LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK BERDASARKAN PRINSIP NEGARA DEMOKRASI (KAJIAN PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN JERMAN) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: RAHMAH NURLAILY NIM : 11150480000173 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA PEMBUBARAN
PARTAI POLITIK BERDASARKAN PRINSIP NEGARA DEMOKRASI
(KAJIAN PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN JERMAN)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RAHMAH NURLAILY
NIM : 11150480000173
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
ii
v
ABSTRAK
Rahmah Nurlaily, Nim 11150480000173. LEGAL STANDING PEMOHON
DALAM PERKARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK BERDASARKAN
NEGARA DEMOKRASI (KAJIAN PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN
JERMAN). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,1441 H/2020 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai legal standing pembubaran
partai politik berdasarkan prinsip negara demokrasi, kajian perbandingan Indonesia
dengan negara Jerman. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif. Dalam
penelitian ini metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan
(Library Research) yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan
pengundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, serta tulisan tulisan para sarjana
yang berkaitan dengan skripsi ini.. Data yang telah dihimpun dan dianalisis
menggunakan metode normatif yuridis atau metode kualitatif, yakni penelitian yang
mengkhusus pada kajian berdasarkan teori-teori hukum yang kemudian dikaitkan
dengan perundang-undangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan serta pendekatan analistis.
Hasil Penelitian ini menunjukan perbandingan legal standing pemohon
perkara pembubaran partai politik di Indonesia dengan Jerman, yang dimana
Indonesia mempunyai persamaan dengan negara Jerman yakni sama-sama memiliki
sistem multi partai serta kewenangan pembubaran partai politik kewenangannya
dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, namun dalam penerapan legal standing pemohon
pembubaran partai politik yang berbeda, yang mana Jerman menetapkan Parlemen
Federal, Majelis Federal dan Pemerintahan Federal sebagai pemohon pembubaran
partai politik, penerapan tersebut sudah berdasarkan prinsip negara demokrasi,
berbeda dengan Indonesia yang legal standing pemohon hanya pemerintah saja, tentu
hal ini belum berdasarkan prinsip negara demokrasi apabila bercermin kepada negara
Jerman. Bahwa seharusnya terdapat pihak lain yang menjadi pemohon dalam perkara
pembubaran partai politik di Indonesia, pihak tersebut yakni DPR dan DPD, hal itu
mencerminkan kehidupan bernegara yang demokratis serta menjadikan pengawasan
terhadap partai politik dan pemerintah yang menjadi pihak dalam melakukan
pengajuan permohonan pembubaran partai politik, untuk itu perlu adanya kajian
dalam memperluas kewenangan pemohon dalam perkara pembubaran partai politik
agar terwujudnya prinsip negara demokrasi di Indonesia.
Kata Kunci : Legal Standing, Pemohon, Negara Demokrasi, Pemerintah,
Pembubaran, Partai Politik.
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Moh. Ali Wafa, S.H, S.Ag, M.Ag.
pendirian dan pembubaran partai politik perlu diawasi oleh konstitusi.
Pembubaran partai politik Jerman merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi hal ini diatur dalam konstitusi Jerman yaitu basic law.
Basic law merupakan konstitusi terbaru di Jerman atau disebut dengan
Undang-Undang Dasar Jerman yang dimana dulu berlaku konstitusi
Weimar.11 Basic law mengatur dan memberikan jaminan kepada warga negara
Jerman untuk bebas berkumpul dan berserikat dalam bentuk apapun
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 basic law tak terkecuali dengan
partai politik itu sendiri. Selain itu basic law juga mengatur pembatasan dan
pembubaran suatu partai politik, yang dalam pembubaran dan pembatasan
suatu partai politik dimonopoli oleh Mahkamah Konstitusi Federal Jerman
(Bundesverfassunggericht). Mahkamah Konstitusi Jerman telah memeriksa
dan dan memutus permohonan pembubaran partai politik. Menurut Abdul
Bari dan Makmur Amir dalam buku yang berjudul Pemilu dan partai politik di
Indonesia menyatakan bahwasanya tindakan pembubaran partai politik
haruslah diputuskan melalui Mahkamah Konstitusi atau badan peradilan lain
yang berwenang melalui prosedur peradilan yang benar-benar memberikan
segala jaminan akan “due process of law”.12
Jerman dalam melakukan mekanisme pembubaran partai politik
kewenangannya dimiliki oleh Mahkamah Kontistusi Jerman atau disebut
dengan Bundesverfassunggericht. Terdapat beberapa permohonan
pembubaran partai politik yang di periksa dan diputus oleh Mahkamah
Konstitusi, terdapat dua permohonan pembubaran partai politik yang
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi Jerman pada tahun 1952 yakni
terhadap partai politik Sozialistische Reichspartei atau Sosialust Reich Party
11 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman…h. 122
12 Abdul Bari Azed & Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, h. 36
36
(SRP) dan pada tahun 1956 terhadap permohonan pembubaran partai politik
Kommunistsche Partei Deutschlands atau Communist Party of Germany
(KPD), selain itu Mahkamah Konstitusi Jerman menolak permohonan
pembubaran partai politik yakni pada partai politik The Free German Workers
Party atau Freiheitliche Deutsche Arbeiterpartei (FAP), The National List
(NL) pada tahun 1994, dan permohonan pembubaran National demokratische
Partei Deutschlands atau National Democratic Party of Germany (NPD) pada
tahun 2017, dan satu permohonan pembubaran partai politik yang tidak
dilanjutkan perkara permohonan pembubaran partai politiknya yakni partai
politik National Democratic Party Of Germany (NPD) pada tahun 2003.13
Pengaturan pembubaran partai politik di Jerman diatur secara rigid,
detail dan dinamis dalam menjamin dan mengatur pembubaran partai politik.
Penganut partai politik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip
demokrasi hal tersebut telah tercantum dalam basic law chapter 21 yang mana
tidak boleh bertentangan, merusak, dan menghapuskan tatanan dasar
demokrasi serta membahayakan keberadaan Republik Federal Jerman (to
endanger the existence of the federal Republic of Germany)14. Selain dari
basic law peraturan perundang-undangan lain juga mengatur tentang
pembubaran partai politik di Jerman, yakni Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman atau yang disebut dengan
(Bundesverfassungsgerichtsgesetz), Dalam Pasal 13 ayat (2) BverfGG
menyatakan sebagai berikut : Das Bundesverfassungsgericht entscheidet
(Article 13 Federal Constitutional Court Act shall decide) : über die
Verfassungswidrigkeit von Parteien (Artikel 21 Abs. 2 des Grundgesetzes) on
13 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik:
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman…. h. 123
14 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik:
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerma … h. 128
37
the unconstitutionality of political parties (Article 21(2) of the Basic Law),15
Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan
inkonstitusional partai politik yang tentu diatur oleh Undang-Undang Dasar
Federal Jerman Pasal 21 ayat (2), apabila partai politik Federal Jerman
bertentangan maka partai politik tersebut haruslah dibubarkan.
2. Kewenangan Perkara Pembubaran Partai Politik Jerman
Kewenangan pembubaran partai politik dimonopoli oleh Mahkamah
Konstitusi Bundesverfassungsgericht berbeda dengan pembubaran asosiasi
atau organisasi masyarakat lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan
peradilan umum, partai politik hanya dapat dibubarkan oleh Mahkamah
Konstitusi.16 Mahkamah Konstitusi Federal Jerman telah menerima lebih dari
sembilan permohonan pembubaran partai politik akan tetapi hanya terdapat 5
putusan 2 putusan dikabulkan untuk dibubarkan, yakni pada partai
Sozialistische Reichspartei atau Sosialust Reich Party (SR) pada tahun 1952,
dan partai Kommunistsche Partei Deutschlands atau Communist Party of
Germany (KPD) pada tahun 1956. Tiga permohonan pembubaran partai
politik yang ditolak Mahkamah Konstitusi Bundesverfassunggericht yakni
terhadap partai The Free German Workers Party atau Freiheitliche Deutsche
Arbeiterpartei (FAP) the National List (NL) pada tahun 1994, dan
permohonan pembubaran Nationaldemokratische Partei Deutschlands atau
National Democratic Party of Germany (NPD) pada tahun 2017, serta satu
permohonan pembubaran partai politik yang tidak dilanjutkan (dismissal),
yaitu permohonan pembubaran NPD pada tahun 2003.17
15 Bundesverfassungsgerichtsgesetz, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman 16 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman… h. 130
17 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman… h. 123
38
C. Pembubaran Partai Politik di Indonesia
Perkembangan partai politik di Indonesia dapat dilihat berdasarkan dinamika
ketatanegaraan dan politik yang terus berubah, hal tersebut berdampak pada
politik hukum dalam bidang kepartaian juga terus mengalami perubahan.18
Bangsa Indonesia mengenal partai politik sejak masa pra-kemerdekaan, hal
tersebut tidak terlepas dari adanya gejala moderenisasi yang muncul di Eropa.19
Pembubaran partai politik dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, dimulai dari
masa demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dianut
di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pasca Dekrit Presiden 5
Juli 1959 sampai kejatuhannya pada tahun 1966 seiring muculnya Orde Baru.20
Berdasarkan hal tersebut, partai politik Indonesia dilihat berdasarkan sistem
pemerintahannya, yang sebagaimana sebagai berikut:
a. Pembubaran Partai Politik Pada Masa Penjajahan
Munculnya partai politik di Indonesia dapat dikatakan sebagai dampak
dari perubahan sosial, politik dan ekonomi di negeri Belanda maupun Hindia
Belanda pada waktu itu, titik tolak yang paling relevan dalam hal ini adalah
adanya kebijakan politik etis yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda.21 Semenjak diberlakukanya kebijakan politik etis tercatat beberapa
partai politik dengan peranan cukup menonjol antara lain Partai Sarekat
Islam Indonesia (PSII), Insulinde Partij (IP), Partai Komunis Indonesia
(PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan
18 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia,
PKK-PUU Fakultas Hukum : Universitas Lampung 2015, h. 95
19 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi, (Konstitusi Press, Jakarta 2006), h. 159
20 Widayati, Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Jurnal
Hukum, Vol. XXVI, No.2 Agustus 2011), h. 630
21 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi, (Konstitusi Press, Jakarta 2006), h. 159
39
Partai Indonesia (Partindo).22 Pada masa penjajahan Belanda terdapat tiga
partai yang dibubarkan yakni, IP, PKI, dan PNI.
1) Pembubaran Indische Partij (IP)
Sikap politik IP yang dengan jelas mengakui legalitas
pemerintahan kolonial dan menolak program yang diletakkan oleh
pembuat politik etis masa itu, membuat partai IP tidak berumur
panjang. Pada tahun 1913, Gubernur Jendral Idenburg membubarkan
IP. Bahkan E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoeno dan
Soewardi Soerjaningrat yang dikenal sebagai tiga serangkai atau
trumvirat pimpinan IP diasingkan ke negeri Belanda. Alasan
dilakukannya pembuangan adalah karena sejumlah artikel tokoh-tokoh
IP dianggap merusak ketenangan dan ketertiban umum.23
2) Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)
Ideologi komunis masuk ke Indonesia pada tahun 1914, pada
tanggal 9 Mei 1914 pemerintah kolonial Belanda mengizinkan tokoh-
tokoh marxis Belanda seperti HW Dekker, HJEM Sneevlit, P Bergsma
dan A Baar mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Sosial
Demokrat Indonesia (Indische Social Demokratshe Vereeniging) untuk
membesarkan organisasinya, tokoh terkemuka ISDV Sneevlit
membangun jaringan kerja dengan beberapa organisasi lain seperti
Sarekat Islam (SI), Insulinde dan VERSUSTP. Masuknya ideologi
komunis kedalam SI menyebabkan organisasi ini terpecah menjadi dua
aliran yang biasa dibedakan dengan istilah SI Merah dan SI Putih. SI
Merah berideologi komunis dan berbasis di Semarang, sedangkan SI
Putih berideologi Islam dan berbasis di Yogyakarta. Perpecahan ini
22 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi… h. 160
23 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi… h. 163
40
mencapai puncaknya dengan tidak diakuinya Semarang sebagai
cabang SI, dalam kongres SI yang berlangsung pada Oktober 1921.
Perpecahan ini menjadi awal keruntuhan SI karena massa di tingkat
bawah lebih banyak terpengaruh pada propaganda SI Merah. Yang
pada akhirnya SI Putih menghimpun diri menjadi Partai Sarekat Islam
(PSI).
Pada tahun 1924 nama Perserikatan Komunis Hindia Belanda
diganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah memperoleh
basis baik di perkotaan maupun pedesaan mereka menyebarkan
propaganda yang menjanjikan persamaan hak, persamaan untuk
memperoleh kebutuhan material, dengan begitu banyak diterima oleh
masyarakat terutama dari kalangan buruh, petani dan nelayan yang
rata-rata hidup dala kemiskinan. Dengan modal dukungan dari mereka
pada November 1926 PKI melakukan pemberontakan di beberapa
bagian Pulau Jawa dan pada Januari 1927 di pantai barat Sumatera.
Pemberontakan tersebut dapat digagalkan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Kegagalan ini mengakibatkan bencana bagi PKI. Partai ini
dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang selama masa
penjajahan Belanda. Para pemimpinnya melarikan diri ke luar negeri.
Sementara yang tertinggal sebagian dieksekusi mati dan sebagian
lainnya dipenjarakan atau dibuang ke kampong tahanan di Digul,
Papua.24
3) Pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI)
Pendekatan radikal Soekarno dalam memimpin PNI
mengundang kecemasan baik dari kalangan PNI sendiri maupun pihak
luar yang bersimpati pada PNI. Seiringnya dengan meningkatnya
24 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi, (Konstitusi Press, Jakarta 2006), h. 167
41
agitasi Soekarno, pemerintah kolonial semakin bertindak represif
terhadap PNI. Pada Oktober 1929 pemerintah kolonial melarang
seluruh anggota militer berikut keluarga dan pembantunya untuk
menjadi anggota PNI. Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 1929,
terjadi penangkapan besar-besaran terhadap anggota PNI, Soekarno
sendiri tertangkap di Yogyakarta, dalam maklumat pengurus besar
PNI yang ditandatangani oleh Mr. Soejoedi dan Ir. Anwari tanggal 9
Januri 1930 dinyatakan bahwa seluruh pengurus PNI cabang
Pekalongan dan hamper semua pengurus cabang Bandung ditahan oleh
aparat keamanan. Peritiwa penangkapan tersebut berdampak besar
terhadap kemerosotan gerakan perjuangan kemerdekaan. PNI sendiri
pada akhirnya dibubarkan oleh ketuanya Mr. Sartono pada 11
November 1930.25
b. Masa Orde Lama
Menurut Abdul Mukhti Fajar dalam buku Hukum Konstitusi dan
Mahkamah Konstitusi salah satu kebijakan politik Presiden Soekarno adalah
menyederhanakan partai politik-partai politik yang begitu banyak di Indonesia
yang merupakan warisan dari kebijakan politik kepartaian sebelumnya yang
tercantum dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 yang
ditanda tangani oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta. Maklumat pemerintah
tanggal 3 November 1945 merupakan regulasi pertama dibidang kepartaian di
Indonesia sesudah kemerdekaan yang telah melahirkan sistem multi partai
dengan multi ideologi.26 Partai politik lahir pada masa penjajahan yang
dimana sebagai bukti bangkitnya kesadaran nasional, pada masa orde lama
partai politik menganut sistem multi partai, dengan beragam azas, ada yang
25 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi… h. 171
26 Widayati, Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Jurnal
Hukum, Vol. XXVI, No.2 Agustus 2011), h. 631
42
menganut azas politik agama seperti Sarikat Islam dan partai Katolik, ada
yang berazas sosial seperti Budi Utomo, dan Muhammadiyah, dan pula ada
yang berazas politik sekuler seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), dan
Partai Komunis Indonesia (PKI).27 Sistem pemerintahan dan sistem politik
pada masa pasca dekrit presiden disebut dengan demokrasi terpimpin untuk
menggantikan sistem demokrasi liberal parlementer dibawah UUD 1950
dengan sistem multi partai dengan multi asas atau ideologi yang ditandai
dengan jatuh bangunnya kabinet akibat tidak adanya partai mayoritas absolut
dari hasil pemilu 1955. Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa
demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen serta
partaipartai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer,
kemudian Republik Indonesia pada tahun 1959-1965 memakai sistem
demokrasi terpemimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang
konstitusional yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukkan
beberapa aspek demokrasi rakyat.28
Pembubaran partai politik di masa orde lama didahului dengan keluarnya
Penpres No 7 Tahun 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan
kepartaian, dalam pasal 9 disebutkan mengenai pembubaran partai politik
yang berbunyi “Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-
pemimpinanya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau jelas
memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan
perbuatan anggota-anggotanya”. Kemudian dilanjutkan dengan keluarnya
peraturan presdien atau Perpres No 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan,
Pengawasan, dan Pembubaran Partai Politik, yang mana dalam Pasal 6-9 yang
pada pokoknya memuat sebagaimana berikut :
27 Henry Arianto, Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia, Lex Jurnalica /Vol. 1
/No.2 /April 2004, h. 78
28 Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008),
h. 128
43
1. Institusi yang berwenang melarang dan/atau membubarkan partai politik
adalah Presiden setelah mendengar pertimbangan dari Mahkamah Agung.
2. Alasan pelarangan dan/atau pembubaran partai politik sebagai berikut :
1) Asas dan Tujuannya bertentangan dengan asas dan tujuan negara
2) Programnya bermaksud untuk merombak asas dan tujuan negara
3) Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinanya
turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas
memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi
menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu;
4) Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Penetapan
Presiden (Penpres) yang tercantum dalam Bab II Pasal 2 – 7 Tahun
1959.
Dikeluarkannya Keppres No 128 tahun 1961 yang menyatakan bahwa
terdapat 8 (delapan) partai politik yakni: PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai
Indonesia (Partindo), Partai Murba, PSII Arudji, dan IPKI. Selain itu adapula
Keppres No 129 Tahun 1961 yang menolak 4 (empat) partai politik yakni
PSII Abikusno, PRN Bebasa, PRI dan PRN Djody. Pada tanggal 27 Juli 1961
juga dikeluarkan Keppres No 440 Tahun 1961 yang mengakui Parkindo dan
Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).29 Terhadap keputusan Presiden yang tidak
mengakui beberapa partai politik tersebut tidak terdapat upaya hukum yang
diajukan ke pengadilan. Kondisi ini dapat dipahami karena kekuasaan
Presiden Soekarno pada saat itu sangat besar, bahkan Ketua MA ditempatkan
sebagai Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri, sehingga
kedudukannya berada dibawah Presiden. Setelah terjadinya peristiwa 30
September 1969 dan terdapat bukti-bukti bahwa PKI berada dibelakang
peristiwa tersebut, Soeharto selaku staff Koti membekukan PKI dan ormas-
29 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia,
PKK-PUU Fakultas Hukum : Universitas Lampung 2015, h. 99
44
ormasnya. Pertimbangan adanya keputusan pembubaran PKI sebagaimana
tertuang dalam konsideran Keppres Nomor 1/3 1996 adalah karena
munculnya kembali aksi-aksi gelap yang dilakukan oleh “Gerakan 30
September” dalam konsideran “Memperhatikan” keputusan itu juga
disebutkan putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh
gerakan 30 September. Keputusan pembubaran PKI dikukuhkan dengan
ketetapan MPRS Nomor XXVV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, yang menyatakan bahwa sebagai organisasi terlarang
diseluruh wilayah Indonesia bagi partai komunis Indonesia dan larangan
setiap kegiatan atau menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
komunisme/marxisme/leninisme. Ketetapaan tersebut diputuskan pada 5 Juli
1966.30
Selain PKI juga dilakukan pembubaran dan pembekuan terhadap partai
Partindo, Partindo memiliki kedekatan terhadap partai PKI, hal tersebut
terbukti dengan dukungan partai Partindo terhadap agenda PKI, yang mana
dalam kongres Partindo Januari 1964. Sebelum dibekukan, Partindo memiliki
satu wakil di DPRGR berdasarkan Keppres Nomor 156 Tahun 1960, namun
terbukti memiliki kedekatan dengan PKI, anggota DPRGR dari Pertindo
diberhentikan dengan Keppres Nomor 57 Tahun 1968.31 Mekanisme
pelarangan dan/ atau pembubaran partai politik terdapat didalam Pasal 6
sampai Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan,
Pengawasan, dan Pembubaran Partai Partai. Mekanismenya adalah sebagai
berikut:
1) Presiden menyerahkan surat-surat dan alat bukti yang lain kepada
Mahkamah Agung sebagai alat pembuktian terhadap suatu partai
30 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan
Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004) … h. 194
31 Mochtar Pakpahan dalam Buku yang ditulis oleh M. Ali Safaat… h.196
45
politik apabila presiden merasa bahwa terdapat suatu partai politik
yang dianggap berada dalam kondisi sebagaimana yang dijelaskan
dalam Pasal 9 ayat (1) Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959.
2) Mahkamah Agung memeriksa persoalan yang diajukan oleh Presiden
secara yuridis dan obyektif dengan mengadakan pemeriksaan dengan
acara bebas.
3) Dalam pemeriksaan Mahkamah Agung dapat mendengar keterangan
saksi-saksi dan ahli-ahli dibawah sumpah.
4) Hasil pemeriksaan Mahkamah Agung diberitahukan kepada Presiden.
5) Setelah menerima pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden
mengeluarkan Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran
suatu partai yang secepat mungkin diberitahukan kepada pimpinan
partai tersebut.
c. Masa Orde Baru
Pembubaran partai politik terjadi pula pada awal masa Orde Baru diawali
dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKl) yang dinilai bertentangan
dengan ideologi Pancasila. Selain itu pada fase Orde Baru terdapat
pembatasan jumlah partai politik yang mulai dilakukan sejak lanuari 1973,
dengan mengebiri sistem multipartai melalui kebijakan fusi partai partai
politik sejenis ke dalam beberapa partai politik. Partai Islam (baik itu modern
is ataupun tradisionalis), seperti Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin
Indonesia (Parmusi), Partai Persatuan Tarbyiah Indonesia (Perti), dan Partai
Serikat Islam Indonesia (PSSI) digabungkan ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Sedangkan partai-partai politik yang mengusung
ideologi nasionalis dan non-Islam, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI),
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indoneisa (PKI), Partai M urba, Partai Katol
ik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), digabungkan ke dalam Partai
Demokrasi Indonesia (PDl). Lain halnya dengan Golongan Karya (Golkar)
46
tetap dibiarkan sebagai partai politik semu yang mengandalkan massa
mengambang (floating mass).32
Masa orde baru ditandai dengan munculnya kekuatan politik baru yang
menggantikan posisi partai-partai politik. Kekuatan politik tersebut adalah
Golongan Karya yang mendapat dukungan sepenuhnya dari pemerintah dan
TNI AD sebagai kekuatan utama.33 Yang mana dengan berakhirnya
pemerintahan Soekarno atau masa orde lama menumbuhkan suasana baru, hal
ini dimaksud dengan orde baru yang dimana dapat dikatakan era demokrasi
pancasila (1966-1998).34 Sistem kepartaian masa orde baru hanya mengenal
beberapa partai politik, selain Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang mana
merupakan hasil fusi yang dipaksakan oleh rezim orde baru. Pada masa orde
baru masyarakat tidak bisa menyalurkan aspirasi kepada selain ketiga partai
politik hal itu dikarenakan sistem kepartaian yang tidak dikembangkan,
pelaksanaan pemilu yang hanya ritual politik, kemudian kekuatan eksekutif
sangat besar.35
Penyederhanaan partai politik, menurut Juwono Sudarsono dimulai
dengan dilakukan dengan pengkelompokan anggota DPR berdasarkan
Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966. Pengkelompokan tersebut
dinamakan dengan fraksi-fraksi DPR yang meliputi kelompok Demokrasi
Pembangunan yang terdiri atas anggota DPR dari Partai Katolik, Parkindo,
32 Josef M Monteiro, Implikasi Pembatasan Yuridis Pembubaran Partai Politik Terhadap
Prinsip Demokrasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-40 No.4 Oktober-Desember 2010, h.
490
33 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan
Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004)… h. 186
34 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia…
h. 100
35 Henry Arianto, Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia, Lex Jurnalica /Vol. 1
/No.2 /April 2004, h. 78
47
dan PNI, kedua merupakan kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri
atas anggota DPR dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti, yang ketiga kelompok
Karya Pembangunan yang terdiri atas anggota DPR dari Golongan karya
melalui pemilihan umum, pengangkatan dari wilayah Irian Jaya, dan
pengangkatan dari golongan karya non ABRI, dan yang terakhir adalah
kelompok ABRI yang terdiri atas anggota-anggota DPR yang diangkat dari
unsur ABRI meliputi AD, AL, AU dan kepolisian. 36
d. Masa Reformasi
Sebelum Reformasi terdapat beberapa peraturan mengenai pembubaran
partai politik, di antaranya Penetepan Presiden Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, Peraturan
Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan
Pembubaran Partai-Partai, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, UndangUndang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.37
Sejak reformasi fenomena sistem multipartai dimulai lagi dengan beragam
bentuk ideologi baik itu berbentuk ideologi personal, kelompok atau
organisasional. Namun demikian upaya untuk membatasi jumlah partai politik
tetap dilakukanan antara lain dengan ketentuan electoral threshold dan hal ini
dilakukan sejak pemilihan umum 2004. Adapun ketentuan electoral threshold
yaitu batas perolehan suara bagi partai politik untuk bisa ikut pemilihan
umum selanjutnya. Dalam perkembangan selanjutnya yakni pada pemilihan
umum 2009, selain ditetapkan ketentuan electoral threshold juga
diberlakukan ketentuan parliamentary threshold yakni batas peroleh kursi
36 Juwono Sudarsono dalam Buku yang ditulis oleh Muhammad Ali Safaat… h. 19
37 Finradost Yufan Madakarah, Fifiana Wisnaeni & Ratna Herawati, Perkembangan
Pengaturan Pembubaran Partai Politik dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
Diponegoro Law Journal, Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017, h. 6
48
bagi partai politik untuk bisa mengirimkan wakil di OPR Rl. Gagasan
parliamentary threshold digunakan sebagai upaya untuk mengurangi
fragmentasi politik di parlemen sehingga menyerdehanakan sistem
kepartaian.38 Namun dalam hal ini setiap penyelenggaraan pemilihan umum
pada tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 tidak terdapat adanya partai
yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang apabila partai politik
melanggar konstitusi. Tumbangnya rezim orde baru bergulir pada tahun 1998
yang menggugurkan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12
Mei 1988 yang mana reformasi terhadap sistem politik.
Dalam perubahan terhadap sistem politik adalah undang-undang yang
lama diganti dengan undang-undang politik yang baru. Dari segi jumlah
organisasi peserta Pemilu, Pemilu 1999 diikuti 48 partai, sedangkan Pemilu
2004 diikuti 24 partai. Selain itu, kini rakyat dapat memilih langsung
presiden, wakil presiden, dan wakil rakyatnya yang akan duduk di lembaga
DPR, DPRD dan DPD.39 Perubahan dari bentuk pemerintahan yang otoriter
kepada pemerintahan yang demokratis membawa perubahan dan juga
perubahan partai politik di Indonesia. Semenjak bergulirnya reformasi 1998,
maka mekanisme pembubaran partai politik tidak dapat serta merta menjadi
wewenang pemerintah, namun terlebih dahulu harus mendapat kekuatan
hukum tetap dari lembaga peradilan, yang mana sebelum adanya Mahkamah
Konstitusi kewenangan tersebut dipegang oleh Mahkamah Agung.40 Undang-
Undang No 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik telah memberikan wewenang
pembubaran partai politik kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
38 Monteiro, Josef M, Implikasi Pembatasan Yuridis Pembubaran Partai Politik Terhadap
Prinsip Demokrasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-40 No.4 Oktober-Desember 2010, h.
490 39 Arianto, Henry, Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia, Lex Jurnalica /Vol. 1
/No.2 /April 2004, h. 78
40 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia,
PKK-PUU Fakultas Hukum : Universitas Lampung 2015, h. 101
49
memiliki wewenang mengawasi dan membubarkan partai politik,
sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor
2 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut; Pasal 2 Dengan kewenangan yang
ada padanya, Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat membekukan atau
membubarkan suatu Partai Politik jika nyata-nyata melanggar Pasal 2, Pasal
3, Pasal 5, Pasal 9 dan Pasal 16 undang-undang ini, Pasal 3 Pelaksanaan
kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih
dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan dari Pengurus Pusat
Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan; Pasal
4 Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran Partai Politik dilakukan setelah
adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dengan mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh
Menteri Kehakiman Republik Indonesia.”
Pembubaran partai politik menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, yang mana menurut Pasal
20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 terdapat cara mengenai
pembubaran partai politik yaitu membubarkan diri atas keputusan sendiri,
menggabungkan diri dengan partai politik lain, dan dibubarkan oleh
Mahkamah Konstitusi, membubarkan diri dilakukan berdasarkan keputusan
partai yang tata caranya diatur dalam aturan partai, terutama anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga. Demikian juga dengan penggabungan dengan
partai lain, yang merupakan masalah internal partai politik. Pada pasal 21 ayat
(1) UU No 31 tahun 2002 hanya mengatur bahwa bergabungnya suatu partai
politik dengan partai politik lain dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu:
(1) bergabung dan membentuk partai politik baru;(2) bergabung dengan
menggunakan identitas partai politik yang telah ada.41 Dan yang terakhir
41 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia….
h. 104
50
pembubaran partai politik melalui Mahkamah Konstitusi, pembubaran melalui
Mahkamah Konstitusi dinamakan dengan force dissolution karena
pelanggaran “tertentu” yang dilakukan oleh suatu partai politik. Menurut
Muhammad Ali Syafaat menyatakan bahwa terdapat dua cara pembubaran
partai politik di era reformasi, yaitu melalui mekanisme yang telah menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi dan melalui pembatalan keabsahan badan
hukum partai politik oleh Menteri Hukum dan HAM. Pembubaran oleh
Mahkamah Konstitusi terkait dengan pelanggaran ideologi, asas, tujuan,
progam dan kegiatan partai politik. Sedangkan pembubaran dalam bentuk
pembatalan keabsahan badan hukum oleh Menteri Hukum dan HAM terkait
dengan kondisi partai politik yang sudah tidak memenuhi syarat untuk diakui
sebagai badan hukum berdasarkan ketentuan undang-undang yang baru.42
Pembentukan lembaga peradilan lain diluar Mahkamah Agung yang
selanjutnya disebut dengan Mahkamah Konstitusi yang merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum ketatanegaraan modern yang muncul pada
abad 20. Gagasan ini merupakan pengembangan dari asas-asas demokrasi
dimana hak-hak politik rakyat dan hak- hak asasi merupakan tema dasar
dalam pemikiran politik ketatanegaraan. Berdirinya Mahkamah Konstitusi di
Indonesia ditandai dengan pengangkatan 9 (Sembilan) hakim konstitusi pada
tanggal 16 Agustus 2003 melalui Kepres No 147/M Tahun 2003 menjadikan
Indonesia sebagai Negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi,
sekaligus Negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga
tersebut. Ketika awal-awal gerakan reformasi, gemuruh suara untuk
memberantas segala bentuk penyelewengan, ternyata tidak disertai dengan
langkah kongkrit oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Sebelum
reformasi, UUD 1945 mengandung banyak kelemahan, antara lain tidak
tersedianya mekanisme checks and balances, sehingga kontrol yudisial
42 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan
Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004)… h. 283
51
terhadap pelaksanaan kekuasaan tidak berdaya, yang pada akhirnya
sentralistik dan otoriter dalam penyelenggaraan kekuasaan mewarnai
kehidupan masyarakat.43 Selain itu kehadiran Mahkamah Konstitusi dinilai
cukup popular di beberapa negara seperti : Korea Selatan, Lithuania, Ceko,
dan sebagainya. Negara-negara demokrasi tersebut memiliki lembaga
Mahkamah Konstitusi, demikian juga negara Jerman yang memiliki Federal
Constitutional Court yang tersendiri. Karena itu sebagian besar negara
demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi
yang berdiri sendiri, hingga dewasa ini sekitar 78 negara yang membentuk
Mahkamah Konstitusi secara mandiri.44
Pasal 24C hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan sebagaimana berikut:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan oleh masing-
masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
43 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 119
44 Jimly Assiddiqie dalam Buku A. Salman Manggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca
Amandemen UUD 1945… h. 119
52
4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
sendiri.
5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-
undang.
Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia
ketatanegaraan, bukan hanya baru di Indonesia tetapi juga di beberapa negara
di dunia, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan
dari otoritarian menjadi demokrasi. Kelahiran Mahkamah Konstitusi di
Indonesia merupakan perwujudan dan/ atau realisasi dianutnya paham negara
hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, karena itu harus senantiasa memperhatikan, menghormati,
menjaga, dan memlihara UUD NRI Tahun 1945 itu menerapkan puncak
tertinggi dalam struktur dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang
ada di Indonesia.45 Hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan beberapa kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana berikut:
1) Melakukan pengujian atass konstitusionalitas undang-undang.
2) Mengambil putusan atas sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
ditentukan menurut Undang-Undang Dasar.
3) Mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang atas dasar putusan itu, kesalahan
Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat
45 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 123
53
dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk
memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden dari jabatannya.
4) Memutus perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum, dan
5) Memutus perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka keberadaan Mahkamah Konsitusi
di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam membangun dan
menegakkan demokrasi yang substansial. Salah satu bentuk pembangunan
demokrasi substansial tersebut adalah mengenai kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik. Tujuan daripada
pemberian kewenangan pembubaran partai politik kepada Mahkamah
Konstitusi adalah salah satunya agar keputusan pembubaran partai politik
mempunyai dasar atau pijakan hukum yang jelas, tidak hanya alasan politik
sepihak dari penguasa.
54
BAB IV
LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA PEMBUBARAN
PARTAI POLITIK INDONESIA & JERMAN
A. Pengaturan Legal Standing Pemohon Pembubaran Partai Politik
Berdasarkan Demokrasi Jerman
Republik Jerman adalah negara federal yang bersifat demokratis dan
sosial, hal ini tercantum pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Jerman
(Basic Law) yang menyatakan “The Federal Republic of Germany is a
democratic and social federal state”1 kemudian dilanjut pada Pasal 20 ayat (2)
yang menyatakan “All state authority is derived from the people. It shall be
exercised by the people through elections and other votes and through specific
legislative, executive and judicial bodies” dalam ayat ini diartikan bahwa
kewenangan negara berasal dari rakyat dan dilaksanakan oleh perwakilan
rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum dan melalui badan legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Legislatif terikat oleh tatanan konstitusional, eksekutif
dan kekuasaan kehakiman oleh hukum dan keadilan yang tercantum dalam
Pasal 20 ayat (3) yang berbunyi “The legislature shall be bound by the
constitutional order, the executive and the judiciary by law and justice”
Menurut Tobias Angenent, sebagai perwakilan Department of Social
Science (International Politic, Human Rights, Social Science) Kedutaan Besar
Jerman menyatakan Jerman merupakan negara demokrasi parlementer yang
berbentuk federal yang dimana terdapat kekuasaan dan kewenangan yang
dimiliki oleh negara federal, Federal Jerman membagi kekuasaan antara
cabang eksekutif, cabang legislatif dan cabang yudikatif.2 Tiga kekuasaan
tersebut yakni sebagai berikut:
1 Article 20 (1)&(2), Grundgesetz für die Bundesrepublik Deutschlan, (Basic Law for the