1 LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. VII No. 13, Pebruari 2001, h.79-89) Abdul Rokhim 1 ABSTRAK Merger merupakan salah satu instrumen atau kebijakan ekonomi perusahaan yang lazim digunakan oleh para pelaku usaha untuk meningkatkan bisnisnya, terutama dalam menghadapi persaingan usaha yang semakin kompetitif. Tindakan merger, di samping membawa kebaikan (khususnya bagi pelaku usaha yang bergabung), juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar, yakni terjadinya konsentrasi pasar yang monopolistik dan anti-kompetisi. Karena itu, untuk menangani praktek merger yang dilarang oleh undang-undang diperlukan penelitian yang seksama, tidak cukup kalau dilakukan penerapan berdasarkan pada peraturan perundangan semata-mata. Kata kunci: Merger; Anti-Monopoli 1. Pendahuluan Pembangunan ekonomi Indonesia pada Jangka Panjang Pertama meski diakui telah menghasilkan banyak kemajuan, khususnya menyangkut pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Namun, banyak pula tantangan atau persoalan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha yang tercipta selama lebih dari tiga dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Ironisnya, fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan (kolusi) antara pengambil keputusan (pemerintah) dengan para pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga lebih memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 UUD 1945 serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang
11
Embed
LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
LARANGAN MERGER
DALAM UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI
(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang,
ISSN: 0854-7254, Vol. VII No. 13, Pebruari 2001, h.79-89)
Abdul Rokhim1
ABSTRAK
Merger merupakan salah satu instrumen atau kebijakan ekonomi perusahaan
yang lazim digunakan oleh para pelaku usaha untuk meningkatkan bisnisnya, terutama
dalam menghadapi persaingan usaha yang semakin kompetitif. Tindakan merger, di
samping membawa kebaikan (khususnya bagi pelaku usaha yang bergabung), juga dapat
menimbulkan dampak negatif bagi pasar, yakni terjadinya konsentrasi pasar yang
monopolistik dan anti-kompetisi. Karena itu, untuk menangani praktek merger yang
dilarang oleh undang-undang diperlukan penelitian yang seksama, tidak cukup kalau
dilakukan penerapan berdasarkan pada peraturan perundangan semata-mata.
Kata kunci: Merger; Anti-Monopoli
1. Pendahuluan
Pembangunan ekonomi Indonesia pada Jangka Panjang Pertama meski diakui
telah menghasilkan banyak kemajuan, khususnya menyangkut pertumbuhan ekonomi
yang relatif tinggi. Namun, banyak pula tantangan atau persoalan ekonomi yang belum
terpecahkan, seiring dengan adanya globalisasi perekonomian serta dinamika dan
perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an.
Peluang-peluang usaha yang tercipta selama lebih dari tiga dasawarsa yang lalu
dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi
dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama
periode tersebut, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang
kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta
dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha
yang tidak sehat.
Ironisnya, fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya
hubungan (kolusi) antara pengambil keputusan (pemerintah) dengan para pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga lebih memperburuk keadaan.
Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 UUD 1945
serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang
dekat elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga
berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil
pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang
2
salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi sangat rapuh
dan tidak mampu bersaing secara sehat.
Mencermati situasi ekonomi yang demikian itu, maka menuntut kita untuk menata
kembali kegiatan usaha di Indonesia agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang
secara sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta
terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu.
Pemusatan ekonomi itu bisa terjadi melalui mekanisme merger, konsolidasi, dan akuisisi.
Untuk membatasi persoalan yang ada, tulisan ini hanya menfokuskan pada tindakan
merger, yang dalam peraturan perundangan kita disebut dengan istilah “penggabungan”
usaha.
Persolannya adalah tindakan merger itu hanyalah merupakan tindakan ekonomi
perusahaan, yang di samping mengakibatkan pengaruh positif bagi perusahaan-
perusahaan yang bergabung namun hal itu juga memberikan dampak negatif akan
terjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena itu, yang
perlu diperdebatkan atau dipermasalahkan dalam tulisan ini adalah tindakan merger yang
bagaimana yang secara hukum dipandang sebagai tindakan yang dilarang untuk
dilakukan? Dengan perkataan lain, tindakan merger, konsolidasi, atau akuisisi yang
bagaimana yang mengarah atau dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat serta bertentangan dengan cita-
cita keadilan sosial.
2. Perbedaan Merger dengan Konsolidasi dan Akuisisi
Istilah “merger”, “konsolidasi” dan “akuisisi” lebih sering digunakan dalam
tataran akademis. Sedangkan dalam tataran normatif, menurut peraturan perundang-
undangan kita digunakan istilah “penggabungan” untuk menggantikan istilah “merger”,
“peleburan” untuk menggantikan istilah konsolidasi, dan “pengambilalihan” untuk
menggantikan istilah “akuisisi”. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam Bab VII Pasal 102-
109 UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) maupun dalam Pasal 28
dan 29 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (yang dalam tulisan ini disingkat UU Anti-Monopoli).
Dalam pasal-pasal UUPT itu sama sekali tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan “penggabungan”, “peleburan”, dan “pengambilalihan” itu. UUPT hanya mengatur
tentang tata cara atau mekanisme terjadinya tindakan-tindakan penggabungan, peleburan,
dan pengmbilalihan. Hal ini mungkin disebabkan oleh “janji” Pasal 109 UUPT yang akan
mengatur lebih lanjut mengenai hal itu dalam Peraturan Pemerintah (PP). PP yang
dimaksud tidak lain adalah PP No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan,
dan Penggambilalihan PT.
Menurut Pasal 1 angka 1 PP No. 27 Tahun 1998, penggabungan adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan
perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri
menjadi bubar. Dalam literatur, penggabungan perseroan ini lazim disebut dengan istilah
“merger” yang berarti: “the absorption of one company by another; the former lossing its
legal identity, and the later retaining its own name and identity and acquaring assets,
liabilities, franchises, and powers of former, . . .” (Black, 1990: 988). Dengan demikian,
penggabungan (merger) mengakibatkan hilangnya status badan hukum perseroan yang
3
bergabung, sedangkan perseroan yang lain tetap mempertahankan statusnya dengan
mendapatkan segala aset, kekuasaan, dan tanggung jawab perseroan yang bergabung itu.
Lebih lanjut, peleburan (konsolidasi) adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu
perseroan baru dan masing-masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar (Pasal
1 angka 2 PP No. 27 Tahun 1998). Secara teoritis, perbedaan pokok antara “merger” dan
“konsolidasi” adalah pada merger ada satu perseroan yang eksistensinya tetap ada
(dipertahankan), sedang perseroan lainnya lenyap menggabungkan diri dalam perseroan
yang tetap dipertahankan itu. Sedang, pada konsolidasi semua perseroan yang pernah ada
menjadi bubar dan meleburkan diri menjadi satu perseroan yang baru (Prasetya, 1996:
58).
Tentang pengambilalihan (akuisisi), menurut Pasal 1 angka 3 PP No. 27 Tahun
1998, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseorangan
untuk mengambilalih, baik seluruh ataupun sebagian besar saham perseroan, yang
mengakibatkan beralihkan pengendalian terhadap perseroan tersebut. Jadi, akuisisi adalah
tindakan pengambilalihan (take over) suatu perusahaan oleh perusahaan atau orang lain
melalui pengambilan saham (Muhammad, 1995: 233). Meskipun ada pengambilalihan
saham oleh perusahaan yang satu terhadap perusahaan yang lain, namun eksistensi kedua
perusahaan itu tetap ada. Karena, dalam akuisisi tidak ada satupun perusahaan yang
bubar, yang terjadi adalah beralihnya pengendalian (controlling) perusahaan dalam satu
kesatuan manajemen.
3. Jenis Merger
Jika merger dapat dibagi ke dalam tiga jenis, maka kategorisasi ini juga berlaku
bagi konsolidasi dan akuisisi. Berikut ini secara singkat dijelaskan tentang tiga jenis
merger, yaitu:
(1) Merger Horisontal
Merger horisontal merupakan penggabungan usaha antara perusahaan yang menjual
barang dan/atau jasa dan berada pada level perdagangan yang sama. Merger horisontal
ini merupakan penggabungan usaha yang sangat berpotensi untuk menghambat
persaingan karena dengan penggabungan ini dua pesaing bergabung menjadi satu
perusahaan yang lebih kuat. Sehingga peluang akan terjadinya praktek monopoli
semakin besar (Sitompul, 1999:70).
Dalam merger horisontal ini, perusahaan yang merger tersebut menjual produk yang
sama, sehingga persaingan antara perusahaan-perusahaan tersebut dapat ditiadakan
dan pangsa pasar yang dikuasai tentu akan menjadi lebih besar. Karena itulah merger
horisontal ini sangat “diwanti-wanti” oleh hukum anti monopoli. Meskipun diakui
bahwa banyak pula efek positif dari adanya merger horisontal, yakni terbentuknya
suatu sinergi antara perusahaan-perusahaan yang melakukan merger tersebut,
terutama berkaitan dengan efisiensi produk. Untuk mengetahui apakah suatu merger
horisontal itu melanggar prinsip anti monopoli atau persaingan sehat, hukum harus