BAB I
PENDAHULUAN
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi
pada tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi
disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau
ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis
akut. Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita tonsilitis
akut akan merubah mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada
kripta tonsil dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi
bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis.1 (Tom LWC,
Jacobs IN. Diseases of the
Oral Cavity, Oropharynx and
Nasopharynx. In: Snow JB editor.
Ballengers Manual of
Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. London: BC Decker, 2002: p.
110-21.)Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis
Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun
dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi
karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada
usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia
tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29
tahun, yakni sebesar 50 % . Sedangkan Kisve pada penelitiannya
memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294
(62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.2Tonsilitis dapat menyebar
dari orang ke orang melalui kontak tangan, menghirup udara tetesan
setelah seseorang dengan tonsilitis bersin atau berbagi peralatan
atau sikat gigi dari orang yang terinfeksi. Anak-anak dan remaja
berusia 5-15 tahun yang paling mungkin untuk mendapatkan
tonsilitis, tetapi dapat menyerang siapa saja.1Hanya sekitar 30 %
dari tonsilitis pada anak disebabkan oleh radang tenggorokan dan
hanya 10% dari tonsilitis pada orang dewasa disebabkan oleh radang
tenggorokan.Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5 persen
pada laki-laki, 13,7 persen pada perempuan). Mengingat angka
kejadian yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan dapat mempengaruhi
kualitas hidup anak, maka pengetahuan yang memadai mengenai
tonsilitis kronis diperlukan guna penegakan diagnosis dan terapi
yang tepat dan rasional.2BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. TONSIL
2.1.1. Anatomi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel
respiratori. Pada tonsil terdapat epitel permukaan yang ditunjang
oleh jaringan ikat retikuler dan kapsel jaringan ikat serta kriptus
di dalamnya.1,2,3Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla
faringeal dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada
pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini
dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini
melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan.
Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis
pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada
usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa
pubertas.1,2,3Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal)
merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid
lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa
Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan
dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlachs).1,2,3Tonsilla
palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris.
Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang
bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang
kecil yang berjalan ke dalam Cryptae Tonsillares yang berjumlah
6-20 kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat
sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi
selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina,
terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.1,2,3
2.1.2. Anatomi Tonsilla Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk
ovoid yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa
tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan
medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannnya tampak
berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam cryptae tonsillares
yang berjumlah 6-20 kripte. Pada bagian atas permukaan medial
tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral
tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut capsula
tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla
lingualis.4,5Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla
palatina adalah:4,51. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. konstrictor faryngis
superior oleh jaringan areolar longgar. A. karotis interna terletan
2,5 cm dibelakang dan lateral tonsil.
Gambar 2.1 Cincin Waldeyer52.1.3. Vaskularisasi
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis)
dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2)
arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina
desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis
dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian
anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah
tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil
diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung
dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di
sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringea1,3,72.1.4.
Inervasi
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf
ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser
palatine nerves.1,32.1.5. Imunologi
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar.
Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel
plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.
Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen,
interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar.
Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area
yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada
folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid.1,3
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.1,32.2. Tonsilitis Kronik
2.2.1. Definisi
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina
lebih dari 3 bulan, setelah serangan akut yang terjadi
berulang-ulang atau infeksi subklinis. Terjadinya perubahan
histologi pada tonsil. Dan terdapatnya jaringan fibrotik yang
menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh zona sel-sel
radang.3Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan
diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak
jarang tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan
hiperemi rigan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil
ditekan keluar detritus.72.2.2. Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang
terjadi pada anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun.
Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus biasanya
terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih
sering terjadi pada anak-anak muda.2,8 Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit
yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25
tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A
Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari
14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun keatas.
Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering
penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni
sebesar 50 % . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data
penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada
kelompok usia 5-14 tahun.2.2.3. Etiologi
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil,
termasuk bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit.
Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang paling sering
adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus
grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun
dapat menjadi pathogen infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain
itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.2
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan
yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh.
Penyebab penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A,
dan herpes simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga
termasuk infeksi dengan coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya
vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan
infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara
cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napasyang akut.Infeksi
jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan
bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.2.2.4.
Patofisiologi
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil.
Karena proses radang berulang. Maka epitel mukosa dan jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut
sehingga kripta akan melebar. Secara klinis kripta ini akan tampak
diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang
mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat berwarna
kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa
tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada keadaan imun yang menurun.12.2.5. Faktor
Predisposisi
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik
yaitu:11. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis
makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat2.2.6 Gejala
Klinis
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna
adalah nyeri tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi
pada saluran cerna dan saluran napas. Gejala-gejala konstitusi
dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus.
Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa
kering dan napas yang berbau.1 Pada tonsillitis kronik juga sering
disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal.2 Pada umumnya
terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan
kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a) pembesaran tonsil
karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta
melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil
tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam
dalam tonsilar bed dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar
dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.3
Gambar 2.2. Tonsillitis kronikBesar tonsil dapat ditentukan
sebagai berikut:T0 : Tonsil telah diangkatT1 : bila besarnya jarak
arkus anterior dan uvulaT2: bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior
dan uvulaT3 : bila besarnya jarak arkus anterior dan uvulaT4 : bila
besarnya mencapai uvula atau lebih
Tabel 1. Perbedaan TonsilitisTonsilitis AkutTonsilitis Kronik
Eksaserbasi AkutTonsilitis Kronik
Hiperemis dan edemaHiperemis dan edemaMembesar/ mengecil tapi
tidak hiperemis
Kripta tak melebarKripta melebarKipta melebar
Detritus (+/-)Detritus (+)Detritus (+)
Perlengketan (-)Perlengketan (+)Perlengketan (+)
Antibiotika, analgetik, obat kumurSembuhkan radangnya, jika
perlu lakukan tonsilektomi 2 6 mgg setelah perdanganBila mengganggu
lakukan tonsilektomi
Gambar 2.3. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B)
Grade-II tonsils. (C) Grade-IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils
(kissing tonsils)32.2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
Tonsilitis Kronis:
Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada
tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan
ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika
yang inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan
tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Kuman terbayak yang
ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus
aureus. Histopatologi Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan
tahun 2008 di Turkey terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan
bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu
ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugras abses
dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut
ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan
diagnosa Tonsilitis Kronis.4 2.2.8. Diagnosis
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan
tonsillitis berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau
menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di
tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi
pada saluran cerna dan saluran napas, yang paling sering disebabkan
oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat
ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat
ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.12.2.9.
Diagnosis Banding
1. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini
tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin
sebesar 0,03 sat/cc drah dapat dianggap cukup memberikan dasar
imunitas. Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia
kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia -5 tahun.
Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum, lokal, dan
gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri
menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk membrane semu (pseudomembran) yang melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika
infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull
neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal
menimbulkan albuminuria.1
Gambar 2.3. Tonsila Difteri.62. Angina Plaut Vincent (stomatitis
ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema.
Gejala pada penyakit ini berupa demam sampai 30C, nyeri kepala,
badan lemah, rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah
berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis,
membran putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi
serta prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan
kelenjar submandibular membesar.1
Gambar 2.4. Angina Plaut Vincent63. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini
melepskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam
reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena
fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen
antibody. Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam,
nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan
tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior
membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.1
Gambar 2.5. Faringitis54. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer,
sekunder atau tersier. Pada penyakit ini tampak adanya bercak
keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil, dan dinding posterior
faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan timbul ulkus pada
daerah faring yang tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya
pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan.1
5. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik
pada faringitis tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk
karena anoresia dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri hebat
ditenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar
limfa servikal.1
2.2.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi
medikamentosa dan operatif.
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur
atau obat isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil
dengan alat irigasi gigi atau oral.1 Pemberian antibiotika pada
penderita Tonsilitis Kronis eksaserbasi akut Cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis
atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (jika bukan
disebabkan mononukleosis).
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif
gagal.
Dengan tindakan tonsilektomi. Pada penelitian Khasanov et al
mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis
Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif
yang dengan diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita
mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi.3 Penelitian yang
dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner terhadap
15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya
memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%)
penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%)
penderita dirujuk ke rumah sakit.3 Indikasi TonsilektomiINDIKASI
ABSOLUT : 1. Tonsil yang besar hingga mengakibatkan gangguan
pernafasan, nyeri telan yang berat, gangguan tidur atau sudah
terjadi komplikasi penyakit-penyakit kardiopulmonal.
2. Abses peritonsilar yang tidak menunjukan perbaikan dengan
pengobatan. Dan pembesaran tonsil yang mengakibatkan gangguan
pertumbuhan wajah atau mulut yang terdokumentasi oleh dokter gigi
bedah mulut.
3. Tonsilitis yang mengakibatkan kejang demam.
4. Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk
menentukan gambaran patologis jaringan.
INDIKASI RELATIF :
1. jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun
dan tidak menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan
medikamentosa yang memadai.
2. Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada
tonsilitis kronis yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
pengobatan.
3. Tonsilitis kronis atau tonsilits berulang yang diduga sebagai
carrier kuman Streptokokus yang tidak menunjukkan respon positif
terhadap pengobatan dengan antibiotika.
4. Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang
dicurigai berhubungan dengan keganasan (neoplastik) Kontraindikasi
TonsilektomiTerdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai
kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat
dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan
risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko
anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut
yang berat.7 Persiapan Pasien Tonsilektomi
Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus
disadari bahwa mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan
yang pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan
pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khusus
terhadap adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama
kecenderungan terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara
pasien yang mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum
sebaiknya diketahui untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
hipertermia maligna. Pemeriksaan Lab seperti waktu tromboplastin
parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit, pemeriksaan hitung
darah komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain itu
pemeriksaan antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan untuk
mengetahui tingkat infeksi serta sebagai salah satu indikasi
tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu pertama dan
mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah
infeksi. Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam
serum darah lebih dari 200 IU/ml. Selain itu pemeriksaan ragiologi
dada dan elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan.
Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah
dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan
menggunakan jari tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang
terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.7
Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag,
tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat
insisi pada membran mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil
atau gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan
menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.
Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat
dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera
oleh infeksi berulang.
Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat
digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya
perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada penderita gangguan
koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2
lebih disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang dilakukan pada
tehik diseksi. Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma
akibat alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada
keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin
lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau
adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil.
Pada operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan
terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit
sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi
karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya
berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang
tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih
besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila
dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil
diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar
posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi
arteri karotis eksterna.
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu
terjadinya yaitu immediate, intermediate dan late
complication.Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah
dapat berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan
anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer
adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat
bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat
menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga
karena hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan.4
perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice
collar dan mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin.5Pasca
bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate
complication) dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem
uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia Perdarahan sekunder
adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya
terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering
adalah infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena
ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa
tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh
darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat
jarang terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh darah
permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer.Pada
pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami
edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya
akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang mendarahi uvula.
Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia
dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau
mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya
merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadang-kadang
merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi
melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi
mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan
dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi,
komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi
darah atau potongan jaringan tonsil.Late complication pasca
tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole. Bila
berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia.
Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit
umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat
mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil.
Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : Immediate and Delayed
Hemorrhage
Postoperative Airway Compromise :Jarang terjadi, biasanya
disebabkan oleh terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan
adenotonsillar, post operasi edema oropharingeal, atau hematom
retropharyngeal.
Dehidrasi
Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba
jalan napas yang obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang
lama, mengakibatkan penurunan mendadak tekanan intratoracal,
peningkatan volume darah paru, dan peningkatan tekanan hidrostatik
yang dapat terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan
jalan napas.
Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan
parut
Eustachian Tube Dysfunction
Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi
dari bekuan darah
2.2.11. KomplikasiRadang kronik tonsil dapat menimbulkan
komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusitis
atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis,
artritis, myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis,
pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1Beberapa literature
menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:4,6a) Abses
peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul
tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini
paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat
dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi
abses.
Gambar 2.6. Abses peritonsil4
b) Abses parafaring.
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding
lateral faring sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat
dievakuasi melalui insisi servikal.c) Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil.
Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular
akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil
terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya
dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta
diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan
magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu
tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi
ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa
dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation.
Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau
ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.e) Kista
tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai
pembesaran kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa
disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal
antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33%
diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada
swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring.
Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi
patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis.2.2.12.
PrognosisTonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan
beristrahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang
timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila
antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut
harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap,
bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang
singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa
penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang
sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada
kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari
infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.5BAB III
KASUS
3.1 Identitas
Nama
: Tn. J
Usia
: 21 thn
Alamat
: Jl. Anggrek 1 no. 114
Agama
: Islam
Tanggal MRS: 25/05/20153.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan keadaan umum tampak
sakit sedang dengan kesadaran compos mentis. Tanda-tanda vital
pasien meliputi tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 88x/menit, laju
pernafasan 22x/menit dan suhu tubuh 37,9 oC. Hasil pemeriksaan
status generalis didapatkan semua dalam batas normal.
Hasil status lokalis pada regio orofaring pasien didapatkan
bibir, mukosa mulut, lidah dan gigi geligi dalam batas normal.
Palatum molle, uvula, arkus faring, tonsil dan dinding faring
tampak hiperemis. Tonsil tampak membesar T4 T3, hiperemis,
permukaan tonsil tampak tidak rata, dan kriptae melebar. Didapatkan
detritus pada kedua tonsil, dan tampak abses di tonsil kiri. Tonsil
kiri tampak edema dan lebih hiperemis dibandingkan tonsil kanan.
Didaerah peritonsiler tidak ditemukan abses, namun tampak
hiperemis.
Gambar 3.1 Abses pada tonsil kiri pasien.
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 14.720/uL; Hb
13,6 g/dL; eritrosit 4,75 juta/uL; trombosit 247.000/uL; GDS 86
mg/d; dan antigen HbSAg negatif.
3.4 Diagnosis
Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut.
3.5 Rencana Terapi
Hospitalisasi
IVFD RL : D5 ( 24 tpm
- Inj. Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram (IV) ST- Inj. Ketorolac 3 x 1 ampul
(IV)3.6 Follow UpTanggalHasil Follow Up
26 Mei 2015
Pemeriksaan subjektif Pada tanggal 26 mei 2015 keluhan nyeri
menelan berkurang, pasien sudah bisa makan dan minum. Adanya
keluhan mata bengkak setelah pemberian obat ketorolac intravena.
Pemeriksaan objektif pada pasien didapatkan tekanan darah
110/70mmHg, nadi 72x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 37C . pada
pemeriksaan kepala : konjungtiva anemis negatif, sklera ikterik
negatif, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada , pemeriksaan
thorak, perut dan akral dalam batas normal. Untuk pemeriksaan
faring didapatkan tonsil membesar T4 (kanan), T3 (kiri), disertasi
kripta yang melebar, adanya detritus, dan tampak hiperemis. Untuk
tatalaksana diberikan infus D5:RL 1:1 20 tpm, injeksi ceftriaxone
2x1gram, ranitidin 2x1 IV, dan Norages. Sedangkan injeksi ketorolac
dihentikan, karna diduga sebagai penyebab terjadinya alergi pada
pasien.
27 Mei 2015Pemeriksaan subjektif Pada tanggal 27 mei 2015
keluhan nyeri menelan tidak ada, pasien sudah bisa makan dan minum.
Pemeriksaan objektif pada pasien didapatkan tekanan darah
110/80mmHg, nadi 76x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 36,7C . Pada
pemeriksaan kepala : konjungtiva anemis negatif, sklera ikterik
negatif, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada , pemeriksaan
thorak, perut dan akral dalam batas normal. Untuk pemeriksaan
faring didapatkan tonsil membesar T3 (kanan), T2 (kiri), disertasi
kripta yang melebar, adanya detritus yang berkurang, dan hiperemis
berkurang. Untuk tatalaksana diberikan infus D5:RL 1:1 20 tpm,
injeksi ceftriaxone 2x1gram dan ranitidin 2x1 IV. Rencana cek
Laboratorim : Leukosit , hitung jenis, dan laju endap darah.
28 Mei 2015
Pemeriksaan subjektif Pada tanggal 28 mei 2015 keluhan nyeri
menelan tidak ada, pasien sudah bisa makan dan minum, keadaan umum
pasien baik. Pemeriksaan objektif pada pasien didapatkan tekanan
darah 110/70mmHg, nadi 76x/menit, respirasi 19x/menit, suhu 36,6C .
Pada pemeriksaan kepala : konjungtiva anemis negatif, sklera
ikterik negatif, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada ,
pemeriksaan thorak, perut dan akral dalam batas normal. Untuk
pemeriksaan faring didapatkan tonsil membesar T3 (kanan), T2
(kiri), disertasi kripta yang mulai mengecil, adanya detritus yang
berkurang, dan hiperemis juga berkurang. Hasil dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan yaitu leukosit 8.000/mm3, laju endap darah
19mm, dan hitung jenis dalam batas normal. Pengobatan intravena
dihentikan dan pasien diizinkan untuk rawat jalan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Anamnesa
Pasien sulit menelan sejak kurang lebih tiga hari yang lalu
sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasakan seperti ada sesuatu
yang menganjal saat menelan, kadang-kadang disertai rasa nyeri, dan
kesulitan untuk berbicara. Keluhan dirasakan semakin memberat sejak
satu hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh ada demam
kurang lebih satu hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan
tidak terlalu tinggi tanpa disertai menggigil. Tidak ada keluhan
keluar darah dari mulut dan hidung, tidak ada sensasi asin-asin di
mulut, tidak ada perubahan suara pasien ketika keluhan nyeri
dirasakan. Riwayat sulit menelan sering dirasakan hilang timbul
semenjak pasien usia kanak-kanak, dan sering bolak balik ke dokter
untuk berobat dengan diagnosa amandel. Sebelum keluhan sulit
menelan dirasakan, pasien mengonsumsi makanan dan minuman seperti
biasa, tidak ada riwayat makan makanan pedas atau minuman dingin.
Riwayat mengonsumsi obat-obatan disangkal. Dan pada keluarga tidak
didapati riwayat penyakit serupa.
Pembahasan :
Seorang laki-laki 20 tahun, datang dengan keluhan sulit menelan
sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sulit menelan
disertai dengan nyeri dan merasakan seperti ada sesuatu yang
menganjal saat menelan, kadang-kadang disertai rasa nyeri, dan
kesulitan untuk berbicara. Menurut Smeltzer dan Bare (2000), pasien
tonsilitis datang dengan keluhan sulit menelan, sakit tenggorok,
demam, gangguan bicara. Pada pasien ini terdapat keluhan yang
sesuai dengan penyakit tonsilitis.
Pasien mengeluh adanya demam ketika keluhan sulit menelan
dirasakan. Hal ini disebabkan oleh proses inflmasi yang terjadi
pada tonsil. Pada pemeriksaan penunjang, apabila didapati demam,
dapat terjadi peningkatan sel darah putih sebagai mekanisme
perlindungan tubuh. Profil demam yang diraskan pasien tidak
spesifik ke arah penyakit lain, sehingga pada pasien tidak ada
kecurigaan infeksi yang bersumber dari penyakit lain misalnya demam
berdarah ataupun malaria, sehingga tidak dimasukan ke dalam
diagnosa banding. Berdasarkan hasil anamnesa, didapati riwayat
sakit serupa sudah sejak lama dan terus berulang. Meskipun pasien
mengaku sering bolak balik ke dokter untuk berobat, tetapi keluhan
sering kambuh dan menganggu aktivitas pasien. Hal ini menandakan
proses inflamasi dan infeksi pada tonsil masih terus terjadi dan
sudah bersifat kronis, disebabkan oleh paparan alergen atau
mikroorganisme penyebab secara terus-menerus ataupun pengobatan
tonsilitis yang tidak adekuat. Bakteri ataupun virus yang masuk ke
tubuh melalui mulut atau hidung harus melewati tonsil sebagai salah
satu lini pertahanan tubuh, namun apabila terjadi paparan terus
menerus, tonsil tentunya tidak akan mampu untuk mempertahankan
tubuh sehingga bisa terjadi infeksi didalamnya.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini ditemukan gejala konstitusi
yaitu pasien dalam keadaan demam (suhu 37,9 oC) sejak 2 hari SMRS.
Tonsil tampak membesar T4 T3, hiperemis, permukaan tonsil tampak
tidak rata, uvula tampak lengket pada tonsil kanan, terdapat
detritus, dan kriptae melebar. Hal ini sesuai dengan kepustakaan
bahwa tonsilitis kronis eksasebasi akut umumnya ditemukan tonsil
tampak hiperemis, kriptae melebar, ada detritus dan perlengketan.
Sedangkan tonsilitis kronis yang tidak mengalami eksaserbasi,
tonsil ditemukan membesar/mengecil namun tidak tampak hiperemis,
kriptae juga nampak melebar, ada detritus dan perlengketan, namun
tidak tampak ada tanda-tanda peradangan seperti pada tonsilitis
kronis eksaserbasi akut. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan
leukositosis (leukosit 14.720/uL) yang merupakan salah satu tanda
infeksi pada pasien ini.
Pada pasien ini pula ditemukan abses pada tonsil kiri. Tonsil
kiri tampak edema dan lebih hiperemis daripada tonsil kanan. Abses
intratonsiler merupakan salah satu komplikasi dari peradangan
kronis tonsil ke daerah sekitar. Menurut kepustakaan, abses ini
adalah akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya
diikuti dengan penutupan kriptae pada tonsilitis folikular akut.
Tonsil terlihat membesar dan merah.
Pasien dianjurkan untuk hospitalisasi karena pasien mengeluh
tidak bisa makan selama 3 hari akibat keluhan nyeri menelan yang
dirasakan. Penatalaksaan awal pada pasien ini diberikan terapi
cairan berupa Ringer Laktat : D5% sebanyak 24 tpm; injeksi
antibiotik (ceftriaxone 2 x 1 gram); injeksi analgetik (ketorolac 3
x 1 ampul); dan pasien diberikan injeksi ranitidine 2 x 1 ampul.
Ranitidine merupakan antagonist reseptor H2 yang dibekerja dengan
cara menekan sekresi asam lambung. Diberikan obat antagonist
reseptor H2 dengan pertimbangan pasien tidak bisa makan selama 3
hari, sehingga tidak ada makanan yang dicerna oleh lambung, dan
bisa terjadi peningkatan asam lambung. Pemberian injeksi ketorolac
diberikan untuk mengurangi rasa nyeri saat menelan.
Menurut kepustakaan, penatalaksaan tonsilitis kronis terdiri
atas terapi medikamentosa dan operatif. Terapi medikamentosa
ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap,
pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi
gigi atau oral. Pemberian antibiotika pada penderita tonsilitis
kronis eksaserbasi akut berupa cephaleksin (golongan sefalosporin
generasi pertama) ditambah metronidazole, klindamisin (terutama
jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam
klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis). Pada pasien ini
berikan antibiotik golongan sefalosporin generasi kedua yaitu
ceftriaxone. Ceftriaxone bekerja untuk bakteri gram positif dan
bakteri gram negatif. Tidak sama dengan kepustakaan, pada pasien
ini tidak mendapat terapi tambahan berupa metronidazole dan
klindamisin, hanya mendapat satu terapi antibiotik yaitu
ceftriaxone.
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada
tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan
ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika
yang inadekuat. Oleh karena itu, sebaiknya pada pasien dilakukan
kultur tonsil untuk mengetahui secara pasti bakteri penyebab
infeksi agar pasien dapat diberikan antibiotik yang tepat. Menurut
kepustakaan, gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari
dalam tonsil. Umumnya kuman terbanyak yang ditemukan yaitu
Streptokokus hemolitikus diikuti Stafilokokus aureus.
Pada follow up hari pertama (26 Mei 2015), keluhan nyeri menelan
pasien sudah berkurang, tidak demam, dan bisa makan-minum dengan
baik. Adanya keluhan mata bengkak setelah pemberian obat ketorolac
intravena saat pasien diantar dari IGD ke ruangan rawat inap. Di
duga pasien mengalami alergi. Hasil pemeriksaan faring didapatkan
pembesaran tonsil masih tetap sama, besar tonsil T4 (kanan), T3
(kiri), disertai kriptae yang melebar, adanya detritus, dan sedikit
hiperemis. Untuk tatalaksana tetap dilanjutkan terapi sebelumnya
yaitu diberikan infus D5:RL 1:1 24 tpm, injeksi ceftriaxone 2x1gram
(hasil skin test negatif), ranitidin 2x1 IV, dan Norages
(analgetik-anti inflamasi). Pada pasien ini injeksi ketorolac
dihentikan, karena diduga sebagai penyebab terjadinya alergi pada
pasien.
Pada follow up hari kedua (27 mei 2015), keluhan nyeri menelan
sudah menghilang, pasien sudah bisa makan-minum dengan baik. Hasil
pemeriksaan faring didapatkan tonsil sudah mengecil. Besar tonsil
T3 ( kanan ), T2 (kiri), disertai kripta yang melebar, adanya
detritus yang lebih berkurang, dan hiperemis hampir menghilang.
Untuk tatalaksana masih dilanjutkan terapi sebelumnya yaitu
diberikan infus D5:RL 1:1 20 tpm, injeksi ceftriaxone 2x1gram dan
ranitidin 2x1 IV. Rencana cek Laboratorim : darah lengkap, hitung
jenis, dan laju endap darah. Hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukosit sudah berkurang yaitu 8.000/uL; laju endap
darah 19 mm, dan hitung jenis dalam batas normal. Leukosit sudah
dalam batas normal, menandakan sudah tidak terdapat tanda
infeksi.
Follow up hari ketiga (28 Mei 2015), keadaan umum pasien sudah
membaik. Pasien sudah diperbolehkan untuk pulang. Hasil follow up
menunjukan keluhan pasien sudah berkurang dibandingkan pada saat
pertama kali masuk rumah sakit. Pada pasien ini, disarankan untuk
dilakukan tonsilektomi karena telah memenuhi kriteria keluhan yang
berulang lebih dari tiga kali. Tonsilektomi adalah tindakan yang
dilakukan apabila tonsil yang meradang semakin membesar dan terapi
medikamentosa tidak memberikan hasil yang memuaskan. Menurut the
American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical
Indicator Compendium tahun 1995 indikasi dilakukan tonsilektomi
adalah :
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun
telah mendapat terapi yang adekuat
2. Tonsil hipertrofi yang menimbukan maloklusi gigi dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan orofacial
3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan
sumbatan jalan nafas, sleep apnea , gangguan menelan, dan gangguan
bicara.
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis , abses
peritonsil, yang berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Nafas bau yang tidak berhasil diterapi dengan pengobatan
6. Tonsilits berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A
Streptococcus Beta Hematolitica7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai
adanya keganasan
8. Otitis media supuratif
BAB V
KESIMPULAN
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang disebabkan peradangan
pada tonsil karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian
antibiotik pada penderita tonsilitis akut. Berdasarkan hasil
anamnesa, didapati riwayat sakit serupa sudah sejak lama dan terus
berulang. Hal ini menandakan proses inflamasi dan infeksi pada
tonsil masih terus terjadi dan sudah bersifat kronis, disebabkan
oleh paparan alergen atau mikroorganisme penyebab secara
terus-menerus ataupun pengobatan tonsilitis yang tidak adekuat. Di
mana pada hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang di
dapatkan hasil yang menyokong diagnosis ke arah tonsilitis kronis
eksaserbasi akut.Menurut kepustakaan, penatalaksaan tonsilitis
kronis terdiri atas terapi medikamentosa dan operatif. Terapi
medikamentosa ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur
atau obat isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil
dengan alat irigasi gigi atau oral. Tidak sama dengan kepustakaan,
pada pasien ini tidak mendapat terapi tambahan berupa metronidazole
dan klindamisin, hanya mendapat satu terapi antibiotik yaitu
ceftriaxone. Pasca dirawat dan difollow up selama 3 hari, pasien
diperbolehkan rawat jalan dan disarankan untuk dilakukan
tonsilektomi karena telah memenuhi kriteria the American Academy of
Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Indicator Compendium
dengan indikasi keluhan yang berulang lebih dari tiga kali.1