing. Pihak paranak datang ke tempat keluarga parboru dengan membawa sipanganon (makanan & minuman). Pada acara ini pihak paranak mempersembahkan tudu-tudu sipanganon (makanan berupa kepala pinahan lobu/babi atau kerbau) dan pihak parboru memberikan dengke (ikan mas).

Acara marhusip biasanya langsung dirangkai dengan acara melamar secara resmi yang dipimpin oleh para raja adat. Acara ini dinamakan patua hata yang secara harafiah berarti meningkatkan taraf kesepakatan yang tak lagi hanya melibatkan kedua pasangan muda-mudi saja tapi sudah naik ke taraf kesepakatan antar orang tua.

Dalam acara ini dibahas secara detail adat yang akan dilaksanakan. Antara lain:

marhata sinamot (merundingkan mas kawin / mahar)Meliputi pembahasan jumlah dan bentuk sinamot (uang mahar) yang akan diberikan oleh pihak paranak, dan panjuhuti (jenis ternak yang akan dipotong) yang kini ditetapkan pihak parboru. Dahulu, ternak panjuhuti disediakan pihak paranak dan merupakan bagian dari sinamot.* jumlah ulos yang akan diberikan pihak parboru kepada pihak paranak (ulos herbang)Saat ini di daerah Jabodetabek biasanya jumlah ulos dibatasi oleh para tua-tua adat agar acara pernikahan tidak terlalu bertele-tele. Biasanya jumlahnya maksimum 17 atau 18 ulos, tapi masih bisa dinegosiasikan secara kekeluargaan.* tempat dan tanggal martumpol dan pernikahanTempat pesta pernikahan dapat diselenggarakan di tempat pengantin perempuan (dialap jual) atau tempat pengantin laki-laki (tahuron jual). Jika pesta diselenggarakan di tempat paranak, maka pihak paranak tidak diwajibkan membawa sibuha-buhai (sajian pagi pada hari H). Jual beras (boras si pir ni tondi) dan dengke siuk (ikan arsik/pepes) sebagai bawaan kerabat pihak paranak akan beralih kepada pihak parboru sebagai bolahan amak atau tuan rumah.

* banyaknya jumlah undangan dari kedua belah pihakSelama marhusip dan patua hata berlangsung kedua belah keluarga duduk secara berhadap-hadapan dan kedua pengantin biasanya "disembunyikan" lebih dahulu atau tidak dilibatkan, sampai pada akhir acara barulah keduanya dipanggil untuk diperkenalkan ke seluruh keluarga dan diberi wejangan / pengarahan. Sebelum acara ditutup biasanya dibagikan uang ingot-ingot ke pihak keluarga yang jumlahnya bervariasi, tergantung posisi orang tersebut dalam tatanan adat.

D. MARTUMPOL

Persetujuan pernikahan sekaligus pewartaan atau pengumuman melalui institusi agama (gereja, masjid, dll). Bila dilakukan di gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) maka pewartaan (yang biasa disebut tingting) dilakukan setidaknya 2 kali dalam 2 minggu berturut-turut. Bila tidak ada pihak yang berkeberatan / menggugat, barulah pernikahan dapat diselenggarakan.

Page 16: Macam budaya lokal

E. MARTONGGO RAJA DAN MARIA RAJA

Seusai martumpol, biasanya dilanjutkan dengan pembicaraan di rumah masing-masing pihak yang disebut martonggo raja (di tempat keluarga parboru) dan maria raja (di keluarga paranak). Pembicaraan ini membahas lebih detail lagi prosesi adat hari H, terutama keterlibatan masing-masing personil keluarga besar (dongan sahuta), seperti siapa yang bertugas untuk memberi dan menerima ulos, dan hal-hal yang telah disepakati dalam acara marhusip sebelumnya.

F. PAMASU-MASUON (pemberkatan nikah) & MARUNJUK (pesta adat)

Setelah urut-urutan adat pernikahan dilalui, tibalah untuk menggelar pesta pernikahan yang diawali dengan pemberkatan di rumah ibadah dan dilanjutkan dengan marunjuk (pesta adat). Sekilas urutan prosesi pada hari H dapat disimak di bawah.

MARSIBUHA-BUHAI

Pagi hari (sekitar pukul 6.30) rombongan paranak datang untuk menjemput mempelai wanita dengan membawa tanda makanan adat na margoar / sangsang (pinahan lobu/babi atau kerbau) dan pihak parboru menyediakan dengke (ikan mas),sebagai tanda permulaan ikatan kekerabatan atau berbesanan (mamuhai partondongan). Seluruh keluarga pun makan pagi bersama, dan setelahnya orang tua parboru memimpin doa memberangkatkan pengantin ke rumah ibadah untuk pemberkatan.

F. PAMASU-MASUON (pemberkatan nikah) & MARUNJUK (pesta adat)

Setelah urut-urutan adat pernikahan dilalui, tibalah untuk menggelar pesta pernikahan yang diawali dengan pemberkatan di rumah ibadah dan dilanjutkan dengan marunjuk (pesta adat). Sekilas urutan prosesi pada hari H dapat disimak di bawah.

MARSIBUHA-BUHAI

Pagi hari (sekitar pukul 6.30) rombongan paranak datang untuk menjemput mempelai wanita dengan membawa tanda makanan adat na margoar / sangsang (pinahan lobu/babi atau kerbau) dan pihak parboru menyediakan dengke (ikan mas),sebagai tanda permulaan ikatan kekerabatan atau berbesanan (mamuhai partondongan). Seluruh keluarga pun makan pagi bersama, dan setelahnya orang tua parboru memimpin doa memberangkatkan pengantin ke rumah ibadah untuk pemberkatan.

PAMASU-MASUON (pemberkatan nikah)

Pemberkatan dilakukan di tempat ibadah. Untuk kepraktisan, sebelum acara pemberkatan dimulai biasanya dilakukan pencatatan sipil di tempat. Setelah pemberkatan usai, seluruh keluarga berangkat menuju tempat pesta adat.

MARUNJUK (pesta adat)

Setelah mempelai dan keluarga kedua pihak telah tiba dalam gedung, kedua belah pihak saling menyerahkan tanda makanan adat. Pihak paranak menyerahkan tudu-tudu ni sipanganon (pinahan lobu/babi atau kerbau utuh yang telah dipotong dan disusun menjadi beberapa bagian tertentu) pada pihak parboru, dan sebaliknya pihak parboru menyerahkan dengke simudur-mudur (ikan mas).

Page 17: Macam budaya lokal

* Pembagian JambarSetelah proses tukar-menukar suguhan selesai, diadakan santap bersama yang didahului dengan doa. Lalu kedua belah pihak bersepakat tentang pembagian jambar juhut (tanda makanan adat yang berasal dari tudu ni sipanganon) di mana tiap potongan daging dibagi-bagi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

* TumpakSaat pembagian berkat daging berlangsung, pihak paranak mengumpulkan sumbangan gugu dan tumpak dari semua kerabat yang diundang, kemudian pengantin perempuan dipersilakan untuk memungut (manjomput) sumbangan yang terkumpul untuk dirinya dan selebihnya diserahkan kepada orang tua paranak.

* SinamotPenyerahan mahar dari pihak paranak ke parboru sesuai dengan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertama-tama 'dihitung' terlebih dahulu oleh parhata (juru bicara) paranak, lalu oleh parhata pihak parboru, kemudian diserahkan pada ibu pengantin perempuan (diterima di atas ulos yang terbuka).Kemudian kedua belah pihak keluarga

saling berkenalan dengan beberapa prosesi adat seperti pemberian panandaion dari keluarga paranak pada keluarga parboru.

* Ulos HerbangPihak parboru menyerahkan ulos herbang esuai kesepakatan dalam marhusip, diawali dengan pemberian ulos passamot dan ulos hela. Ulos Passamot diberikan orang tua pengantin perempuan ke orang tua pengantin laki-laki dengan makna agar dapat mengumpulkan berkat sebanyak-banyaknya. Sedangkan Ulos Hela diberikan orang tua pengantin perempuan kepada pengantin agar pengantin bersatu sepanjang masa. Selain Ulos Hela, adapula Mandar (sarung) yang diberikan kepada pengantin laki-laki untuk dipakai bekerja jika pengantin perempuan mengadakan pesta. Kemudian orang tua parboru menabur beras Sipir Ni Tondi di kepala kedua pengantin sebanyak 3 kali agar selalu sehat, kuat menghadapi cobaan dan tabah menghadapi masalah.

* MangulosiSetelah pemberian ulos herbang, tibalah saat untuk mangulosi atau pemberian ulos / berkat dari seluruh keluarga bagi kedua pengantin.

* Akhir AcaraAcara diakhiri dengan ucapan selamat dari para raja parhata, orang tua disertai dengan sepatah dua kata nasihat bagi pengantin. Kemudian kedua pengantin pun mengucapkan rasa syukur pada orang tua, saudara dan seluruh undangan

G. PASCA PERNIKAHAN

Page 18: Macam budaya lokal

Setelah menikah pun masih ada pula beberapa prosesi adat lama yang dilakukan meski saat ini sudah tak jamak dilaksanakan, atau disatukan dalam prosesi adat untuk alasan kepraktisan. Acara tersebut adalah paulak une dan maningkir tangga, yang ditujukan untuk mengantar pengantin wanita ke pihak paranak dan kunjungan pihak parboru pada huta / desa tempat tinggal pengantin yang merupakan tempat tinggal paranak. Seluruh rangkaian acara kemudian ditutup kembali dengan doa. (Dari berbagai sumber)