Top Banner
1 LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL GREEN ARCHITECTURE LEXICON IN KAILI LANGUAGE: UTILIZATION OF LOCAL WISDOM Deni Karsana Balai Bahasa Sulawesi Tengah Jalan Untad 1, Bumi Roviga, Tondo Palu 94118 Pos-el: [email protected] Naskah diterima: 10 Desember 2018; direvisi: 04 Maret 2019; disetujui: 21 Juni 2019 Abstract This study aims to reveal the lexicons in the Kaili etnic architecture as an effort to protect their ethno- architectural lexicons (houses). Remember the fundamental nature of the house as a necessity for human life, the local wisdom embedded in the Kaili house building reflects the concept of green architecture. This is an inseparable part of the fact that the language and culture of the houses in the Kaili etnics live, namely Palu, Sigi and Donggala as areas that often occur in earthquakes (Palu-Koro strike-slip fault). Local knowledge that becomes local wisdom that carries the green architecture concept needs to be preserved. This reflects the value of local wisdom that is environmentally sound by upholding customs for the preservation of human civilization. The disclosure of this lexicon is done using a qualitative descriptive method. Language data in the form of lexicons of house buildings were analyzed to explore the description of Kaili etnics houses, their socio-cultural functions, and the concept of green architecture as disaster mitigation efforts. The findings of this study are expected to be able to strengthen research related to disaster mitigation (earthquake) in an interdisciplinary perspective to minimize the impact of disasters on human life. Keywords: architecture, ethnic, local wisdom, Kaili Abstrak Kajian ini bertujuan mengungkap leksikon dalam arsitektur suku Kaili sebagai upaya pelindungan terhadap leksikon etnoarsitektur tempat berlindung (rumah) mereka. Mengingat begitu fundamentalnya rumah sebagai kebutuhan hidup manusia, kearifan lokal yang tertanam dalam bangunan rumah suku Kaili mencerminkan konsep pembangunan arsitektur hijau (green achitecture). Hal ini menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari fakta bahasa dan budaya rumah di daerah suku Kaili tinggal, yaitu Palu, Sigi dan Donggala sebagai wilayah yang sering terjadi gempa (sesar Palu-Koro). Pengetahuan lokal yang menjadi kearifan lokal yang mengusung konsep green architecture perlu dilestarikan. Hal ini mencerminkan nilai kearifan lokal yang berwawasan lingkungan dengan menjunjung adat istiadat demi kelestarian peradaban umat manusia. Pengungkapan leksikon ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data bahasa yang berupa leksikon bangunan rumah dianalisis untuk menggali deskripsi bangunan rumah suku Kaili, fungsi sosial budayanya, dan konsep green architecture sebagai upaya mitigasi bencana. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkuat riset sekaitan mitigasi bencana (gempa) dalam perspektif interdisipliner untuk meminimalkan dampak bencana bagi kehidupan manusia. Kata kunci: arsitektur, etnik, kearifan lokal, Kaili
21

LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

Jan 05, 2022

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

1

LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI:PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL

GREEN ARCHITECTURE LEXICON IN KAILI LANGUAGE:UTILIZATION OF LOCAL WISDOM

Deni KarsanaBalai Bahasa Sulawesi Tengah

Jalan Untad 1, Bumi Roviga, Tondo Palu 94118Pos-el: [email protected]

Naskah diterima: 10 Desember 2018; direvisi: 04 Maret 2019; disetujui: 21 Juni 2019

AbstractThis study aims to reveal the lexicons in the Kaili etnic architecture as an effort to protect their ethno-architectural lexicons (houses). Remember the fundamental nature of the house as a necessity for humanlife, the local wisdom embedded in the Kaili house building reflects the concept of green architecture. Thisis an inseparable part of the fact that the language and culture of the houses in the Kaili etnics live, namelyPalu, Sigi and Donggala as areas that often occur in earthquakes (Palu-Koro strike-slip fault). Localknowledge that becomes local wisdom that carries the green architecture concept needs to be preserved.This reflects the value of local wisdom that is environmentally sound by upholding customs for thepreservation of human civilization. The disclosure of this lexicon is done using a qualitative descriptivemethod. Language data in the form of lexicons of house buildings were analyzed to explore the descriptionof Kaili etnics houses, their socio-cultural functions, and the concept of green architecture as disastermitigation efforts. The findings of this study are expected to be able to strengthen research related todisaster mitigation (earthquake) in an interdisciplinary perspective to minimize the impact of disasters onhuman life.Keywords: architecture, ethnic, local wisdom, Kaili

AbstrakKajian ini bertujuan mengungkap leksikon dalam arsitektur suku Kaili sebagai upaya pelindungan terhadapleksikon etnoarsitektur tempat berlindung (rumah) mereka. Mengingat begitu fundamentalnya rumahsebagai kebutuhan hidup manusia, kearifan lokal yang tertanam dalam bangunan rumah suku Kailimencerminkan konsep pembangunan arsitektur hijau (green achitecture). Hal ini menjadi bagian yang tidakterlepaskan dari fakta bahasa dan budaya rumah di daerah suku Kaili tinggal, yaitu Palu, Sigi dan Donggalasebagai wilayah yang sering terjadi gempa (sesar Palu-Koro). Pengetahuan lokal yang menjadi kearifanlokal yang mengusung konsep green architecture perlu dilestarikan. Hal ini mencerminkan nilai kearifanlokal yang berwawasan lingkungan dengan menjunjung adat istiadat demi kelestarian peradaban umatmanusia. Pengungkapan leksikon ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Databahasa yang berupa leksikon bangunan rumah dianalisis untuk menggali deskripsi bangunan rumah sukuKaili, fungsi sosial budayanya, dan konsep green architecture sebagai upaya mitigasi bencana. Hasilpenelitian ini diharapkan mampu memperkuat riset sekaitan mitigasi bencana (gempa) dalam perspektifinterdisipliner untuk meminimalkan dampak bencana bagi kehidupan manusia.Kata kunci: arsitektur, etnik, kearifan lokal, Kaili

Page 2: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

2

PENDAHULUAN

Tempat berlindung atau rumah

merupakan bagian sistem teknologi

tradisional. Koentajraningrat (2005: 26--27)

menyatakan bahwa beragam jenis dan bentuk

tempat berlindung, seperti tenda dan rumah

yang dibuat oleh beribu-ribu suku bangsa di

seluruh muka bumi dapat digolongkan juga

sesuai dengan bahan mentah yang digunakan.

Di seluruh dunia terdapat tempat berlindung

(atau rumah) yang dibangun dari serat, jerami,

kayu, dan bambu; berbagai suku bangsa

Indian Amerika Utara membangun rumah dari

kulit pohon; di daerah-daerah yang sangat

kering dapat dijumpai rumah-rumah yang

terbuat dari tanah liat; ada suku-suku bangsa

peternak atau suku-suku bangsa yang bermata

pencaharian berburu (suku-suku bangsa yang

menghuni daerah padang rumput di Asia Barat

Daya, Asia Tengah, dan Amerika Tengah)

yang membangun tenda-tenda yang terbuat

dari kulit hewan; sementara orang Eskimo

penduduk Kanada Utara bagian tengah dan

Greenland Utara, membangun rumahnya dari

salju yang telah mengeras yang disebutnya

igloo. Rumah batu adalah rumah yang paling

lazim di berbagai tempat di dunia (terutama di

daerah perkotaan).

Sistem teknologi pembuatan rumah

yang beraneka ragam di dunia ini belum

banyak diteliti antropolog karena bahan-bahan

etnografi yang ada umumnya juga terbatas

pada pelukisan mengenai bentuk kerangka

serta bentuk lahirnya saja, walaupun ada yang

membuat deskripsi mengenai teknik

penyambungan balok-balok, sistem mengikat

berbagai bagian rumah, dan sebagainya.

Secara garis besar, berbagai bentuk rumah

yang ada di dunia dapat diklasifikasikan

sebagai berikut; (1) rumah yang sebagian

berada di bawah permukaan tanah, (2) rumah

yang dibangun di atas tanah, dan (3) rumah

yang dibangun di atas tiang-tiang.

Selanjutnya, Koentjaraningrat juga

menyatakan bahwa dilihat dari segi

pemakaiannya, tempat berlindung dapat

dibagi ke dalam 3 golongan pula, yaitu: (1)

tadah angina, (2) tenda atau gubuk yang

mudah dipasang dan dibongkar, dan (3) rumah

tinggal tetap. Dilihat dari segi fungsi

sosialnya, berbagai jenis rumah tinggal tetap

masih dapat dibagi lagi menjadi: (i) rumah

tangga keluarga kecil, (ii) rumah tangga

keluarga besar, (iii) rumah suci, (iv), tempat

pemujaan, (v) gedung pertemuan, dan (vi)

benteng pertahanan.

Tempat tinggal merupakan hasil

kegiatan arsitektur. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia edisi keempat (2014: 82),

arsitektur n 1 seni dan ilmu merancang serat

membuat kontruksi bangunan, jembatan dsb;

2 metode dan gaya rancangan suatu konstruksi

Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019

Page 3: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

3

bangunan. Kata arsitektur berasal dari kata

dasar arsitek. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia edisi keempat (2014: 82), arsitek n

1 ahli merancang dan mengambar bangunan,

jembatan, dsb, biasanya sekaligus sbg

penyelia kontruksinya; 2 ki perencana

(pencipta suatu paham, negara dsb).

Pengertian arsitektur umumnya

dimengerti sebagai suatu ilmu atau studi

merancang bangunan. Arsitektur adalah

sistem mendirikan bangunan termasuk proses

perancangan, konstruksi, struktur, dan juga

mencakup aspek dekorasi dan keindahannya.

Arsitektur hampir selalu identik dengan

aktivitas membangun (konstruksi); dan

membangun berarti menambahkan sesuatu.

Meskipun pengertian awal dari kata arsitektur

sesungguhnya tidak terbatas hanya pada

membangun atau merancang konstruksi

bangunan. Berikut ini pengertian arsitektur.

Arsitektur hampir selalu identik dengan

aktivitas membangun (kontruksi). Asal kata

arsitektur dalam bahasa Indonesia diserap

dari bahasa Latin “architectura” yang secara

etimologi berasal dari bahasa yunani Kuno

“akchitekton”, yang secara harfiah berarti

pembangunan utama (www.kanalinfo.

web.id).

Sebagaimana manusia yang hidup dan

berkembang, tentunya mempunyai

kebutuhan, baik berupa kebutuhan utama

(primer) dan kebutuhan bukan utama

(sekunder) maupun kebutuhan lanjutan

(tersier). Kebutuhan primer manusia berupa

pangan, sandang, dan papan. Kebutuhan akan

tempat tinggal menjadi hal yang utama bagi

manusia. Keberadaaan tempat tinggal suatu

etnik menjadi hal yang unik. Setiap etnik

memiliki kekhasan dalam membangun tempat

tinggal. Bangunan tempat tinggal mencirikan

kekhasan dan kearifan lokal yang ada dalam

suku tersebut.

Arsitektur tempat berlindung suku

Kaili sebagai hasil budaya masyarakat Kaili

yang mencerminkan kearifan lokal etnik

tersebut. Ada banyak produk tempat

berlindung yang dapat diketahui dan

dikenalkan pada masyarakat. Tempat

berlindung yang dibuat oleh etnik Kaili sangat

unik dalam proses pembuatannya dan

terutama tahan terhadap gempa. Suku Kaili

secara umum mendiami tiga wilayah utama,

yaitu Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan

Kabupaten Donggala. Gempa yang sering

melanda Sulawesi Tengah, khususnya di Kota

Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten

Donggala seperti yang terjadi baru-baru ini

(28 September 2018 lalu) yang meng-

hancurkan bangunan-bangunan, seperti

gedung, hotel, dan rumah-rumah. Semua

bangunan tersebut dibuat dengan kurang

Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal

Page 4: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

4

memperhitungkan bahwa bangunan-

bangunan itu harus dirancang tahan gempa.

Tulisan arsitektur suku Kaili memang

cukup banyak dibuat, seperti oleh Herniwati

(2008), Nutfa (2012), dan Rahmah (2016).

Akan tetapi, dari semua tulisan tersebut belum

ada yang mengkhususkan pada bidang

leksikon arsitekturnya. Untuk itulah,

penelitian ini dilakukan penulis.

LANDASAN TEORI

Chaer (2003:51) menyatakan bahwa

bahasa itu bersifat unik. Unik artinya

mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak

dimiliki oleh yang lain. Ciri khas itu bisa

menyangkut sistem bunyi, pembentukan kata,

pembentukan kalimat, atau sistem-sistem

lainnya. Selain bersifat unik, Chaer juga

menambahkan bahwa bahasa mempunyai

hubungan yang sangat erat dengan budaya

masyarakat pemakainya. Oleh sebab itu,

analisis suatu bahasa hanya berlaku pada

bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk

menganalisis bahasa lain.

Menurut Verhaar (2004:13), istilah

leksikon dalam linguistik berarti

perbendaharaan kata-kata itu sendiri atau yang

disebut leksem. Cabang linguistik yang

berurusan dengan leksikon itu disebut

leksikologi. Istilah leksikologi agak jarang

dipakai karena urusan utama para ahli

leksikologi adalah penyusunan kamus, dan

penyusunan kamus disebut leksikografi.

Leksikografi itu tidak lain adalah bentuk

terapan dari leksikologi. Lebih lanjut, Verhar

menyebutkan bahwa setiap bahasa

mempunyai perbendaharaan kata yang cukup

besar, meliputi puluhan ribu kata. Setiap kata

mempunyai arti atau makna sendiri. Urusan

leksografi tidak lain adalah pemerian arti

masing-masing leksem.

Sekaitan dengan itu, Chaer (2007:48)

menambahkan, bahwa leksikon berkaitan erat

dengan bidang-bidang tertentu. Setiap bidang

kegiatan atau keilmuan, selain memiliki

kosakata umum yang sama dengan bidang-

bidang kegiatan lain, juga memiliki sejumlah

kosakata yang khusus digunakan dalam

bidang itu.

Sapir (dalam Bonvillain, 1997:49)

menyatakan bahwa analisis suatu kosa kata

suatu bahasa sangat penting untuk menguak

lingkungan fisik dan sosial tempat penutur

suatu bahasa bermukim. Hubungan antara

kosakata dan nilai budaya bersifat

multidireksional. Sejalan dengan pendapat itu,

Folley (1997:160) menyatakan bahwa bahasa

mengategorisasi realitas budaya. Bahasa

menampakkan sistem klasifikasi yang dapat

dipergunakan untuk menelusuri praktik-

praktik budaya dalam suatu masyarakat.

Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019

Page 5: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

5

Kajian seperti ini setidaknya

melibatkan dua payung ilmu, yaitu linguistik

antropologi (anthropological linguistics) dan

antropologi linguistik (linguistic

anthropology). Artinya, kajian tentang

leksikon dengan potensi daerah dalam suatu

bahasa tidak hanya dilakukan terbatas dalam

konteks lingusitik semata, tetapi juga

dilakukan dalam konteks sosial budaya yang

lebih luas sehingga mampu menjangkau

fungsinya dalam menopang praktik

kebudayaan (Folley, 2001). Selanjutnya,

Wierzbicka (1997:40) menyatakan bahwa

kata mencerminkan dan menceritakan

karakteristik cara hidup dan cara berpikir

penuturnya dan dapat memberikan petunjuk

yang sangat bernilai dalam upaya memahami

budaya penuturnya.

Menurut Putra (2008:12--13) kearifan

lokal mencakup berbagai pengetahuan,

pandangan, nilai serta praktik-praktik dari

sebuah komunitas baik itu yang diperoleh dari

komunitas, masyarakat, atau budaya lain di

masa kini. Oleh karena itu, kearifan lokal

didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan

dari praktik-praktik baik yang berasal dari

generasi-generasi sebelumnya maupun dari

pengalaman berhubungan dengan lingkungan

dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas

di satu tempat yang digunakan untuk

menyelesaikan secara baik dan benar berbagai

persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi.

Selanjutnya, Putra juga menambahkan

bahwa, pengetahuan manusia tersimpan dalam

bahasa, karena bahasa merupakan wahana

utama manusia untuk menyampaikan

pengetahuan dari suatu individu ke individu

yang lain.

Menurut Rahman (dalam laman

www.bangunan88.com ) konsep arsitektur

hijau (green architecture) adalah sebuah

kesadaran lingkungan arsitektur yang tidak

hanya memasukkan aspek utama aristektur

(kuat, fungsi, nyaman, rendah biaya, estetika,

tetapi juga memasukkan aspek lingkungan

dari sebuah green buildings, yaitu efisiensi

energi, konsep keberlanjutan, dan pendekatan

secara holistik terhadap lingkungan.

Arsitektur hijau memiliki pengertian sebagai

sebuah istilah yang menggambarkan tentang

ekonomi, hemat energi, ramah lingkungan,

dan dapat dikembangkan menjadi

pembangunan berkesinambungan.

Rahman menambahkan bahwa

arsitektur hijau mencakup keselarasan antara

manusia dan lingkungan alamnya. Arsitektur

hijau mengandung juga dimensi lain, seperti

waktu, lingkungan alam, sosiokultural, ruang

serta teknik bangunan. Arsitektur hijau juga

didefinisikan sebagai arsitektur yang

berwawasan lingkungan dan berlandaskan

kepedulian tentang konservasi lingkungan

Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal

Page 6: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

6

global alami dengan penekanan pada efisiensi

energi, pola berkelanjutan dan pendekatan

holistik. Bertitik tolak dari pemikiran desain

ekologi yang menekankan pada saling

ketergantungan dan keterkaitan antara semua

sistem dengan lingkungan lokalnya dan

biosfer. Kredo bentuk energi berkelanjutan

diperluas menjadi bentuk lingkungan

berkelanjutan yang berdasarkan pada prinsip

recycle, reuse, dan reconfigure.

Menurut Handayani (2009: 154--155),

ada lima prinsip dalam desain green

architecture untuk menopang green design

dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu (1)

hemat energi; (2) memperhatikan kondisi

iklim; (3) penggunaan material bangunan

dengan memperhatikan ekosistem dan sumber

daya alam; (4) tidak berimplikasi negatif

terhadap kesehatan dan kenyamanan

pengguna bangunan; (5) merespons tapak dari

bangunan.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam

penelitian ini dalah metode deskriptif, yaitu

memberikan gambaran secara objektif

mengenai fakta yang ada. Jenis penelitian ini

adalah penelitian kualitatif. Penulis

melakukan tiga tahap strategis, yaitu

pengumpulan data, pengolahan data, dan

penyajian hasil analisis data. Sudaryanto,

(1993:9) membagi metode dan teknik

penelitian menjadi 3, yaitu (1) metode dan

teknik pengumpulan data atau penyediaan

data, (2) metode analisis data, dan (3) metode

dan teknik penyajian hasil analisis data.

Untuk teknik pengumpulan data,

penulis menggunakan teknik catat, misalnya

mencatat setiap kata yang dapat digolongkan

sebagai istilah arsitektur dalam bahasa Kaili.

Bahan-bahan yang dijadikan sumber

pencarian data berupa data primer dan data

sekunder. Sumber data primer adalah orang

yang mengetahui istilah arsitektur tradisional

dalam masyarakat Kaili dan sumber

sekundernya berupa buku-buku yang memuat

istilah arsitektur tradisional dalam bahasa

Kaili.

Setelah data terkumpul dan

diklasifikasi, tahap berikutnya adalah

pengolahan data. Dalam proses pengolahan

data digunakan teknik pengklasifikasian data

berdasarkan bahan yang dipakai dan cara

mengolah atau membuatnya. Setelah itu data

disajikan sesuai dengan tahapan permasalahan

yang hendak disajikan, yaitu deskripsi

leksikon etnoarsitektur berdasarkan jenis

tempat berlindung, berdasarkan bagian-

bagiannya, berdasarkan bahan bangunan,

fungsi leksikone Etnoarsitektur sebagai

tempat berlindung etnik Kaili, dan konsep

Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019

Page 7: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

7

green architecture sebagai upaya mitigasi

bencana.

PEMBAHASAN

Klasifikasi dan Deskripsi Data

Pengertian istilah arsitektur dalam

bahasa Kaili tidak hanya mengacu pada

bentuk bangunan atau bendanya, tetapi

meliputi proses pembuatan bangunan tersebut.

Dalam hal ini, penulis membahas produk atau

hasilnya, bagian bagunan, dan bahan

bangunan yang digunakan dalam tempat

berlindung.

1. Leksikon Etnoarsitektur Berdasarkan

Jenis Tempat Berlindung

Klasifikasi leksikon etnoarsitektur

berdasarkan jenis tempat berlindung pada

etnik di Sulawesi Tengah secara umum

menurut Mahmud (1987: 58) adalah (1) sou,

yaitu pondok yang didirikan di sekitar sawah

dan ladang, (2) lolu, yaitu tempat yang dibuat

khusus untuk berteduh, (3) kandepe, yaitu

tempat tinggal sementara, dan (4) bente atau

benteng. Namun demikian, untuk jenis tempat

berlindung pada suku Kaili dapat terbagi atas

(1) sou, (2) gampiri, (3) banua, (4) bantaya,

(5) barunju, (6) kalampa, (7) lolea, (8) soki-

soki, (9) masigi, (10) garega, dan (11) bente.

Kesebelas jenis tempat berlindung ini merujuk

pada fungsinya masing-masing dalam

masyarakat. Berikut ini akan djelaskan

dekripsi kesebelas jenis tempat berlindung

tersebut.

Sou

Sou merupakan bentuk bangunan

rumah panggung. Ada dua jenis sou, yaitu sou

yang biasa dan sou yang istimewa (souraja).

Secara struktur utama sama bentuknya. Istilah

sou sebenarnya hanya bermakna pondok.

Pondok merupakan bangunan untuk tempat

sementara (seperti yang didirikan di ladang, di

hutan dan sebagainya. Dengan demikian,

berbeda istilah sou dengan istilah souraja. Sou

hanya diperuntukkan pada bangunan yang

bersifat sementara dan tidak permanen,

sedangkan souraja bersifat tetap atau

permanen. Istilah souraja diperuntukkan

untuk bangunan yang istimewa, yang

memiliki lebih banyak pernak–pernik dalam

membangunnya, karena dipakai untuk raja dan

keluarganya.

Souraja disebut juga banua mbaso

‘rumah besar’. Souraja merupakan bangunan

rumah untuk golongan bangsawan. Souraja

memiliki sebutan yang berbeda-beda, yakni

banuambaso, sapo oge (sapo bose), dan banua

magau. Souraja merupakan rumah tradisional

tempat tinggal para bangsawan, yang berdiam

di pantai atau di kota. Kata souraja dapat

diartikan rumah besar, merupakan rumah

Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal

Page 8: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

8

kediaman tidak resmi dari manggan atau raja

beserta keluarga-keluarganya.

Gampiri

Gampiri adalah tempat penyimpanan

padi atau hasil pertanian lainnya atau sebagai

tempat penyimpanan barang-barang yang

sangat berharga yang dimiliki oleh keluarga

secara turun-temurun. Gampiri biasanya

berada di samping rumah, terpisah dan

dibangun seperti model rumah panggung

dengan pintu kecil di depannnya. Gampiri

umumnya berukuran 2 x 2 meter, berbentuk

bujur sangkar. Tidak memiliki pembagian

ruang, karena fungsinya sebagai tempat

menyimpan.

Banua

Banua merupakan istilah untuk

tempat tinggal secara umum; rumah. Dahulu

banua menggunakan dinding dari papan atau

bambu tebal yang diserut dan dianyam dan

beratapkan daun rumbia. Banua merupakan

bangunan tempat tinggal (rumah) yang

berbentuk panggung. Banua merupakan

rumah sederhana dan tradisional etnik Kaili

yang berstatus bukan bangsawan. Ada dua

jenis banua, yaitu kataba (rumah golongan

menengah) dan tinja kanjai (rumah untuk

golongan biasa. Kataba (pataba) berarti

rumah papan. Tipe kataba, yakni berbentuk

rumah panggung yang ditopang dengan tiang-

tiang balok dan beralaskan batu. Atapnya

terdiri dari atap rumbia atau seng saat ini.

sedangkan tinja kanjai berarti rumah ikat.

Tinja kanjai ialah bentuk rumah sederhana

yang tingginya kurang lebih 75--100 cm di

atas tanah. Tiang-tiangnya diikat dan lantai

beralaskan bambu.

Bantaya

Bantaya atau disebut juga baruga

(bahasa Pamona/Baree) merupakan salah satu

bentuk bangunan khas tradisonal. Bentuk

bangunan bantaya adalah biasa saja,

bangunan ini hanyalah sebuah rumah

panggung yang panjang. Bantaya hanya

merupakan bangunan yang berfungsi sosial

dan sebenarnya bukan tempat dilaksanakan

upacara adat. Ada dua macam bantaya dilihat

dari sifatnya, yaitu (1) yang bersifat

sementara: didirikan di saat keluarga

bangsawan mengadakan pesta, yaitu sebuah

bangunan yang disediakan untuk menampung

para tamu. Jadi, bantaya hanyalah berupa

bangunan tambahan sementara, dan akan

segera dibongkar apabila pesta telah selesai;

dan (2) yang bersifat tetap adalah hasil

swadaya masyarakat yang ditujukan untuk

maksud-maksud sosial, seperti: a) pesta

keramaian kampung, b) tempat berkumpul

untuk membicarakan hal-hal yang tidak terlalu

Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019

Page 9: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

9

prinsipil, karena yang menyangkut masalah

adat dilakukan di rumah adat, dan c) tempat

tinggal sementara kaum musafir dari kampung

lain.

Kalampa

Kalampa merupakan bangunan

sementara yang dibuat untuk kepentingan

khusus. Kalampa merupakan dapur yang

cukup besar dan terbuka yang didirikan di

sekitar rumah yang sifatnya sementara yang

digunakan pada saat adanya pesta besar

sebuah keluarga etnik Kaili. Bangunan

kalampa dibuat sederhana, karena akan

dibongkar kembali saat selesainya acara pesta.

Barunju

Barunju merupakan jenis bangunan

tradisional masyarakat Kaili yang disusun

bertingkat. Barunju berbentuk rumah biasa

hanya bertingkat. Barunju dapat dilihat

sebagai rumah (banua) yang dibangun secara

bertingkat. Umumnya, posisi ruangan tingkat

tidaklah berada di depan, tetapi di belakang

atau di tengah bagian rumah tersebut.

Lolea

Lolea merupakan bentuk bangunan

yang sederhana yang menghubungkan dua

tempat yang terpisah oleh sungai atau kali.

Lolea disebut untuk titian atau jembatan.

Secara umum lolea dibangun tanpa atap, tetapi

pada zaman Belanda, beberapa jembatan

panjang di Sulawesi Tengah yang berfungsi

sebagai penghubung utama menggunakan

struktur beratap.

Soki-soki

Soki-soki dikenal juga sebagai

beranda. Soki-soki merupakan bangunan

dengan model segi empat, beratap dan tanpa

dinding, terbuka. Soki-soki berfungsi

sebagai tempat santai.

Masigi

Masigi atau masjid merupakan tempat

ibadah untuk umat yang beragama Islam.

Agama Islam dibawa oleh para musafir dan

saudagar yang berkunjung ke Sulawesi

Tengah. Masigi dapat menampung jamaahnya

dalam melaksanakaan salat dengan jumlah

yang besar.

Garega

Garega atau gereja merupakan tempat

ibadah untuk umat yang beragama nasrani

atau Kristen. Agama Kristen yang dibawa dan

dianut oleh bangsa Eropa (Belanda) saat itu,

masuk Sulawesi Tengah.

Bente

Bente atau benteng dibangun untuk

melindungi masyarakat Kaili dari serangan

Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal

Page 10: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

10

musuh, baik dari kerajaan lain maupun dari

penjajahan Belanda.

2. Leksikon Etnoarsitektur Berdasarkan

Bagian-bagiannya

Klasifikasi leksikon etnoarsitektur

berdasarkan bagian-bagiannya pada tempat

berlindung pada suku Kaili akan dijelaskan

berikut ini.

Souraja memiliki atap yang berbeda

dari bangunan tempat tinggal lainnya.

Atapnya berbentuk piramida segitiga, bagian

depan dan belakang atapnya ditutup dengan

papan yang dihiasi dengan ukiran disebut

panapiri dan pada ujung bubungan bagian

depan dan belakang diletakkan mahkota

berukir disebut bangko-bangko.

Seluruh bahan bangunan souraja ini

mulai dari lantai, dinding balok-balok terbagi

atas tiga ruangan, yaitu lonta karawana, lonta

tata ugana, dan lonta rorana. Lonta karawana

atau ‘ruang depan’, ruang yang dibiarkan

kosong, berfungsi untuk menerima tamu.

Dahulu sebelum ada meja dan kursi, di

ruangan ini dibentangkan tikar yang disebut

onysa. Ruangan ini juga untuk tempat tidur

tamu yang menginap. Ruangan kedua adalah

ruang tengah, disebut lonta tata ugana yang

diperuntukkan bagi tamu keluarga. Ruangan

ketiga adalah ruang belakang, disebut lonta

rorana. Lonta rorana berfungsi sebagai ruang

makan, tetapi terkadang ruang makan berada

di lonta tatanga. Antara dinding ruangan

dibuatkan kamar-kamar tidur. Khusus untuk

kamar tidur perempuan atau anak-anak gadis

biasanya ditempatkan di pojok belakang lonta

rorana, maksudnya agar mudah diawasi oleh

orang tua. Untuk tamu perempuan dan para

kenalan dekat, diterima di ruang makan.

Avu ‘ruang dapur’, buvu ‘sumur’ dan

pototai ‘jamban’ dibuatkan bangunan

tambahan atau ruang lain di bagian belakang

rumah induk. Untuk menghubungkan rumah

induk dengan dapur dibuatkan jembatan

beratap disebut hambate. Dibagian ini kadang-

kadang dibuatkan pekuntu, yakni ruangan

terbuka atau berangin-angin anggota keluarga.

Di kolong dapur diberi pagar sekeliling,

sedangkan di bawah rumah induk dibiarkan

terbuka dan kadang-kadang menjadi ruang

kerja untuk pertukangan atau keperluan-

keperluan lainnya. Sedangkan loteng rumah

dipergunakan untuk menyimpan benda-benda

pusaka dan lain-lain.

Bangunan souraja cukup unik dan

artistik. Hal ini dilihat dari hiasannya yang

berupa kaligrafi huruf Arab terpampang pada

jeruji-jeruji pintu atau jendela, atau ukiran

pada dinding, loteng, di bagiang lonta

karavana, pinggiran cucuran atap, papanini,

bangko-bangko dengan motif bunga-bungaan

dan daun-daunan. Semua hiasan tersebut

Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019

Page 11: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

11

melambangkan kesuburan, kemuliaan,

keramahtamahan, dan kesejahteraan bagi

penghuninya.

Sistem struktur rumah panggung

souraja menggunakan tiang penyangga dan

tidak menggunakan pondasi hanya batu

sebagai alas untuk melindungi dari

kelembapan tanah. Konstruksi dengan bentuk

rumah panggung memungkinkan keberadaan

rumah tetap aman apabila terjadi gempa.

Gempa tersebut hanya menyebabkan terjadi

pergeseran. Apabila terjadi guncangan gempa

yang sangat kuat (diatas skala 6 richter) yang

berbeda, kerusakan yang terjadi pun tidaklah

terlalu banyak merugikan dibanding dengan

bentuk rumah modern yang terbuat dari

kontruksi beton dan batu. Selain itu, pada saat

tertentu, kapeo ‘tempat kosong di bawah

rumah atau kolong rumah’ juga dipergunakan

sebagai aktivitas pemilik rumah dan

keluarganya.

Gampiri tidak mempunyai pembagian

ruang. Gampiri hanya mempunyai satu ruang

sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian,

seperti padi (beras) dan palawija (jagung).

Banua tidak mempunyai ruang yang

lengkap dibanding dengan Souraja

(mbanuambaso). Banua mempunyai beberapa

ruang, yaitu teras, ruang tamu, ruang tidur,

ruang dapur, dan kamar mandi yang terletak

di belakang serta terpisah. Secara umum

banua terdiri atas beberapa ruangan, yaitu

kamar tidur, ruang tamu, dan ruang makan.

Banua mempunyai polava ‘pengalas

utama pada lantai rumah yang tinggi’. Banua

memiliki tambale ‘teras’ di bagian depan dan

beberapa ruang. Ruangan-ruangan tersebut

adalah kavana ‘ruang tengah’ yang berfungsi

juga sebagai ruang tamu. Selain itu, ruang

lainnya adalah kamara ‘kamar’ yang

berfungsi sebagai tempat tidur si pemilik

rumah tersebut. Di bagian teras biasanya juga

ada palava dala, ‘pagar pembatas yang berada

di teras’ yang berfungsi menghalangi orang

agar tidak jatuh langsung ke bawah. Di

sebelah depan teras rumah, tersedia tangga

untuk naik. Di belakang tersedia pula tangga

untuk turun ke belakang.

Banua menggunakan lantai yang

disebut jaula avo ‘lantai bambu’. Jaula avo ini

menggunakan bahan dari batang pohon

bambu yang dibelah. Batang bambu yang

dibelah, kemudian serut permukaan dan

pingirnya hingga halus. Batang bambu yang

telah dibentuk sesuai dengan ukuran panjang

dan lebar yang dirangkai dengan

mengggunakan tali yang terbuat dari lauro

‘rotan.’

Bantaya tidaklah memiliki pembagian

ruang. Ruangan bantaya terbuka tanpa kamar,

mempunyai pintu (vamba) dan tangga

(lanjara) di bagian depan samping kiri dan

Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal

Page 12: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

12

samping kanan atau sering juga di bagian

belakang. Dinding setinggi pinggang (ukuran

1 meter), sisanya dibiarkan terbuka tanpa

dinding, kemudian lantainya rata. Kontruksi

bangunan sama saja dengan rumah-rumah

panggung yang ada di kampung sekarang dan

tanpa dapur.

Kalampa dibangun tanpa memiliki

pembagian ruangan. Kalampa merupakan

ruangan terbuka yang cukup luas untuk

beraktivitas para ibu dalam memasak.

Kalampa biasanya dibangun berada di

belakang atau samping rumah yang

mengadakan pesta.

Bangunan tempat berlindung yang

memang dibangun tanpa memikirkan

pembagian ruangan adalah lolea (lolu) yang

merupakan penghubung antara dua tempat

yang terpisah karena aliran sungai. Ukuran

panjang lolea (lolu) bergantung pada lebar

sungai, sedangkan lebar lolea bergantung pada

kebutuhan masyarakat setempat.

Selanjutnya, tempat berlindung

lainnya pada masyarakat Kaili adalah soki-

soki. Sama halnya dengan kalampa, soki-soki

dibangun tanpa memiliki pembagian ruangan.

Soki-soki dibangun untuk berfungsi sosial,

yaitu tempat untuk bersantai atau beristirahat.

Masigi atau masjid dibangun tanpa

mengunakan pembagian ruangan seperti

halnya rumah yang memiliki ruang tamu,

ruang makan, ruang tidur, dapur atau kamar

kecil. Masjid mempunyai sebuah ruangan

umum untuk beribadah. Perkembangan

berikutnya, masjid memiliki beberapa

ruangan. Pertama, ruangan untuk mimbar

yang berada di tengah bagian ujung depan, dan

di sisinya ada ruang untuk penyimpanan

peralatan dan ruangan untuk marbot atau

pengurus masjid yang tinggal. Kedua, ruangan

untuk beribadah tanpa tempat duduk, hanya

beralaskan tikar atau karpet dan sajadah.

Ketiga, di bagian depan masjid, terutama di

sisinya, biasanya ada satu ruangan atau tempat

yang berupa menara. Menara ini dibangun

untuk mengumandangakan azan. Keempat,

kamar mandi dan tempat wudhu ditempatkan

terpisah dari masjid. Meski terpisah, kamar

mandi dan tempat wudhu masih dalam seputar

area kepemilikan masjid.

Selanjutnya, masjid saat ini dibangun

dengan berbentuk bangunan bertingkat.

Secara umum, bagian lantai atas dan lantai

bawah tidak ada pembagian fungsi pada

lantainya, lantai atas dan lantai bawah dipakai

untuk beribadah (salat dan mengaji). Akan

tetapi, ada juga masjid yang dibangun secara

modern dan luas, membagi fungsi lantainya.

Lantai pertama atau bawah dipakai untuk

kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti

pernikahan dan seminar. Untuk lantai kedua,

atas dipakai untuk beribadah.

Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019

Page 13: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

13

Selanjutnya, garega atau gereja dahulu

dibangun tanpa memikirkan adanya

pembagian ruangan. Perkembangan

berikutnya ini gereja dibangun dengan

membagi beberapa ruangan. Ada ruangan

untuk pendeta bermimbar dan jemaat

mendengarkan khutbah (pastoral). Ada

ruangan untuk pengakuan dosa. Ada ruangan

untuk kamar kecil atau toilet. Tidak ada istilah

dalam bahasa Kaili untuk ruangan pada

garega.

Seperti halnya dengan lolea, bente

dibangun tanpa memikirkan ruangan. Bente

atau benteng memang berfungsi sebagai

tempat berlindung dari musuh yang datang

menyerang. Selain itu, bente dibangun untuk

membatasi wilayah atau daerah kepemilikan

suatu kerajaan atau seseorang.

3. Leksikon Etnoarsitektur Berdasarkan

Bahan Bangunan

Klasifikasi leksikon etnoarsitektur

berdasarkan bahan yang digunakan pada

tempat berlindung pada suku Kaili akan

dijelaskan seperti berikut ini.

Bangunan souraja berbentuk rumah

panggung yang ditopang sejumlah tiang kayu

balok persegi empat dari kayu keras, seperti

kayu ipi ‘kayu ulin’, bayan, atau sejenisnya.

Penggunaan kayu pada bangunan souraja

begitu mendominasi.

Gampiri dibangun dengan

menggunakan bahan berupa kayu, dan

berdinding papan atau dinding yang terbuat

dari bambu yang dianyam (gedek) dan

beratapkan daun rumbia atau seng pada saat

ini (modern).

Dalam membangun banua atau pataba

masyarakat Kaili pada zaman dahulu

menggunakan bahan-bahan dasar bangunan

yang berupa kayu, bambu, atap rumpia atau

ijuk, yang berasal dari lingkungan sekitarnya.

Umumnya, jenis kayu yang digunakan dalam

membangun banua adalah kayu ulin, kayu

besi, kayu nangka dan sebagainya.

Kalampa dibangun dengan beberapa

batang kayu sebagai tiang yang diikat oleh vao

‘tali kulit kayu’ dan diberikan atap dari daun

rumbia. Atap daun rumbia ini terbuat dari

sejumlah daun rumbia yang disusun dan diikat

di sebatang bilah bambu. Kalampa ini tidak

memiliki lantai atau hanya berlantaikan tanah.

Akan tetapi, dalam kesehariannnya untuk

beraktivitas digelar tikar atau terpal sebagai

alas para ibu yang bekerja di situ.

Barunju menggunakan kayu sebagai

tiang, dan berdinding papan atau bambu yang

dibangun secara bersusun (tingkat), berlantai

papan atau bambu, bisa satu atau dua tingkat,

tergantung kemampuan si empunya rumah

dalam membangun. Untuk menghubungkan

antara lantainya, digunakan tangga. Biasanya

Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal

Page 14: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

14

bangunan tingkat ini dibangun pada posisi

tengah atau belakang, bukan di bagian muka

dari rumah tersebut. Perkembangan

berikutnya, kemajuan ekonomi pada

masyarakat Kaili dan kemajuan zaman

menyebabkan barunju ini dibangun dengan

menggunakan beton dan tembok dinding,

tidak lagi menggunakan kayu atau bambu.

Akhirnya, ketika datang bencana seperti

gempa, menyebabkan runtuh dan

menimbulkan korban baik harta maupun

nyawa, terlebih bangunan dibuat asal jadi dan

tanpa menggunakan atau memikirkan struktur

bangunan yang tahan gempa. Selain itu,

dibangun tanpa konsultasi pada ahli perancang

bangunan atau arsitek terlebih dahulu.

Lolea (lolu) yang merupakan jembatan

sederhana ini dibuat dari satu atau dua papan

atau batang kayu. Batang kayu yang

digunakan untuk jembatan ini adalah batang

kayu kelapa (kayu kaluku). Umumnya dibuat

pegangan yang terbuat dari kayu tiang

penyangga di masing-masing ujung jembatan

dan untuk pegangan yang dibuat dari bambu

(avo, bolovatu). Tinggi pegangan setinggi satu

meter dari atas permukaan tanah dan

jembatan, yang dibuatkan di sebelah kiri dan

kanan, agar si penyeberang dapat berjalan

menyeberang dengan baik. Untuk pegangan,

selain menggunakan pasak dari kayu, untuk

mengikatnya antara kayu dengan bambu

digunakan tali yang terbuat dari lauro ‘rotan’.

Lebar jembatan bergantung pada

kebutuhan masyarakat yang

menggunakannya, terkadang hanya satu

meter, yang diperuntukkan untuk pejalan kaki.

Jika lebarnya lebih dari satu meter, beberapa

buah kayu kelapa lebih dari dua dan di

atasnya ditaruh papan-papan biasanya

jembatan itu dilalui untuk kendaraan, seperti:

sepeda, motor, dan gerobak. Perkembangan

berikutnya lolea, berubah menjadi jembatan

berkontruksi secara tradisional berubah

menjadi modern yang berkontruksi baja dan

beton dikarenakan kendaraan yang

melewatinya pun bertambah jenisnya, seperti

mobil dan truk. Salah satu jembatan yang

dibangun dengan konstruksi beton dan baja

serta berarsitektur yang indah, di Kota Palu

(jembatan Ponulele/Kuning), tinggal

kenangan, karena tidak sanggup menahan

gempa dengan 7,4 skala richter dan tsunami

yang melanda Kota Palu.

Soki-soki merupakan bangunan

berlindung dari panas dan hujan. Soki-soki ini

dibangun bentuk panggung. Bangunan soki-

soki ini menggunakan kayu sebagai tiang dan

berlantai kayu papan, serta dinding pendek

sebagai penghalang di tiga sisinya, dan

menggunakan ata loda ‘beratap daun rumbia

yang diikat pada bilah bambu yang disusun

Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019

Page 15: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

15

rapi’. Jarak antara lantai dan tanah kira-kira

50 cm dari permukaan tanah. Soki-soki ini

dibuat terpisah dan diletakkan di pojok atau

sudut halaman. Berfungsi sebagai tempat

santai dan bersenda gurau. Kadang-kadang

soki-soki digunakan sebagai tempat untuk

berbicara dengan tamu ketika berbicara santai

atau suatu hal yang tidak resmi atau juga

sebagai tempat jaga.

Perkembangan berikutnya Soki-soki

tidak hanya untuk tempat pribadi, banyak

dibangun sebagai bagian tempat usaha. Soki-

soki ini sebagai tempat yang nyaman untuk

para tamu duduk- duduk, makan dan minum.

Beberapa tahun ini soki-soki banyak

ditemukan di tempat-tempat wisata Kota Palu,

seperti di pinggir Pantai Talise, rumah makan

atau restoran, dan kafe-kafe.

Masigi berbentuk bangunan persegi

panjang dengan beberapa tiang kayu sebagai

sokoguru atau penyangga atap (kubah), lantai

dan dinding dari papan, setiap dinding ada

jendela yang cukup besar, dan pintu di sisi

kanan, kiri dan depan, menggunakan atap dari

seng, serta menggunakan kubah dengan

hiasan lambang bulan dan sabit di atasnya.

Kubah masjid pada zaman dahulu terbuat dari

kayu beratap model segi empat. Dan

kemudian kubah pun dipasang berbentuk bulat

dari dengan rangka besi dan seng yang dilas.

Seiring perkembangan zaman, bentuk masjid

perkembangan berikutnya tidak bertiang kayu

(diganti dengan tiang beton), tidak ada kolong

lagi, lantai dan dindingnya pun berubah dari

dopi ‘papan’ ke rindi ‘tembok’. Bahkan, saat

ini dibangun dengan bertingkat. Kubahnya

yang besar terbuat dari besi dan logam

lainnya.

Garega atau gereja dibangun dengan

menggunakan model rumah yang tanpa

ruang. Sebuah gereja dibangun dengan

menggunakan dinding papan. Di bagian depan

ada pintu yang cukup besar dan di dalamnya

terdapat banyak kursi atau bangku yang

berjejer rapi, sebagai tempat jemaat, dan

sebuah mimbar di depan untuk pendeta

berbicara. Umumnya, di dalam gereja terdapat

ornament kayu salib dan Yesus Kristus serta

patung Bunda Maria. Seiring perkembangan

zaman, bentuk gereja mengikuti

perkembangan berikutnya tidak menggunakan

kayu (diganti dengan dinding dan tiang beton).

Bente dikenal sejak zaman raja-raja

dahulu, yaitu suatu lokasi perlindungan yang

terdiri dari parit dan timbunan tanah dan di

sekelilingnya ditanami pohon bambu yang

rapat. Dalam perkembangannya juga dapat

berupa tumpukan batu-batu gunung (batu

kali) yang disusun secara rapi mengelilingi

suatu daerah atau tempat. Bente atang benteng

dibangun untuk melindungi dari serangan

musuh. Perkembangan berikutnya, bente atau

Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal

Page 16: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

16

benteng ini kemudian dibangun menggunakan

bahan berupa batu kali yang disusun dengan

memakai adukan semen dan pasir,

membentuk dinding pagar. Selanjutnya, bente

ini hanya mempunyai satu pintu, baik untuk

masuk maupun keluar. Pintu dari benteng ini

biasanya sangat kokoh, terbuat dari batang-

batang kayu yang disatukan. Saat ini, bente

sulit diketemukan, kalaupun ada hanya berupa

pagar besi dan tembok yang mengelilingi

bekas kerajaan.

Fungsi Leksikon Etnoarsitektur Tempat

Berlindung Etnik Kaili

Berdasarkan fungsi sosial-budayanya,

fungsi leksikon tempat berlindung Etnik Kaili

diklasifikasikan menjadi (1) fungsi sosial, (2)

fungsi pengetahuan, (3) fungsi seni, dan (4)

fungsi lingkungan. Leksikon etnoarsitektur

tempat berlindung mempunyai fungsi sosial,

membangun rumah dilakukan secara bersama-

sama. Bahkan, dahulu etnik Kaili untuk

membangun rumah harus melalui proses adat,

yakni melalui musyawarah terlebih dahulu.

Berbagai upacara adat juga dilakukan, yaitu

pada saat mulai melubangi tiang, mendirikan

rumah, dan menyelamati rumah. Leksikon

etnoarsitektur yang memiliki fungsi sosial

adalah leksikon bantaya, soki-soki, masigi,

dan garega. Jenis bangunan tempat

berlindung ini berpotensi memperkuat tali

persaudaraan di anatara warga pada

masyarakat Kaili.

Fungsi pengetahuan pada leksikon

etnoarsitektur tempat berlindung (rumah)

terlihat pada sekaitan bahan bangunan rumah,

waktu baik mendirikan rumah, ukuran dari

berbagai bahan bangunan rumah yang menjadi

produk pengetahuan yang mencerminkan

kearifan lokal. Pengetahuan masyarakat Kaili

akan kondisi geografis membuktikan bahwa

masyarakat Kaili memiliki kesadaran yang

tertanam sejak dahulu, seperti saat sebelum

mendirikan rumah, didahului dengan

penelitian tanah untuk tempat di mana rumah

itu akan didirikan. Teknik penelitian tanah itu

sifatnya tradisional, antara lain dengan

memasukkan lidi ke dalam tanah atau

memasukkan ujung parang sedalam lima senti

meter ke dalam tanah yang sedang diteliti yang

diiringi mantra-mantra, di mana nanti akan

nyata apakah itu tempat itu baik atau tidak

baik bagi lokasi bangunan perumahan.

Pekerjaan penelitian tanah tersebut dilakukan

oleh orang yang ahli (dukun) yang khusus

bertugas untuk itu. Jadi, dukunlah yang

menentukan tempat di mana sebaiknya

bangunan itu didirikan.

Bahkan, salah satu etnik Kaili, yakni

orang Tompu yang berada di desa atau dusun

Tompu, di Kabupaten Sigi, terkenal mahir

membuat bangunan berupa sou, bantaya,

Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019

Page 17: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

17

kalampa ‘dapur sementara yang digunakan

pada saat pesta’, rovu ‘gubuk’, dan barunju

‘rumah kayu yang bertingkat atau bersusun’.

Bangunan-banguna tersebut didirikan di tanah

yang layak untuk ditempati. Pemakaian bahan

bangunan yang diambil dari alam sekitarnya,

beberapa jenis kayu yang merupakan unsur

penting dalam ritual adat, misalnya tidak

boleh dijadikan bahan bangunan. Untuk

menentukan waktu yang tepat mendirikan

rumah, orang Tompu berpatokan pada

kombinasi dari tiga hal, yaitu hari baik, posisi

matahari di langit, dan hitungan bulan di langit

(kalender tahun komariah).

Selain itu, orang Tompu mempunyai

cara tersendiri dalam mengukur panjang

pendeknya bahan bangunan. Mereka tidak

biasa menggunakan meteran, tetapi cukup

menggunakan anggota tubuh saja, misalnya:

salotu ‘seruas jari tangan’, sandanga ‘satu

jengkal’, sanjiku ‘dari ujung jari tengah

sampai siku’, sanggepe ‘dari ujung jari tengah

sampai ketiak’ , sandapa ‘satu depa’,

sampeangga ‘setinggi badan’. Bahkan,

dengan peralatan sederhana orang Tompu

mampu mengerjakan pekerjaan yang rumit

dan dengan bermodalkan sebilah parang

seorang pemuda Tompu berani

mempersunting gadis, akrena dengan itu dia

mampu mendirikan pondok atau rumah untuk

tempat tinggal keluarga dan untuk

mengerjakan talua ‘ladang’.

Menurut Handayani (2009), arsitektur

memiliki dua makna sekaligus, yakni

arsitektur sebagai seni atau ilmu membangun

dan arsitektur sebagai hasil suatu karya cipta

(bangunan yang dihasilkan. Sekaitan dengan

itu, leksikon etnoarsitektur tempat berlindung

etnik Kaili juga berkaitan dengan seni

membangun yang menghasilkan suatu produk

atau karya cipta dari bangunan tersebut.

Fungsi seni ini terlihat dalam leksikon sou

raja sebagai produk seni yang dihasilkan dan

leksikon lonta karavana, lonta tangana, dan

lonta rarana yang menjadi bagian dari seni

membangun rumah dengan baik untuk urusan

pemanfaatan ruang secara maksimal. Fungsi

seni sangat kental pada pembuatan ukiran

penghias atap rumah, penulisan kaligrafi, dan

ukiran daun pintu. Kearifan lokal yang

berwujud artefak berupa bangunan tempat

berlindung yang terekam dalam leksikon

etnoarsitektur dapat menciptakan

terpeliharanya kondisi ekosistem dan

sumberdaya.

Fungsi lingkungan berkaitan dengan

penggunaan bahan bangunan tempat

berlindung yang bersahabat dengan alam dan

lingkungan, seperti: avo, kayu, vatu, lauro,

dan tava rumbia yang tidak menjadi sampah

karena dapat terurai oleh tanah. Pemahaman

Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal

Page 18: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

18

ini tak terlepas dari kesadaran lingkungan

yang dimiliki masyarakat Kaili ketika

membangun rumah yang berwawasan

lingkungan.

Konsep Green Architecture sebagai Upaya

Mitigasi Bencana

Tempat berlindung etnik Kaili

tampaknya memenuhi klasifikasi bangunan

yang menerapkan arsitektur hijau (green

Architeutre). Hal ini dilihat dari pemilihan

material bangunan yang berkelanjutan

(sustainable material), seperti: batu alam,

bambu, kayu, rotan, atau daun rumbia. Hal

ini terlepas dari fakta bahasa dan budaya yang

melingkupi pengetahuan dan ada tempat

berlindung akan material bangunan yang

bersahabat dengan alam.

Konsep green architecture (arstektur

hijau) terlihat dari penggunaan bahan

bangunan etnik Kaili. Bahan bangunan tempat

berlindung menggunakan bahan alami dari

alam dan menghasilkan efisiensi dalam bahan

bangunan rumahnya, sebagai contoh, leksikon

ompa ‘tikar dari bambu’, laya ‘tikar kecil dari

bambu untuk jemur tembakau’, vunja ovo

‘tiang bambu’, vitate ‘dinding bambu’, jaula

‘lantai’, yang terbuat dari bambu yang

merupakan bahan berkelanjutan karena

bersifat ekonomis dan ekologis. Selain bambu,

bahan bangunan alam lainnya yang diterapkan

dalam membuat tempat berlindung

masyarakat Kaili adalah batu alam, kayu,

rotan, ijuk, dan daun rumbia. Hal ini terekam

dalam leksikon palo nu banua ‘batu pengalas

tiang rumah’ yang menggunakan vatu ‘batu

alam’ sebagai pondasi rumah penahan tanah

dari bencana gempa dan kelembaban tanah;

vamba ‘pintu’ pelaba ‘jendela’, tinja ‘tiang’

baik tinja vumbu ‘tiang rumah yang sampai

bubungan’ maupun tinja kanga ‘tiang yang

tidak sampai bubungan”, polante ‘lantai’,

rindi dopi ‘dinding papan’ dari material kayu;

vao ‘tali dari kulit kayu’ dan lauro ‘rotan’

sebagai pengikat antara bambu dengan bambu,

atau menyambungkan kayu tiang dengan kayu

tiang, atau membuat meja dan kursi atau

perabot rumah lainnya; ata opi ‘atap ijuk’ dan

ata loda ‘atap yang mengunakan daun rumbia

yang dianyam dan diikat pada bambu’ sangat

baik bagi sirkulasi udara, rumah menjadi tidak

panas.

Konsep green architecture (arsitektur

hijau) yang digunakan oleh masyarakat Kaili

dapat menjadi gambaran bahwa masyarakat

Kaili sebenarnya memiliki kesadaran akan

kondisi iklim dan letak geografis daerah

pemukimannya. Kesadaran ini disebut

mitigasi bencana karena adnaya pengetahuan

lokal yang berwawasan lingkungan. Mitigasi

bencana ini berlangsung dari suatu generasi

ke generasi melalui proses transmisi dalam

Multilingual, Vol. 18, No.1, Juni 2019

Page 19: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

19

bingkai adat istiadat yang masih ada. Fakta

bahwa penggantian struktur dan model rumah

dan pembangunan yang serampangan di Kota

Palu, Sigi, dan Donggala, sepuluh tahun

belakangan ini turut menghadirkan bencana.

PENUTUP

Leksikon arsitektur tempat

perlindungan suku Kaili memiliki dapat

diklasifikasikan berdasarkan jenis, bagian, dan

bahan bangunan. Berdasarkan jenisnya,

leksikon arsitektur etnik Kaili untuk tempat

berlindung meliputi (1) sou, (2) gampiri, (3)

banua, (4) bantaya, (5) barunju, (6) kalampa,

(7) lolea, (8) soki-soki, (9) masigi, (10)

garega, dan (11) bente. Berdasarkan

pembagian ruangan, leksikon arsitektur etnik

Kaili untuk tempat berlindung meliputi lonta

karawana ‘ruang depan’, lonta tata ugana,

‘ruang tengah’ dan lonta rorana‘ ruang

makan’, avu ‘dapur’, pototai ‘jamban’,

hambate ‘jembatan penghubung rumah induk

dengan dapur’, pekuntu ‘ruang terbuka atau

berangin-angin bagi anggota keluarga yang

terletak antara rumah induk dengan dengan

dapur’, panapiri ‘papan penutup sisi atap

rumah yang diukir’, bangko-bangko ‘mahkota

atap rumah’, polava ‘pengalas utama pada

lantai rumah yang tinggi’, tambale ‘teras’,

kavana ‘ruang tengah’, kamara ‘kamar’,

palava dala, ‘pagar pembatas yang berada di

teras’, jaula ‘lantai’, ata ‘atap’, rindi

‘dinding’, vamba ‘pintu’, pelaba ‘jendela’,

dan tangga ‘tangga’. Berdasarkan bahan

bangunan yang digunakan, leksikon arsitektur

etnik Kaili untuk tempat berlindung meliputi

avo bambu’, volovatu ‘bambu batu’, kau

‘kayu’, lauro ‘rotan’, vatu ‘batu’, tava rumbia

‘daun rumbia’, gampuga ‘ijuk’, vao ‘tali kulit

kayu’, dan opi ‘ijuk’.

Leksikon arsitektur tersebut selain

mempunyai fungsi lingual, ternyata juga

mempunyai fungsi sosial budaya, seperti:

fungsi sosial, fungsi pengetahuan, fungsi seni,

dan fungsi lingkungan. Keempat fungsi

tersebut mencerminkan adanya konsep

arsitektur hijau (green architeure) dari

pemahaman masyarakat etnik Kaili akan

leksikon etnoarsitektur yang berkaitan dengan

penggunaan suatu material bangunan yang

berkelanjutan. Bahan tersebut meliputi avo,

vatu, kayu, vao, lauro, serta tava rumbia, yang

memenuhi prinsip penerapan green

architecture sebagai acuan mitigasi bencana

masyarakat dari potensi bencana banjir,

longsor, dan gempa bumi sehingga menopang

terciptanya tujuan pembangunan yang

berkelanjutan.

Deni Karsana: Leksikon Arsitektur Hijau dalam Bahasa Kaili:Pemanfaatan Kearifan Lokal

Page 20: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

20

DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Tengah. Proyek Penelitian danPencatatan Kebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bonvillain, Nancy. 1977. Language, Culture and Communication: The Meaning of Messages.New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Chaer, Abdul 2003. Linguistik Umum. Jakarta : Rhineka Cipta.

--------------. 2007. Leksikologi & Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rhineka Cipta.

Evans, Donna. 2003. Kamus Kaili Ledo-Indonesia-Inggris. Jakarta: Pemda Provinsi SulawesiTengah dan Dinas Kebudayan dan Pariwisata.

Fasya, Mahmud dan Iwan Ridwan. 2017. “Konsep Green Architecture dalam LeksikonEtnoarsitekturt Rumah Adat Kuta (Kajian Etnolinguistik di Kampung Kuta, Ciamis)”.Makalah Kolita, Unika Atmajaya, 5--7 April 2017. Jakarta: Atmajaya.

Folley, William A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University.

----------.. 2001. Anthropological Linguistics. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc.

Handayani, S. 2009. Arsitektur dan Lingkungan (Suatu Pengantar tentang Arsitektur yangTanggap Lingkungan). Bandung: UPI

Herniwati, Andi .2008. “Penghematan Enegi pada Arsitektur Tradisional Suku Kaili “dalam jurnalSmartek Vol 6, No.1 Februari 2008: 63-70. Palu: Fakultas Teknik Universitas Tadulako.

Koentjaraninrat. 2005. Pengantar Antropologi: Pokok-Pokok Etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta.

Mahmud, Zohrah. 1987. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tengah. Proyek Penelitian dan PencatatanKebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Nutfa, Mohammad. 2012. “Baruga: Makna, Simbol, Daya dan Fungsi” pada lamanhttp://nutfa.blogspot.com/2012/11/tentang-rumah-adat-suku-kaili-baruga.html diaksespada tanggal 18 september 2018.

Prahman, Deri. “Definisi Green Architecture (Arsitektur Hijau) “posted 10 Februari 2018.www.banguna88.com. diakses pada tanggal 15 November 2018.

Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2008. Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi kearifan Lokal: TantanganTeoritis dan Metodologis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Rahmah, Siti. 2017. Rumahku Istanaku. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan BahasaIndonesia.

Page 21: LEKSIKON ARSITEKTUR HIJAU DALAM BAHASA KAILI: …

21

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian WahanaKebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Verhaar, JWM. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Jogyakarta: Gajah Mada University Press.

Wierbitzka, Anna. 1997. Understanding Cultures Through Their Key Words: English, Russian,Polish, German, and Japanese. New York: Oxford University Press.

www.kanalinfo.web.id. “Pengertian Arsitektur” tanggal akses 10 Januari 2019.