PEMANFAATAN GELAGAH SEBAGAI BAHAN KERAJINAN BERUPA SAPU DI DESA
KAJONGAN, KECAMATAN BOJONGSARI, KABUPATEN PURBALINGGA
Oleh :Nama: Cikha Farahdiba ImanNIM: B1J011157Rombongan:
IIIKelompok: 7Asisten: Kirana Putri Mawardhany
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN ETNOBOTANI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMANFAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO2013I. PENDAHULUANA. Latar
BelakangManusia mempunyai kemampuan beradaptasi di berbagai kondisi
lingkungan melalui penerapan pengetahuan dan teknologi baik secara
teori maupun praktek untuk menyiasati kondisi lingkungan yang
dihadapinya. Oleh karena itu setiap kelompok masyarakat, etnik atau
suku memiliki pengetahuan yang berbeda dengan kelompok masyarakat
lainnya. Hal ini selain disebabkan oleh kondisi lingkungan yang
berbeda juga tingkat kemajuan kebudayaan dari kelompok masyarakat
tersebut. Tingkat pengetahuan yang dicapai oleh suatu kelompok
masyarakat berasal dari adanya akumulasi dalam berinteraksi dengan
alam lingkungannya dimana mereka tingggal. Interaksi dengan kondisi
alam sekitarnya berjalan lama dan umumnya mereka memiliki tatanan
yang telah disepakati dan dilaksanakan bersama dalam menjaga
keseimbangan dengan alam lingkungan sekitarnya.Menurut Cotton
(1996), pada berbagai kelompok-kelompok lokal memiliki
aturan-aturan adat yang membatasi dalam memanen dan memburu sumber
daya alam. Dewasa ini banyak pengetahuan tradisional pemanfaatan
tumbuhan dan hewan oleh masyarakat lokal atau pribumi sudah hilang
sebelum dicatat atau diketahui peneliti. Dilain pihak timbul
gerakan untuk kembali ke alam atau back to nature, diantaranya
upaya memanfaatkan kembali sumberdaya nabati alami, misalnya
penggunaan obat tradisional, kosmetik, pewarna dan lainnya. Hal ini
menunjukkan pentingnya pengetahuan pemanfaatan tumbuhan dan hewan
tersebut secara tradisional di mana hal tersebut merupakan
informasi yang sangat berharga untuk pelestarian pemanfaatan
keanekaragaman sumberdaya hutan. Selanjutnya diperlukan pemahaman
dan kesadaran kita untuk mengkombinasikan pengetahuan formal dengan
sistem pengetahuan tradisional yang selalu mempertimbangkan
keunikan dan kespesifikan sehingga didapat solusi yang tepat untuk
pengelolaan sumberdaya alam yang lestari.Banyak pengelolaan alam
yang lestari dengan mendirikan industri kecil dengan memanfaatkan
tumbuhan seperti industri kecil berupa sapu gelagah yang dapat
bermanfaat bagi kehidupan. Salah satu komunitas yang sampai saat
ini masih memanfaatkan gelagah adalah para warga yang bermukim di
desa Kajongan, kecamatan Bojongsari, kabupaten Purbalingga. Mereka
memanfaatkan gelagah terutama untuk membuat kerajinan tradisional
seperti sapu dengan berbagai motif. Warga desa Kajongan, kecamatan
Bojongsari, kabupaten Purbalingga ini memiliki keterampilan khusus
dalam mengubah dan menambah nilai ekonomi gelagah dengan cara
mengubahnya menjadi barang kerajinan yang memiliki nilai lebih
tinggi. Hasil kerajinan warga Desa Kajongan ini tidak hanya
berbentuk sapu pada umumnya, namun lebih bervariasi dengan
menambahkan warna yang berbeda pada tiap hiasannya.
B. TujuanTujuan yang diperoleh dari hasil praktikum lapangan
etnobotani yaitu :1. Untuk mengetahui salah satu contoh nyata
pemanfaatan tumbuhan untuk kerajinan.2. Untuk mengetahui proses
dari pembuatan sapu gelagah.3. Untuk mendeskripsikan profil dari
industri sapu gelagah yang dikaji dari aspek proses produksi sapu
gelagah.
II. MATERI DAN CARA KERJA
A. MetodeMetode yang digunakan dalam praktikum lapangan kali ini
yaitu melakukan wawancara secara langsung dengan salah satu
pengrajin sapu gelagah, yaitu Bapak Hj. Sodirin, RT 01 RW 02, Desa
Kajongan, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa
Tengah.
B. Cara KerjaTahap-tahap dalam pembuatan sapu gelagah yaitu
sebagai berikut :1. Tanah yang menempel pada akar rumput gelagah
dibersihkan.2. Rumput gelagah yang sudah bersih dijemur sampai
berwarna coklat kekuning-kuningan.3. Rumput gelagah dibagi dan
disatukan sesuai dengan ukuran sapu yang akan dibuat.4. Rumput
gelagah dibagi dan disatukan sesuai dengan ukuran sapu yang akan
dibuat, kemudian disisir sampai berbentuk helaian tipis5. Rumput
gelagah dicelupkan ke dalam pewarna, kemudian dijemur sampai kering
(untuk sapu gelagah warna).6. Gelagah dipasang atau disatukan
dengan mahkota sapu dengan menjahitnya menggunakan benang nilon
atau senar.7. Kayu atau bambu yang akan dijadikan batang sapu
dipotong sesuai dengan ukuran sapu dan dihaluskan sampai
mengkilap.8. Rotan dianyam dan dipasang pada batang (pembuatan
mahkota sapu).9. Gelagah dipasang atau disatukan dengan mahkota
sapu.10. Sapu gelagah yang sudah jadi dirapikan dengan meratakan
panjang gelagah.11. Tali yang akan dijadikan tali penggantung
dipotong sesuai dengan ukuran.12. Tali penggantung dipasang pada
ujung batang sapu.13. Sapu gelagah disimpan dalam ruangan.14. Sapu
gelagah siap didistribusikan.
III. HASIL DAN PEMBAHASANA. Hasil
Gambar 2. Proses pewarnaan gelagahGambar 1. Proses menyusun
gelagah
Gambar 4. Alat untuk cover gagang sapuGambar 3. Bahan baku lidi
dari daun kelapa
Gambar 6. Sapu udangGambar 5. Sapu jengki warna
Gambar 8. Sapu SMSGambar 7. Sapu udang warna
Gambar 10. Bahan baku lidiGambar 9. Sapu lakop
Gambar 12. KemocengGambar 11. Sapu tebah (sapu kasur)
Gambar 13. Sapu lidi B. Pembahasan
Pendekatan dengan cara mengidentifikasi pemanfaatan tumbuhan
merupakan langkah awal dalam penelitian etnobotani untuk
mengungkapkan potensi berbagai jenis tumbuhan yang dimanfaatkan
secara tradisional oleh masyarakat lokal. Pada saat ini pendekatan
dengan cara inventarisasi ini masih representatif dan masih umum
dilakukan untuk penelitian pengetahuan botani tradisional yang
ditujukan untuk mengidentifikasi potensi sumber daya hayati. Hal
ini terbukti dari publikasi yang diterbitkan oleh para peneliti
(sekitar 70%) yang diterbitkan pada jurnal economy botany
mengungkapkan potensi berbagai jenis tumbuhan yang dimanfaatkan
secara tradisional oleh masyarakat lokal (Cotton, 1996).
Selanjutnya modelisasi kuantitatif dari perbedaan kultural atau
nilai guna suatu jenis tumbuhan merupakan cara yang dikembangkan
dalam penelitian etnobotani (Phillips & Gentry, 1993).Rumput
gelagah juga disebut rumput kans (Saccharum sponteneum). Di
beberapa tempat di Indonesia berapa glagah dan kaso. Tanaman
rimpang menahan alias tak mengenal musim ini tingginya antara 1,5-3
meter dan merupakan tumbuhan asli Asia Selatan. Gelagah merupakan
tanaman berkolonisasi (bergerombol), mudah tumbuh di dataran tinggi
melalui akar rhizometeus yang merancap jauh kedalam tanah. Karena
itu gelah juga disebut sebagai tanamn invasif yang kalau dibiarkan
bisa mengambil alih lahan pertanian. Menurut Indarwanto (2012),
manfaat rumput gelagah adalah sebagai berikut : Gelagah mengandung
khasiat herbal. Selain digunakan untuk pengobatan, zat bioaktif
saponin di dalamnya dimanfaatkan sebagai pemutih gigi Akarnya yang
menancap dalam ke tanah dimanfaatkan sebagai pencegah erosi pada
tanah berpasir. Jadi lahan kritis seperti tebing dan lereng sungai
bisa dimanfaatkan untuk menanam rumput gelagah ini. Mempunyai
fungsi ganda sebagai agen menjaga lingungan dan bisa dipanen untuk
sumber ekonomi. Rumput gelagah adalah sumber makanan ternak yang
murah Bunga gelagah yang dikeringkan dan dapat dijadikan sapu. Dan
ternyata sapu gelagah tidak hanya mengisi pasar dalam negeri, namun
telah ada pada pasar luar negeri.Melimpahnya tanaman glagah yang
mencapai 10 ribu ton pertahun di Kabupaten Purbalingga memberikan
dampak positif terhadap tumbuhnya berbagai industri kecil menengah
kerajinan sapu glagah. Saat ini ada sekitar 50 unit usaha kerajinan
sapu glagah yang berkembang di Purbalingga. Salah satunya adalah
Desa Kajongan Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga. Industri
kecil ini milih bapak Hj. Sodirin tepatnya di Desa Kajongan RT 2/RW
2. Adapun sapu glagah yang diproduksi terdiri sapu rayung, sapu
lakop, sapu SMS (sapu miring sebelah), dan sapu udang. Pemasarannya
sendiri meliputi wilayah Cirebon, Jakarta, Tangerang, Bandung,
Semarang, Purwokerto, Surabaya, Karawang, Pasuruan, Tasikmalaya,
Bogor, Lampung, serta kota-kota lainnya di Kalimantan, Sulawesi,
dan Aceh. Bahkan, sapu gelagah buatan Purbalingga juga telah
menembus pasar ekspor dengan tujuan Malaysia, Singapura, Brunei
Darusalam, Taiwan, Jepang, Thailand, Amerika, dan Korea
Selatan.Desa pada Kecamatan Bojongsari di wilayah Kabupaten
Purbalingga yang meliputi Desa Bumisari, Desa Pekalongan, Desa
Metenggeng, Desa Pagedangan, Desa Beji, Desa Karangbanjar, Desa
Brobot, Desa Galuh, Desa Gembong, Desa Bojongsari, Desa Patemon,
Desa Banjaran, dan Desa Kajongan. Kajongan adalah desa di kecamatan
Bojongsari, Purbalingga, Jawa Tengah, Indonesia. Desa ini ada
sebuah industri kecil kerajinan sapu dari tanaman gelagah. Hasil
penelitian Nursiyanti (2012) memaparkan bahwa biasanya usaha
kerajinan sapu glagah termasuk usaha turun temurun, secara ekonomi
industri tersebut berperan meningkatkan penghasilan dan memperluas
lapangan pekerjaan sehingga dapat menekan tingkat
pengangguran.Wawancara dilakukan secara langsung dengan bapak Hj
Sodirin. Beliau mengaku telah menjalankan usaha kecil ini selama
bertahun-tahun. Menurut bapak Hj. Sodirin usaha ini berjalan sejak
tahun 1997 dan merupakan usaha turun menurun untuk menunjang
ekonomi keluarganya. Sejarah terciptanya usaha sapu gelagah adalah
berasal dari Tuan Lim pada tahun 1970 yang dulu tinggal di daerah
Kajongan dan mendirikan pabrik namun dulu masih berupa pabrik sapu
ijuk dengan sorgum (dari Jepang). Usaha ini terus dikembangkan
hingga pada tahun 1987 munculah sapu dengan berbagai warna
menggunakan warna batik. Daerah distribusinya adalah Tasikmalaya,
Bandung, Surabaya dan Boyolali. Bahkan sampai dieksport ke luar
negeri seperti Korea dan Taiwan. Bahan bakunya berupa akar rumput
gelagah yang tumbuh liar di daerah purbalingga, bambu ampel dari
daerah Wonosobo, lidi dari tanaman kelapa serta kain-kain limbah
tekstil. Berikut skema pembuatan sapu gelagah di Desa Kajongan,
Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga sebagai berikut :
Tanah yang menempel pada akar rumput gelagah dibersihkan
Rumput gelagah yang sudah bersih dijemur sampai berwarna coklat
kekuning-kuningan.
Rumput gelagah dibagi dan disatukan sesuai dengan ukuran sapu
yang akan dibuat.
Rumput gelagah dibagi dan disatukan sesuai dengan ukuran sapu
yang akan dibuat kemudian disisir sampai berbentuk helaian
tipis
Rumput gelagah dicelupkan ke dalam pewarna batik, kemudian
dijemur sampai kering (untuk sapu gelagah warna)
Gelagah dipasang atau disatukan dengan mahkota sapu dengan
menjahitnya menggunakan benang nilon atau senar.menggunakan benang
nilon atau senar
Bambu yang akan dijadikan batang sapu dipotong sesuai dengan
ukuran sapu dan dihaluskan sampai mengkilap
Rotan dianyam dan dipasang pada batang (pembuatan mahkota
sapu).
Gelagah dipasang atau disatukan dengan mahkota sapu
Sapu gelagah yang sudah jadi dirapikan dengan meratakan panjang
gelagah
Tali yang akan dijadikan tali penggantung dipotong sesuai dengan
ukuran dan dipasang pada ujung batang sapu.
Sapu gelagah disimpan dalam ruangan dan sapu gelagah siap
didistribusikan
Ada bermacam-macam jenis sapu dengan nama yang berbeda yang di
produksi oleh pabrik milik Hj. Sodirin. Diantaranya adalah sapu
udang, sapu SMS, sapu lakop, sapu udang warna, sapu jengki dan sapu
lainnya. Tidak hanya sapu yang di produksi, ada pula kemoceng,
centong batok kelapa dan sapu lidi kasur (sapu tebah). Kisaran
harga dari produksi adalah 3.000-20.000 per buah.Sapu gelagah
merupakan salah satu contoh pemanfaatan tumbuhan untuk kerajinan.
Bahan baku sapu gelagah adalah rumput gelagah, rotan, kain hasil
limbah, bambu dan pewarna batik. Rumput gelagah didapat dari
pekarangan karena merupakan tumbuhan liar yang gampang tumbuh.
Kondisi lingkungan industri adalah dataran tinggi. Industri sapu
bapak Hj. Sodirin sudah berjalan lama dan untuk menunjang ekonomi
kehidupan keluarga beliau. Keterampilan sapu gelagah sudah
turun-menurun dari keluarga bapak Hj. Sodirin. Sapu gelagah
berfungsi untuk alat rumah tangga yaitu untuk membersihkan lantai
rumah atau pekarangan.Masyarakat mengalami kesulitan dalam
menemukan lapangan pekerjaan. Ditengarai berbagai bidang pekerjaan
yang tersedia tidak mampu menampung besarnya jumlah tenaga kerja.
Semakin hari jumlah pencari kerja semakin meningkat yang tidak
diimbangi dengan kesediaan lapangan kerja. Terbatasnya lapangan
kerja menimbulkan persaingan yang begitu ketat dalam seleksi
pekerjaan. Sebagian kecil dari tenaga kerja dengan kemampuan
berkualitas yang diterima sedangkan anggota masyarakat yang lain
tidak mendapat pekerjaan bahkan menjadi pengangguran. Jika
memperoleh pekerjaan itupun kurang layak atau tidak sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki. Berwirausaha dipandang sebagai salah satu
cara untuk mengatasi minimnya lapangan kerja dan mengurangi angka
pengangguran. Contohnya dengan usaha bapak Hj. Sodirin. Sehingga
dengan pengadaan usaha ini dapat mengatasi pengangguran dan dapat
memanfaakan tumbuhan untuk keperluan masyarakat serta menumbuhkan
atau menjujung tinggi kembali ilmu etnobotani.
IV. KESIMPULANBerdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan
sebagai berikut:1. Salah satu contoh pemanfaatan tumbuhan untuk
kerajinan adalah sapu dari tanaman gelagah di Desa Kajongan,
Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga.2. Pembuatan sapu
gelagah secara garis besar adalah pembersihan tanaman gelagah,
pengeringan gelagah, pewarnaan gelagah, perapian gelagah,
pemasangan bambu serta aksesoris penghias pada gelagah, perapian
ulang dan akhirnya siap di distribusikan.3. Warga dari Desa
Kajongan, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga memiliki
industri kecil berupa penghasil sapu gelagah yaitu Bapak Hj.
Sodirin. Beliau menyambung hidupnya dari hasil kerajianan sapu
gelagah ini. Kegiatan ini ternyata sudah secara turun-menurun
sehingga mereka sangat terampil membuat anyaman sapu gelagah.
DAFTAR REFERENSICotton, C.M. 1996. Ethnobotany: Principles and
Applications. John Wiley & Sons New York, USA.
Indrawanto, E. 2012.
http://eviindrawanto.com/2012/07/rumput-gelagah-dan-sapu -gelagah/.
Diakses 8 Desember 2013.
Nursiyanti, S. 2012. Perkembangan Industri Kerajinan Sapu Glagah
Dan Peranannya Dalam Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
Majalangu Kecamatan Watukumpul Kabupaten Pemalang. Jurnal.
FIS-UNNES
Phillips, O. and A. H. Gentry. 1993. The Useful Plants of
Tambopata, Peru : I. Statistical Hypothesis Tests with a New
Quantitative Technique. Economic Botany 47(1): 15-22.