LEGALITAS PERKAWINAN JANDA YANG BERCERAI DI LUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi Kasus di Kecamatan Sawangan Kota Depok) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh: Rizal Fauzi NIM: 105043101309 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul LEGALITAS PERKAWINAN JANDA YANG BERCERAI DI LUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (STUDI KASUS DI KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LEGALITAS PERKAWINAN JANDA
YANG BERCERAI DI LUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
(Studi Kasus di Kecamatan Sawangan Kota Depok)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Rizal Fauzi NIM: 105043101309
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul LEGALITAS PERKAWINAN JANDA YANG BERCERAI DI
LUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF (STUDI KASUS DI KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK) telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 07 Desember 2009. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta, 07 Desember 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012 PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA (..........................) 1957031219851003
2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (..........................) 196511191998031002
3. Pembimbing I : Dr. A. Sudirman Abbas, MA (..........................) 150294051
4. Pembimbing II : Drs. H. Hamid Farihi, MA (..........................) 195811191986031001
5. Penguji I : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (..........................) 196511191998031002
6. Penguji II : Drs. Heldi, MPd (..........................) 196304141993031002 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Agama Islam adalah agama samawi yang terakhir diturunkan kepada nabi
akhir zaman yaitu Nabi Muhammad saw. Ia melengkapi dan menyempurnakan
agama-agama samawi yang diturunkan sebelumnya yang bertujuan untuk menjadi
pedoman hidup umat manusia di dunia dan akhirat dalam mencapai tujuan
kebahagiaan yang hakiki lahir dan batin .
Sebagai suatu syariat yang lengkap dan sempurna maka tidak ada suatu aspek
apapun yang dibicarakan oleh Islam, karena Syariat Islam yang abadi mencangkup
semua segi kehidupan baik yang mengatur hubungan hamba dengan kholiknya dan
mengatur pula hubungan hamba dengan seksama.
Begitu pula Islam mengatur dalam masalah perkawinan yang bertujuan unutuk
membentuk keluarga yang bahagia dunia dan akhirat dibawah cinta kasih dan ridho
Ilahi. Sesusai dengan firman Allah SWT. dalam surat ar-Rum (30):21, yang berbunyi:
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanya Allah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa cenderung, dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanya diantaramu rasa kasih dan sayang sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Q.S.ar – Rum (30):21).
Ayat di atas mengandung tiga konsep yaitu konsep “sakinah”, di urai melalui
bahasa hati “saling mengerti dan pengertian” berimplikasi pada suasana keduanya
( suami istri ), selain konsep “sakinah” ayat itu juga memperkenalkan konsep
“mawaddah”, yaitu terlihatnya hasrat saling mencintai diantara keduanya yang
mengantarkan kepada sikap agresif satu sama lain, pada tahapan berikutnya
disempurnakan oleh konsep “rahmah” yang berarti saling menyayangi dan itu
merupakan anugrah agung dari zat maha agung (Allah) karena predikat ini kelak akan
langgeng.[1]
Tiga konsep di atas merupakan sebuah proses menuju terbangunya manjadi
rumah tanggga ideal dan tauladan panutan bagi yang lain, karena rumah tangga yang
dibina oleh pasangan suami isteri akan terwujud secara baik mana kala keduanya
saling bantu membantu serta seia sekata kegunung sama mendaki, ke bawah sama
menurun, terendam sama basah, terbakar sama hangus, dan terpenting saling
memahami satu dengan lainya. Sehingga di kala tua mendatang, kekal dan bahagia,
selama hayat di kandung badan.
Selain itu dalam undang-undang perkawainan No.1 Tahun 1947 bab I pasal (1)
menyebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”
Perkawinan bertujuan mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera artinya
terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengmbil kembali sebagian dan apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali bila mereka malakukan pekerjaan keji yang nyata.” Dan bergaulah dengan mereka secara pahit kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah mejadikan padanya kebaikan yang baik”.(QS.an-Nisa (4):19)
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1947 tentang perkawianan berusaha
semaksimal mungkin adanya dapat dilakukan dan menekan angka perceraian kepada
titik yang paling rendah. Karena perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenang-
wenang akan mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada pasangan suami isteri
saja, kepada anak-anak yang mestinya harus di asuh dan dipelihara dengan baik.[4]
Perceraian tidak lagi boleh dipatutkan sesuka hati kaum laki-laki di atas
penderitaan kaum perempuan, akan tetapi harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menikahi perempuan perempuan yang beriaman, kemudian kamu mentalak (menceraiakan) mereka ...”.(QS. al-Ahzab (33):49) Berdasarkan konsep di atas bahwa sahnya perkawinan yang sah menuntut
Undang-Uudang No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menuntut peraturan perundang-undangan yang berlaku
nantinya, artinya bahwa jika seseorang melaksanakan perkawainan yang sah maka
apabila dia melakukan perceraian nanti harus dilakukan berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang sah menurut undang-undang yang berlaku. Kemudian perceraian
tersebut telah dianggap sah sehingga dia dapat melakukan perkawinan kembali.
Akan tetapi hal ini berbeda dengan apa yang telah terjadi di kota depok
tepatnya di desa Bojong sari. Di tempat tersebut penulis menemukan hal yang berbeda
dengan ketentuan yang seharusnya berlaku, dalam hal ini ditentukan sebuah kasus
bahwa seorang wanita pada awalnya telah melakukan perkawinan yang sah menurut
undang-undang yang berlaku dengan seorang laki-laki. Kemudian dalam perjalanan
membina rumah tangganya ternyata orang tua tiri dari si wanita tersebut tidak senang
dengan si laki-laki tersebut ditambah dengan keadaan si laki-laki yang tidak mapan
dari segi ekonomi, padahal di antara keduanya saling mencintai.
Oleh karena itu orang tua tiri tersebut meminta si laki-laki itu untuk
menceraikan anak perempuannya dan perceraian tersebut dilakukan tidak melalui
ketentuan yang berlaku dalam undang-undang. Sehingga kita dapat melihat dari kaca
mata undang-undang dapat dikatakan bahwa perceraian tersebut tidak sah, akan tetapi
ironisnya seorang perempuan tersebut setelah melakukan perceraian itu dia
melakukan perkawinan kembali secara sah dengan laki-laki dan telah di karuniai
seorang anak.
Melihat kasus di atas dapat kita analisa bahwa perceraian yang dilakukan di
atas adalah merupakan perceraian yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Akan
tetapi perceraian tersebut dilakukan tidak sesuai dengan Undang-Undang yang
berlaku dan dianggap tidak sah. Dengan demikian perceraian yang tidak sah tersebut
akan berimplikasi terhadap perkawinan yang akan dilakukannya di kemuidan hari.
Maka jika kita kaitkan dengan konsep di atas dengan kasus yang terjadi di kota Depok
tepatnya di daerah Bojong sari tersebut, maka akan timbul pertanyaan di benak kita
tentang status perawinan wanita tersebut, apa lagi dia telah di karuniai seorang anak
dari hasil perkawinan yang ke dua.
Melihat realita yang terjadi di atas maka penulis menganggap hal tersebut
merupakan suatu masalah yang perlu dikaji dan mendapat solusi hukum tersebut baik
perspektif hukum Islam maupun hukum positif. Oleh karena itulah penulis
mengangkat masalah ini dengan judul “LEGALITAS PERKAWINAN JANDA
YANG BERCERAI DI LUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi kasus di Kecamatan
Sawangan Kota Depok)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.
Pembahasan dalam skripsi ini akan berkisar terhadap fenomena status
perkawinan seorang janda yang sebelumnya bercerai di luar pengadilan. Untuk
memudahkan penulis dalam menyusun karya ilmiahya, penulis membatasi lokasi yang
akan dijadikan objek penelitianya hanya di kota Depok. Sesuai dengan pokok
permasalahanya tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keabsahan perceraian dalam konsep hukum Islam dan hukum positif.
2. Bagaimana setatus perkawinan janda yang tidak memiliki akta cerai perspektif hukum
Islam dan Hukum positif.
3. Apa pentingnya akta cerai untuk melakukan perkawinan berikutnya.
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka ajuan di adakannya
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui keabsahan perceraian dalam konsep hukum Islam dan
hukum positif
2. Untuk mengetahui status perkawinan seorang janda yang tidak memiliki akta
cerai dalam konsep hukum Islam dan hukum positif.
3. Untuk mengetahui seberapa pentingnya akta cerai dalam perkawinan
berikutnya.
D. Kajian Pustaka Terdahulu
Dalam kajian pustaka terdahulu ini, penulis berusaha mendata dan membaca beberapa
hasil penelitian yang ada hubungannya atau hampir sama dengan penelitian yang ada
hubungannya atau hampir sama dengan penelitian yang penulis lakukan dalam bentuk
skripsi maupun buku. Ada beberapa hasil penelitian yang penulis temukan yang
membahas tentang perceraian dan perkawinan :
1. Skripsi yang berjudul, “Keabsahan Suatu Perkawinan Menurut Pandangan Kantor
urusan Agama (Studi Kasus KUA Ciputat)”, yang ditulis oleh Yetty Elfa Riza pada
tahun 2005. Skripsi ini membahas tentang peran KUA dalam keabsahan suatu
perkawinan, pandangan KUA tentang keabsahan suatu perkawinan, perkawinan
berdasarkan ketentuan Undang-undang.
2. Skripsi yang berjudul, “Perceraian di Luar Prosedur Peradilan Agama di Kecamatan
Sodong Hilir, Tasikmalaya dan Akibat Hukumnya”, yang ditulis oleh Dede Rohyadi
pada tahun 2008. Skripsi ini membahas tentang hukum perceraian di luar pengadilan,
kendala suami istri di luar pengadilan agama, tanggapan hakim peradilan agama,
pencatat nikah dan ulama setempat.
3. Skripsi yang berjudul, “Akibat Perceraian di Luar Pengadilan (Studi Kasus Pada
Masyarakat Kecamatan Leuwiliang)” yang ditulis oleh Herna Ramdlaningsih pada
tahun 2005. Skripsi ini membahas tentang pemahaman dan pengetahuan masyarakat
tentang peraturan dan perundang-undangan mengenai perceraian, penyebab terjadinya
perceraian di luar pengadilan, dampak perceraian di luar pengadilan bagi istri dan
anak.
4. Buku yang berjudul, “Perceraian dibawah tangan; peminggiran hak-hak perempuan;
yang ditulis oleh Dra. Kustini, M.Si pada tahun 2008. buku ini membahas tentang
perempuan dalam keluarga buruh migran, perempuan dan perceraian, fenomena buruh
migran perempuan di desa Kadupura, pergeseran makna cerai di kalangan buruh
migran, dan pandangan masyarakat terhadap perceraian migran perempuan.
Dari apa yang penulis kaji, tidak ada yang membahas tentang keabsahan perkawinan
janda yang tidak memiliki akta cerai , terutama pada kasus yang terjadi didaerah
sawangan. Sedangkan dalam skripsi yang penulis bahas lebih memfokuskan terhadap
masalah status perkawinan janda yang tidak memiliki akta cerai serta kegunaan akta
cerai dalam perkawinan berikutnya.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil dari berbagai sunber, dengan
menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Sumber Data
a. Metode Observasi yaitu melakukan penelitian berupa wawancara langsung secara
mendalam dengan pegawai KUA Bojong Gede tempat perkawinan pertama, Amil
yang menceraikan di luar pengadilan, pegawai KUA Bojong Sari tempat perkawinan
kedua, juga wawancara langsung dengan pihak terkait mengenai masalah yang di
angkat oleh penulis.
b. Metode kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari literatur buku dan
teks-teks tulisan lain, membaca, dan menghayati serta menganalisa hal yang berkaitan
dengan masalah perkawinan berikutnya yang dilakukan tanpa akta cerai.
2. Teknik pengumpulan data
Seperti yang telah di sebutkan pada sumber data, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data melalui library research dan wawancara yang sudah di buat daftar
wawancaranya. Setelah melakukan wawancara penulis mengubah hasil wawancara
tersebut ke dalam bahasa tulisan yang kedua menggunakan teknik keputusan, dari
hasil tersebut kemudian di klafikasikan dan dianalisis .
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada lima bab dengan
sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : Merupakan bab yang membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka terdahulu, Metode Penelitian, Sistematika
Penulisan.
BAB II : Merupakan bab yang menerangkan tinjaun umum tentang perkawinan dalam hukum
Islam dan hukum positif yang dibatasi hanya dalam pengertian dan dasar hukum,
rukun dan syarat, tata cara, hal-hal yang membatalkan perkawinan.
BAB III : Bab ini menerangkan sekilas tentang perceraian dalam perspektif hukum Islam dan
hukum positif yang meliputi sub-sub judul pengertian dan dasar hukum, rukun dan
syarat, prosedur perceraian,.
BAB IV : Pada bab ini menerangkan tentang duduk perkara, alasan pelaksanaan perceraian dan
perkawinan, dan hasil analisis masalah.
BAB V : Merupakan bagian penutup bagi sistematika penulisan skripsi ini yang berisi sub-sub
judul yaitu kesimpulan, saran-saran, serta akan di lengkapi dengan daftar pustaka, dan
lampiran-lampiran yang dianggap penting.
[1] Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandingan Antar Madzhab) (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h.91
[2] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor : Kencana,2003), h. 22 [3] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika,2006), h.16 [4] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2006), h.8 [5] Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT Raja
Artinya: “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin (36): 36)
Perkawinan merupakan suatu cara yang ditetapkan Allah SWT sebagai jalan
bagi manusia untuk berkembang biak demi kelestarian hidupnya. Dengan
melaksanakan perkawinan yang sah baik menurut hukum agama dan hukum positif,
maka keturunannya akan mengenal orang tua dan nenek moyangnya, kehidupannya
adalam bermasyarakat pun akan tenang dan damai, sebab keturunannya jelas dan
tidak ada anggota masyarakat yang mencurigakan nasab keturunannya.
Dalam al-Qur'an dan Hadits, perkawinan disebut dengan an-nikah ( (الن�ك�اح�
dan az-ziwaj atau az-zawj atau az-zijah ( ة� – - ي ج�� الز� و�اج� ال�ز� و�اج� ز� Secara [ 1 ].(ال��
harfiah an-nikah berarti al-wathu �ال و�ط ء) ), ad-dhammu ( م� ,(الض� dan al-jam’u (
ع� م .(ال ج� al-wathu berasal dari kata wathu’a-yatha’u-wath’an ( - – و�ط أ ء� ي�ط� ء� �و�ط� )
artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menggali dan
Dari uraian kitab-kitab fiqih di atas, tampaknya para ulama mendefinisikan
perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja. Hal ini wajar karena
makna asal dari nikah itu sendiri sudah berkonotasi hubungan seksual. Di samping itu
harus diakui yang menyebabkan laki-laki dan perempuan tertarik untuk menjalin
hubungan adalah salah satunya dorongan-dorongan yang bersifat biologis baik
disebabkan karena ingin mendapatkan keturunan atau pun karena memenuhi
kebutuhan seksualnya.
Di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam Pasal
1 ayat 2 Perkawinan didefinisikan sebagai: “Ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan:
Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita”
mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda.
Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh
beberapa Negara Barat.
Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah
tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
Ketiga, dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus
perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan
perkawinan tahlil.
Keempat, disebutkannya berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa
menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan
untuk memenuhi perintah agama.[9]
Di samping definisi dalam UU No. 1 Tahun 1974 di atas, kompilasi hukum
Islam di Indonesia memberikan definisi lain yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan
bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah: “Perkawinan yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.”
Digunakannya ungkapan: akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan
merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam
rumusan UU yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata
perjanjian yang bersifat keperdataan.
Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa” dalam UU. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam
merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah
melakukan perbuatan ibadah.[10]
Dalam pandangan Islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah,
ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti menurut
qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti
suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan menghendaki
umatnya berbuat yang sama. Hal ini sesuai dalam suatu hadits yang berasal dari Anas
bin Malik yang berbunyi:
: أنس عن ثابت، عن سلمة، بن حماد حدثنا بهز، حدثنا العبدي، نافع بكربن أبو وحدثني: بعضهم فقال السر؟ في عمله عن وسلم عليه الله صلى النبي أصحاب من نفرا أن: : فقال عليه أثنى و الله فحمد فراش، على أنام ال بعضهم وقال النساء، أتزوج ال
Artinya: Dan diceritakan kepada kami oleh Abu Bakar Ibn Nafi al-‘Abdi, diceritakan kepada kami oleh Bahz, diceritakan kepada kami oleh Ahmad Ibn Salamah, dari Tsabit, dari Anas: Bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi Saw bertany kepada istri–istr Nabi Saw tentang perbuatannya yang masih sirri (rahasia)? Sebagian dari mereka menjawab: Aku tidak mengawini wanita, sebagian lagi menjawab: Aku tidak memakan makanan daging, sedangkan yang sebagian lagi menjawab: Aku tidak tidur di atas kasur, maka kemudian Nabi Saw bertahmid kepada Allah dan memujanya lalu berkata: Bagaimanakah keadaan suatu kaum yang mengatakan seperti ini dan itu/ ?(Rasul berkata ) “Tetapi aku sendiri melakukan shalat dan tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan juga menikahi seorang perempuan, maka siapa pun orang yang tidak mengikuti sunah ku, ia bukan dari bagian dari umatku”.(HR. Muslim) 2. Dasar Hukum Perkawinan
Perkawinan dijadikan sebagai salah satu tanda-tanda dari pada kebesaran
Allah SWT sesuai dalam surat ar-Rum (30): 21 yang berbunyi:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum (30): 21)
Makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan, dari sinilah
Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari
generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana tercantum dalam surat an-Nisa’(4):1
/ النساء ... ( اء� �س� و�ن ا �ير� �ث ك )١ :٤ر�ج�االArtinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.....” (QS. an-Nisa’ (4): 1)
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu ….” (QS. an-Nahl (16): 72)
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya….” (QS. an-Nur (24): 32)
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan….” (QS. ar-Ra’d (13): 38)
Dalam Islam dianjurkan seorang berkeluarga karena dari segi batin orang
dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik, seperti dinyatakan dalam sabda
Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud:
عبد عن عمارة حدثنا قال عماش األ حدثنا أبي حدثنا غياث بن حفص بن عمر حدثنامع كنا الله عبد فقال الله عبد على األسود و علقمة مع دخلت قال يزيد بن الرحمان
عليه الله صلى الله رسول لنا فقال شيئا نجد ال شببا وسلم عليه الله صلى النبي�ح�ص�ن� " و�أ �ص�ر� �ب �ل ل Dغ�ض� أ ه� �ن ف�إ وج� �ز� �ت �ي ف�ل �اء�ة� �ب ال �م� �ك م�ن �ط�اع� ت �س� ا م�ن� �ب� با الش ر� م�ع�ش� �ا ي وسلم
( البخارى". ( رواه ج� �ف�ر� �ل ] 12 [لArtinya: Diceritakan kepada kami oleh Umar bin Hafis bin Giyas, diceritakan kepada kami
oleh Bapakku, Diceritakan kepada kami oleh ‘Amas ia berkata: Diceritakan kepada kami oleh I’maroh dari Abdurrahman bin Yazid ia berkata: Saya datang bersama al-Qomah dan Aswad kepada Abdullah ia berkata: Ketika kami bersama Nabi Saw bertemu beberapa pemuda yang tidak mempunyai sesuatu untuk menikah. Maka Rosulullah berkata kepada kami: “Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantaramu untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu dapat mengurangi pandangan (yang buruk/liar) dan lebih menjaga kehormatan.”(HR. al-Bukhari)
Begitu pula perintah Nabi kepada umatnya untuk melakukan perkawinan
seperti dalam hadits Nabi dari Anas bin Malik menurut riwayat Ibnu Hibban, yang
berbunyi:
خليفة، : بن خلف حدثنا قال سعيد، بن قتيبة حدثنا قال الثقفي، إسحاق بن محمد أخبرنا : . عليه الله صلى الله رسول كان قال ملك بن أنس عن ملك بن أنس أخي بن حفص عن
شديدا، نهيا التبتل عن وينهى بالباءة، يأمر " وسلم �نBى ف�إ �و�د�و�د� ال �و�د� �و�ل ال وج�و�ا �ز� ت ويقول( ) ." حبان ابن رواه �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي �اء �ي �ب �ن �أل ا �م� �ك ب �ر{ �اث ] 13 [م�ك
Artinya: Dikabarkan kepada kami oleh Muhammad bin Ishak as-Saqafi, ia berkata: Diceritakan kepada kamioleh Qutaibah bin Sa’id, ia berkata: Diceritakan kepada kami oleh Khalif bin Kholifah, Dari Hafis anak saudara ku yaitu Anas bin Malik. Dari Anas bin Malik ia berkata: Rosulullah Saw memerintahkan segera melakukan perrnikahan dan sangat melarang membujang (memperlambat pernikahan), dan beliau berkata: “Kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kaum di hari kiamat.”(HR. Ibnu Hibban)
Ibnu Rusyd menjelaskan dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-
Muqtashid tentang hukum melakukan perkawinan, yaitu:[14]
“Segolongan ulama jumhur berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah Mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya”.
Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan
perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lama, adakalanya
wajib, haram, makruh, sunnat (mandub) dan adakalanya mubah.[15]
Berdasarkan nash-nash, baik al-Qur'an maupun as-Sunnah, Islam sangat
menganjurkan perkawinan kaum Muslimin yang mampu untuk melangsungkan
perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang
melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat
dikenakan hukum wajib, sunnah, haram, makruh, ataupun mubah.
1. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan
dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka
hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan
pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat
yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan perkawinan, sedang
menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan itu pun wajib.
6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7) Tidak sedang melakukan ihram
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
9) Tidak sedang mempunyai istri empat
b. Syarat-syarat calon pengantin perempuan
1) Beragama Islam atau ahli kitab
2) Terang atau jelas bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)
3) Wanita itu tentu orangnya
4) Halal bagi calon suami
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam ‘iddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar
7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah
2. Syarat-syarat Ijab Kabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah yang
dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan
kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
3. Syarat-syarat Wali
Dalam perkawinan wali itu adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak
laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya dan pihak perempan
yang dilakukan oleh walinya.
Seorang wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil
(tidak fasik). Akad nikah tidak sah apabila tanpa keberadaan seorang wali,
berdasarkan sabda Nabi saw dari Abu Burdah bin Abu Musa menurut riwayat Ibnu
Majah yang berbunyi:
. الهمداني، إسحاق أبو حدثنا عوانة، أبو حدثنا الشوارب أبي بن الملك عبد بن محمد حدثنا " : : �ال ا �اح� �ك ن � ال وسلم عليه الله صلى الله رسول قال قال موسى أبي عن بردة، أبي عن
( ماجة "( ابن رواه �و�ل�ي� ] 21 [بArtinya: Diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Sawarib.
Diceritakan kepada kami oleh Abu Awanah. Diceritakan kepada kami oleh Abu Ishak al-Hamdani, dari Abu Burdah, Dari Abi Musa ia berkata: Rosulullah Saw berkata: “tidak boleh nikah tanpa wali”(HR. Ibn Majah)
4. Syarat-syarat Saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah baru berhak menjadi wali bila memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Dua orang laki-laki
b. Muslim
c. Baligh
d. Berakal
e. Merdeka
f. Adil (tidak fasik)
g. Melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah[22]
Berbeda dengan perspektif fikih, UU No. 1/1974 tidak mengenal adanya rukun
perkawinan. Tampaknya undang-undang perkawinan (UUP) hanya memuat hal-hal
yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Di dalam bab II Pasal 6 ditemukan
syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum berumur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mempu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
[3]Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut, Dar al-Fikr) Juz VII, h.29 [4]Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006), h.39
[5]Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al- fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, (Dar Ihya’: Turas al-Qarabi) Juz IV, h.3
[6]Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar (Surabaya: Darul Ihya) Juz II, h.36
h.30 [9]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana,2007), h.40 [10]Ibid., h.41 [11] Abi Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairy an-Naisabury, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya
al-Kutub Arabi,1954), h.1020 [12] Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ihya al-
Kutub Arabi), Juz III, h.238 [13] ‘Alauddin ‘Ali Ibn Balban al-Farisi, Sahih Ibn Hibban (Beirut: al-Resalah), h.338 [14]Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Beirut: Dar al-Fikr) Juz II,
h. 2 [15]Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqih ‘Ala Mazahib al-Arba’ah (Mesir: Dar Irsyad), Jilid
IV, h. 4 [16]Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka Setia), h.31-36 [17]Wahbah al-Juhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatihu (Beirut: Dar al-Fikr) Juz IX, h. 6521 [18]Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in (Surabaya: al-Hidayah), h.99 [19]Wahbah al-Zuhaily, h.6521 [20]Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi) Juz II, h.56 [21] Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qozwini, Sunan Ibn Majah (Indonesia: Maktabah
Dahlan), Juz I, h.605 [22] Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), h.76-78 [23]Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006), h.39
[24]Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Undang-undang No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara1996), h.170-186
[25]Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006), h.127
[26]Moh. Rifa’i, Fikih Islam Lengkap (Kuala Lumpur, Pustaka Jiwa,1996), h. 43 [27]Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan Agama tentang
� أ �ك� ذ�ل �ع�د� ب �ح�د�ث� ي ه� الل �ع�ل ل �د�ر�ي ت ال ه� �ف�س� ن �م� ظ�ل ف�ق�د� ه� الل )۱: ٦۵/ح�د�ود�Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.( QS. at-Thalaq (65): 1)
/ البقرة ( �م�ون� ) ۲۲۹: ۲الظالArtinya:“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah (2): 229) 3. Surat al-Baqarah (2): 230
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. al-Baqarah (2): 230)
Sedangkan di dalam as-Sunnah Rasulullah saw bersabda pada hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar yaitu:
رضي عمر بن الله عبد عن نافع عن مالك حدثني قال الله عبد بن إسماعيل حدثناوسلم عليه الله صلى الله رسول عهد على حائض وهي امرأته طلق أنه عنهما الله
الله صلى الله رسول فقال ذالك عن وسلم عليه الله رسول جطاب بن عمر فسأل : اء� ش� �ن� إ �م ث �ط�هر� ت �م ث �ض� �ح�ي ت �م ث �ط�هر� ت ى ح�ت �ه�ا ك �م�س� �ي ل �م ث اج�ع�ه�ا �ر� �ي ف�ل مره� وسلم عليه
�ه�ا ل �ط�لق� ت �ن� أ الله� م�ر�� أ �ى� ت ال �ع�دة� ال �ل�ك� ف�ت �م�س ي �ن� أ �ل� ق�ب ط�لق� اء� ش� �ن� و�إ �ع�د� ب م�س�ك�
Artinya; Diceritakan kepada kami oleh Ismail Ibn Abdullah, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh Malik dari Nafi’,dari Abdullah Ibn Umar. Bahwa sanya ia telah menthalak istrinya dalam keadaan haid pada masa Rasulallah Saw. Kemudian Umar Ibn Khatab bertanya kepada Rasulullah tentanghal itu.Maka Rasulullah Saw bersabda:”Perintahkan anakmu itu supaya rujuk (kembali) kepada istrinya itu, kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan tersebut sehingga ia suci dari haid, lalu haid kembali dan kemudian suci dari haid yang kedua. Maka, jika berkehendak, ia boleh meneruskan sebagaimana yang telah berlalu, dan jika menghendaki, ia boleh mencerikannya sebelum ia mencampurinya. Demikianlah iddah diperintahkah Allah Swt saat wanita itu dicerikan.” (HR. al-Bukhari).
Meskipun para ulama sepakat membolehkan thalak, jika keadaan hubungan
pernikahan suami istri dalam keadaan kritis, terancam perpecahan, serta pertengkaran
yang tidak membawa keuntungan sama sekali. Dan pada saat itu, dituntut adanya
jalan untuk menghindari dan menghilangkan berbagai hal negatif tersebut dengan cara
thalak.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa begitu kuat dan kokohnya hubungan antara
suami istri, maka tidak sepantasnya apabila hubungan tersebut dirusak dan
disepelekan. Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sebaiknya
bisa diselesaikan hingga tidak terjadi perceraian. Karena bagaimanapun, baik suami
maupun istri tidak menginginkan hal itu terjadi. Lebih-lebih sebuah hadits
menjelaskan bahwa meskipun thalak itu halal, tetapi sesungguhnya perbuatan itu
dibenci oleh Allah SWT sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
واصل، بن معرف عن خالد، بن محمد حدثنا عبيد، بن كثير دثار، حدثنا بن محارب عن : الله� �ل�ى ا �ل� �ح�ال ال �غ�ض� �ب أ ق�ال� م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�لى الله� و�ل� س� ر� عن ع�م�ر� �ن� إب ع�ن�
( داود ( أبو رواه �ق� ] 8 [.الطالArtinya: Diceritakan kepada kami oleh Katsir Ibn ‘Ubaid, diceritakan kepada kami oleh
Muhammad Ibn Kholid, dari Mu’arif Ibn wasil, dari Muharib Ibn Ditsar, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw bersabda: “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah Azza wajalla adalah thalak.” (HR. Abu Daud
Sedangkan tentang hukum cerai para ahli fiqih berbeda pendapat sehingga
dilihat dari kemaslahatan atau kemudharatannya, maka hukum perceraian atau thalak
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”. (QS. an-Nisa’(4):19)
Imam Ahmad berkata: Tidak patut memegang istri seperti ini. Karena hal itu
dapat mengurangi keimanan suami, tidak membuat aman ranjangnya dari perbuatan
rusaknya, dan dapat melemparkan kepadanya anak yang bukan dari darah dagingnya
sendiri.
Ibnu Qudamah berkata: Thalak dalam salah satu dari dua keadaan di atas
(Yaitu tidak taat kepada Allah dan kurang rasa malunya) barang kali wajib. Dan
berkata pula: Thalak sunnah yaitu thalak karena perpecahan antara suami istri yang
sudah berat dan bila istri keluar rumah dengan minta khulu’ karena ingin terlepas dari
bahaya.[9]
5. Mahzhur (terlarang)
Yaitu thalak dilakukan ketika istei sedang haid, para ulama di Mesir telah
sepakat untuk mengharamkannya. Thalak ini disebut thalak bid’ah. Disebut bid’ah
karena suami yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasul dan mengabaikan
perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.[10]
Jika diamati pada aturan-aturan fikih berkenaan dengan perceraian, terkesan
seolah-olah fikih memberi kemudahan atau kelonggaran untuk terjadinya suatu
perceraian, berbeda dengan UUP dan aturan-aturan lainnya terkesan mempersulit
terjadinya suatu perceraian.
Sebenarnya yang disebut dalam Pasal 1 UU No. 1/1974 dijelaskan bahwa
tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam bahasa KHI disebut dengan mistagan ghalizha
(ikatan yang kuat). Namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas di
tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian,
perceraian ataupun karena putusan pengadilan.
Dalam Pasal 38 UUD dinyatakan: “Perkawinan dapat putus karena, a.
kematian, b. perceraian, dan c. atas keputusan pengadilan.”
Selanjutnya pada Pasal 39 UUP dinyatakan:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3. Untuk melakukan perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
Dalam KHI pekawinan dapat putus disebabkan percereian dijelaskan pada
Pasal 113, dan 114 yang membagi perceraian kepada dua bagian, perceraian yang
disebabkan oleh gugatan perceraian.
Berbeda dengan UUD yang tidak mengenal istilah thalak KHI menjelaskan
pada Pasal 117 yang dimaksud dengan thalak adalah: “Ikrar suami di hadapan sidang
pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131.”
B. Rukun dan Syarat Perceraian
Rukun thalak ialah unsur pokok yang harus ada dalam thalak dan terwujudnya
thalak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun thalak tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Suami.
Suami adalah yang memiliki hak thalak dan yang berhak menjatuhkannya.
Selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Thalak bersifat menghilangkan ikatan
perkawinan. Oleh karena itu thalak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata
adanya akad perkawinan yang sah.
Sebagaimana sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari
Jubair bahwa Rasulullah saw bersabda:
عن الضحاك، عن جوبير، معمر،عن أنبأنا الرزاق، عبد حدثنا يحيى، محمد حدثنا" � ال قال وسلم عليه الله صلى النبي عن طالب أبي بن علي عن سبرة، بن النزال
( ) " ماجة إبن رواه �اح- �ك ن �ل� قب �ق� ] 11 [ط�الArtinya:Diceritakan kepada kami oleh Muhammad Ibn Yahya, diceritakan kepada kami oleh Abdul Rozak, dikhabarkan kepada kami oleh Ma’mar, dari jubair, dari Dohak, dari an-nazal Ibn Sabroh, dari Ali Ibn Abi Tholib, Nabi saw bersabda: “tidak ada thalak kecuali setelah akad perkawinan”.(HR.Ibnu Majah)
Thalak akan sah apabila suami yang menjatuhkan thalak tersebut memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Berakal sehat, maka tidak sah thalaknya anak kecil atau orang gila
b. Baligh dan merdeka
c. Atas kemauan sendiri bukan dipaksa orang lain
d. Masih ada hak untuk menthalak
2. Istri
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan thalak terhadap istri sendiri.
Tidak dipandang jatuh thalak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain.
Thalak akan sah apabila istri yang dijatuhkan thalak memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalin
masa iddah thalak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada
dalam perlindungan kekuasaan suami.
b. Kedudukan istri yang dithalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah
c. Perempuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah atau ismah.
(ucapan), iapun berhak untuk menolak melalui surat, dengan syarat suratnya itu jelas
dan terang. Misalnya: “Wahai Fulanah! Engkau tertolak”
c. Isyarat orang bisu
Isyarat orang bisu merupakan alat menjelaskan maksud hatinya kepada orang
lain. Karena itu, isyarat seperti ini dipandang sama nilainya dengan kata-kata yang
diucapkan dalam menjatuhkan thalak apabila orang bisu memberikan isyarat yang
maksudnya mengakhiri hubungan suami istri.
d. Mengirimkan seorang utusan
Thalak dianggap sah dengan mengirim seorang utusan untuk menyampaikan
kepada istrinya yang berada di tempat lain bahwa ia telah ditolak. Dalam hal ini,
utusan tadi bertindak selaku orang yang menolak. Karena itu, tolaknya sah.[13]
Sedangkan kalau kita merujuk kepada UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam itu secara umum dijelaskan bahwasannya perceraian hanya dapat dilakukan di
depan pengadilan, dalam hal ini sesuai dengan apa yang telah tercantum dalam UU 1
tahun 1974 Pasal 39 Ayat 3 dan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 129-148.
[1]Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu (Beirut: Dar al-Fikr) Juz IX, h. 6864 [2]Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah alih bahasa Moh. Tholib, (Bandung: PT al-Maarif, 1980) Juz
VIII, h. 7 [3]Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqih ‘Ala Mazahib al-Arba’ah (Mesir: Dar Irsyad) Juz
IV, h. 249 [4]Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, al-Jami’ fil Fiqhi an-Nisa Alih bahasa M. Abdul
Ghoffar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 427 [5]Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Aakhyar fi Hal Ghoyat al-Ikhtiyar (Surabaya: Darul Ihya) Juz
II, h. 84 [6]Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Inter Masa, 2003), h. 42 [7] Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Bairut, Dar Ihya al-
Kutub Arabi) Juz III, h. 226 [8] Abi Daud Sulaiman Ibn Asa’s as-Sijistani, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar al-A’lam,2003),
h. 351 [9]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah alih bahasa Moh. Tholib, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1980) Juz
VII, h. 12 [10]Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Alih Bahasa M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2001), h. 208-210 [11]Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazidal-Qozwini, Sunan Ibn Majah (Indonesia: Maktabah
pihak (istri dan suami) sepakat untuk mengakhiri hubungan pernikahannya dengan
jalan cerai.
Dan dari faktor eksternalnya, bahwa orang tua dari pihak istri, dengan
mengetahui ananknya tidak dinafkahi selama masa tiga bulan lamanya oleh suaminya
(menantu), maka atas alasan ini pulalah pihak orang tua si istri menghendaki agar
anaknya bisa berpisah atau bercerai dengan suaminya, demi mendapat kehidupan
yang lebih layak nantinya. Sehingga istri, dalam hal ini lebih yakin untuk
melaksanakan perceraiaan dengan suaminya, sebagaimana alasan-alasan yang
dimaksud di atas.
Selanjutnya, pelaku menyatakan cara perceraian yang terjadi di antara
keduanya tidaklah diproses dalam sidang di pengadilan agama tempat pelaku tinggal,
namun perceraian tersebut terjadi begitu saja di antara pelaku dengan hanya ucapan
“talak” dari suami kepada istri yang juga disaksikan oleh orang tua atau pihak
keluarga saja dan seorang amil setempat atau atau perceraian tersebut dapat dikatakan
“cerai di bawah tangan”(Red.istilah penulis untuk menyamakan nikah dibawah
tangan).
Perceraian tersebut ironis terjadi, karena pada awalnya pernikahan tersebut
terjadi dengan akad nikah yang sah dan tertulis secara di KUA sehingga menimbulkan
pertanyaan apakah perceraian tersebut sah baik secara hukum Islam maupun hukum
positif. Selain itu permasalahan yang juga akan di bahas selanjutnya adalah bahwa
pelaku setelah mengadakan “perceraian di bawah tangan” tersebut, kemudian
melangsungkan nikah di daerah lain (Desa.Bojong sari, kec.Sawangan) dengan laki-
laki lain yang dilakukan secara resmi dan tertulis di Kantor Urusan Agama.
2. Dasar Pelaksanaan Perkawinan
Dalam hal ini yang menjadi landasan perkawinan kembali wanita tersebut
adalah bahwa dia telah melakukan perceraian yang sah secara Islam. Menurutnya
perceraian tersebut telah memenuhi syarat sesuai dengan hukum Islam. Di samping
itu ia pun telah melewati masa iddahnya selama 3 bulan 10 hari. Sehingga hal inilah
yang mendasarinya melakukan pernikahan kembali dengan laki-laki lain. Selain itu,
kondisinya pada saat itu pun dalam keadaan kosong artinya di sini bahwa ia dalam
kondisi tidak ada ikatan apapun dengan laki-laki lain sehingga tidak ada lagi hal yang
bisa menghalanginya melakukan pernikahan dengan pria manapun juga.
Sedangkan pernikahan keduanya yang dilakukannya di depan KUA adalah
murni semuanya diurus oleh pihak keluarganya dan wanita tersebut tidak tahu
menahu masalah hukum pernikahannya kembali, di samping ia pun tidak begitu
paham dengan masalah hukum jadi dia hanya mengikuti prosedur yang telah
disiapkan oleh keluarganya.
C. Analisa Masalah
Indonesia adalah Negara bangsa (nation state), bukan Negara agama (religion state).
Hukum yang berlaku adalah hukum konvensional (positif), bukan hukum agama. Ini
mirip dengan konsep sekuler yang memisahkan antara agama dengan Negara. Urusan
agama diserahkan kepada masing-masing individu, sebagai warga Negara yang baik
selain taat beragama kita juga dituntut untuk mentaati peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk dalam hal perkawinan yang notabene domain
agama. Apalagi Indonesia bukanlah Negara sekuler, tapi juga Negara agama lebih
mengakomodasi hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama, salah satunya dalam
perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
Dalam perspektif hukum Islam tidak ada korelasi dan relevansi ada atau tidak akta
cerai untuk melaksanakan perkawinan berikutnya. Sedangkan menurut hukum positif
akta cerai merupakan bukti legalitas pengakuan oleh Negara terhadap putusnya
hubungan perkawinan antara suami dan istri. Tanpa akta cerai tersebut seseorang
tidak dapat melakukan pernikahan berikutnya karena dianggap masih terikat dengan
perkawinan sebelumnya. Dalam UUD No.1 tahun 1974 diterangkan bahwa prinsip
dasar perkawinan adalah monogami disinilah letak pentingnya keberadaan akta cerai
yaitu untuk sebagai syarat melancarkan pernikahan berikutnya.
Setelah memaparkan permasalahan di atas maka dapat dipahami bahwa :
pertama, melihat pada status perceraian yang dilakukan bukan di depan hakim, pada
satu sisi perceraian tersebut sah secara hukum Islam karena dalam literatur hukum
Islam tidak diharuskan perceraian dilakukan di depan pengadilan. Perceraian dapat
jatuh apabila seorang suami telah mengucapkan kata talak kepada istrinya baik secara
sungguh-sungguh atau diucapkannya secara tidak sungguh-sunguh sesuai dengan
hadis Rasulullah saw:
) : , التقريب فى ادرك بن الرحمن عبد عن اسماعيل بن تم حا حدثنا قال قتيبة حدثناالله : ) : صلى الله رسول قال ، هريرة ابي عن ماهك، ابن عن عطاء عن اردك والخالصةالترمذى : : ( ) رواه ج�ع�ة� و�الر �ق�، ،و�الطال �اح� Bك �لن ا ج�د� �ه�ن ل و�ه�ز� ج�د� ه�ن ج�د� �ث{ �ال ث وسلم ] 3 [عليه
Artinya: Diceritakan kepada kami oleh Qutaybah, ia berkata : Diceritakan kepada kami oleh Hatim Ibn Ismail dari Abdurrahman Ibn Adrak (didalam kitab at-Taqrib dan Khulasoh : Ardak) dari Atho: dari Ibn Mahak, dari Abi Hurairah, berkata Rasulullah saw : “tiga perkara kesungguhannya di pandang benar dan main-mainnya di pandang benar pula, yaitu: nikah, thalak, rujuk.(HR. at-Tirmidzi)
Dengan demikian perceraian tersebut sah secara syara’ akan tetapi jika
melihat dari kacamata hukum positif atau system perundang-undangan di Indonesia
yang mengacu kepada undang-undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
perceraian tersebut tidak sah secara hukum hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 39
ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbuyi : “ Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
maka menurut Hukum Islam sah-sah saja, akan tetapi menurut Hukum Positif tidak
sah bahkan harus dibatalkan.
3. Apabila perkawinan kedua dilakukan tanpa adanya Akta Cerai dari
pengadilan maka menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia harus
dibatalkan dan perkawinan tersebut menjadi pernikahan sirri , karena hanya sah
menurut Hukum Islam. Dan jika perkawinan tersebut ingin dilanjutkan dan sah
menurut hukum Islam dan diakui oleh Undang-Undang yang berlaku, maka pihak
terkait disarankan untuk melengkapi surat cerai dari pengadilan. Kemudian
menetapkan perkawinannya di Pengadilan Agama dengan melalui Isbat Nikah.
Perkawinan sirri (dibawah tangan) apabila tidak diresmikan atau dilegalkan maka
tidak sah menurut UU No.1 Tahun 1974 karena bertentangan dengan pasal 2 ayat 2
yang berbunyi: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Serta akan mempunyai implikasi terhadap kesimpangsiuran hukum di
antaranya dalam hukum kewarisan,hukum perwalian dalam pernikahan, karena
perkawinan di bawah tangan sukar untuk dibuktikan, kecuali semua para pihak yang
terlibat dalam perkawinan itu tetap hidup sepanjang zaman dan tidak akan mati.
B. Saran-Saran
1. Sebaiknya pihak Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama perlu meningkatkan
Sosialisasi hukum perkawinan kepada masyarakat dan ulama.
2. Agar tidak terjadi lagi pelanggaran pada Undang-Undang perkawinan sebaiknya
pencatatan nikah dijadikan rukun nikah dan perceraian di depan Pengadilan Agama
sebagai syarat sah cerai.
3. Pemerintah hendaknya memperlonggar peraturan-peraturan perkawinan dan perceraian
baik dari segi prosedur ataupun materi sehingga bagi pihak-pihak tertentu tidak lagi
mengambil jalan pintas dalam melakukan perkawinan dan perceraian.
4. Pelaksanaan Undang-Undang dalam hal ini Kantor Urusan Agama dan Pengadilan
Agama harus konsisten dalam menjalankan Undang-Undang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No: 1 Tahun 1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-3. Rifai, Moh. Fikih Islam Lengkap, Kuala Lumpur: Pustaka Jiwa, 1996.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinaan Islam: Suatu Analisis Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 dan KHI, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandingan Intar Madzhab), Jakarta : PT. Prima Heza Lestari, 2006, Cet. Ke-1.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, Cet. Ke-2.
Nasution, Bahder Johan. Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqoh, Bandung: Mandar Maju, 1997.
Abidin Slamet dan Aminudin. Fikih Munakahat I, Bandung: CV. Pustaka Setia,1999, Cet. Ke-1.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Inter Masa, 2003, Cet. Ke-31.
Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Karya Gemilang, 2007. Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-1.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Islam, Jakarta : Sinar Grafik, 2006, Cet. Ke-4.
Ali, Zaenuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,2006, Cet. Ke-1. Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004. Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II. Yahya, Abu Zakaria al-Anshary. Fath al-Wahhab, Singapura: Sulaiman Mar’iy.
Taqiyuddin, Imam. Kifayat al-Akhyar Fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar, Surabaya: Darul Ihya, Juz II.
al-Zuhaily, Wahbah Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fiqr, 2004, Juz VII, Cet. Ke-4.
Ibn Abdul Aziz, Zainuddin, Fathul Mu’in, Surabaya: al-Hidayah.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, Juz II.
Husain, Abi Muslim Ibn Hajaj al-Qusyairi an-Naysyaburi. Sahih Muslim, Beirut: Dar Ihya al-Kutub Arabi, 1954.
Ali, Alaudin Ibn Balyan al-Farisi. Sahih Ibnu Hibban, Beirut: al-Resalah.
Isa, Abi Muhammad Ibn Isa Ibn Sawrah. Sunan Tirmidji, Beirut: Dar al-Marefah, 2002, Cet. Ke-I.
Daud, Abi Sulaiman Ibn As’as as-Sijistani. Sunan Abi Daud, Beirut: Dar al-Alam, 2003, Cet. Ke-I.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Alih Bahasa Moh, Tholib, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1981, Juz VII, Cet. Ke-I.
Abdurrahman al-Jaziri. Kitab ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Irsyad, Juz IV. Abdillah, Abi Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari. Sahih Bukhari, Beirut: Dar Ihya al-Kutub
al-Arabi, Juz III. Warson, Ahmad Munawwir. Al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997. Abdillah, Abi Muhammad Ibn Yazid al-Qozwini. Sunan Ibnu Majah, Indonesia: Maktabah
Dahlan, Juz I http:// www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2007030202140450, tgl akses 5 november 2009