1 Wahana Lingkungan Hidup Indone- sia (WALHI- Friends of the Earth Indo- nesia) berdiri sejak 15 Oktober 1980. Adalah forum organisasi lingkun- gan hidup terbesar di Indone- sia yang membangun gerakan lingkungan menuju lingkungan hidup yang adil, sehat dan lestari. Hadir di 25 propinsi dengan 435 anggota organisasi dan 122 ang- gota individu. WALHI menggalang sumber daya dari publik (donatur dan relawan Sahabat WALHI) dan tidak menerima pendanaan dari perusahaan maupun partai politik. Dengan Rp. 1000,- per hari Anda telah menjadi Sahabat WALHI dan mendukung upaya penyelama- tan lingkungan hidup Indonesia. Untuk menjadi Sahabat WALHI, Hub: 021-79193363-68 atau [email protected]Korporatokrasi,Menyempurnakan Negara Sebagai Pengabdi Perusahaan Defenisi, Teori, Filsafat tentang Korporatokrasi (Hubungan antara Negara dan Modal) Danial Indrakusuma..........................................2 Historis Korporatokrasi (Cengkeraman Modal terhadap Negara) di Indonesia Arianto Sangaji.................................................11 Ekonomi Partikelir di Era Neokolonialisme Dani Setiawan dan Longgena Ginting............19 Orkestrasi Gerakan Hijau dan Pesta Korporatokrasi Khalisah Khalid................................................28 Korporatokrasi dan Cara Bekerjanya di Indonesia Salamuddin Daeng dan Pius Ginting..............35 Catatan Hitam Praktik Korporatokrasi Di Indonesia Sudiarto............................................................47 Selamatkan Indonesia Dari Cengkeraman Korporatokrasi Sudiarto............................................................50 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia DAFTAR ISI Alamat Redaksi: Jl.Tegal Parang Utara No.14 Mampang Prapatan,Jakarta 12790 Telp:(021)79193363/68 Fax:(021)7941673 Email:[email protected]Website:www.walhi.or.id REDAKSI Penanggung Jawab : Berry Nahdian Forqan Redaktur Pelaksana: Pius Ginting Dewan Redaksi: Erwin Usman Teguh Surya Mariamah Achmad Pius Ginting Distribusi: Triyanto Suhardi tanah air Jurnal Jurnal Ilmiah Gerakan Lingkungan Hidup www.walhi.or.id | www.eng.walhi.or.id
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
1
Bahasan: Korporatokrasi
Wahana Lingkungan Hidup Indone-sia (WALHI- Friends of the Earth Indo-nesia) berdiri sejak 15 Oktober 1980.
Adalah forum organisasi lingkun-gan hidup terbesar di Indone-sia yang membangun gerakan lingkungan menuju lingkungan hidup yang adil, sehat dan lestari.
Hadir di 25 propinsi dengan 435 anggota organisasi dan 122 ang-gota individu. WALHI menggalang sumber daya dari publik (donatur dan relawan Sahabat WALHI) dan tidak menerima pendanaan dariperusahaan maupun partai politik.
Dengan Rp. 1000,- per hari Anda telah menjadi Sahabat WALHI dan mendukung upaya penyelama-tan lingkungan hidup Indonesia.
Untuk menjadi Sahabat WALHI, Hub: 021-79193363-68 atau [email protected]
Korporatokrasi,Menyempurnakan
Negara Sebagai Pengabdi Perusahaan
Defenisi, Teori, Filsafat tentang Korporatokrasi(Hubungan antara Negara dan Modal)Danial Indrakusuma..........................................2
Historis Korporatokrasi (Cengkeraman Modal terhadap Negara) di IndonesiaArianto Sangaji.................................................11
Ekonomi Partikelir di Era NeokolonialismeDani Setiawan dan Longgena Ginting............19
Orkestrasi Gerakan Hijau dan Pesta KorporatokrasiKhalisah Khalid................................................28
Korporatokrasi dan Cara Bekerjanya di IndonesiaSalamuddin Daeng dan Pius Ginting..............35
Catatan Hitam Praktik Korporatokrasi Di IndonesiaSudiarto............................................................47
Selamatkan Indonesia Dari Cengkeraman KorporatokrasiSudiarto............................................................50
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
DAFTAR ISI
Alamat Redaksi:Jl.Tegal Parang Utara No.14Mampang Prapatan,Jakarta 12790Telp:(021)79193363/68 Fax:(021)7941673Email:[email protected]:www.walhi.or.id
REDAKSI
Penanggung Jawab :Berry Nahdian Forqan
Redaktur Pelaksana:Pius Ginting
Dewan Redaksi:Erwin UsmanTeguh SuryaMariamah AchmadPius Ginting
Distribusi:TriyantoSuhardi
tanah airJurnal
Jurnal Ilmiah Gerakan Lingkungan Hidup
www.walhi.or.id | www.eng.walhi.or.id
2
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Awalnya, semangat kontrak bersama rakyat Indonesia untuk mendirikan Republik Indonesia adalah merdeka dan terbebas dari penjajahan, yakni merdeka dari sistem ekonomi kapitalisme (dengan aktor utamanya: korporasi). Maka tertuanglah dalam pasal 33 UUD 1945 bahwa semua kekayaan alam Indonesia digunakan untuk kepentingan rakyat (setelah sebelumnya dikelola oleh perusahaan perkebunan swasta, tambang swasta, dll); demikian juga semangat yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa… bukan untuk kepentingan korporasi, atau kepentingan investasi (modal).
Namun semenjak tahun 1965 telah terjadi perubahan haluan yang tajam. Dari awalnya ada upaya mengusahakan sistem ekonomi yang mandiri, menjadi membukakan diri kepada kepentingan korporasi. Orde Baru bisa saja berlagak memperjuangkan kepentingan nasional. Dalam prakteknya, dia makin menggiring Indonesia ke dalam cengkeraman sistem korporatrokasi. Setelah kejatuhan harga minyak internasional tahun 1980-an, dan terakhir karena krisis Asia tahun 1997, jejaring sistem korporatorkasi semakin merasuk ke hampir semua pori-pori bangsa Indonesia.
Sejarah telah memberikan contoh atas bertumbangannya sistem-sistem yang sudah dinilai tidak rasional lagi pada perkembangan selanjutnya, seperti kehancuran sistem kekaisaran yang besar yang pernah dunia kenal, sistem kerajaan, kehancuran dominasi gereja di Eropa. Tampaknya, sistem korporatokrasi pun bukan yang pertama bisa selamat dari kehancuran ini. Sistem tersebut telah gagal menjawab kebutuhan manusia, malahan telah memperburuk banyak persoalan: kemiskinan, kelaparan, penurunan tingkat kesehatan, dan penghancuran lingkungan hidup.
Sistem korporatokrasi menempatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam sebagai barang komoditi untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan instrumen pasar dan kekuasaan (politik) sekaligus sehingga mengabaikan prinsip keadilan dan keberlanjutan kehidupan rakyat. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya manusia dan sumber-sumber kehidupan rakyat (aset alam) yang kemudian berdampak kepada terjadinya kemiskinan struktural dan bencana ekologi. Dalam sistem korporatokrasi ini tidak ada jaminan bagi rakyat atas keamanan dan kesejahteraan hidupnya, atas keberlanjutan produktivitasnya dan atas keberlanjutan jasa pelayanan alam.
Kesadaran publik akan bahaya sistem korporatokrasi berkembang terus. Jika gerakan mahasiswa tahun 1998 lebih terfokus kepada menentang kediktatoran, maka seiring dengan laju kebijakan neoliberal beserta berbagai produk perundang-undangan yang dibuat institusi negara yang terang-terangan memfasilitasi kepentingan korporasi, maka kini tudingan publik pun makin mengarah kepada pokok dan sumber permasalahan: sistem korporatoraksi.
Sebagai contoh, dalam isu perubahan iklim, gerakan sosial kian menyadari bahwa dalang penghambat bagi agenda-agenda mengurangi dampak polusi gas rumah kaca adalah korporasi; dan kepentingan korporasi tersebut memiliki lobi yang kuat terhadap negeri-negeri industri, dan juga para intelektual.
Dalam situasi di mana lebih setengah penduduk dunia hidup di bawah kemiskinan dan bumi berada dalam spiral kerusakan ekologis, maka sewajarnya lah mayoritas umat manusia memikirkan dan mengusahan sistem yang lain, yang lebih manusiawi, yang bisa merestorasi kerusakan lingkungan, sistem sosial dan ketidakadilan yang telah terjadi.
Untuk menundukkan sistem korporatokrasi tersebut tentunya dengan memperluas ruang kontrol publik terhadapnya. Dan itu tidak hanya pekerjaan aktivis, profesor dari belakang meja komputer, tapi menuntut upaya kerjasama dan solidaritas dari komunitas-komunitas rakyat yang selama ini digusur demi investasi, diberangus demi investasi; dan komponen lainnya yang menginginkan keadaan yang lebih manusiawi dan lestari.
Semoga Jurnal Tanah Air edisi kali ini bisa membawa pencerahan dan berkontribusi untuk mewujudkannya.
Salam
Berry Nahdian Forqan
Kata Pengantar
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
3
Bahasan: Korporatokrasi
Landasan-Pijak Teoritik Korporatokrasi
Bila saja Marx masih hidup, ia mungkin akan
tercengang menyaksikan kreativitas borjuis dalam
mendayagunakan negara demi kepentingannya1; Hamza
Alavi tentu akan maklum atas semakin sempitnya ruang
otonomi relatif negara di tengah semakin rentannya
sistim kapitalisme (negeri-negeri maju) terhadap krisis
(yang dampak gelombangnya semakin mendunia)2; dan
bila saja Richard Robison mempertimbangkan dari mana
sumber dana dan kebijakan negara (Orde Baru), maka
tentu ia tak akan berposisi: negara (Orde Baru) mampu
“menciptakan” kelas (di Indonesia)?3
Kadang korporatokrasi (corporatocracy)
sering dikaitkan dengan gerakan anti-globalisasi,
mungkin karena terkesiap atas gejala bagaimana
pemerintahan (terutama) negeri-negeri berkembang
tunduk pada kepentigan-kepentingan perusahaan-
perusahaan besar/transnasional. Misalnya saja, John
Omaha, Phd, menyimpulkan bahwa perang Irak
dicetuskan oleh perusahaan-perusahaan yang telah
berhasil menguasai negara (dan segala kelembagaannya)
republik demokratik Amerika—yang sekarang telah
menjadi korporatokrasi.4
Perusahaan-perusahaan dianggap memiliki
Korporatokrasi,Menyempurnakan Negara Sebagai
Pengabdi Perusahaan*
Di semua tempat, apakah itu dalam kebudayaan popular, hingga sistim propaganda, terdapat tekanan terus
menerus agar orang merasa bahwa dirinya tak bisa ditolong lagi, bahwa peran mereka hanyalah menyetujui
segala keputusan dan melahapnya—Chomsky.
Hambatan sesungguhnya bagi produksi kapitalis adalah kapital itu sendiri—Marx.
kekayaan yang begitu besar sehingga bisa menyuap,
menyusup dan menguasai pemerintahan di berbagai
negeri. Bahkan, ia sanggup mengemudikan eksekutif,
media-media terkemuka, legislatif, dan lembaga-
lembaga hukum, menyatukannya ke dalam suatu unit
yang berentang-dunia yang dinamakan korporatokrasi.
Fokus dari tujuannya hanya satu, tak terbagi5:
perusahaan—keuntungan harus maksimal; sumber
daya alam, segala kelembagaan, warga negara, harus
digunakan (atau disingkirkan bila tak diperlukan lagi)
demi memaksimalkan keuntungan; perusahaan harus
memiliki pasar-pasar baru untuk dikuasai; dan, bila
perlu, perusahaan-perusahaan yang memproduksi
peralatan militer harus memiliki pasar serta
menyesuaikannya dengan penaklukkan negeri-negeri
yang akan mengakumulasi keuntungan perusahaan6.
Bahkan, sejak akhir Perang Dunia II,
perusahaan-perusahaan besar telah muncul sebagai
penguasa dominan planet ini. Bank Dunia (World
Bank/WB), Dana Moneter Internasional (International
Monetary Fund/IMF) dan Organisasi Perdagangan
Dunia (World Trade Organization/WTO) pun tak lepas
dari cengkeraman korporatokrasi.7 [Aku lebih percaya
bahwa lembaga-lembaga tersebut merupakan kreasi
dari perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam
korporatokrasi rahasia, bukan sekadar kesepakatan
Danial Indrakusuma
1 Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, Neuron, [email protected]; Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte , dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works, dalam 1 Jilid, London, 1970.2 Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and Bangladesh, dalam Imperialism and Revolution in South Asia, ed. Kathleen Gough dan Hari P. Sharma, Monthly Review Press, New York and London, 1973.
3 Richard Robison, Indonesia: The rise of capital, Allen & Unwin, Sydney 1986.
4 John Omaha, Ph.D., Corporatocracy and the Iraqi War, http://www.sourcewatch.org/index.php?title= Corporatocracy.
5 Walaupun, dalam situasi tertentu, perusahaan bisa saja (atau harus) sedikit mengucurkan keuntungannya kepada pihak-pihak lain, namun tujuan dari pembagian tersebut tetap saja demi melancarkan maksimalisasi keuntungan perusahaan.
6 Boeing, Lockheed Martin, Ford, merupakan beberapa perusahaan yang mendapat keuntungan besar dari perang di Vietnam, Grenada, Panama, Afghanistan, Colombia, Kuwait, Yugoslavia, Albania, Irak. Penjualan persenjataan Amerika Serikat (AS) jumlahnya sama dengan penjualan persenjataan (gabungan) berbagai negeri di dunia.
7 Lembaga-lembaga tersebut turut memberikan sumbangan yang menyebabkan 200 perusahaan besar dunia bisa menguasai 28,3% output dunia; dan 50 bank komersil serta perusahaan-perusahaan finansial (derivatif) berhasil mengangkangi 60% dari 20 trilyun dollar saham (modal produktif) dunia.
* Naskah diterima oleh Redaksi pada 30 September 2008
4
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
multilateral negeri-negeri kapitalis maju. Lebih jauh lagi,
Hannah Holleman dan R. Jonna mengatakan:
Dalam kenyataannya, pertentangan—yang
tidak sekadar tercermin dalam berbagai wujud
kekuasaan—justru merupakan sumber kekuasaan
dalam hubungan-hubungan sosial sistim kapitalis. Dan
pertentangan tersebut tidaklah dimulai dengan kelahiran
lembaga-lembaga tersebut the (IMF, World Bank, WTO,
GATT, dan lain sebagainya.)—dan tidak juga akan
berakhir di lembaga-lembaga tersebut…]8
Dikatakan bahwa korporatokrasi juga
memasukkan cara-cara kriminal dalam strategi-
taktiknya—membuat laporan-laporan keuangan palsu,
merekayasa pemilu, menyogok, mengancam, seks,
membunuh, kudeta—sebagaimana yang diungkapkan
oleh John Perkins, Sang Penjagal (bidang) Ekonomi
(Economic Hit Man).9 Contoh lainnya: Manajer-manajer
perusahaan Rockefeller melakukan perdagangan BBM,
melalui negeri netral Swiss, dengan musuh Sekutu:
Jerman. Kantor Chase Bank di teritori yang diduduki Nazi,
Paris, melakukan bisnis jutaan dollar dengan musuh dan
sepengetahuan kantor pusatnya di Manhattan (keluarga
Rockefeller adalah salah satu pemiliknya); truk-truk
Jerman yang digunakan untuk menduduki Prancis
dibuat oleh Ford dengan persetujuan dari Dearborn,
Michigan; Kolonel Sosthenes Behn, kepala perusahaan
(konglomerat) ITT, terbang dari New York ke Madrid, lalu
ke Berne, selama perang berlangsung untuk membantu
mengembangkan sistim komunikasi Hitler dan bom-
bom robot yang meluluhlantakkan London. Bahkan ITT
mengembangkan FockeWulfs, yang menjatuhkan bom-
bom ke tentara Inggris dan Amerika.10
Pengertian korporatokrasi di atas tidak bisa
disamakan dengan korporatisme—yang mengacu pada
sistim ekonomi dan politik yang dikendalikan oleh
suatu badan (yang tidak dipilih secara demokratik
dan memiliki hirarki internalnya sendiri) berisikan
kekuasaan Getulio Vargas di Brazil selama tahun 1920-
an dan 1930-an, saat dia memerlukan lembaga yang
dapat memoderatkan pasar bebas—yang ia maknai
sebagai kapitalisme modern—dengan kesejahteraan
sosial. Ilmuwan politik biasa juga menggunakan istilah
korporatisme untuk memaknai negara yang, dengan
kekuasaannya, mewajibkan dan membuat aturan
yang menyatukan pimpinan-pimpinan agama, sosial,
ekonomi, atau organisasi-organisasi popular, agar dapat
dikooptasi dan diredam potensinya untuk melawan
kekuasaan serta mencari legitimasinya dari kekuasaan.
Pada tahun 1891, korporatisme juga pernah digunakan
oleh Paus Leo XIII (encyclical Rerum Novarum)
sebagai wadah kolaborasi/tawar menawar antara kelas
buruh dengan kelas kapitalis karena Katolik khawatir
akan pengaruh ideologi sosialis terhadap serikat buruh
Katolik. Dan korporatisme juga dipraktekkan oleh fasis
Italia (tokohnya adalah Alfredo Rocco dan Mussolini)
serta rejim diktator Orde Baru (Indonesia) (tokohnya
adalah Suhardiman, Ali Murtopo). Namun, pada masa-
masa selanjutnya, korporatisme sering digunakan untuk
meloloskan kepentingan perusahaan (dengan legitimasi
negara) di atas kepentingan publik. Ada juga istilah
neokorporatisme, misalnya dalam wujud kongkrit:
International Labour organization (ILO); Komite Ekonomi
dan Sosial Uni Eropa; pengaturan kesepakatan bersama
di antara negeri-negeri Skandinavia; Kemitraan Sosial di
Irlandia; Dewan Pengupahan Nasional di Singapura; dan
banyak lagi. Walupun korporatokrasi berbeda makna
dengan korporatisme, namun korporatokrasi sering
menggunakan unsur-unsur dalam korporatisme sebagai
variabel penting dalam strategi-taktik mereka, apalagi
unsur-unsur dalam dalam korporatisme (atau, misalnya,
sisa-sisanya yang masih banyak berkiprah dalam serikat-
serikat buruh di Indonesia pasca kejatuhan Suharto)
berkarakter lemah.
Kita harus melihat korporatokrasi dari
pendekatan ekonomi-politik yang historis, agar jangan
sampai terjerembab pada analisa on the spot seolah-olah
korporatokrasi lahir dari ruang hampa sosial—misalnya
melihat korporatokrasi dari sisi sosiologis (kapitalis
memerlukan wadah yang lebih struktural dan permanen
untuk lobbying); dari sisi ilmu politik [korporatokrasi
merupakan wadah, yang bisa saja di luar struktur
negara, yang dapat menjamin kediktatoran kelas
kapitalis; dan dibedakan dengan korporatisme (yang
8 Hannah Holleman dan R. Jonna, The War for Control of the Periphery, Monthly Review, February, 2008.
9 Lihat John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 2004.
10 Lihat Charles Higham, Trading With The Enemy: The Nazi-American Money Plot 1933-1949, iUniverse, Inc., Lincoln, NE, 2007.
11 Lihat From Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Corporatism.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
5
Bahasan: Korporatokrasi
merupakan ruang di dalam struktur negara) yang masih
memberikan kesempatan tarik menarik kepentingan];
atau, walaupun pendekatannya historis, korporatokrasi
hanya dilihat sebagai rangkaian (kronologis) fragmen-
fragmen bagaimana negara dan kapitalis bekerjasama
mengorbankan kepentingan kelas pekerja atau warga
negara.
Tidak, secara historis negara dan kapitalisme
bukanlah dua entitas yang terpisah, negara (kapitalis)
adalah anak kandung kedikatatoran (ekonomi)
kapitalisme. Seperti kata Marx:
“Borjuis senantiasa makin bersemangat menghapuskan keadaan penduduk yang terpencar-pencar dari alat-alat produksinya, dan dari hak pemilikannya. Ia telah menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi, dan telah mengkonsentrasikan hak pemilikan ke dalam beberapa tangan. Akibat yang seharusnya dari hal tersebut adalah pemusatan politik. Provinsi-provinsi yang merdeka atau yang tak begitu erat kepentingannya, undang-undang, pemerintah dan sistim pajak yang berlainan, menjadi terpadu sebagai suatu bangsa, dengan satu pemerintah, satu undang-undang, satu kepentingan kelas, satu bangsa, satu perbatasan dan satu
tarif pabean.”12
Atau seperti kata Engels:
“Negara, dengan demikian, adalah sama sekali bukan merupakan kekuatan yang dipaksakan dari luar kepada masyarakat, sebagai suatu yang sesempit ‘realitas ide moral’, ‘bayangan dan realitas akal’, sebagaimana yang ditegaskan oleh Hegel. Justru, negara adalah produk
masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; …”13
Atau, lebih kongkret lagi, Marx menjelaskan bagaimana
borjuis menyempurnakan negara agar sesuai dengan
kepentingannya:
“Tetapi revolusi adalah radikal. Ia masih dalam perjalanannya, melewati tempat pensucian arwah. Ia melaksanakan usahanya berdasarkan suatu metoda. Sampai tanggal 2 Desember, 1851 (hari berlangsungnya kudeta Louis Bonaparte), ia telah menyelesaikan separuh dari pekerjaan persiapannya, sekarang ia sedang menyelesaikan separuh yang lainnya. Pertama-tama, ia menyempurnakan kekuasaan parlementer, agar menggulingkan kekuasaan lama. Sekarang, setelah itu tercapai, ia akan menyempurnakan kekuasaan eksekutif, …”14
“Kekuasaan eksekutif tersebut, dengan organisasi birokrasi serta militernya yang sangat hebat, dengan mesin negaranya yang serba rumit dan cerdik, yang meliputi lapisan-lapisan luas, dengan barisan pegawainya yang berjumlah setengah juta, di samping tentaranya yang juga sebesar setengah juta, badan yang bersifat parasit mengerikan ini, yang menjerat tubuh masyarakat Prancis seperti jala dan menyumbat segala pori-pori di kulitnya, terjadi pada masa monarki absolut saat keruntuhan sistem feodal, dan jasad parasit itu telah membantu mempercepat keruntuhannya. Revolusi Prancis, pertama-tama ia telah mengembangkan sentralisasi, ‘tetapi pada saat yang bersamaan’ ia memperluas sifat dan jumlah agen-agen kekuasaan pemerintahan. Napoleon menyempurnakan mesin negara ini. Monarki Legitimis dan Monarki Juli tidak memberikan manfaat apapun, kecuali pembagian kerja yang lebih besar. Akhirnya, dalam perjuangan menentang revolusi, republik parlementer menemukan dirinya sebagai suatu hal keterpaksaan, bersama dengan tindakan-tindakan penindasan, memperkuat sarana-sarana dan sentralisasi kekuasaan pemerintah. Semua penggulingan kekuasaan menyempurnakan mesin ini,
bukan menghancurkannya…”15
Dengan penjelasan di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1. pembentukan negara bukanlah sekadar hasil
dari hasrat moral dan sebagai entitas di luar
masyarakat (dipaksakan kepada masyarakat);
2. dalam perkembangan tertentu suatu
masyarakat16, muncul kelas borjuis yang
membutuhkan—lebih tegas lagi: menciptakan—
negara (borjuis) karena negara lama tak lagi
bersesesuaian dengan kepentingannya;
3. pada akhir analisa, bukan negara (borjuis) yang
menciptakan kelas (borjuis), tapi sebaliknya;
4. karenanya, landasan kepentingan borjuislah
(konsentrasi/sentralisasi tenaga produktif,
akumulasi kapital, perluasan pasar, bahkan
politik) yang mendorong (keniscayaan)
pembentukan, penaklukan, penyesuaian dan
penyempurnaan negara (borjuis).
Dengan demikian, telaah terhadap korporatokrasi
haruslah dilandasi oleh penelitian tentang:
1. sejarah perkembangan kapitalisme (maju),
dan sejauh manakah (instrumen kelas borjuis)
12 Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, hal. 49, Neuron, [email protected].
13 Friedrich Engels, Asal Usul Keluarga, Milik Perseorangan dan Negara, dalam Lenin, Negara dan Revolusi, http://marxists.org/indonesia/-archive/lenin/1917/negara/state2.htm
14 Karl Marx, Brumaire ke-18 Louis Bonaparte, dalam Lenin, Negara dan revolusi, http://marxists.org/-indonesia/-archive/lenin/1917/negara/state2.htm.
15 Ibid.
16 Sering juga dikatakan: dalam fase tertentu perkembangan tenaga produktifnya.
6
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
negara telah lebih sempurna melayaninya;
2. dan, saat kapitalisme (maju) tersebut
merentangkan cengkeramannya secara
global—sebagai suatu keniscayaan (kebutuhan
untuk mengkonsentrasi/sentralisasikan
tenaga produktif; mengakumulasi kapital
dan meluaskan pasar)—maka sampai sejauh
manakah negara (nasional) yang akan menjadi
koloninya perlu disempurnakan agar sesuai
dengan kebutuhannya;
3. kontradiksi negara (apa?) terhadap borjuis tentu
saja mengisyaratkan, menceminkan, bahwa
negara sedang dalam proses penggulingan oleh
unsur-unsur revolusioner; atau hanya sedang
digerogoti unsur-unsur sosial-demokrat, yang
bisa saja menghasilkan reaksi balik sogokan
otonomi relatif negara (dalam berhadapan
dengan borjuis)—agar sistim kapitalisme secara
keseluruhan tidak runtuh.17;
4. atas dasar kesejarahannya, tentu saja, negara
negeri-negeri berkembang (yang kaya tenaga
produktif sumberdaya alam18) akan paling tidak
sempurna, tidak bersesuaian dengan negara
negeri-negeri kapitalis maju;
5. Kasus bailout di negeri-negeri koloni/
berkembang (misalnya, BLBI di Indonesia), atau
negeri kapitalis maju (misalnya, permohonan
talangan 700 milyar dollar oleh Bush kepada
Kongres), substasinya sama: pada krisis
kapitalisme yang sudah mendunia, maka jalan
keluar daruratnya adalah (apa yang aku sebut)
penyangga rapuh finansial—merampas kembali
uang (sosial) kelas pekerja yang sudah diserahkan
borjuis pada negara (perampokan fiskal).
Paling tidak, kelima faktor tersebut di ataslah yang akan
menjadi pertimbangan kadar kekejaman korporatokrasi.
Sekarang, marilah kita lihat apa makna sejarah
perkembangan kapitalismenya:
Ruang hidup korporatokrasi: konsentrasi/
sentralisasi tenaga produktif; akumulasi modal;
perluasan pasar; dan krisis kapitalisme (global)
Bahwa perkembangan kapitalisme tidak dapat
dilepaskan dari pengamatan terhadap dinamika hukum-
hukumnya—apakah sebagaimana yang telah dirumuskan
oleh Marx dan Engels; atau yang kemudian tak sempat
diamatinya—karena, di dalam perkembangannya,
kapitalisme dibebani oleh hukum (besi) yang melekat
di dalamnya (inheren). Dalam Kesipulan Garis Besar
Sketsa Evolusi sejarah, Engels mengatakan:
C. “Di satu pihak, penyempurnaan mesin-mesin, yang dirangsang oleh persaingan—yang merupakan kewajiban bagi setiap individu pemilik pabrik—diembel-embeli oleh semakin meningkatnya pemutusan hubunga kerja. Bala tentara pengangguran, atau pasukan cadangan industri. Di lain pihak, perluasan produksi tanpa batas—yang di bawah tekanan persaingan, juga merupakan kewajiban bagi setiap pemilik pabrik. Gabungan keduanya menghasilkan perkembangan tenaga-tenaga produktif yang sebelumnya tak pernah ada, kelebihan penawaran dibanding permintaan, kelebihan produksi (overproduction), banjir barang-barang dagangan di pasar-pasar…
D. Kelas kapitalis itu sendiri dipaksa secara sepihak untuk mengakui watak sosial tenaga-tenaga produktif. Lembaga-lembaga besar harus mengambilalihnya—guna kepentingan produksi dan komunikasi—pertama-tama oleh perusahaan saham-gabungan, kemudian oleh gabungan perusahaan dan, pada akhirnya, oleh negara. …”19
Menurut Doug Lorimer:
“Untuk mengendalikan akumulasi kapital, menurut Marx, caranya harus mempertentangkan kapitalis dengan buruh, dan mempertentangkan buruh dengan buruh. Dan, selain itu, juga harus mempertentangkan kapitalis dengan kapitalis. Setiap kapitalis “harus tunduk pada hukum mati produksi kapitalis, hukum eksternal dan memaksa”. Karena semua daya upayanya ditujukan untuk mengakmulasi kapital, atau sekadar berfungsi dalam proses akumulasi kapital, maka mau tak mau harus berseteru dengan kapitalis lainnya.
Proses akumulasi kapital dan persaingan antar-kapitalis semakin lama akan semakin mengkonsentrasikan dan mensentralisasikan kapital ke tangan segelintir kapitalis saja, layaknya ikan besar melahap ikan kecil. …”20
Perkembangan spekulasi saham dan finansial tak dapat
sepenuhnya diamati oleh Marx, padahal ekonom-
ekonom kiri sering melihatnya sebagai salah satu faktor
yang memperdalam krisis. Misalnya saja, Engels, dalam
catatan tambahan bagi Capital, Jilid III, mengatakan:
“…bursa saham masih merupakan elemen sekunder
17 Sebagaimana pembacaanku atas Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte, dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works, dalam 1 Jilid, London, 1970; dan Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and Bangladesh, dalam Imperialism and Revolution in South Asia, ed. Kathleen Gough dan Hari P. Sharma, Monthly Review Press, New York and London, 1973. 18 Dalam perkembangan selanjutnya, proporsi kebutuhan akan tenaga produktif pekerja semakin menurun.19 Dikutip dan diterjemahkan dari Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific, dalam Karl Marx dan Friedrich Engels, Selected Works (dalam 3 Jilid), Jilid 3, hal. 150-151, Progress Publisher, Moscow, 1970-1977.20 Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, hal. 107, Neuron, [email protected].
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
7
Bahasan: Korporatokrasi
dalam sistim kapitalis, namun setelah masa itu mulai nampak perubahannya. Sekarang ini, bursa saham memegang peranan yang sangat penting dan terus menerus berkembang sehingga, kemudian, cenderung mengkonsentrasikan seluruh cabang produksi—apakah itu industri atau pun pertanian, bersama dengan seluruh perdagangannya; apakah itu alat-lat komunikasi maupun pertukaran fungsinya—ke tangan para spekulator bursa saham, sehingga bursa saham menjadi perwakilan produksi kapitalis yang sedemikian penting.”21
Sedangkan menurut Allen Myers:
Namun alasan utama mengapa begitu banyak uang yang digunakan dalam spekulasi semacam itu adalah karena krisis kelebihan produksi/kelebihan kapasitas. Terlalu banyak kapital yang tidak bisa diinvestasikan kembali.22
Dan menurut Castro:
Sekarang ini, dalam skala dunia, jumlah transaksi harian penjualan mata uang asing (yang langsung bisa disediakan) diperkirakan mencapai US $ 1, 5 trilyun. Jumlah tersebut tak termasuk dengan apa yang disebut sebagai operasi-operasi keuangan tambahan, yang jumlahnya kurang lebih sama. Camkanlah perbandingannya dengan jumlah total ekspor dunia dalam satu tahun, yang berjumlah sekitar US $ 6.5 trilyun, sehingga kita bisa membayangkan: betapa luar biasa besarnya jumlah transaksi moneter yang tak berkaitan dengan perdagangan nyata.23
Total saham aset-aset keuangan seperti saham
perusahaan dan macam-macamnya, obligasi (hutang)
negara, dan lain sebagainya, naik dari 5 trilyun dollar,
pada tahun 1980, menjadi 35 trilyun dollar, pada tahun
1992, dan diharapkan akan naik lagi menjadi 80 trilyun
dollar, dan itu artinya tiga kali lipat nilai total barang dan
jasa yang diproduksi oleh ekonomi kapitalis maju. Begitu
banyaknya uang yang dispekulasikan menjadi uang,
tanpa menjadi produksi riil, tanpa menjadi perdagangan
nyata, sehingga bila tak diatasi akan memperbesar
dan mempercepat pecahnya gelembung finansial yang
mematikan produktivitas dan kemampaun daya beli
masyarakat. Bahkan seorang Keynes pun percaya bahwa
kebangkitan kapital finansial, sebagaimana yang terjadi
pada tahun 1920-an, akan mengakhiri rasionalitas
kapitalis, mengubah perusahan produktif, menjadi
(dalam bahasanya) suatu “gelembung di atas pusaran-
air spekulasi”24.
Semua hukum-hukum tersebut, pada akhirnya (dalam
siklus krisis), akan menghasilkan ekses lanjutan:
Secara tipikal, bisa disimpulkan, bahwa suatu perputaran krisis muncul akibat adanya kesenjangan antara nilai dengan harga: selama periode boom, karena harga-harga dan keuntungan meningkat, bahkan kapitalis yang paling tak efisien pun bisa menghasilkan laba. Dan karena setiap orang berupaya merebut peluang, maka terjadi kelangkaan, yang akan menyebabkan naiknya harga-harga dan keuntungan yang lebih besar lagi. Tingkat harga rata-rata meningkat lebih tinggi dan lebih tinggi lagi di atas tingkat nilai rata-rata. Akibatnya, modal yang kurang efisien akan tersingkir bersama tenaga kerja sosial yang tak bisa digunakan lagi (pemborosan).
Demikian pula, kesenjangan antara nilai dengan harga menjadi terlalu besar, sehingga tiba-tiba menyebabkan sebagian besar kapitalis tak mungkin lagi bisa mendanai biaya produksi25 dan menghasilkan keuntungan normalnya. Depresi/resesi klasik diatasi dengan meredam kontradiksi yang paling penting, yakni mengupayakan keseimbangan (kembali) antara nilai dengan harga—terutama melalui pernyataan pailit atau pengambilalihan perusahaan-perusahaan yang kurang efisien—atau, dengan kata lain: penghancuran kapital.26
Redaksi Monthly Review percaya bahwa kapitalisme
memiliki wajah yang baru: pertumbuhan yang melambat,
kapital berekses, dan menggunungnya hutang. Sektor
finansial ekonomi kapitalis tidak lagi sekadar diarahkan
demi kebutuhan produksi, meningkatkan kesempatan
kerja, dan investasi. Dimulai sejak tahun 1980-an,
sektor finansial semakin menjadi bentuk otonom mata
pencaharian (mencari uang), khususnya di pasar-pasar
derivatif. Kecepatan pertumbuhan dan ambruknya
nilai-nilai finansial menambah resiko bahkan pada
kesejahteraan individual. Dan karena sektor finansial
secara keseluruhan merupakan bagian yang sangat
penting, maka resikonya pun akan membebani ekonomi
secara keseluruhan—apalagi bank bisa meminjamkan
hingga 95% dana bagi aktivitas pembelian derivatif.
Dalam kapitalisme monopoli, ekses kapasitas tidak
21 Friedrich Engels, catatan untuk Karl Marx, Capital, Jilid 3, http://marxists.org/archive/marx/works/-1894-c3/pref.htm.
22 Allen Myeers, “Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional”, Jurnal Kiri, Volume.3, ,hal. 114, Neuron, [email protected].
23 Fidel Castro Ruz, Arsitektur Keuangan Internasional, Apendiks pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.
24 Lihat John Bellamy Foster, The End of Rational Capitalism, Monthly Review, March 2005.
25 Padahal, bersamaan dengan ketidakberdayaan kapitalis mendanai biaya produksnya lagi, sebagian keuntungan yang lalu sekarang (oleh kapitalis) lebih nyaman dispekulasikan/diperjudikan di bursa-bursa saham, pasar-pasar valas dan lain-lain derivaitif keuangan lainnya—penulis.
26 Opcit, hal. 105.
8
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
bisa dipandang sekadar sebagai gejala temporer yang
berkaitan dengan siklus penurunan bisnis. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Josef Steindl dalam tulisannya
Maturity and Stagnation in American Capitalism (New
atau “ketidakseimbangan” ekses kapasitas bisa saja
“dalam makna praktis…permanen”, selalu mengekor
pada kecenderungan fundamental ekonomi yang sedang
menuju stagnasi.27
Bahkan Bank Dunia, saat menilai Asia Timur, pun
berkata:
…tak diragukan lagi bahwa hidup puluhan juta manusia akan semakin terpuruk dalam beberapa tahun ke depan. Krisis yang demikian parah sekarang ini merupakan peringatan bahwa penderitaan atas hilangnya potensi manusia tetap akan terasa selama bertahun-tahun sekalipun krisis tersebut sudah berlalu. Anak-anak yang terpaksa harus putus sekolah telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Di Indonesia, sebagai contoh, pejabat pemerintahnya melaporkan bahwa jumlah yang mendaftar sekolah menurun secara drastis, dari 78% menjadi 54%. Tekanan ekonomi telah memaksa banyak keluarga tercerai berai, memaksa gadis-gadis belia menjadi pelacur, dan menyebabkan para manula miskin terancam hidupnya.28
Nampaknya krisis dunia memang akan merupakan siklus
krisis jangka panjang. Krisis Asia menandai permulaan
sebuah siklus krisis kelebihan produksi (cyclical
overproduction) dalam perekonomian dunia, seperti
yang terjadi pada tahun 1974-1975, pada tahun 1980-
1983, pada tahun 1990-1993, pada tahun 1997-2000-an
dan, sekarang, tanda-tandanya sudah mulai kelihatan
(dengan adanya krisis finansial ekonomi Amerika). Dalam
laporan World Economic outlook, IMF memperkirakan
bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil
dunia pada tahun 1998 hanya akan meningkat 2% saja.
Laporan tersebut juga memberikan catatan: “Pada tahun
1999, peluang-peluang beberapa perbaikan signifikan
juga telah menurun, dan resiko kemerosotan yang lebih
dalam, lebih luas dan lebih panjang telah meningkat.”29
Krisis tersebut tidak saja sudah dan akan melanda Asia
(termasuk Jepang dan Korea Selatan), tapi juga sudah
dan akan melanda Amerika dan Eropa, yang ditandai
dengan stagnasi relatif dalam pertumbuhan.30
Kadar krisis tersebutlah yang akan menarik-ulur taring
korporatokrasi. Dan, seperti biasanya, melalui IMF,
akan diyakinkan bahwa obat bagi krisis tersebut adalah
kebijakan-kebijakan mutakhir kapitalisme yang sesuai
dengan hukum besinya—konsentrasi/sentralisasi
tenaga produktif; akumulasi kapital; dan perluasan
hutang luar negeri sektor swasta; penurunan tingkat
permintaan domestik melalui kebijakan suku bunga
tinggi dan surplus anggaran pemerintah (termasuk
potongan segala macam subsidi); serta “reformasi”
struktural untuk menghilangkan hambatan-hambatan
yang menghalangi pasar “bebas” (termasuk privatisasi).
Kebangkrutan kapital Dunia Ketiga dapat membantu
menaikan rata-rata keseluruhan tingkat keuntungan dan,
di akhir perang dingin, imperialisme tak lagi merasakan
adanya kebutuhan untuk memajang etalase “macan”
ekonomi sebagai kontra terhadap contoh-contoh ekonomi
“komunis’ dari Cina dan Uni Soyet. Sebagi altenatifnya,
hanya diberi sogokan (wortel) pembangunan terbatas;
sedangkan untuk mempertahankan ketertiban kapitalis
di negeri-negeri semi-kolonial, mereka lebih banyak
tergantung pada kekerasan (tongkat)—seperti di Irak.
Namun demikian, bagi imperialisme, peningkatan
penghisapan Dunia Ketiga tak cukup untuk mengatasi
krisis. Sekarang ini, juga merupakan suatu periode
persaingan sengit antar-imperialis, yang bentuknya
berbeda-beda.
Suatu respon terhadap krisis kelebihan produksi
adalah meningkatkan monopolisasi (baca: konsentrasi/
sentralisasi tenaga produktif): melalui penghancuran
atau menyerap para pesaing Dunia Ketiga, juga melalui
pengambilalihan atau merjer. Respon terhadap dua
bentuk kapital—kapital produktif dan kapital finansial—
adalah berkembangnya maniak merjer, yang skalanya
dijadikan jaminan apakah mampu atau tidak keluar dari
krisis.
Neoliberalisme, globalisasi krisis
27 Lihat The New Face of Capitalism: Slow Growth, Excess Capital, and a Mountain of Debt, Editors, Monthly Review, April, 2002.
28 The World Bank, East Asia: The Road to Recovery, Washington, DC, 1998, hal, IX.
29 International Monetary Fund, World Economic Outlook: October 1998, Washington DC, 1998, hal.1, dalam Allen Myeers, “Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional”, Jurnal Kiri, Volume.3, hal. 114, Neuron, [email protected].
30 Untuk melihat angka-angkanya, lihat Robert Brenner, From Neoliberalism to Depression?, Against the Current, November/Desember 1998, hal.22.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
9
Bahasan: Korporatokrasi
Bahkan termasuk spekulator besar seperti George Soros
pun merasa khawatir bahwa “globalisasi” dan kebijakan
“pasar bebas” neoliberal yang sudah diberlakukan
akan mengenyampingkan partisipasi rakyat pekerja,
dan menggantikannya dengan hukum kapital yang
akan membangkitkan “keresahan sosial yang massal”.;
demikian pula majalah Inggris, Economist, yang jelas-
jelas merupakan juru bicara paling gigih kapitalis
laissez-faire (siapa kuat, dia menang) sejak majalah itu
diterbitkan pada awal abad ke-19, bekomentar:
“…Dalam bidang ekonomi, dunia sudah ditata menjadi suatu kesatuan aktivitas. Dalam bidang politik, masih saja…terpecah-pecah. Tekanan antara kedua kecenderungan antitesis yang saling berlawanan tersebut telah menghasilkan runtunan pukulan, kejutan dan menghancurkan kehidupan sosial manusia.”31
Economist sebenarnya merujuk pada krisis ekonomi yang
lebih besar dari Great Depression, yang diglobalisasikan
ke seluruh negeri-negeri kapitalis, pun bukan sederet
krisis keuangan dan kejatuhan ekonomi seperti di Jepang
(1989), di Mexico (1994), di Korea Selatan, di Thailand
dan di Indonesia (1997), serta di Rusia (1998). Sebut saja
salah satu contoh menyedihkan: kenaikan suku bunga
di Amerika mendorong kenaikan suku bunga di seluruh
dunia, merusak nilai kredit-bermanfaat negeri-negeri
yang berhutang banyak. Negeri-negeri yang bermodal
minim mencoba untuk mengekspor guna mencari jalan
keluar dari krisis keuangannya, namun proteksionisme
meningkat, beban hutang menjadi semakin berat,
kegagalan demi kegagalan memaksa sistim keuangan
internasional semakin menegang. Pemotongan upah dan
rencana-rencana penghematan lainnya, yang nampaknya
dianggap sebagai solusi yang paling “realistik” bagi
setiap orang, justru semakin membuat kacau persoalan.
Ekonomi pinggiran, yang cadangan keuangannya tak
memadai, menunda pembayaran-pembayarannya
karena kondisi kapital yang kabur (capital flight)
semakin buruk.
Dan menurut Castro:
Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan sebagai lampiran doktrin, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pada tahap/masa neoliberal tidaklah
lebih tinggi ketimbang yang dicapai oleh kebijakan pembangunan (negara) sebelumnya. Setelah PD II, Amerika Latin tak memiliki hutang sama sekali tapi, sekarang, berhutang sebesar 1 trilyun dollar. Itu merupakan hutang per kapita tertinggi di dunia. Kesenjangan pendapatan antara si kaya dengan si miskin juga terbesar di dunia. Saat ini, Amerika Latin, mengalami saat yang paling berat sepanjang sejarahnya karena semakin banyak orang miskin, pengangguran, dan yang kelaparan.
Sebenar-benarnya, di bawah kebijakan neoliberalisme, ekonomi dunia ternyata tidak mengalami pertumbuhan yang pesat; tapi, malahan lebih sering tidak stabil, lebih banyak spekulasi, peningkatan hutang luar negeri dan pertukaran/perdagangan yang tak setara. Demikian juga, terdapat kecenderungan lebih besar dan semakin seringnya krisis keuangan, sementara kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan antara negeri-negeri Utara (yang makmur) dengan negei-negeri Selatan (yang dimiskinkan) malah makin melebar.
Dalam dua tahun terakhir ini, krisis, instabilitas, kekacauan dan ketidakpastian merupakan kalimat yang biasa digunakan untuk menjelaskan tatanan ekonomi dunia.
Deregulasi—yang melekat dalam neoliberalisme—dan liberalisasi nilai kapital telah memberikan dampak negatif sangat mendalam terhadap ekonomi dunia karena mengakibatkan ledakan spekulasi mata uang dan pasar-pasar yang terkena dampaknya, yang transaksi hariannya (sebagian besar spekulatif) bernilai tak kurang dari 3 trilyun dollar.32
Setelah semua penjelasan di atas, atau setelah perluaan
pada tahap inilah, keniscayaan korporatokrasi mulai
nampak:
Globalisasi neoliberal tak lain dan tak bukan adalah
globalisasi (perluasan ke seluruh penjuru dunia)
kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial neoliberal.
Namun kebijakan-kebijakan tersebut tak ada urusannya
dengan, atau bertujuan untuk, memperlemah kekuasaan
penekan negara-bangsa terhadap rakyat pekerja,
atau bertujuan memperlemah kekuasaan penekan
negara-bangsa imperialis, khususnya negara-bangsa
Amerika Serikat, terhadap penjuru duna lainnya. Malah
sebaliknya, mereka bertujuan menjamin bahwa pasar
penjuru dunia lainnya dibuka bagi barang-barang dan
investasi mereka.
31 Lihat Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, hal. 115-116, Neuron, [email protected].
32Fidel Castro Ruz, Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga, pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.33 Kontradiksi kapitalisme, bagaimanapun juga, tidak bisa dihilangkan dalam kerangka-kerja kapitalisme, tak peduli seperti apapun demokrasi politik yang dijejalkannya. Kontradiksi tersebut hanya bisa diakhiri bila perbudakan tenaga kerja manusia oleh hukum-hukum pasar diakhiri dan digantikan oleh sosialisasi tenaga produktif (termasuk tenaga kerja manusia), yang diabdikan pada pengawasan demokratik agar tenaga produktif (termasuk tenaga kerja) tersebut dapat diorgansir secara kolektif atau, dengan kata lain, digantikan oleh: sosialisme.
10
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Tak cocok dengan doktrin “pasar bebas” liberal, pembuat
kebijakan imperialis yang ada di Washington begitu
mengerti bahwa kekuatan kekerasan yang terorganisir,
sebagai esensi kekuasaan negara, merupakan alat yang
sangat dibutuhkan (krusial) dalam kebijakan ekonomi,
dan merupakan instrumen yang menentukan dalam
memutusakan siapa yang akan jadi pemenang dan
siapa yang akan menjadi pecundang dalam kompetisi
global mengakumulasi kapital di antara geng pengeruk
keuntungan yang saling berseteru. (Siapapun yang ragu
akan hal tersebut, harus mengujinya dengan pengalaman
ekonomi Irak sejak Perang Teluk.)
Berbeda dengan pendapat kaum terpelajar borjuis,
intelektual-intelektual mantan-radikal dan liberal-kiri,
yang berpendapat bahwa globalisasi neoliberal telah
memperlemah kekuasaan negara-bangsa, ternyata kapital
Amerika Serikat terus menerus memperkuat kekuasaan
penekan negara-bangsanya dengan meningkatkan
pembelanjaan untuk mesin-mesin militernya melebihi
seluruh pembelanjaan militer enam negeri kuat yang ada
sekarang ini.
Dan organisasi-organsisai penguasa imperialis, yang
harus memaksakan kebijakan-kebijakannya kepada
negeri-negeri kapitalis berkembang, seperti WB, IMF
dan lainnya, sebenarnya bukanlah lembaga-lembaga
yang anggotanya terdiri berbagai nasionalitas (supra-
national). Lembaga-lembaga tersebut, sebenarnya,
merupakan cerminan kekuasaan negara-bangsa
imperialis (terutama) yang paling kuat, Amerika Serikat,
dalam ekonomi global dan, langsung atau tak langsung,
merupakan cerminan perusahaan-perusahaan besar
transnasional, cerminan korporatokrasi (rahasia atau
terbuka)—bisa saja disebut neo-korporatokrasi.
Kesimpulan
1. Bahwa korporatokrasi, pada tahap tertentu
kapitalisme, merupakan salah satu (dari banyak)
pranata (institution) keniscayaan dalam upaya
borjuis menggunakan negara sebagai instrumen
bagi kepentingan-kepentingannya karena, seperti
kata Marx dan Engels, walaupun negara (borjuis)
itu merupakan hasil bentukkan borjuis (kadang
dengan memanipulasi rakyat/kelas pekerja
pengikutnya), namun negara (borjuis) tak akan
serta merta melengkapi mesin-mesinnya sesuai
dengan keinginan hukum-hukum kapitalisme;
kadang, terutama dalam sistim kapitalisme yang
sudah lebih maju, negara merupakan cerminan
persaingan borjuis, yang di dalamnya mereka saling
berebut pengaruh (penaklukan) karena, biasanya
(secara tradisi), borjuis lama (Rockefellers, Ford,
Mellons, Morgans, DuPonts, Whitneys, Warbugs,
Vanderbilts) sudah terlalu lama mendekam
menguasai negara, menindas kesempatan borjuis
baru dalam menggunakan negara sebagai instrumen
kepentingan-kepentingannya; atau negara (borjuis)
sedang dalam “ancaman” digulingkan oleh kaum
revolusioner, atau sedang sekadar digerogoti oleh
kaum sosial demokrat;
2. Selama mesin-mesin negara (beserta ideologinya)
belum lengkap, belum sempurna bersesuaian
dengan, mengakomodir, kepentingan-kepentingan
borjuis (termasuk membantu mengatasi krisis-
krisisnya), maka korporatokrasi dibutuhkan
oleh borjuis dan, oleh karena itu, karakternya:
transisional. Masalahnya: korporatokrasi tak
akan bisa menyelesaikan krisis kapitalisme;
korporatokrasi bukan pranata (institution) untuk
menyelesaikan krisis tapi, (terutama) pada saat
krisis, ia sekadar pranata (institution) untuk
menyelamatkan individu dan/atau klik borjuis
dengan cara (seperti telah dijelaskan di atas):
perampokan fiskal dan penindasan (bila ada
perlawanan).
Rekomendasi:
Hanya ada dua jalan pilihan: pertama, selagi kita masih
hidup, agar keseluruhan sistim kapitalisme tidak ambruk,
turut membantu memperpanjang hidup kapitalisme
dengan mendukung perampokan fiscal (bailout)
seraya menuntut ceceran jaring pengaman sosial. Dan
hasilnya bisa dinikmati selagi kita masih hidup; atau
kedua, selagi kita masih hidup, menggulingkan sistim
kapitalisme dengan mempercepat persatuan di kalangan
kiri dan/dengan kalangan progresif guna mempercepat
pembentukan/perluasan kekuatan alternatif rakyat
mandiri, alternatif dan mandiri terhadap kekuatan-
kekuatan politik lama dan reformis gadungan. Dan
hasilnya belum tentu bisa dinikmati selagi kita masih
hidup33; tak ada pilihan lain.
Daftar Acuan
Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte ,
dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works,
dalam 1 Jilid, London ,1970.
----------Theories of Surplus Value, bagian 1, Progress
Publishers, Moscow, 1963.
Friedrich Engels, Asal Usul Keluarga, Milik
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
11
Bahasan: Korporatokrasi
Perseorangan dan Negara, dalam Lenin, Negara dan
Revolusi, http://marxists.org/indonesia/-archive/
lenin/1917/negara/state2.htm.
----------Socialism: Utopian and Scientific, dalam Karl
Marx dan Friedrich Engels, Selected Works (dalam 3
Harnecker, M. (2005). On Leftist Strategy. Science & Society, 69
(2):142-152.
Harvey, D. (2003). The New Imperialism. Oxford: Oxford
University Press.
Hill, H., (1990). Investasi Asing dan Industrialisasi di
Indonesia (diterjemahkan oleh Burhanuddin Abdullah dari
Foreign Investment and Industrialization in Indonesia).
Jakarta: LP3ES.
Lenin, V.I., (1982). Imperialism: The highest stage of
capitalism. Moscow: Progress Publisher.
--------------., (1943). State and Revolution. New York:
International Publisher.
Lindblad, J.T., (2002). The Outer Islands in the 19th century :
Contest for periphery, in Howard Dick,et,al, eds, The Emergence
of a National Economy, an economic history of Indonesia,
1800-2000, Honolulu: Allen & Unwin and University of Hawai’I
Press.
Marcuse, P. (2000). The Language of Globalization. Monthly
Review, 52 (3):23-27.
Pangaribuan, R. (1996). The Indonesian State Secretariat 1945
– 1993. (translated by Vedi Hadiz. Jakarta: Sinar Harapan.
Perkins, J., (2004). Confessions of an Economic Hit Man. San
Francisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc.
Marx, K. (1976). Capital: A critique of Political Economy
(Volume one) (Translated by Ben Fowkes). London: Penguin
Books.
Ransom, D., (1970). The Berkeley Mafia and the Indonesian
Massacre. Ramparts, 9 (4): 27-29, 40-49.
Robinson, K.M., (1986), Stepchildren of Progress,the Political
Economy of Development in an Indonesia Mining Town,
Albany: State University of New York.
Robison, R. (1986). Indonesia: The rise of capital. Sydney: Allen
& Unwin.
Robison, R. and Hadiz, V.(2004). Reorganizing Power in
Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. New
York: RoutledgeCurson.
Sangaji, A. (2002). Buruk Inco Rakyat Digugat: Ekonomi
politik pertambangan Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
ter Braake, A. L, (1977). Mining in the Netherlands East Indies,
New York: Arno Press.
20
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Korporatokrasi (corporatocracy), saat ini menjadi
terminologi baru yang dikaji banyak kalangan. Istilah ini
sering digunakan untuk menggambarkan keadaan saat
pemerintah dalam banyak hal bekerja di bawah tekanan,
tunduk kepada, dan sekaligus melayani kepentingan
perusahaan swasta besar.
John Perkins mengartikan korporatokrasi sebagai “a
system of governance controlled by big corporations,
international banks, and government”.1 Tujuan
akhirnya adalah melanggengkan tatanan global yang
pro-akumulasi modal. Amin Rais menggunakan istilah
korporatokrasi sebagai sistem atau mesin kekuasaan
yang bertujuan untuk mengkontrol ekonomi dan
politik global yang memiliki 7 unsur, yaitu: korporasi-
korporasi besar; kekuatan politik pemerintahan tertentu;
perbankan internasional; kekuatan militer; media massa;
kaum intelektual yang dikooptasi; dan elit nasional yang
bermental inlander.2
Meskipun belum dikenal secara umum di antara
kalangan akademik, setidaknya istilah baru ini mampu
memberi penjelasan secara tepat tentang kekuasaan yang
sedang mengontrol dunia. Merekalah para kelompok
yang mendominasi sistem sosial, politik dan ekonomi
masyarakat sehingga berjalan di atas hukum pasar
ekonomi neoliberal saat ini. Korporatokrasi tidak hanya
membuka tabir gelap tentang kekuasaan segelintir elit
yang zalim di panggung kekuasaan, namun membongkar
motif penyingkiran Negara dari wilayah-wilayah publik
dan hanya menjadikannya sebagai penjaga malam bagi
berjalannya kepentingan perusahaan-perusahaan besar
mengeruk keuntungan.
Ekonomi Partikelir di Era Neokolonialisme *
Oleh: Dani Setiawan dan Longgena Ginting
* Naskah Diterima oleh Redaksi pada 20 Oktober 2008
1 John Perkins, Confession of an Economic Hit Men, (2004), hal. Xii.2 Amin Rais, Selamatkan Indonesia, (Yogyakarta: PPSK Press, 2008), hal. 82-83.
Ungkapan ini setidaknya membantu kita untuk
menjelaskan mengapa di Negara Indonesia yang
kaya ini masih terdapat banyak orang miskin dan
pengangguran. Mengapa emas, tambang, batubara, gas,
minyak yang terus diambil dari bumi Indonesia tidak
memberi dampak bagi meningkatnya kesejahteraan
rakyat. Dalam kasus lain, istilah korporatokrasi dapat
memberi penerangan yang jelas mengapa seolah tidak
tersedia alternatif pembiayaan selain utang luar negeri
yang notabene menciptakan ketergantungan ekonomi
yang tinggi kepada Negara lain. Bagaimana mungkin
rakyat harus menanggung beban pembayaran utang
yang sangat besar, sehingga subsidinya harus dicabut.
Sedangkan di sisi lain sejumlah perbankan (termasuk
perbankan asing) menikmati “subsidi” terselubung dari
Negara lewat pembayaran obligasi.
Penelusuran lebih jauh terhadap masalah ini akan
menghasilkan fakta historik kekuasaan lembaga-lembaga
keuangan internasional di Indonesia dalam mengkontrol
kebijakan ekonomi. Transaksi utang luar negeri telah
berhasil membentuk aliansi transnasional antara elit di
Negara-negara kreditor dengan elit penguasa di tingkat
domestik. Persekutuan ini melahirkan kerjasama yang
apik dalam merancang kembalinya kekuatan kolonial,
terutama perusahaan-perusahaan transnasional
dalam mendominasi struktur ekonomi dan politik di
Indonesia.
Sejarah Kolonialisme
Kolonialisme di nusantara ditandai dengan tindak
eksploitasi manusia melalui sistem perundang-undangan
yang berlaku, seperti pajak tanah (landrente), kerja
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
21
Bahasan: Korporatokrasi
pada pihak Belanda. Kedua, atau mereka yang sengaja
berkolaborasi dengan Belanda untuk kepentingannya
sendiri. Teori “kolaborasi” ini menjelaskan mengapa
orang Eropa dalam jumlah sedikit – sering cuma
segelintir – sanggup terus berkuasa di dunia non Eropa:
Elit pribumi terbukti bersedia bekerjasama karena di
bawah tekanan, dan ada pergeseran dalam perimbangan
kekuatan. Ini juga menjelaskan mengapa kekuasaan
kolonial berakhir ketika sebuah elit nasionalis baru
membatalkan kerjasama mereka.4
Para elit bermental inlander tersebut memilih untuk
takluk di bawah kekuasaan kolonial dan rela menjual
harga diri dan tanah airnya demi memperoleh dukungan
politik Belanda. Demikian seterusnya politik kolonial
menjadikan kekuasaan para raja untuk melakukan
penindasan kepada rakyat untuk mengeksploitasi hasil
bumi Indonesia. Tak kurang Belanda pun menjadi peyulut
dan sumber perselisihan antar kerajaan atau praktek
adu domba untuk memastikan penguasa-penguasa lokal
tunduk pada aturan-aturan kolonial.
Begitulah kekuasaan pada masa itu dijalankan untuk
memenuhi motif memperoleh kehormatan dan
keagungan. Belanda telah mengembangkan teori-teori
imperialisme dengan cara mengawinkan birokrasi
pribumi dengan birokrasi Barat atas nama pemerasan
dan penindasan. Walaupun mengalami keterlambatan
dalam ekspansi kolonialisme, Belanda telah berhasil
melakukan perluasan-perluasan wilayah kekuasaannya
di Indonesia dan menjadi salah satu Negara di Eropa
yang kuat dan cukup disegani oleh para Negara kolonial
lainnya seperti Inggris dan Perancis.
Pelajaran dari VOC masa lalu di Indonesia, menjadi
gambaran bahwa praktek korporatokrasi sudah lama
terjadi di Indonesia. Adapun terjadi kemiripan dengan tipe
kekuasaan saat ini, lebih merupakan bentuk transformasi
praktek kolonialisme dalam era neoliberalisme. Sejarah
sungguh bukan berulang, tetapi hampir tidak ada
interupsi dari praktek eksploitasi ekonomi di Indonesia.
Struktur perekonomian Indonesia tidak pernah berubah.
Perusahaan besar dan perusahaan menengah berada di
tangan bangsa asing dan warga keturunan. Sementara
rakyat Indonesia hanya menjadi kuli dari keseluruhan
proses produksi yang sedang berlangsung.
Sejak jauh hari wakil presiden Muhamad Hatta
paksa (culture stelsel), kuli kontrak (onderneming), dan
sistem feodalisme yang sangat menindas.
Tentang riwayat berkuasanya perusahaan di panggung
politik pemerintahan, sesungguhnya sudah terjadi sejak
lama. Dalam sejarah kolonialisme Indonesia, sebuah
perusahaan swasta Belanda VOC (Vereenigde Oost-
Indische Compagnie) melakukan ekspansi imperialisme
pada awal abad 17, dan diteruskan oleh Pemerintahan
Belanda hingga berakhirnya Perang Dunia II. Peran
VOC dalam proses kolonialisme di Indonesia menarik
untuk diperhatikan. Sebuah perusahaan swasta Belanda
yang sangat kuat karena pengaruhnya terhadap
pemerintahan.
Ekspansi perdagangan VOC yang telah berhasil menguras
sumber daya alam di kepulauan Indonesia saat itu tidak
lepas dari dukungan politik pemerintahan Belanda.
Bukan hanya itu, hak monopoli dagang di Hindia Timur
(Nusantara) yang diberikan oleh pemerintahan Belanda
menjadikan perusahaan ini memiliki wewenang untuk
menduduki wilayah manapun yang dikehendakinya.
Semua hal tersebut dilakukan oleh VOC dengan dukungan
militer serta persenjataan lengkap yang disediakan oleh
pemerintah Belanda.
Hasilnya, pada tahun 1669 VOC menjadi perusahaan
swasta terbesar di dunia, memiliki 150 kapal dagang,
40 kapal perang, 50.000 karyawan, angkatan darat
swasta sebesar 10.000 prajurit, dan pembayaran
deviden sebanyak 40%.3 Tidak hanya armada dagang
dan armada perang, kekuatan kolonial juga memelihara
para intelektual yang bertugas untuk memberikan
saran akademis dan melakukan justifikasi atas praktek
imperialisme di negeri jajahan. Praktek kongkret dapat
kita lihat dalam peran Snouge Hugronge memberikan
saran kepada pemerintah Belanda tentang bagaimana
cara memerangi rakyat Aceh.
Meskipun dukungan militer dan pemerintah yang
kuat, serta para “intelektual tukang” yang berada di
sekitarnya, kekuasaan VOC niscaya tidak akan pernah
besar tanpa dukungan elit penguasa lokal yang memilih
tunduk kepada pihak Penjajah. Meski dapat diurai
berbagai alasan yang mendasarinya, ketertundukan para
penguasa lokal disebabkan oleh dua hal. Pertama, mereka
yang memilih tidak melakukan perlawanan karena
ketidakseimbangan kekuatan dan memilih menyerah
3 http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch-East-India-Company4 Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial; Hubungan Jambi – Batavia dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, (Jakarta: Mei 2008), hal. 22
22
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
mengingatkan ancaman kembalinya praktek
imperialisme melalui kekuatan korporasi. Hatta (1967)5
menyebut di dalam pasal 33 sebagai sendi politik
perekonomian nasional tercantum cita-cita ekonomi
berencana di mana pemerintah memiliki peranan yang
menentukan. Ayat (1), (2), dan (3) pasal 33 merupakan
bagian dari upaya mewujudkan demokrasi ekonomi,
terdapat pembagian yang jelas antara sektor-sektor
yang dapat diselenggarakan secara privat dengan sektor-
sektor yang harus diselenggarakan secara kolektif.
Dalam sistem pasal 33 UUD 1945, perusahaan berskala
kecil dan besar dapat dikerjakan oleh koperasi. Dan
usaha yang besar-besar dikerjakan oleh pemerintah.
Bukan saja perusahaan yang tergolong masuk “public
utilities” diselenggarakan oleh pemerintah, melainkan
juga cabang-cabang produksi yang penting sebagai
industri dasar, tambang dan lain-lainnya dimiliki atau
dikuasai oleh pemerintah. Dalam pengelolaannya, Hatta
menyebutkan bahwa pemerintah dapat menyerahkan
manajemen perusahaan kepada orang-orang yang
cakap dan tenaga ahli yang disewa dari luar negeri,
asalkan dapat dipercaya dan bertanggung jawab kepada
pemerintah.
Inisiatif partikelir (swasta) tetap diberikan tempat oleh
pemeritah asalkan sejalan dengan strategi perekonomian
yang telah dibuat. Tetapi seiring dengan meningkatnya
kemampuan koperasi untuk mengelola usaha-usaha
sedang dan besar, pihak swasta diharapkan semakin kecil
peranannya dalam perekonomian nasional. Hal tersebut
sejalan dengan semangat kolektifitas yang menjadi ciri
dalam pengelolaan perekonomian Indonesia merdeka
yang dicita-citakan. Sebagaimana dikhawatirkan oleh
Hatta, bahwa suatu politik perekonomian yang didasarkan
pada inisiatif partikelir hanya akan membuka jalan bagi
masuknya kapitalis asing ke Indonesia. Dan, dengan itu,
sejarah kolonialisme ekonomi, berulang kembali.
Ciri kolektifisme dalam ekonomi Indonesia bertolak
belakang dengan pendirian ekonomi pasar yang dianut
ekonomi neoliberalisme. Desain ekonomi nasional
dalam skenario konstitusi tersebut diarahkan untuk
membuka kesempatan bagi rakyat untuk terlibat di
seluruh lapangan perekonomian. Rakyat terlibat dalam
proses produksi, distribusi dan menikmati hasil-hasil
produksi. Identitas kolektifisme dalam perekonomian
Indonesia dianggap yang paling sesuai dengan tradisi
gotong-royong masyarakat Indonesia dan saling tolong-
menolong.
Konsep kolektifisme berbeda dengan persaingan bebas
(free competition) dan pasar bebas (free market) yang
oleh kaum Smithian dianggap dapat menghasilkan
efisiensi ekonomi. Di dalamnya, kebebasan individual
dalam ekonomi harus diberikan seluas-luasnya untuk
mengoptimalkan pamrih pribadi (self-interest).
Dalam perekonomian yang bebas, proteksi dan subsidi
dianggap sebagai penyakit yang menimbulkan distorsi
pasar sehingga menyebabkan pemborosan dan efisiensi.
Begitu berkuasanya “pasar” hingga dapat mengalahkan
kepentingan umum rakyat dan menggadaikan
kedaulatan bangsa. Hingga kita patut bertanya, siapakah
yang disebut “pasar” oleh para ekonom dan pengkhotbah
neoliberalisme itu. Apakah menunjuk pada pasar
tradisional yang umum kita kenal di Indonesia seperti
pasar Bringharjo di Yogyakarta, pasar Tanah Abang di
Jakarta, atau justru yang dimaksud sebenarnya adalah
pasar keuangan?.
Prof. Sri Edi Swasono menjelaskan bahwa pasar adalah
the global financial tycoon atau para taoke keuangan
global dengan para fund manager mereka.6 Si miskin,
acapkali sekedar merupakan penonton dan sekaligus
sebagai objek pasar, tetapi bukan penentu keputusan-
keputusan pasar. Para taoke keuangan global ini
membentukkan diri sebagai ”a global governance” yang
terstruktur dalam jaringan trans national corporation
(TNCs) yang mencapai jumlah 37.000 (2002), Bank
Dunia, IMF, G8, TC (Trilateral Commision Forum)
dan seterusnya. Dalam definisi ini, jelas kiranya yang
dimaksud adalah kebijakan ekonomi yang harus ramah
kepada pasar, dimaksudkan untuk melayani kepentingan
korporasi dan lembaga-lembaga keuangan internasional
ini.
Jangkauan wilayah ekspansi bisnis korporasi
multinasional yang luas menjadikan kekuatan
ekonominya melebihi perusahaan-perusahaan nasional
atau negara berdaulat sekalipun. Motif mencari
keuntungan, keagungan dan kehormatan membuat
para eksekutif korporasi multinasional melakoni
perselingkuhan dengan para politisi dan pejabat di negara
asal mereka. Sama halnya di negara wilayah ekspansi,
kerjasama-kerjasama yang dilakukan bersama politisi
5 M. Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia,(Jakarta: 1985),hal.82-836 Prof.Dr.Sri Edi Swasono,Daulat Rakyat versus Daulat Pasar, (PUSTEP UGM: 2005),hal.16
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
23
Bahasan: Korporatokrasi
dan elit penguasa dilakukan demi tercapainya ambisi
mencari keuntungan. Meskipun dalam prakteknya,
harus dilakukan dengan mengorbankan kepentingan
rakyat banyak dan melanggar aturan-aturan hukum
yang berlaku.
Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945,
tragedi paling mengerikan berkuasanya korporasi asing
terjadi ketika proses peralihan kekuasaan dari Soekarno
kepada Suharto. Terlepas dari berbagai versi mengenai
situasi yang terjadi menjelang 1965 – 1967, setidaknya
ada dua peristiwa penting yang patut diperhatikan.
Pertama, beralihnya kekuasaan Soekarno kepada
Suharto telah diikuti dengan pembuatan undang undang
baru yang mendukung investasi asing di Indonesia. Pada
Agustus 1965, sebulan sebelum Peristiwa 30 September,
terbit UU Nomor 16 Tahun 1965. Isinya mencabut UU
Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal
Asing. Bagian Menimbang UU itu berbunyi antara lain
“bahwa penanaman modal asing di Indonesia, yang
bagaimanapun juga adalah bersifat menarik keuntungan
sebanyak-banyaknya dan dengan demikian menjalankan
terus-menerus penghisapan atas rakyat Indonesia,
serta menghambat jalannya Revolusi Indonesia dalam
menyelesaikan tahap nasional demokratis untuk
menjalankan Sosialisme Indonesia berdasarkan
Pancasila”. Jadi, dalam UU Nomor 16 Tahun 1965 ini
Indonesia jelas sekali mengambil sikap tegas antimodal
asing dan itu disahkan pada 23 Agustus 1965, lima
minggu sebelum Peristiwa 30 September 1965.
Banyak sudut pandang sejarah yang mencoba
menjelaskan maupun mengaburkan apa sebetulnya yang
terjadi di balik Peristiwa 30 September 1965 itu. Apa
pun model penafsirannya, satu hal jelas bahwa peristiwa
itu merupakan upaya sistematis pihak asing kembali
meletakkan Indonesia di bawah kekuasaan mereka.
Mari melihat lagi fakta sejarah. Bulan Februari 1966
keluar UU Nomor 1 Tahun 1966 tentang Penarikan Diri
Republik Indonesia dari Keanggotaan Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Internasional untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank
for Reconstruction and Development). UU ini memang
keluar setelah 30 September 1965, tetapi ia sudah
telanjur diproses sebelumnya dan baru disahkan pada
Februari 1966. Menyusul setelah itu adalah komitmen
rezim Suharto untuk melunasi utang luar negeri warisan
Hindia Belanda disepakati untuk dibayar selama 35
tahun terhitung sejak 1968. Sedangkan utang luar negeri
warisan Soekarno disepakati untuk dibayar selama 30
tahun terhitung sejak 1970.7
Kedua, dalam bulan November 1967, menyusul
digulingkannya Soekarno dan pembantaian terhadap
hampir 1 juta orang anggota dan simpatisan Partai
Komunis Indonesia, The Time-Life Corporation
mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang
dalam waktu tiga hari merancang pengambil-alihan
Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang
paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David
Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili:
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General
Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland,
British American Tobacco, American Express, Siemens,
Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel.
Di seberang meja adalah orang-orangnya Suharto yang
oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia
yang top”, begitu penuturan Jeffrey Winters.
Perekonomian Indonesia sejak saat itu dibagi-bagi
menurut kepentingan pihak korporasi internasional.
Mereka mendiktekan apa-apa saja yang menjadi
kemauannya termasuk meminta pemerintah merancang
infrastruktur hukum untuk investasi di Indonesia. Tidak
mungkin masuk dalam akal sehat kita sebuah modal
internasional dapat duduk satu meja dengan wakil
negara berdaulat dan merancang perampokan global
atas masuknya investasi asing ke negaranya sendiri.
Hasilnya adalah, Freeport mendapatkan tambang
tembaga dan emas di Papua Barat (di mana Henry
Kissinger duduk sebagai board dalam perusahaan itu).
Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel di Papua
Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari
bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan
Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan
tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan.
Dua peristiwa penting ini luput dari perhatian publik
sejak lama. Bahkan, terkesan ditutup-tutupi oleh rezim
yang berkuasa hingga saat ini. Padahal jika melakukan
penelusuran sejarah lebih mendalam, segera dapat
diketahui bahwa transisi kekuasaan politik pada masa
tersebut diikuti dengan bangkitnya kekuatan korporasi
asing menguasai sumber daya alam di Indonesia.
Peristiwa tersebut menggambarkan bagaimana kekuatan
7 Revrisond Baswir, Republik Utang, Republika, 17 April 2006.
24
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
korporatokrasi ikut terlibat dalam pembentukan sebuah
rezim otoriter Suharto. Watak otoriter dari politik
kekuasaan Suharto digunakan sebagai tameng untuk
menghadapi perlawanan rakyat terhadap praktek
investasi asing. Bahkan bagi lembaga keuangan
internasional, pelanggaran HAM terhadap rakyat yang
menolak sebuah proyek utang serta praktek korupsi atas
proyek-proyek utang yang dilakukan oleh rezim ini tidak
menghalangi mereka untuk tetap menyalurkan utang
luar negeri. Akibatnya, dalam era pemerintahan Suharto
tercatat jumlah utang luar negeri Indonesia justru
membengkak menjadi 54 miliar dolar AS.
Utang dan Korporatokrasi
Menurut Perkins, Korporatokrasi dimulai saat
World Bank/IMF/ADB menyalurkan pinjaman
untuk pembangunan megaproyek di negara miskin
atas rekomendasi fiktif buatan Economic Hit Men
(EHM). Kredit cair jika dengan syarat: tender-tender
pembangunan dihadiahkan kepada MNC/mitra lokal
atas restu korporatokrasi.
Maka, negara miskin itu terjebak utang luar negeri
ratusan miliar dollar AS yang takkan bisa dilunasi sampai
tujuh turunan. Sebaliknya, profit MNC/mitra lokal naik
setiap tahun selama proyek dikerjakan.
Derita negara itu belum selesai. Negara dunia ketiga
seperti Indonesia menjadi gagal menjalankan amanat
untuk mensejahterakan rakyat karena anggaran
negaranya habis untuk membayar cicilan dan pokok
utang. Sebagai contoh, kewajiban pembayaran cicilan
dan bunga utang luar negeri yang sudah ditunaikan
pemerintah Indonesia sampai tahun 2005 berjumlah
100.31 milyar USD. Dengan demikian kewajiban
pembayaran utang luar negeri pemerintah masih tersisa
sebesar 61.81 milyar USD. Selain itu, pemerintah masih
berkewajiban untuk membayar biaya komitmen atas
utang luar negeri yang belum dicairkan. Sampai dengan
akhir tahun 2005 lalu biaya komitmen yang sudah
dibayarkan pemerintah sudah mencapai 24 milyar USD
lebih8.
Seluruh kewajiban utang luar negeri tersebut telah
menghabiskan sepertiga belanja pemerintah dalam
APBN setiap tahunnya dan praktis membatasi alokasi
belanja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada
tahun 2008, pemerintah menghabiskan alokasi belanja
negara untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga
utang luar negeri sebesar Rp92 triliun. Ditambah beban
pembayaran cicilan bunga utang dalam negeri sebesar
Rp66 triliun, maka total alokasi APBN untuk pembayaran
cicilan pokok dan bunga utang mencapai Rp158 triliun.
Bandingkan dengan `pos anggaran pendidikan sebesar
Rp 45 triliun dan anggaran kesehatan sebesar Rp18
triliun.9
Dalam RAPBN 2009, pembayaran bunga utang dalam
dan luar negeri sebesar Rp110.327 triliun atau 2,1
persen terhadap PDB. Sebesar 77.088 triliun merupakan
pembayaran bunga utang dalam negeri, sedangkan
sisanya sebesar Rp33.239 triliun merupakan pembayaran
bunga utang luar negeri. Jumlah tersebut menunjukan
peningkatan dibandingkan realisasi APBN 2008. Kondisi
ini semakin parah jika kita memasukkan komponen
pembayaran angsuran pokok utang luar negeri sebesar
Rp59.642 triliun. Maka pembayaran cicilan pokok dan
bunga utang dalam dan luar negeri dalam RAPBN 2009
berjumlah Rp169 triliun. Pos alokasi pembayaran cicilan
pokok dan bunga utang inilah sebenarnya penyumbang
terbesar melebarnya defisit anggaran selama ini.
Kondisi perekonomian semacam ini dimanfaatkan oleh
agenda ekonomi yang sesuai dengan prinsip Konsensus
Washington. Seperti melakukan privatisasi, liberalisasi,
dan deregulasi.
Lembaga keuangan internasional mendorong kebijakan
deregulasi guna memperkokoh liberalisasi ekonomi di
Indonesia melalui transaksi utang luar negeri. Perjanjian
utang telah mensyaratkan sebuah negara untuk
membuka sektor-sektor strategis, seperti pertambangan
dan kehutanan bagi masuknya investasi asing. Pada
akhirnya, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya
praktek de-nasionalisasi ekonomi.
Kuatnya arus de-nasionalisasi ekonomi telah membentuk
kembali susunan ekonomi Indonesia di bawah dominasi
korporasi asing yang saat ini menguasai 85,4% konsesi
pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa
Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan
8 Presentasi Depkeu dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI9 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2009
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
25
Bahasan: Korporatokrasi
perbankan di Indonesia (FRI, 2007).
Hingga kini 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan
lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh
korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen
migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan
pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesia
(Prancis), China National Offshore Oil Corporation
(Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development
Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro
Energy, 2007).
Sementara itu, delapan di antara 10 besar produsen gas
di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesia
menempati peringkat pertama dengan total produksi gas
mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina
diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd
(Investor Daily, 2007).
Syarat yang lainnya adalah, pihak kreditor memaksa
dilakukan privatisasi BUMN strategis, mengurangi
subsidi bagi rakyat, membuka keran impor bagi
masuknya produk-produk dari negara maju, serta
menggenjot ekspor produk bahan mentah (tambang,
energi, kayu, dll) untuk memenuhi kebutuhan industri di
negara-negara kreditor. Tercatat selama periode 1998 –
2006 sebanyak 21 BUMN strategis di sektor perbankan,
telekomunikasi, transportasi, serta pertambangan sudah
diprivatisasi oleh pemerintah dengan berbagai skema.10
Atas rekomendasi IMF, pemerintah juga melakukan
restrukturisasi sejumlah perusahaan negara seperti PLN
dan Pertamina sebagai langkah awal menuju privatisasi
dan liberalisasi sektor migas di Indonesia bagi masuknya
investor asing.
Berbagai persyaratan (conditionalities) yang menyertai
setiap transaksi utang, sesungguhnya digunakan untuk
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi negara maju.
Misalnya kewajiban memakai konsultan asing, teknologi
serta barang-barang produksi yang berasal dari negara
yang meminjamkan utang serta persyaratan lainnya yang
mendorong pelaksanaan agenda liberalisasi ekonomi.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian sesungguhnya
mengenai utang luar negeri sebagai bentuk fasilitas kredit
pembelian barang dan jasa dari negara-negara kreditor.
Dengan mensyaratkan penggunaan jasa konsultan asing,
pembeliaan produk barang bagi kegiatan proyek yang
diimpor dari luar, maka dapat dipastikan sebagian besar
dana utang akan kembali ke negara kreditor. Belum lagi
keuntungan yang diperoleh akibat operasi perusahaan-
perusahaan asing itu di hampir semua sektor ekonomi.
Dari sisi ini, dapat diketahui bahwa keinginan berutang
dari suatu negara sebagian besar dilandasi oleh
penawaran pihak kreditor yang ingin menggunakan
instrumen utang sebagai mekanisme perdagangan luar
negerinya.
Kecenderungan tersebut didukung oleh satu teori
tentang desakan utang yang diformulasikan oleh Darity
dan Horn,11 yang mengemukakan bahwa peningkatan
akumulasi utang luar negeri pada sebagian besar
negara-negara berkembang secara substansial terjadi
akibat dorongan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
keuangan internasional yang mengguasai surplus
petrodolar. Surplus petrodolar ini sengaja di lempar
ke negara-negara berkembang karena berkurangnya
permintaan utang di negara maju. Akibatnya, banyak
proyek ekonomi di negara-negara berkembang tidak
dapat dipertanggung jawabkan secara ekonomis.
Di sinilah terletak kolaborasi antara pihak kreditor
dengan pejabat-pejabat pemerintahan terjadi. Sehingga
kebijakan ekonomi melalui pembangunan proyek-proyek
yang dibiayai oleh utang luar negeri dibuat atas rekayasa
atau tekanan pihak kreditor. Selain tidak berdampak
pada peningkatan kapasitas produksi nasional, bahkan
seringkali menjadi proyek mubazir atau tidak bisa
dimanfaatkan. Bentuk kolaborasi antara pihak loan-
pusher dengan pemerintahan juga mengakibatkan
terjadinya manipulasi nilai proyek yang dibiayai dari
pinjaman.
Di titik ini analisis Revrisond Baswir sungguh relevan
untuk diperhatikan. Transaksi utang menurutnya terjadi
dalam suatu konstruksi sosial dan ideologis tertentu,
yaitu sistem ekonomi kapitalisme.12 Dengan demikian,
untuk memahami konsepsi utang lebih jauh, penyelidikan
mengenai siapa yang membuat, memberi, dan paling
banyak mendapat manfaat dari transaksi utang-piutang
tersebut, tidak dapat dielakkan. Penyelidikan ini berlaku
di kedua belah pihak, baik di sisi pemberi utang maupun
di sisi penerima utang.
10 http://www.bumn-ri.com/#reportPriv1 http://jurnal-ekonomi.org/2008/02/06/bom-privatisasi-indonesia-2008/trackback/11 Sritua Arif, Pembangunan dan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: 1998), hal. 12412 Revrisond Baswir, Utang dan Imperialisme, 2006.
26
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Undang-undang Penanaman Modal nomor 25 tahun
2007. Undang-undang ini dibuat untuk memfasilitasi
masuknya modal asing di hampir semua sektor strategis
dan penting bagi negara. Undang-undang tersebut
diikuti dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor
76/2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan
Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman
Modal dan Peraturan Presiden Nomor 77/2007 tentang
Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha
yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal.
Lahirnya dua Peraturan Presiden tersebut sungguh
telah membuka mata banyak orang di negeri ini. Betapa
tidak, dalam peraturan inilah UU Penanaman Modal
menunjukan watak aslinya. Mendorong dominasi
kepemilikan asing terhadap sektor-sektor produksi
nasional serta mengabaikan aspek kedaulatan ekonomi
kita sebagai bangsa.13
Peran Mafia Berkeley
Kondisi Indonesia di bawah cengkraman korporatokrasi
semacam ini negeri bukanlah fenomena baru. Situasi ini
sengaja diciptakan sejak awal kemerdekaan Republik,
lalu dilanjutkan oleh para menteri dan sejumlah ekonom
jebolan Amerika yang menjadi arsitek perekonomian
Orde Baru. Para Menteri dan ekonom tersebut dikenal
dengan sebutan Mafia Berkeley. Mereka adalah kelompok
ekonom beraliran neoklasik yang berkuasa menentukan
arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama
hampir 41 tahun nyaris tanpa henti dari 1966-2007.
Pada awal pemerintahan orde baru, para ekonom
ini memang mencatat prestasi yang meningkatkan
popularitasnya. Dengan bantuan IMF, mereka berhasil
menekan inflasi sekitar 600 persen pada tahun 1966
menjadi di bawah 10 persen pada tahun 1969. Mereka
juga berhasil membekukan pembayaran utang luar negeri
selama beberapa tahun, menggalang pembuatan utang
luar negeri baru, dan menggenjot masuknya investasi
asing secara besar-besaran. Hasilnya perekonomian
indonesia tumbuh pesat rata-rata enam persen per
tahun.14
Dalam sejarahnya, kelompok mafia tersebut dipersiapkan
Dalam konsep ini, peranan elit berkuasa di kedua
belah negara memegang peranan yang cukup penting.
Kebijakan penyalurkan utang di negara kreditor dan
keputusan berutang di negara debitor dilakukan dalam
ruang kekuasaan elit yang tertutup dan jauh dari
kontrol rakyat. Sesuai dengan motivasi di atas, sangat
mungkin kebijakan utang luar negeri dibuat dengan
mempertimbangkan kepentingan korporasi, para
konsultan, serta elit politik yang mendapat bagian dari
setiap transaksi utang luar negeri.
Contoh paling anyar menjadi bukti yang relevan untuk
ditampilkan. Bagaimana lembaga-lembaga internasional
terlibat dalam proses liberalisasi sektor energi (Migas dan
listrik) di Indonesia. Terkuaknya bukti-bukti keterlibatan
IMF, USAID, Bank Dunia, dan ADB dalam mendorong
kebijakan restrukturisasi sektor energi dengan membuat
regulasi baru di sektor migas (UU Migas Nomor 22/2001)
dan listrik (UU Ketenagalistrikan No. 20/2002).
UU Migas nomor 22 tahun 2001 jelas memberikan
landasan bagi praktek liberalisasi sektor migas di
Indonesia. Pemain asing, seperti Chevron, Shell,
Petronas, dll yang telah lama menguasai cadangan
minyak nasional, bermaksud memperkuat legitimasinya
dengan ikut berbisnis di sektor hilir dengan cara
mendorong liberalisasi harga migas. Selain itu, juga
memberi landasan penting bagi keberlanjutan supply
cadangan migas nasional bagi kepentingan ekspor untuk
negara-negara maju. Sementara di dalam negeri rakyat
dan sektor industri menanggung beban berat akibat
kebijakan salah ini.
Di sektor air yang melayani hajat hidup orang banyak
kondisinya tidak jauh berbeda. Kehadiran swasta
asing lewat pembuatan UU Sumber Daya Air nomor
7 tahun 2004 menyebabkan tarif air bersih menjadi
komersial karena mengikuti hukum full cost recovery
sesuai hukum pasar. Kondisi ini menyebabkan rakyat
kecil harus membayar air bersih lebih mahal dari
pendapatannya yang juga semakin tergerus. Selain itu,
UU ini juga memungkinkan penguasaan sektor swasta
asing terhadap cadangan-cadangan air dan Daerah Aliran
Sungai bagi kepentingan komersial. Padahal, praktek ini
menyebabkan sawah pertanian menjadi kering karena
tidak mendapat aliran air.
Praktek kolonialisme yang paling akhir adalah penetapan
13 Dani Setiawan, Arah Liberalisasi Investasi, Jawa Pos, 14 Juli 2007.14 Revrisond Baswir, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: 2006) hal. 17-18.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
27
Bahasan: Korporatokrasi
secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama
sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965) sebagai
bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan
progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Disebut
dengan istilah “Mafia Berkeley” karena kebanyakan dari
generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di
Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat.
Kelompok Mafia Berkeley memiliki jaringan
internasional yang kuat dan meluas seperti USAID,
IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia.
Bahkan sumber pembiayaan utama lembaga-lembaga
akademik dan penelitian yang dikontrol Mafia tersebut
berasal dari bantuan atau grant lembaga internasional
tersebut. Tidak aneh bila produk hasil penelitian dan
rekomendasi kebijakan biasanya sejalan-sebangun
dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF-Bank
Dunia, Policy Pappers USAID atau lembaga kreditor
internasional lainnya.
Untuk menjaga agar arah strategis kebijakan ekonomi
Indonesia sejalan dengan arahan IMF-Bank Dunia,
USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan
Undang-undang atau peraturan pemerintah yang
dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri. Dengan
mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional
Indonesia dijamin menjadi sub-ordinasi kepentingan
global. Mekanisme mengaitkan utang luar negeri dengan
penyusunan Undang-undang dan peraturan pemerintah
juga menyebabkan adanya intervensi kepentingan global
terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia.
Hal inilah yang menjadi penyebab utama ketertinggalan
ekonomi Indonesia sejak lama, sekaligus menempatkan
bangsa ini pada posisi permanen sebagai subordinasi
dari kepentingan global.
Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
ciri-ciri yang hampir seragam mengenai proses transisi
kolonialisme lama di masa penjajahan Belanda menuju
era neokolonialisme di masa Suharto hingga praktek
berikutnya setelah kejatuhan Suharto.
Praktek kolonialisme di nusantara dimulai dengan
menerapkan aturan-aturan hukum guna melancarkan
penguasaan dan perampasan atas wilayah dan sumber
daya alam. Begitupun transisi politik di era Suharto
dilakukan dengan membuat aturan-aturan hukum baru
yang melanggengkan kekuasaan modal internasional di
Indonesia. Di masa Suharto, sejumlah undang-undang
digunakan oleh pihak kolonial, yaitu para korporasi
multinasional untuk menaklukkan rezim politik agar
berpihak pada kepentingan modal. Sekaligus dapat
melancarkan misi utama untuk merampas sumber daya
alam tanpa khawatir mendapatkan sanksi internasional
maupun perlawanan rakyat.
Sayangnya, bau anyir darah akibat pembantaian
500.000 – 1.000.000 orang yang dituduh sebagai
simpatisan sebuah partai politik serta kejatuhan rezim
anti imperialisme Barat kala itu merupakan harga yang
dibayarkan demi pembentukan struktur politik dan
ekonomi pro modal semacam ini. Bagi kekuatan kolonial,
sebuah goncangan sosial (social shock) terkadang
diperlukan agar penetrasi kapital dan doktrin neoliberal
jauh lebih dalam memasuki setiap relung kehidupan
masyarakat.
Setelah kejatuhan Suharto, lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia menjadikan
orde reformasi sebagai era pengukuhan agenda-
agenda neokolonialisme di Indonesia. Mekanisme
ketergantungan baru dibuat melalui kucuran utang
luar negeri yang diakumulasi setiap rezim. Pada
intinya, agar para penguasa baru itu mau mengikuti
aturan-aturan yang telah digariskan dalam Structural
Adjustment Programe atau Letter of Intent milik Bank
Dunia dan IMF, di antaranya adalah membuat undang-
undang untuk meliberalisasi ekonomi. Padahal dua
lembaga tersebut sejak lama dianggap lebih merupakan
kepanjangan tangan negara-negara industri maju dan
perusahaan-perusahaan multinasional.
Sebuah koreksi total atas arah pembangunan ekonomi
nasional yang bercorak kolonial ini perlu segera dilakukan
sebagai agenda penting menuju kemerdekaan yang
hakiki. Perubahan tidak cukup mengenai para aktor saja,
tetapi juga harus meliputi perubahan paradigma dalam
mengelola negara termasuk merubah semua uturan-
aturan yang telah merugikan kepentingan nasional dan
kepentingan rakyat secara umum. Konstitusi harus
menjadi acuan utama, sebuah konsensus nasional serta
petunjuk yang objektif bagi bangsa Indonesia dalam
bernegara. Tanpa itu semua, sesungguhnya kita sedang
menunggu kehancuran sebuah negara bangsa bernama
INDONESIA.
28
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Aransemen Korporatokrasi
Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah
pernyataan yang disampaikan oleh mantan Direktur
WALHI, Chalid Muhammad yang mengatakan bahwa
“negeri ini telah dikuasai oleh rezim korporatokrasi dan
kleptokrasi”. Sebuah pernyataan yang menggambarkan
bagaimana kekuatan aktor-aktor korporatokrasi
telah menghegomoni seluruh kehidupan bangsa ini.
Korporatokrasi saat ini kembali ramai menjadi wacana
publik, karena tidak ada satupun yang dapat menyangkal
bahwa krisis yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh
semakin kuatnya rezim ini memainkan peran-perannya,
baik secara ekonomi maupun politik.
Istilah korporatokrasi sendiri diperkenalkan
oleh John Perkins dalam bukunya Confression of an
Economic Hit Man (2004) yang mengatakan bahwa dunia
saat ini dikuasai oleh imperium internasional, dimana
imperium ini menyatukan kekuatan yang dimilikinya,
baik kekuatan finansial maupun kekuatan politiknya
untuk menguasai berbagai sumber kehidupan di belahan
bumi ini. Dalam bukunya yang berjudul Selamatkan
Indonesia (2008), Amin Rais melihat korporatokrasi
sebagai sebuah gambaran atas sistem kekuasaan yang
dikontrol dan didominasi oleh berbagai korporasi besar,
bank internasional dan pemerintah.
Korporasi semakin menemukan ruang
kemenangannya ketika pengurus negara memberikan
penguasaan penuh untuk memainkan peran-peran
mereka, dengan melegalisasi melalui sejumlah undang-
undang dan produk regulasi lainnya. Disinilah bentuk
transaksi antara penguasa dengan modal salah satunya
adalah kebijakan, kenyataan inilah yang disebut dengan
alur kolonialisasi secara ekonomi, berjalan beriringan
dengan kolonialisasi secara politik.
Orkestrasi Gerakan Hijau dan Pesta Korporatokrasi *
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat,”
Oleh : Khalisah Khalid
Kuasa korporasi yang sangat besar di Indonesia
di awali oleh peraturan perundangan yang di keluarkan
pemerintah sejak ujung kekuasaan Soekarno, di perbesar
oleh rezim Suharto dan berlangsung hingga saat ini. Di
awali UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing,
UU No 5/67 Tentang Kehutanan, UU No 11/67 tentang
Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan Generasi
I dan II, menghantar Indonesia memasuki fase: Jual
Murah; Jual Cepat; dan Jual Habis Kekayaan Alam
demi kejayaan korporasi. Beberapa perundangan yang
menyokong kuasa korporasi antara lain: UU Minyak dan
Gas, UU 41/99 tentang Kehutanan, Perpu No 1/2004
yang telah jadi UU N0 19.2004 tentang Pertambangan di
Kawasan Lindung, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya
Air, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No
26/2007 tentang Tata Ruang, UU no 27/2007 tentang
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau kecil, Pepres
36/2005 jo Pepres 65/2005 tentang Pengadaan Tanah
untuk Infrastruktur dan lain-lain.
Secara legal, setiap jengkal tanah dan setiap
tetes air Indonesia telah dikuasai oleh korporasi baik
melalui kontrak karya pertambangan, kontrak bagi hasil
minyak dan gas, kontrak bagi hasil batu bara, kuasa
pertambangan, hak penguasaan hutan, hak penguasaan
perkebunan besar kelapa sawit. Data WALHI dan
JATAM pada tahun 2005 menujukan, bahwa sekitar 35,1
juta hektar kawasan hutan telah dikuasai oleh perusahan
pemegang HPH, 15 juta hektar untuk Hak Guna Usaha,
8,8 juta hektar untuk Hutan Tanaman Industeri, 35
% daratan Indonesia di kuasai oleh 1.194 pemegang
kuasa pertambangan, 341 Kontrak Karya Pertambangan
dan 257 Kontrak Pertambangan Batubara (PKP2B).
Sementara rakyat yang selama ini hidup didalam dan
sekitar hutan, dipaksa keluar dari tanah mereka.
* Naskah Diterima oleh Redaksi pada 7 Oktober 2008
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
29
Bahasan: Korporatokrasi
Negara sesungguhnya tidak pernah
diuntungkan dari aktifitas mereka, kasus penunggakan
pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan batubara
baru-baru ini, semakin memperjelas posisi bahwa yang
diuntungkan oleh korporasi yang mengeruk sumber
daya alam hanyalah segelintir elit, yang menjual
kekayaan alam dan buruh murah tanpa perlindungan
keselamatan kerja. Nampaknya apa yang disampaikan
oleh Cecil Rhodes (1852-1902), yang menyatakan bahwa
kolonialisme adalah penemuan tanah baru dimana
dari tanah tersebut dapat dengan mudah mendapatkan
bahan-bahan mentah (sumber daya alam) yang dapat
dieksploitasi dengan menggunakan buruh murah
dari penduduk pribumi. Sumber daya alam (SDA),
sesungguhnya selalu menjadi alasan utama bagi kolonial
baru (baca, korporasi) dimanapun untuk mendominasi
dan menanamkan kekuasannya, dan entitas politik
negeri ini mengamini seluruh nafsu kolonialisme
tersebut, karena menguntungkan bagi mereka secara
politik melalui ongkos-ongkos politik yang disediakan
oleh kekuatan modal.
Modal internasional tidak hanya mengeruk
sumber daya alam untuk pemenuhan konsumsi bagi
negara-negara maju, mereka bahkan mendikte negara
untuk mengurangi tanggungjawabnya melindungi
dan mensejahterakan rakyatnya sebagaimana yang
dimandatkan oleh Konstitusi. Telah terjadi defisit
kedaulatan negara dan bertemu dengan defisit
kesejahteraan yang berujung pada kemiskinan. Mencabut
subsidi terhadap BBM bagi rakyat miskin, menjadi
salah satu contoh kuat bagaimana kekuatan ekonomi
internasional telah mengambil-alih tanggungjawab
negara dan menyerahkannya kepada pasar. Corporate
Social Responsibility (CSR) menjadi salah satu contoh
dari sebuah alat yang didorong oleh modal untuk
mengambilalih peran dan fungsi sosial negara, dan
mengalihkan tanggungjawab negara tersebut.
Kekuatan aransemen kolaboratif yang
dimainkan begitu cantik oleh korporasi besar, lembaga
keuangan internasional dan elit politik yang duduk
di pemerintahan, telah menghasilkan sebuah cerita
penghisapan ekonomi disatu sisi, dan kerusakan
lingkungan hidup disisi yang lain, bahkan telah melahirkan
krisis dan ancaman terhadap keberlangsungan dan
keberlanjutan kehidupan rakyat intra dan antar generasi.
Industri tambang misalnya, industri ini memiliki karakter
yang tidak terbarukan,berumur pendek, berdaya rusak
tinggi dan berorientasi ekspor.
Dengan watak dan cara kerjanya, kekuatan ini
telah mendominasi semua yang menyangkut kehidupan
nasib orang banyak, dengan memegang prinsip
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
modal yang semurah-murahnya dengan menggunakan
buruh murah, dan mengabaikan lingkungan hidup yang
dinilai berbiaya mahal dan tidak menguntungkan bagi
kepentingan bisnis mereka.
Sumber daya alam (SDA) ditempatkan tidak
lebih hanya sebagai sebuah komoditas, yang bisa dikeruk
habis guna memenuhi tingkat konsumsi bagi negara-
negara maju, dan menghancurkan secara sistematis
dan struktural produktifitas yang disebabkan oleh
penguasaan akses dan kontrol atas tanah dan alat-alat
produksi yang lain, dan menghancurkan pengetahuan
lokal yang mengatur regulasi wilayah dan tata kehidupan
masyarakat itu sendiri. Semua modal sosial yang ada
dalam tatanan masyarakat, diruntuhkan oleh mesin-
mesin kapitalisme yang bekerja secara baik dan didukung
penuh oleh kekuatan politik.
Pemilu, Absen Agenda Krisis
Reformasi 1998, memang terjadi berbagai
perubahan yang positif menyangkut hak-hak sipil-
politik, seperti kebebasan pers, kebebasan pendirian
partai-partai politik, reformasi dalam sistem pemilu,
antara lain sistem pemilihan presiden langsung. Namun
secara substansial, berbagai perubahan ini hanya
mencerminkan pergeseran kepentingan dan sirkulasi
di tingkat elit kekuasaan, dengan mengabaikan aspek
akuntabilitas dan representasi kepentingan publik. Ini
tercermin dari kegagagalan reformasi mewujudkan
janjinya, untuk memperbaiki pemenuhan keadilan dan
hak-hak dasar rakyat di bidang ekonomi dan sosial.
30
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Agenda reformasi bahkan dibajak oleh elit
politik untuk kepentingan kekuasaannya, bahkan
korporasi semakin memperkuat perangkatnya dengan
serangkaian strategi yang lebih sistematis dengan
kemasan legal reform, economic dan economic
reform, yang semakin melahirkan angka kemiskinan
yang panjang. Kompas dalam headlinenya bahkan
memprediksikan bahwa dalam 25 tahun mendatang,
Indonesia akan mengalami krisis pangan. Bahkan
ILO menyatakan bahwa pada bulan Februari 2008,
terdapat 52,1 juta pekerja miskin. Ini belum ditambah
dengan pukulan kenaikan harga sebesar 125 persen yang
disebabkan oleh kenaikan harga BBM.
Elit politik yang sudah lama menghiasi
reklame iklan di media massa juga absen melihat krisis
rakyat dalam agenda-agenda politik yang ditawarkan.
Jalan keluar yang disodorkan bahkan tidak melihat
persoalan mendasar yang dialami oleh bangsa ini. Tidak
ada tawaran perubahan atas pilihan ekonomi, yang
menempatkan tata kuasa, tata guna lahan, tata produksi
dan tata konsumsi kedalam sebuah kebijakan yang adil
dan berkelanjutan.
Kekuatan korporatokrasi telah mampu
mempengaruhi agenda-agenda politik mulai dari
tingkatan Pilkada hingga Pemilu Legislatif dan Pilpres.
Caranya melalui dukungan finasial pada kandidat-
kandidat yang bertarung pada pesta demokrasi, janji-
janji politik yang disampaikan tidak lebih hanya untuk
semakin melanggengkan dominasi agenda neoliberal.
Harapan pembaruan terhadap pemilu 2009, hampir sama
dengan pemilu 2004. Berbagai janji juga digelontorkan
oleh partai politik dan beberapa calon presiden melalui
belanja iklannya di media massa yang menawarkan
berbagai jalan baru, yang jika dicermati secara seksama
tidak lebih hanya sebuah kamuflase.
Dari diskusi panjang Demokrasi Dibawah
Tirani Modal yang beberapa waktu lalu diselenggarakan
di Universitas Indonesia, semakin memperjelas posisi
korporatokrasi ini terhadap ruang demokrasi yang
dibangun di Indonesia. Demokrasi yang terpusat pada
pemilihan umum (electoral democracy) tidak lebih hanya
sebagai sebuah kemenangan dari politik prosedural, dan
hanya memberi kesempatan kepada kekuatan neoliberal
dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-
lembaga negara. Hasil dari pertarungan ini adalah
kombinasi yang amat buruk: liberalisasi di bidang
ekonomi dan konservatif di bidang politik.
Pemilu sama sekali jauh dari krisis yang
dialami oleh rakyat, bahkan hiruk pikuk pilkada
dan ribuan banner dan bendera partai politik telah
menenggalamkan jeritan penderitaan yang dialami
oleh perempuan yang tidak bisa memberikan asupan
gizi yang cukup bagi keluarganya. Pilkada pemilihan
Gubernur Jawa Timur menjadi sebuah pembelajaran
yang utuh untuk menggambarkan, bagaimana kekuatan
korporasi yang bernama Lapindo Brantas Inc telah
mampu menutup mata seluruh kandidat Gubernur
Jawa Timur untuk membicarakan derita rakyat korban
lumpur Lapindo yang harus menjadi pengungsi ekologis
dan tercerabut dari ruang hidupnya.
Blok Politik Hijau, Meretas Jalan Perubahan
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.”
Gerakan lingkungan hidup sebagai bagian
dari gerakan sosial menyadari bahwa begitu berat dan
besarnya musuh yang dihadapi oleh rakyat, karena
kekuatan mereka bahkan telah masuk ke ruang-ruang
kehidupan masyarakat, yang menjelma menjadi sebuah
fasisme baru yang diyakini sebagai sebuah kebenaran.
Kita dapat menyaksikan, bagaimana fundamentalisme
pasar telah melahirkan sebuah bentuk fundamentalisme
agama yang menduplikasi cara kerja yang sama yakni
tidak menghormati pluralisme dan keberagaman tak
ubahnya cara pandang monukultur dalam industri
perkebunan besar.
Namun, ditengah berbagai ancaman hidup
yang diciptakan oleh kekuatan modal dan politik, berbagai
inisiatif perjuangan juga diciptakan oleh berbagai
elemen rakyat. Mencoba membangun demokrasi dan
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
31
Bahasan: Korporatokrasi
ekonomi dari bawah sebagai sebuah bentuk perlawanan
yang digagas oleh rakyat sebagai sebuah alternatif diluar
proses electoral democracy
Demikian juga inisiatif yang dibangun dari
gerakan lingkungan hidup, yang bercita-cita melakukan
perubahan gerakan, salah satunya dengan menggunakan
blok politik hijau sebagai kendaraannya untuk
membangun kekuatan politik alternatif yang dibangun
dari pondasi massa rakyat yang kritis. Memainkan peran-
peran politiknya untuk dapat mendiseminasi gagasan
hijau sebagai sebuah upaya melakukan reformasi
pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan
konsepsi ekonomi yang berbasiskan pada kedaulatan
rakyat dan keadilan ekologi sebagai sebuah jalan baru
yang ditawarkan.
Inisiatif ini didasari atas sebuah keyakinan,
bahwa gerakan lingkungan hidup berada di jantung
perlawanan atas penghisapan penjajahan baru
(eksploitasi sumber-sumber kehidupan), karenanya
dibutuhkan kekuatan dari blok politik anti imperialisme
lainnya selain blok politik hijau (buruh, nasionalis, sosialis
dan lain-lain) yang menjadi kekuatan politik alternatif
dengan garis ideologi yang kuat dan berbasiskan pada
kekuatan massa kritis yang masif, terorganisir, terpimpin
untuk mendobrak kebekuan politik yang terjadi.
Pandangan ini juga didasari atas analisis bahwa
rezim kekuasaan hari ini berada di dalam kebangkrutan
karena menjadi sumber ancaman keselamatan rakyat
dan menanamkan benih kehancuran negeri ini. Bahwa
oligarki politik hari ini bercokol di hampir semua partai
politik yang ada hari ini. kepentingannya tunggal yakni
mempertahan kekuasaan dan share/pembagian sekaligus
persaingan kalangan sendiri untuk meperebutkan rente
ekonomi dari penggadaian kekayaan alam negeri ini.
Kalau pun ada pertentanganan dan sikap yang seolah-
olah opisisi, sesungguhnya hanya permainan politik dan
sirkulasi elit atau oligarki politik-ekonomi.
Habermas menyatakan bahwa bagaimana
demokrasi dapat memasuki ruang-ruang kuasa, bukan
hanya kepada elit, tetapi juga kepada masyarakat sipil.
Blok politik hijau, kemudian yang menjadi sebuah
alternatif yang ditawarkan oleh berbagai gerakan
sosial, baik gerakan tani, buruh, maupun gerakan yang
mengusung isu lingkungan sebagai agenda utama
perubahan.
Dalam survey nasional yang dilakukan
oleh DEMOS yang berjudul Satu Dekade, Maju dan
Mundurnya Demokrasi di Indonesia menilai bahwa
aktor-aktor demokrasi yang ada saat ini marjinal secara
politik dan mengambang secara sosial. Karenanya Blok
politik hijau diharapkan mampu berdialektika untuk
menghadapi politik keteraturan yang dimainkan oleh elit
oligarki dibawah bendera korporatokrasi. Blok politik
hijau diharapkan dapat melakukan aktifitas politik yang
teroganisir bersama dengan pihak-pihak yang selama ini
menjadi korban kebijakan pembangunan dan eksploitasi
sumber daya alam.
Riset ini juga menemukan mulai tumbuhnya
agenda dan visi yang komprehensif, dalam fenomena
jejaring gerakan green politic. Ditemukan bahwa
kasus-kasus individual yang berkaitan dengan isu
tanah, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat
adat, hak-hak sosial ekonomi, lingkungan hidup dan
kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi,
tampak berhubungan erat dengan isu-isu pembangunan
berkelanjutan dan pembangunan partisipatoris -
termasuk pengelolaan secara swadaya atas kehidupan
sosial-ekonomi, pengelolaan sumberdaya kolektif/
komunitas, maupun tuntutan perbaikan penyelenggaraan
kepentingan umum dalam rangka melawan privatisasi;
juga gagasan-gagasan mengenai participatory
budgeting.
Semua ini bisa menjadi basis bagi agenda politik
kiri-hijau yang lebih umum. Ini berseberangan dengan
tidak adanya pertanda yang sama dalam agenda gerakan
buruh yang lebih luas, dengan atau tanpa kepedulian
kelas menengah liberal. Lepas dari sudah terbentuknya
2. Sumbangan secara rutin kepada WALHI, dengan jumlah sumbangan minimal Rp.120.000,-/tahun
3. Jadi Relawan Aktif selama 3 bulan
Cara PembayaranTransfer keYayasan WALHINo.Rek.070 - 0003016420Bank Mandiri cabang Mampang PrapatanJl.Mampang Prapatan Raya No.61 Jakarta Selatan
atau Antar Langsung ke:Kantor Eksekutif Nasional WALHIJL.Tegal Parang Utara No.14,Mampang,Jakarta Selatan 12790Telp :(021) 7919 3363Fax :(021) 7919 1673
Ada tiga Cara bergabung menjadi Sahabat WALHI yaitu dengan mengisi formulir anggota Sahabat WALHI dan :
54
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Arianto Sangajilahir di Mareku, Tidore, 9 April 1962. Menjabat sebagai Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Memperoleh MA di School of Social Science, University of Birmingham, Inggris. Buku karya-karya antara lain: The Security Forces and Regional Violence in Poso, dalam Schulte Nordholt, Henk and Gerry van Klinken, eds, Renegotiating Boundaries: local Politics in Post-Suharto Indonesia, KITLV, Leiden, 2007; The masyarakat adat movement in Indonesia: a critical insider’s view, dalam Jamie S. Davidson and David Henley, eds, The Revival of Tradition in Indonesian Politics, Routledge, London and New York, 2007; Politik Konservasi : Orang Katu di Behoa Kakau, KPSHK, Bogor, 2002; Buruk Inco, Rakyat Digusur : Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 2002; PLTA Lore Lindu ; Orang Lindu Menolak Pindah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. Dia dapat dihubungi melalui [email protected]
Dani SetiawanLahir di Bogor pada tanggal 05 Agustus 1982. Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pemikiran Politik Islam. Mantan Sekretaris Jenderal Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) dan saat ini menjabat sebagai Ketua Koalisi Anti Utang (KAU). Aktif menulis di berbagai media massa serta jurnal nasional. Editor buku “Menjala Ikan Terakhir” dan “Lapindo: Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi” (Walhi, 2007). Menulis buku “Monitoring Proyek Utang Luar Negeri” (KAU, segera terbit). Dapat dihubungi melalui email: [email protected].
Danial IndrakusumaPernah belajar di Universitas Kristen Indonesia (Ekonomi), Universitas Indonesia (Sejarah), University of Tulsa, Tulsa, Oklahoma, AS; Documentary Script Development, Jakarta Internasional Film Festival. Kini aktif sebagai dalam organisasi Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM). Dia dapat dihubungi melalui [email protected]
Khalisah KhalidSaat ini adalah Anggota Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Dia dapat dihubungi melalui: [email protected]
Longgena GintingSebelumnya adalah Direktuf Eksekutif Nasional WALHI. Kini sebagai Kordinator Kampanye IFIs (International Financial Institutions) Friend of The Earth International. Dia dapat dihubungi melalui: [email protected]
Pius GintingSaat ini adalah Officer Publikasi WALHI Eksekutif Nasional. Sebelumnya adalah pekerja sosial di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS) dan redaksi Tabloid Pembebasan. Dia dapat dihubungi melalui: [email protected].
Salamuddin Daeng, Sebelumnya adalah peneliti di WALHI NTB dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Sekarang peneliti di Institute Global Justice. Merupakan saksi ahli dari Koalisi Masyarakat Sipil Menolak UU PMA, yang mengajukan gugatan judicial review terhadap UU Penanaman Modal di Mahkamah Konstitusi.Dia dapat dihubungi melalui [email protected]
Khalisah KhalidSaat ini adalah Anggota Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Aktif menulis di media massa seperti Koran Tempo, Kompas, Buletin Elektronik Praxis, dan Media Indonesia
SudiartoLahir di pesisir utara Kabupaten Tegal pada 29 Juni 1978, pernah belajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), dan semasa kuliah aktif dalam pengorganisasian kekuatan rakyat khususnya petani Badega (Garut), dan mendukung aksi-aksi buruh di Bandung Raya. Sebelumnya bekerja di PT Penta Software Indonesia (Pentasoft), kini menjadi staf informasi dan dokumentasi di Institute for Global Justice (IGJ). Dia dapat dihubungi melalui [email protected]