BAB I LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. S Usia : 59 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Gintung Rejo,Tegalrejo Pekerjaan : Pedagang Status : Sudah Menikah Agama : Islam Datang ke Rumah Sakit pada tanggal : 1 Juli 2013 ke IGD Anamnesis dilakukan secara : Autoanamnesis pada tanggal 1 Juli 2013 di IGD Rumah Sakit Tingkat II Dr.Soedjono Magelang B. Subjektif 1. Keluhan Utama Batuk 2. Riwayat Penyakit Sekarang Batuk sudah setahun yang lalu, batuk disertai dahak bewarna putih kekuningan, batuk tidak disertai darah pasien juga mengaku sesak pada saat batuk. Pasien juga mengeluh lemas, nafsu 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 59 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Gintung Rejo,Tegalrejo
Pekerjaan : Pedagang
Status : Sudah Menikah
Agama : Islam
Datang ke Rumah Sakit pada tanggal : 1 Juli 2013 ke IGD
Anamnesis dilakukan secara : Autoanamnesis pada tanggal 1
Juli 2013 di IGD Rumah Sakit
Tingkat II Dr.Soedjono
Magelang
B. Subjektif
1. Keluhan Utama
Batuk
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Batuk sudah setahun yang lalu, batuk disertai dahak bewarna putih
kekuningan, batuk tidak disertai darah pasien juga mengaku sesak pada
saat batuk. Pasien juga mengeluh lemas, nafsu makan yang menurun dan
mual tapi tidak disertai dengan muntah. Setiap malam pasien mengaku
sering keluar keringat dingin.
r.
3. Keluhan Tambahan
- Demam dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, demam dirasakan hilang
timbul dan paling terasa pada sore dan malam hari.
- Batuk sejak 2 minggu yang lalu, dahak sulit keluar, setiap batuk kepala
semakin nyeri dan perut juga terasa sakit saat batuk.
1
- Mual (+), muntah (-)
- Telinga berdenging +/+
- Penurunan berat badan ± 10 kg dalam 1 bulan ini (65kg 55kg)
- Penurunan nafsu makan
- BAB dbn, BAK saat mengeluarkan urin awalnya terasa panas, urin
awalnya keruh lalu jernih berwarna kuning tua.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi (-), DM (-)
5. Riwayat Pengobatan
Sebelumnya sudah berobat ke Puskesmas dan Bidan tapi tidak ada
perubahan.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga tidak ada yang memiliki gejala yang sama. Bapak pasien
menderita hipertensi.
7. Riwayat Sosial
Merokok : merokok 1 hari 2 bungkus, sejak 10 tahun yang
lalu.
Minum alkohol : disangkal
Olahraga : tidak rutin
Gizi seimbang : kurang terkontrol
8. Pekerjaan
Pasien bekerja sebagai buruh bangunan
C. Objektif
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 Mei 2013 di Bangsal Cempaka.
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
o Tekanan Darah : 130/80 mmHg
o Nadi : 100 x/menit
o Suhu : 38,50C
o Respirasi : 20 x/menit
2
Kepala & Leher
o Konjungtiva anemis (-/-)
o Sklera ikterik (-/-)
o Tidak ada pembesaran KGB leher
o Lidah kotor (-)
o JVP dbn
Thorax
o Cor:
Ictus cordis tidak terlihat, tidak teraba
Batas jantung kanan di linea parasternal kanan ICS IV,
- Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka
untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai
pasien TB paru.
- Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
26
Pada pasien ini, dari hasil gambaran rontgen thorax didapatkan gambaran infiltrat berukuran milier tersebar di kedua lapangan pulmo, merata, sesuai gambaran TB Milier.
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan :
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default, maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus
dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan
pertimbangan medis spesialistik.
E. Patofisiologi Tuberkulosis
Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberkulosis masuk ke jaringan paru
melalui airborne infection yang terhirup. Masuknya kuman akan merangsang
mekanisme imun nonspesifik, makrofag alveolus akan memfagositosis kuman TB dan
biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB, dengan demikian
masuknya kuman tidak selalu menimbulkan penyakit, terjadinya infeksi dipengaruhi
oleh virulensi dan banyaknya kuman TB serta daya tahan tubuh yang terkena. Jika
virulensi kuman tinggi dan jumlah kuman banyakatau daya tahan tubuh menurun
maka makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi
dalam makrofag tersebut. Kuman TB yang terus berkembangbiak akan menyebabkan
makrofag lisis, dan kuman TB akan mmbentuk koloni yang disebut Fokus Primer
Ghon.
Dari Fokus Primer tersebut kuman TB dapat menyebar melalui saluran limfe
menuju ke kelenjar limfe regional yang akan menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (Limfangitis) dan kelenjar limfe tersebut (Limfadenitis). Kompleks
Primer merupakan gabungan antara Fokus Primer. Limfangitis dan Limfadenitis
27
regional. Masa inkubasi yaitu sampai terbentuknya Kompleks Primer biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu.
Apabila virulensi kuman rendah atau jumlah kuman sedikit atau daya tahan
tubuh yang baik Kompleks Primer akan mengalami resolusi secara sempurna
membentuk fibrosis dan kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan
enkapsulasi. Begitu juga kelenjar limfe regional akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi resolusinya biasanya tidak sesempurna Fokus Primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar
ini (dormant).
Selain mengalami resolusi Kompleks Primer dapat juga mengalami komplikasi
dan dapat menyebar. Penyebaran dapat terjadi secara bronkogen, limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen kuman TB
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sitemik.
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
- Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung
pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat
diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks,
dan lain-lain.
H. Tata Laksana
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
Jenis obat yang digunakan pada lini pertama adalah :
INH
Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
38
Pada pasien ini diberikan obat-obatan lini pertama sesuai dengan ketentuan pada pengobatan TB, dimana pada pasien yang baru terinfeksi TB diberikan obat-obatan lini pertama, untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Pasien ini mendapatkan etambutol dan streptomisin injeksi mulai perawatan hari ke-3. Pasien ini diberikan etambutol dan pirazinamid karena didapatkan peningkatan kadar serum hepar (SGOT meningkat 2,5 kali lipat dari nilai normal) dan SGPT meningkat, sehingga tidak diberikan OAT yang bersifat hepatotoksik.
Jenis obat lainnya (lini ke-2) :
- Kanamisin
- Amikasin
- Kuinolon
- Lain : makrolid dan amoksilin + asam klavulanat
- Obat tunggal, terpisah yaitu : INH, rifampisin, pirazinamid, etambutol.
- Obat kombinasi dalam dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC).
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
dengan metode DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse oleh seorang
Pengawas Menelan Obat(PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
39
Besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis diIndonesia:
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Kategori 3 : 2HRZ/2HR
Kategori 4 : tidak dapat diaplikasikan (mempertimbangkan penggunaan obat-
obatan barisan kedua), tipe MDR diberikan H saja seumur hidup atau sesuai
rekomendasi WHO.
Jenis dan dosis OAT
Paket Kombipak
Paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai.
Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. KDT
mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
40
Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan.
Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Panduan OAT
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
41
Pada pasien ini termasuk ke dalam kategori-1, pasien TB paru foto thorax positif.
c. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
42
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT
lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada
OAT lapis kedua.
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan deng
an pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau
kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau
kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan
pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi).
Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah
satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif.
Tabel Ringkasan Panduan OAT
Kategori Kasus Paduan obat yang
diajurkan
Keterangan
I - TB paru BTA +,
BTA - ,
lesi luas
2 RHZE / 4 RH atau
2 RHZE / 6 HE
*2RHZE / 4R3H3
II - Kambuh
-Gagal
pengobatan
-RHZES / 1RHZE /
sesuai uji resistensi
atau 2RHZES /
1RHZE / 5 RHE
-3-6 kanamisin,
ofloksasin, etionamid,
sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau
Bila streptomisin
alergi,dapat
diganti kanamisin
43
2RHZES / 1RHZE /
5RHE
II - TB paru putus
berobat
Sesuai lama
pengobatan
sebelumnya, lama
berhenti minum obat
dan keadaan klinis,
bakteriologi dan
radiologi saat ini (lihat
uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
III -TB paru BTA
neg. lesi minimal
2 RHZE / 4 RH atau
6 RHE atau
*2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil
uji resistensi (minimal
OAT yang sensitif) +
obat lini 2 (pengobatan
minimal 18 bulan)
IV - MDR TB
Sesuai uji resistensi +
OAT lini 2 atau H
seumur hidup
44
45
I. Efek Samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.Efek
samping yang terjadi dapat ringan atau berat tabel di bawah ini, bila efek samping ringan
dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya
Jenis Obat Efek Samping Tata Laksana
MINOR OAT diteruskan
Rifampisin Tidak nafsu makan, mual,
sakit perut
OAT diminum malam,
sebelum tidur
Warna kemerahan pada air seni
Pirazinamid Nyeri sendi Beri Aspirin/ Allopurinol
INH Kesemutan s/d rasa terbakar
di kaki
Beri Vit.B6 (piridoksin)
1x100 mg perhari
MAYOR HENTIKAN OAT
Semua jenis OAT Gatal & kemerahan pada kulit Beri Antihistamin &
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat diberikan rawat jalan.
Selain OAT perlu pengobatan tambahan atau suportif/ simptomatis untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/ keluhan.
46
- Pada pasien rawat jalan
a. Makan-makanan yang bergizi
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/ demam
c. Bila perlu diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain
- Indikasi Rawat Inap
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat.
47
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan kimia darah untuk mengetahui
adanya gangguan fungsi hepar ataupun gangguan fungsi ginjal, karena apabila
terdapat gangguan pada kedua sistem tersebut tidak dapat diberikan obat TB
yang dapat memberikan efek samping pada kedua sistem organ tsb.
Hasil pemeriksaan kimia darah pasien ini pada hari ke-2 didapatkan
kadar ureum & creatinin yg normal, tetapi terdapat peningkatan kadar SGOT (40
U/l) dan SGPT (100 U/l). Sehingga pada pasien ini tidak diberikan obat-obatan
TB yang bersifat hepatotosik seperti (Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid).
J. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi Klinik
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama selanjutnya setiap 1
bulan.
- Evaluasi : respons pengobatan, ada tidaknya efek samping obat dan komplikasi
penyakit.
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi Bakteriologik (0-2-6/ 9 bulan pengobatan )
- Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
- Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopik
o Sebelum pengobatan dimulai
o Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
o Pada akhir pengobatan
- Bila ada fasilitas biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
Evaluasi Radiologik (0-2-6 / 9 bulan pengobatan)
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan
Evaluasi Efek Samping secara Klinik
- Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap.
- Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
- Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan).
- Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri.
48
Evaluasi Keteraturan Obat
Evaluasi
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam
2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh
(bila ada kecurigaan TB kambuh).
K. MULTI DRUG RESISTANCE (MDR)
Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.Tuberculosis resisten terhadap Rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberculosis
adalah :
- Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan TB.
- Resistensi inisial ialah tidak tahu pasti apakah sudah pernah ada riwayat
pengobatan.
- Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya.
Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberculosis, yaitu :
- Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
- Penggunaan panduan obat yang tidak adekuat
- Pemberian obat yang tidak teratur
- Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam satu panduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada obat panduan pertama, maka “penambahan” satu macam obat akan
menambah daftar obat resisten.
- Penggunaan obat kombinasi pencampurannya tidak baik, mengganggu
bioavailability obat.
- Penyediaan obat yang tidak regular, kadang obat dating ke suatu daerah kadang
terhenti.
- Pengetahuan pasien yang kurang tentang OAT.
49
Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)
Klasifikasi OAT untuk MDR
Kriteria utama berdasarkan data biological dibagi menjadi 3 kelompok OAT :
1. Obat aktifitas bakterisid : aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah : fluorokuinolon
3. Obat dengan aktifitas bakteriostatik : etambutol, cycloserin, dan PAS
Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin, dan siprofloksasin) dapat
digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1.
L. Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah :
- Batuk darah
- Pneumotoraks
- Luluh paru
- Gagal nafas
- Gagal jantung
- Efusi pleura
M. Pengobatan Tuberkulosis Milier
a. Rawat inap
b. Panduan Obat : 2 RHZE/ 4RH
Pada keadaan khusus (sakit berat) tergantung keadaan klinis, radiologi, dan
evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang. Pemberian
kortikosteroid tidak rutin, hanya dapat diberikan pada keadaan :
- Tanda/ gejala meningitis
- Sesak nafas
- Tanda/ gejala toksik
50
- Demam tinggi
N. Prognosis
Pengobatan yang tidak adekuat atau tidak patuh menyebabkan munculnya
strain mikobakteri multiresisten yang dapat sulit dieardikasi. Supervise kompulsif dan
isolasi pasien tersebut mungkin diperlukan.
II. DRUG INDUCED HEPATITIS
Definisi
Penyakit hepar yang diinduksi oleh obat.
Etiologi
Klasifikasi
51
Faktor Risiko
• Ras
• Usia
• Jenis kelamin
• Alkohol
• Penyakit hati
• Faktor genetik
Gejala Klinis
• Asimptomatik
• Simptomatik
- Mual
- Muntah
- Anoreksia
- Jaundice, dll.
Px.Lab : Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati
akut.
III.HEPATOTOKSISITAS IMBAS OBAT ANTI TUBERKULOSIS
52
( DRUG INDUCED HEPATITIS)
Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir
50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya.
Namun, masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini
tidak diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV
serta terjadinya Multiple Drug Resistant Tuberkulosis (TB-MDR).
Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman
baik untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang
disebabkan oleh obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati
disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi
sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan TB tetapi juga
menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen pengobatan untuk TB
Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol
(E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S). (Kishore, dkk, 2010)
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/
streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik). Faktor risiko hepatotoksisitas:
Faktor Klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit
dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC
lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan Faktor
Genetik. (Kishore, dkk, 2010)
Manifestasi Klinis Hepatotoksisitas Imbas OAT
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip
dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat
gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah,
anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada
kegagalan hati akut. (Kishore, dkk, 2010).
Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan
memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan
acuan diagnosa hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti
akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-
muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat
53
Efek Hepatotoksik OAT
Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine
transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat
peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan
progresif ALT (SGPT) dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis
menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat
tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain
merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan
berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas.
(Kishore, dkk, 2010)
Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi
hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT
dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi
progresif dan menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH
bertanggung jawab atas kerusakan hati.
INH harus dihentikan apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali nilai
normal. Hepatotoksisitas jarang terjadi pada anak-anak yang menerima INH. Dalam
10 tahun analisis retrospektif, kejadian hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima
INH (10 miligram per kilogram per hari (mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300
54
Pada perawatan hari ke-2 didapatkan nilai SGPT 100 U/l, dimana rentang normalnya antara 0-41 U/l, terdapat peningkatan sekitar 2,5 kali lipat nilai normal, hal ini menunjukkan adanya disfungsi hepar.
Pasien juga memiliki riwayat berobat ke rs.paru di trunan dan dinyatakan terdapat flek paru (istilah TB untuk orang awam), dan kemungkinan pasien menerima pengobatan , tetapi disini pasien tidak tahu nama obat yang diberikan dari rs.paru tersebut, tapi tidak menutup kemungkinan obat-obatan yang diberikan adalah golongan OAT lini pertama yang sebagian besar bersifat hepatotoksik.
mg / hari) untuk profilaksis pada pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian,
kejadian hepatotoksisitas pada anak-anak yang menerima INH dan rifampisin untuk
TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari 430 anak-anak). (Kishore, dkk,
2010)
Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada
tahap awal terapi. Bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas
berat, lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya,
sehingga memaksa dokter untuk mengubah pengobatan dan memilih obat yang aman
untuk hati.
Rifampicin menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya
dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari
pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas.
Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang
menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan
sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini tidak
dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)
Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama
terapi. Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang
dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin
antara Oktober 2000 dan Juni 2003. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi
pada kedua bulan terapi. (Kishore, dkk, 2010)
Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB.
Tes fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang
menggunakan etambutol yang dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan
hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)
55
Streptomisin
Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yangdilaporkan. (Kishore, dkk, 2010)
Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat
56
Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik (drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
- Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
- Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT
distop
- SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
- SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan
Paduan obat yang dianjurkan
- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
- Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klinis dan laboratorium kembali
normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H)
desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan
periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium
kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES.
- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)
Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko
hepatotksisitas terhadap obat anti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien
dengan karier HBsAg positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat
standard jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid
dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar
10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi
aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya
menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau
tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal
dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis
viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan
kemudian. (Xial, Yin Yin, dkk, 2010).
Rekomendasi Mengelola OAT
57
Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat
diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional
untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OAT antara lain:
- Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut
harus dihentikan
- Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu
- Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan
dua bulanStreptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan
Etambutol.
- Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol sampai
8 bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk
rejimen standar. (Kishore, dkk, 2010)
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien
hepatotoksisitas
- INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai
300 mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
- Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis
75 mg / harilalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg
(<50 kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak
ada reaksi yang terjadi, lanjutkan.
- Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat
menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).
(Kishore, dkk, 2010)
Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT
Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB dan
sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko
seperti pasien dengan gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan
kurang gizi. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan
akan tetapi pendidikan kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang
menjalani pengobatan TB secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat
dari OAT tetapi juga efek samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera
58
jika terjadi gejala yang mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual,
muntah, jaundice, yang terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien
harus dinilai tidak hanya dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan
tanda-tanda hepatitis pada mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada
kecurigaan klinis reaksi hepatitis. Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT,
AST dan kadar bilirubin. (Kishore, dkk, 2010)
Kriteria yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Perkembangan
Hepatotoksisitas Imbas OAT
1. Periksa kimia normal hati sebelum memulai rejimen obat OAT
2. Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai
pemberian OAT
3. Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis
standar, sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan
kimia hati yang abnormal.
4. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk
AST> 120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl
(normal, 1,5 mg / dl).
5. Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati.
6. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan
50% dari kimia hati yang abnormal. (Jaime, Ungo, dkk, 2010)
Uji Test OAT Penyebab Hepatotoksisitas
Masalah terbesar dengan pengobatan TB adalah drug-induced hepatitis, yang
memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Tiga obat-obatan dapat menyebabkan hepatitis:
Pirazinamid, INH dan Rifampicin (dalam urutan penurunan frekuensi). Hal ini tidak
mungkin untuk membedakan antara tiga penyebab murni berdasarkan yanda-tanda dan
gejala. Tes fungsi hati harus diperiksa pada awal pengobatan, tetapi, jika normal, tidak
perlu diperiksa lagi, pasien hanya perlu memperingatkan gejala hepatitis. Dalam hal
ini, tes hanya perlu dilakukan dua minggu setelah memulai pengobatan dan kemudian
setiap dua bulan selanjutnya, kecuali ada masalah yang terdeteksi. Peningkatan kadar
bilirubin dapat terjadi akibat pemakaian Rifampicin (blok ekskresi bilirubin) dan
59
namun biasanya kembali normal setalah 10 hari (peningkatan enzim hati untuk
mengimbangi produksi). Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan AST) yang
utama di tiga minggu pertama pengobatan. Jika pasien asimtomatik dan elevasi tidak
berlebihan maka tidak ada tindakan yang perlu diambil. Beberapa ahli menganggap
pengobatan harus dihentikan jika penyakit kuning menjadi bukti klinis.
Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat
harus dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB
tidak dapat dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambuto sampai
kadar transaminase kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis).
Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan
dalam suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat. Seorang
perawat harus hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada 15 interval
menit selama minimal empat jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang paling
akan terjadi dalam waktu enam jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan terjadi).
Pasien dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit dan akses ke fasilitas perawatan intensif
harus tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam urutan ini.:
* Hari 1: INH pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
* Hari 2: INH pada 1 / 2 dosis
* Hari 3: INH dengan dosis penuh
* Hari 4: RMP pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
* Hari 5: RMP jam 1 / 2 dosis
* Hari 6: RMP pada dosis penuh
* Hari 7: EMB pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
* Hari 8: EMB pada 1 / 2 dosis
* Hari 9: EMB pada dosis penuh
Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain harus
dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4, misalnya,
pasien hanya menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan. Jika pasien
melengkapi sembilan hari dosis tes, maka wajar untuk menganggap bahwa PZA telah
menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji PZA perlu dilakukan.
Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah karena
60
kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini adalah
diuji pertama: PZA adalah obat yang paling mungkin menyebabkan hepatitis dan juga
merupakan obat yang bisa paling mudah dihilangkan . EMB berguna ketika pola
kepekaan organisme TB tidak diketahui dan dapat dihilangkan jika organisme
diketahui sensitif terhadap INH. Rejimen masing-masing menghilangkan obat standar
tercantum di bawah ini.
Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai
berikut:
1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak
adanya obat-obatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya
2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling akhir
(dan mungkin tidak perlu diuji sama sekali). (Wikipedia, 2008)