Page 1
Universitas Indonesia | 1
Diagnosis dan Tatalaksana Manifestasi Refluks Esofagus dan
Komorbiditasnya
Hamida Hayati Faisal
Abstrak
Penyakit Refluks Gastro Esofagus (PRGE) atau yang lebih dikenal dengan nama
Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) merupakan kondisi yang terjadi bila
aliran balik isi lambung ke esofagus memberikan keluhan dan mengganggu
kualitas hidup seseorang. PRGE dapat memberikan berbagai manifestasi klinis
dan komplikasi. Manifestasi dari refluks dapat terjadi di luar esophagus, salah
satunya adalah laryngopharyngeal reflux (LPR). Konsep United Airway Disease
menyatakan bahwa saluran napas atas dan bawah memiliki keterkaitan dalam
proses inflamasi sehingga gangguan yang terjadi pada saluran napas atas dapat
mempengaruhi fungsi dari saluran napas bawah. Pada makalah ini dilaporkan dua
buah contoh kasus pasien dengan laryngopharyngeal reflux dengan komorbiditas
rinitis alergi dan asma yang mempengaruhi proses penyembuhannya.
Kata kunci : GERD, LPR, rinitis alergi, asma
Abstract
Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) is a condition in which the reflux of
gastric contents into the oesophagus provokes symptoms and impairs quality of
life. GERD have varied manifestations and complications, one of the
manifestations occur on extra esophageal, such as laryngopharyngeal reflux
(LPR). United airway disease concept proposes that upper and lower airway
disease are both manifestations of a single inflammatory process, so that in any
impairment of upper airway function will affect the lower airway as well. We
report two examples of LPR cases with different comorbidity such as allergic
rhinitis and asthma that affect the healing process.
Keywords: GERD, LPR, allergic rhinitis, asthma
Pendahuluan
Refluks Gastro Esofagus (RGE)
didefinisikan sebagai aliran retrograd
isi lambung ke dalam esofagus,
merupakan proses fisiologis yang
terjadi secara intermitten terutama
setelah makan. Penyakit Refluks
Gastro Esofagus (PRGE) disebut
sebagai refluks yang patologis atau
simptomatik, merupakan kondisi
yang kronik dan berulang, sehingga
menimbulkan perubahan patologi
pada traktus aerodigestif atas dan
organ lain di luar esophagus.
Manifestasi klinis PRGE di luar
esofagus didefinisikan sebagai
Refluks Ekstra Esofagus (REE). REE
melibatkan beberapa area seperti
paru (asma, pneumonia, fibrosis),
sindrom telinga, hidung dan
tenggorok (laringitis, otitis, polip,
dan karsinoma laring), nyeri dada,
erosi oral dan dental.1-3
Page 2
Universitas Indonesia | 2
Refluks Laringo Faring
(Laryngopharyngeal Reflux/ LPR)
adalah REE yang menimbulkan
manifestasi penyakit-penyakit oral,
faring, laring dan paru. REE telah
dianggap berperan penting pada
banyak penyakit saluran napas atas
dan paru. Oleh karena itu ahli THT
harus mewaspadai adanya hubungan
yang kompleks untuk menegakkan
diagnosis dan terapi REE akibat
PRGE.4
Epidemiologi
PRGE merupakan penyakit
gastrointestinal yang sering ditemui
di daerah barat, 10% - 20% populasi
mengalami keluhan PRGE setiap
minggunya. Di Asia dilaporkan
prevalensinya bervariasi namun
relatif lebih rendah. 5 Hye-Kyung
Jung melaporkan prevalensi PRGE
di Asia antara lain; 10.5% di
Singapura, 12.4% di Taiwan, 3.5-
8.5% di Korea, 7.7 % di Jepang, 4.1-
7.7% di Cina, .3-8.2% di Iran, dan 20
% di Turki. PRGE dalam studi ini
didefinisikan sebagai sensasi
terbakar pada dada atau mengalami
regurgitasi asam yang dirasakan
setiap minggu.6
Di Indonesia belum ada data
epidemiologi mengenai PRGE,
namun di Divisi Gastroenterologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI-RSCM menunjukkan
peningkatan prevalensi PRGE dari 6
% pada tahun 1997 menjadi 26 %
pada tahun 2002, dan didapatkan pria
lebih banyak mengalami PRGE
daripada wanita.7
Tingginya gejala refluks pada
populasi di negara Barat diduga
disebabkan karena faktor diet dan
meningkatnya obesitas.8 Refluks
Laringofaring terjadi pada 4% - 10%
pasien dengan PRGE/ GERD.9
Pada studi yang dilakukan Bor dkk.
seperti yang dikutip oleh Aras dkk.
bahwa pada pasien asma dan kontrol
prevalensi GERD (rasa terbakar di
dada/ regurgitasi satu kali dalam
seminggu) adalah 25,4 % dan 19,4%,
dan tidak didapatkan adanya
perbedaan yang signifikan dari
prevalensi asma dan atau obstruksi
saluran napas pada pasien dengan
dan tanpa GERD.10
United Airway Disease
Hipotesis United Airway Disease
menyatakan bahwa saluran napas
atas dan bawah merupakan
manifestasi dari proses inflamasi
tunggal dari saluran napas.11
Mukosa nasal dan bronkus terdiri
dari epitel pseudostratified,
kolumnar bersilia yang berada di
membran basalis. Di bawah
membran basalis terdapat lapisan
submukosa, yang terdiri dari
pembuluh darah, kelenjar mukus, sel,
saraf, dan beberapa sel inflamasi.
Perbedaan utama dari saluran napas
atas dan bawah adalah patensi
saluran napas atas dominan
dipengaruhi oleh tonus pembuluh
darah, sedangkan pada saluran napas
bawah dipengaruhi oleh fungsi otot
polos.12
Patofisiologi Refluks
PRGE dapat berupa gangguan
fungsional (90% kasus) atau
gangguan struktural (10% kasus).
PRGE menimbulkan gejala refluks
yang disebabkan oleh disfungsi
sfingter esofagus bawah, sedangkan
PRGE struktural gejala refluks
Page 3
Universitas Indonesia | 3
menimbulkan kerusakan mukosa
esofagus. Sfingter bawah esofagus
berperan penting dalam patofisiologi
refluks. Pada orang normal, sfingter
bawah esofagus mencegah aliran
retrograd refluksat dari lambung ke
dalam esofagus dengan
mempertahankan sawar barier yang
berupa perbedaan tekanan antara
esofagus dan lambung. Tekanan
intraabdomen lebih tinggi daripada
tekanan intratoraks. Tekanan sfingter
bawah esofagus individu normal 25-
35 mmHg. 4
Studi yang dilakukan pada 10
sukarelawan sehat ditemukan bahwa
tekanan pada sfingter bawah
esofagus bervariasi dalam 12 jam.
Episode refluks tidak berhubungan
tekanan pada saat istirahat. Sekitar
70% – 100% episode refluks muncul
saat episode relaksasi sfingter
sementara, komplit maupun parsial
yang berlangsung selama 5 – 30
detik. Mekanisme dari relaksasi ini
tidak diketahui namun diperkirakan
berhubungan dengan aktivasi nervus
vagus, yang kemungkinan sebagai
akibat distensi lambung.1
Patogenesis PRGE merupakan
peristiwa multifaktorial yang
dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu;
perubahan anatomi dari sawar
refluks, komponen fisiologis seperti
perbedaan tekanan abdominotoraks,
efisiensi pengosongan esofagus,
faktor makanan, obesitas, kehamilan.
Relaksasi sementara sfingter bawah
esofagus (transient LES relaxation)
memegang peranan penting dalam
patogenesis PRGE, relaksasi ini
terjadi pada saat tidak ada peristaltik,
periode hipotonus sfingter sesudah
makan. 4
Gambar 1. Sfingter bawah esofagus13
Pada pasien dengan esofagitis atau
setelah makan makanan berlemak,
relaksasi sementara ini dapat terjadi
yang dicetus oleh refleks vagal,
distensi gaster atau gangguan
pernapasan. Peristiwa menelan
memegang peranan penting pada
pembersihan asam esofagus karena
dapat menimbulkan gelombang
peristaltik esofagus primer, yang
mengeluarkan air liur kaya
bikarbonat yang menetralkan dan
membersihkan refluksat ke bagian
distal esofagus. Sfingter bawah
esofagus merupakan sawar terakhir
untuk mencegah refluksat masuk ke
laringofaring.4
REE akibat PRGE diperkirakan
terjadi melalui dua mekanisme,
yaitu; kontak langsung refluks asam
lambung dan pepsin ke esofagus
proksimal dan sfingter atas esofagus
yang berlanjut dengan kerusakan
mukosa faring, laring, paru;
mekanisme kedua adalah melalui
pajanan asam esofagus distal yang
merangsang refleks vagal sehingga
terjadi bronkospasme, batuk, sering
meludah, dan perubahan inflamasi
laring dan faring.4
Page 4
Universitas Indonesia | 4
PRGE dan LPR
LPR mengindikasikan adanya
gangguan ekstra esofageal akibat
refluks. LPR dan PRGE muncul
dengan mekanisme yang sama, yaitu
keluarnya isi lambung ke esofagus
atau struktur di atasnya. Gejala
klasik seperti pada PRGE tidak khas
pada LPR, sehingga sering
mengakibatkan diagnosis ini
terabaikan.14
Terdapat tiga area yang menjadi
perhatian di dalam pemahaman
hubungan antara PRGE dengan
saluran napas atas dan bawah, yaitu;
pertama, perkembangan evolusi yang
unik dari saluran aerodigastif
manusia yang membuat kita lebih
rentan untuk mengalami PRGE.
Kedua, komposisi material refluks
yang tidak hanya berupa asam atau
cairan namun juga berbentuk gas
yang disertai pepsin dan garam
empedu. Ketiga, kerusakan histologi
yang disebabkan material refluks
pada epitel saluran napas. 15
LPR berbeda dengan PRGE, dimana
defek yang menyebabkan LPR
adalah sfingter atas esofagus
sedangkan pada PRGE yang
mengalami defek adalah sfingter
bawah esofagus. Pasien dengan LPR
biasanya menyangkal keluhan
sensasi terbakar pada dada dan
regurgitasi. Pasien LPR lebih
mengeluhkan masalah tenggorokan
daripada masalah pencernaan, seperti
disfonia, batuk kronik, globus
faringeus, dan mendehem yang
kronik.16
Refluks, Rinitis dan Asma
Kasus Refluks Ekstra Esofagus
(REE) sering ditemui pada pasien-
pasien di bagian gastroenterologi
maupun di bagian THT. Refluks dari
asam dan pepsin dapat memberikan
efek pada saluran pernapasan
sehingga mengakibatkan masalah
pernapasan seperti asma dan
pneumonia. Keluhan batuk kronik,
laringitis kronik, dan asma secara
signifikan berkaitan dengan PRGE. 10
Prevalensi PRGE pada pasien asma
meningkat 4 – 5 kali lebih tinggi
daripada pasien bukan asma. Pada
sebuah studi didapatkan 80 % pasien
asma yang dievaluasi memiliki
PRGE berdasarkan pemeriksaan
pemantauan pH.11
Pada asma dan
PRGE terdapat hubungan sebab
akibat yang membentuk lingkaran
setan. Refluks dapat mempercepat
terjadinya asma melalui refleks vagal
yang dipicu oleh adanya cairan
lambung di dalam esophagus yang
menghasilkan batuk dan/atau
bronkospasme, dapat pula
disebabkan oleh mikro aspirasi isi
lambung ke dalam trakea.3
Sebaliknya, asma dapat
menimbulkan refluks sehubungan
dengan adanya peningkatan gradien
tekanan antara rongga abdomen dan
rongga dada, melebihi tekanan barier
sfingter bawah esophagus. 10
Hiperinflasi paru pada asma
merendahkan diafragma dan
bertentangan dengan mekanisme
katup pada muara esofagus pada
lambung. Tekanan yang fluktuatif
antara intratorakal dan intraabdomen
meningkatkan risiko terjadinya
refluks.16
Selain itu, pengobatan asma seperti
teofilin, beta-2 agonis atau
prednison, dapat meningkatkan
Page 5
Universitas Indonesia | 5
kejadian PRGE dengan melawan
mekanisme proteksi pernapasan. 3
Gambar 2. Asma dan PRGE dapat
mengeksaserbasi satu sama lainnya.17
Studi yang dilakukan oleh Belafsky
dkk seperti yang dikutip oleh Mehtap
Kilic dkk, skor reflux symptom
secara signifikan lebih tinggi pada
pasien asma yang tidak terkontrol (p:
0.001), namun tidak didapatkan
perbedaan yang signifikan antara
pasien dengan dan tanpa LPR dan
PRGE. 16
Studi lain yang dilakukan oleh
Ferrari dkk seperti yang dikutip oleh
Galvan dkk15
, pada 29 pasien asma
yang menjalani pemantauan pH,
mereka menyimpulkan hambatan
sekresi asam lambung tidak
mempengaruhi hiperreaktivitas
bronkus, namun meningkatkan
sensitivitas batuk dan efek ini
berkaitan dengan refluks proksimal. 15
Asma bronkial didefinisikan sebagai
gangguan inflamasi kronik dari
saluran napas dimana elemen selular
memegang peranan penting.
Inflamasi kronik berhubungan
dengan respon berlebih saluran napas
yang mengakibatkan episode
berulang mengi, sulit bernapas,
batuk, terutama pada malam atau
pagi hari. Asma dapat dikontrol
dengan edukasi yang baik, kontrol
lingkungan, menghindari hal yang
menjadi pemicu, dan pengobatan.
Asma yang tidak terkontrol dapat
disebabkan oleh karena adanya
komorbiditas yang mempengaruhi
pengobatannya. Oleh karena itu,
penting untuk mengetahui
komorbiditas asma pada pasien dan
merupakan bagian integral dari
tatalaksana penting dari asma.2
Masalah saluran napas atas seperti
rinitis alergi atau non alergi dan
sinusitis, sering berhubungan dengan
asma serta mempengaruhi
pengobatan asma. Konsep united
airway disease menjelaskan proses
inflamasi yang terjadi pada saluran
napas atas dan bawah seperti rinitis
dan asma adalah sama. Rinitis dapat
mempengaruhi asma melalui
mekanisme yang bermacam-macam,
termasuk di antaranya: 1) pelepasan
mediator ke saluran napas atau
sirkulasi perifer, 2) refleks vagal, 3)
peningkatan produksi progenitor
bone marrow sel radang, 4)
peningkatan paparan saluran napas
bawah terhadap kontaminasi udara
yang masuk melalui pernapasan
mulut, dan 5) meningkatnya
kebutuhan udara inspirasi.2
Hubungan antara rinitis dan asma
(saluran napas atas dan bawah)
menjadi perhatian khusus pada studi
epidemiologi. Mukosa saluran
pernapasan kaya akan sel mast dan
jaringan limfoid yang membentuk
jaringan limfoid bronkial/mukosa
(BALT atau MALT). Saluran napas
atas berfungsi sebagai penyaring,
Page 6
Universitas Indonesia | 6
pengatur suhu dan melembabkan
udara yang dihirup. Gangguan pada
salah satu fungsi ini biasanya akan
mengakibatkan gangguan
homeostasis pada saluran napas
bawah.18
Pada saat reaksi alergi muncul, fase
awal yang diperantarai histamin
langsung terjadi. Reaksi ini diikuti
oleh hubungan kompleks antara
fenomena inflamasi yang melibatkan
limfosit T, sitokin, dan molekul
adhesi. Molekul adhesi ini penting
dalam recruitment sel radang pada
target organ.selama fase awal,
molekul adhesi spesifik
diekspresikan pada permukaan
endotel dan epitel yang membantu
ekstravasasi dan infiltrasi sel radang.
Infiltrasi yang lemah dari sel radang
dapat terjadi pada lapisan mukosa
tanpa menimbulkan gejala pada saat
terjadi paparan alergen. Proses ini
dikenal dengan nama MPI (Minimal
Persistent Inflammation), yang
terjadi pada rinitis alergi serta asma.
MPI juga melibatkan ekspresi
molekul CD54 (ICAM-1) yang
lemah dan menetap yang merupakan
reseptor utama dari rhinovirus pada
manusia.18
Pasien rinitis, inflamasi saluran
napas bawah dibuktikan dengan
peningkatan kadar nitrit oksida dan
temuan eosinofil pada sputum, cairan
bilasan bronkus, dan biopsi bronkus.
Sama halnya dengan asma, biopsi
nasal menunjukkan adanya inflamasi
eosinofilik, meskipun pada pasien
yang tidak memiliki gejala rinitis. 12
Refluks asam lambung ke esofagus
telah lama dikenal sebagai PRGE.
meskipun secara anatomis esofagus
berhubungan langsung dengan
lambung, hingga tahun 1968 tidak
diketahui bahwa refluks asam
merupakan faktor penyebab dari
laringitis yang saat ini dikenal
dengan nama LPR.15
Refluks asam merupakan etiologi
yang paling sering namun gejala
yang ada pada PRGE dan LPR
sangat bervariasi. 19
Del Gaudio menyatakan pada pasien
dengan rinosinusitis kronik menetap
setelah operasi sinus lebih sering
terjadi refluks nasofaring, sfingter
atas esofagus, dan sfingter bawah
esofagus. Mekanisme sebenarnya
belum dapat diterangkan namun
terdapat dua kemungkinan, yaitu
akibat efek langusng refluksat ke
sinonasal yang menyebabkan
inflamasi dan edema serta disfungsi
mukosilier sehingga terjadi sumbatan
dan infeksi ostium sinus.20
Refleks rinobronkial merupakan
hubungan kausal antara stimulasi
primer nasal dan penyakit
bronkopulmoner. Rinitis dan asma
berbagi banyak komponen
patofisiologi yang mengakibatkan
Gambar 3. Asma dan komorbiditas terkait2
Page 7
Universitas Indonesia | 7
keduanya dapat terjadi secara
bersamaan. Stimulasi saraf akibat
agen iritan, dimana memberi efek
sumbatan pada hidung dengan
dilatasi kapasitas pembuluh darah,
sementara pada saluran napas bawah
agen yang menyebabkan konstriksi
alveolar membuat kontraksi otot
polos bronkus. Pada kedua kondisi
ini, aktivasi sel mast mengakibatkan
pelepasan mediator, eosinofil dan
aktivasi limfosit T serta produksi
mediator.21
Diagnosis
Diagnosis LPR ditegakkan dari
anamnesis dimana terdapat keluhan
seperti suara serak, batuk dan sering
mendehem. Faktor yang menjadi
predisposisi seperti merokok,
konsumsi alkohol, makan makanan
pedas, berlemak atau bersoda perlu
diketahui.1, 16
Sekitar 50 % pasien dengan gejala
ekstra esofagus tidak selalu memiliki
gejala khas seperti rasa terbakar di
dada dan regurgitasi.
Pemeriksaan rinolaringoskopi serat
lentur dengan video rekaman untuk
mengevaluasi laring membantu
dalam penegakan diagnosis. Temuan
yang didapatkan seperti eritema,
edema, obliterasi ventrikular,
hiperplasia post krikoid dan pseudo-
sulkus. 1
Refluks cairan lambung ke faring
dan laring dapat menimbulkan gejala
akibat kerusakan mukosa dengan
variasi gejala yang luas dan sulit
untuk ditentukan pada masing-
masing individu. Refluks dapat
berupa cairan maupun gas atau
keduanya dengan tingkat keasaman
yang bervariasi dari normal hingga
asam. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu penanda untuk mengetahui
adanya LPR dan laringitis akibat
refluks. Reflux Symptom Index (RSI)
dan Reflux Finding Score (RFS)
merupakan parameter yang berguna.
RSI didisain untuk memastikan
kecurigaan klinis dari LPR pada
pasien dengan keluhan telinga,
hidung, dan tenggorokan. RFS
digunakan untuk melihat
karakteristik lesi morfologis yang
diperkirakan berkaitan dengan LPR.
Skor RSI > 13 dikatakan abnormal
dan dipikirkan kemungkinan LPR
sebagai diagnosis, sementara pada
RFS > 7 dinyatakan sebagai
abnormal1, 14, 22
Pemantauan pH selama 24 jam.
(faring dan esofagus) merupakan
pemeriksaan yang sensitif dan
spesifik untuk menegakkan diagnosis
LPR..16
Pemantauan yang hanya
dilakukan pada pH esofagus tidak
selalu mampu untuk mendeteksi
adanya refluks, terutama bila
material refluks sedikit atau tidak
mengandung asam. 15
Literatur mengatakan tes Proton
Pump Inhibitor (PPI) dengan dosis
tinggi untuk tujuan diagnostik dapat
dilakukan untuk mendiagnosis
refluks, namun hingga saat ini belum
ada studi yang cukup adekuat
mendukung hal tersebut, sehingga
penelitian lebih lanjut masih
Gambar 4. Perbandingan gambaran
laring normal dengan LPR dari hasil
rinolaringoskopi 1
Page 8
Universitas Indonesia | 8
dibutuhkan terutama dengan
manifestasi ekstra esofagus. 15, 23
PRGE tidak memiliki pemeriksaan
baku emas untuk menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan endoskopi
mendapatkan hasil positif hanya
pada 40 % kasus. Selain itu, evaluasi
penggunaan terapi anti refluks
berdasarkan membaiknya gejala
bersifat subjektif. Rasa terbakar di
dada dan regurgitasi merupakan
gejala karakteristik dari sindrom
refluks sehingga tanpa melakukan tes
pemeriksaan diagnostik pada pasien
yang memiliki keluhan ini, diagnosis
adanya refluks dapat ditegakkan.
Pada tes penggunaan PPI pasien
dengan keluhan yang membaik
mengarah ke diagnosis PRGE. Pada
pasien dengan gejala refluks yang
menetap diindikasikan untuk
pemeriksaan manometri untuk
mencari diagnosis lain seperti
abnormalitas motorik esofagus.
Manometri berfungsi untuk
menganalisis fungsi dan aktivitas
peristaltik esofagus dan sfingter
bawah esofagus, tetapi tidak
diindikasikan untuk menegakkan
diagnosis PRGE. Pasien yang tidak
memberi respon terhadap terapi obat-
obatan sebaiknya dievaluasi dengan
pemantauan pH. Pemantauan
impedansi pH esofagus merupakan
pemeriksaan yang menjanjikan.
Sensor pH yang digunakan dapat
mendeteksi berbagai tipe refluks
(asam, asam lemah, basa lemah). Tes
ini mengukur resistensi konduksi
listrik dari isi esofagus dan
mendeteksi perubahan pH esofagus
terkait dengan adanya cairan atau gas
refluksat.5
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan
berdasarkan keluhan gejala yang
khas yaitu terdapatnya serangan
bersin berulang. Gejala lain seperti
keluar ingus yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, kadang-kadang
disertai keluarnya air mata yang
banyak. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior didapatkan mukosa edema,
basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang
banyak. Bila gejala menetap, maka
akan tampak mukosa inferior
hipertrofi. Selain itu juga terdapat
gejala atopi lainnya seperti: allergic
shiner, allergic salute dan allergic
crease. Pemeriksaan hitung eosinofil,
IgE total, tes cukil kulit merupakan
contoh pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk membantu
penegakan diagnosis. Klasifikasi
rinitis alergi yang digunakan
berdasarkan rekomendasi WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma) yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya
dibagi menjadi intermitten dan
persisten. Rinitis alergi intermiten
bila gejala kurang dari 4 hari
/minggu atau kurang dari 4 minggu.
Persisten/ menetap bila gejala lebih
dari 4 hari/ minggu dan lebih dari 4
minggu. Sedangkan untuk tingkat
berat ringannya penyakit, rinitis
alergi dibagi menjadi ringan bila
tidak ditemukan gangguan tidur,
aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal
lainnya. Dikatakan sedang-berat bila
terdapat satu atau lebih gangguan
tersebut. 24
Asma merupakan gangguan
inflamasi kronik dari saluran napas
yang melibatkan banyak elemen
selular. Inflamasi kronik
berhubungan dengan respon berlebih
yang mengakibatkan terjadinya
episode berulang mengi, sulit
bernapas, sesak, batuk, terutama
pada malam hari dan saat bangun.
Page 9
Universitas Indonesia | 9
Karakteristik Terkontrol Terkontrol
sebagian
Tidak Terkontrol
Gejala siang hari Tidak ada (< 2
kali / minggu
> 2 kali/
minggu
3 atau lebih gejala
dari asma
terkontrol sebagian
Batasan aktivitas Tidak ada Ada
Gejala malam hari/
terbangun
Tidak ada ada
Kebutuhan reliever/
inhaler
Tidak ada
(kurang dari 2
kali / minggu
> 2 kali/
minggu
Fungsional paru (PEF
atau FEV1)
normal <80 %
Klasifikasi asma berdasarkan tingkat
kontrolnya dibagi menjadi asma
terkontrol, terkontrol sebagian dan
tidak terkontrol. Penjelasan
mengenai klasifikasi tersebut
terdapat didalam tabel 1.25
Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah menghilangkan
gejala, menyembuhkan esofagitis,
pencegah rekurensi dan komplikasi.
Manifestasi refluks secara umum
ditatalaksana dengan kombinasi diet
dan obat-obatan. Diet yang dimaksud
termasuk mengurangi berat badan
(pasien dengan kelebihan berat
badan). Makanan dan minuman yang
mengandung kafein harus dihindari
mengingat pengaruhnya pada
sfingter esofagus. Minuman
berkarbonasi menghasilkan distensi
lambung yang dapat memicu
transient lower esophageal reflux.
Konsumsi minuman asam dapat
mereaktivasi pepsin pada refluks
yang bersifat kurang asam. Nikotin
juga merangsang produksi asam serta
memicu terjadinya TLOSR, sehingga
merokok harus dihindari. Makanan
dengan porsi kecil namun sering
lebih direkomendasikan daripada
makanan denngan porsi besar. Pada
beberapa individu, tidur dengan posis
kepala sedikit ditinggikan
memberikan efek yang baik untuk
mencegah refluks di malam hari saat
tidur. Selain dengan menjalani diet,
kombinasi dengan pemberian proton
pump inhibitor (PPI) dapat
memberikan hasil yang baik. 15
Pasien dengan hasil RSI dan RFS
mengindikasikan adanya LPR
diterapi dengan menggunakan 40-80
mg pantoprazole setiap hari selama 3
bulan. Di RSCM penatalaksanaan
LPR dilakukan dengan edukasi diet
LPR yang dikombinasi dengan
pemberian lansoprazole 30 mg dua
kali per hari. Evaluasi dapat
dilakukan dalam rentang waktu 2
minggu hingga setiap bulannya.5, 15
Intervensi operasi merupakan pilihan
terapi pada pasien LPR yang tidak
berhasil diterapi menggunakan obat-
obatan atau menolak untuk
mengkonsumsi obat dalam jangka
waktu lama. Nissen fundolipification
merupakan standar operasi untuk
GERD dan pada kebanyakan kasus
dilakukan secara laparoskopik.26
Tabel 1. Klasifikasi asma24
Page 10
Universitas Indonesia | 10
Penatalaksanaan rinitis alergi di
antaranya dengan menghindari
kontak dengan alergen penyebab dan
eliminasi. Antihistamin yang dipakai
adalah antagonis histamin H-1 yang
bekerja secara inhibitor kompetitif
pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik
yang paling sering dipakai sebagai
lini pertama pengobatan rinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi
atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Prepart
kortikosteroid dipilih bila gejala
terutam sumbatan hidung akibat
respon lambat tidak berhasil diatasi
dengan obat lain. Kortikosteroid
topikal yang sering dipakai seperti
beklometason, budesonid, flutikason,
mometason furoat dan triamsinolon.
Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastoit pada
mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protein sitotoksik dari
eosinofil, mengurangi aktivitas
limfosit dan mencegah bocornya
plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiper-responsif terhadap
rangsangan alergen. Pengobatan baru
untuk rinitis alergi adalah leukotriene
(zafirlukast/ montelukast), anti IgE,
DNA rekombinan. Tindakan operasi
seperti konkotomi parsial,
konkoplasti atau inferior
turbinoplasty perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan
tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 %
atau triklorasetat.24
Menurut guidelines terbaru,
penatalaksanaan pasien asma terdiri
dari penggunaan dosis tinggi
glukokortikosteroid inhalasi atau oral
dengan kombinasi LABAs dan atau
obat-obatan untuk mengontrol.25
Laporan Kasus
Seorang laki-laki berusia 59 tahun
dikonsul oleh Divisi Alergi
Imunologi THT dengan keluhan rasa
mengganjal di tenggorok disertai
sering mendehem dan suara serak.
Keluhan tersebut dirasakan sangat
mengganggu pasien. Keluhan lendir
di tenggorok, kesukaran menelan,
batuk setelah makan/ berbaring,
kesukaran bernapas, batuk yang
mengganggu serta rasa terbakar di
dada atau nyeri dada dan gangguan
pencernaan disangkal. Dari evaluasi
berdasarkan Reflux Symptom Index
(RSI) didapatkan jumlah skor 9.
Pada pemeriksaan Rino
faringolaringoskopi didapatkan
gambaran edema subglotik, obliterasi
ventrikel komplit, eritema difus,
edema pita suara moderat, edema
laring difus ringan, hipertrofi
komisura posterior ringan, tidak ada
jaringan granulasi atau thick
endolaryngeal mucus, sehingga
disimpulkan skor Reflux Finding
Score (RFS) sebesar 14. Pasien
didiagnosis dengan LPR sejak
hampir 2 tahun yang lalu. Keluhan
dirasakan kadang membaik namun
sering kembali muncul saat pasien
terserang flu. Tatalaksana dengan
menggunakan lansoprazole 2 x 30
mg rutin dijalani oleh pasien, namun
diet makanan yang harus dihindari
tidak selalu dipatuhi pasien. Dari
divisi Alergi imunologi pasien telah
didiagnosis dengan rinitis alergi
persisten sedang berat sejak tahun
2008, rutin kontrol dan mendapat
terapi dengan steroid topikal seretide
pada hidung sejak 2 tahun yang lalu.
Pasien pernah dilakukan reduksi
konka 1 tahun yang lalu pada kedua
hidung. Saat ini keluhan hidung
tersumbat kadang masih dirasakan.
Pasien mengidap asma sejak 25
Page 11
Universitas Indonesia | 11
tahun yang lalu, dengan hasil
spirometri FEV1 / FVC 87,71% dan
FEV1 93,80%, saat ini sangat jarang
kambuh (1-2 kali setiap bulan).
Seorang wanita berusia 21 tahun
dikonsulkan dari divisi Alergi
Imunologi THT dengan keluhan
suara serak, banyak lendir di
tenggorokan serta rasa mengganjal di
tenggorokan. Pasien sebelumnya
rutin kontrol LPR, dan sejak satu
bulan yang lalu keluhan dirasa sudah
jauh membaik. Satu minggu
sebelumnya pasien terkena flu
sehingga lendir kembali terasa
banyak di tenggorokan. Pasien
didiagnosis dengan rinitis alergi
persisten sedang berat sejak 2008
dan mendapat terapi steroid semprot
hidung. Pasien memiliki riwayat
asma sejak kecil, namun sejak 4 hari
terakhir timbul sesak yang disertai
napas berbunyi. Pada penilaian RSI
didapatkan keluhan suara serak
disertai sering mendehem, lendir di
tenggorokan dirasakan sangat
banyak, suit bernapas, batuk yang
mengganggu, serta rasa mengganjal
di tenggorok, dengan jumlah skor
RSI 16. Pada pemeriksaan
rinofaringolaringoskopi didapatkan
gambaran laring eritema difus,
edema laring difus moderat,
hipertrofi komisura posterior
moderat,dan terdapat thick
endolaryngeal, sehingga jumlah skor
RFS adalah 12. Pasien didiagnosis
dengan LPR lalu diberikan edukasi
untuk menjalani diet LPR serta
mendapat terapi lansoprazole 2 x 30
mg dan dikonsulkan ke bagian
pulmonologi IPD untuk evaluasi
asma. Bagian pulmonologi IPD
mendiagnosis dengan asma bronkial
ringan, mendapat terapi steroid
topikal (ventolin nasal spray 2 x 2
puff), mukolitik serta steroid sistemik
(metilprednisolon 3 x 4 mg) selama 3
hari.
Diskusi
Dua contoh kasus di atas
menggambarkan manifestasi dari
refluks. Sesuai dengan literatur
dikatakan, refluks dapat memberikan
manifestasi pada esofagus dan ekstra
esofagus. Pada contoh kasus
pertama, kedua manifestasi refluks
didapati pada pasien tersebut,
sementara pada contoh kasus kedua
keluhan yang mengarah kepada
GERD tidak ada. Hal ini sesuai
dengan literatur yang menyatakan
bahwa refluks tidak selalu disertai
oleh gejala tipikal seperti sensasi
terbakar atau regurgitasi asam.
Pada kasus pertama, pasien
didiagnosis dengan rintis alergi
persisten sedang berat sejak lama.
Meskipun pasien sudah diberi terapi
LPR yang adekuat, namun keluhan
dirasakan terus muncul, terutama
saat terserang asma dan rinitis. Hal
ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan LPR sebagai manifestasi
refluks ekstraesofagus dieksaserbasi
oleh kondisi alergi, dalam hal ini
adalah asma dan rinitis alergi. Pasien
memiliki riwayat reduksi konka,
dimana pada literatur dikatakan
reduksi konka dilakukan pada pasien
dengan keluhan hidung tersumbat
yang menetap dan didapati adanya
hipertrofi konka pada pemeriksaan.24
Tindakan ini bertujuan untuk
menghilangkan keluhan hidung
tersumbat sehingga pasien dapat
bernapas secara normal dan tidak
bernapas dari mulut yang akan
menimbulkan keluhan LPR. Selain
rinitis alergi, penyakit asma pada
pasien juga mempengaruhi
penatalaksanaan LPR. Hal ini sesuai
Page 12
Universitas Indonesia | 12
dengan hipotesis united airway
disease yang menganggap proses
inflamasi yang terjadi pada saluran
napas atas dan bawah merupakan
satu kesatuan.
Kasus kedua juga membuktikan
bahwa komorbiditas asma
memperngaruhi dalam pengobatan
refluks. Pada pasien ini tidak
didapati adanya keluhan sensasi
terbakar atau regurgitasi, sehingga
diagnosis GERD dapat disingkirkan.
Dari evaluasi yang dilakukan
menggunakan skala RSI dan RFS
didapatkan gambaran bahwa
pengobatan yang diberikan pada
pasien ini menunjukkan hasil yang
signifikan terhadap keluhan yang
mengarah pada LPR. Namun pada
saat terjadi inflamasi pada saluran
napas atas, dalam hal ini adalah
rinitis (inflamasi pada mukosa
hidung) memperngaruhi keberhasilan
pengobatan. Pasien kembali
mengeluhkan gejala banyak lendir
dan suara serak yang dirasakan
bertambah setelah timbulnya keluhan
hidung tersumbat dan ingus encer.
Dalam proses pemantauan
keberhasilan terapi pada kedua kasus
digunakan sistem penilaian RSI dan
RFS. Pada literatur dikatakan bahwa
sistem ini masih memerlukan studi
lebih lanjut, namun pada kedua kasus
ini tampak bahwa sistem penilaian
tersebut bermanfaat dalam proses
pemantauan keberhasilan terapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Barry DW, Vaezi MF.
Laryngopharyngeal reflux: More
questions than answers. Cleveland
Clinic journal of medicine.
2010;77(5):327-34. Epub
2010/05/05.
2. Boulet LP. Influence of comorbid
conditions on asthma. The
European respiratory journal.
2009;33(4):897-906. Epub
2009/04/02.
3. Saritas Yuksel E, Vaezi MF.
Extraesophageal manifestations of
gastroesophageal reflux disease:
cough, asthma, laryngitis, chest
pain. Swiss medical weekly.
2012;142:w13544. Epub
2012/03/24.
4. Yunizaf MH, Iskandar N.
Penyakit refluks gastroesofaus
dengan manifestasi otolaringologi.
In: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD,
editors. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala
& leher. 6 ed. Jakarta: Balai
penerbit FKUI; 2008. p. 303-10.
5. Nwokediuko SC. Current trends in
the management of
gastroesophageal reflux disease: a
review. ISRN gastroenterology.
2012;2012:391631. Epub
2012/07/31.
6. Jung HK. Epidemiology of
gastroesophageal reflux disease in
Asia: a systematic review. Journal
of neurogastroenterology and
motility. 2011;17(1):14-27. Epub
2011/03/04.
7. Simadibrata M, Rani A, Adi P,
Djumhana A, Abdullah M. The
Gastro-esophageal reflux disease
questionnaire using Indonesian
language: a language validation
survey. Med J Indones. 2011;20(2
May 2011):125-30.
8. Makmun D. Penyakit Refluks
Gastroesofageal. In: Sudoyo AW,
Setyohadi B, Alwi I, K. MS,
Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Depatrtemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006. p.
315-9.
Page 13
Universitas Indonesia | 13
9. Shockley WW, Das S. Esophageal
Disorders. In: Bailey BJ, Johnson
JT, Newlands SD, editors. Head &
Neck Surgery-Otolaryngology.
Philadelphia: Lippincot Williams
& wilkins; 2006. p. 755-70.
10.Aras G, Kanmaz D, Kadakal F,
Purisa S, Sonmez K, Tuncay E, et
al. Gastroesophageal reflux
disease in our asthma patients: the
presence of dysphagia can
influence pulmonary function.
Multidisciplinary respiratory
medicine. 2012;7(1):53. Epub
2012/12/19.
11. Turbyville JC. Applying
principles of physics to the airway
to help explain the relationship
between asthma and
gastroesophageal reflux. Medical
hypotheses. 2010;74(6):1075-80.
Epub 2010/01/19.
12. Rimmer J, Ruhno JW.
Rhinitis and asthma: united
airway disease. MJA.
2006;185:565-71.
13. W.Mark J. Gastroesophageal
reflux diseases. Medicinet; 2011
[updated 5/9/2013]; Available
from:
http://www.medicinenet.com/gastr
oesophageal_reflux_disease_gerd/
page2.htm.
14. Neri G, Pugliese M,
Castriotta A, Mastronardi V,
Pasqualini P, Colasante A, et al.
White-line: a new finding in
laryngopharyngeal reflux
objective evaluation. Medical
hypotheses. 2013;80(6):769-72.
Epub 2013/04/16.
15. Pacheco-Galvan A, Hart SP,
Morice AH. Relationship between
gastro-oesophageal reflux and
airway diseases: the airway reflux
paradigm. Archivos de
bronconeumologia.
2011;47(4):195-203. Epub
2011/04/05.
16. Kilic M, Ozturk F, Kirmemis
O, Atmaca S, Guner SN, Caltepe
G, et al. Impact of
laryngopharyngeal and
gastroesophageal reflux on asthma
control in children. International
journal of pediatric
otorhinolaryngology.
2013;77(3):341-5. Epub
2013/01/02.
17. Saritas Yuksel E, Vaezi MF.
New developments in
extraesophageal reflux disease.
Gastroenterology & hepatology.
2012;8(9):590-9. Epub
2013/03/14.
18. Passalacqua G, Ciprandi G,
Canonica GW. United airway
disease: therapeutic aspect.
Thorax. 2000;55:26-7.
19. Lenderking WR, Hillson E,
Crawley JA, Moore D, Berzon R,
Pashos CL. The clinical
characteristics and impact of
laryngopharyngeal reflux disease
on health-related quality of life.
Value in health : the journal of the
International Society for
Pharmacoeconomics and
Outcomes Research.
2003;6(5):560-5. Epub
2003/11/25.
20. Delehaye E, Dore MP, Bozzo
C, Mameli L, Delitala G, Meloni
F. Correlation between nasal
mucociliary clearance time and
gastroesophageal reflux disease:
our experience on 50 patient.
Auris Nasus Larynx.
2009;36:157-61.
21. Cassano M, Maselli A, Mora
F, Cassano P. Rhinobronchial
Syndrome: Pathogenesis and
correlatin with allergic rhinitis and
children. International journal of
Page 14
Universitas Indonesia | 14
pediatric otorhinolaryngology.
2008;72:1053-8.
22. Habermann W, Schmid C,
Neumann K, Devaney T, Hammer
HF. Reflux symptom index and
reflux finding score in
otolaryngologic practice. Journal
of voice : official journal of the
Voice Foundation.
2012;26(3):e123-7. Epub
2011/04/12. 23. Labenz J. Facts and fantasies
in extra-oesophageal symptoms in
GORD. Best practice & research
Clinical gastroenterology.
2010;24(6):893-904. Epub
2010/12/04.
24. Irawati N, Kasakeyen E,
Rusmono N. Rinitis Alergi. In:
Arsyad E, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD,
editors. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. 6 ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2008. p. 128-33.
25. Wener RRL, Bel eH. Severe
refractory asthma: an update. The
European respiratory journal.
2013;22:227-35.
26. Hawkshaw MJ, Pebdani P,
Sataloff RT. Reflux Laryngitis.
Journal of Voice. 2013;27:486-94.