Top Banner
Universitas Indonesia | 1 Diagnosis dan Tatalaksana Manifestasi Refluks Esofagus dan Komorbiditasnya Hamida Hayati Faisal Abstrak Penyakit Refluks Gastro Esofagus (PRGE) atau yang lebih dikenal dengan nama Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) merupakan kondisi yang terjadi bila aliran balik isi lambung ke esofagus memberikan keluhan dan mengganggu kualitas hidup seseorang. PRGE dapat memberikan berbagai manifestasi klinis dan komplikasi. Manifestasi dari refluks dapat terjadi di luar esophagus, salah satunya adalah laryngopharyngeal reflux (LPR). Konsep United Airway Disease menyatakan bahwa saluran napas atas dan bawah memiliki keterkaitan dalam proses inflamasi sehingga gangguan yang terjadi pada saluran napas atas dapat mempengaruhi fungsi dari saluran napas bawah. Pada makalah ini dilaporkan dua buah contoh kasus pasien dengan laryngopharyngeal reflux dengan komorbiditas rinitis alergi dan asma yang mempengaruhi proses penyembuhannya. Kata kunci : GERD, LPR, rinitis alergi, asma Abstract Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) is a condition in which the reflux of gastric contents into the oesophagus provokes symptoms and impairs quality of life. GERD have varied manifestations and complications, one of the manifestations occur on extra esophageal, such as laryngopharyngeal reflux (LPR). United airway disease concept proposes that upper and lower airway disease are both manifestations of a single inflammatory process, so that in any impairment of upper airway function will affect the lower airway as well. We report two examples of LPR cases with different comorbidity such as allergic rhinitis and asthma that affect the healing process. Keywords: GERD, LPR, allergic rhinitis, asthma Pendahuluan Refluks Gastro Esofagus (RGE) didefinisikan sebagai aliran retrograd isi lambung ke dalam esofagus, merupakan proses fisiologis yang terjadi secara intermitten terutama setelah makan. Penyakit Refluks Gastro Esofagus (PRGE) disebut sebagai refluks yang patologis atau simptomatik, merupakan kondisi yang kronik dan berulang, sehingga menimbulkan perubahan patologi pada traktus aerodigestif atas dan organ lain di luar esophagus. Manifestasi klinis PRGE di luar esofagus didefinisikan sebagai Refluks Ekstra Esofagus (REE). REE melibatkan beberapa area seperti paru (asma, pneumonia, fibrosis), sindrom telinga, hidung dan tenggorok (laringitis, otitis, polip, dan karsinoma laring), nyeri dada, erosi oral dan dental. 1-3
14

LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Feb 02, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 1

Diagnosis dan Tatalaksana Manifestasi Refluks Esofagus dan

Komorbiditasnya

Hamida Hayati Faisal

Abstrak

Penyakit Refluks Gastro Esofagus (PRGE) atau yang lebih dikenal dengan nama

Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) merupakan kondisi yang terjadi bila

aliran balik isi lambung ke esofagus memberikan keluhan dan mengganggu

kualitas hidup seseorang. PRGE dapat memberikan berbagai manifestasi klinis

dan komplikasi. Manifestasi dari refluks dapat terjadi di luar esophagus, salah

satunya adalah laryngopharyngeal reflux (LPR). Konsep United Airway Disease

menyatakan bahwa saluran napas atas dan bawah memiliki keterkaitan dalam

proses inflamasi sehingga gangguan yang terjadi pada saluran napas atas dapat

mempengaruhi fungsi dari saluran napas bawah. Pada makalah ini dilaporkan dua

buah contoh kasus pasien dengan laryngopharyngeal reflux dengan komorbiditas

rinitis alergi dan asma yang mempengaruhi proses penyembuhannya.

Kata kunci : GERD, LPR, rinitis alergi, asma

Abstract

Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) is a condition in which the reflux of

gastric contents into the oesophagus provokes symptoms and impairs quality of

life. GERD have varied manifestations and complications, one of the

manifestations occur on extra esophageal, such as laryngopharyngeal reflux

(LPR). United airway disease concept proposes that upper and lower airway

disease are both manifestations of a single inflammatory process, so that in any

impairment of upper airway function will affect the lower airway as well. We

report two examples of LPR cases with different comorbidity such as allergic

rhinitis and asthma that affect the healing process.

Keywords: GERD, LPR, allergic rhinitis, asthma

Pendahuluan

Refluks Gastro Esofagus (RGE)

didefinisikan sebagai aliran retrograd

isi lambung ke dalam esofagus,

merupakan proses fisiologis yang

terjadi secara intermitten terutama

setelah makan. Penyakit Refluks

Gastro Esofagus (PRGE) disebut

sebagai refluks yang patologis atau

simptomatik, merupakan kondisi

yang kronik dan berulang, sehingga

menimbulkan perubahan patologi

pada traktus aerodigestif atas dan

organ lain di luar esophagus.

Manifestasi klinis PRGE di luar

esofagus didefinisikan sebagai

Refluks Ekstra Esofagus (REE). REE

melibatkan beberapa area seperti

paru (asma, pneumonia, fibrosis),

sindrom telinga, hidung dan

tenggorok (laringitis, otitis, polip,

dan karsinoma laring), nyeri dada,

erosi oral dan dental.1-3

Page 2: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 2

Refluks Laringo Faring

(Laryngopharyngeal Reflux/ LPR)

adalah REE yang menimbulkan

manifestasi penyakit-penyakit oral,

faring, laring dan paru. REE telah

dianggap berperan penting pada

banyak penyakit saluran napas atas

dan paru. Oleh karena itu ahli THT

harus mewaspadai adanya hubungan

yang kompleks untuk menegakkan

diagnosis dan terapi REE akibat

PRGE.4

Epidemiologi

PRGE merupakan penyakit

gastrointestinal yang sering ditemui

di daerah barat, 10% - 20% populasi

mengalami keluhan PRGE setiap

minggunya. Di Asia dilaporkan

prevalensinya bervariasi namun

relatif lebih rendah. 5 Hye-Kyung

Jung melaporkan prevalensi PRGE

di Asia antara lain; 10.5% di

Singapura, 12.4% di Taiwan, 3.5-

8.5% di Korea, 7.7 % di Jepang, 4.1-

7.7% di Cina, .3-8.2% di Iran, dan 20

% di Turki. PRGE dalam studi ini

didefinisikan sebagai sensasi

terbakar pada dada atau mengalami

regurgitasi asam yang dirasakan

setiap minggu.6

Di Indonesia belum ada data

epidemiologi mengenai PRGE,

namun di Divisi Gastroenterologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI-RSCM menunjukkan

peningkatan prevalensi PRGE dari 6

% pada tahun 1997 menjadi 26 %

pada tahun 2002, dan didapatkan pria

lebih banyak mengalami PRGE

daripada wanita.7

Tingginya gejala refluks pada

populasi di negara Barat diduga

disebabkan karena faktor diet dan

meningkatnya obesitas.8 Refluks

Laringofaring terjadi pada 4% - 10%

pasien dengan PRGE/ GERD.9

Pada studi yang dilakukan Bor dkk.

seperti yang dikutip oleh Aras dkk.

bahwa pada pasien asma dan kontrol

prevalensi GERD (rasa terbakar di

dada/ regurgitasi satu kali dalam

seminggu) adalah 25,4 % dan 19,4%,

dan tidak didapatkan adanya

perbedaan yang signifikan dari

prevalensi asma dan atau obstruksi

saluran napas pada pasien dengan

dan tanpa GERD.10

United Airway Disease

Hipotesis United Airway Disease

menyatakan bahwa saluran napas

atas dan bawah merupakan

manifestasi dari proses inflamasi

tunggal dari saluran napas.11

Mukosa nasal dan bronkus terdiri

dari epitel pseudostratified,

kolumnar bersilia yang berada di

membran basalis. Di bawah

membran basalis terdapat lapisan

submukosa, yang terdiri dari

pembuluh darah, kelenjar mukus, sel,

saraf, dan beberapa sel inflamasi.

Perbedaan utama dari saluran napas

atas dan bawah adalah patensi

saluran napas atas dominan

dipengaruhi oleh tonus pembuluh

darah, sedangkan pada saluran napas

bawah dipengaruhi oleh fungsi otot

polos.12

Patofisiologi Refluks

PRGE dapat berupa gangguan

fungsional (90% kasus) atau

gangguan struktural (10% kasus).

PRGE menimbulkan gejala refluks

yang disebabkan oleh disfungsi

sfingter esofagus bawah, sedangkan

PRGE struktural gejala refluks

Page 3: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 3

menimbulkan kerusakan mukosa

esofagus. Sfingter bawah esofagus

berperan penting dalam patofisiologi

refluks. Pada orang normal, sfingter

bawah esofagus mencegah aliran

retrograd refluksat dari lambung ke

dalam esofagus dengan

mempertahankan sawar barier yang

berupa perbedaan tekanan antara

esofagus dan lambung. Tekanan

intraabdomen lebih tinggi daripada

tekanan intratoraks. Tekanan sfingter

bawah esofagus individu normal 25-

35 mmHg. 4

Studi yang dilakukan pada 10

sukarelawan sehat ditemukan bahwa

tekanan pada sfingter bawah

esofagus bervariasi dalam 12 jam.

Episode refluks tidak berhubungan

tekanan pada saat istirahat. Sekitar

70% – 100% episode refluks muncul

saat episode relaksasi sfingter

sementara, komplit maupun parsial

yang berlangsung selama 5 – 30

detik. Mekanisme dari relaksasi ini

tidak diketahui namun diperkirakan

berhubungan dengan aktivasi nervus

vagus, yang kemungkinan sebagai

akibat distensi lambung.1

Patogenesis PRGE merupakan

peristiwa multifaktorial yang

dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu;

perubahan anatomi dari sawar

refluks, komponen fisiologis seperti

perbedaan tekanan abdominotoraks,

efisiensi pengosongan esofagus,

faktor makanan, obesitas, kehamilan.

Relaksasi sementara sfingter bawah

esofagus (transient LES relaxation)

memegang peranan penting dalam

patogenesis PRGE, relaksasi ini

terjadi pada saat tidak ada peristaltik,

periode hipotonus sfingter sesudah

makan. 4

Gambar 1. Sfingter bawah esofagus13

Pada pasien dengan esofagitis atau

setelah makan makanan berlemak,

relaksasi sementara ini dapat terjadi

yang dicetus oleh refleks vagal,

distensi gaster atau gangguan

pernapasan. Peristiwa menelan

memegang peranan penting pada

pembersihan asam esofagus karena

dapat menimbulkan gelombang

peristaltik esofagus primer, yang

mengeluarkan air liur kaya

bikarbonat yang menetralkan dan

membersihkan refluksat ke bagian

distal esofagus. Sfingter bawah

esofagus merupakan sawar terakhir

untuk mencegah refluksat masuk ke

laringofaring.4

REE akibat PRGE diperkirakan

terjadi melalui dua mekanisme,

yaitu; kontak langsung refluks asam

lambung dan pepsin ke esofagus

proksimal dan sfingter atas esofagus

yang berlanjut dengan kerusakan

mukosa faring, laring, paru;

mekanisme kedua adalah melalui

pajanan asam esofagus distal yang

merangsang refleks vagal sehingga

terjadi bronkospasme, batuk, sering

meludah, dan perubahan inflamasi

laring dan faring.4

Page 4: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 4

PRGE dan LPR

LPR mengindikasikan adanya

gangguan ekstra esofageal akibat

refluks. LPR dan PRGE muncul

dengan mekanisme yang sama, yaitu

keluarnya isi lambung ke esofagus

atau struktur di atasnya. Gejala

klasik seperti pada PRGE tidak khas

pada LPR, sehingga sering

mengakibatkan diagnosis ini

terabaikan.14

Terdapat tiga area yang menjadi

perhatian di dalam pemahaman

hubungan antara PRGE dengan

saluran napas atas dan bawah, yaitu;

pertama, perkembangan evolusi yang

unik dari saluran aerodigastif

manusia yang membuat kita lebih

rentan untuk mengalami PRGE.

Kedua, komposisi material refluks

yang tidak hanya berupa asam atau

cairan namun juga berbentuk gas

yang disertai pepsin dan garam

empedu. Ketiga, kerusakan histologi

yang disebabkan material refluks

pada epitel saluran napas. 15

LPR berbeda dengan PRGE, dimana

defek yang menyebabkan LPR

adalah sfingter atas esofagus

sedangkan pada PRGE yang

mengalami defek adalah sfingter

bawah esofagus. Pasien dengan LPR

biasanya menyangkal keluhan

sensasi terbakar pada dada dan

regurgitasi. Pasien LPR lebih

mengeluhkan masalah tenggorokan

daripada masalah pencernaan, seperti

disfonia, batuk kronik, globus

faringeus, dan mendehem yang

kronik.16

Refluks, Rinitis dan Asma

Kasus Refluks Ekstra Esofagus

(REE) sering ditemui pada pasien-

pasien di bagian gastroenterologi

maupun di bagian THT. Refluks dari

asam dan pepsin dapat memberikan

efek pada saluran pernapasan

sehingga mengakibatkan masalah

pernapasan seperti asma dan

pneumonia. Keluhan batuk kronik,

laringitis kronik, dan asma secara

signifikan berkaitan dengan PRGE. 10

Prevalensi PRGE pada pasien asma

meningkat 4 – 5 kali lebih tinggi

daripada pasien bukan asma. Pada

sebuah studi didapatkan 80 % pasien

asma yang dievaluasi memiliki

PRGE berdasarkan pemeriksaan

pemantauan pH.11

Pada asma dan

PRGE terdapat hubungan sebab

akibat yang membentuk lingkaran

setan. Refluks dapat mempercepat

terjadinya asma melalui refleks vagal

yang dipicu oleh adanya cairan

lambung di dalam esophagus yang

menghasilkan batuk dan/atau

bronkospasme, dapat pula

disebabkan oleh mikro aspirasi isi

lambung ke dalam trakea.3

Sebaliknya, asma dapat

menimbulkan refluks sehubungan

dengan adanya peningkatan gradien

tekanan antara rongga abdomen dan

rongga dada, melebihi tekanan barier

sfingter bawah esophagus. 10

Hiperinflasi paru pada asma

merendahkan diafragma dan

bertentangan dengan mekanisme

katup pada muara esofagus pada

lambung. Tekanan yang fluktuatif

antara intratorakal dan intraabdomen

meningkatkan risiko terjadinya

refluks.16

Selain itu, pengobatan asma seperti

teofilin, beta-2 agonis atau

prednison, dapat meningkatkan

Page 5: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 5

kejadian PRGE dengan melawan

mekanisme proteksi pernapasan. 3

Gambar 2. Asma dan PRGE dapat

mengeksaserbasi satu sama lainnya.17

Studi yang dilakukan oleh Belafsky

dkk seperti yang dikutip oleh Mehtap

Kilic dkk, skor reflux symptom

secara signifikan lebih tinggi pada

pasien asma yang tidak terkontrol (p:

0.001), namun tidak didapatkan

perbedaan yang signifikan antara

pasien dengan dan tanpa LPR dan

PRGE. 16

Studi lain yang dilakukan oleh

Ferrari dkk seperti yang dikutip oleh

Galvan dkk15

, pada 29 pasien asma

yang menjalani pemantauan pH,

mereka menyimpulkan hambatan

sekresi asam lambung tidak

mempengaruhi hiperreaktivitas

bronkus, namun meningkatkan

sensitivitas batuk dan efek ini

berkaitan dengan refluks proksimal. 15

Asma bronkial didefinisikan sebagai

gangguan inflamasi kronik dari

saluran napas dimana elemen selular

memegang peranan penting.

Inflamasi kronik berhubungan

dengan respon berlebih saluran napas

yang mengakibatkan episode

berulang mengi, sulit bernapas,

batuk, terutama pada malam atau

pagi hari. Asma dapat dikontrol

dengan edukasi yang baik, kontrol

lingkungan, menghindari hal yang

menjadi pemicu, dan pengobatan.

Asma yang tidak terkontrol dapat

disebabkan oleh karena adanya

komorbiditas yang mempengaruhi

pengobatannya. Oleh karena itu,

penting untuk mengetahui

komorbiditas asma pada pasien dan

merupakan bagian integral dari

tatalaksana penting dari asma.2

Masalah saluran napas atas seperti

rinitis alergi atau non alergi dan

sinusitis, sering berhubungan dengan

asma serta mempengaruhi

pengobatan asma. Konsep united

airway disease menjelaskan proses

inflamasi yang terjadi pada saluran

napas atas dan bawah seperti rinitis

dan asma adalah sama. Rinitis dapat

mempengaruhi asma melalui

mekanisme yang bermacam-macam,

termasuk di antaranya: 1) pelepasan

mediator ke saluran napas atau

sirkulasi perifer, 2) refleks vagal, 3)

peningkatan produksi progenitor

bone marrow sel radang, 4)

peningkatan paparan saluran napas

bawah terhadap kontaminasi udara

yang masuk melalui pernapasan

mulut, dan 5) meningkatnya

kebutuhan udara inspirasi.2

Hubungan antara rinitis dan asma

(saluran napas atas dan bawah)

menjadi perhatian khusus pada studi

epidemiologi. Mukosa saluran

pernapasan kaya akan sel mast dan

jaringan limfoid yang membentuk

jaringan limfoid bronkial/mukosa

(BALT atau MALT). Saluran napas

atas berfungsi sebagai penyaring,

Page 6: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 6

pengatur suhu dan melembabkan

udara yang dihirup. Gangguan pada

salah satu fungsi ini biasanya akan

mengakibatkan gangguan

homeostasis pada saluran napas

bawah.18

Pada saat reaksi alergi muncul, fase

awal yang diperantarai histamin

langsung terjadi. Reaksi ini diikuti

oleh hubungan kompleks antara

fenomena inflamasi yang melibatkan

limfosit T, sitokin, dan molekul

adhesi. Molekul adhesi ini penting

dalam recruitment sel radang pada

target organ.selama fase awal,

molekul adhesi spesifik

diekspresikan pada permukaan

endotel dan epitel yang membantu

ekstravasasi dan infiltrasi sel radang.

Infiltrasi yang lemah dari sel radang

dapat terjadi pada lapisan mukosa

tanpa menimbulkan gejala pada saat

terjadi paparan alergen. Proses ini

dikenal dengan nama MPI (Minimal

Persistent Inflammation), yang

terjadi pada rinitis alergi serta asma.

MPI juga melibatkan ekspresi

molekul CD54 (ICAM-1) yang

lemah dan menetap yang merupakan

reseptor utama dari rhinovirus pada

manusia.18

Pasien rinitis, inflamasi saluran

napas bawah dibuktikan dengan

peningkatan kadar nitrit oksida dan

temuan eosinofil pada sputum, cairan

bilasan bronkus, dan biopsi bronkus.

Sama halnya dengan asma, biopsi

nasal menunjukkan adanya inflamasi

eosinofilik, meskipun pada pasien

yang tidak memiliki gejala rinitis. 12

Refluks asam lambung ke esofagus

telah lama dikenal sebagai PRGE.

meskipun secara anatomis esofagus

berhubungan langsung dengan

lambung, hingga tahun 1968 tidak

diketahui bahwa refluks asam

merupakan faktor penyebab dari

laringitis yang saat ini dikenal

dengan nama LPR.15

Refluks asam merupakan etiologi

yang paling sering namun gejala

yang ada pada PRGE dan LPR

sangat bervariasi. 19

Del Gaudio menyatakan pada pasien

dengan rinosinusitis kronik menetap

setelah operasi sinus lebih sering

terjadi refluks nasofaring, sfingter

atas esofagus, dan sfingter bawah

esofagus. Mekanisme sebenarnya

belum dapat diterangkan namun

terdapat dua kemungkinan, yaitu

akibat efek langusng refluksat ke

sinonasal yang menyebabkan

inflamasi dan edema serta disfungsi

mukosilier sehingga terjadi sumbatan

dan infeksi ostium sinus.20

Refleks rinobronkial merupakan

hubungan kausal antara stimulasi

primer nasal dan penyakit

bronkopulmoner. Rinitis dan asma

berbagi banyak komponen

patofisiologi yang mengakibatkan

Gambar 3. Asma dan komorbiditas terkait2

Page 7: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 7

keduanya dapat terjadi secara

bersamaan. Stimulasi saraf akibat

agen iritan, dimana memberi efek

sumbatan pada hidung dengan

dilatasi kapasitas pembuluh darah,

sementara pada saluran napas bawah

agen yang menyebabkan konstriksi

alveolar membuat kontraksi otot

polos bronkus. Pada kedua kondisi

ini, aktivasi sel mast mengakibatkan

pelepasan mediator, eosinofil dan

aktivasi limfosit T serta produksi

mediator.21

Diagnosis

Diagnosis LPR ditegakkan dari

anamnesis dimana terdapat keluhan

seperti suara serak, batuk dan sering

mendehem. Faktor yang menjadi

predisposisi seperti merokok,

konsumsi alkohol, makan makanan

pedas, berlemak atau bersoda perlu

diketahui.1, 16

Sekitar 50 % pasien dengan gejala

ekstra esofagus tidak selalu memiliki

gejala khas seperti rasa terbakar di

dada dan regurgitasi.

Pemeriksaan rinolaringoskopi serat

lentur dengan video rekaman untuk

mengevaluasi laring membantu

dalam penegakan diagnosis. Temuan

yang didapatkan seperti eritema,

edema, obliterasi ventrikular,

hiperplasia post krikoid dan pseudo-

sulkus. 1

Refluks cairan lambung ke faring

dan laring dapat menimbulkan gejala

akibat kerusakan mukosa dengan

variasi gejala yang luas dan sulit

untuk ditentukan pada masing-

masing individu. Refluks dapat

berupa cairan maupun gas atau

keduanya dengan tingkat keasaman

yang bervariasi dari normal hingga

asam. Oleh karena itu dibutuhkan

suatu penanda untuk mengetahui

adanya LPR dan laringitis akibat

refluks. Reflux Symptom Index (RSI)

dan Reflux Finding Score (RFS)

merupakan parameter yang berguna.

RSI didisain untuk memastikan

kecurigaan klinis dari LPR pada

pasien dengan keluhan telinga,

hidung, dan tenggorokan. RFS

digunakan untuk melihat

karakteristik lesi morfologis yang

diperkirakan berkaitan dengan LPR.

Skor RSI > 13 dikatakan abnormal

dan dipikirkan kemungkinan LPR

sebagai diagnosis, sementara pada

RFS > 7 dinyatakan sebagai

abnormal1, 14, 22

Pemantauan pH selama 24 jam.

(faring dan esofagus) merupakan

pemeriksaan yang sensitif dan

spesifik untuk menegakkan diagnosis

LPR..16

Pemantauan yang hanya

dilakukan pada pH esofagus tidak

selalu mampu untuk mendeteksi

adanya refluks, terutama bila

material refluks sedikit atau tidak

mengandung asam. 15

Literatur mengatakan tes Proton

Pump Inhibitor (PPI) dengan dosis

tinggi untuk tujuan diagnostik dapat

dilakukan untuk mendiagnosis

refluks, namun hingga saat ini belum

ada studi yang cukup adekuat

mendukung hal tersebut, sehingga

penelitian lebih lanjut masih

Gambar 4. Perbandingan gambaran

laring normal dengan LPR dari hasil

rinolaringoskopi 1

Page 8: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 8

dibutuhkan terutama dengan

manifestasi ekstra esofagus. 15, 23

PRGE tidak memiliki pemeriksaan

baku emas untuk menegakkan

diagnosis. Pemeriksaan endoskopi

mendapatkan hasil positif hanya

pada 40 % kasus. Selain itu, evaluasi

penggunaan terapi anti refluks

berdasarkan membaiknya gejala

bersifat subjektif. Rasa terbakar di

dada dan regurgitasi merupakan

gejala karakteristik dari sindrom

refluks sehingga tanpa melakukan tes

pemeriksaan diagnostik pada pasien

yang memiliki keluhan ini, diagnosis

adanya refluks dapat ditegakkan.

Pada tes penggunaan PPI pasien

dengan keluhan yang membaik

mengarah ke diagnosis PRGE. Pada

pasien dengan gejala refluks yang

menetap diindikasikan untuk

pemeriksaan manometri untuk

mencari diagnosis lain seperti

abnormalitas motorik esofagus.

Manometri berfungsi untuk

menganalisis fungsi dan aktivitas

peristaltik esofagus dan sfingter

bawah esofagus, tetapi tidak

diindikasikan untuk menegakkan

diagnosis PRGE. Pasien yang tidak

memberi respon terhadap terapi obat-

obatan sebaiknya dievaluasi dengan

pemantauan pH. Pemantauan

impedansi pH esofagus merupakan

pemeriksaan yang menjanjikan.

Sensor pH yang digunakan dapat

mendeteksi berbagai tipe refluks

(asam, asam lemah, basa lemah). Tes

ini mengukur resistensi konduksi

listrik dari isi esofagus dan

mendeteksi perubahan pH esofagus

terkait dengan adanya cairan atau gas

refluksat.5

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan

berdasarkan keluhan gejala yang

khas yaitu terdapatnya serangan

bersin berulang. Gejala lain seperti

keluar ingus yang encer dan banyak,

hidung tersumbat, kadang-kadang

disertai keluarnya air mata yang

banyak. Pada pemeriksaan rinoskopi

anterior didapatkan mukosa edema,

basah, berwarna pucat atau livid

disertai adanya sekret encer yang

banyak. Bila gejala menetap, maka

akan tampak mukosa inferior

hipertrofi. Selain itu juga terdapat

gejala atopi lainnya seperti: allergic

shiner, allergic salute dan allergic

crease. Pemeriksaan hitung eosinofil,

IgE total, tes cukil kulit merupakan

contoh pemeriksaan yang dapat

dilakukan untuk membantu

penegakan diagnosis. Klasifikasi

rinitis alergi yang digunakan

berdasarkan rekomendasi WHO

Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and

its Impact on Asthma) yaitu

berdasarkan sifat berlangsungnya

dibagi menjadi intermitten dan

persisten. Rinitis alergi intermiten

bila gejala kurang dari 4 hari

/minggu atau kurang dari 4 minggu.

Persisten/ menetap bila gejala lebih

dari 4 hari/ minggu dan lebih dari 4

minggu. Sedangkan untuk tingkat

berat ringannya penyakit, rinitis

alergi dibagi menjadi ringan bila

tidak ditemukan gangguan tidur,

aktivitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal

lainnya. Dikatakan sedang-berat bila

terdapat satu atau lebih gangguan

tersebut. 24

Asma merupakan gangguan

inflamasi kronik dari saluran napas

yang melibatkan banyak elemen

selular. Inflamasi kronik

berhubungan dengan respon berlebih

yang mengakibatkan terjadinya

episode berulang mengi, sulit

bernapas, sesak, batuk, terutama

pada malam hari dan saat bangun.

Page 9: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 9

Karakteristik Terkontrol Terkontrol

sebagian

Tidak Terkontrol

Gejala siang hari Tidak ada (< 2

kali / minggu

> 2 kali/

minggu

3 atau lebih gejala

dari asma

terkontrol sebagian

Batasan aktivitas Tidak ada Ada

Gejala malam hari/

terbangun

Tidak ada ada

Kebutuhan reliever/

inhaler

Tidak ada

(kurang dari 2

kali / minggu

> 2 kali/

minggu

Fungsional paru (PEF

atau FEV1)

normal <80 %

Klasifikasi asma berdasarkan tingkat

kontrolnya dibagi menjadi asma

terkontrol, terkontrol sebagian dan

tidak terkontrol. Penjelasan

mengenai klasifikasi tersebut

terdapat didalam tabel 1.25

Penatalaksanaan

Tujuan terapi adalah menghilangkan

gejala, menyembuhkan esofagitis,

pencegah rekurensi dan komplikasi.

Manifestasi refluks secara umum

ditatalaksana dengan kombinasi diet

dan obat-obatan. Diet yang dimaksud

termasuk mengurangi berat badan

(pasien dengan kelebihan berat

badan). Makanan dan minuman yang

mengandung kafein harus dihindari

mengingat pengaruhnya pada

sfingter esofagus. Minuman

berkarbonasi menghasilkan distensi

lambung yang dapat memicu

transient lower esophageal reflux.

Konsumsi minuman asam dapat

mereaktivasi pepsin pada refluks

yang bersifat kurang asam. Nikotin

juga merangsang produksi asam serta

memicu terjadinya TLOSR, sehingga

merokok harus dihindari. Makanan

dengan porsi kecil namun sering

lebih direkomendasikan daripada

makanan denngan porsi besar. Pada

beberapa individu, tidur dengan posis

kepala sedikit ditinggikan

memberikan efek yang baik untuk

mencegah refluks di malam hari saat

tidur. Selain dengan menjalani diet,

kombinasi dengan pemberian proton

pump inhibitor (PPI) dapat

memberikan hasil yang baik. 15

Pasien dengan hasil RSI dan RFS

mengindikasikan adanya LPR

diterapi dengan menggunakan 40-80

mg pantoprazole setiap hari selama 3

bulan. Di RSCM penatalaksanaan

LPR dilakukan dengan edukasi diet

LPR yang dikombinasi dengan

pemberian lansoprazole 30 mg dua

kali per hari. Evaluasi dapat

dilakukan dalam rentang waktu 2

minggu hingga setiap bulannya.5, 15

Intervensi operasi merupakan pilihan

terapi pada pasien LPR yang tidak

berhasil diterapi menggunakan obat-

obatan atau menolak untuk

mengkonsumsi obat dalam jangka

waktu lama. Nissen fundolipification

merupakan standar operasi untuk

GERD dan pada kebanyakan kasus

dilakukan secara laparoskopik.26

Tabel 1. Klasifikasi asma24

Page 10: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 10

Penatalaksanaan rinitis alergi di

antaranya dengan menghindari

kontak dengan alergen penyebab dan

eliminasi. Antihistamin yang dipakai

adalah antagonis histamin H-1 yang

bekerja secara inhibitor kompetitif

pada reseptor H-1 sel target, dan

merupakan preparat farmakologik

yang paling sering dipakai sebagai

lini pertama pengobatan rinitis alergi.

Pemberian dapat dalam kombinasi

atau tanpa kombinasi dengan

dekongestan secara peroral. Prepart

kortikosteroid dipilih bila gejala

terutam sumbatan hidung akibat

respon lambat tidak berhasil diatasi

dengan obat lain. Kortikosteroid

topikal yang sering dipakai seperti

beklometason, budesonid, flutikason,

mometason furoat dan triamsinolon.

Kortikosteroid topikal bekerja untuk

mengurangi jumlah sel mastoit pada

mukosa hidung, mencegah

pengeluaran protein sitotoksik dari

eosinofil, mengurangi aktivitas

limfosit dan mencegah bocornya

plasma. Hal ini menyebabkan epitel

hidung tidak hiper-responsif terhadap

rangsangan alergen. Pengobatan baru

untuk rinitis alergi adalah leukotriene

(zafirlukast/ montelukast), anti IgE,

DNA rekombinan. Tindakan operasi

seperti konkotomi parsial,

konkoplasti atau inferior

turbinoplasty perlu dipikirkan bila

konka inferior hipertrofi berat dan

tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kauterisasi memakai AgNO3 25 %

atau triklorasetat.24

Menurut guidelines terbaru,

penatalaksanaan pasien asma terdiri

dari penggunaan dosis tinggi

glukokortikosteroid inhalasi atau oral

dengan kombinasi LABAs dan atau

obat-obatan untuk mengontrol.25

Laporan Kasus

Seorang laki-laki berusia 59 tahun

dikonsul oleh Divisi Alergi

Imunologi THT dengan keluhan rasa

mengganjal di tenggorok disertai

sering mendehem dan suara serak.

Keluhan tersebut dirasakan sangat

mengganggu pasien. Keluhan lendir

di tenggorok, kesukaran menelan,

batuk setelah makan/ berbaring,

kesukaran bernapas, batuk yang

mengganggu serta rasa terbakar di

dada atau nyeri dada dan gangguan

pencernaan disangkal. Dari evaluasi

berdasarkan Reflux Symptom Index

(RSI) didapatkan jumlah skor 9.

Pada pemeriksaan Rino

faringolaringoskopi didapatkan

gambaran edema subglotik, obliterasi

ventrikel komplit, eritema difus,

edema pita suara moderat, edema

laring difus ringan, hipertrofi

komisura posterior ringan, tidak ada

jaringan granulasi atau thick

endolaryngeal mucus, sehingga

disimpulkan skor Reflux Finding

Score (RFS) sebesar 14. Pasien

didiagnosis dengan LPR sejak

hampir 2 tahun yang lalu. Keluhan

dirasakan kadang membaik namun

sering kembali muncul saat pasien

terserang flu. Tatalaksana dengan

menggunakan lansoprazole 2 x 30

mg rutin dijalani oleh pasien, namun

diet makanan yang harus dihindari

tidak selalu dipatuhi pasien. Dari

divisi Alergi imunologi pasien telah

didiagnosis dengan rinitis alergi

persisten sedang berat sejak tahun

2008, rutin kontrol dan mendapat

terapi dengan steroid topikal seretide

pada hidung sejak 2 tahun yang lalu.

Pasien pernah dilakukan reduksi

konka 1 tahun yang lalu pada kedua

hidung. Saat ini keluhan hidung

tersumbat kadang masih dirasakan.

Pasien mengidap asma sejak 25

Page 11: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 11

tahun yang lalu, dengan hasil

spirometri FEV1 / FVC 87,71% dan

FEV1 93,80%, saat ini sangat jarang

kambuh (1-2 kali setiap bulan).

Seorang wanita berusia 21 tahun

dikonsulkan dari divisi Alergi

Imunologi THT dengan keluhan

suara serak, banyak lendir di

tenggorokan serta rasa mengganjal di

tenggorokan. Pasien sebelumnya

rutin kontrol LPR, dan sejak satu

bulan yang lalu keluhan dirasa sudah

jauh membaik. Satu minggu

sebelumnya pasien terkena flu

sehingga lendir kembali terasa

banyak di tenggorokan. Pasien

didiagnosis dengan rinitis alergi

persisten sedang berat sejak 2008

dan mendapat terapi steroid semprot

hidung. Pasien memiliki riwayat

asma sejak kecil, namun sejak 4 hari

terakhir timbul sesak yang disertai

napas berbunyi. Pada penilaian RSI

didapatkan keluhan suara serak

disertai sering mendehem, lendir di

tenggorokan dirasakan sangat

banyak, suit bernapas, batuk yang

mengganggu, serta rasa mengganjal

di tenggorok, dengan jumlah skor

RSI 16. Pada pemeriksaan

rinofaringolaringoskopi didapatkan

gambaran laring eritema difus,

edema laring difus moderat,

hipertrofi komisura posterior

moderat,dan terdapat thick

endolaryngeal, sehingga jumlah skor

RFS adalah 12. Pasien didiagnosis

dengan LPR lalu diberikan edukasi

untuk menjalani diet LPR serta

mendapat terapi lansoprazole 2 x 30

mg dan dikonsulkan ke bagian

pulmonologi IPD untuk evaluasi

asma. Bagian pulmonologi IPD

mendiagnosis dengan asma bronkial

ringan, mendapat terapi steroid

topikal (ventolin nasal spray 2 x 2

puff), mukolitik serta steroid sistemik

(metilprednisolon 3 x 4 mg) selama 3

hari.

Diskusi

Dua contoh kasus di atas

menggambarkan manifestasi dari

refluks. Sesuai dengan literatur

dikatakan, refluks dapat memberikan

manifestasi pada esofagus dan ekstra

esofagus. Pada contoh kasus

pertama, kedua manifestasi refluks

didapati pada pasien tersebut,

sementara pada contoh kasus kedua

keluhan yang mengarah kepada

GERD tidak ada. Hal ini sesuai

dengan literatur yang menyatakan

bahwa refluks tidak selalu disertai

oleh gejala tipikal seperti sensasi

terbakar atau regurgitasi asam.

Pada kasus pertama, pasien

didiagnosis dengan rintis alergi

persisten sedang berat sejak lama.

Meskipun pasien sudah diberi terapi

LPR yang adekuat, namun keluhan

dirasakan terus muncul, terutama

saat terserang asma dan rinitis. Hal

ini sesuai dengan literatur yang

menyatakan LPR sebagai manifestasi

refluks ekstraesofagus dieksaserbasi

oleh kondisi alergi, dalam hal ini

adalah asma dan rinitis alergi. Pasien

memiliki riwayat reduksi konka,

dimana pada literatur dikatakan

reduksi konka dilakukan pada pasien

dengan keluhan hidung tersumbat

yang menetap dan didapati adanya

hipertrofi konka pada pemeriksaan.24

Tindakan ini bertujuan untuk

menghilangkan keluhan hidung

tersumbat sehingga pasien dapat

bernapas secara normal dan tidak

bernapas dari mulut yang akan

menimbulkan keluhan LPR. Selain

rinitis alergi, penyakit asma pada

pasien juga mempengaruhi

penatalaksanaan LPR. Hal ini sesuai

Page 12: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 12

dengan hipotesis united airway

disease yang menganggap proses

inflamasi yang terjadi pada saluran

napas atas dan bawah merupakan

satu kesatuan.

Kasus kedua juga membuktikan

bahwa komorbiditas asma

memperngaruhi dalam pengobatan

refluks. Pada pasien ini tidak

didapati adanya keluhan sensasi

terbakar atau regurgitasi, sehingga

diagnosis GERD dapat disingkirkan.

Dari evaluasi yang dilakukan

menggunakan skala RSI dan RFS

didapatkan gambaran bahwa

pengobatan yang diberikan pada

pasien ini menunjukkan hasil yang

signifikan terhadap keluhan yang

mengarah pada LPR. Namun pada

saat terjadi inflamasi pada saluran

napas atas, dalam hal ini adalah

rinitis (inflamasi pada mukosa

hidung) memperngaruhi keberhasilan

pengobatan. Pasien kembali

mengeluhkan gejala banyak lendir

dan suara serak yang dirasakan

bertambah setelah timbulnya keluhan

hidung tersumbat dan ingus encer.

Dalam proses pemantauan

keberhasilan terapi pada kedua kasus

digunakan sistem penilaian RSI dan

RFS. Pada literatur dikatakan bahwa

sistem ini masih memerlukan studi

lebih lanjut, namun pada kedua kasus

ini tampak bahwa sistem penilaian

tersebut bermanfaat dalam proses

pemantauan keberhasilan terapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Barry DW, Vaezi MF.

Laryngopharyngeal reflux: More

questions than answers. Cleveland

Clinic journal of medicine.

2010;77(5):327-34. Epub

2010/05/05.

2. Boulet LP. Influence of comorbid

conditions on asthma. The

European respiratory journal.

2009;33(4):897-906. Epub

2009/04/02.

3. Saritas Yuksel E, Vaezi MF.

Extraesophageal manifestations of

gastroesophageal reflux disease:

cough, asthma, laryngitis, chest

pain. Swiss medical weekly.

2012;142:w13544. Epub

2012/03/24.

4. Yunizaf MH, Iskandar N.

Penyakit refluks gastroesofaus

dengan manifestasi otolaringologi.

In: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD,

editors. Buku ajar ilmu kesehatan

telinga hidung tenggorok kepala

& leher. 6 ed. Jakarta: Balai

penerbit FKUI; 2008. p. 303-10.

5. Nwokediuko SC. Current trends in

the management of

gastroesophageal reflux disease: a

review. ISRN gastroenterology.

2012;2012:391631. Epub

2012/07/31.

6. Jung HK. Epidemiology of

gastroesophageal reflux disease in

Asia: a systematic review. Journal

of neurogastroenterology and

motility. 2011;17(1):14-27. Epub

2011/03/04.

7. Simadibrata M, Rani A, Adi P,

Djumhana A, Abdullah M. The

Gastro-esophageal reflux disease

questionnaire using Indonesian

language: a language validation

survey. Med J Indones. 2011;20(2

May 2011):125-30.

8. Makmun D. Penyakit Refluks

Gastroesofageal. In: Sudoyo AW,

Setyohadi B, Alwi I, K. MS,

Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat

Penerbitan Depatrtemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI; 2006. p.

315-9.

Page 13: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 13

9. Shockley WW, Das S. Esophageal

Disorders. In: Bailey BJ, Johnson

JT, Newlands SD, editors. Head &

Neck Surgery-Otolaryngology.

Philadelphia: Lippincot Williams

& wilkins; 2006. p. 755-70.

10.Aras G, Kanmaz D, Kadakal F,

Purisa S, Sonmez K, Tuncay E, et

al. Gastroesophageal reflux

disease in our asthma patients: the

presence of dysphagia can

influence pulmonary function.

Multidisciplinary respiratory

medicine. 2012;7(1):53. Epub

2012/12/19.

11. Turbyville JC. Applying

principles of physics to the airway

to help explain the relationship

between asthma and

gastroesophageal reflux. Medical

hypotheses. 2010;74(6):1075-80.

Epub 2010/01/19.

12. Rimmer J, Ruhno JW.

Rhinitis and asthma: united

airway disease. MJA.

2006;185:565-71.

13. W.Mark J. Gastroesophageal

reflux diseases. Medicinet; 2011

[updated 5/9/2013]; Available

from:

http://www.medicinenet.com/gastr

oesophageal_reflux_disease_gerd/

page2.htm.

14. Neri G, Pugliese M,

Castriotta A, Mastronardi V,

Pasqualini P, Colasante A, et al.

White-line: a new finding in

laryngopharyngeal reflux

objective evaluation. Medical

hypotheses. 2013;80(6):769-72.

Epub 2013/04/16.

15. Pacheco-Galvan A, Hart SP,

Morice AH. Relationship between

gastro-oesophageal reflux and

airway diseases: the airway reflux

paradigm. Archivos de

bronconeumologia.

2011;47(4):195-203. Epub

2011/04/05.

16. Kilic M, Ozturk F, Kirmemis

O, Atmaca S, Guner SN, Caltepe

G, et al. Impact of

laryngopharyngeal and

gastroesophageal reflux on asthma

control in children. International

journal of pediatric

otorhinolaryngology.

2013;77(3):341-5. Epub

2013/01/02.

17. Saritas Yuksel E, Vaezi MF.

New developments in

extraesophageal reflux disease.

Gastroenterology & hepatology.

2012;8(9):590-9. Epub

2013/03/14.

18. Passalacqua G, Ciprandi G,

Canonica GW. United airway

disease: therapeutic aspect.

Thorax. 2000;55:26-7.

19. Lenderking WR, Hillson E,

Crawley JA, Moore D, Berzon R,

Pashos CL. The clinical

characteristics and impact of

laryngopharyngeal reflux disease

on health-related quality of life.

Value in health : the journal of the

International Society for

Pharmacoeconomics and

Outcomes Research.

2003;6(5):560-5. Epub

2003/11/25.

20. Delehaye E, Dore MP, Bozzo

C, Mameli L, Delitala G, Meloni

F. Correlation between nasal

mucociliary clearance time and

gastroesophageal reflux disease:

our experience on 50 patient.

Auris Nasus Larynx.

2009;36:157-61.

21. Cassano M, Maselli A, Mora

F, Cassano P. Rhinobronchial

Syndrome: Pathogenesis and

correlatin with allergic rhinitis and

children. International journal of

Page 14: LPR+dan+Komorbiditasnya+ Hamida

Universitas Indonesia | 14

pediatric otorhinolaryngology.

2008;72:1053-8.

22. Habermann W, Schmid C,

Neumann K, Devaney T, Hammer

HF. Reflux symptom index and

reflux finding score in

otolaryngologic practice. Journal

of voice : official journal of the

Voice Foundation.

2012;26(3):e123-7. Epub

2011/04/12. 23. Labenz J. Facts and fantasies

in extra-oesophageal symptoms in

GORD. Best practice & research

Clinical gastroenterology.

2010;24(6):893-904. Epub

2010/12/04.

24. Irawati N, Kasakeyen E,

Rusmono N. Rinitis Alergi. In:

Arsyad E, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD,

editors. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala & Leher. 6 ed.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

2008. p. 128-33.

25. Wener RRL, Bel eH. Severe

refractory asthma: an update. The

European respiratory journal.

2013;22:227-35.

26. Hawkshaw MJ, Pebdani P,

Sataloff RT. Reflux Laryngitis.

Journal of Voice. 2013;27:486-94.