MANAJEMEN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN AKTIVITAS FUNGSIONAL GERAK TUBUH AKIBAT HEMIPARESE e.c NON HAEMORRHAGIC STROKE PADA PASIEN GERIATRI DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN UNHAS MAKASSAR LAPORAN KASUS Mustika C131 11 255 PROGRAM STUDI S1 PROFESI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MANAJEMEN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN AKTIVITAS
FUNGSIONAL GERAK TUBUH AKIBAT HEMIPARESE e.c
NON HAEMORRHAGIC STROKE PADA PASIEN GERIATRI
DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN UNHAS
MAKASSAR
LAPORAN KASUS
Mustika
C131 11 255
PROGRAM STUDI S1 PROFESI FISIOTERAPI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Menjadi tua adalah suatu proses natural dan kadang-kadang tidak tampak
mencolok. Penuaan akan terjadi pada semua sistem tubuh manusia dan tidak
semua sistem akan mengalami kemunduran pada waktu yang sama. Penuaan
diikuti dengan penurunan kemampuan berbagai organ, fungsi, dan sistem tubuh
yang sifatnya alamiah/fisiologis. Penurunan tersebut disebabkan berkurangnya
jumlah dan kemampuan sel tubuh. Pada umumnya tanda proses menua mulai
tampak sejak usia 45 tahun dan akan menimbulkan masalah pada usia sekitar 60
tahun.1
Peningkatan jumlah manula mempengaruhi aspek kehidupan mereka
seperti terjadinya perubahan fisik, biologis, psikologis, dan sosial sebagai akibat
proses penuaan atau munculnya penyakit degeneratif akibat proses penuaan
tersebut. Secara signifikan orang tua mengalami kasus mortalitas dan morbiditas
lebih besar daripada orang muda. Kerentanan orang tua terhadap penyakit
disebabkan oleh menurunnya fungsi sistem imun tubuh.2
Dengan kondisi yang demikian, golongan lansia memiliki banyak masalah
kesehatan yang dihadapi. Kane, Ouslander, dan Abrass pada tahun 2004 dalam
buku Essentials of Clinical Geriatrics menyebutkan terdapat 14 masalah
kesehatan pada lansia umumnya, yaitu immobility (kurang bergerak), instability
(berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), incontinence (buang air
kecil dan atau buang air besar), intellectual impairment (gangguan
intelektual/dementia), infection (infeksi), impairment of vision and hearing
(gangguan pancaindera), impaction (sulit buang air besar), isolation (depresi),
6. Gangguan bahasa (disarthria: kesulitan dalam membentuk kata;
aphasia atau disphasia: bicara defeksif/kehilangan bicara)
7. Gangguan persepsi
8. Gangguan status mental
TINJAUAN UMUM TENTANG HEMIPARESE (HEMIPARESIS)
1. Pengertian
Kata “Hemi” berarti sebelah sisi tubuh dan “Paresis” berarti
kelemahan. Sekitar 80% orang yang mengalami stroke memiliki kesulitan
bergerak pada satu sisi tubuhnya, atau menderita kelemahan pada satu sisi
tubuh mereka. Kondisi ini disebut hemiparesis, yang paling sering
disebabkan oleh stroke dan akibat trauma pada otak. Selain itu,
hemiparesis juga dapat disebabkan oleh tumor otak, multiple sclerosis ,
penyakit lain dari otak atau sistem saraf.
Hemiparese berarti kelemahan pada satu sisi tubuh. Contohnya,
pasien dapat mengeluhkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang mengarah
pada lesi hemisfer serebri kontralateral. Dalam mendiagnosis, harus
dilakukan pertanyaan lebih lanjut dan mendetail mengenai waktu
terjadinya gejala sehingga dapat mengklarifikasikan perjalanan patologis
dari lesi ini.
Hemiparesis disebabkan oleh kerusakan otak. Kerusakan otak
dapat terjadi akibat stroke, kecelakaan/trauma, ataupun tumor. Khususnya
kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) umumnya melanda sebelah
tubuh sehingga dinamakan hemiparesis, hemiplegia atau hemiparalisis.
Istilah paralisis atau plegia merujuk pada kehilangan total kontraktilitas
otot.
Penyebab tersering hemiparesis pada orang dewasa yaitu infark
serebral atau perdarahan. Serangan secara mendadak, transient ischemic
attack sebelumnya, dan progresi menjadi derajat maksimum dalam 24 jam
pada orang dengan hipertensi atau usia lanjut merupakan indikasi telah
terjadi stroke. Jika tidak terdapat gejala-gejala serebral, dapat diduga
terjadi myelitis transversus dari korda spinalis servikal, tetapi kondisi ini
progresifitasnya lambat (beberapa hari) dan lebih sering menyerang
keempat tungkai. Begitu pula dengan multiple sclerosis yang biasanya
bermanifestasi menjadi tanda kortikospinal bilateral daripada hemiplegia
murni.7
Jika hemiparesis yang berasal dari serebral progresifitasnya dalam
hari atau minggu, dapat dicurigai lesi massa serebral, baik pada pasien
anak-anak atau dewasa. Selain tumor otak, kemungkinan lain termasuk
malformasi arteriovenosus, abses otak, atau infeksi lainnya. Kelainan otak
metabolik biasanya mengakibatkan tanda bilateral dengan gangguan
mental, tetapi merupakan penyebab hemiparesis yang jarang.Secara
umum, hemiparesis biasanya merujuk pada lesi serebral daripada lesi di
leher, dan penyebabnya dapat ditemukan dengan melihat gejala klinis dan
dengan Computerized Tomography-Scan (CT-Scan) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI).
2. Gambaran umum penderita hemiparesis
Orang dengan hemiparesis mungkin mengalami kesulitan bergerak
dengan tangan dan kaki mereka, sulit berjalan, dan juga mungkin akan
mengalami hilangnya keseimbangan. Akibatnya, melakukan kegiatan
sederhana setiap hari bisa sulit. termasuk, meraih benda, berpakaian,
makan dan penggunaan kamar mandi. Hilangnya kemampuan pada
penderita stroke tergantung pada area otak yang telah rusak.10
Hemiparesis sisi kanan melibatkan cedera pada sisi kiri otak, yang
mengontrol bahasa dan berbicara. Orang yang menderita jenis hemiparesis
ini juga mungkin memiliki masalah berbicara dan atau memahami apa
yang orang lain katakan. Penderita juga mungkin mengalami kesulitan
menentukan arah kiri dan kanan. Hemiparesis sisi kiri melibatkan cedera
pada sisi kanan otak, yang mengontrol proses bagaimana kita belajar,
berkomunikasi secara non-verbal, dan perilaku-perilaku tertentu.
Kerusakan pada daerah ini juga dapat menyebabkan penderita berbicara
secara berlebihan, memiliki masalah pada memorinya dan perhatian yang
tidak baik. 4
3. Jenis hemiparesis
a. Pure Motor Hemiparesis
Ini adalah jenis yang paling umum. Penderita dengan pure motor
hemiparesis akan mengalami kelemahan pada wajah, lengan dan kaki.
Pada beberapa kasus dapat mempengaruhi bagian tubuh yang lainnya.
b. Ataxic Hemiparesis Syndrome
Merupakan kondisi yang paling sering kedua, didapatkan kelemahan
pada satu sisi tubuh. Kaki biasanya lebih terpengaruh dibandingkan
lengan. Gejalanya sering terjadi selama beberapa jam atau beberapa
hari.
4. Manajemen fisioterapi
Manajemen fisioterapi dapat terbagi menjadi 3 tahap yaitu pada tahap
a. Zona Akut (berlangsung selama 6-10 hari
b. Zona Recovery (berlangsung 6-8 pekan)
c. Zona nekrotik (berlangsung selama >8 pekan)
Pada fase degenerative dan nekrotik tujuan fisioterapi adalah:
Untuk mendapatkan kembali kekuatan otot. Memperoleh kekuatan otot
bergantung pada aktivitas maksimal dari penggunaan otot di setiap
gerakan-gerakan utama dan juga gerakan tambahan pada beberapa grup
otot antagonis dan fiksator.
Untuk melatih kembali gerakan fungsional secara penuh. Sebagian
besar dari kasus seperti ini diharapkan memungkinkan untuk mendapatkan
kembali gerak fungsional penuh tetapi jika tidak, physio harus
mengembalikan fungsi optimum dan besarnya pengembalian fungsi penuh
ini bergantung pada komplikasi-komplikasi yang menghambat pemulihan
sepenuhnya.
PERANAN FISIOTERAPI PADA PASIEN HEMIPARESIS
Peran fisioterapi adalah sebagai berikut 9
1. Melakukan assessment fisioterapi
Dalam penegakan diagnosis fisioterapi untuk problem terkait
fisioterapi pada pasien dengan kasus efusi pericardium, seorang
fisioterapis dapat melakukan proses assessment atau pemeriksaan. Salah
satunya dengan menggunakan model CHARTS (Chief of complain,
History taking, Assymetryc, Restricted, Tissue impairment and
psychosomatic, Spesific test)
2. Diagnosa fisioteterapi
Setelah melakukan pemeriksaan, maka fisioterapis dapat
menegakkan diagnosa fisioterapi. Diagnosis fisioterapi berbeda dengan
diagnosis dokter meskipun telah ada diagnosa dokter, fisioterapi harus
tetap menegakkan diagnosanya sendiri yang terkait dengan masalah gerak
dan fungsi gerak pasien. Dengan ditegakkan diagnosa fisioterapi, maka
akan mengarahkan fisioterapis dalam melakukan langkah-langkah
selanjutnya dengan tepat dan efektif.
3. Program fisioterapi
Untuk memudahkan fisioterapis dalam melakukan intervensi
secara efektif dan efisien, serta memudahkan evaluasi, dokumentasi, dan
modifikasi terhadap perkembangan pasien nantinya, maka perlu disusun
suatu program fisioterapi yang berisi rencana tindakan fisioterapi terhadap
setiap problem pasien serta dosis tindakan tersebut. Dengan adanya
program fisioterapi yang disusun secara tertulis, maka tindakan fisioterapi
akan lebih terarah dan terjadwal serta memudahkan pasien untuk ditangani
oleh fisioterapis lain.
4. Intervensi fisioterapi
Intervensi fisioterapi adalah penerapan program fisioterapi yang
telah disusun dan direncanakan. Intervensi fisioterapi harus dilakukan
dengan baik dan benar agar tercapai hasil terapi yang diinginkan sehingga
pasien mengalami kemajuan dari waktu ke waktu.
5. Evaluasi fisioterapi
Setelah melakukan tindakan intervensi fisioterapi kepada pasien,
maka untuk melihat hasil intervensi terhadap perkembangan kondisi
pasien, maka perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi tersebut dapat dilakukan
setiap selesai melakukan intervensi dan atau dilakukan setelah beberapa
kali tindakan intervensi, biasanya setiap tiga kali dan atau setelah enam
kali setelah tindakan fisioterapi.
Hasil evaluasi juga bisa mengantarkan pasien untuk melakukan
pemeriksaan kembali pada pasien terkait dengan adanya perubahan
patofisiologi kondisi pasien atau adanya problem baru yang muncul
dimana pada pemeriksaan pertama belum ada.
6. Modifikasi fisioterapi
Pemberian intervensi fisioterapi kepada pasien merupakan
keputusan seorang fisioterapis dalam memilih tindakan terapi yang sesuai
dengan problem fisioterapi. Fisioterapis boleh mengubah tindakan terapi
yang telah dipilihnya dengan mempertimbangkan perubahan kondisi
pasien, perubahan patofisiologi penyakit yang diderita pasien, dan
kemajuan teknologi fisioterapi. Maka dibutuhkan modifikasi dari
fisioterapis terhadap jenis terapi, dosis atau metode terapi yang dilakukan.
Modifikasi tersebut membutuhkan kejelian fisioterapis dalam
mengamati dan mengevaluasi kondisi pasien, serta inovasi dan kreativitas
dalam menentukan tindakan intervensi yang harus dilakukan.
7. Dokumentasi fisioterapi
Dokumentasi dilakukan sejak pasien pertama kali datang untuk
menjalani fisioterapi hingga pasien menyelesaikan program fisioterapi
yang dijalaninya.Data-data tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam
melakukan suatu penelitian fisioterapi mengenai kondisi tertentu yang
banyak ditemukan dilahan praktek.
8. Pengembangan kemitraan fisioterapi
Intervensi yang pertama kali dilakukan di rumah sakit bagi pasien
baru adalah pengambilan data medis klinik, yang mana hal tersebut
menjadi kewenangan dokter. Ketika dokter mengintervensi berdasarkan
kompetensi kedokterannya, misalnya adanya efusi pericardium, maka
analisis selanjutnya adalah apakah ada gangguan gerak dan fungsi gerak
berkaitan dengan gejala klinik dari perubahan patofisiologi tersebut. Jika
ternyata ada, maka diharapkan dokter akan merujuk ke bagian fisioterapi
untuk dilakukan tindakan fisioterapi secara mandiri berupa proses dan
pengukuran fisioterapi. Ketika dievaluasi dan telah diidentifikasi
perubahan patofisiologi dari sisi gerak dan fungsi gerak maka secara
kemitraan dan kolaborasi hasil terapinya dilaporkan ke dokter kembali.
BAB III
LAPORAN KASUS
PEMERIKSAAN FISIOTERAPI
Nama pasien : Tn. A.L
Usia : 75 tahun
Alamat : Polman Sulawesi Barat
Agama : islam
Status : Pensiunan
Kondisi umum pasien:
1. TD : 140/80 mmHg
2. DN : 88 x/menit
3. Pernafasan : 20x/menit
4. Suhu : 36°C
CHIEF OF COMPLAINT :
Lemah separuh badan sebelah kanan
HISTORY :
Terjadi sejak 6 bulan yang lalu. Awalanya pasien beraktivitas seperti biasa. Pada
saat masuk shlat magrib tiba-tiba pasien jatuh pingsan dan saat pasien sadarkan
diri pasien tidak mampu menggerakkan separuh badan sebelah kanan. Riwayat
Hipertensi (+), riwayat Jantung (-), riwayat Asam Urat (+).
ASIMETRI
1. Inspeksi statis :
a. Pasien Nampak cemas.
b. Posisi duduk : normal
c. Pasien berdiri : kurva dari tulang vertebra terlihat kyfosis.
d. Pasien baring : cenderung tidur terlentang dengan alignment tubuh yang
tidak lurus/miring.
2. Inspeksi Dinamis :
a. Pasien dating derngan memakai kursi roda.
b. Saat berjalan terlihat pincang dan dan menggunakan alat bantu berupa
tongkat.
c. Pola nafas normal.
d. Pasien dapat transfer dan ambulasi dengan bantuan.
3. Tes Orientasi :
a. Pasien diminta untuk mengangkat ekstremitas superior
IP : Pasien sulit menggerakkan ekstremitas superior dekstra
b. Pasien diminta untuk mengangkat ekstremitas inferior
IP : Pasien mampu, namun perlahan menggerakkan ekstremitas inferior
dekstra
c. Pasien diminta untuk miring ke kiri dan ke kanan.
IP : Pasien masih kesulitan melakukannya.
d. Pasien diminta untuk duduk dari posisi tidur terlentang.
IP : pasien tidak dapat melakukannya.
4. Palpasi
a. Nyeri tekan (-)
b. Spasme (-)
c. Oedem (+) pada fingers dan toes dextra
e. Suhu : hangat pada bagian udemnya
5. PFGD ( aktif, pasif dan TIMT )
Sendi Gerakan Aktif Pasif TIMTDx Sin Dx Sin Dx Sin
Shoulder
FleksiEkstensiAbduksiAdduksi
EndorotasiEksorotasi
Elbow FleksiEkstensi
Wrist
FleksiEkstensiDeviasi Ulnar
Deviasi Radial
Hip
FleksiEkstensiAbduksiAdduksi
EndorotasiEksorotasi
Knee FleksiEkstensi
Ankle
Dorso FleksiPlantar FleksiInversiEversi
RESTRICTIF:
1. ROM :
2. ADL
Pasien mengalami gangguan ADL (walking, eating, toileting, self care,
dressing and sex.).
3. Pekerjaan dan rekreasi
Semenjak sakit, pasien tidak dapat lagi melakukan aktivitasnya sehari-hari.
TISSUE IMPAIRMENT :
Jaringan yang mengalami kerusakan/gangguan adalah:
1. Neurogen : UMN
2. Muskulotendinogen: weakness otot ekstremitas superior dan inferior
dekstra.
3. Osteoarthrogen: -
4. Psokoge : Cemas
PEMERIKSAAN SPESIFIK
1. VAS (Pada shoulder)
Nyeri diam : 3
Nyeri gerak : 7
Nyeri tekan : 5
2. Tes sensorik
a. Tes rasa nyeri (tajam, tumpul)
b. Tes rasa raba (halus, kasar)
c. Tes beda titik (1 titik atau 2 titik)
d. Tes rasa posisi (lurus, bengkok)
IP : Normal
3. Tes Refleks
Refleks biceps (C5-6), triceps (C6-8), KPR (L2-4), dan APR (S1-2)
Tingkat Jawaban Refleks
Tingkatan Interpretasi
- Tidak ada reflex sama sekali
± Kurang jawaban, jawaban lemah
+ Jawaban normal
++ Jawaban berlebihan, reflex meningkat
Hasil : Ext.superior dan inferior dextra ++
Jawaban berlebihan, reflex meningkat
IP : Hiperefleks
4. Pemeriksaan sensomotorik
a. Non Equilibrium
Hasil :
IP :
b. Equilibrium
Hasil :
IP :
5. Tes Stabilitas (bridging)
Hasil : pasien mampu melakukan dengan baik
IP : Normal
6. Pemeriksaan GDS (Geriatric Depression Scale)
Hasil : 7
IP : kemungkinan besar depresi
7. Pemeriksaan Indeks Barthel (Barthel D, 1965)
Hasil : 5
IP : ketergantungan berat
8. MMSE
Hasil : 5
IP : Definite gangguan kognitif
9. Tes Kekuatan Otot (manual muscle testing)
Nilai Kekuatan OtotNilai Interpretasi
0 Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi1 Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak ada pergerakan2 Didapatkan gerakan, tetapi tidak melawan gaya gravitasi3 Dapat mengadakan gerakan melawan gravitasi4 Dapat melawan gravitasi dengan sedikit tahanan5 Tidak ada kelumpuhan (normal)
Hasil :
a. Ekstremitas superios sinistra : 5
b. Ekstremitas superior dextra : 2
c. Ekstremitas inferior sinistra : 5
d. Ekstremitas inferior dextra : 4
DIAGNOSIS:
Gangguan aktivitas fungsional gerak tubuh ekstermitas dekstra akibat hemiparese
ec NHS (non haemoragic stroke) 6 bulan yan
PROBLEMATIK FT
a. Problematik Primer : kelemahan separuh tubuh sebelah kanan
b. Problematik Sekunder
1) Penurunan rasa percaya diri
2) Nyeri pada bahu kanan
3) Kelemahan otot lengan dan tungkai sebelah kiri
4) Gangguan keseimbangan
5) Gangguan kognitif
6) Resiko limitasi ROM dan kontraktur otot
c. Problematik Kompleks
Gangguan ADL berjalan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Setelah mendapatkan problematik fisioterapi, maka pasien diberikan
intervensi yang sesuai dengan kondisi yang dialami oleh pasien.
TUJUAN PENANGANAN FT
Penanganan FT yang diberkan terkait dengan kondisi pasien bertujuan untuk:
1. Tujuan Jangka Panjang
Meningkatkan kualitas hidup dengan mengoptimalkan kapasitas fisik dan
kemampuan fungsional pasien.
2. Tujuan Jangka Pendek
a. Meningkatan rasa percaya diri.
b. Mengurangi nyeri
c. Meningkatkan kekuatan otot
d. Mencegah limitasi ROM dan kontraktur
e. Meningkatkan keseimbangan
f. Meningkatkan ADL
PROGRAM FT
Berikut adalah program FT yang dapat diberikan:
No Problematik FT Modalitas Dosis1. Penurunan RPD, cemas Komunikasi
terapeutik FTF : Tiap x terapi I : penderita tetap fokus T : motivasiT : 3 menit
2. Mengurangi nyeri Elektro therapyInterferensi
F : Tiap x terapiI : 30-40 mA T : Contra planarT : 8 menit
2. Meningkatkan kekuatan otot
Exercise therapy F : Tiap x terapiI : 3rep x 8hit T : StrengtheningT : 5 menit
3. Mencegah limitasi ROM dan Kontraktur
Exercise therapy F : Tiap x terapiI : 3rep x 8hit T : PROMexT : 8 menit
4. Gangguan Keseimbangan Exercise(fascilitation)
F : 1x / hariI : 3-5x hit.T :Bridging, aproximasi,
standingT :5-10 menit
5. Gangguan ADL Exercise(fascilitation)
F : Tiap x terapiI : 3rep x 8hit T : PNFT : 10 menit
EVALUASI
Setelah di lakukan intervensi Fisioterapi tidak didapatkan peningkatan yang
signifikan, hanya pasien merasakan nyeri pada bahunya berkurang.
- Nyeri (Post)
Nyeri diam : 4
Nyeri gerak : 7
Nyeri tekan : 5
- Nyeri (Pre)
Nyeri diam : 3
Nyeri gerak : 7
Nyeri tekan : 3
DOKUMENTASI
Selama proses pemeriksaan dan penanganan fisioterapi, dilakukan dokumentasi
sebagai bahan evaluasi. Dokumentasi yang dilakukan adalah pencatatan hasil
pemeriksaan dan evaluasi (terdapat pada hasil pemeriksaan CHARTS).
MODIFIKASI
Mengikuti perubahan patofisiologi dan hasil evaluasi : indeks Barthel, frekuensi pernapasan dan laboratorium, sehingga dosis latihan dapat ditingkatkan jika kondisi pasien makin membaik. Modifikasi program FT yang dapat diberikan yaitu ADL exercise
seperti latihan berdiri dan berjalan terkait dengan aktivitas keseharian pasien serta AFPR Outbond.
KEMITRAAN
Fioterapis dapat mengembangkan kolaborasi/kemitraan dengan profesi lain dalam
memberikan penanganan terhadap kondisi pasien. Hal ini dilakukan berdasarkan
kebutuhan pasien. Dalam penanganan pasien ini, FT bermitra dengan dokter (ahli
jantung, interna, patologi klinik, radiologi, dll) dan perawat yang menangani
pasien.
EDUKASI/HOME PROGRAM
1) Menjelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat, seperti konsumsi
makanan yang bergizi (rendah kalori) dan menghindari stress.
2). Memberikan edukasi kepada pasien tentang cara bangun dari posisi tidur
(teknik perlindungan sendi).
3) Memberikan contoh untuk melakukan latihan secara mandiri (aktif exercise)
untuk menghindari terjadinya kekakuan otot
4) Latihan keseimbangan berdiri dan latihan berjalan
DAFTAR PUSTAKA
1. Pudjiastuti, Sri Surini. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
2. Fatmah. 2006. Respons Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia
Lanjut. Makara, Kesehatan, Vol. 10, No. 1, Juni 2006: 47-53.
3. Firdaus, Muhammad Miftahul. Komorbiditas Pasien Geriatri dengan
Osteoarthritis Genu di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar. Program Studi
Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
2001 : 12-1
4. Lumbantobing. Neurogeriatri. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. 2001
5. Martini, Rose Dinda. Pengenalan Geriatri, Proses Menua dan Tanda