UNIVERSITAS INDONESIA URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN) BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TESIS SARI JACOB 1006829220 FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JANUARI 2013 Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
UNIVERSITAS INDONESIA
URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN)
BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG JABATAN NOTARIS
TESIS
SARI JACOB
1006829220
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
i
UNIVERSITAS INDONESIA
URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN)
BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG JABATAN NOTARIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan
SARI JACOB
1006829220
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
“Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis diantara
kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk
menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya, maka hendaklah
dia menuliskan.
Dan hendaklah orang yang berhutang itu
mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa
kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah
dia mengurangi sedikitpun dari padanya.
Jika yang berutang itu orang yang
kurang akalnya atau lemah (keadaanya),
atau tdak mampu mendiktekan sendiri,
maka hendaklah walinya mendiktekannya
dengan benar.
Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi laki-laki diantara kamu. Jika
tidak ada (saksi) dua orang laki-laki,
maka (boleh) seorang laki-laki dan dua
orang perempuan diantara orang-orang
yang kamu sukai dari para saksi (yang
ada, agar jika yang seorang lupa maka
yang seorang lagi mengingatkannya. Dan
janganlah saksi-saksi itu menolak
apabila dipanggil.
Dan janganlah kamu bosan menuliskannya,
untuk batas waktunya baik (utang itu)
kecil maupun besar. Yang demikian itu
lebih adil disisi Allah, lebih dapat
menguatkan kesaksian, dan lebih
mendekatkan kamu kepada ketidakraguan.
Kecuali jika hal itu merupakan
perdagangan tunai yang kamu jalankan
diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi
kamu jika kamu tidak menuliskannya.
Dan ambillah saksi apabila kamu berjual
beli.
Dan janganlah penulis dipersulit dan
begitu juga saksi. Jika kamu lakukan
(yang demikian), maka sungguh, hal itu
suatu kefasikan pada kamu.
Dan bertakwalah kepada Allah, Allah
memberikan pengajaran kepadamu, dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
“KEBAHAGIAN SEJATI ADALAH
KETIKA KITA DAPAT MELIHAT
ORANG YANG KITA SAYANGI BAHAGIA”
Depok, 17 Januari 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
iii Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum WR.WB.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Puji syukur
Penulis panjatkan kepada Allah S.W.T, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya
dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi penulis
untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Gandjar Laksmana Bonaprapta, S.H., MH. selaku pembimbing dalam
pembuatan tesis ini yang telah bersedia dengan sabar untuk meluangkan
waktunya disela-sela kesibukannya dengan banyak memberi bantuan dalam
materi tesis serta memberikan banyak pengetahuan bagi penulis selama masa
penulisan tesis ini;
2. Bapak Pieter E. Latumenten, S.H., M.H. dan Ibu Wenny Setiawati, S.H., MLI
selaku Penguji dalam sidang tesis ini yang telah bersedia hadir dalam sidang
tesis dan memberikan nilai pada tesis ini, serta meberikan revisi dan masukan
bagi kesempurnaan tesis ini.
3. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Sub Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan
Pembimbing Akademis;
4. Seluruh Staf Pengajar Sub Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia serta staf Sekretariat Sub Program Magister
Kenotariatan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
banyak membantu penulis sesuai dengan perannya masing-masing selama
dalam perkuliahan dan penyusunan tesis;
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
iv Universitas Indonesia
5. Almarhum Ayahanda H.M. Yusuf Jacob dan Ibunda Dra. Hj. Nur’aini Tengku
Hadjadj, kedua orang tua tercinta yang telah memberikan seluruh
dukungannya baik doa, moril maupun materiil yang tidak akan pernah dapat
ternilai harganya;
6. Abang, kakak dan keponakan penulis yang juga senantiasa memberikan doa
dan menghibur penulis dengan interaksi dan canda nya selama penulisan tesis
ini;
7. Enwar Albar, S.Kom., yang selalu membantu dalam bertukar pikiran,
memberikan perhatian, masukan, semangat baik moril maupun materil,
senantiasa mendoakan dan sabar menemani, serta sangat membantu dalam
proses penulisan tesis ini sehingga dapat terselesaikan tepat waktu.
8. Astried, Chikita, Dewi Cantik, Mba Delny, Elza, Mba Meidi, Teh Novi,
teman setia dalam suka dan duka, saling berbagi dalam segala hal, baik ilmu,
canda, tawa, tangis didalamnya, yang menjadikan kami lebih solid dalam
setiap langkah ke depannya. Terimakasih banyak kawan. Terimakasih banyak;
9. Seluruh teman-teman Magister Kenotariatan Universitas Indonesia,
khususnya Angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang
dengan kemampuan, keadaan dan peran masing-masing membantu penulis
dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Rengki Irawan Putra Wahyudi, S.H, M.Kn., yang memberikan inspirasi dalam
memulai penulisan tesis ini dan memberikan masukan pada akhir
penyelesaian tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa
penulisan dalam tesis ini tidaklah sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan.,
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk
lebih menyempurnakan tesis ini. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi kita semua
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Pasal 1 Wet op het Notarisambt yang lama (diundangkan tanggal Juli 1842, Stb.
20). Tidak dirumuskan lagi Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar, sekarang ini
tidak dipersoalkan apakah Notaris sebagai pejabat umum atau bukan, dan perlu
diperhatikan bahwa istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini tidak
bermakna umum, tetapi bermakna publik.30
Ambt pada dasarnya adalah jabatan
publik. Dengan demikian jabatan Notaris adalah jabatan publik tanpa perlu atribut
Openbaar.31
Penjelasan Pasal 1 huruf a tersebut di atas bahwa penggunaan istilah
Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar sebagai tautologie.32
Jika ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan
rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1
angka 1 UUJN yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Maka Pejabat Umum yang dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris
sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal
15 ayat (1) UUJN dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat.
Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam pengertian
mempunyai wewenang dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan Notaris
sebagai Pejabat Publik. Dalam hal ini Publik yang bermakna hukum, bukan
Publik sebagai khalayak hukum. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak berarti sama
dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk
masing-masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk
akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama
dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata
Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak
menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata,
30Philipuss M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005), hal. 80. 31Ibid, hal. 80. 32S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1990, hal. 80, menyatakan tourologie adalah deretan atau urutan kata yang memiliki pengertian
yang hampir sama.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
28
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wlisvorming) para
pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh
Notaris. Sengketa dalam bidang perdata dan pidana diperiksa di pengadilan umum
(negeri). Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat
Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi
Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata, dan sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di Pengadilan Tata
Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai
Pejabat Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.33
Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris dalam kategori sebagai pejabat
publik yang bukan pejabat tata usaha negara, dengan wewenang yang disebutkan
dalam aturan hukum yang mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum
dalam Pasal 15 UUJN.
Selanjutnya Habib Adjie mengemukakan bahwa Jabatan Notaris diadakan
atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk
membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang
bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar
seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat
untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah
merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan
honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika
masyarakat tidak membutuhkannya.34
Dengan demikian Notaris merupakan suatu jabatan yang mempunyai
karakteristik, yaitu :
a. Notaris sebagai Jabatan.
UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya
satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur
33
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal. 31-32. (selanjutnya disebut Buku I) 34Ibid, hal. 42.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
29
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di
Indonesia harus mengacu kepada UUJN.35
Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara.36
Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau
tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi
tertentu (kewenangan tersebut) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu
lingkungan pekerjaan tetap.
b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu.
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan
hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak
bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang
pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah
ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.
Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3)
UUJN. Menurut Pasal 15 ayat (1) bahwa wewenang Notaris adalah membuat
akta, namun ada beberapa akta otentik yang merupakan wewenang Notaris
dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu :
i. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW); (Apabila tidak
dilakukan dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu perkawinan
berlangsung, dapat pula dilakukan dengan akta otentik. Dengan
pengakuan anak luar kawin tersebut timbullah hubungan perdata antara
si anak dengan bapak atau ibunya).
ii. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal
1227 KUHPerdata);37
(Para pegawai penyimpan hipotik tidak boleh
menolak/memperlambat pembukuan akta-akta pemindahan hak milik
guna pengumuman, pembukuan hak-hak hipotik dan hak-hak lainnya
35Habib Adjie,“Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum
Pengaturan Notaris”, Renvoi, Nomor 28 Th. 111, (3 September 2005), hal.38. 36Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal. 15,
dinyatakan suatu lembaga yang dibuat atau diciptakan oleh Negara, baik kewenangan atau materi
muatannya tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, delegasi atau mandat
melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari freis ermessen yang dilekatkan pada
administrasi Negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum
(Beleidsreygeel atau Policyrules). 37Ketentuan Pasal 1227 KUHPerdata tersebut terdapat dalam Buku II KUHPerdata.
Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, ketentuan
mengenai Hipotik dinyatakan tidak berlaku lagi.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
30
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
yang berhubungan dengan pemberian dokumen-dokumen, pemberian
kesempatan melihat surat-surat yang telah diserahkan kepada mereka,
serta register-register, kecuali dalam pasal 619 KUHPerdata yaitu
mengenai salinan-salinan akta penjualan dan akta pemisahan tidak
boleh diberikan kepada pihak yang memperoleh barang tanpa ijin dari
pihak yang menjual atau pihak-pihak yang ikut berhak).
iii. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi
(Pasal 1405 dan Pasal 1406 KUHPerdata); (Dilakukan kepada
seseorang yang berkuasa menerimanya untuk dia, dilakukan oleh
seseorang yang berkuasa membayar, ia menguasai semua utang pokok
dan bunga yang dapat ditagih beserta biaya yang telah ditetapkan dan
menerima sejumlah uang untuk biaya yang belum ditetapkan dengan
tidak mengurangi penetapan terkemudian).
iv. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK); (Notaris
berwenang membuat akta protes wesel dan cek, apabila wesel dan cek
tersebut pada saat tanggal jatuh tempo belum juga dapat dicairkan
dananya dalam hal pembayaran utang kepada pihak lain atau pihak
ketiga).
v. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) (Pasal 15 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan);
(akta SKMHT dapat dibuat oleh Notaris namun dapat pula dibuat oleh
pejabat lain yaitu PPAT).
vi. Membuat akta risalah lelang.38
(Notaris dapat membuat akta risalah
lelang apabila telah diangkat menjadi pejabat lelang kelas dua).
Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan
kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius
38Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 338/KMK.01/2000, tanggal
18 Agustus 2000, dalam Pasal 7 ayat (3) : Pejabat Lelang dibedakan dalam dua tingkat, yaitu :
a) Pejabat Lelang Kelas I; dan
b) Pejabat Lelang Kelas II.
Selanjutnya dalam Pasal 8 :
(1) Pejabat Lelang Kelas I adalah pegawai BUPLN pada Kantor Lelang Negara yang
diangkatuntuk jabatan itu.
(2) Pejabat Lelang Kelas II adalah orang-orang tertentu yang diangkat untuk jabatan, yang
berasaldari : a) Notaris; b) Penilai; dan c) Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) BUPLN
diutamakan yang pernah menjadi Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di wilayah
kerja tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
31
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
constituendum). Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan
tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka akta Notaris tersebut
tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (non executable).
Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang
tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.
Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut
dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2
(dua) pemahaman, yaitu :
a. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para
pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang
berlaku.
b. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna,39
sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat
bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa
akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan
tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya
sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini
berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris.40
Sepanjang suatu
akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidakbenarannya maka akta tersebut
merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang sebenarnya dari
para pihak dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang sah dan saksi-
saksi yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50
KUHP41
dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan
tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini sebagai perlindungan
39M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara
Perdata Setengah Abad., Swa Justitia, 2005 : 150. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut
ketentuan ex Pasal 165 HIR jo. 285 Rbg jo. 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua
belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya. 40MJ-A. Van Mourik dalam Habib Adjie,Buku I, op.cit, hal. 35. 41Pasal 50 KUHP berbunyi : Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang, tidak dipidana..
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
32
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau
merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku.
c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Pasal 2 UUJN menentukan
bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini
menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Notaris
meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang
mengangkatnya, pemerintah. Dengan demikian Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya :42
i. Bersifat mandiri (autonomous);
ii. Tidak memihak siapapun (impartial);
iii. Tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti
dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh
pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.
d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya. Notaris
meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak
menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima
honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat
memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat adalah dengan
Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata,
sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat
yang dapat dituntut secara pidana, administrasi dan perdata, menuntut
biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan
dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan
bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.
Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan pejabat publik
dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai badan atau Pejabat Tata
42
Habid Adjie, Buku I op.cit., hal. 36.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
33
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing pejabat publik
tersebut. Notaris sebagai pejabat publik produknya berupa akta otentik, yang
terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.
Akta tersebut tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak menimbulkan
akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta
merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang
dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris. Sengketa
dalam bidang perdata dan pidana diperiksa di Pengadilan Negeri.
Sedangkan Pejabat publik dalam bidang pemerintahan produknya berupa
Surat Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum
Administrasi Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang
bersifat, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum, dan Sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai Pejabat Publik
yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.43
Berdasarkan uraian di atas,
maka Notaris dalam kategori sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat Tata
Usaha Negara, dengan wewenang yang disebutkan dalam aturan hukum yang
mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN.
Selanjutnya Habib Adjie mengemukakan bahwa Jabatan Notaris diadakan
atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk
membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang
bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum.
Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus
mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut,
masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas
jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu
Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.44
43Ibid, hal. 31-32. 44Ibid, hal. 42.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
34
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2.1.3. AKTA OTENTIK
Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan undang-undang.45
Pengertian akta otentik dapat ditemukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata
yang menyebutkan Akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang
berkuasa/pegawai umum untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.
Ditegaskan bahwa suatu akta otentik yang dalam bentuknya yang telah
ditentukan oleh undang-undang tersebut harus dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang. Dalam bentuk perkataan diatas adanya penunjukan terhadap seorang
pejabat umum tetapi tidak menyebutkan secara spesifik mengenai pejabat umum
itu sendiri, maka dibuatlah PJN yang dapat disebut sebagai peraturan pelaksana
dari Pasal 1868 KUHPerdata, di mana menjelaskan bahwa Notaris-lah yang
dimaksud sebagai pejabat umum.46
Suatu akta dikatakan otentik apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat dihadapan pejabat umum
yang ditunjuk oleh undang-undang.
b. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuat akta
menurut ketentuan yang ditetapkan undang-undang.
c. Ditempat dimana pejabat yang berwenang membuat akta tersebut.
45Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004, TLN. No. 4432,
pasal 15. 46
G. H. S. Lumban Tobing, op.cit, hal. 51. Ada dua golongan akta Notaris, yaitu :
1. Akta yang dibuat “oleh” (door) Notaris atau yang dinamakan “akta Relaas”
atau akta pejabat (ambtelijke akten).
2. Akta yang dibuat “di hadapan” (ten overstaan) Notaris atau yang dinamakan
“akta Partij” (partij akten).
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
35
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Akta otentik mempunyai arti yang lebih penting sebagai alat bukti, bila
terjadi sengketa maka akta otentik dapat digunakan sebagai pedoman bagi para
pihak yang bersengketa.
Notaris sebagai pejabat lelang berwenang untuk melaksanakan lelang dan
membuat risalah lelang, sebagaimana ternyata dalam pasal 15 ayat (2) huruf g
UUJN. Ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari kewenangan Notaris sebagai
pejabat umum untuk membuat akta otentik.
Peran Notaris diperlukan di Indonesia karena dilatarbelakangi oleh Pasal
1866 KUHPerdata yang menyatakan alat-alat bukti terdiri atas :
1. bukti tulisan;
2. bukti dengan saksi-saksi;
3. persangkaan-persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah.
Demikian pula terhadap kasus pidana, untuk dibuktikan terpenuhinya
syarat-syarat pemidanaan diperlukan barang bukti dan alat-alat bukti. Alat-alat
bukti yang sah diatur dalam pasal 184 KUHAP, yang terdiri atas :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Pembuktian tertinggi dalam KUHPerdata adalah bukti tulisan. Adapun
dalam pembuktian yang dianut oleh KUHAP disebutkan adanya bukti surat. Bukti
tertulis dan bukti surat tersebut dapat berupa akta otentik maupun akta di bawah
tangan dari yang berwenang dan yang dapat membuat akta otentik adalah Notaris.
Untuk itulah Negara menyediakan lembaga yang bisa membuat akta otentik.
Negara mendelegasikan tugas itu kepada Notaris seperti tercantum pada Pasal
1868 KUHPerdata jo Pasal 1 angka 1 UUJN yaitu Notaris adalah pejabat umum
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
36
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
yang diangkat oleh Negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan akta
otentik. 47
Dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah Notaris dan lambang yang
digunakan sebagai cap para Notaris adalah lambang Negara. Notaris merupakan
satu-satunya kalangan swasta yang diperbolehkan menggunakan lambang
tersebut.
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik, mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat. Banyak sektor
kehidupan transaksi bisnis dari masyarakat yang memerlukan peran serta dari
Notaris, bahkan terdapat beberapa ketentuan dan/atau perundang-undangan yang
mengharuskan dibuat dengan akta Notaris yang artinya jika tidak dibuat dengan
akta Notaris maka transaksi atau kegiatan tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum.
2.1.4. KEWENANGAN, KEWAJIBAN DAN LARANGAN NOTARIS
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memiliki kewenangan,
kewajiban yang harus dijalankan, dan harus tunduk pada larangan-larangan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a. Kewenangan Notaris
Wewenang utama Notaris adalah membuat akta otentik, tapi tidak semua
pembuatan akta otentik menjadi wewenang Notaris. Akta yang dibuat oleh pejabat
lain, bukan merupakan wewenang Notaris, seperti akta kelahiran, akta pernikahan,
dan akta perceraian dibuat oleh pejabat selain Notaris. Akta yang dibuat Notaris
tersebut hanya akan menjadi akta otentik, apabila Notaris mempunyai wewenang
yang meliputi empat hal, yaitu :48
1. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu;
47Kekuatan pembuktian akta otentik mempunyai 3 kekuatan pembuktian, yaitu : 1.
Kekuatan Pembuktian Lahiriah 2. Kekuatan Pembuktian Formil 3. Kekuatan Pembuktian Material.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta,
(Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 115-118. 48
G. H. S. Lumban Tobing, op. cit., hal. 49.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
37
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Tidak semua pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi
seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yakni
yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa
kewenangan Notaris yaitu membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik.
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat;
Notaris tidak berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan setiap
orang. Dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak
diperkenankan tidak membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami, atau
orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Notaris baik karna
perkawinan maupun hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau
keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai
dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun
dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa. Maksud dan
tujuan dari ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan
memihak dan penyalahgunaan jabatan.
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu
dibuat;
Bagi setiap Notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan
hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang untuk
membuat akta otentik. Dalam Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris
mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten/kota. Wilayah jabatan
Notaris meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Akta
yang dibuat diluar daerah jabatannya adalah tidak sah.
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu;
keadaan dimana Notaris tidak berwenang (onbevoegd) untuk membuat
akta otentik, yaitu : 49
49
Ibid.,hal. 140.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
38
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
i. Sebelum Notaris mengangkat sumpah (Pasal 7 UUJN);
Notaris tidak berwenang membuat akta otentik sebelum
mengangkat sumpah di hadapan pejabat yang berwenang yang
ditunjuk untuk itu berdasarkan UU.
ii. Selama Notaris diberhentikan sementara (skorsing);
Selama Notaris diberhentikan sementara (skorsing) maka Notaris
yang bersangkutan tidak berwenang membuat akta otentik sampai
masa skorsingnya berakhir.
iii. Selama Notaris cuti;
Notaris yang sedang cuti tidak berwenang membuat akta otentik.
iv. Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf e tentang saksi
dalam akta bahwa saksi tidak boleh mempunyai hubungan
perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah tanpa pembatasan derajat dan garis kesamping sampai
dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.
v. Pasal 52 ayat (1) UUJN.
Pasal 15 ayat (2) UUJN menyatakan bahwa selain berwenang untuk
membuat akta otentik, Notaris berwenang pula :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi);50
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus (waarmerking);
c. Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
membuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan foto kopi dengan surat aslinya
(legalisir);
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 51
50Penjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf a UUJN, Legalisasi adalah tindakan mengesahkan
tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal akta dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh
orang perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermaterai cukup yang ditandatangani
di hadapan Notaris dan didaftarkan dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
39
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
Terdapat perluasan kewenangan Notaris, yaitu kewenangan yang
dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f UUJN yakni kewenangan membuat
akta yang berkaitan dengan pertanahan. Kewenangan Notaris membuat akta yang
berkaitan dengan pertanahan menimbulkan kontroversi. PPAT tetap memiliki
ruang lingkup jabatan yang berbeda dengan Notaris, akta-akta yang bisa dibuat
oleh Notaris, adalah sebatas yang bukan menjadi kewenangannya PPAT.52
Pasal 51 UUJN menyatakan bahwa Notaris berwenang untuk
membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta
akta yang telah ditandatangani. Pembetulan tersebut dilakukan dengan membuat
berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli
dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan. Salinan
akta berita acara tersebut wajib disampaikan kepada para pihak.
Notaris dibolehkan menjalankan jabatan Notaris dalam bentuk
perserikatan perdata, sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) UUJN. Hal ini
dimungkinkan dengan mengingat kondisi jumlah Notaris saat yang sudah
mencapai jutaan orang dan karenanya bentuk perserikatan perdata (maatschaap)
dapat dipandang sebagai upaya efisiensi dan efektifitas kantor Notaris dalam
rangka mempercepat pelayanan jasa hukum kepada masyarakat dengan tetap
menjaga kemandirian dan ketidakberpihakan sehingga menjalankan jabatan dalam
bentuk perserikatan perdata ini juga akan melahirkan dan mengembangkan
spesialisasi bidang hukum tertentu.
Pengecualian kewenangan dari Notaris sebagai pejabat yang berhak
membuat akta otentik menurut pasal 4 KUHPerdata diperkuat oleh pendapat Tan
Thong Kie, bahwa seorang Notaris boleh membuat semua akta dalam bidang
Notariat, tetapi dia tidak boleh membuat berita acara pelanggaran lalu lintas atau
keterangan kelakukan baik yang semuanya wewenang kepolisian, Notaris juga
tidak boleh membuat akta perkawinan, akta kematian, akta kelahiran (bukan akta
51
Kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum bukan berarti tidak menimbulkan
masalah, jika sampai terjadi kesalahan mengenai suatu hal yang disuluhkan maka Notaris yang
bersangkutan bisa tersandung masalah, baik dalam masalah perdata maupun pidana. 52“Wewenang Notaris dan PPAT Masih Menyisakan Persoalan”,
http://cms.sip.co.id/hukumonline/berita.asp , diunduh 10 Mei 2012.
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
kenal lahir atau akta van bekendneid) yang kesemuanya adalah wewenang
pegawai kantor catatan sipil.53
b. Kewajiban Notaris
Kewenangan yang ada pada Notaris sebagai pejabat umum, juga diiringi
dengan kewajibannya sebagai pejabat yang memperoleh kepercayaan dari publik
secara moral dan etika. Maksudnya bahwa Notaris wajib bertindak amanah, jujur,
seksama, mandiri dan menjaga kepentingan-kepentingan pihak yang terkait. Pasal
1 Kode Etik Notaris hasil Kongres di Bandung pada tanggal 28 Januari 2005
tentang kepribadian dan martabat Notaris disebutkan bahwa :
a. Dalam melaksanakan tugasnya Notaris diwajibkan senantiasa menjunjung
tinggi hukum dan asas Negara serta bertindak sesuai dengan makna
sumpah jabatan dan mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan
masyarakat dan Negara.
b. Dalam kehidupan sehari-hari Notaris dengan kepribadian yang baik
diwajibkan untuk menjunjung tinggi martabat jabatan Notaris dan
sehubungan dengan itu tidak dibenarkan melakukan hal-hal dan atau
tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan
Notaris.
Dalam pasal 16 UUJN terdapat 9 kewajiban Notaris yaitu :
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;54
c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
53Tan Thong Kie, op.cit, hal 442. 54Menyimpan Minuta Akta dimaksudkan untuk menjaga keotentikan suatu akta dalam
bentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan, atau penyalahgunaan grosse, salinan atau
kutipannya dapat segera diketahui secara mudah yaitu mencocokkannya dengan yang asli.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
41
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5
(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. Mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh
penghadap, saksi, dan Notaris;55
m. Menerima magang calon Notaris.56
(2) Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
(3) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta:
55Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta dihadapan penghadap dan
saksi. 56
Kewajiban dari setiap Notaris untuk ikut serta mempersiapkan calon Notaris agar
mampu menjadi Notaris yang profesional. Calon Notaris sebelum diangkat sebagai Notaris harus
telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12
(dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris setelah lulus Strata Dua Kenotariatan (S-2
MKn).
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
42
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
a. pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. penawaran pembayaran tunai;
c. protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d. akta kuasa;
e. keterangan kepemilikan; atau
f. akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1
(satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan
ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata "berlaku sebagai satu dan satu
berlaku untuk semua".
(5) Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya
dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6) Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(7) Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib
dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena
penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan
ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap
halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(8) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7)
tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk
pembuatan akta wasiat.
Notaris mempunyai kewajiban untuk membuat akta dalam bentuk minuta
dan menyimpan sebagai bagian dari protokol Notaris. Notaris juga berkewajiban
mengeluarkan grosse, salinan dan kutipannya, tetapi Notaris tidak mempunyai
kewajiban untuk mengeluarkan akta dalam bentuk original.
Akta-akta yang dapat dikeluarkan Notaris dalam bentuk original
disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3) UUJN yaitu :
1. Izin kawin
2. Keterangan orang masih hidup
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
43
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
3. Pembayaran uang sewa, bunga, pension
4. Penawaran pembayaran lunas
5. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga
6. Akta kuasa
7. Keterangan kepemilikan
8. Akta sederhana dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pembacaan akta Notaris, merupakan kewajiban Notaris dimana
pembacaan akta dilakukan dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh saksi-saksi
yang berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang. Pembacaan ini tidak diwajibkan
kepada Notaris, apabila penghadap telah membaca sendiri dan mendapat
penjelasan dari Notaris serta mengetahui isi dari akta tersebut, dengan persyaratan
khusus bahwa pada setiap halaman minuta akta itu wajib dibubuhkan paraf para
penghadap dan saksi-saksi serta Notaris.
Pembacaan yang dilakukan oleh Notaris maupun dibaca sendiri oleh
penghadap, diharapkan agar penghadap yang menandatangani akta mengerti akan
isi dari akta tersebut sehingga akta Notaris benar-benar membuat kehendak atau
sesuai dengan kehendak mereka yang menandatangani.
Apabila akta Notaris dibuat dalam suatu bahasa yang tidak dipahami salah
satu penghadap, adalah merupakan kewajiban Notaris untuk menerjemahkan akta
itu dengan menyediakan seorang penerjemah ke dalam bahasa yang dipahami oleh
penghadap tersebut.
Setelah dilakukan pembacaan akta dan ternyata terdapat salah satu pihak
yang tidak menyetujui isi dari akta, maka terlebih dahulu isi akta diganti atau
disempurnakan seperlunya dengan tujuan agar isi akta yang dimuat sesuai dengan
kehendak para pihak yang menghadap dihadapan Notaris tersebut.
Kewajiban Notaris pada umumnya adalah memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang memerlukan jasanya dengan dijiwai oleh Pancasila, sadar dan
taat kepada hukum dan peraturan perundang-undangan serta Undang-Undang
Jabatan Notaris, kode etik Notaris, sumpah jabatan dengan bekerja secara jujur,
mandiri, tidak berpihak dan penuh rasa tanggung jawab.
Selain itu oleh Undang-undang, Notaris ditugaskan untuk melaksanakan
pendaftaran surat-surat dibawah tangan. Tugas pembuatan daftar surat-surat di
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
44
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
bawah tangan dan pengesahan surat-surat di bawah tangan adalah berdasarkan
Pasal 1874 KUHPerdata57
dan Pasal 1874 a KUHPerdata.58
c. Larangan Notaris
Larangan Notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang dilakukan oleh
Notaris jika larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang
melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN.
Dalam Pasal 17 UUJN, Notaris dilarang:
a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah
jabatan Notaris;
h. Menjadi Notaris Pengganti; atau
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
57Bunyi Pasal 1874 KUHPerdata menyebutkan sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan
dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat
urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.
Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol,
dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pegawai lain
yang ditunjuk oleh Undang-undang dari mana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap,
jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pegawai tadi.
Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut. Dengan Undang-undang dapat diadakan aturan-
aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud. 58Pasal 1874 a KUHPerdata menyebutkan jika pihak-pihak yang berkepentingan
menghendaki, dapat juga, diluar hal yang dimaksud dalam ayat kedua pasal yang lalu, pada
tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris
atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-undang, dari mana ternyata bahwa ia
mengenal si penandatangan atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta
telah dijelaskan kepada si penandatangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan telah dilakukan
dihadapan pegawai tersebut.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
45
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Dalam Kode Etik Notaris, dicantumkan larangan-larangan yang tidak
boleh dilakukan oleh anggota Notaris, sebagai berikut :59
1) Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor
perwakilan.
2) Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor
Notaris” diluar lingkungan kantor.
3) Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara
bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya,
menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk :
a) Iklan;
b) Ucapan selamat;
c) Ucapan belasungkawa;
d) Ucapan terima kasih;
e) Kegiatan pemasaran;
f) Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah
raga.
4) Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada
hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan
klien.
5) Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah
dipersiapkan oleh pihak lain.
6) Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.
7) Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah
dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada
klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.
8) Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-
dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis
dengan maksud agar klien tesebut tetap membuat akta padanya.
9) Melakukan usaha-usaha baik langsung maupun tidak langsung dan
menjurus kearah timbulnya persaingan yang tidak sehat sesama rekan
Notaris.
59Keputusan Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia (INI).
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
46
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
10) Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang
lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.
11) Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan
kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang
bersangkutan.
12) Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang
dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau
menemukan suatu akta yang dibuat rekan sejawat yang ternyata di
dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau
membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan
kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya
dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah
timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan
ataupun rekan sejawat tersebut.
13) Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif
dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga,
apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.
14) Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15) Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai
pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas
pada pelanggaran-pelanggaran terhadap:
a) Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
b) Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
c) Isi sumpah jabatan Notaris;
d) Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga dan/atau Keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh
organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh
anggota.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
47
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Hal-hal yang tersebut dibawah ini merupakan pengecualian oleh karena itu
tidak termasuk pelanggaran, yaitu :
1) Memberikan ucapan selamat, ucapan berduka cita dengan
mempergunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupun
media lainnya dengan tidak mencantumkan Notaris, tetapi hanya
nama saja.
2) Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan nomor
telepon, fax dan telex, yang diterbitkan secara resmi oleh PT.
Telkom dan/atau instansi-instansi dan/atau lembaga-lembaga resmi
lainnya.
3) Memasang 1 (satu) tanda petunjuk jalan dengan ukuran tidak
melebihi 20 cm x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna
hitam, tanpa mencantumkan nama Notaris serta dipasang dalam
radius maksimum 100 meter dari kantor Notaris.
2.1.5. MAJELIS PENGAWAS NOTARIS
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UUJN Majelis Pengawas adalah suatu badan
yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap Notaris. Pada dasarnya pengawasan atas Notaris dilakukan
oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dalam
melaksanakan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas
Notaris (MPN).
Pengawasan Notaris meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan
Notaris.60
Tugas MPN selain diatur dalam UUJN juga diatur dalam Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.39-
PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas
Notaris.
MPN sebagaimana diatur dalam UUJN terdiri atas:
1. Majelis Pengawas Daerah (MPD)
MPD dibentuk dan berkedudukan di kabupaten atau kota.
60Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. TLN. No. 4432,
pasal 67.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
48
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Dalam Pasal 66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang
berkaitan dengan :
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum,
atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah
berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang
berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris
yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita
acara penyerahan.
Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak
dimiliki oleh MPW maupun MPP. Subtansi Pasal 66 ini dilakukan
oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim, dengan batasan
sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris dan sesuai
dengan kewenangan Notaris sebagaimana ditentukan dalam Pasal
15 UUJN.
Ketentuan tersebut hanya berlaku dalam perkara pidana, Karena
Pasal 66 UUJN berkaitan dengan tugas penyidik dan penuntut
umum dalam ruang lingkup perkara pidana.
Tugas MPD melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 dan Pasal 71 UUJN dan Pasal 13 ayat (2), Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun
2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian
Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara
Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.61
61
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.39-
PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
49
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2. Majelis Pengawas Wilayah (MPW)
MPW dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Provinsi.
Dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor : M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris ditentukan
bahwa MPW melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 dan Pasal 75 UUJN dan Pasal 26 Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan
Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja
dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.
3. Majelis Pengawas Pusat (MPP)
MPP dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara.
Tugas dan wewenang MPP tercantum dalam pasal 77 UUJN dan
dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor : M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris adalah :
1) Memberikan izin cuti lebih dari 1 (satu) tahun dan mencatat
izin cuti dalam sertifikat cuti.
2) Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian
sementara.
3) Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian
dengan hormat.
4) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil
putusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi,
kecuali berupa teguran lisan atau tertulis.
5) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil
putusan dalam tingkat banding terhadap penolakan cuti dan
putusan tersebut bersifat final.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
50
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
2.1.6. SANKSI PIDANA DALAM PJN Vs UUJN
Pengaturan Jabatan Notaris di Indonesia di atur dalam Peraturan Jabatan
Notaris (PJN) Reglement Op Het Notaris ambt in Indonesie (Stb. 1860:3)
sebagaimana telah diubah terakhir dalam lembaran Negara tahun 1954 Nomor
101; Ordonantie 16 Sepetember 1931 tentang Honorarium Notaris; Undang-
undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 700); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4379); dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.62
Pasal-pasal yang terdapat dalam PJN adalah menyalin dari pasal-pasal
Notarisewet yang berlaku di Belanda. Jika diperhatikan isi pasal dalam PJN
tersebut terdiri dari 66 pasal, dari 39 pasal mengandung ketentuan hukuman,
disamping banyak sanksi-sanksi untuk membayar penggantian biaya ganti rugi
dan bunga. Ke-39 pasal tersebut terdiri dari 3 pasal mengenai hal-hal yang
menyebabkan hilangnya jabatan, 5 pasal tentang pemecatan, 9 pasal tentang
pemecatan sementara dan 22 pasal mengenai pidana denda serta 7 pasal tentang
penggantian biaya, ganti rugi dan bunga.63
Pada hakekatnya seluruh pasal dalam PJN mengandung ancaman
hukuman, dengan adanya ketentuan dalam pasal 50 PJN yang menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri dapat mengambil tindakan, apabila Notaris mengabaikan
keluhuran martabat atau jabatannya, melakukan kesalahan-kesalahan lain, baik
didalam maupun diluar menjalankan jabatannya sebagai Notaris.64
Dalam PJN yang dianggap sebagai tindakan dissiplinair adalah teguran,
usul untuk memecat atau memberhentikan, dan pemberhentian yang dimaksud
dalam pasal 50 dan 51 PJN.
62
“Implementasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang JabatanNotaris”
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal ini lebih bersifat
tindakan sanksi administratif kepada Notaris apabila ia telah melakukan
penyalahgunaan tugas dan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum.
Secara garis besar, sanksi administratif dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)
macam, yaitu :93
1. Sanksi Reparatif.
Sanksi ini ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum.
Dapat berupa penghentian perbuatan terlarang, kewajiban perubahan
sikap/tindakan sehingga tercapai keadaan semula yang ditentukan,
tindakan memperbaiki sesuatu yang berlawanan dengan aturan.
2. Sanksi Punitif.
Sanksi yang bersifat menghukum, merupakan beban tambahan, sanksi
hukuman tergolong dalam pembalasan, dan tindakan preventif yang
menimbulkan ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk
pelanggar-pelanggar lainnya.
3. Sanksi Regresif.
Sanksi sebagai reaksi atas suatu ketidaktaatan, dicabutnya hak atas
sesuatu yang diputuskan menurut hukum, seolah-olah dikembalikan
kepada keadaan hukum yang sebenarnya sebelum keputusan diambil.
Penegakan hukum menurut Ten Berge menyebutkan bahwa instrumen
penegakan hukum meliputi pengawasan dan penegakan sanksi, pengawasan
merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, dan penerapan
sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. Dalam
menegakkan sanksi administratif terhadap Notaris yang menjadi instrumen
pengawasan yaitu MPN yang mengambil langkah-langkah preventif, untuk
92Muladi dan Barda Nawawi Arief, Buku II, op. cit, hal. 161. 93Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal.
211. (selanjutnya disebut Buku II)
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
65
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
melaksanakan kepatuhan dan untuk memaksakan kepatuhan agar sanksi-sanksi
tersebut dapat dilaksanakan.94
Langkah-langkah preventif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
secara berkala 1 (satu) kali dalam satu tahun setiap waktu yang dianggap perlu
untuk memeriksa ketaatan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yang
dilihat dari pemeriksaan protokolnya oleh MPD.95
Kemudian MPD
menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris.96
MPD menerima
laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris
atau pelanggaran ketentuan dalam UUJN.97
Jika hasil pemeriksaan MPD
menemukan pelanggaran, maka MPD tidak dapat menjatuhkan sanksi yang
represif kepada Notaris melainkan hanya dapat melaporkan kepada MPW.98
MPW dapat melakukan langkah preventif dengan menyelenggarakan
sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang
disampaikan melalui MPW dan memanggil Notaris sebagai terlapor untuk
dilakukan pemeriksaan,99
MPW juga memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan
MPD.
MPW dapat melakukan langkah represif, yaitu menjatuhkan sanksi berupa
teguran lisan atau tertulis dan sanksi ini bersifat final,100
dan mengusulkan
pemberian sanksi terhadap Notaris kepada MPP berupa pemberhentian sementara
3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan, atau pemberhentian dengan tidak
hormat.101
94 Ibid., hal.92. 95 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf b dan ps 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. 96 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf a. 97 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf g. 98 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf h, pasal 71 huruf e. 99 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 73 huruf a dan b. 100 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 73 ayat (1) huruf e, ayat (2). 101 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117
Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 73 ayat (1) huruf f.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
66
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
MPP tidak melakukan tindakan preventif, tapi menyelenggarakan sidang
untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap
penjatuhan sanksi dan penolakan cuti, tapi tindakan represif berupa penjatuhan
sanksi pemberhentian sementara, dan mengusulkan pemberian sanksi berupa
pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.
Sebelum menjatuhkan sanksi administratif berupa pemberhentian dengan
tidak hormat terhadap Notaris tersebut, ditempuh dulu penjatuhan sanksi berupa
teguran lisan atau tertulis, untuk kemudian mengusulkan pemberian sanksi
pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan dan
selanjutnya mengusulkan untuk pemberhentian dengan tidak hormat dari
jabatannya. Hal tersebut dapat dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada
yang bersangkutan untuk membela diri dan memperbaiki diri.
Dalam Pasal 85 UUJN juga ditentukan ada 5 (lima) jenis sanksi
administratif, yaitu :
1. Teguran lisan.
2. Teguran tertulis.
3. Pemberhentian sementara.
4. Pemberhentian dengan hormat.
5. Pemberhentian tidak hormat.
Dengan adanya sanksi administratif ini Notaris tersebut tidak akan
melakukan perbuatan yang dapat merugikan dan merusak dirinya sendiri serta
jabatannya.
Dimana sanksi administratif ini bersifat reparatoir atau korektif, artinya
untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh yang
bersangkutan ataupun oleh Notaris yang lain, dan regresif yang bersifat segala
sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum terjadinya
pelanggaran.102
Sasaran utama upaya penyalahgunaan pelanggaran lewat jalur non penal
yaitu menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-
faktor kondusif ini antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-
102Habib Adjie, (Buku II), op.cit., hal. 222.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
67
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
kondisi Notaris yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuh suburkan kejahatan.
Jika dilihat dari sudut politik kriminal, maka upaya non penal menduduki
posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Akan tetapi
kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat fatal bagi
usaha penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal harus
dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan yang non
penal kedalam suatu sistem kegiatan Negara yang teratur dan terpadu.
Menurut G.Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan yang
ditempuh dengan jalur non penal yaitu : 103
1. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment).
2. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on
crime and punishment/mass media).
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal
lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan/penangkalan/
pengendalian) tanpa pidana sebelum kejahatan terjadi. Oleh karena itu kebijakan-
kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus
mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan
yang bersifat sosio-ekonomi dimana kejahatan sering hanya merupakan gejala.
Disamping itu upaya-upaya non penal juga dapat ditempuh dengan cara
menyehatkan sistem peradilan Indonesia lewat kebijakan sosial dan dengan
menggali berbagai potensi yang ada didalam masyarakat itu sendiri, juga dapat
pula upaya non-penal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga
mempunyai potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum.
2.2.2. SANKSI PIDANA
Sanksi pidana merupakan sanksi yang diberikan oleh Negara terhadap
seseorang yang melanggar aturan hukum yang telah ditetapkan oleh Negara.
Kewenangan untuk memberikan sanksi pidana ada ditangan Negara melalui alat
103Barda Nawawi Arief, Buku I, op.cit, hal. 42.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
68
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
kekuasaannya. Dalam hal ini Negara merupakan satu-satunya pihak yang
mempunyai Ius Puniendi (hak untuk memberikan sanksi pidana). Hal ini
disebabkan karena Negara adalah organisasi sosial yang tertinggi. Sebagai
organisasi social tertinggi, Negara diberi tugas untuk mempertahankan tata tertib
dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Negara diberi
kekuasaan untuk melakukan beberapa tindakan, antara lain menjatuhkan hukuman
atas pelanggaran kaidah-kaidah yang dibuat untuk mempertahankan tata tertib
dalam masyarakat yang dijaga oleh Negara.104
Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana sanksi pidana terdiri
atas :
a. Pidana Pokok
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan
4. Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Keberadaan sanksi pidana yang dianggap sebagai sanksi yang paling kuat,
kemudian membuat pembuat undang-undang untuk mencantumkan sanksi pidana
dalam beberapa peraturan perundang-undangan diluar KUHP. Mengingat
pentingnya keberadaan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku di masyarakat.
2.2.2.1. PIDANA POKOK
1. Pidana Mati.
Pidana mati adalah pidana yang terberat, karena ditujukan pada hak hidup
manusia. Pidana mati yang telah dilaksanakan tidak dapat direvisi apabila
ternyata telah terjadi kesalahan dalam penjatuhan pidana tersebut.
104Utrecht, E, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: PustakaTinta Mas,
1994), hal. 150.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
69
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Oleh sebab itu, bagi tindak pidana yang ancaman hukumannya berupa
pidana mati, selalu diancam juga pidana alternatifnya seperti penjara seumur
hidup atau penjara selama dua puluh tahun.
Dalam Pasal 11 KUHP, pidana mati dilaksanakan dengan cara
menggantung terpidana oleh seorang algojo. Namun dilingkungan peradilan
umum dan militer disebutkan bahwa pelaksanaan pidanan mati dilakukan
dengan ditembak mati.105
2. Pidana Penjara.
Pidana penjara merupakan hukuman perampasan kemerdekaan, dimana
seorang yang bersalah untuk sementara waktu dibatasi ruang geraknya.
Secara garis besar terdapat lima sistem penjara, yaitu :106
a. Sistem Pennsylvania, dimana narapidana menjalani hukumannya
secara terasing dalam sel dan hanya berhubngan dengan penjaga
sel saja.
b. Sistem Auburne, dimana pada malam hari terpidana ditutup
sendirian dalam sel sedangkan pada siang harinya bekerja berat
bersama-sama dengan terpidana lain, namun dilarang untuk saling
bicara.
c. Sistem Ireland, yang menghendaki bahwa para narapidana pada
tahap pertama ditutup dalam sel terus menerus, kemudian tahap
berikutnya diharuskan bekerja bersama-sama, dan kemudian
diberikan kelonggaran untuk bergaul antara sesama narapidana,
sampai pada akhirnya dapat dibebaskan dengan syarat tertentu jika
ia berkelakuan baik.
d. Sistem Elmira atau Sistem Borstal, dimana narapidana diberi
pengajaran, pendidikan, dan pekerjaan untuk memperbaiki dirinya
sehingga bisa diterima oleh masyarakat kembali.
105
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 33. 106Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hal. 88-90.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
70
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
e. Sistem Osborne, yang memberikan Self Government kepada
terpidana dalam penjara dengan mengangkat pimpinan terpidana
yang diambil dari salah satu terpidana.
3. Pidana Kurungan.
Secara umum, pidana kurungan hampir sama dengan pidana penjara.
Namun berdasarkan Pasal 69 ayat (1) KUHP, dimana dinyatakan bahwa
mengenai berat ringannya pidana-pidana pokok yang tidak sejenis, ditentukan
oleh urutannya dalam Pasal 10 KUHP, maka diketahui bahwa pidana
kurungan memiliki ukuran lebih ringan dibandingkan pidana penjara.
Di Indonesia, pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan minimum 1 (satu) hari
dan maksimum 1 (satu) tahun. Dalam hal terdapat dasar pemberat,
maksimum kurungan dapat menjadi 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Hal ini
sangat berbeda dengan pidana penjara yang batas maksimumnya mencapai
penjara seumur hidup atau selama 20 (dua puluh) tahun.
4. Pidana Denda.
Pidana denda adalah pidana yang tertuju pada harta benda orang. Uang
yang diperoleh dari pidana denda tersebut akan dimasukan dalam kas negara.
Dalam sistem KUHP yang sekarang berlaku, pidana denda dipandang sebagai
jenis pidana pokok yang ringan.
Hal ini dapat dilihat dari kedudukan urut-urutan pidana pokok didalam
pasal 10 KUHP, dan pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagai
pidana alternatif dari pidana penjara atau kurungan. Sedikit sekali tindak
pidana yang diancam dengan pidana denda.107
Pidana denda sangat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Seiring
dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, maka nilai mata uang pun
semakin meningkat. Dengan demikian, pidana denda yang diberikan pun
harus disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi. Pidana denda yang terlalu
kecil akan mengakibatkan sanksi tersebut menjadi tidak efektif.
Dimungkinkan dalam beberapa hal, dapat terjadi bahwa pidana denda
yang dijatuhkan ternyata sama sekali tidak dapat dibayar atau hanya dapat
107
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Buku II, op. cit, hal. 177.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
71
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
dibayar sebagian. Dalam kasus seperti ini, maka dapat digantikan dengan
kurungan pengganti denda (kurungan subsidair).
Untuk itu, pada waktu pidana denda dijatuhkan, biasanya disertai dengan
lamanya kurungan yang harus dijalani sebagai pengganti jika pidana denda
tidak dapat dibayar. Adapun besarnya kurungan pengganti sekurang-
kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bukan.
Karena kedudukan sanksi pidana denda sebagai pidana pokok yang ringan
dalam sistem KUHP, maka inilah yang menyebabkan salah satu faktor
jarangnya pidana denda dijatuhkan oleh para hakim. Akan dirasakan kurang
efektif apabila terhadap tindak pidana berupa pencurian, penggelapan,
penipuan, penadahan hanya dijatuhkan pidana denda maksimum Rp.900,-.
Demikian juga pidana denda pada PJN, terdapat 22 pasal mengenai pidana
denda. Menurut Penulis mungkin karena pidana denda merupakan pidana
ringan, inilah yang menjadi salah satu faktor jarang nya pidana denda
dijatuhkan oleh Hakim terhadap Notaris pada saat itu, sehingga pengaturan
pidana denda saat ini tidak dirumuskan kembali dalam UUJN.
Untuk mengefektifkan pidana denda ini, maka dalam perkembangan diluar
KUHP adanya kebijakan legislatif untuk meningkatkan jumlah ancaman
pidana denda, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pidana denda maksimum
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah), Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan pidana denda maksimum Rp.200.000.000.000,- (dua
ratus milyar Rupiah), Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang
Pencucian Uang pidana denda maksimum Rp.100.000.000.000,- (seratus
milyar Rupiah) dan pada undang-undang lainnya.
Dengan adanya Kebijakan legislatif ini menurut penulis seharusnya dapat
diterapkan pula dalam UUJN yaitu dengan merumuskan kembali pidana
denda yang dulu sudah ada di PJN dengan meningkatkan jumlah ancaman
pidana denda dalam UUJN. Dalam menetapkan kebijakan legislatif tersebut
mengenai pelaksanaan pidana denda, perlu dipertimbangkan antara lain
mengenai :108
108Ibid., hal.181.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
72
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
a. Sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda;
b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda;
c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin
terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat
membayar dalam batas waktu yang telah ditetapkan;
d. Pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus;
e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.
Perlu dipertimbangkan agar kebijakan legislatif untuk menentukan
standar atau ukuran yang lebih pasti dan relatif tidak mudah terpengaruh
oleh perkembangan moneter dan ekonomi, misalnya standar emas atau
penghasilan orang rata-rata perhari.109
2.2.2.2. PIDANA TAMBAHAN
1. Pencabutan hak-hak tertentu.
Pencabutan hak-hak tertentu adalah pencabutan beberapa hak yang
dimiliki seseorang sebagai hukumam atas pelanggaran yang dilakukannya.
Dalam hal ini, tidak semua haknya dicabut, tetapi hanya hak-hak tertentu
saja.
Dalam Pasal 35 KUHP, hak-hak tertentu yang dapat dicabut meliputi :
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu.
b. Hak memasuki angkatan bersenjata.
c. Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum,
kekuasaan bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu dan
pengampu pengawas, baik terhadap anak sendiri maupun anak orang
lain.
d. Hak untuk melakukan pekerjaan tertentu.
2. Perampasan barang-barang tertentu.
109Ibid., hal.183.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
73
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Perampasan barang tertentu adalah tindakan untuk mencabut hak milik
atau suatu barang dari orang yang memilikinya dan barang itu jadi milik
Negara.110
Dalam Pasal 39 KUHP, barang-barang yang dapat dirampas terdiri dari
dua jenis, yaitu :
a. Barang-barang yang diperoleh dengan kejahatan
b. Barang-barang yang sengaja dipakai dalam melakukan kejahatan.
3. Pengumuman putusan hakim.
Pada prinsipnya, putusan hakim harus diumumkan secara terbuka.
Biasanya, pengumuman putusan hakim tersebut hanya diumumkan secara
terbuka dalam ruang sidang pengadilan.
Sebagai hukuman tambahan, putusan pengadilan tersebut tidak hanya
diumumkan secara terbuka dalam ruang sidang, tetapi juga diumumkan
secara luas atas biaya terpidana. Terhadap terpidana yang belum berusia 16
(enambelas) tahun, hukuman tambahan ini tidak dapat dijatuhkan.111
4. Pidana Tutupan.
Disamping jenis pidana yang terdapat dalam KUHP sebagaimana
diuraikan diatas, masih terdapat satu jenis pidana pokok yang ditambahkan ke
dalam Pasal 10 KUHP dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, yaitu
Pidana Tutupan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut, disebutkan bahwa
dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan
hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka
hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.112
Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan
yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya.113
Dalam praktek pidana
seperti ini, hanya pernah terjadi satu putusan hakim yang memberikan
hukuman pidana tutupan, yaitu Putusan Mahkamah Tentara Agung Republik
110Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di
Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), hal 38. 111
R. Tresna, Azaz-Azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan
Pidana Yang Penting, (Surabaya: PustkaTinta Mas, 1994), hal. 141. 112Ibid, hal. 134. 113Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, cet. Kedua (Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 1993), hal. 58.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
74
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Indonesia pada tanggal 27 Mei 1948 yang mengadili para pelaku kejahatan
“peristiwa 3 Juli 1946.114
2.2.3. UNSUR-UNSUR TPN
Tidak sedikit akta Notaris dipermasahlakan oleh para pihak atau pihak
lain, yang kemudian Notaris tersebut ditarik sebagai pihak yang turut serta
melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, yaitu membuat atau
memberikan keterangan palsu ke dalama akta Notaris, sehingga Notaris dapat
dikenakan sanksi pidana jika dapat dibuktikan di pengadilan bahwa secara sengaja
atau tidak sengaja bersama-sama dengan para pihak/penghadap membuat akta
dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu
saja atau merugikan penghadap yang lain. Adapun tindakan Notaris yang
merupakan TPN antara lain yaitu :115
1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang
dipalsukan (pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP);
2. Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (pasal 264 KUHP);
3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (pasal 266
KUHP);
4. Melakukan, menyuruh, turut serta melakukan (pasl 55 jo pasal 263 ayat
(1) dan (2) KUHP atau pasal 264 atau pasal 266;
5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan
surat palsu/yang dipalsukan (pasal 56 ayat (1) dan (2) jo pasal 263 ayat (1)
dan (2) KUHP atau pasal 264 atau pasal 266.
Beberapa contoh kasus TPN, sebagai berikut :
Contoh Kasus TPN di Medan yaitu Putusan MA Nomor 1099
K/PID/2010, Notaris San Smith, SH didakwa dalam Dakwaan Primair : pasal 266
ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu telah melakukan, turut serta
melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik
mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan
maksud untuk itu seolah-oleh keterangannya sesuai kebenaran. Dalam Dakwaan
114Adam Chazawi, op.cit, hal.43. 115Habib Adjie, Buku I, op.cit. hal.76.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
75
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Subsidair : pasal 263 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu telah
membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan suatu hak
yang dilakukan terhadap akta otentik, turut serta melakukan, menyuruh
memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal
yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk itu
seolah-oleh keterangannya sesuai kebenaran.
Terhadap dakwaan tersebut Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya
Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn, tertanggal 04 Januari 2010 yang amar
lengkapnya menyatakan bahwa terdakwa Notaris San Smith, SH, tersebut telah
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut
serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik”, dan
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun.
Pengadilan Tinggi Medan menerima permintaan banding dari Jaksa dan
Penasehat hukum terdakwa dan tetap menyatakan dalam putusan Nomor :
82/PID/2010/PT-MDN tanggal 25 Februari 2010 bahwa Notaris San Smith, SH
telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik”
dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
Mahkamah Agung dalam Putusan MA Nomor 1099 K/PID/2010 menolak
permohonan Kasasi dari pemohon kasasi yaitu San Smith, SH tersebut.
Menimbang bahwa putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, judex facti tidak salah menerapkan hukum karena telah
mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis secara benar.
Contoh Kasus TPN di Jakarta yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor 880/PID.B/2006/PN.JKT.PST, Notaris Dr. Teddy Anwar, SH., SpN
didakwa dalam dakwaan kesatu Pasal 263 ayat (1), dakwaan kedua Pasal 263 ayat
(2), dakwaan ketiga Pasal 264 ayat (1), dan dakwaan keempat Pasal 266 ayat (2)
KUHP.
Dalam amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa Dr. H. Teddy
Anwar, SH., SpN., tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana dalam dakwaa kesatu, kedua, ketiga, dan maupun keempat;
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
76
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan; memulihkan hak terdakwa dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; dan agar terdakwa segera
dibebaskan dari tahanan.
Atas putusan tersebut diajukan banding dan atas putusan banding diajukan
kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum ke Mahkamah Agung dengan amar putusannya
yaitu membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
880/PID.B/2006/PN.JKT.PST tanggal 26 Juli 2006 dan menyatakan terdakwa Dr.
H. Teddy Anwar SH., SpN., telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Membuat Akta Otentik Palsu”; serta menghukum
terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan.
Contoh Kasus TPN di Surakarta Jawa Tengah yaitu Kasus Putusan MA
Nomor 1860 K/Pid/2010, Notaris Tjondro Santoso, SH didakwa dalam dakwaan
Primair : pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP bersama-sama dengan Anne Patricia
Sutanto telah membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan
suatu hak yang dilakukan terhadap akta otentik. Dalam dakwaan Subsidair : pasal
266 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu telah melakukan, turut
serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta
otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,
dengan maksud untuk itu seolah-oleh keterangannya sesuai kebenaran. Dalam
dakwaan Lebih Subsidair : pasal 266 ayat (1) jo pasal 56 ayat (2) yaitu telah
sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan
memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal
yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk itu,
seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.
Notaris yang turut aktif merekayasa subtansi akta yang tidak sesuai dengan
hukum dan perundang-undangan, maka tidak tertutup kemungkinan terjadi
pelanggaran terhadap norma hukum, khususnya hukum pidana. Parameternya
adalah kecurangan, penyesatan, penyembunyian, kenyataan, manipulasi,
pelanggaran kepercayaan, akal-akalan atau pengelakan peraturan. Dan semua ini
harus dilakukan dengan sengaja dan sama sekali tidak ada alasan pembenar dan
alasan pemaaf yang dapat digunakan.
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
77
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
Tindak pidana Notaris yang cenderung terkait adalah tindak pidana
“kesengajaan”, seperti dalam pasal-pasal dibawah ini, yaitu:116
1. Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan.
(1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama 6 tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan
tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Unsur-unsur tindak pidana pemalsuan yang terdapat pada rumusan pada pasal
263 ayat (1) terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur Objektif :
1) Perbuatan, yaitu:
a) membuat surat palsu;
b) memalsukan surat.
2) Objeknya adalah “Surat” :
a) yang dapat menimbulkan suatu hak;
b) yang menimbulkan suatu perikatan;
c) yang menimbulkan suatu pembebasan utang;
d) yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal.
3) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut.
b. Unsur-unsur Subjektif:
“Dengan sengaja” untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.
Sedangkan pada pasal 263 ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
116Muladi, “Hukum Pidana dan Profesi Jabatan Notaris”, (Makalah disampaikan pada
Seminar Tantangan dan Peluang Profesi Notaris di Era Globalisasi, FHUI Depok, 23 Februari
2011).
Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013
78
Universitas Indonesia
Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013
a. Unsur-unsur Objektif:
1) Perbuatan yaitu : memakai
2) Objeknyayaitu :
a) surat palsu;
b) surat yang dipalsukan.
3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.
b. Unsur-unsur Subjektif adalah: “Dengan sengaja”
Membuat surat palsu adalah membuat surat yang isinya bukan
semestinya (tidak benar), atau membuat surat sedemikian rupa sehingga
menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Sedangkan memalsukan surat
adalah mengubah surat sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi
yang asli sehingga surat itu menjadi lain dari yang asli.117
Keduanya dapat
terjadi terhadap sebagian atau seluruh isi surat.
Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan
memalsukan surat adalah bahwa dalam membuat surat palsu, sebelum
perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian dibuat surat yang isinya
sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran. Sedangkan
perbuatan memalsukan surat, sebelum perbuatan dilakukan sudah ada sebuah
surat (surat asli). Terhadap surat asli ini dilakukan perbuatan memalsu yang
akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh
isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran.118
Tidak semua surat dapat menjadi objek tindak pidana pemalsuan surat,
melainkan terbatas pada 4 (empat) macam surat, yaitu :119
1. Surat yang dapat menimbulkan suatu hak;
2. Surat yang dapat menimbulkan suatu perikatan;
3. Surat yang dapat menimbulkan pembebasan hutang;
4. Surat yang diperuntukan bukti mengenai suatu hal.
Surat-surat yang termasuk dalam akta otentik memiliki kekuatan
pembuktian sempurna berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata, dibuat oleh atau
117
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-