1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak milik atas tanah sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri. Tanah yang merupakan kebutuhan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal seperti keterbatasan tanah baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting serta telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi, di lain pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. 1 Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menentukan bahwa: 1. Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial; 2. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain; Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan hak milik atas tanah saat ini yaitu dengan melakukan transaksi jual beli. Transaksi jual beli adalah salah satu cara untuk memperoleh dan memiliki hak milik atas tanah. Dalam melakukan proses transaksi jual beli hak milik atas tanah, sebelum terpenuhinya syarat terang dan 1 Andrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1
149
Embed
legal protection for the parties against free hold for land sale ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak milik atas tanah sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia
sebagai masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri. Tanah
yang merupakan kebutuhan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai
hal seperti keterbatasan tanah baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan
kebutuhan yang harus dipenuhi. Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda
ekonomi yang sangat penting serta telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek
spekulasi, di lain pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat.1
Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menentukan bahwa:
1. Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial;
2. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain;
Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan hak milik atas tanah saat
ini yaitu dengan melakukan transaksi jual beli. Transaksi jual beli adalah salah satu
cara untuk memperoleh dan memiliki hak milik atas tanah. Dalam melakukan proses
transaksi jual beli hak milik atas tanah, sebelum terpenuhinya syarat terang dan
1Andrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 1
2
lunasnya suatu pembayaran terhadap pembelian suatu objek hak milik atas tanah,
maka para pihak dalam hal ini pihak penjual dan pihak pembeli melakukan suatu
perbuatan hukum dengan membuat suatu perjanjian jual beli hak milik atas tanah
dihadapan Notaris. Dengan dibuat dihadapan Notaris, maka para pihak dalam
membuat perjanjian jual beli akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal
yang akan diperjanjikan.
Perbuatan hukum jual beli hak milik atas tanah yang dilakukan dengan
perjanjian jual beli di hadapan Notaris yang kemudian apabila syarat terang dan
tunainya terpenuhi maka dilanjutkan dengan penandatanganan akta jual beli yang
dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) sekaligus
juga merupakan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli. Dalam
kaitannya dengan ketentuan yang mengatur tentang peralihan hak milik atas tanah,
jual beli hak milik atas tanah dan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual kepada
pembeli harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Nomor 59 Tahun 1997,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696), yang menyatakan bahwa:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumh susun melalui jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan harta ke perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, peralihan hak milik atas
tanah tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memenuhi persyaratan yang telah
3
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan hukum jual
beli selesai atau tuntas pada saat penjual menerima pembayaran dan bersamaan
dengan itu menyerahkan suatu barang yang dijualnya kepada pembeli. Jual beli yang
dilakukan dengan nyata atau konkret dikenal dengan istilah “terang dan tunai”,
namun apabila diperhatikan dalam Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPerdata), jual beli diartikan sebagai berikut: “Jual beli
adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan.”2 Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka.3
Dalam hukum pertanahan Indonesia dikenal bahwa jual beli tanah dilakukan
secara terang dan tunai dalam artian penyerahan dan pembayaran jual beli hak milik
atas tanah dilakukan pada saat bersamaan (tunai) dihadapan seorang PPAT (terang).4
Penambahan terang dan tunai dalam jual beli hak milik atas tanah disebabkan karena
hukum tanah Indonesia mengadopsi aturan-aturan hukum adat. Pandangan hukum
adat menyatakan bahwa jual beli atas bidang tanah telah terjadi antara penjual dan
pembeli bila diketahui oleh kepala kampung yang bersangkutan dan dihadiri oleh dua
2R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 366 3Florianus SP Sangsun, 1998, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visi
Media, Jakarta, h. 18 4Gunawan Widjaya dan Kartini Mulyadi, 2003, Jual Beli, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, h. 87
4
orang saksi.5 Dengan membuat suatu perjanjian jual beli, para pihak bermaksud untuk
membuat suatu perjanjian pendahuluan dalam rangka proses peralihan hak milik atas
tanah. Dalam perjanjian jual beli para pihak mengutarakan keinginannya serta
memuat janji-janji untuk melakukan transaksi jual beli hak milik atas tanah.
Dalam suatu perjanjian pada umumnya salah satu asas yang dikenal adalah
asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
menentukan sendiri hal-hal yang disepakati dalam perjanjian namun tetap tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan norma-norma yang berlaku. Dalam
perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut didasarkan pada suatu perjanjian
dimana untuk sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata
mengandung empat syarat yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
3. Suatu hal tertentu ;
4. Suatu sebab yang halal ;
Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak
antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan
ini dapat dicapai dengan berbagai cara, yaitu dengan cara tertulis maupun tidak
tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi
dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan
5Sahat Sinaga, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan, Pustaka
Sutra, Jakarta, h. 17-21
5
menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan.
Sementara itu, kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum (dalam hal ini perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan
dicapainya umur 21 tahun dan/atau telah menikah dengan usianya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini
menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas, misalnya dalam suatu
perjanjian jual beli hak milik atas tanah, maka obyek atas tanah dan harga harus
dimasukkan ke dalam perjanjian jual beli tersebut dengan jelas. Jika tidak jelas, maka
perjanjian tidak sah. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek yang
tertentu. Jadi tidak bisa seseorang menjual “sesuatu (tidak tertentu) dengan harga
seribu rupiah misalnya karena kata sesuatu tidak menunjukkan hal tertentu, tetapi hal
yang tidak tentu. Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga
merupakan syarat tentang isi perjanjian. Isi perjanjian yang dimaksudkan disini
adalah bahwa tersebut tidak dapat bertentangan dengan Undang-undang kesusilaan
dan ketertiban umum hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata.
Apabila keempat syarat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut telah
terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat secara sah akan berlaku sebagai undang-
undang bagi para pihak yang membuatnya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta
sunservanda). Pasal 1338 KUHPerdata ini, maksudnya adalah setiap orang bebas
6
mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa
perjanjian itu ditujukan. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat
diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja)
dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya sebagai undang-undang.
Suatu perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan
yang diinginkan oleh para pihak. Dalam kondisi-kondisi tertentu dapat ditemukan
terjadinya berbagai hal yang berakibat suatu perjanjian mengalami pembatalan, baik
dibatalkan oleh para pihak maupun berdasarkan putusan pengadilan. Dari sisi ini
pelaksanaan perjanjian jual beli hak milik atas tanah untuk dapat dikaji lebih lanjut
mengingat perjanjian jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang mendahului
proses peralihan hak milik atas tanah.
Terdapat dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian yaitu yang pertama,
pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat membuat gugatan perdata
wanprestasi ke Pengadilan Negeri setempat dan memohon kepada hakim agar
perjanjian jual beli tersebut dibatalkan. Kedua adalah dengan menunggu sampai ia
digugat atau sebagai tergugat melalui gugatan Pengadilan Negeri setempat,
berdasarkan bukti-bukti surat maupun kwitansi, fakta-fakta persidangan dan
keterangan-keterangan saksi selama menjalani proses persidangan maka hakim
membuat dasar pertimbangan untuk dapat memutus perkara perdata terhadap
pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut. Dalam rumusan Pasal
1266 KUHPerdata ditentukan tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat
pembatalan suatu perjanjian, yaitu :
7
a. Perjanjian harus bersifat timbal balik, dimana para pihak saling
memperjanjikan memberikan prestasi yang terkait satu sama lain, tidak
terpenuhinya prestasi oleh salah satu pihak akan berhubungan langsung dengan
pemenuhan prestasi oleh pihak lainnya. Dasar pembenaran dari syarat batal
adalah kepatutan karena terutama dalam perjanjian timbal balik adanya prestasi
yang satu dikaitkan dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Oleh
karena itu, jika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, pihak lawan
mempunyai hak untuk minta agar perjanjian dibatalkan. Namun, pihak lawan
tersebut tidak berhak mengajukan pembatalan jika ia sendiri telah wanprestasi.
b. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lawan, syarat batal dicantumkan dalam
perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya (Pasal 1266 KUHPerdata).
c. Pembatalan harus dilakukan melalui putusan Pengadilan Negeri, gugatan
perdata wanprestasi terhadap salah satu pihak harus dituntutkan
pembatalannya. Kata harus dalam ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata
ditafsirkan sebagai aturan yang memaksa dan karenanya tidak boleh
disimpangi para pihak melalui perjanjian yang melalui perjanjian mereka.
Hakim juga memiliki kewenangan lain, seperti menolak tuntutan pembatalan
apabila wanprestasi yang dilakukan relatif kecil dibandingkan dengan prestasi
yang sesungguhnya.6
Oleh karena terdapat kekosongan norma terkait dengan perlindungan hukum
para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, maka Jika
dikemudian hari timbul gugatan atau ada pihak yang menyangkal isi perjanjian yang
telah dibuat, diharapkan bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, namun apabila
tidak mencapai kesepakatan demi keadilan dapat mengajukan gugatan perdata
wanprestasi ke Pengadilan Negeri setempat.
Sesuai ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata, dengan dipenuhinya syarat batal,
maka perjanjian jual beli tanah dapat dibatalkan dan keadaan harus dikembalikan
pada kondisi semula pada saat timbulnya perjanjian tersebut. Setelah perjanjian
dibatalkan, maka para pihak mengembalikan segala sesuatunya pada keadaan semula,
6Ibid, h. 30
8
pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak
diwajibkan, dan harus dikembalikan.
Dapat dikemukakan bahwa akibat hukum terhadap terjadinya pembatalan
perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut menyebabkan para pihak harus
memenuhi kewajibannya terlebih dahulu seperti apa yang telah diperjanjikan
sebelumnya, seperti yang telah disebutkan diatas dengan mengembalikan pembayaran
yang telah diterima, denda dan ketentuan lainnya yang telah diperjanjikan. Perjanjian
jual beli yang merupakan suatu akta otentik akan dapat memberikan suatu
perlindungan serta adanya kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Seperti kasus yang diangkat dalam pembahasan tesis ini yaitu dengan
dimohonkannya pembatalan atas Perjanjian Jual Beli (PJB) No. 5 tertanggal 2 Mei
2005 yang dibuat dihadapan Notaris T. Fransisca Teresa Panjaitan., SH., dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht) dan kepastian hukum melalui putusan
Pengadilan Tinggi Denpasar No. 138/Pdt.2010/PT.Dps tertanggal 6 Januari 2011.
Dibatalkannya perjanjian ini dikarenakan ketidakmampuan dari pihak pembeli dalam
hal ini yaitu Rizaldy Deciderus Watruty untuk melunasi harga jual beli atas 9
(sembilan) bidang tanah yang telah disepakati sebelumnya dengan pihak penjual yaitu
Reinta Sortaria Situmorang. Ketidakmampuan pelunasan inilah yang kemudian
dijadikan dasar atau alasan bagi pihak pembeli untuk membatalkan jual beli 9
(sembilan) bidang tanah yang tercatat atas nama dari Penjual. Pembatalan jual beli
hak milik atas tanah tersebut didaftarkan pada Notaris T. Fransisca Teresa Panjaitan,
SH dengan Akta No. 24 tanggal 13 Pebruari 2008.
9
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, hal ini menarik untuk
diteliti dan diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis yang berjudul:
“Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak
Milik Atas Tanah Di Denpasar (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar
No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps).” Untuk menunjukkan kebaharuan penelitian ini, akan
dipaparkan beberapa tesis yang berkaitan dengan masalah perjanjian jual beli.
Beberapa tesis yang dimaksudkan diteliti oleh Lubnah Aljufri dan Setu Santoso.
Pertama, tesis dari Lubnah Aljufri, NIM 0906652785, alumni Program
Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Indonesia Depok Tahun 2012 dengan
judul tesis adalah Kekuatan Hukum Pembuktian Perjanjian Pengikatan Jual beli
(Analisa Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 120/Pdt.G/2009/PN.Dpk).
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang
pertama mengenai bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli dan
yang kedua yaitu mengenai bagaimanakah kekuatan hukum Akta Jual beli yang telah
dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat II dan mengapa Pengadilan Negeri
Depok menyatakan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual beli antara Tergugat II dengan
Tergugat I adalah sah (Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor
120/Pdt.G/2009/PN.Dpk).
Kedua, Tesis dari Setu Santoso, NIM B4B 001 189, alumni Program Studi
Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang Tahun 2008
dengan judul tesis adalah Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Pengikatan Jual
beli Hak Atas Tanah Dan Bangunan Objek Jaminan Kredit Pemilikan Rumah Di PT.
10
Bank Tabungan Negara (Persero) Kantor Cabang Ciputat Tangerang. Adapun yang
menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang pertama mengenai
bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak terhadap jual beli objek jaminan
Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tanpa sepengetahuan bank, dan yang kedua yaitu
bagaimana akibat hukum dari peralihan jual beli objek jaminan Kredit Kepemilikan
Rumah (KPR) tanpa sepengetahuan bank dengan dibuat akta pengikatan jual beli dan
kuasa serta akta surat kuasa.
Dari kedua tesis yang telah diuraikan diatas, maka terdapat perbedaan yang
spesifik yaitu tentang pembatalan terhadap perjanjian jual beli serta perlindungan
hukumnya, sedangkan kedua judul tesis pembanding lebih menekankan pada
kekuatan hukum pembuktian perjanjian jual beli dan perlindungan hukum para pihak
dalam pengikatan jual beli atas tanah dan bangunan objek jaminan kredit pemilikan
rumah. Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan
seperti yang dijelaskan tersebut diatas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul
Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik
Atas Tanah (Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps) dan
permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini belum ada yang
membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
keorisinalannya atau keasliannya.
11
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah unsur-unsur yang berpotensi menyebabkan pembatalan terhadap
perjanjian jual beli hak milik atas tanah?
2. Apakah dengan dibatalkannya perjanjian jual beli hak milik atas tanah para
pihak mendapatkan perlindungan hukum?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
khususnya mengenai hukum perjanjian yang dapat dirinci sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
Secara umum, penulisan tesis ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
khususnya dalam bidang Hukum Perjanjian dengan keterkaitannya dengan Hukum
Kenotariatan mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan
perjanjian jual beli hak milik atas tanah.
b. Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penyusunan tesis ini dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisa ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
mengenai hak dan kewajiban para pihak yang timbul dari adanya pembatalan
Perjanjian Jual beli Hak Milik atas tanah.
12
2. Untuk mengetahui dan menganalisa perlindungan hukum bagi para pihak dalam
pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas tanah.
1.4 Manfaat penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai hukum perjanjian. Demikian
juga hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun
praktis, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Perjanjian dan
Hukum Kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk
kajian kritis, asas-asas, teori-teori serta kajian teoritis berkaitan dengan
perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak
milik hak atas tanah, yang ternyata dalam KUHPerdata tidak diatur secara
jelas mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan
perjanjian jual beli hak milik atas tanah.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
positif kepada para pihak yang akan melakukan perjanjian jual beli hak milik
atas tanah, baik itu pihak penjual, pembeli, Notaris/PPAT maupun bagi
penulis sendiri, serta bagi pembuat kebijakan.
13
1.5 Landasan Teoritis
Dalam menganalisis data untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini akan digunakan beberapa teori. “Kata teoritik atau teoritis atau
theoretical berarti berdasarkan pada teori, mengenai atau menurut teori7.”Oleh
Soetandyo Wignjosoebroto, teori dikatakan ”Sebagai suatu konstruksi di alam cita atau
ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif
fenomena yang dijumpai di alam pengalaman8.”
Berdasarkan uraian konsep diatas, adapun teori-teori yang dapat dipergunakan
untuk membahas permasalahan dalam tesis ini yaitu:
1. Teori Tujuan Hukum
Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum seperti apa yang
dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam teori gabungan etis dan utility yang
konsep hukumnya adalah hukum bertujuan untuk keadilan, kegunaan dan
kepastian.9 Teori tujuan hukum menurut Radbruch dalam Theo Huijbers adalah
Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab
kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif
selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai
dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni bilamana pertentangan
7Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum - Sebuah Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, h. 156. 8Soetandyo Wignyosoebroto, 2006, Hukum-Paradigma, Metode dan
Dinamika Masalahnya, Eksam dan Huma, Jakarta, h. 179. 9H. Chaerudin, 1999, Filsafat Suatu Ikhtisar, FH UNSUR, Cianjur, h. 19
14
antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu
nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan10
Dengan adanya suatu kepastian hukum, maka tujuan dari hukum yaitu
keadilan akan dapat dicapai. Yang utama dari nilai kepastian hukum adalah adanya
peraturan itu sendiri. ”Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai
kegunaan bagi masyarakat, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum11
.”
Dalam kaitannya dengan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, peran Notaris
yang independen dan tidak memihak sangat diperlukan dalam membuat
perjanjian jual beli untuk dapat tercapainya tujuan hukum hukum yaitu keadilan
di dalam perjanjian tersebut, bermanfaat pula bagi pihak pembeli dalam hal
pelunasan jual beli hak milik atas tanah kepada pihak penjual serta adanya
kepastian hukum agar para pihak terlindungi secara hukum sebagai akibat dari
perjanjian jual beli, maka di dalam perjanjian jual beli harus memperhatikan
ketiga tujuan hukum menurut skala prioritas agar dikemudian hari tidak
menimbulkan keberatan maupun gugatan dari para pihak atas perjanjian jual beli
tersebut. Teori tujuan hukum dalam penelitian tesis ini digunakan untuk
menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian
Jual beli Hak Milik atas Tanah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri
10
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Yogyakarta, h. 163 11
Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 19.
15
Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps). Teori ini sebagai pisau analisis untuk
menjawab permasalahan pertama.
2. Teori Perjanjian
Mengenai perjanjian dalam bahasa Belandanya diistilahkan dengan
“overeenkomst dan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan contract diatur
dalam Pasal 1313 KUHPerdata”12
. Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313
KUHPerdata adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Pendapat lain
dikemukakan oleh Schoordijk bahwa kekuatan mengikat perjanjian harus dicari
dalam kepercayaan yang dimunculkan atau dibangkitkan pada pihak lawan.
Kepercayaan tersebut tertuju pada suatu perilaku faktual tertentu.13
Dalam
Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio menjadi KUHPerdata menentukan mengenai hukum perjanjian
diatur dalam Buku III tentang Perikatan, yang mengatur dan memuat hak dan
kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak tertentu.14
Pengertian
perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata memiliki beberapa kelemahan,
maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian salah
satunya Handri Raharjo yang menyatakan terdapat kata sepakat antara subjek
12
Tan Tong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, h. 402. 13
Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum Tentang
Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, h. 68 14
Subekti dan Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 323.
16
hukum, dan saling mengikatkan diri sehingga subjek yang satu berhak atas
prestasi dan subjek hukum yang satu berkewajiban untuk melaksanakan
prestasinya sesuai “kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta
menimbulkan akibat hukum.”15
Van Dunne sebagai pencetus teori baru
mengartikan perjanjian sebagai berikut:
Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum‟. Teori baru tersebut tidak hanya melihat
perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau
yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori
hukum baru, yaitu:
1. tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan,
2. tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara
para pihak,
3. dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian16
Menurut Salim H.S. unsur-unsur perjanjian menurut teori lama adalah sebagai
berikut:
1. Adanya perbuatan hukum,
2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang,
3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,
4. Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih,
5. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung
satu sama lain,
6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,
7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau
timbal balik, dan
8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-
undangan.17
15
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, h. 42. 16
Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak,
Cet. VIII, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim H.S. I) h. 26. 17
Ibid, h. 25.
17
Syarat sahnya perjanjian salah satunya adalah sepakat untuk mengikatkan diri,
seperti tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dengan dipenuhinya empat syarat
sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara
hukum bagi para pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.18
Namun tidak setiap pernyataan dapat
menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang
menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar
dikehendaki19
.
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan
kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya,
dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya
kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.
Dengan kepercayaan, para pihak mengikatkan dirinya dan perjanjian tersebut
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, berlaku asas
Pacta Sunt servanda yang menyebutkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”. Sehingga
jelas bahwa dapat dibuat perjanjian yang berisikan apa saja asalkan tidak melanggar
ketentuan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan atau lebih dikenal dengan
18
R. Subekti I, Op.Cit, h. 1. 19
Salim, HS., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, (selanjutnya disebut Salim H.S. II) h. 168
18
asas kebebasan berkontrak. Dilihat dari syarat sahnya perjanjian dan asas kebebasan
berkontrak, Asser membedakan bagian isi perjanjian, bagian inti (wesenlijk oordeel)
yaitu unsur essensialia dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel) yaitu
unsur naturalia dan unsur aksidentalia.20
Unsur essensialia merupakan unsur-unsur yang biasanya dijumpai dalam
perjanjian tertentu, namun tanpa pencantuman syarat yang dimaksud itu pun, suatu
perjanjian tetap sah dan mengikat para pihak yang membuatnya, kecuali dinyatakan
sebaliknya, sebagai contoh dalam jual beli tidak diperjanjikan mengenai siapa yang
berkewajiban membayar biaya balik nama, maka ketentuan undang-undang yang
berlaku yaitu Pasal 1466 KUHPerdata. Unsur aksidentalia merupakan suatu syarat
yang tidak harus ada, tetapi dicantumkan juga oleh para pihak untuk keperluan
tertentu dengan maksud khusus sebagai penegasan dan sebagai suatu kepastian. Suatu
perjanjian hendaklah memenuhi rasa kepercayaan dan keadilan yang
berkeseimbangan bagi para pihak, dimana perjanjian tersebut memenuhi asas
persamaan hukum dan asas keseimbangan.
Teori Perjanjian dalam penelitian tesis ini digunakan untuk menganalisis
Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik
atas Tanah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.
05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps). Teori ini sebagai pisau analisis untuk menjawab
permasalahan kedua.
20
Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan
Dengan Penjelasannya, cet. 2, Bandung, h. 99
19
3. Konsep Perlindungan Hukum
Philipus M. Hadjon mengemukakan perlindungan hukum dalam kepustakaan
hukum bahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de
burgers”21
. Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan
terjemahan dari bahasa Belanda, yakni “rechsbescherming”. Pengertian kata
perlindungan tersebut, terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang
dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Jika dikaitkan dengan
perjanjian wujud perlindungan para pihak dalam hal ini pihak penjual maupun
pembeli tertuang dalam perjanjian jual beli. Perjanjian yang dibuat antara penjual
dengan pembeli berisi hak dan kewajiban masing-masing para pihak, dimana para
pihak harus menjalankan atau mentaati isi perjanjian yang sudah disepakati.
Perjanjian jual beli merupakan salah satu cara yang paling umum dilakukan dalam
memperoleh atau mengalihkan hak atas tanah ataupun rumah, baik yang dimiliki oleh
subyek hukum orang maupun yang berupa badan hukum. Yang dimaksud dengan hak
atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk
mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki-nya.22
Namun
tidak jarang terjadi pada masyarakat sebelum dilakukan jual beli tersebut, terlebih
dahulu dilakukan suatu perjanjian yang mengikat antara para pihak yang membuatnya
atau sering disebut Perjanjian Jual beli. Hal tersebut dilakukan oleh karena adanya
21
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan hukum bagi Rakyat Indonesia,
Bina Ilmu, Surabaya, h. 1. 22
Urip Santoso, 2007, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana
Prenada Media, Jakarta, h. 10
20
satu dan lain hal yang menyebabkan jual beli atas tanah tidak dapat dilakukan pada
saat itu juga.
Suatu perjanjian dapat dikatakan sah menurut hukum apabila memenuhi
syarat sah perjanjian, yaitu adanya itikad baik, sepakat, kecakapan, hal tertentu dan
sebab yang halal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dua syarat
pertama merupakan syarat subyektif, yaitu dengan melihat subyek dari para pihak
pembuat perjanjian, sedangkan dua syarat berikutnya merupakan syarat obyektif yaitu
dengan melihat obyek yang diperjanjikan oleh para pihak. Dalam hal tidak
dipenuhinya syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat dimintakan
pembatalannya pada Hakim (voidalble), sedangkan dengan tidak terpenuhinya syarat
obyektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) atau perjanjian
tersebut selalu diancam bahaya pembatalan.23
Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari Negara hukum.
Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang
bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, baik perbuatan
penguasa yang melanggar undang-undang maupun peraturan formal yang berlaku
telah melanggar kepentingan dalam masyarakat yang harus diperhatikannya.
Ada dua macam perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon yaitu
perlindungan yang bersifat preventif dan represif. Preventif artinya perlindungan
yang diberikan sebelum terjadinya sengketa, artinya perlindungan hukum ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan
23
R.Subekti I, Op.cit, h. 20
21
hukum represif bertugas untuk menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi
suatu pelanggaran terhadap norma-norma hukum dalam peraturan perundang-
undangan. Terhadap perlindungan hukum represif disebutkan dalam Keputusan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2007 tentang
petunjuk teknis penanganan dan penyelesaian masalah pertanahan.
Konsep Perlidungan Hukum dalam penelitian tesis ini digunakan untuk
melengkapi teori dalam menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap
Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas Tanah. Konsep ini sebagai bahan
yang melengkapi dalam menganalisis untuk menjawab permasalahan kedua.
Dalam rumusan Pasal 1457 KUHPerdata yang dimaksud dengan jual beli
adalah “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan”. Berdasarkan rumusan yang diberikan tersebut dapat dilihat bahwa jual
beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan
untuk memberikan sesuatu (perjanjian timbal balik), yang dalam hal ini terwujud
dalam bentuk penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Teori dari perjanjian
timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral. Perjanjian timbal balik adalah
perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya hak juga) kepada
kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan yang satu
dengan yang lainnya. Pengertian yang dimaksud dengan “mempunyai antara yang
satu dengan yang lainnya” adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari
perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain sebagai pihak
22
yang memikul tanggung jawab. Pembagian di sini berdasarkan atas perikatan yang
muncul dari perjanjian tersebut, apakah mengikat satu pihak saja ataukah mengikat
kedua belah pihak.24
Jadi dalam perjanjian jual beli, yang dijanjikan oleh pihak yang
satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas suatu barang
yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak lain, membayar harga yang
telah disetujuinya.25
Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian tersebut sudah
dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan
hukum) pada saat tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-
unsur yang pokok (essentialia) yang barang dan harga, walaupun jual beli itu
mengenai barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam
Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi: “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua
belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga,
meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”
Jadi jual beli melibatkan eksistensi dan sekurang-kurangnya dua perikatan
(untuk memberikan sesuatu) secara timbal balik. Ini berarti dalam jual beli secara
tidak langsung juga, jika memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1320 KUHPerdata menimbulkan prestasi dan pertanggungjawaban
secara bertimbal balik pada kedua belah pihak yang ada dalam jual beli tersebut, yaitu
24
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
Cet. 2. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 43-44 25
R. Subekti 2002, Hukum Perjanjian, Cet. XVI., PT. Intermasa, Jakarta,
(selanjutnya disebut R.Subekti I),h. 79
23
penjual dan pembeli. Barang yang menjadi objek perjanjian jual beli harus cukup
tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan
diserahkan miliknya kepada si pembeli.26
Salah satu sifat yang penting dari jual beli menurut KUHPerdata, adalah
perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja, artinya menurut KUHPerdata, jual beli
itu belum memindahkan hak milik, perjanjian jual beli baru memberikan hak dan
meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli
untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual.27
Apa yang
dikemukakan mengenai sifat jual beli diatas, Nampak jelas diterangkan dalam Pasal
1459 KUHPerdata, yang menyatakan: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah
berpindah tangan kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut
Pasal 612, 613 dan 616.”
Berhubung dengan sifat jual beli tersebut, maka tidak mudah untuk dapat
dimengerti yang dimaksud dalam Pasal 1471 KUHPerdata yang menyatakan: “Jual
beli barang orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar untuk ganti rugi, jika
si pembeli tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.” Apabila jual
beli itu hanya bersifat obligatoir saja, yang berarti belum memindahkan hak milik,
tentulah tidak keberatan apabila seorang menjual sesuatu barang belum
kepunyaannya, asal nanti pada waktu diserahkan barang tersebut, benar-benar
menjadi hak milik si pembeli. Pasal 1460 KUHPerdata sebagaimana dengan Pasal
26
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, cet. X, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung,(selanjutnya disebut R.Subekti II), h. 2 27
R. Subekti I, Op. cit, h. 80
24
1471, tanpa disadari bahwa pasal tersebut dalam KUHPerdata yang menentukan saat
pemindahan hak milik pada saat dilakukannya penyerahan, tidaklah tepat. Dalam
Pasal 1460 KUHPerdata terdapat keganjilan, dan tepat sekali oleh para sarjana dan
yuriprudensi dibatasi keberlakuannya, hingga hanya mengenai barang tertentu saja.
Artinya barang tertentu adalah, suatu barang yang sudah ditunjuk dan ditentukan oleh
kedua belah pihak.28
Si penjual mempunyai dua kewajiban utama yaitu, menyerahkan barangnya
dan menanggungnya. Menyerahkan adalah memindahkan barang yang telah dijual itu
menjadi milik si pembeli. Jadi penyerahan itu suatu perbuatan hukum yang harus
dilakukan untuk memindahkan hak milik dari satu orang ke orang lain, dari si penjual
kepada si pembeli. Biaya penyerahan harus dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya
pengambilan harus dipikul oleh oleh si pembeli, jika tidak diperjanjikan sebaliknya
(Pasal 1476 KUHPerdata).
Dari ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan sesuatu (Pasal
1235 KUHPerdata), dan ketentuan jual beli terhadap penjual memiliki 2 (dua)
kewajiban pokok, mulai dari sejak jual beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458
KUHPerdata, kewajiban tersebut adalah:
1) Kewajiban menyerahkan hak milik
Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut
hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual
belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. Oleh karena KUHPerdata
28
Op.cit, h. 82-83
25
mengenal tiga macam barang yaitu, barang bergerak, barang tetap dan barang
tak bertubuh, maka menurut KUHPerdata juga ada 3 (tiga) macam penyerahan
hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing barang itu,
yaitu:
a. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan barang
tersebut, seperti yang disebutkan dalam Pasal 612 KUHPerdata yang
menyatakan:
Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan
dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama
pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana
kebendaan itu berada.
Penyerahan tidak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus
diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang
hendak menerimanya.
Dari ketentuan tersebut dapat kita lihat adanya kemungkinan
menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang
berada dalam suatu gudang, hal mana merupakan suatu penyerahan
kekuasaan secara simbolis, sedangkan apabila barangnya sudah berada
dalam kekuasaan si pembeli, penyerahan cukup dilakukan dengan suatu
pernyataan saja. Cara yang terakhir ini dikenal dengan nama“tradition
brevi manu”, yang berarti “penyerahan dengan tangan pendek”.
b. Untuk barang tetap (tidak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan
balik nama dimuka Pegawai Kadaster yang juga dinamakan Pegawai
Balik Nama atau Pegawai Penyimpan Hipotik, yaitu menurut Pasal 616
KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 620 KUHPerdata. Dalam pada
26
itu segala sesuatu yang mengenai Tanah, dengan mencabut semua
ketentuan yang termuat dalam Buku II KUHPerdata tersebut, sudah diatur
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara RI Nomor 1960-104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043, selanjutnya disebut UUPA). Selanjutnya
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, yang merupakan peraturan
pelaksana dari undang-undang tersebut, dalam Pasal 19 menentukan
bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat
oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedangkan menurut
maksud peraturan tersebut hak milik atas tanah juga berpindah pada saat
dibuatnya akta di hadapan pejabat tersebut.
c. Untuk barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cessie”,
sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata. Sebagaimana
diketahui KUHPerdata menganut sistem bahwa perjanjian jual beli itu
hanya obligatoir saja, artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan
hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak, yaitu
meletakkan kepada si penjual untuk menyerahkan hak milik atas barang
yang dijualnya, sekaligus memberikan hak kepadanya untuk menuntut
pembayaran harga yang telah disepakati dan di sisi lain meletakkan
kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai
imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang
dibelinya. Dengan perkataan lain, perjanjian jual beli menurut
27
KUHPerdata itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru
berpindah dengan dilakukan penyerahan, yang caranya ada tiga macam
tergantung dari macamnya barang.
2) Kewajiban menanggung tenteram atas barang tersebut dan menanggung
terhadap cacad-cacad yang tersembunyi.
3) Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi
daripada jaminan oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang
akan dijual dan deliver itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang
bebas dari suatu beban atau tuntutan dari suatu pihak. Kewajiban tersebut
menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian
kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan dari pihak ketiga,
dengan putusan Hakim dihukum untuk menyerahkan barang telah dibelinya
kepada pihak ketiga tersebut. Atau juga si pembeli, sewaktu digugat di muka
Pengadilan oleh pihak ketiga dapatlah ia meminta kepada Hakim agar supaya
si penjual diikutsertakan di dalam proses yang akan datang atau sedang
berjalan. Hukum perjanjian adalah hukum pelengkap, kedua belah pihak
diperbolehkan dengan janji-janji khusus memperluas atau mengurangi
kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh Undang-undang, bahkan
mereka diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan
diwajibkan menanggung suatu apapun, tetapi ada batasannya. Jika dijanjikan
penanggungan, atau jika tentang itu tidak ada suatu perjanjian, si pembeli
28
berhak, dalam halnya suatu penghukuman untuk menyerahkan barang yang
akan dibelinya kepada orang lain, menuntut kembali kepada si penjual:
1. Pengembalian uang harga pembelian;
2. Pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil itu
kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan;
3. Biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan si pembeli untuk
ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh si penggugat
asal.
4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan
penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh si pembeli.
Jika pada waktu dijatuhkannya hukuman untuk menyerahkan barangnya
kepada seorang lain, barang itu telah merosot harganya, maka si penjual tetap
diwajibkan mengembalikan harga seutuhnya. Sebaliknya jika barangnya pada waktu
dijatuhkan putusan untuk menyerahkan kepada orang lain, telah bertambah harganya
meskipun tanpa suatu perbuatan dari si pembeli, si penjual diwajibkan membayar
kepada si pembeli apa yang melebihi harga pembelian itu juga. Selanjutnya si penjual
diwajibkan mengembalikan kepada si pembeli segala biaya yang telah dikeluarkan
untuk pembetulan dan perbaikan yang perlu pada barangnya.
Kewajiban utama pihak pembeli adalah membayar harga pembelian pada
waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Harga tersebut
berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam suatu pasal
undang-undang, namun sudah dengan sendirinya terdapat dalam pengertian jual beli,
29
karena jika tidak, maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi “tukar menukar”,
atau kalau harga itu sudah berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian
kerja. Dalam pengertian jual beli sudah terdapat pengertian bahwa disatu pihak ada
barang dan dilain pihak ada uang. Harga itu harus ditetapkan oleh kedua pihak,
namun adalah diperkenankan untuk memperkirakan atau penentuan orang pihak
ketiga. Dalam hal yang demikian, maka jika pihak ketiga ini tidak suka atau tidak
mampu membuat perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah terjadi suatu
pembelian (Pasal 1465 KUHPerdata). Hal ini berarti bahwa perjanjian jual beli yang
harganya harus ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada hakekatnya adalah suatu
perjanjian dengan suatu „syarat tangguh‟, karena perjanjiannya baru akan jadi kalau
harga itu sudah ditetapkan oleh orang ketiga tersebut. Jika pada waktu membuat
perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli
harus membayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus
dilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata).
Ini berarti dalam suatu perjanjian, baik yang melahirkan perikatan untuk
memberikan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu atau perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu, senantiasa haruslah ditentukan terlebih dahulu kebendaan yang akan
menjadi objek dalam perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik maupun tidak)
diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian jelaslah
bahwa tanpa adanya kebendaan tertentu yang menjadi obyek perjanjian, prestasi,
atau kewajiban maupun utang tidak pernah ada.
30
Dalam rumusan Pasal 1446 KUHPerdata, menyatakan bahwa selama dan
sepanjang ketidakcakapan tidak dikuatkan, maka perjanjian yang dibuat oleh mereka
yang cakap tersebut tidak memiliki tanggung jawab sama sekali, dan karenanya pula
tidak memberikan hak menuntut harta kekayaan pada salah satu pihak terhadap siapa
mereka telah membuat perjanjian. Bunyi Pasal 1446 KUHPerdata tersebut adalah:
Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang, anak yang belum dewasa, atau
orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum dan
atas tuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harusnya dinyatakan
batal semata-mata atas dasar kebelum dewasaan dan pengampuannya.
Perikatan-perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan dan orang-orang
belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang
dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut
melampaui kekuasaan mereka.
Dengan demikian berarti, setiap pihak yang cakap bertindak dalam hukum,
yang membuat perjanjian jual beli dengan orang yang tidak cakap yang telah
melaksanakan kewajibannya menurut jual beli yang telah disepakati, atas tuntutannya
terhadap salah satu pihak yang tidak cakap tersebut, senantiasa diancam dengan
pembatalan perjanjian menurut ketentuan Pasal 1454 ayat (2) KUHPerdata dengan
konsekuensi bahwa menurut ketentuan Pasal 1451 KUHPerdata bahwa pembatalan
sebagai akibat ketidakcakapan membawa akibat bahwa segala apa yang telah
diberikan atau dibayarkan kepada orang-orang yang tidak berkuasa, sebagai akibat
pelaksanaan jual beli tersebut, hanya dapat dituntut kembali sekedar barang yang
bersangkutan masih berada di tangan orang tak berkuasa tersebut, atau sekedar
ternyata bahwa orang ini telah mendapat manfaat dari apa yang telah diberikan atau
31
dibayarkan itu atau bahwa apa yang dinikmati telah dipakai atau berguna bagi
kepentingannya.29
Dalam konteks demikian, tidaklah berarti kebendaan yang
diserahkan kepada seorang yang tidak cakap untuk bertindak dalam hukum tidak
memperoleh penggantian.
Sifat konsensual dari jual beli adalah terjadinya kesepakatan dari para pihak.
Dengan demikian dimaksudkan bahwa kedua belah pihak yang bersangkutan tercapai
suatu kesesuaian kehendak artinya, apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah juga
dikehendaki pihak lain. Dalam perjanjian jual beli, asas konsensualisme tersebut
dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu pasal yang mengatur tentang
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari Pasal 1338 KUHPerdata, yang
dalam pasal tersebut dinyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang
sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada “semua
perjanjian dibuat secara sah”, yang artinya dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah
disebutkan satu persatu syarat-syarat untuk perjanjian yang sah itu.30
Hukum perjanjian pada asasnya merupakan hukum pelengkap, kedua belah
pihak diperbolehkan dengan janji khusus, memperluas atau mengurangi kewajiban-
kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang, bahkan kedua belah pihak
diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan
menanggung suatu apapun. Namun hal ini ada batasannya, yaitu sebagai berikut:31
Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung sesuatu
29
Gunawan Widjaja dan Kartini Mulyadi, Op.cit. H. 36 30
R.Subekti II, Op.cit. h. 4 31
R.Subekti I, Op.cit. h. 84
32
apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang suatu akibat dari suatu perbuatan
yang telah dilakukan olehnya. Segala persetujuan yang bertentangan dengan hal ini
adalah batal seperti yang disebutkan dalam Pasal 1494 KUHPerdata.
Si penjual, dalam hal adanya janji sama, jika terjadi suatu penghukuman
terhadap si pembeli untuk menyerahkan barangnya kepada seorang lain, diwajibkan
mengembalikan harga pembelian, kecuali apabila si pembeli pada waktu dilakukan,
mengetahui adanya putusan Hakim untuk menyerahkan barang yang dibelinya itu
atau jika ia telah membeli barang tadi dengan pernyataan akan memikul sendiri
untung ruginya (Pasal 1495 KUHPerdata).
Dengan demikian maka yang menjadi alat ukur tentang tercapainya
persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan
oleh kedua belah pihak dalam perjanjian jual beli. Pernyataan timbal balik dalam
perjanjian jual beli oleh kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak
dan kewajiban diantara mereka. Undang-undang berpangkal pada asas
konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapainya konsensus harus
mengacu pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak,
dan ini merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Kemudian, jika terjadi
perselisihan tentang apakah terjadi konsensus atau tidak, apakah telah dilahirkan
suatu perjanjian atau tidak, maka Pengadilan melalui putusan Majelis Hakim lah yang
akan menetapkannya.
Dalam perjanjian jual beli atau yang disebut juga dengan perjanjian timbal
balik, hanya berlaku Pasal 1266 KUHPerdata, yang berbunyi: “Syarat batal selalu
33
dipersangkakan ada dalam perjanjian timbal balik, dalam hal salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya.” Berdasarkan ketentuan pasal ini maka perjanjian yang
ditutup adalah perjanjian timbal balik, dan salah satu pihaknya tidak memenuhi
kewajiban perikatan sebagaimana mestinya, maka pihak yang lawan janjinya berhak
menuntut pembatalan perjanjian yang mereka tutup, seakan-akan para pihak memang
menutup perjanjian tersebut dengan syarat seperti itu. Masalah ini juga sehubungan
dengan adanya tangkisan, bahwa pihak lawan janjipun tidak memenuhi kewajiban
perikatan (exception adempleti contractus).32
Para pihak bersikap rasional dalam menyelesaikan permasalahan dalam
perjanjian jual beli merupakan anggapan dari resiko para pihak.Persoalan terpenting
bagi para pihak adalah bagaimana upaya mereka dalam mengantisipasi maupun
mencegah kemungkinan terjadinya pembatalan terhadap perjanjian jual beli. Oleh
karena itu para pihak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa (“dispute
settlement clause” atau “midnight clause”) dalam perjanjian perjanjian jual beli. Jika
pada akhirnya permasalahan berkembang menjadi lebih rumit, maka upaya
penyelesaian yang umumnya dilakukan atau dipilih oleh para pihak adalah pada dua
opsi, yaitu:
a. Penyelesaian melalui jalur litigasi
b. Penyelesaian melalui jalur nonlitigasi
Menurut Fisher dan Ury, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
proses penyelesaian sengketa, yaitu: kepentingan, hak, dan status kekuasaan. Para
32
J. Satrio, Op. Cit. h. 46-47
34
pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan
status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan, serta dipertahankan33
.
1.6. Metode Penelitian
Metode penulisan hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah
satunya ditandai dengan penggunaan metode. Jenis-jenis penulisan yang digunakan
dalam penulisan ini adalah penulisan hukum, penulisan hukum yang memiliki sifat
akademis berkaitan dengan upaya untuk memberikan masukan yang berharga bagi
perkembangan ilmu hukum khususnya bidang hukum Perjanjian jual beli hak milik
atas tanah. Sebagai penulisan hukum dalam bidang akademis, dimaksudkan untuk
membedakan dengan penulisan hukum dalam kaitannya dengan kegiatan yang
bersifat praktis, apabila dicermati substansi penulisannya, menurut Rony Hanitjo
Soemitro penulisan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni ”penulisan yang
bersifat normatif dan doktrinal.34
”
1.6.1 Jenis Penelitian
Ada dua jenis penelitian hukum yaitu penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki mengemukakan:
... penelitian hukum digunakan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau
konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi,
sehingga jawaban yang diharapkan di dalam penelitian hukum adalah right,
appropriate, inappropriate, atau wrong. Dengan demikian dapat dikatakan
33
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas
Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 307-308
34
Ibid, h.26.
35
bahwa hasil yang diperoleh di dalam penelitian hukum sudah mengandung
nilai35
.
Menurut Bagir Manan dalam bukunya penelitian bidang hukum, jenis
penelitian hukum normatif yaitu “penelitian terhadap peraturan yang berlaku serta
kaedah hukum itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, hukum adat
atau hukum tidak tertulis lainnya) dan asas-asas hukum36
.” Dengan kata lain
penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum kepustakaan adalah
penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka yang ada, yaitu bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier untuk selanjutnya
“bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti37
.” Menurut
Abdulkadir Muhammad "penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang
dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat38
.”
Dalam kaitannya dengan lingkupan dari penelitian hukum normatif, dikatakan
penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari
berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan
komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal,
35
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h.33. 36
Bagir Manan, 1999, Penelitian Bidang Hukum, Jurnal hukum,
Puslitbangkum Unpad, Perdana, Januari, Bandung, h. 4 37
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI. Press, Jakarta,
h. 52. 38
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 51.
36
formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta bahasa hukum yang
digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya39
.
Jenis penelitian dalam penelitian ini sebagai penelitian hukum normatif, yaitu
“penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.40
” Adapun penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap
sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah
hukum dan penelitian perbandingan hukum.41
Hal ini senada dengan pendapat Morris
L. Cohen and Kent C. Olson dalam bukunya yang berjudul Legal Research
menyatakan bahwa:“legal research is an essential component of legal practice. It is
the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or
analyze that law”42
yang artinya bahwa penelitian hukum yang berdasarkan kaidah
perundang-undangan sebagai suatu hal yang penting dalam penerapan hukum secara
praktek. Penelitian hukum normatif yang mengkaji hukum kemudian dikonsepkan
sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan
perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu dapat berupa norma hukum
positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (Undang-Undang Dasar,
Kodifikasi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya), dan norma
hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum
39
Ibid, h. 101-102. 40
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 41
Soerjono Soekanto, Op.cit. h. 51 42
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group,
ST. Paul Minn, Printed in the United States of America, page 1
37
tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, dan
rancangannya).43
Penelitian hukum normatif dalam tesis ini berangkat dari
kekosongan norma yang mengatur mengenai perlindungan hukum para pihak
terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah.
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan adalah bahan untuk
mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti untuk
melakukan analisis. Dalam penulisan tesis ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah,
serta dapat dipertahankan secara ilmiah, maka masalah dalam penelitian ini dibahas
dengan menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (statute approach)
dalam KUHPerdata terkait perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan
perjanjian jual beli hak milik atas tanah serta menggunakan produk legislatif dan
regulasi, yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu putusan yang diterbitkan
oleh pejabat administrasi yang bersifat konkrit dan khusus 44
. Pendekatan konsep
(conseptual approach) dalam ilmu hukum khususnya terkait dengan perjanjian jual
beli digunakan sebagai titik tolak bagi analisis penelitian hukum sehingga akan
muncul konsep sebagai suatu akibat hukum terhadap pembatalan perjanjian jual beli
hak milik atas tanah. Pendekatan kasus (case approach) dipergunakan untuk dapat
mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum
43
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, h.52. 44
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenata Media
Group, Jakarta, h. 97.
38
terkait dengan perlindungan para pihak terhadap pembatalan jual beli hak milik atas
tanah.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 (tiga) macam sumber
bahan hukum (bahan pustaka) yang dipergunakan, yaitu terdiri dari:
bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. bahan hukum
sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
Sumber bahan hukum ketiga yaitu bahan hukum tersier, adalah bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder45
.
Mengenai sumber bahan hukum dari penelitian hukum normatif ini diperoleh dari
hasil penelitian melalui penelitian kepustakaan (Library Research).46
Adapun bahan
hukum yang dimaksudkan terdiri dari:
1). Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas tertentu. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan hukum
dalam penulisan tesis ini antara lain adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945