REFERAT REFERAT HUBUNGAN ANTARA HUBUNGAN ANTARA HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG Pembimbing : dr. Afdhalun A. Hakim, Sp.JP, FIHA Penyusun : Louisa Markus (030.03.139) KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT OTORITA BATAM RUMAH SAKIT OTORITA BATAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
107
Embed
Louisa Markus - Hubungan Antara Hipertensi Dengan Gagal Jantung
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REFERATREFERAT
HUBUNGAN ANTARAHUBUNGAN ANTARA
HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNGHIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG
Pembimbing :
dr. Afdhalun A. Hakim, Sp.JP, FIHA
Penyusun :
Louisa Markus (030.03.139)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAMKEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT OTORITA BATAMRUMAH SAKIT OTORITA BATAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
20102010
REFERATREFERAT
HUBUNGAN ANTARA HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNGHUBUNGAN ANTARA HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG
Telah disetujui oleh :Telah disetujui oleh :
dr. Afdhalun A. Hakim, Sp. JP.dr. Afdhalun A. Hakim, Sp. JP.
Pada tanggal, Juli 2010Pada tanggal, Juli 2010
Dalam rangka memenuhi tugasDalam rangka memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RS Otorita BatamKepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RS Otorita Batam
periode 31 Mei - 7 Agustus 2010periode 31 Mei - 7 Agustus 2010
Batam, Juli 2010Batam, Juli 2010
Pembimbing,Pembimbing,
(dr. Afdhalun A. Hakim, Sp. JP.)(dr. Afdhalun A. Hakim, Sp. JP.)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas
Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ”Hubungan antara Hipertensi dan
Gagal Jantung”.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Afdhalun A. Hakim, Sp.JP selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta
kepada dokter-dokter pembimbing lain di bagian Penyakit Dalam RS Otorita Batam. Tujuan dari
pembuatan referat ini selain untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya, juga
ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis sangat berharap bahwa referat ini dapat menambah wawasan mengenai hipertensi
dan gagal jantung. Dan diharapkan, bagi para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan
mengenai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang
membangun.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini dapat
memberikan tambahan informasi bagi kita semua.
Batam, Juli 2010
Penulis,
Louisa Markus
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1. Jantung 4
I.2. Proses Mekanis Siklus Jantung 8
I.3. Pengukuran Tekanan Darah 9
I.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah 11
I.5. Pengaturan Tekanan Darah 17
BAB II HIPERTENSI
II.1. Definisi 19
II.2. Klasifikasi
II.2.1. Klasifikasi berdasarkan Etiologi 19
II.2.2. Klasifikasi berdasarkan Derajat Hipertensi 20
II.3. Patofisiologi 21
II.3.1. Curah Jantung 22
II.3.2. Sistem Renin-Angiotensin 22
II.3.3. Sistem Saraf Simpatis 23
II.3.4. Resistensi Perifer 24
II.3.5. Disfungsi Endotel 24
II.3.6. Substansi Vasoaktif 25
II.3.7. Sindrom Metabolik 25
II.3.8. Faktor Genetik 26
II.4. Faktor Resiko Hipertensi
II.4.1. Faktor Resiko yang Tidak Dapat Diubah 27
II.4.2. Faktor Resiko yang Dapat Diubah 28
II.5. Komplikasi 29
II.6. Diagnosa 30
II.7. Penatalaksanaan 30
II.7.1. Pengobatan non Farmakologis 32
II.7.2. Pengobatan Farmakologis 33
BAB III Gagal Jantung
III.1. Definisi 34
III.2. Epidemiologi 36
III.3. Etiologi 37
III.4. Bentuk-bentuk Gagal Jantung 38
III.5. Patofisiologi 41
III.6. Manifestasi Klinis 45
III.7. Penatalaksanaan 46
III.8. Prognosis 50
BAB IV Hubungan Antara Hipertensi-Gagal Jantung 52
IV.1. Hipertrofi Ventrikel Kiri
IV.1.1. Jenis Hipertrofi Ventrikel 53
IV.1.2. Perubahan Fungsional pada Hipertrofi Ventrikel Kiri 55
IV.1.3. Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Hipertensi 56
IV.2. Infark Miokard 59
IV.3. Rentang Waktu Perjalanan Penyakit 61
IV.4. Pengaruh Pengobatan Hipertensi pada Perjalanan Penyakit dan Resiko
Gagal Jantung 61
DAFTAR PUSTAKA 62
DAFTAR GRAFIK & TABEL
I.1. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007 3
I.2. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007 3
I.3. Jumlah Kasus Gagal Jantung di Amerika pada tahun 2003-2006 4
2.1. Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC VII 20
2.2. Klasifikasi Hipetrensi berdasarkan ESC 20
2.3. Stratifikasi Faktor Resiko dan Rencana Penanggulangan 31
2.4. Pilihan Obat pada Indikasi Khusus 33
4.1. Perubahan Kardiovaskular pada Hipertensi 57
DAFTAR GAMBAR
1.1. Anatomi Jantung Manusia 6
1.2. Skema Aliran Darah di Jantung 6
1.3. Aliran Listrik Jantung 8
1.4. Teknik Pengukuran Darah 10
1.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah 12
1.6. Hukum Frank Starling 13
2.1. Patofisiologi Hipertensi 21
2.2. Sistem Renin-Angiotensin 23
2.3. Komplikasi Hipertensi Esesnsial Tak Terkontrol 30
2.4. Letak Kerja ACEI dan ARB 33
3.1. Deskpripsi Hubungan Antar Sistem Klasifikasi Gagal Jantung yang Berbeda 36
3.2. Hukum Frank Starling pada Gagal Jantung 42
4.1. Progresi Hipertensi-Gagal Jantung 53
4.2. Perbedaan Hipertrofi Eksentris-Konsentris 54
4.3. Perubahan Ventrikel Kiri 54
4.4. Pola Geometris Hipertrofi Ventrikel Kiri 55
BAB I
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia sedang berkembang menuju masyarakat industri. Perubahan ke arah
masyarakat industri memberi andil terhadap perubahan pola fertilitas, gaya hidup, sosial
ekonomi yang pada gilirannya dapat memacu meningkatnya penyakit tidak menular. Adanya
perubahan dalam pola kehidupan tersebut menyebabkan terjadinya transisi epidemiologi
penyakit yang ditunjukkan dengan adanya kecenderungan perubahan pola kesakitan dan pola
penyakit utama penyebab kematian, dimana terdapat penurunan prevalensi penyakit infeksi,
sedangkan prevalensi penyakit non infeksi atau degeneratif seperti : hipertensi, stroke, kanker
dan sebagainya, justru meningkat.1
Di Indonesia, interaksi pembangunan dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, dan
geografis menimbulkan triple burden disease (segitiga beban penyakit) dimana ketika masalah
penyakit menular belum tuntas dikendalikan, kejadian penyakit tidak menular sudah mulai naik
diikuti dengan bermunculannya penyakit-penyakit baru.2
Perkembangan penyakit tidak menular telah menjadi suatu tantangan pada abad 21. Di
dunia, penyakit tidak menular telah menyumbang 3 juta kematian pada tahun 2005 di mana 60%
kematian di antaranya terjadi pada penduduk berumur di bawah 70 tahun. Penyakit tidak menular
yang cukup banyak mempengaruhi angka kesakitan dan angka kematian dunia adalah penyakit
kardiovaskuler. WHO mengestimasi di dunia terdapat 1/3 (15,3 juta) kematian yang disebabkan
oleh penyakit kardiovaskuler pada tahun 1998 yang terjadi di negara berkembang dan negara
yang berpenghasilan menengah ke bawah. Pada tahun 2005, penyakit kardiovaskuler telah
menyumbangkan kematian sebesar 28% dari seluruh kematian yang terjadi di kawasan Asia
Tenggara. Sementara itu, di Indonesia, menurut laporan WHO tahun 2002, angka kematian
akibat penyakit kardiovaskuler sebesar 361 per 100.000 penduduk untuk kategori age-
standardize mortality rate.3,4,5
Membicarakan penyakit kardiovaskuler tentunya tidak dapat lepas dari hipertensi.
Hipertensi sampai saat ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia karena prevalensinya
yang tinggi, sekitar 90% tidak diketahui penyebabnya dan juga karena asosiasinya terhadap
kejadian penyakit kardiovaskuler yang salah satunya adalah gagal jantung. Hipertensi disebut
juga dengan istilah ‘the Silent Killer’. Hal ini disebabkan karena sering kali penyakit ini dijumpai
tanpa gejala, yang apabila tidak diobati dan ditanggulangi akan menimbulkan komplikasi seperti
stroke, penyakit jantung dan pembuluh darah, gangguan ginjal dan lainnya yang pada akhirnya
dapat mengakibatkan cacat maupun kematian. Hipertensi dapat terjadi karena faktor herediter,
asupan garam yang berlebihan, kurangnya aktifitas dan stress psikososial. 1,2
Menurut laporan pertemuan WHO di Jenewa pada tahun 2002, didapatkan angka
prevalensi penyakit hipertensi adalah 15-37% dari populasi dewasa di dunia. Setengah dari
populasi yang berusia lebih dari 60 tahun adalah penderita hipertensi. Di seluruh dunia, angka
Proportional Mortality Rate akibat hipertensi adalah 13% atau sekitar 7,1 juta kematian. Hasil
penelitian WHO (2002) menunjukkan bahwa 62% kasus stroke dan 49% kasus serangan jantung
disebabkan oleh hipertensi.6
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2008, dinyatakan bahwa hipertensi merupakan
penyakit sirkulasi darah yang merupakan kasus terbanyak pada rawat jalan maupun rawat inap di
rumah sakit. Hasil pencatatan dan pelaporan rumah sakit menunjukkan kasus baru penyakit
sistem sirkulasi darah terbanyak pada kunjungan rawat jalan maupun jumlah pasien keluar rawat
inap dengan diagnosis penyakit Hipertensi tertinggi pada tahun 2007. Dari hasil Riskesdas 2007,
prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke atas di Indonesia adalah sebesar 31,7%.
Menurut provinsi, prevalensi Hipertensi tertinggi terdapat di Kalimantan Selatan (39,6%) dan
terendah di Papua Barat (20,1%).2
Sementara, dari hasil pencatatan dan pelaporan rumah sakit, didapatkan data bahwa kasus
gagal jantung sendiri menempati peringkat ketiga. Sedangkan untuk Case Fatality Rate (CFR)
kasus gagal jantung menempati peringkat ke dua sebesar 13,42%.2
Gagal jantung (heart failure) merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang menjadi
masalah serius di dunia. American Heart Association (AHA) pada tahun 2004 melaporkan 5,2
juta penduduk Amerika menderita gagal jantung. Dimana penyakit ini merupakan salah satu
penyakit yang menghabiskan biaya besar untuk diagnosis dan pengobatannya. Diperkirakan
lebih dari 15 juta kasus baru gagal jantung setiap tahunnya di seluruh dunia.7
Penyakit Jantung Iskemik Lainnya
Penyakit Jantung lainnya
Gagal Jan-tung
Ggn Han-taran & Ar-itmia Jan-
tung
Infark Miokard
Akut
Penyakit Jantung reumatik
kronik
Kar-diomiopati
Demam reumatik
akut
Rawat Inap
22454 18585 13395 5770 9399 2438 1413 952
Rawat Jalan
67800 38438 16431 12269 10530 6519 2747 10408
5000150002500035000450005500065000
Jumlah Penyakit Jantung di RS di Indonesia tahun 2007
Grafik 1.1. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007.
(sumber: Ditjen Yanmedik, Profil Kesehatan Indonesia 2008, Departemen Kesehatan RI, 2009).
02468
101214
CFR Penyakit Jantung di RS di Indonesia tahun 2007
Grafik 1.2. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007.
(sumber: Ditjen Yanmedik, Profil Kesehatan Indonesia 2008, Departemen Kesehatan RI, 2009).
20-39 40-59 60-79 80+
0.31.9
9.1
14.7
0.21.4
4.9
12.8
Jumlah Kasus Gagal Jantung di USAPria Wanita
Grafik 1.3. Jumlah kasus Gagal jantung di Amerika pada tahun 2003-2006.
(sumber: Fact Sheet, NCHS dan NHLBI, 2008)
I.1.Jantung 8,9
Jantung merupakan sebuah organ dalam tubuh manusia yang termasuk dalam sistem
sirkulasi. Jantung bertindak sebagai pompa sentral yang memompa darah untuk
menghantarkan bahan-bahan metabolisme yang diperlukan ke seluruh jaringan tubuh dan
mengangkut sisa-sisa metabolisme untuk dikeluarkan dari tubuh.
Sistem sirkulasi sendiri memiliki 3 komponen, yaitu :
1. Jantung
pompa yang melakukan tekanan terhadap darah agar timbul gradient dan darah
dapat mengalir ke seluruh tubuh.
2. Pembuluh darah
saluran untuk mendistribusikan darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan
mengembalikannya ke jantung. Terbagi atas tiga tipe pembuluh darah, yaitu :
a. Pembuluh arteri, yang berfungsi untuk mengangkut oksigen melalui darah dari
jantung ke seluruh jaringan tubuh, mengecil seiring perjalanannya menjauhi
jantung.
b. Pembuluh kapiler, yang merupakan penghubung antara pembuluh arteri dan
vena. Lapisan dindingnya yang tipis memudahkan oksigen, nutrisi, karbon
dioksida, dan bahan sisa lainnya keluar atau masuk ke organ sekitarnya.
c. Pembuluh vena, yang berfungsi untuk menyalurkan aliran darah yang berisi
bahan sisa kembali ke jantung untuk dipecahkan dan dikeluarkan dari tubuh.
Pembuluh vena semakin membesar ketika mendekati jantung.
3. Darah
Medium transportasi dimana darah akan membawa oksigen dan nutrisi
Darah berjalan melalui sistim sirkulasi ke dan dari jantung melalui 2 lengkung
vaskuler (pembuluh darah) yang terpisah. Sirkulasi paru terdiri atas lengkung tertutup
pembuluh darah yang mengangkut darah antara jantung dan paru. Sirkulasi sistemik terdiri
atas pembuluh darah yang mengangkut darah antara jantung dan sistim organ.
Walaupun secara anatomis jantung adalah satu organ, sisi kanan dan kiri jantung
berfungsi sebagai dua pompa yang terpisah. Jantung terbagi atas separuh kanan dan kiri serta
memiliki empat ruang, bilik bagian atas dan bawah di kedua belahannya. Bilik bagian atas
disebut dengan atrium yang menerima darah yang kembali ke jantung dan memindahkannya
ke bilik bawah, yaitu ventrikel yang berfungsi memompa darah dari jantung.
Kedua belahan jantung dipisahkan oleh septum atau sekat, yaitu suatu partisi otot
kontinu yang mencegah percampuran darah dari kedua sisi jantung. Pemisahan ini sangat
penting karena separuh jantung janan menerima dan memompa darah beroksigen rendah
sedangkan sisi jantung sebelah kiri memompa darah beroksigen tinggi.
Jantung berfungsi sebagai pompa ganda. Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik
(dari seluruh tubuh) masuk ke atrium kanan melalui vena besar yang dikenal sebagai vena
kava. Darah yang masuk ke atrium kanan berasal dari jaringan tubuh, telah diambil O2-nya
dan ditambahi dengan CO2. Darah yang miskin akan oksigen tersebut mengalir dari atrium
kanan melalui katup ke ventrikel kanan, yang memompanya keluar melalui arteri pulmonalis
ke paru. Dengan demikian, sisi kanan jantung memompa darah yang miskin oksigen ke
sirkulasi paru. Di dalam paru, darah akan kehilangan CO2-nya dan menyerap O2 segar
sebelum dikembalikan ke atrium kiri melalui vena pulmonalis.
Gambar 1.1. Anatomi Jantung Manusia (sumber:www.klikdokter.com)
Darah kaya oksigen yang kembali ke atrium kiri ini kemudian mengalir ke dalam
ventrikel kiri, bilik pompa yang memompa atau mendorong darah ke semus sistim tubuh
kecuali paru. Jadi, sisi kiri jantung memompa darah yang kaya akan O2 ke dalam sirkulasi
sistemik. Arteri besar yang membawa darah menjauhi ventrikel kiri adalah aorta. Aorta
bercabang menjadi arteri besar dan mendarahi berbagai jaringan tubuh.
Gambar 1.2. Skema Aliran Darah di Jantung (sumber: www.gettyimage.com)
Sirkulasi sistemik memompa darah ke berbagai organ, yaitu ginjal, otot, otak, dan
semuanya. Jadi darah yang keluar dari ventrikel kiri tersebar sehingga masing-masing bagian
tubuh menerima darah segar. Darah arteri yang sama tidak mengalir dari jaringan ke
jaringan. Jaringan akan mengambil O2 dari darah dan menggunakannya untuk menghasilkan
energi. Dalam prosesnya, sel-sel jaringan akan membentuk CO2 sebagai produk buangan atau
produk sisa yang ditambahkan ke dalam darah. Darah yang sekarang kekurangan O2 dan
mengandung CO2 berlebih akan kembali ke sisi kanan jantung. Selesailah satu siklus dan
terus menerus berulang siklus yang sama setiap saat.
Kedua sisi jantung akan memompa darah dalam jumlah yang sama. Volume darah
yang beroksigen rendah yang dipompa ke paru oleh sisi jantung kanan memiliki volume yang
sama dengan darah beroksigen tinggi yang dipompa ke jaringan oleh sisi kiri jantung.
Sirkulasi paru adalah sistim yang memiliki tekanan dan resistensi rendah, sedangkan
sirkulasi sistemik adalah sistim yang memiliki tekanan dan resistensi yang tinggi. Oleh
karena itu, walaupun sisi kiri dan kanan jantung memompa darah dalam jumlah yang sama,
sisi kiri melakukan kerja yang lebih besar karena ia memompa volume darah yang sama ke
dalam sistim dengan resistensi tinggi. Dengan demikian otot jantung di sisi kiri jauh lebih
tebal daripada otot di sisi kanan sehingga sisi kiri adalah pompa yang lebih kuat.
Darah mengalir melalui jantung dalam satu arah tetap yaitu dari vena ke atrium ke
ventrikel ke arteri. Adanya empat katup jantung satu arah memastikan darah mengalir satu
arah. Katup jantung terletak sedemikian rupa sehingga mereke membuka dan menutup secara
pasif karena perbedaan gradien tekanan. Gradien tekanan ke arah depan mendorong katup
terbuka sedangkan gradien tekanan ke arah belakang mendorong katup menutup.
Dua katup jantung yaitu katup atrioventrikel (AV) terletak di antara atrim dan
ventrikel kanan dan kiri. Katup AV kanan disebut dengan katup trikuspid karena memiliki
tiga daun katup sedangkan katup AV kiri sering disebut dengan katup bikuspid atau katup
mitral karena terdiri atas dua daun katup. Katup-katup ini mengijinkan darah mengalir dari
atrium ke ventrikel selama pengisian ventrikel (ketika tekanan atrium lebih rendah dari
tekanan ventrikel), namun secara alami mencegah aliran darah kembali dari ventrikel ke
atrium ketika pengosongan ventrikel atau ventrikel sedang memompa.
Dua katup jantung lainnya yaitu katup aorta dan katup pulmonalis terletak pada
sambungan dimana tempat arteri besar keluar dari ventrikel. Keduanya disebut dengan katup
semilunaris karena terdiri dari tiga daun katup yang masing-masing mirip dengan kantung
mirip bulan-separuh. Katup ini akan terbuka setiap kali tekanan di ventrikel kanan dan kiri
melebihi tekanan di aorta dan arteri pulmonalis selama ventrikel berkontraksi dan
mengosongkan isinya. Katup ini akan tertutup apabila ventrikel melemas dan tekanan
ventrikel turun di bawah tekanan aorta dan arteri pulmonalis. Katup yang tertutup mencegah
aliran balik dari arteri ke ventrikel.
Walaupun tidak terdapat katup antara atrium dan vena namun hal ini tidak menjadi
masalah. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu karena tekanan atrium biasanya tidak jauh
lebih besar dari tekanan vena serta tempat vena kava memasuki atrium biasanya tertekan
selama atrium berkontraksi.
I.2.Proses Mekanis Siklus Jantung 9,10
Jantung secara berselang-seling berkontraksi untuk mengosongkan isi jantung dan
berelaksasi untuk mengisi darah. Siklus jantung terdiri atas periode sistol (kontraksi dan
pengosongan isi) dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel
mengalami siklus sistol dan diastol terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi
(mekanisme listrik jantung) ke seluruh jantung. Sedangkan relaksasi timbul setelah
repolarisasi atau tahapan relaksasi otot jantung.
Gambar 1.3. Aliran Listrik Jantung (sumber: www.gettyimage.com)
Aktifitas kontraksi jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh selalu didahului
oleh aktifitas listrik. Aktifitas listrik inidimulai pada nodus sinoatrial (nodus SA) yang
terletak pada celah antara vena cava suiperior dan atrium kanan.
Nodus SA mengawali gelombang depolarisasi secara spontan sehingga menyebabkan
timbulnya potensial aksi yang disebarkan melalui sel-sel otot atrium, nodus atrioventrikuler
(nodus AV), berkas His, serabut Purkinje dan akhirnya ke seluruh otot ventrikel.
Potensial aksi ini dicetuskan oleh nodus-nodus pacemaker yang terdapat di jantung
dan dipengaruhi oleh beberapa jenis elektrolit seperti K+, Na+, dan Ca++. Gangguan
terhadap kadar elektrolit tersebut di dalam tubuh dapat mengganggu mekanisme aliran listrik
jantung.
I.3.Pengukuran Tekanan Darah11
Mengingat hipertensi merupakan salah satu masalah utama dalam populasi, sangatlah
penting untuk dapat mendiagnosa hipertensi dengan benar. Selama beberapa tahun terakhir,
tekanan darah telah dikenal sebagai suatu variable yang berkesinambungan dan sulit untuk
dinilai secara akurat keculai dengan pembacaan berulang dalam berbagai keadaan. Umumnya
pengukuran tekanan darah ini tidak akurat dan terkadang bahkan kasus-kasus yang
membutuhkan pengobatan sering lolos.
Sebagai langkah persiapan, persiapkan kamar periksa yang tenang dengan suhu
kamar yang nyaman. Idealnya, tekanan darah tidak boleh diukur jika pasien melakukan
aktivitas fisik, merokok, minum kopi, atau makan 30 menit sebelumnya.
Posisi pasien yang benar sangat menentukan keakuratan pengukuran. Punggung dan
tungkai bawah pasien sebaiknya ditopang, dengan tungkai bawah tidak boleh menyilang dan
kaki berada pada permukaan yang datar dan keras. Pada lengan di mana tekanan darah akan
diukur diupayakan longgar sampai ke bahu, lengan dari pakaian jika diangkat harus longgar
sehingga tidak mengganggu aliran darah atau tidak mengganggu manset tensimeter.
Lengan sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga berada sejajar dengan jantung.
Manometer juga sebaiknya diposisikan sejajar dengan mata pemeriksa.
Kesalahan umum dalam mengukur tekanan darah adalah penggunaan manset yang
ukurannya tidak sesuai dengan pasien. Ukuran manset yang kecil akan menimbulkan
overestimasi tekanan darah. Pemilihan ukuran manset dilakukan dengan pengukuran lingkar
lengan pada titik tengah lengan atas (pertengahan antara acromion dan olecranon). Lingkar
lengan dan ukuran manset yang disarakan adalah berturut turut sebagai berikut (dalam
centimeter):
22-26: manset 12×22 (small adult arm)
27-34: manset 16×30 (adult arm)
35-44: manset 16×36 (large adult arm)
45-52: manset 16×42 (adult thigh)
Manset diletakan pada pertengahan lengan atas lengan, sekitar 2 cm di atas siku.
Diletakkan dengan rapi dan tidak terlalu ketat (dua jari tangan masih bisa dimasukkan
diantaranya).
Untuk menghindari pengembungan manset yang berlebihan yang bisa berakibat pada
ketidaknyamanan pasien, maka sebaiknya ditentukan tekanan denyut obliterasinya. Pompa
manset hingga 80 mmHg kemudian turunkan kecepatan pemompaan menjadi 10 mmHg per
2-3 detik sambil mendengarkan dan memperhatikan hilangnya suara denyut. Begitu suara
denyut hilang longgarkan kembali dengan kecepatan 2 mmHg per detik.
Gambar 1.4. Teknik pengukuran tekanan darah yang direkomendasikan oleh the British Hypertension Society
meningkatnya kekuatan kontraksi) tetapi jantung tidak dapat mempertahankan fungsinya
dengan cukup.
Gagal jantung merupakan akhir dari suatu continuum, proses yang
berkesinambungan, dimulai dari terdapatnya penyakt jantung tanpa kelainan
hemodinamik, kemudian berlanjut dengan fase preklinik dimana sudah didapati kelainan
hemodinamik tetapi belum ada keluhan dan berlanjut dengan fase klinis dimana sudah
didapati keluhan dan tanda-tanda gejala jantung.
Berdasarkan symptom (keluhan) terdapat klasifikasi fungsional dari N.Y.H.A (New York
Heart Association):
NYHA klas I : Penderita dengan kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas
fisik.
NYHA klas II : Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan
ringan aktivitas fisik. Merasa enak pada istirahat. Aktivitas fisik
sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnoe atau angina.
NYHA klas III : Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan
berat aktivitas fisik. Merasa enak pada istirahat.
NYHA KLAS IV : Penderita dengan kelainan jantung dengan akibat tidak mampu
melakukan aktivitas fisik apapun. Keluhan timbul meskipun dalam
keadaan istirahat.
Menurut guideline the American Heart Association/American College of Cardiology
pada tahun 2001, maka gagal jantung terbagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
- Tingkat A Pasien dalam resiko tinggi untuk mengalami gagal jantung di masa
yang akan datang namun belum memiliki kelainan fungsional atau
struktural jantung.
- Tingkat B Terdapat gangguan struktural jantung namun belum tampak gejala
apapun.
- Tingkat C Tampak gejala gagal jantung namun dapat dikontrol dengan
pengobatan farmakologis.
- Tingkat D Tahap lanjut dimana dibutuhkan perawatan rumah sakit, transplantasi
jantung atau perawatan paliatif.
Pada sistem kelas ini, terdapat kelas pre-gagal jantung yaitu pada tingkat A dimana
intervensi pengobatan dianggap dapat mencegah progresi hingga munculnya gejala.
Gambar 3.1. Deskripsi Hubungan antara Sistem Klasifikasi Gagal Jantung yang berbeda.(sumber: Pharmacoterapy Publication, 2003)
AHA = American Heart Association; NYHA = New York Heart Association; MI = Infark Miokard; LV = Ventrikel Kiri; HF = Gagal Jantung; PCWP = Tekanan Kapiler Pulmoner; CI = Indeks Jantung
III.2. Epidemiologi 3-4,7,24
Diperkirakan terdapat sekitar 23 juta orang mengidap gagal jantung di seluruh
dunia. American Heart Association memperkirakan terdapat 4,7 juta orang menderita
gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2000 dan dilaporkan terdapat 550.000 kasus
baru setiap tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa diperkirakan mencapai
1 – 2%. Namun, studi tentang gagal jantung akut masih kurang karena belum adanya
kesepakatan yang diterima secara universal mengenai definisi gagal jantung akut serta
adanya perbedaan metodologi dalam menilai penyebaran penyakit ini.
Meningkatnya harapan hidup disertai makin tingginya angka survival setelah
serangan infark miokard akut akibat kemajuan pengobatan dan penatalaksanaannya,
mengakibatkan semakin banyak pasien yang hidup dengan disfungsi ventrikel kiri yang
selanjutnya masuk ke dalam gagal jantung kronis. Akibatnya, angka perawatan di rumah
sakit karena gagal jantung dekompensasi juga ikut meningkat. Dari survei registrasi di
rumah sakit didapatkan angka perawatan pasien yang berhubungan dengan gagal jantug
sebesar 4,7% untuk perempuan dan 5,1 % untukk laki-laki. Secara umum, angka
perawatan pasien gagal jantung di Amerika dan Eropa menunjukkan angka yang semakin
meningkat.
Insidensi dan prevalensi gagal jantung meningkat secara dramatis sesuai dengan
peningkatan umur.19-24 Studi Framingham menunjukkan peningkatan prevalensi gagal
jantung, mulai 0,8% untuk orang berusia 50-59 hingga 2,3% untuk orang dengan usia 60-
69 tahun. Gagal jantung dilaporkan sebagai diagnosis utama pada pasien di rumah sakit
untuk kelompok usia lebih dari 65 tahun pada tahun 1993. Beberapa studi di Inggris juga
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi gagal jantung pada orang dengan usia lebih
tua.
III.3. Etiologi 24,25
Dalam menilai pasien dengan gagal jantung, penting untuk mengenali tidak hanya
penyebab yang mendasarinya tetapi juga penyebab yang memicu timbulnya gagal
jantung. Kelainan jantung akibat lesi bawaan atau didapat seperti stenosis katup aorta
dapat menetap selama bertahun-tahun dan tidak menimbulkan gangguan klinis. Namun
demikian, seringkali penampakan klinis gagal jantung muncul pertama kali selama
kejadian beberapa gangguan akut yang memberikan beberapa gambaran yang
memberikan beban tambahan pada miokard yang sudah mendapat beban berlebih dalam
waktu lama.
Jantung mungkin dapat mengkompensasi tapi tidak mempunyai cadangan
tambahan, dan penyebab pemicu menyebabkan kemunduran fungsi jantung yang lebih
jauh lagi. Pengenalan penyebab pemicu ini sangat penting, sebab peringanan yang cepat
dari penyebab ini dapat menyelamatkan hidup. Namun pada keadaan tanpa penyakit
jantung yang mendasari, gangguan akut ini saja biasanya tidak akan menyebabkan gagal
jantung. Hal-hal berikut yang dapat menjadi penyebab gagal jantung adalah emboli paru,
resiko) dan kelainan katup jantung (2-3x resiko). Gagal jantung pada subjek hipertensi
cenderung tetap terjadi meski tanpa melalui proses infark miokard. Hal ini menyingkap peran
penting dari disfungsi diastolik ventrikel pada patogenesis dari gagal jantung hipertensi.28
Selain itu, pengaruh aktivasi sistem saraf simpatik, yang dimediasi melalui stimulasi
norepinefrin dari sistem adrenergik, juga merupakan faktor penting pada progresi kontium
kardiovaskular. Peningkatan sistem saraf simpatis akan mengakibatkan peningkatan denyut
jantung, kebutuhan oksigen miokard dan menurunkan suplai darah ke miokard dengan
menurunkan waktu perfusi diastolik koroner. Pada hipertensi, dimana terjadi overload
hemodinamik, aktivasi sistem saraf simpatis ini akan lebih lanjut lagi mencetuskan proses
remodeling miokard.
Gambar 4.1. Progresi Hipertensi-Gagal jantung (sumber: Controversies in the management of
heart Failure, 1997).
IV. 1. Hipertrofi Ventrikel Kiri 28,29,30
IV. 1.1. Jenis Hipertrofi Ventrikel
Menurut Strauer didapatkan 3 jenis hipertrofi ventrikel kiri ysng
berhubungan dengan dimensi ruangan jantung, tegangan dinding dan fungsi
ventrikel sebagai akibat perbedaan patofisiologi dan latar belakang yang
menyebabkannya yaitu :
1. Hipertrofi konsentris
Dinding ventrikel menebal, masa bertambah sedangkan volume akhir diastolik
masih normal atau hanya sedikit bertambah dan rasio massa terhadap volume
akan meningkat.
2. Hipertrofi eksentris
Merupakan kelanjutan dari tipe konsentris dimana massa dan volume
ventrikel bertambah sedangkan tebal dinding tidak berubah.
3. Hipertrofi ireguler (tidak sepadan antara hipertrofi dengan dilatasi)
Hipertropi ini menyerupai kardiomiopati, dimana tebal dan massa ventrikel
kiri bertambah secara berlebihan dan tidak teratur sehingga ruang ventrikel
menjadi kecil dan rasio massa terhadap volume akan meningkat.
Gambar 4.2. Perbedaan antara hipertrofi eksentris (volume overload) dan konsentris (pressure overload). (Sumber: Garcia, Jose. Factors and Mechanism involved in LVH and the anti-hypertrophic role of nitric
oxide. 2008)
Gambar 4.3. Perubahan Ventrikel Kiri. (Sumber: Japanese Circulation Society, 2001)
Gambar 4.4. Pola Geometris dari Hipertrofi Ventrikel Kiri. (Sumber: Kaplan’s Clinical Hypertension 2006;4:133)
IV. 1.2. Perubahan Fungsional pada Hipertrofi Ventrikel Kiri
Perubahan struktur otot jantung pada hipertrofi ventrikel kiri dapat
mengurangi cadangan aliran darah koroner karena :
1. Penebalan tunika media arteriol, penurunan jumlah kapiler per satuan
miokard.
2. Perubahan ekstra vaskuler karena hipertropi miokard, penurunan kualitas
miokard karena fibrosis interstitial dan perivaskuler.
3. Arteriosklerosis akibat hipertensi menimbulkan oklusi arteri pericardial.
4. Penebalan dinding arteri mengurangi rasio lumen dengan dinding arteri dan
ukuran lumen arteri tidak rata.
5. Peningkatan diameter ventrikel kiri karena hipertropi miosit, deposit kolagen.
Fibrinosis dan matriks protein akan menimbulkan kompresi arteri koroner
dan kekakuan otot ventrikel.
Selanjutnya pada hipertrofi ventrikel kiri dapat terjadi gagal jantung melalui
proses berikut :
1. Peningkatan kerja otot jantung menimbulkan hipertropi dan dilatasi,
sedangkan suplai darah tidak mampu menyetarakan dengan massa otot
jantung, sehingga terjadi anoksia.
2. Hipertensi mempercepat perkembangan aterosklerosis koroner yang
mengakibatkan insufisiensi aliran darah koroner.
3. Hipertensi yang lanjut akan menganggu aliran darah ginjal dan fungsi eksresi
ginjal sehingga terjadi penurunan eksresi natrium dan air.
IV. 1.3. Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Hipertensi
Hipertensi merupakan prekursor utama dari terjadinya hipertrofi ventrikel
kiri. Hipertrofi ventrikel kiri ditemukan pada 50% hipertensi sedang dan hampir
pada semua penderita yang dirawat karena hipertensi berat, sedangkan dengan
dengan hipertensi ringan memiliki resiko 2-3x lipat dari tampaknya gambaran
hipetrofi ventrikel kiri pada EKG dibandingkan dengan subjek normotensi,
dimana resiko menjadi 10x lipat pada subjek dengan tingkat hipertensi lebih berat.
Hubungan antara peningkatan tekanan darah dengan peningkatan gambaran
ekokardiografik massa ventrikel kiri juga telah didokumentasikan pada studi
epidemiologis. Prevalensi ekokardigrafik hipetrofi ventrikel kiri berkisar dari 16%
(pada pria) hingga 19% (pada wanita) di populasi umum dan naik hingga 60%
pada subjek hipertensi.
Kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan kematian jantung mendadak
hingga lima kali dibandingkan dengan penderita hipertensi tanpa hipertrofi
ventrikel kiri, sehingga dalam penatalaksanaan hipertensi, program pencegahan
hipertrofi ventrikel kiri merupakan tujuan utama selain penurunan tekanan darah.
Hipertrofi ventrikel kiri memperburuk sirkulasi koroner karena menurunkan
cadangan koroner dan gangguan perfusi miokard.
Jantung yang mendapatkan tambahan beban hemodinamik akan mengalami
kompensasi melalui proses mekanisme kompensasi Frank Starling, peningkatan
massa otot jantung dan aktifasi mekanisme neurohormonal baik sistem simpatis
ataupun melalui hormon rennin angiostensin.
Hipetrofi ventrikel kiri pada hipertensi sebenarnya merupakan fenomena
yang kompleks, dimana tidak hanya melibatkan faktor hemodinamik seperti
beban tekanan, volume, denyut jantung yang berlebihan dan peningkatan
kontraktilitas dan tahanan perifer, tetapi juga faktor non hemodinamik seperti
usia, kelamin, ras, obesitas, aktifitas fisik, kadar elektrolit dan hormonal.
Terdapat dua patofisiologi utama yang menyebabkan hipertofi ventrikel kiri,
yaitu regangan mekanik dan faktor neurohormonal. Regangan mekanik terjadi
karena hipertensi memaksa ventrikel kiri untuk beradaptasi dengan meningkatkan
massa otot untuk mempertahankan curah jantung yang adekwat dari adanya
peningkatan resistensi arteri.
Secara skematis, perjalanan hipertensi dapat kita liat seperti berikut :
Tingkat Hipertensi
Volume Plasma
Kontraksi Otot
Jantung
Curah Jantung
Tahanan Perifer
Hipertrofi Ventrikel
Aterosklerosis
Awal normal - -
Definitif Normal / Normal / + faktor resiko
Gagal Jantung
menetap
Tabel 4.1. Perubahan Kardiovaskular pada Hipertensi (sumber: Reichek N, Devereux RB, Lef ventricular hypertrophy relationship of anatomic, echocardiograpic and electrocardiograpic findings. Circulation 1981 :
1391- 8.)
Dengan peningkatan tahanan perifer dan beban sistolik ventrikel kiri,
jantung mengalami hipertrofi karena aktivasi simpatis untuk meningkatkan
kontraksi miokard. Norepinefrin telah terbukti menstimulasi produksi protein sel
dalam kondisi tergantung dosis, dimana blockade reseptor norepinefrin dengan
peningkatan konsentrasi antagonis - dan - dari sistem adrenergik dihubungkan
dengan penurunan produksi protein. Efek dari sistem saraf simpatis terhadap
fisiologi miosit melalui aktivasi reseptor 1- dan 1/2-, memainkan peranan
penting dalam memediasi terjadinya hipetrofi ventrikel kiri pada hipertensi.
Sistem renin angiostensin juga berperan penting dengan merangsang
proliferasi dan migrasi otot polos oleh receptor Angiotensin I. Angiostensin II
juga merangsang pertumbuhan kolagen sebagai mediator hormon Transforming
Growth Factor Beta ( TGF-). Di sisi lain, angiostensin bersifat vasokontriktor
dan meningkatkan reabsorbsi garam dan air.
Pada hipertensi ringan curah jantung mulai meningkat, frekuensi denyut
jantung dan kontraktilitas bertambah sedangkan tahanan perifer masih normal.
Peningkatan curah jantung oleh proses autoregulasi menimbulkan peningkatan
tonus pembuluh darah perifer. Dengan lamanya hipertensi terjadi perubahan
struktural pembuluh darah yang menyebabkan tahanan perifer meninggi secara
persisten dan akhirnya menyebabkan kerja jantung bertambah berat.
Proses ini dapat disertai kelainan pembuluh koroner dengan penurunan
cadangan koroner akan menimbulkan iskemik atau infark miokard sebagai akibat
tambahan yang mempercepat gagal jantung atau kematian jantung mendadak.
Hipertrofi ventrikel kiri memiliki tiga konsekuensi terhadap fungsi ventrikel
kiri :
1. Sebagai faktor resiko kuat untuk terjadi infark miokard dan disfungsi sistolik
ventrikel. Observasi ini konsisten pada penemuan hipetrofi menggunakan
EKG ataupun echo. Pada Framinghang Heart Study, adanya gambaran
hipetrofi ventrikel kiri pada EKG dihubungkan dengan peningkatan resiko
terjadi infark miokard hingga 2-5x lipat selama 30 tahun follow up, tanpa
melihat kejadian hipertensinya. Hubungan antara hipertofi ventrikel kiri dan
infark miokard ini mungkin berubungan dengan peningkatan kebutuhan
oksigen akibat peningkatan massa miokard, berkurangnya cadangan koroner,
atau gabungan dari kedua faktor tersebut.
2. Predisposisi dari disfungsi diastolik ventrikel dan atrium. Kelainan pada
pengisian diastolik ventrikel kiri telah secara konsisten ditemukan pada
penderita hipertensi dewasa. Pola pengisian ventrikel yang digambarkan
dengan adanya gangguan aliran diastolik awal dan peningkatan pengisian
diastolik akhir sering tampak pada pasien hipertensi. Pola pengisian ventrikel
seperti ini mengindikasikan kelainan relaksasi ventrikel kiri tanpa adanya
perubahan pada komplians ventrikel dan berhubungan dengan peningkatan
massa ventrikel kiri, perubahan kekakuan miokard, fibrosis miokard dan
penyesuaian geometris ruang yang merupakan mekanisme lainnya yang juga
terlibat.
3. Hipertrofi ventrikel kiri mungkin berhubungan dengan disfungsi sistolik
ventrikel meskipun tanpa terjadinya infark miokard. Meskipun penurunan
bermakna dari fraksi ejeksi ventrikel kiri saat istirahat jarang terlihat, kelainan
pada fungsi sistolik yang lebih sensitif (seperti pemendekan fraksi dinding
tengah) terlihat pada 15% pasien hipertensi. Lebih lanjut, pasien hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang normal
saat istirahat mungkin telah melalui aktivitas yang menginduksi disfungsi
sistolik ventrikel.
Hipetrofi ventrikel kiri merupakan faktor resiko kardiovaskular yang
mandiri dan telah terbukti meningkatkan resiko kelainan koroner, stroke, gagal
jantung dan lainnya. Untuk itu, pencegahan dari regresi hipetrofi ventrikel kiri
merupakan tujuan terapi yang sangat penting.
IV. 2. Miokard Infark
Hubungan antara tekanan darah dan miokard infark telah dikonfirmasi melalui
berbagai studi observasional prospektif; dimana resiko terjadinya infark miokard
meningkat dengan peningkatan tekanan darah (baik sistolik maupun diastolik), pada
semua kelompok usia yang dipelajari dan tidak dipengaruhi jenis kelamin. Didapat
hubungan log linier yang konsistensi dan kuat antara tekanan darah dan resiko penyakit
koroner dalam analisis terpusat dari hampir setengah juta subjek yang diikuti rata-rata
sekitar 10 tahun. Percobaan klinis juga mendukung data observasional ini dimana sebuah
meta-analisis dari 17 percobaan klinis acak yang melibatkan 37.653 subjek hipertensi
melaporkan adanya penurunan 15% dari insiden infark miokard pada subjek yang diobati
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hasil dari dua percobaan klinis pada subjek
hipertensi lanjut usia menggambarkan keuntungan dari penurunan tekanan darah
memiliki efek yang lebih besar pada kelompok lanjut usial pada percobaan ini dilaporkan
terjadi penurunan kasus koroner sebanyak 19-28%.28
Paparan kardiovaskular berupa hipertensi bergantung pada usia dan seiring dengan
ada-tidaknya faktor resiko lain. Meskipun resiko relatif dari infark miokard lebih besar
pada subjek hipertensi berusia paruh baya, resiko absolute dua kali lebih besar pada
kelompok lanjut usia. Pada tingkat tekanan darah berapapun, resiko infark miokard lebih
lanjut diperbesar oleh keberadaan faktor resiko lain seperti diabetes mellitus, merokok
dan dislipidemi.28
Infark miokard berhubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel dalam berbagai
tingkat tergantung pada ukuran infark. Secara umum, fraksi ejeksi rata-rata lebih rendah
pada pasien dengan infark pertama di daerah anterior dan infark gelombang Q
dibandingkan dengan mereka yang memiliki infark awal di daerah posterior dan infark
gelombang non-Q. Pada zaman pretrombolitik, tingkat insiden kumulatif untuk gagal
jantung yang mengikuti infark miokard adalah 2-3% per tahun. Setelah ditemukannya
terapi trombolitik, proporsi pasien dengan disfungi sistolik yang signifikan (fraksi ejeksi
<40%) yang mengikuti kejadian infark miokard sekitar 15-20%.28
Kejadian disfungsi ventrikel setelah infark miokard dapat dikaitkan dengan
perubahan struktur jantung akibat remodeling ventrikel kiri. Dilatasi ventrikel kiri setelah
infark berhubungan dengan penurunan fungsi ventrikel kiri secara umum. Faktor resiko
dilatasi ventrikel kiri yang progresif setelah infark miokard mencakup ukuran infark yang
besar, lokasi infark di anterior, dan infark oklusi pada arteri dan hipertensi. 28
Terjadinya gagal jantung pada pemantauan selanjutnya berhubungan erat dengan
fraksi ejeksi ventrikel setelah infark miokard. Pada subjek dengan fraksi ejeksi lebih
besar dari 40%, insiden kumulatif gagal jantung adalah 5% per tahun. Pada pasien
dengan fraksi ejek kurang dari 40%, kejadian gagal jantung rata-rata 10% per tahun.
Terapi dengan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) menurunkan tingkat
kejadian hingga 20-30%.28
Infark miokard biasanya dihubungkan dengan disfungsi sistolik ventrikel,
sementara disfungsi diastolik ventrikel dapat dihubungkan dengan fase akut infark dan
lanjutannya. 28
IV. 3. Rentang Waktu Perjalanan Penyakit
Progresi hipertensi menjadi hipertrofi ventrikel kiri dan kemudian berkembang lagi
menjadi gagal jantung biasanya muncul setelah beberapa tahun hingga dekade.
Sementara, untuk infark miokard yang terjadi pada pasien hipertensi, rentang waktu
perjalanan penyakit bervariasi tergantung pada ukuran infark.29
Remodeling ventrikel setelah infark miokard berbeda dibandingkan remodeling
hipertrofi ventrikel kiri. Perbedaan ini tampak pada sifat mendadak onsetnya, kecepatan
evolusi dan fase bifasik (ekpansi yang diikuti oleh hipertrofi dan dilatasi). Disfungsi
ventrikel asimptomatis setelah infark miokard terjadi seiring waktu hingga terjadinya
gagal jantung. Gagal jantung yang lebih ringan pada gilirannya akan menajdi gagal
jantung berat seiring waktu. 29
IV. 4. Pengaruh Pengobatan Hipertensi pada Perjalanan Penyakit dan Resiko Gagal
Jantung
Penelitian terbaru telah menggaris-bawahi keuntungan pengobatan hipertensi pada
resiko gagal jantung dan insiden hipertrofi ventrikel kiri. Dua penelitian terpisah dengan
kontrol plasebo melaporkan penurunan hingga sekitar 50% kejadian gagal jantung pada
pasien yang diobati dibandingkan dengan subjek kontrol. Sebuah analisa terpusat dari
empat percobaan klinis yang menyediakan informasi mengenai terjadinya hipertrofi
ventrikel kiri pada EKG telah melaporkan penurunan hingga 35% dari insiden hipertrofi
ventrikel kiri baru. Observasi ini memperjelas keuntungan pengobatan hipertensi pada
perjalanan penyakit dan hasil akhir klinis dari gagal jantung. 28
BAB V
KESIMPULAN
1. Hipertensi berperan penting dalam proses terbentuknya gagal jantung.
Hipertensi telah diidentifikasi sebagai faktor resiko utama dari terbentuknya hipertrofi
ventrikel kiri dan infark miokard, yang keduanya merupakan penyebaba utama dari
disfungsi sistolik ventrikel. Hipertrofi ventrikel kiri sendiri dapat menyebabkan disfungsi
diastolik ventrikel yang juga merupakan faktor resiko dari infark miokard. Disfungsi
ventrikel kiri, baik sistolik maupun diastolik, dapat menyebabkan gagal jantung.
2. Hipertrofi ventrikel kiri dimulai dengan peningkatan kontraktilitas miokard yang
dipengaruhi oleh sistem saraf adrenergik sebagai respon neurohormonal, kemudian
diikuti dengan peningkatan aliran darah balik vena karena vasokontriksi di pembuluh
darah perifer dan retensi cairan oleh ginjal. Bertambahnya volume darah dalam vaskuler
akan meningkatkan beban kerja jantung, kontraksi otot jantung akan menurun karena
suplai aliran darah yang menurun dari aliran koroner akibat arteriosclerosis dan
berkurangnya cadangan aliran pembuluh darah koroner. Proses perubahan di atas terjadi
secara simultan dalam perjalanan penyakit hipertensi dalam mewujudkan terjadinya gagal
jantung.
3. Pengobatan hipertensi sejak awal akan menurunkan angka kematian akibat gagal jantung
Mengingat prognosis gagal jantung sangat buruk, intervensi pada tahap pre-klinis dari
gagal jantung sepertinya merupakan strategi terbaik untuk menurunkan angka kematian
dan kesakitan akibat gagal jantung. Salah satu tahapan pre-klinis tersebut adalah pada
keadaan hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bustan, N. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009.
3. World Health Organization. Technical Report Series. WHO: 2003.
4. World Health Organization. Evidence and Health Information. WHO: 2008.
5. World Health Organization. Health Information Worldwide. WHO: 2007.
6. Yahya, A.. Sebelum Jantung Anda Berhenti Berdetak. Bandung: Kaifa, 2005.
7. American Heart Association, NHLBI, NHCS. Fact Sheet. USA: 2008.
8. Anonimus. Jantung. Wikipedia: 2010.
9. Sherwood, L. Human Physiology: From Cells to Systems. 5th ed. Jakarta: 2007.
10. Balai Informasi Teknologi LIPI. Organ Sistem Peredaran Darah. 2009.
11. Kaplan, Norman M. Clinical Hypertension, 9th ed. USA: 2000.
12. Sloane, Ethel. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC, 2003.
13. E.J. Kapojos. Ilmu Penyakit Dalam, jilid II. Jakarta: FK UI, 2001.
14. World Health Organization. Hypertension Control. Geneva: 1996.
15. Dekker, E. Hidup dengan Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996.
16. Beevers, Gareth, Gregory Y.H.. The Pathophysiology of Hypertension from British
Medical Journal. 2001.
17. U.S. Department of Health and human Services. the Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High