BAB I PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering ditemukan,terutama dinegara maju. Penyakit ini pada umumnya dimulai sejak masa anak-anak, asma merupakan suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang meyebabkan peradangan. Biasanya penyempitan ini sementara, penyakit ini paling banyak menyerang anak dan berpotensi untuk menggangu pertumbuhan dan perkembangan anak. (1) Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak- anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat mematikan. Lebih dari seratus juta penduduk di seluruh dunia menderita asma dengan peningkatan prevalensi pada anak – anak. Asma merupakan gangguan saluran nafas yang sangat kompleks, tidak memiliki sifat yang khas, baik gambaran klinis, faktor pencetus proses perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat bervariasi. Meskipun begitu, asma memiliki ciri klasik berupa mengi (wheezing), bronkokontriksi, terjadi sembab mukosa dan hipersekresi. (2) Penelitian epidemiologi di berbagai negara mengenai prevalensi asma menunjukkan angka yang sangat bervariasi. Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering ditemukan,terutama
dinegara maju. Penyakit ini pada umumnya dimulai sejak masa anak-anak, asma merupakan
suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap
rangsangan tertentu yang meyebabkan peradangan. Biasanya penyempitan ini sementara,
penyakit ini paling banyak menyerang anak dan berpotensi untuk menggangu pertumbuhan dan
perkembangan anak.(1)
Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di hampir
semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang
ringan sampai berat, bahkan dapat mematikan. Lebih dari seratus juta penduduk di seluruh dunia
menderita asma dengan peningkatan prevalensi pada anak – anak. Asma merupakan gangguan
saluran nafas yang sangat kompleks, tidak memiliki sifat yang khas, baik gambaran klinis, faktor
pencetus proses perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat bervariasi.
Meskipun begitu, asma memiliki ciri klasik berupa mengi (wheezing), bronkokontriksi, terjadi
sembab mukosa dan hipersekresi.(2)
Penelitian epidemiologi di berbagai negara mengenai prevalensi asma menunjukkan
angka yang sangat bervariasi. Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak
dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%. (6)
1
BAB II
ANATOMI SISTEM RESPIRASI
I. ANATOMI
Sistem respirasi manusia terdiri dari bagian superior dan bagian inferior. Bagian superior
yaitu hidung dan faring, sedangkan bagian inferior yaitu laring, trakea, bronkus dan alveolus.
Pulmo (Paru – paru) adalah organ manusia yang berperan penting dalam system respirasi,
berbentuk kerucut dan berada di rongga torax, serta dilapisi oleh 2 membran yaitu membran
viseral dan membran parietal. Pulmo terbagi menjadi pulmo dextra (kanan) dan pulmo sinistra
(kiri).
Gambar 1. Anatomi Sistem Respirasi
2
Pulmo Dextra
Pulmo dextra terdiri dari 3 lobus, yaitu :
a) Lobus superior
b) Lobus madius
c) Lobus inferior
Lobus superior dengan lobus medius dipisahkan oleh fissura horizontalis, sedangkan
yang memisahkan lobus superior dan lobus medius dengan lobus inferior adalah fissura obliqua.
Pada hilus paru kanan terdapat struktur – struktur dibawah ini:
a) Bronkus pinsipalis dan cabang lobus superior disebelah belakang atas hilus
b) Arteri pulmonalis disebelah depan atas hilus
c) Arteri bronkialis
d) Noduli limpatici bronkopulmonalis
Pulmo Sinistra
Pulmo sinistra terdiri dari 2 lobus, yaitu:
a) Lobus superior
b) Lobus inferior
Lobus superior dan lobus inferior dipisahkan oleh fissura obliqua. Pada hilus kiri terdapat
struktur – struktur :
a) 2 bronkus lobaris di sebelah belakang hilus
b) Arteri pulmonalis disebelah atas hilus
c) 2 vena pulmonalis disebelah depan dan bawah hilus
d) Arteri bronkialis
e) Noduli lympatici bronkopulmonalis
3
Gambar 2. Perbedaan lobus sinistra dan lobus dextra
Tabel 1. Perbedaan Lobus pulmo dextra dan sinistra
Setiap paru - paru mendapat suplai darah dari satu arteri pulmonalis (langsung dari
ventrikel kanan) yang kemudian bercabang menjadi arteri lobaris dan arteri segmentalis untuk
memperdarahi masing – masing lobus dan segmen. Pembuluh darah balik melalui 2 vena
4
pulmonalis dan masuk ke atrium kiri,serta di persyarafi oleh nervous vagus dan trunkus
simpatikus.
Paru – paru dilapisi oleh membrane tipis dan transparan yang disebut pleura. Pleura
mempunyai 2 lapisan yaitu lapisan visceral di bagian dalam dan lapisan parietal di bagian luar.
Pleura visceral benar – benar dekat dengan organ paru sedangkan pleura prietalis menutupi
permukaan dalam dinding dada. Kedua lapisan ini melanjutkan diri ke hilus paru. Diantara kedua
lapisan ini terdapat ruang yang normalnya berisi cairan sebagai pelumas, agar kedua lapisan
tersebut bisa bergerak dengan mudah. Bila terdapat banyak cairan di rongga pleura disebut efusi
pleura. Hal ini merupakan suatu hal patologis, bila cairan berupa pus (nanah) disebut empiema.
Jika rongga pleura berisi udara misalnya akibat tertusuk benda tajam, keadaan ini disebut
pneumotorax.
5
BAB III
ASMA BRONKIAL PADA ANAK
I. DEFINISI
Asma merupakan suatu penyakit inflamasi kronis pada saluran nafas yang disebabkan
oleh aktifitas eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T, disertai oleh kerusakan pada
mukosa saluran napas. Hiperesponsive saluran napas merupakan karakteristik dari asma yang
disebabkan oleh kerusakan pada epitel saluran pernapasan karena suatu proses inflamasi, bisa
disebabkan oleh reaksi histamine, asetil kolin dan lainnya. Asma pada anak dapat menyebabkan
sesak napas berulang disertai dengan paroksismal wheezing. Sesak napas dapat sembuh secara
spontan dan jarang menyebabkan kematian. Asma yang dicetuskan oleh suatu aktivitas juga
dianggap sebagai fenomena yang terkait dengan hiperresponsive saluran napas. (3)
Sejalan dengan proses inflamasi kronis, perlukaan epitel bronkus merangsang proses
reparasi/perbaikan saluran respiratori yang menghasilkan perubahan structural dan fungsional
yang menyimpang pada saluran respiratori. Perubahan ini dikenal dengan istilah remodeling
saluran respiratori (airway remodelling). Remodeling dapat mempengaruhi prognosis dari asma.
.(3,4)
II. FAKTOR RISIKO
Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma,
berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor tersebut
diantaranya adalah : (10)
1. Jenis kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa prevalensi asma pada anak
laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan. Namun di benua
Amerika dilaporkan belakangan ini tidak ada perbedaan prevalens asma antara anak laki-laki
(51,1 per 1000) dan anak perempuan (56,2 per 1000). Menurut laporan MMM (2001) prevalens
6
anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan dengan ratio 3:2 pada usia 6 – 11 tahun
dan meningkat menjadi 8:5 pada usia 12 – 17 tahun.
2. Usia
Umumnya pada kebanyakan asma persisten, gejala seperti asma pertama kali timbul pada
usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan. Dari Melbourne (Australia),
dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat serangan mengi pada usia < 6
bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak
dengan asma persisten terbebas dari gejala asma pada usia 28-35 tahun, 60% tetap menunjukkan
gejala seperti saat anak-anak dan sisanya masih sering mendapat serangan meskipun lebih
ringan daripada saat masa anak-anak.
3. Riwayat atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan beratnya
asma. Menurut laporan dari Inggris pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi,
akan terjadi serangan resmi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah mengalami hay fever,
rhinitis alergi, atau eksema. Eksema persisten berhubungan pula dengan gejala asma persisten.
Selama berabad-abad telah diketahui bahwa asma merupakan penyakit yang diturunkan dalam
keluarga.11 Telah dibuktikan dalam berbagai penelitian bahwa orang tua asma merupakan
prediktor yang kuat terhadap kejadian asma pada anaknya.12 Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kejadian asma pada anak yang orang tuanya memiliki riwayat asma adalah 72,7 % dan
terdapat hubungan antara riwayat asma pada orang tua dengan kejadian asma pada anak (p <
0,001). Celedon dkk 13 mendapatkan kejadian asma sebesar 67,5 % pada anak yang orang
tuanya memiliki riwayat asma. Banyak penelitian membuktikan adanya hubungan bermakna
antara riwayat atopi dalam keluarga dengan kejadian asma pada anak. Kusuma dkk 14
mendapatkan 46,4 % anak asma mempunyai ayah atau ibu menderita penyakit atopi selain
asma, sedangkan Asterina dkk15 mendapatkan 32,9% anak asma mempunyai riwayat keluarga
atopi selain asma. Hasil penelitian ini mendapatkan 45,6% anak dari orang tua penderita
penyakit atopi selain asma menderita asma. Analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan
antara riwayat penyakit atopi pada orang tua selain asma dan kejadian asma pada anak.
Penderita asma seringkali mempunyai penyakit atopi lain seperti rinitis alergi dan dematitis
atopi yang dikatakan sebagai faktor risiko asma.16 Penelitian ini mendapatkan 47% anak
7
dengan penyakit atopi selain asma juga menderita asma. Analisis statistic menunjukkan adanya
hubungan bermakna antara penyakit atopi pada anak selain asma dengan kejadian asma.
4. Lingkungan
Adanya allergen di lingkungan hidup anak meningkatkan risiko penyakit asma. Allergen
yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit, binatang piaraan,
tungau debu rumah, jamur, dan kecoa (MMM, 2001).
5. Ras
Menurut laporan dari Amerika Serikat didapatkan bahwa prevalens asma dan kejadian
serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih (MMWR, 2000; Steyer dkk,
2003). Pada tahun 1993 – 1994 rata – rata prevalens adalah 57,8 per 1000 populasi kulit hitam,
50,8 per 1000 pupolasi kulit putih. Sedangkan untuk ras lain adalah 48,6 per 1000. Tingginya
prevalens tersebut tidak dipengaruhi oleh besarnya pendapatan maupun pendidikan. Selain
prevalens, kematian anak pada ras kulit hitam juga lebih tinggi yaitu, 3,34 per 1000 berbanding
0,65 per 1000 pada anak kulit putih. (Steyer, dkk 2003).
6. Asap rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak
terpajan asap rokok. Risiko terpajan asap rokok sudah dimulai sejak janin masih berada dalam
kandungan, umumnya berlangsung terus sampai anak dilahirkan dan menyababkan
meningkatnya risiko. Pada anak yang terpajan asap rokok, kejadian eksaserbasi lebih tinggi,
anak lebih sering tidak masuk sekolah, dan pada umumnya fungsi faal parunya lebih buruk
dibandinga anak yang tidak terpajan asap rokok.
7. Outdoor air pollution
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat dioksida, karbon
monoksida, atau SO2 diduga berperan dalam penyakit asam, meningkatnya gejala asma tetapi
belum didapatkannya bukti yang disepakati. Beberapa penelitian di Eropa mendapatkan bahwa
lingkungan pertanian dan peternakan memberikan efek proteksi bagi penyakit asma. Pada anak-
anak yang cepat terpajan dengan lingkungan tersebut, kejadian asam rendah. Prevalens paling
rendah pada anak-anak yang ditahun pertama usianya kontak dengan kandang binatang dan
pemerahan susu. Efek proteksi belum terungkap. Namun secara teoritis diduga bahwa adanya
pajanan terhadap endotoksin sebagai komponen bakteri dalam jumlah banyak dan waktu yang
8
dini mengakibatkansistem imun anak terangsang melalui jejak Th1. Sata ini teori tersebut
dikenal sebagai Hygiene hypothesis (Guilbert, 2003).
8. Infeksi saluran napas
Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan terbalik antara atopi (termasuk asma)
dengan infeksi respiratorik. Penelitian di Jerman menunjukan adanya penurunan prevalens asma
sebanyak 50% pada anak usia 7 tahun yang saat bayi sering mengalami rhinitis. Penelitian di
Highlands manunjukkan bahwa kelompok anak yang sering terserang infeksi respiratorik
dengan prevalens asma masih merupakan kontroversi. Namun hal ini tidak berlaku pada infeksi
respiratory syncytial virus (RSV) di usia dini yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan
bawah. Infeksi RSV merupakan factor risiko yang bermakna untuk terjadinya mengi di usia 6
tahun. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa infeksi virus berulang yang tidak
menyebabkan infeksi respiratorik bawah dapat memberikan anak proteksi terhadap asma
(Guilbert, 2003)
III. FAKTOR PENCETUS
Tabel 2. Antigen Inhalasi dan Makanan
Inhalasi Makanan
1. Debu rumah
2. Tungau
3. Cedar pollen
4. Kucing
5. Anjing
6. Jamur (Alternaria, Aspergillus,
Cladosporium, Penicillium)
7. Serbuk dari lain (cypress, orchad grss,
ragweed, mugwort)
8. Binatang lain (hamster, marmot, kelinci,
dll)
9. Lain-lain (kecoa, nyamuk)
1. Putih telur, kuning telur, ovomucoid
2. Susu sapi, casein, a-lactalbumin, B-
lactoglobulin,
3. Gandum
4. Sereal (gandum, nasi, soba)
5. Ikan
6. Buah-buahan
9
Gambar. 2 Faktor Pencetus Asma
IV. PATOFISIOLOGI
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul
mendadak , dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama
timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma
adalah untuk mengatasi bronkospasme.
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas,
melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan
reaktivitas saluran napas.Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi
eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik.
Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan
manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi
memberikan kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa.
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma. Ig E melekat
10
pada Fc reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari
alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi
sel mast, dilepaskan mediator-mediator : histamin, leukotrien C4(LTC4), prostaglandin
D2(PGD2), tromboksan A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot
bronkus, hipersekresi kelenjar, oedema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan
akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini
akan segera pulih kembali( serangan asma hilang) dengan pengobatan.
Gambar 3. Patogenesis asma
Setelah 6- 8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma lambat (late
asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang diproduksi oleh sel mast dan
sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan sel-sel radang : eosinofil, basofil, monosit dan
limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th), limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya
dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL – 3 dan granulocyte –
macrophage colony – stimulating factor (GM – CSF), Thl terutama memproduksi IL – 2, IF
gamma dan TNF beta sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma,
11
yaitu IL – 4, IL – 5, IL – 9, IL – 13, dan IL – 16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung
jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat . Masing –masing sel radang
berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4, Eosinophil
Peroxidase (EPX), Eosinophil Cathion Protein (ECP) dan Major Basic Protein (MBP). Mediator-
mediator tersebut merupakan mediator inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Sel
basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2. Mediator tersebut dapat menimbulkan
bronkospasme. Sel makrofag mensekresi IL8, platelet activating factor (PAF), regulated upon
activation novel T cell expression and presumably secreted (RANTES) .Semua mediator diatas
merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses
inflamasi. Mediator inlamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga
bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara klinis,
gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan
jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang
adekuat.
Gambar 4. Patogenesis Asma
12
Gambar 5. Patofisiologi Asma
REMODELLING
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses
reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair.
Kerusakan epitel bronkus adalah akibat dilepaskannya sitokin dari sel inflamasi seperti eosinofil.
Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas juga memproduksi sitokin dan kemokin seperti
eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-5, juga factor pertumbuhan dan mediator lipid, sehingga
mengakibatkan penumpukan kolagen di lamina propia.(5)
Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil
Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami
hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi
pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening),
hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan
semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen
bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.(5)
13
Gambar 6. Remodelling dan Inflamasi pada Asma
(Sumber : GINA 2002)
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel
bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak
diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi
saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian
terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata
ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa
proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila
intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat
untuk mencegah terjadinya proses remodeling. (5)
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti