I. KONSEP DASAR PENYAKITA. PENGERTIAN Ada beberapa pengertian
fraktur menurut para ahli yaitu fraktur adalah patah tulang,
biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price dan
Wilson, 2006).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan
sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai
stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan
Bare, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan
fraktur akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap
proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang
patologis (Mansjoer, 2002).Fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang yang di tandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas,
gangguan fungsi, pemendekan , dan krepitasi (Doenges, 2002).B.
ETIOLOGIEtiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3
yaitu:1. Cidera atau benturan2. Fraktur patologik Fraktur patologik
terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh
karena tumor, kanker dan osteoporosis.3. Fraktur beban Fraktur
baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru
saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan
lari.C. PATOFISIOLOGI
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit
(Smelter dan Bare,2002)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar
tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut,
jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan
biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel
anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan
syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment
(Brunner dan Suddarth, 2002 ).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka
dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan
jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (
Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah
patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi
kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan
diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi,
mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito,
2007). Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen
tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun
pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang
seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson,
2006).
D. PATHWAY
E. KLASIFIKASI
1. Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan
tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain:a. Fraktur
tertutup (closed)Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur
bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur
tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: 1) Tingkat 0 : fraktur biasa
dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya. 2)
Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan
kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan. 4) Tingkat 3
: Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement. b. Fraktur terbuka (open/compound
fraktur) Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan
kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang
patah. Derajat patah tulang terbuka : 1) Derajat I Laserasi < 2
cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal. 2) Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.3) Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan
sekitar. 2. Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi
menjadi 2 yaitu:a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)Dikatakan
lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau
garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubak tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur ) Bila antara
oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah
yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick.
Menurut Price dan Wilson ( 2005) kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.
3. Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya
dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma
angulasi juga.
c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral
yang di sebabkan oleh trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fleksi yang mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma
tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
4. Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3
antara lain:
a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari
satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari
satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu
tapi tidak pada tulang yang sama.F. MANIFESTASI KLINISManifestasi
klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan
bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan
antar fragmen tulang.2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak
dapat digunakan dan cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti
normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas
yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang
normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya
otot.3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah
tempat fraktur.4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba
adanya derik tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat
gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya.5. Pembengkakan dan
perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan
Bare, 2002).G. KOMPLIKASI
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price
(2005) antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli
lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler
nekrosis.
a. Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel
ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas,
thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak Pada saat terjadi fraktur globula lemak
dapat masuk kedalam pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang
lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di
lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan
memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement Merupakan masalah yang terjadi saat
perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran
kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat,
penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi
kompatement otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan
berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai
denagan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal,
hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan
oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e. Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
f. Avaskuler nekrosis Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena
aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan
nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkmans Ischemia
(Smeltzer dan Bare, 2001).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain:
mal union, delayed union, dan non union.
a. Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b. Delayed Union Delayed union adalah proses penyembuhan yang
terus berjalan dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan
normal. Delayed union merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.c. Nonunion
merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi
fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang (Price dan Wilson,
2006).H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKMenurut Doenges (2000) ada beberapa
pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan
jenis fraktur 2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI :
memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel
darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.4. Kreatinin
: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.5.
Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple, atau cedera hati.I. PENATALAKSANAAN1.
Penatalaksanaan kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting
untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses
pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi
syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru
lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu
tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa
lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari
6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian
lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk
mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih
berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan
foto.Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung,
tidak menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai
yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk
mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan.
Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan
sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga
diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi
maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan
nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut.Nyeri
sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan
menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan
jaringan lunak oleh fragmen tulang.Daerah yang cedera diimobilisasi
dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang
kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang
ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua
tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai
bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas,
lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera
digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk
menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.Pada fraktur terbuka,
luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah
kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan
reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui
luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas.Pada bagian
gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan
dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari
sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi
cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.2. Penatalaksanaan bedah
ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus
menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang
dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit
sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah
(mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan yang
sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna
atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah
ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim
dilakukan :
Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran
tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan
pemajanan tulang yang patah
Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi
dengan skrup, plat, paku dan pin logam
Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun
heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau
mengganti tulang yang berpenyakit.
Amputasi : penghilangan bagian tubuh
Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu
alat yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa
irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka
Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan
logam atau sintetis
Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler
dalam sendi dengan logam atau sintetis
Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki
fungsi
Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi
otot atau mengurangi kontraktur fasia.
(Ramadhan: 2008)
3. Terapi Medis
Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau
prednisone
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
(Ramadhan: 2008)
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang
harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu :
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan ) Riwayat kecelakaan, derajat
keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri
sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan
diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi) Reduksi adalah usaha dan
tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk
memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup,
traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya
akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3. Retensi (Immobilisasi) Upaya yang dilakukan untuk menahan
fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi
eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk
menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga
pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama
lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau
kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga
dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer,
2000). Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin
yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah
atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama
lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang
berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan
sebagai temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau
sebagai definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma
yang terjadi pada tulang dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008).
4. Rehabilitasi Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal
mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan
mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,
2000).II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN1. Aktivitas istirahat. Tanda : Keterbatasan atau
fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu
sendiri, atau terjadi secara sekunder dan pembengkakan jaringan,
nyeri).2. Sirkulasi.Tanda : Hipertensi atau tidak ada nadi pada
bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambat. Pucat pada
bagian yang terkena pembengkakan jariangan atau massa hematoma pada
sisi cedera.
3. Neurosensori.Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme
otot, kebas atau kesemutan (parestesis). Tanda : Deformitas lokal,
angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit),
spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi. Agitasi
(mungkin berhubungan dengan nyeri ansietas atau trauma lain).
4. Nyeri / kenyamanan.Gejala : Nyeri hebat tiba-tiba pada saat
cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau kerusakan
tulang, dapat berkurang pada immobilisasi). Tak ada nyeri akibat
kerusakan saraf. Spasme atau kram otot (setelah imobilisasi).
5. Keamanan.Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan,
perubahan warna, pembengkakan lokal (dapat meningkat secara
bertahap atau tiba-tiba).
6. Penyuluhan dan pembelajaran.Memerlukan bantuan dalam
perawatan luka atau bahan, adapatasi terhadap alat bantu
ambulatori, transportasi, pemeliharaan rumah, kemungkinan aktivitas
perawatan diri dan latihan kejuruan.B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan fraktur menurut Doengoes (2000), dan
Barbara (1999) adalah
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/
immobilisasi, stress, ansietas.2. Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolic, kerusakan
sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka/
ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk,
terdapat jaringan nekrotik.3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan nyeri / ketidak nyamanan, kerusakan musculoskeletal, terapi
pembatasan aktifitas, penurunan kekuatan / tahanan.4. Resiko
infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respon inflamasi
tertekan, prosedur invasi dan jalur penusukan, luka/ kerusakan
kulit, insisi pembedahan.5. Defisit perawatan diri berhubungan
dengan factor (kolaboratif): traksi atau gibs pada ekstrimitas6.
Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubunngan
dengan intake yang tidak adekuat.C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat kontraksi/
immobilisasi, stress, ansietas.a. Tujuan : setelah dilakukan
tindakan keperawatan klien mampu beradaptasi dengan nyeri yang di
alami.
b. Kriteria hasil : nyeri berkurang atau hilang, klien tampak
tenang.c. Intervensi :1) Lakukan pendekatan pada klien dan
keluarga. Rasional: hubungan yang baik membuat klien dan keluarga
kooperatif. 2) Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri.
Rasional: tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukan skala
nyeri. 3) Jelaskan pada klien penyebab nyeri. Rasional: memberikan
penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri. 4)
Observasi tanda- tanda vital. Rasional: untuk mengetahui
perkembangan klien.5) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian analgetik. Rasional: merupakan tindakan dependent
perawat, dimana analgetik berfungsi untuk memblok stimulasi
nyeri.2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan,
perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan
sensasi dibuktikan oleh terdapat luka atau ulserasi, kelemahan,
penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan
nekrotik.a. Tujuan : setelah di lakukan tindakan pemenuhan masalah
kerusakan kulit dapat teratasi, penyembuhan luka sesuai waktu. b.
Kriteria hasil : tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus,
kemerahan, luka bersih tidak lembab dan tidak kotor, tanda- tanda
vital dalam batas normal atau dapat di toleransi. c. Intervensi :
1) Kaji kulit dan identitas pada tahap perkembangan luka. Rasional:
mengetahui sejauhmana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan
tindakan yang tepat. 2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta
jumlah dan tipe cairan luka. Rasional: mengidentifikasi tingkat
keparahan luka akan mempermudah intervensi. 3) Pantau peningkatan
suhu tubuh. Rasional: suhu tubuh yang meningkat dapat
diidentifikasi sebagai adanya proses peradangan. 4) Berikan
perawatan luka dengan tehnik aseptic. Balut luka dengan kasa kering
dan steril, gunakan plester kertas. Rasional: tehnik aseptik
membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya
infeksi. 5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan
lanjutan, misalnya debridement. Rasional: agar benda asing atau
jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal
lainya. 6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
Rasional: balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari
tergantung kondisi parah/ tidaknya luka, agar tidak terjadi
infeksi.7) Kolaborasi pemberian antibiotic sesuai indikasi.
Rasional: anti biotik berguna untuk mematikan mikroorganisme
pathogen pada daerah yang beresiko terjadi infeksi.3. Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ ketidak nyamanan,
kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktivitas, dan
penurunan kekuatan/ tahanan. a. Tujuan : pasien akan menunjukan
tingkat mobilitas optimal b. Kriteria hasil : klien mampu melakukan
pergerakan dan perpindahan, mempertahankan mobilitas optimal yang
dapat ditoleransi dengan karakteristik : 0 = mandiri penuh 1 =
memerlukan alat bantu 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk
bantuan pengawasan dan pengajaran. 3 = membutuhkan bantuan dari
orang lain dan alat bantu 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi
dalam aktivitas. c. Intervensi 1) Kaji kebutuhan akan pelayanan
kesehatan dan kebutuhan akan peralatan. Rasional: mengidentifikasi
masalah, memudahkan intervensi. 2) Tentukan tingkat motivasi pasien
dalam melakukan aktivitas. Rasional: mempengaruhi penilaian
terhadap kemampuan aktifitas apakah karena ketidakmampuan atau
ketidakmauan.3) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat
bantu. Rasional: menilai batasan kemampuan aktivitas optimal. 4)
Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif. 5)
Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi. Rasional: sebagai
suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan
atau meningkatkan mobilitas pasien. 4. Resiko infeksi berhubungan
dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur
infasif dan jalur penusukan, luka/ kerusakan kulit, insisi
pembedahan. a. Tujuan : infeksi tidak terjadi/ terkontrol b.
Kriteria hasil : tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus, luka
bersih tidak lembab dan tidak kotor, tanda-tanda vital dalam batas
normal atau dapat ditoleransi. c. Intervensi : 1) Pantau
tanda-tanda vital Rasional: mengidentifikasi tanda-tanda peradangan
terutama bila suhu tubuh meningkat. 2) Lakukan perawatan luka
dengan tehnik aseptik. Rasional: mengendalikan penyebaran
mikroorganisme pathogen. 3) Lakukan perawatan terhadap prosedur
inpasif seperti infuse, kateter, drainase luka, dll. Rasional:
untuk mengurangi resiko infeksi nosokomial. 4) Jika di temukan
tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan
leukosit. Rasional: penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit
dari normal bias terjadi akibat terjadinya proses infeksi. 5)
Kolaborasi untuk pemberian antibiotic. Rasional: antibiotic
mencegah perkembangan mikroorganisme pathogen. 5. Defisit perawatan
diri berhubungan dengan faktor(kolaboratif): traksi atau gibs pada
ekstrimitas a. Tujuan : tidak terjadi defisit perawatan diri b.
Kriteria hasil :tidak ada bau badan, tidak bau mulut, mukosa mulut
lembab, kulit utuh c. Intervensi : 1) Berikan bantuan pada AKS
sesuai kebutuhan, ijinkan pasien untuk merawat diri sesuai dengan
kemampuannya. Rasional: AKS adalah fungsi-fungsi dimana orang
normal melakukan tiap hari untuk memenuhi kebutuhan dasar. Merawat
untuk kebutuhan dasar orang lain membantu mempertahanka harga diri.
2) Setelah reduksi, tempatkan kantung plastik di atas ekstrimitas
untuk mempertahankan gibs/ belat/ fiksasi eksternal tetap kering
pada saat mandi. Rujuk pada bagian terapi fisik sesuai pesanan
untuk instruksi berjalan dengan kruk untuk ambulasi dan dapat
menggunakannya secara tepat. Rasional: kantong plastik melindungi
alat-alat dari kelembaban yang berlebih yang dapat menimbulkan
infeksi dan dapat menyebabkan lunaknya gibs, hal ini menyiapkan
pasien untuk mendorong dirinya sendiri setelah dia pulang. Ahli
terapi fisik adalah sepesialis latihan yang membantu pasien dalam
rehabilitasi mobilitas.6. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.a.
Tujuan : nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan tubuh b. Kriteria
hasil: tanda-tanda mal nutrisi tidak adac. Intervensi: 1) Kaji
kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Rasional: untuk mengetahui tingkat status nutrisi pasien 2)
Ciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan selama waktu makan
. Rasional: untuk meningkatkan nafsu makan. 3) Berikan makanan
dengan porsi sedikit tapi sering . Rasional: untuk mengurangi rasa
mual. 4) Kaji factor yang dapat merubah masukan nutrisi seperti
anoreksi dan mual Rasional: menyediakan informasi mengenai factor
lain yang dapat di ubah atau di hilangkan untuk meningkatkan
masukan diet. 5) Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat anti
mual Rasional: mengurangi rasa mual pada pasien.D. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah
dibuat
E. EVALUASI
No DxEvaluasi
1nyeri berkurang atau hilang, klien tampak tenang
2tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus, kemerahan, luka
bersih tidak lembab dan tidak kotor, tanda- tanda vital dalam batas
normal atau dapat di toleransi.
3klien mampu melakukan pergerakan dan perpindahan,
mempertahankan mobilitas optimal yang dapat ditoleransi dengan
karakteristik : 0 = mandiri penuh 1 = memerlukan alat bantu 2 =
memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan pengawasan dan
pengajaran. 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
4tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus, luka bersih tidak
lembab dan tidak kotor, tanda-tanda vital dalam batas normal atau
dapat ditoleransi.
5tidak ada bau badan, tidak bau mulut, mukosa mulut lembab,
kulit utuh
6tanda-tanda mal nutrisi tidak ada
DAFTAR PUSTAKABrunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar
Keperawatan medikal Bedah. Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC.Corwin,
Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed, 3. Jakarta:
EGCEditor, Aru W Sudoyo dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I edisi V. Jakarta: Interna Publishing.Dongoes, Marilynn E.
1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGCEditor, R.
Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2. Jakarta:
EGC.Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
AesculapiusPerry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan.
Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4 Vol.1. Jakarta: EGC.
Price, Silvia Anderson dan Lorraine M Wilson. 1995.
Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2.
Jakarta: EGC.
Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis
Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2. Jakarta: EGC.
Ramadhan. 2008. Konsep Fraktur (Patah Tulang.
http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/22/konsep-fraktur-patah-tulang/
diakses tanggal 30 Desember 2014.
Rasjad, Chairudin. 1998. Ilmu Bedah Orthopedi. Ujung Pandang :
Bintang Lamupate.Smeltzer Suzanne, C . 2001. Buku Ajar Medikal
Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta: EGC.Tambayong, Jan. 2000 .
Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Wilkinson M J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan
Intervensi NIC dan Ktriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.