Page 1
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
Page 2
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Setiap manusia memiliki self (diri) yang didefinisikan sebagai identitas spesifik
dari individu. Self merupakan sebuah hasil konstruksi realitas yang merupakan
aspek penting yang memberi kontribusi bagi komunikasi interpersonal yang
dilakukan oleh setiap individu. Maka dari itu, individu perlu mengembangkan
dirinya karena self tidak muncul begitu saja ketika seseorang lahir tetapi di sisi lain
pembentukan self dalam diri individu dipengaruhi oleh proses komunikasi yang
dengan kata lain maka terdapat hubungan timbal balik antara komunikasi
interpersonal dan diri seseorang (self).
Diri seseorang terus berkembang sesuai dengan konstruksi dari lingkungan
soial yang ada di sekitarnya. Mengembangkan pemahaman mengenai diri ini
dilakukan melalui proses berkomunikasi dengan orang lain, yang mana proses
komunikasi membantu seseorang dalam mengenal dan memahami diri dengan
belajar mengenai pandangan dan perspektif orang lain. Menurut DeVito (2014, h.
59) disebutkan terdapat tiga aspek penting dari diri seseorang (self), yaitu self-
concept (konsep diri), self-esteem (nilai diri), self-awareness (kesadaran diri).
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 3
2
Ketiga bagian besar ini tidak terpisahkan dan memberikan kontribusi saat kita
memberikan persepsi serta kesan terhadap orang lain dan begitu juga sebaliknya.
Proses berkomunikasi ini biasa pertama kali dimulai dari dalam keluarga,
tempat di mana seseorang belajar mengenai orangtua, saudara, dan anggota
keluarga yang memandang dirinya. Kemudian berlanjut ketika seseorang keluar
dari lingkungan keluarga berinteraksi dengan guru dan teman sebaya, yang dari
proses tersebut akan menambahkan perspektif mengenai diri. Begitu juga
kelanjutan seterusnya ketika seseorang masuk dalam dunia kerja, yang belajar
bagaimana rekan kerja, atasan, pelanggan, klien melihat dirinya sebagai karyawan.
Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang hidup kita sebagai manusia berinteraksi
dengan orang di sekitar, maka kita akan menerima dan memasukkan banyak
perspektif ke dalam identitas diri, dan mereka orang lain yang berpengaruh tersebut
juga akan menjadi bagian dari diri, yang memberikan pandangan mengenai
bagaimana kita melihat diri kita (Wood, 2013, h. 44).
Menurut Griffin (2015, h. 6), kegiatan berkomunikasi merupakan kegiatan yang
sering ditemui baik berkomunikasi secara verbal maupun nonverbal. Manusia
sebagai makhluk sosial berkomunikasi dengan sendirinya untuk pemenuhan
kebutuhannya. Komunikasi merupakan sebuah proses relasional dalam
menciptakan dan menafsirkan pesan yang didapat sebagai tanggapan atas pesan
yang kita pahami.
Komunikasi interpersonal merupakan salah satu jenis komunikasi yang paling
sering terjadi dan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari yang
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 4
3
dapat membantu perkembangan kepribadian seseorang, yang melalui dialog-dialog
internal, dapat mengingatkan diri mengenai perspektif orang lain dan bagaimana
mereka melihat kita. Dijelaskan oleh Wood (2013, h. 13) bahwa komunikasi
interpersonal (interpersonal communication) merujuk pada komunikasi
antarmanusia yang terjadi secara langsung antara dua orang. Komunikasi
interpersonal ada sebagai rangkaian kesatuan mulai dari impersonal sampai sangat
personal.
Kemampuan komunikasi interpersonal adalah kunci dari efektivitas interaksi.
Komunikasi interpersonal adalah nyawa dari hubungan personal yang bermakna.
Salah satu faktor yang memengaruhi seseorang dalam berkomunikasi dan
berperilaku adalah konsep diri, yang merupakan sebuah persepsi kita tentang
bagaimana orang lain melihat diri kita yang terdiri dari perasaan dan pikiran kita
tentang: Kekuatan dan kelemahan kita, kemampuan dan keterbatasan kita, aspirasi
dan pandangan hidup (DeVito, 2014, h. 69).
Konsep diri memiliki sifat yang multidimensional karena terdapat banyak
dimensi dan aspek yang terkait seperti gambaran mengenai kondisi fisik,
kemampuan intelektual, kondisi emosional dan juga lingkungan sosial di mana kita
terlibat interaksi di dalamnya. Wood (2013, h. 56) mengatakan, konsep diri dalam
lingkungan sosial juga mencakup peran sosial yang kita jalankan, misalnya peran
sebagai anak, sebagai siswa, sebagai pekerja, sebagai orang tua, atau sebagai
pasangan suami istri. Sebagai manusia kita juga memiliki konsep moral yang terdiri
atas etika dan keyakinan spiritual. Dalam pengertian ini maka meski kita seringkali
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 5
4
menggunakan kata diri untuk merujuk pada kesatuan tunggal, pada kenyataannya
konsep diri terdiri atas banyak dimensi.
Salah satu pengaruh utama pada pembentukan diri adalah komunikasi yang
dilakukan dengan teman sebaya. Sekolah merupakan lingkungan pendidikan
sekunder yang bagi anak-anak dan remaja yang sudah bersekolah, lingkungan yang
setiap hari dimasukinya selain rumah adalah sekolahnya. Komunikasi dengan
teman sebaya dapat banyak ditemui dan dilakukan ketika seorang berada di
lingkungan sekolah yang dibuktikan seperti seorang siswa yang sudah duduk di
tingkat SMP dan SMA, dan merujuk pada jam belajar sekolah di Indonesia, dalam
sehari siswa menghabiskan kurang lebih enam hingga tujuh jam untuk berada di
sekolah. Maka tidak mengherankan kalau sekolah memiliki pengaruh yang cukup
besar pada perkembangan diri anak atau remaja karena hampir sepertiga dari waktu
dalam sehari dihabiskan di lingkungan sekolah.
Stapel dan Blanton (2006, dikutip dalam Wood, 2013, h. 50) menjelaskan
bahwa ketika berinteraksi dengan teman sebaya, yang kita lakukan adalah kita
mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai bagaimana orang lain melihat kita
yang mana kita terlibat dalam social comparison (perbandingan sosial) yang
termasuk membandingkan diri kita sendiri dengan orang lain untuk membentuk
penilaian tentang bakat, daya tarik, kemampuan, keterampilan kepemimpinan kita
dan sebagainya yang memengaruhi bagaimana kita melihat diri sendiri. Tentunya
begitulah juga yang terjadi ketika seseorang berada di sekolah yang mana siswa
berkompetisi untuk menjadi lebih baik atau lebih pandai dari siswa lainnya.
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 6
5
Berhubungan dengan komunikasi yang berada di lingkungan sekolah, pada
penelitian ini penulis akan meneliti bagaimana sekolah berperan efektif dalam
pembentukan diri melalui sebuah sistem pendidikan yang diselenggarakan. Di
Indonesia, dikenal terdapat dua jenis sistem pendidikan, yakni sekolah koedukasi
(heterogen) dan sekolah non koedukasi (homogen). Menurut Suhron,
Notosoedirdjo, dan Margono (2012, h. 88) sekolah koedukasi didefinisikan sebagai
sistem pendidikan yang memberikan pelajaran pada anak laki-laki dan perempuan
secara bersama-sama di dalam suatu ruangan. Sedangkan, sistem non koedukasi
dimengerti sebagai sistem pendidikan yang memberikan pelajaran kepada anak
laki-laki dan perempuan secara terpisah di dalam ruang yang berbeda.
Dari kedua sistem pendidikan ini menurut Hawadi dan Akbar (2008, h. 71),
antara sekolah non koedukasi (homogen) dan sekolah koedukasi (heterogen)
memang memiliki perbedaan, mulai dari situasi atau lingkungan belajar, pergaulan,
hingga kedisiplinan sekolah. Melihat dari perbedaan ini tentunya akan
memengaruhi gaya dan pola komunikasi yang terjadi di antara guru dengan siswa
dan antara siswa dengan siswa. Cara berkomunikasi yang berbeda antara sekolah
homogen dan sekolah heterogen dapat dilihat juga dari perbedaan jenis kelamin
(gender) dalam mengirimkan dan menerima pesan.
Hubungan perbedaan gender dan cara berkomunikasi ini ternyata juga pernah
diungkapkan dari teori yang dimiliki oleh Deborah Tannen mengenai gaya
komunikasi dari gender yang berbeda (genderlect style) disebabkan karena
perbedaan karakteristik dalam berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan.
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 7
6
Tannen menjelaskan bahwa perempuan berkomunikasi untuk sebuah hubungan
sedangkan laki-laki lebih memerhatikan status mereka. Ketika perempuan fokus
dalam mengolah perasaan ketika berhubungan, laki-laki sibuk untuk
mempertahankan sifat kebebasan mereka dalam berusaha mendapatkan posisi dari
prestasi dari situasi yang kompetitif. Bagi perempuan dalam berkomunikasi sangat
penting bagi mereka jika dapat diterima di lingkungannya, sedangkan laki-laki
sangat penting bagi mereka jika diri mereka dapat dihargai di lingkungannya.
(Griffin, 2015, h. 432-433).
Selain itu ditambahkan juga oleh Louise Cherry Wilkinson melalui
penelitiannya yang meneliti perbedaan mengenai cara berkomunikasi laki- laki dan
perempuan. Penelitiannya ini dilakukan dengan subjek penelitian yakni dua orang
ibu dengan dua anak (laki-laki dan perempuan) yang dari hasil penelitian
ditemukan bahwa ketika subjek ibu berada pada sesi bermain dengan anak
perempuan, ibu tersebut cenderung lebih banyak berbicara, menanyakan sejumlah
pertanyaan, menggunakan kalimat-kalimat yang panjang, dan merespons komentar
anaknya dibandingkan dengan seorang ibu dengan anak laki-lakinya yang lebih
banyak menggunakan kalimat arahan untuk anaknya melakukan sesuatu. (Griffin
2015, h. 438).
Hasil penelitian terdahulu tersebut menunjukkan bahwa perbedaan cara
berkomunikasi terjadi karena laki-laki dan perempuan sesungguhnya berada pada
budaya yang berbeda. Hal ini berasal dari pembagian peran mendasar dan berbagai
pengalaman hidup yang dilalui seseorang laki-laki dan perempuan sejak kecil
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 8
7
ketika berinteraksi dengan orang tuanya. Pandangan dari penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki penerimaan yang berbeda
yang oleh karena itu, menurut penulis bentuk pembagian kelas serta pemilahan cara
belajar untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan dirasa dapat membantu dalam
pembentukan konsep diri dan self-esteem seseorang. Dituliskan oleh Grossberg
(2017, para. 1-2) bahwa sekolah homogen memiliki banyak pengaruh positif dan
keuntungan. Di sekolah homogen, para siswa dapat memiliki kepercayaan diri yang
lebih tinggi dan memengaruhi prestasi akademiknya serta mereka juga memiliki
pandangan yang lebih terbuka.
Hal tersebut menurut penulis dapat terjadi karena situasi tidak hadirnya lawan
jenis di dalam sekolah homogen yang membuat siswa tidak memiliki keterbatasan,
seperti siswa yang dapat bertanya di kelas tanpa rasa malu dengan siswa lainnya
sehingga timbul kesempatan siswa untuk bersikap lebih terbuka dan bebas
berekspresi yang membuat mereka lebih aktif dalam mengeksplorasi dirinya.
Menurut Ardiyanti (2014, h. 1) bahwa di sekolah homogen terdapat iklim belajar
yang kondusif yang didukung dengan adanya sosialisasi dan interaksi yang baik
antara satu siswa dengan yang lain. Sekolah juga membantu dengan mengadakan
kegiatan-kegiatan yang menunjang siswa untuk berinteraksi langsung dengan
masyarakat dan membentuk siswa untuk menjadi sosok yang mandiri, bertanggung
jawab. Oleh karena kondisi tersebut, siswa dapat semakin fokus dalam belajar dan
identitas gender pada dirinya dapat semakin didalami oleh setiap siswa.
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 9
8
Dalam penelitian ini, penulis memilih sekolah menengah atas (SMA) Kolese
De Britto, sebuah sekolah swasta homogen laki-laki yang berada di Yogyakarta.
SMA Kolese De Britto merupakan salah sekolah swasta Katolik di bawah payung
Kolese, sebuah lembaga pendidikan yang merupakan karya dan pembangunan yang
dikelola oleh Yesuit, sebutan bagi rohaniwan ordo Serikat Yesus (SJ) yang
memiliki tujuan untuk mendidik siswa memiliki kemampuan intelektual yang baik
dan siap menjadi pemimpin di masyarakat dengan hidup bersama Tuhan.
SMA Kolese De Britto yang telah berdiri sejak 1948 ini merupakan sekolah
dengan seluruh siswanya laki-laki. Sesuatu yang unik dari SMA Kolese De Britto
adalah mengenai pendidikan bebas yang pertama kali dicanangkan oleh Romo J.
Oei Tik Djoen, S.J. pada 1973 ketika menjabat sebagai rektor. Konsep pendidikan
bebas ini memiliki tujuan bahwa setiap siswa harus bisa berpendapat sendiri tanpa
mudah terpengaruh dan masuk ke dalam arus “ikut-ikut-an”. (“De Britto”, 2017,
para, 7). Diungkapkan juga bahwa pendidikan bebas yang dikenalkan oleh SMA
Kolese De Britto bukan sekedar istilah dan tidak timbul begitu saja, tetapi sebuah
proses yang terus-menerus yang didapatkan dari pengalaman dan pengamatan
terhadap gejala-gejala yang ada di masyarakat.
“Kalau SMA Kolese De Britto memberanikan diri memakai istilah pendidikan bebas,
yang dimaksud bukanlah suatu pendidikan ke arah anarki: suatu sistem yang bebas
dari peraturan yang perlu untuk kehidupan bermasyarakat. Bukan pula suatu sistem
yang merestui segala penyelewengen dari nilai-nilai yang kami cita-citakan,
melainkan terutama adalah suatu sikap dalam usaha kami, para pendidik bersama
peserta didik, untuk bersama-sama mencari pengarahan dalam tindak-tanduk,
berlandas pada pengakuan bahwa karunia manusia yang paling asasi dan luhur
adalah kebebasannya yang harus diprioritaskan dalam proses pembentukan
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 10
9
kepribadian.”- Romo J. Oei Tik Djoen, S.J. (1976, dikutip dalam “debritto” (2017,
para. 1)
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan bebas tidak
dimaknai tanpa adanya tanggung jawab yang mengikuti karena setiap kebebasan
akan terbatasi juga dengan kebebasan orang lain. Kemudian, mengenai budaya
mendidik yang ada di SMA Kolese De Britto dituliskan juga dalam “DeBritto”
(2017, para. 2) bahwa para pengajar SMA Kolese De Britto tidak hanya mengajar,
tetapi sekaligus mendidik. Maksud dari hal ini adalah sikap yang harus mendasari
pendidik dalam mendidik adalah menolong, bukan mengambil alih melainkan
mencarikan pengarahan atau membimbing anak didik. Maka bagi SMA Kolese De
Britto dalam proses perkembangan seorang siswa yang terpenting bukan hanya
pada aspek akademis melainkan juga pada aspek pengolahan dan pembentukan diri.
Konsep “kebebasan” yang menjadi prioritas bagi SMA Kolese De Britto bagi
siswanya terlihat juga dari aspek kecil mengenai peraturan-peraturan yang tidak
sama dengan sekolah biasa yang bertujuan untuk memberikan pemahaman bahwa
manusia memang memiliki hakikat yang bebas dan pendidikan dapat diterima
tanpa harus menyeragamkan. Dalam penerapannya SMA Kolese De Britto juga
mengembangkan belajar mandiri sehingga siswa diharapkan mampu mencari dan
mencerna informasi yang diperlukan dan membiasakan diri siswa untuk proses
belajar seumur hidup.
Suatu hal menarik lain yang dapat ditemui di SMA Kolese De Britto antara lain
seperti setiap siswa diperbolehkan menggunakan pakaian bebas sopan dan tidak
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 11
10
selalu menggunakan seragam, laki-laki diperbolehkan berambut panjang, dan siswa
diharapkan berani berdemokrasi dengan mengungkapkan pendapat dirinya baik
secara individu maupun kelompok baik dengan sesama siswa maupun dengan guru.
Bentuk kebebasan yang diberikan tersebut tentunya tidak serta merta saja tetapi
siswa juga diajarkan untuk dapat patuh juga terhadap peraturan, peduli sesama dan
tetap mau bertanggungjawab menjalankan kewajiban sekolahnya demi
perkembangan dirinya. Keunikan yang ada ini menunjukkan SMA Kolese De
Britto memiliki pola komunikasi yang egaliter (kesetaraan), terbuka, dan rasional
yang tentunya dapat memberi pengaruh pada pembentukan self.
Berdasarkan situasi, nilai, dan budaya yang dimiliki oleh SMA Kolese De
Britto, sekolah ini menjadi pilihan sebagai objek penelitian penulis. Selain itu dari
sistem pendidikan non koedukasi/homogen dianggap akan ditemui cara
berkomunikasi yang berbebeda dengan komunikasi yang terjadi di sekolah
koedukasi/heterogen. Lalu, adanya ciri khas sistem pendidikan bebas juga akan
memberikan pandangan baru yang menarik dari segi komunikasi interpersonal
yang ada lingkungan sekolah.
Dalam penelitian ini, tipe komunikasi interpersonal yang menjadi fokus
penelitian adalah komunikasi antara pendidik dengan siswa dan komunikasi di
antara siswa itu sendiri. Pendidik dan teman menjadi seseorang yang memberikan
timbal balik dalam proses komunikasi yang dilakukan. Hal ini dikarenakan para
siswa di sekolah lebih banyak menghabiskan waktunya dengan para pendidiknya
dan teman-teman di sekitarnya.
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 12
11
Seperti yang diungkapkan di atas, maka kajian komunikasi interpersonal
mengenai konsep diri dan self-esteem di sekolah homogen penting untuk diteliti
karena lingkungan sekolah sebagai salah satu tempat seorang anak dan remaja
mengembangkan dirinya. Lingkungan sekolah dianggap dapat memberikan
individu persepsi atau gambaran terhadap dirinya yang didapat dari melakukan
perbandingan diri dengan individu lainnya. Fenomena sekolah homogen ini
dianggap unik karena tentu terdapat perbedaan pola komunikasi antara siswa di
sekolah heterogen dengan siswa di sekolah homogen yang di dalamnya siswa lebih
banyak berkomunikasi dengan siswa yang sesama jenis.
Untuk melihat fenomena tersebut, dalam penelitian ini penulis menggunakan
teori hubungan, yaitu equity theory (teori keadilan) yang mana menurut Hatfield
dan Rapson berbagai riset mendukung bahwa teori ini menunjukkan setiap orang
membutuhkan kesetaraan dalam menjalin hubungan interpersonal. Asumsi dasar
dari teori ini adalah ketika dalam hubungan seseorang mendapatkan sedikit manfaat
dari apa yang ia berikan maka ia akan merasa kecewa dan kurang puas, begitu juga
sebaliknya ketika seseorang mendapatkan sesuatu manfaat dari hubungan lebih dari
yang ia berikan maka ia akan merasa bersalah. (DeVito, 2014, h. 261).
Teori keadilan fokus pada sumber-sumber yang memberikan ketidakpuasan
seseorang ketika berada dalam hubungan interpersonal. Penulis menggunakan teori
untuk menganalisis mengenai kualitas hubungan dari komunikasi interpersonal
yang ada di sekolah homogen, apakah dari sistem pendidikan yang diterapkan di
SMA Kolese De Britto, setiap siswa memiliki hubungan yang setara dengan guru
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 13
12
dan di antara siswa lainnya dan mendapatkan pembentukan konsep diri dan self-
esteem yang positif.
Penelitian ini akan didukung dengan metode studi kasus yang dilakukan dengan
menggali suatu masalah di lapangan dengan batasan yang ditentukan, memproses
pengambilan data secara mendalam, dan dalam pembahasannya akan memyertakan
sumber informasi yang terkait. Pengumpulan data dalam penelitian studi kasus
akan penulis lakukan dengan wawancara mendalam dan studi pustaka/studi
literatur yang dimiliki SMA Kolese De Britto untuk menggali bagaimana
komunikator dan komunikan memberikan dan menerima pesan dalam ranah
komunikasi interpersonal yang dipengaruhi nilai-nilai yang dimilki sekolah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, fokus masalah yang ingin
diangkat oleh penulis dalam penelitian ini adalah “Bagaimana kualitas komunikasi
dan pola relasi interpersonal yang dipengaruhi kultur berkomunikasi di SMA
Kolese De Britto berkontribusi bagi pembentukan konsep diri dan self-esteem
siswa?”
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 14
13
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, tujuan dari
penelitian ini adalah “Untuk mengetahui bagaimana kualitas komunikasi dan pola
relasi interpersonal yang dipengaruhi kultur berkomunikasi di SMA Kolese De
Britto berkontribusi bagi pembentukan konsep diri dan self-esteem siswa.”
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan
Ilmu Komunikasi di Indonesia, khususnya konsep dan teori tentang diri
yang mendukung perkembangan kajian komunikasi interpersonal. Selain
itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat melengkapi sudut
pandang penelitian-penelitian sebelumnya yang melihat fenomena
mengenai sekolah dan pembentukan diri.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah
wawasan dan pengetahuan baru terhadap realitas yang ada di masyarakat
mengenai fenomena sekolah homogen/ sekolah non koedukasi. Selain itu
diharapkan penelitian ini bisa menjadi pengenalan dan gambaran bagi orang
luar bahwa komunikasi interpersonal yang terjalin antara guru dan siswa
dapat membantu perkembangan konsep diri dan penghargaan diri pada anak
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017
Page 15
14
remaja khususnya di tingkat SMA. Peneliti juga ingin memberikan
masukkan bagi dunia pendidikan di Indonesia bahwa pentingnya
pendidikan karakter bagi siswa sehingga perkembangan seorang anak
remaja tidak hanya pada aspek akademis saja.
Peran Komunikasi Interpersonal..., Felix Lidwino, FIKOM UMN, 2017