Legalitas Legalitas: Jurnal Hukum, 12(1), Juni 2020, 158-179 Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Batanghari ISSN 2085-0212 (Print), ISSN 2597-8861 (Online) DOI 10.33087/legalitas.v12i1.199 158 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN PEMBAYARAN UTANG OLEH KREDITOR PADA SAAT PERMOHONAN PAILIT DIAJUKAN (Studi Kasus: Kepailitan PT. Hendratna Plymood) Oleh: Nur Fauzia ABSTRAK Suatu usaha tidak selalu berjalan dengan baik dan lancar, sering kali keadaan keuangan pelaku usaha tersebut sudah sedemikian rupa hingga sampai pada suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mampu lagi membayar utang- utangnya yang telah jatuh tempo. Para Kreditor yang mengetahui bahwa Debitor tidak mampu lagi membayar utang-utangnya akan berusaha untuk terlebih dahulu mendapatkan pelunasan atas piutangnya. Para kreditor mungkin saja memaksa debitornya untuk menyerahkan barang-barang guna pelunasan hutang-hutangnya, atau dapat juga debitor diminta untuk melakukan perbuatan yang hanya menguntungkan satu atau beberapa kreditor saja sedangkan kreditor yang lainnya dirugikan. Tindakan Kreditor atau perlakuan Debitor yang demikian jelas akan memberikan ketidakpastian bagi Kreditor lain yang beritikad baik yang tidak ikut mengambil barang- barang Debitor sebagai pelunasan piutangnya, sehingga piutang Kreditor yang beritikad baik tersebut tidak terjamin pelunasannya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dibutuhkan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah dan dapat memberikan suatu kepastian hukum, sehingga kejadian-kejadian sebagaimana disebut di atas dapat dicegah. Salah satu contoh kasus penyelesaian utang Debitor terhadap Kreditor melalui kepailitan yang dalam prosesnya kurang tepat dalam menerapkan ketentuan syarat permohonan pailit dalam UU No.37 Tahun 2004 adalah kasus kepailitan PT. Hendratna Plywood dengan para Kreditornya yaitu PT. Ocean Global Shipping dan PT. Samudra Naga Global. Dimana PT. Hendratna Plywood membayar hutangnya kepada salah satu Kreditornya, yakni PT. Samudra Naga Global pada saat 14 (empat belas) hari setelah permohonan pailit didaftarkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dengan adanya pembayaran tersebut, syarat kepailitan dalam UU No. 37 Tahun 2004 yaitu adanya 2 (dua) kreditor atau lebih dan suatu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih menjadi tidak terpenuhi lagi. Lebih lanjut hal tersebut menimbulkan permasalahan yaitu dimana PT. Hendratna Plywood yang telah membayar utangnya menuntut agar kepailitan dibatalkan. Sedangkan PT. Ocean Global Shipping menuntut agar PT. Hendratna Plywood tetap dipailitkan meskipun utang terhadap salah satu Kreditor telah dibayar lunas. Namun pada akhirnya Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan putusan No. 16/2010. Pailit/PN.Niaga.Jkt.Pst menjatuhkan putusan pailit kepada PT. Hendratna Plywood dengan segala akibat hukumnya. Kata Kunci : Utang, Pailit, Kreditor, PT. Hendratna Plymood A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan perekonomi di Indonesia pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dari peranan para pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan bisnis di Indonesia. Para pelaku-pelaku ekonomi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik oleh Pengajar Fakultas Hukum UNBARI
22
Embed
Legalitas Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Legalitas Legalitas: Jurnal Hukum, 12(1), Juni 2020, 158-179
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Batanghari ISSN 2085-0212 (Print), ISSN 2597-8861 (Online)
DOI 10.33087/legalitas.v12i1.199
158
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN PEMBAYARAN
UTANG OLEH KREDITOR PADA SAAT PERMOHONAN
PAILIT DIAJUKAN
(Studi Kasus: Kepailitan PT. Hendratna Plymood)
Oleh:
Nur Fauzia
ABSTRAK
Suatu usaha tidak selalu berjalan dengan baik dan lancar, sering kali keadaan keuangan pelaku usaha
tersebut sudah sedemikian rupa hingga sampai pada suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mampu
lagi membayar utang- utangnya yang telah jatuh tempo. Para Kreditor yang mengetahui bahwa
Debitor tidak mampu lagi membayar utang-utangnya akan berusaha untuk terlebih dahulu
mendapatkan pelunasan atas piutangnya. Para kreditor mungkin saja memaksa debitornya untuk
menyerahkan barang-barang guna pelunasan hutang-hutangnya, atau dapat juga debitor diminta untuk
melakukan perbuatan yang hanya menguntungkan satu atau beberapa kreditor saja sedangkan kreditor
yang lainnya dirugikan. Tindakan Kreditor atau perlakuan Debitor yang demikian jelas akan
memberikan ketidakpastian bagi Kreditor lain yang beritikad baik yang tidak ikut mengambil barang-
barang Debitor sebagai pelunasan piutangnya, sehingga piutang Kreditor yang beritikad baik tersebut
tidak terjamin pelunasannya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dibutuhkan suatu lembaga
yang dapat menyelesaikan masalah dan dapat memberikan suatu kepastian hukum, sehingga
kejadian-kejadian sebagaimana disebut di atas dapat dicegah. Salah satu contoh kasus penyelesaian
utang Debitor terhadap Kreditor melalui kepailitan yang dalam prosesnya kurang tepat dalam
menerapkan ketentuan syarat permohonan pailit dalam UU No.37 Tahun 2004 adalah kasus kepailitan
PT. Hendratna Plywood dengan para Kreditornya yaitu PT. Ocean Global Shipping dan PT. Samudra
Naga Global. Dimana PT. Hendratna Plywood membayar hutangnya kepada salah satu Kreditornya,
yakni PT. Samudra Naga Global pada saat 14 (empat belas) hari setelah permohonan pailit
didaftarkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dengan adanya pembayaran tersebut, syarat kepailitan
dalam UU No. 37 Tahun 2004 yaitu adanya 2 (dua) kreditor atau lebih dan suatu utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih menjadi tidak terpenuhi lagi. Lebih lanjut hal tersebut menimbulkan
permasalahan yaitu dimana PT. Hendratna Plywood yang telah membayar utangnya menuntut
agar kepailitan dibatalkan. Sedangkan PT. Ocean Global Shipping menuntut agar PT. Hendratna
Plywood tetap dipailitkan meskipun utang terhadap salah satu Kreditor telah dibayar lunas. Namun
pada akhirnya Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan putusan No.
16/2010. Pailit/PN.Niaga.Jkt.Pst menjatuhkan putusan pailit kepada PT. Hendratna Plywood dengan
segala akibat hukumnya.
Kata Kunci : Utang, Pailit, Kreditor, PT. Hendratna Plymood
A. Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan perekonomi di Indonesia pada prinsipnya tidak
dapat dipisahkan dari peranan para pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan bisnis
di Indonesia. Para pelaku-pelaku ekonomi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik oleh
Pengajar Fakultas Hukum UNBARI
Nur Fauzia, Tinjauan Yuridis Terhadap Penolakan Pembayaran Utang Oleh Kreditor Pada Saat Permohonan
Pailit Diajukan (Studi Kasus: Kepailitan PT. Hendratna Plymood)
159
karena tersedianya beberapa faktor penunjang serta iklim berusaha yang mendukung.
Adapun faktor-faktor penunjang tersebut antara lain adalah1: sumber daya manusia, sumber
daya alam, ilmu pengetahuan dan tekonologi, budaya, dan sumber daya modal. Di antara
faktor-faktor tersebut di atas, faktor yang sangat penting adalah sumber daya modal,
mengingat modal merupakan motor pengerak bagi kegiatan dunia usaha pada umumnya.
Setiap organisasi ekonomi dalam bentuk dan skala apapun selalu membutuhkan
dana cukup agar laju kegiatan usahanya dapat terwujud sesuai dengan perencanaannya.
Kebutuhan dana, adakalanya dapat dipenuhi sendiri (internal) sesuai dengan kemampuan
pemilik usaha, akan tetapi adakalanya tidak dapat dipenuhi sendiri. Untuk itu dibutuhkan
dana bantuan dari pihak lain (eksternal) yang bersedia membantu menyediakan dana dengan
cara meminjam atau berutang kepada pihak lain.
Utang dalam dunia usaha adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh pelaku usaha
pada umumnya baik perorangan maupun badan usaha. Para pelaku usaha yang masih dapat
membayar kembali utang-utangnya disebut sebagai pelaku usaha yang solvable. Sebaliknya
pelaku usaha yang sudah tidak dapat membayar utang- utangnya disebut insolvable, atau
dalam keadaan tidak mampu lagi untuk membayar.
Suatu usaha tidak selalu berjalan dengan baik dan lancar, sering kali keadaan
keuangan pelaku usaha tersebut sudah sedemikian rupa hingga sampai pada suatu keadaan
dimana pelaku usaha tidak mampu lagi membayar utang- utangnya yang telah jatuh tempo.
Para Kreditor yang mengetahui bahwa Debitor tidak mampu lagi membayar utang-utangnya
akan berusaha untuk terlebih dahulu mendapatkan pelunasan atas piutangnya.
Para kreditor mungkin saja memaksa debitornya untuk menyerahkan barang-barang
guna pelunasan hutang-hutangnya, atau dapat juga debitor diminta untuk melakukan
perbuatan yang hanya menguntungkan satu atau beberapa kreditor saja sedangkan kreditor
yang lainnya dirugikan. Tindakan Kreditor atau perlakuan Debitor yang demikian jelas akan
memberikan ketidakpastian bagi Kreditor lain yang beritikad baik yang tidak ikut
mengambil barang-barang Debitor sebagai pelunasan piutangnya, sehingga piutang Kreditor
yang beritikad baik tersebut tidak terjamin pelunasannya. Berdasarkan hal-hal tersebut di
atas, maka dibutuhkan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah dan dapat
memberikan suatu kepastian hukum, sehingga kejadian-kejadian sebagaimana disebut di
atas dapat dicegah. Adapun lembaga ini dikenal pula dengan istilah lembaga kepailitan.
Nur Fauzia, Tinjauan Yuridis Terhadap Penolakan Pembayaran Utang Oleh Kreditor Pada Saat Permohonan
Pailit Diajukan (Studi Kasus: Kepailitan PT. Hendratna Plymood)
160
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Sri Redjeki Hartono mengatakan bahwa:
“Lembaga kepailitan memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila Debitor
dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan
mencegah/menghindari dua hal berikut, yang keduanya merupakan tindakan-tindakan yang
tidak adil dan dapat merugikan semua pihak, yaitu: menghindari eksekusi masal oleh
Debitor atau Kreditor dan mencegah terjadinya kecurangan oleh Debitor sendiri.” 2
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, hukum kepailitan diperlukan untuk mengatur
mengenai cara pembagian hasil penjualan harta debitor untuk melunasi piutang masing-
masing kreditor berdasarkan urutan prioritasnya. Sebelum dibagikan kepada para
kreditor, harta debitor oleh pengadilan diletakkan terlebih dahulu di bawah sita umum.3
Sejarah hukum kepailitan di Indonesia berawal sejak tahun 1905, yaitu dengan adanya
pengaturan kepailitan dalam “Verordening op Het Failissement en Surseance van Betaling
vor de European in Indonesia”4 (Failissement Verordening, Peraturan Kepailitan),
Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 nomor 348. Faillissement verordening
selanjutnya disingkat FV di Indonesia, yang berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada
Hukum Perdata Barat dan juga untuk orang-orang yang menundukkan diri pada Hukum
Perdata Barat.5 Kemudian setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, FV
dinyatakan tetap berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada tanggal 22 April 1998, Pemerintah Indonesia menyempurnakan peraturan
kepailitan tersebut dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan menjadi Undang-Undang.6
Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1998 ini tidaklah mencabut FV, tetapi hanya
menambah dan merubahnya. Dibuatnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 ini adalah
untuk memenuhi isi Letter of Intent yang telah ditandatangani antara pemerintah Indonesia
dengan International Moneter Fund (“IMF”), sebagai syarat bagi Indonesia untuk
2 Sri Redjeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, JurnalHukum Bisnis, Volume 7,
Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 1999. hal. 22 3 Emmy Yuhassarie,”Undang–Undang Kepailitan dan Perkembangannya,” Makalah disampaikan pada Lokakarya
Terbatas Makalah-Makalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta 26 – 28 Januari 2004, hal. XV 4 Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Failissement Verording Juncto Undang-Undang nomor 4
tahun 1998; Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 2002, hal 1
5Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : P.T. Alumni, 2006, hal. 7
6 “Sejarah hukum kepailitan”, http://www.slideshare.net/joehasan/sejarah-hukum- kepailitan-di-indonesia,
Nur Fauzia, Tinjauan Yuridis Terhadap Penolakan Pembayaran Utang Oleh Kreditor Pada Saat Permohonan
Pailit Diajukan (Studi Kasus: Kepailitan PT. Hendratna Plymood)
161
memperoleh dana pinjaman dari IMF.7 Pada tanggal 18 Oktober 2004 diundangkannya
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, dimana hal tersebut menyebabkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998 dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun tujuan dari dibentuknya Undang-Undang
Kepailitan tersebut adalah untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang secara
cepat, adil, terbuka dan efektif.8
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disebut “UU
No. 37 Tahun 2004”):
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Kepailitan pada dasarnya merupakan realisasi dari dua asas pokok yang terkandung
dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa:
“Segala kebendaan si berutang, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan.”
Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa:
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang yang
mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan.”
Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian hukum kepada kreditor
bahwa kewajiban debitor akan tetap dipenuhi dengan jaminan seluruh harta kekayaan
debitor baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada dikemudian hari atau yang lebih
dikenal dengan istilah jaminan umum.
Kepailitan harus mengikuti syarat dan prosedur tertentu sebagaimana diatur dalam
UU No. 37 Tahun 2004 sehingga Debitor dapat dinyatakan pailit dengan suatu keputusan
Pengadilan. Syarat Debitor dapat dinyatakan pailit adalah apabila Debitor mempunyai dua
7 Sjahjeini, Op.Cit., hal 35 8 Widjanarko, Dampak Implementasi Undang-Undang Kepailitan Terhadap Sektor Perbankan, Jurnal Hukum
Bisnis, Volume 8, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 1999 hal 73
Nur Fauzia, Tinjauan Yuridis Terhadap Penolakan Pembayaran Utang Oleh Kreditor Pada Saat Permohonan
Pailit Diajukan (Studi Kasus: Kepailitan PT. Hendratna Plymood)
162
atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih. Permohonan pernyataan pailit harus diajukan kepada Pengadilan Niaga
yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor.
Kepailitan dapat diajukan atas permohonan Debitor sendiri atau oleh seorang
Kreditor maupun beberapa orang Kreditor, Kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank
Indonesia dalam hal Debitornya adalah Bank, Otoritas Jasa Keuangan (dahulu BAPEPAM)
dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin,
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan Menteri Keuangan dalam hal debitornya
adalah Perusahaan Asurasi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pembiayaan, dan Dana
Pensiun. Pailit adalah suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan
pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.9
Putusan pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap
untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya lagi sejak
dijatuhkannya putusan pernyataan pailit tersebut. Dengan adanya putusan pernyataan pailit
ini, akan mempengaruhi credietwaardigheid debitor, artinya adalah si debitor tidak akan
mudah mendapatkan kredit.10
Ada beberapa faktor penting dibuatnya suatu peraturan mengenai kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:
a. Untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa Kreditor yang menagih piutangnya kepada Debitor.
b. Untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang
menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa
memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.
c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah
seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi
keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga
Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk
melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung
jawabnya terhadap para Kreditor.
Untuk dapat dimohonkan pailit, UU No. 37 Tahun 2004 mewajibkan bahwa
seorang Debitor yang mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas
9 M. Hadi Shubhan, “Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktek di Pengadilan,” Jakarta: Kencana, 2009. hal. 1 10 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pridnya Paramita, 1982, hal 42
Nur Fauzia, Tinjauan Yuridis Terhadap Penolakan Pembayaran Utang Oleh Kreditor Pada Saat Permohonan
Pailit Diajukan (Studi Kasus: Kepailitan PT. Hendratna Plymood)
163
sedikitnya 1 (satu) utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat dinyatakan pailit
dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu
atau lebih Kreditornya. UU No. 37 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas tentang syarat
permohonan pailit terhadap Debitor, akan tetapi dalam praktek atau kenyataannya ada
beberapa putusan pengadilan yang kurang tepat dalam menerapkan syarat permohonan pailit
tersebut di atas.11
Salah satu contoh kasus penyelesaian utang Debitor terhadap Kreditor melalui
kepailitan yang dalam prosesnya kurang tepat dalam menerapkan ketentuan syarat
permohonan pailit dalam UU No.37 Tahun 2004 adalah kasus kepailitan PT. Hendratna
Plywood dengan para Kreditornya yaitu PT. Ocean Global Shipping dan PT. Samudra Naga
Global. Dimana PT. Hendratna Plywood membayar hutangnya kepada salah satu
Kreditornya, yakni PT. Samudra Naga Global pada saat 14 (empat belas) hari setelah
permohonan pailit didaftarkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Dengan adanya pembayaran tersebut, syarat kepailitan dalam UU No. 37 Tahun
2004 yaitu adanya 2 (dua) kreditor atau lebih dan suatu utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih menjadi tidak terpenuhi lagi. Lebih lanjut hal tersebut menimbulkan
permasalahan yaitu dimana PT. Hendratna Plywood yang telah membayar utangnya
menuntut agar kepailitan dibatalkan. Sedangkan PT. Ocean Global Shipping menuntut agar
PT. Hendratna Plywood tetap dipailitkan meskipun utang terhadap salah satu Kreditor telah
dibayar lunas. Namun pada akhirnya Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dengan putusan No. 16/2010. Pailit/PN.Niaga.Jkt.Pst menjatuhkan putusan pailit
kepada PT. Hendratna Plywood dengan segala akibat hukumnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Penulis berkeinginan untuk melakukan
penelitian terhadap kepailitan PT. Hendratna Plywood oleh para Kreditornya, PT. Samudra
Naga Global dan PT. Ocean Global Shipping. yang berjudul, “Tinjauan Yuridis Terhadap
Penolakan Pembayaran Utang Oleh Kreditor Pada Saat Permohonan Pailit Diajukan
(Studi Kasus: Kepailitan PT. Hendratna Plywood)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diungkapkan di atas, rumusan
yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
11 Parwoto Wignjo Sumarto, Hukum Kepailitan Pandang, Jakarta: PT.Tatanusa, 2003, hal 168
Nur Fauzia, Tinjauan Yuridis Terhadap Penolakan Pembayaran Utang Oleh Kreditor Pada Saat Permohonan
Pailit Diajukan (Studi Kasus: Kepailitan PT. Hendratna Plymood)
164
1) Bagaimanakah penerapan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dalam proses kepailitan PT. Hendratna Plywood?
2) Apakah akibat hukum yang timbul dari pembayaran utang PT. Hendratna Plywood
kepada PT. Samudra Naga Global terkait kepailitan yang sudah didaftarkan
permohonan pailitnya di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat?
D. Penerapan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam Proses
Kepailitan PT. Hendratna Plywood
Suatu permohonan kepailitan dapat dikabulkan apabila telah memenuhi syarat-
syarat kepailitan yang diatur di dalam Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004. Adapun syarat-syarat
kepailitan dalam Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 adalah debitor yang mempunyai dua atau
lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Berdasarkan syarat-syarat kepailitan tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa agar
debitor dapat dinyatakan pailit maka wajib dipenuhinya kriteria- kriteria sebagai berikut 12:
1. Adanya utang;
2. Minimal salah satu utang telah jatuh tempo;
3. Minimal salah satu utang dapat ditagih;
4. Adanya debitor;
5. Adanya kreditor;
6. Minimal adanya 2 (dua) kreditor atau lebih;
7. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan
Niaga; dan
8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu:
a. Pihak Debitor sendiri;
b. Satu atau lebih Kreditor;
c. Jaksa untuk kepentingan umum;
d. Bank Indonesia jika debitornya bank;
12 Munir Fuady, Op. Cit., hal. 8
Nur Fauzia, Tinjauan Yuridis Terhadap Penolakan Pembayaran Utang Oleh Kreditor Pada Saat Permohonan
Pailit Diajukan (Studi Kasus: Kepailitan PT. Hendratna Plymood)
165
e. Bapepam (sekarang Otoritas Jasa Keuangan) jika debitornya perusahaan efek,
bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan
penyelesaian; atau
f. Menteri Keuangan jika debitornya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun,
dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.
Apabila seluruh syarat-syarat yuridis kepailitan tersebut di atas terpenuhi, maka
majelis hakim “menyatakan pailit” Debitor.
Dikaitkan dengan kasus kepailitan PT HPL, syarat-syarat yuridis kepailitan
sebagaimana dimaksud di atas dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Adanya utang
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang
baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun
yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak
kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.
Dapatkah suatu bill of lading dianggap sebagai perjanjian yang menimbulkan
kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang? Bill of lading / surat muat atau yang
lebih dikenal sebagai tanda terima barang - barang yang diberikan oleh pengangkut kepada
pengirim barang.13 Berdasarkan pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dinyatakan
bahwa:
“bill of lading (konosemen) adalah suatu surat bertanggal, dimana si pengangkut
menerangkan bahwa ia telah menerima barang barang tersebut untuk diangkutnya ke suatu
tempat, tujuan tertentu dan menyerahkannya disitu kepada seseorang tertentu begitu pula
menerangkan dengan syarat syarat apakah barang barang itu akan diserahkan”
Sebagai dokumen induk dalam pengangkutan laut, bill of lading atau konosemen
mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. sebagai tanda terima barang;
b. sebagai bukti pemilikan atas barang;
c. sebagai bukti perjanjian pengangkutan laut.
Setelah barang - barang dimuat di atas kapal, kemudian pengangkut menerbitkan bill
of lading yang juga merupakan bukti bagi kepentingan si pengirim dan pengangkut tentang
13 Penyelenggaraan Pengangkutan Barang Melalui Laut Menurut Undang-Undang Pelayaran Nmor 17 Tahun 2008,
Belanda (lama) serta Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya
menyebutkan bahwa semua kontrak dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena hal
tersebut untuk dapat memahami itikad baik yang lebih jelas harus dilihat pada penafsiran
itikad baik dalam praktik pengadilan secara kasus demi kasus.
18 Siti Ismijati Jenie, Pidato Pengukuhan berjudul “Itikad Baik, Perkembangan Dari Asas Hukum Khusus Menjadi
Asas Hukum Umum Di Indonesia”, pada tanggal 10 September 2007 19 Eric M. Holmes, “A Contextual Study of Commercial Good Faith : Good Faith Disclosure in Contract Formation”,
University of Pittsburgh Law Review, Vol 39 No. 3 (1978), hal 400
Nur Fauzia, Tinjauan Yuridis Terhadap Penolakan Pembayaran Utang Oleh Kreditor Pada Saat Permohonan
Pailit Diajukan (Studi Kasus: Kepailitan PT. Hendratna Plymood)
176
Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1338 Ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yurisprudensi, dan doktrin pada umumnya mengartikan itikad baik bersifat objektif
jika berada di ranah perikatan, dan dalam ranah hukum benda itikad baik diartikan sebagai
sesuatu yang bersifat subjektif.20 Itikad baik dalam pengertian subjektif adalah kejujuran
seseorang dalam melakukan sesuatu perbuatan hukum, sedangkan dalam pengertian objektif
adalah pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatuhan atau apa-apa
yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.21 Itikad baik dalam peraturan
perundang-undangan kita merupakan Das Sollen yang harus direfleksikan dalam hukum
positif.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Penulis berpendapat bahwa majelis hakim
dalam putusannya tersebut memandang itikad baik sebagai sesuatu yang bersifat subjektif,
yang mana hal tersebut tidak sesuai dengan perkara PT HPL dikarenakan hubungan antara
PT HPL dengan para kreditornya adalah hubungan dalam ranah perikatan sehingga
seharusnya majelis hakim memandang itikad baik sebagai sesuatu yang bersifat objektif
bukan sesuatu yang bersifat subjektif. Itikad baik dalam konsep hukum yang berlaku di
Indonesia harus dapat direfleksikan dalam hukum positif yang ada, yang mana telah
diuraikan sebelumnya bahwa tidak ada ketentuan yang melarang pembayaran utang pada
saat proses kepailitan berlangsung dan tidak ada pula larangan bagi Debitor untuk
membayar utang yang jumlahnya lebih kecil kepada Kreditornya, maka pendapat majelis
hakim dalam perkara PT HPL tersebut tidak didasarkan pada norma-norma hukum yang
cukup.
Selain hal tersebut di atas, tindakan PT SNG yang menyatakan menolak
pembayaran utang oleh PT HPL tanpa diikuti dengan pengembalian uang yang telah
diterimanya bahkan hingga putusan Peninjauan Kembali dibacakan, menurut Penulis
merupakan suatu bentuk itikad tidak baik dari PT SNG. Penulis berpendapat tujuan dari
penolakan PT SNG tersebut adalah untuk mempailitkan PT HPL bukan untuk mendapatkan
pelunasan terhadap piutang yang dimilikinya. Hal ini jelas sekali bertentangan dengan asas
keseimbangan yang dianut dalam UU No. 37 Tahun 2004 yaitu terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
20 Anonim, “Perlu ada Kepastian Hukum Soal Iktikad Baik”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524946678eefe/perlu-ada-kepastian-hukum-soal- iktikad-baik, 26 November