BAB I PENDAHULUAN Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen yang dapat menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenikasi), dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu muncul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung bersifat residif dan menjadi kronis. 1 Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell- mediated atau tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh. 1,2 Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin sulit untuk membedakan. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen yang dapat
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema,
papul, vesikel, skuama, likenikasi), dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak
selalu muncul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik).
Dermatitis cenderung bersifat residif dan menjadi kronis.1
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau
kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis
kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia,
dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana
memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat).
Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah
paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah
reaksi imun yang cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading
phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA
dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.1,2
Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin
sulit untuk membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan
maupun alergen. DKA adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering,
menjengkelkan, dan menghabiskan biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis
kontak akibat kerja (Occupational Contact Dermatitis) adalah iritan dan 20%
alergi. Namun, data terakhir dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan
bahwa persentase dermatitis kontak akibat kerja karena alergi mungkin jauh lebih
tinggi, berkisar antara 50 dan 60 persen, sehingga meningkatkan dampak ekonomi
dari kerja DKA.1.3
Pada kesempatan ini penulis akan menguraikan secara ringkas tentang
DKA disertai dengan pembahasan mengenai satu kasus DKA di RS Puri Raharja.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu reaksi peradangan kulit yang
timbul setelah kontak dengan alergen. DKA dimanifestasikan dalam berbagai
derajat eritema, edema, dan vesikulasi, yang timbul pada individu yang telah
mengalami proses sensitisasi terhadap alergen.1
2.2 Epidemiologi
Diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA
sebanyak 20%, namun data terbaru dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa persentase DKA kemungkinan lebih tinggi dari perkiraan
sebelumnya, berkisar antara 50% - 60%. Dari data NHANES (National Health
and Nutritional Examination Survey), berdasarkan pemeriksaan fisik,
diperkirakan prevalensi DKA di Amerika Serikat sebanyak 13,6 kasus per 1000
orang. Sedangkan prevalensinya di Swedia dan Belanda masing-masing sebanyak
2,7 dan 12 kasus per 1000 orang. Suatu studi cross-sectional di Denmark pada
tahun 1998 melaporkan sebanyak 18,6% memiliki alergi pada satu alergen
potensial untuk menimbulkan dermatitis kontak alergi. Predileksi dermatitis
kontak alergi umumnya pada tangan, kaki, dan wajah dimana bagian tersebut
memang sering terjadi kontak dengan dunia luar. DKA dapat mengenai semua
ras/suku bangsa, dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan laki-
laki. Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi, namun DKA lebih jarang
dijumpai pada anak-anak. Lebih sering timbul pada usia dewasa muda tapi dapat
mengenai segala usia. Gejala dermatitis kontak alergi pada orang tua munculnya
lebih lambat.2,3
2.3 Etiopatogenesis
DKA merupakan bagian dari hipersensitivitas tipe IV.
Hipersensitivitas tipe IV merupakan respon imun yang diperantari oleh sel (cell-
mediated immune response) dan merupakan suatu reaksi imunologik tipe lambat.2
2
Kurang lebih sekitar 3000 bahan kimia yang telah diketahui menyebabkan
dermatitis kontak alergi.
DKA disebabkan suatu substansi kimia sederhana yang molekulnya
amat kecil (berat molekul < 1000 Da). Molekul yang disebut hapten ini
merupakan alergen yang belum diproses, bersifat lipofilik, sangat reaktif dan
mampu menembus stratum korneum. Berbagai faktor mempengaruhi timbulya
DKA, antara lain: potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang
terkena, lama pajanan, suhu, kelembaban, oklusi, vehikulum, dan pH. Selain itu
faktor individu seperti usia, keadaan kulit dan status imunologis.2
Reaksi Dermatitis kontak alergi terjadi dalam dua fase, yaitu fase
sensitisasi dan fase elisitasi.2
1. Fase sensitisasi
Dalam fase ini, hapten yang menembus stratum korneum, ditangkap oleh sel
Langerhans di lapisan basal epidermis melalui pinositosis. Kemudian hapten
diproses dan digabungkan pada molekul HLA-DR, sehingga menjadi antigen
yang lengkap, lalu dipresentasikan di permukaan sel Langerhans. Sel
Langerhans yang telah aktif bermigrasi menuju kelenjar getah bening regional
melalui aliran limfe dan mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen
kepada sel Th spesifik. Sel Langerhans kemudian mensekresikan sitokin
proinflamasi yang merangsang proliferasi sel Th spesifik seperti IL-1. Th yang
teraktivasi mengeluarkan sitokin IL-2 untuk mengaktifkan proliferasi sel T
spesifik lebih banyak lagi. Turunan dari sel Th spesifik yang dihasilkan (sel T
memori) memasuki aliran darah dan beredar ke seluruh tubuh. Fase sensitisasi
berlangsung selama 2-3 minggu.2,4
2. Fase elisitasi
Fase ini terjadi pada individu yang telah tersensitisisasi mengalami pajanan
ulang terhadap hapten. Hapten yang telah ditangkap dan diproses menjadi
antigen oleh sel Langerhans, dipresentasikan kepada sel T memori. Interaksi
ini mengakibatkan aktivasi sel T spesifik dan pelepasan mediator-mediator
inflamasi (histamin, leukotrien, prostaglandin, dan lainnya) yang diinduksi
oleh sitokin. Hal tersebut menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatkan
3
permeabilitas sehingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah
masuk ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan
eikosanoid menarik neutrofil dan monosit ke dalam dermis. Rentetan kejadian
tersebut menghasilkan gejala klinis DKA. Fase elisitasi berlangsung antara 24-
48 jam.2,4
Gambar 1. Patogenesis dermatitis kontak alergi.4
2.4 Gambaran Klinis
Umumnya penderita mengeluh gatal pada daerah kulit yang
mengalami kelainan. Kelainan kulit yang muncul bervariasi tergantung pada
lokasi dan durasi timbulnya kelainan. Pada DKA yang akut, muncul makula
eritema berbatas tegas, diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel
atau bula dapat pecah, menimbulkan erosi dan eksudasi. Namun, bagian tubuh
tertentu seperti kelopak mata, penis, dan skrotum, gambaran akut yang dominan
adalah eritema dan edema dibandingkan vesikel. Pada keadaan yang kronis, kulit
terlihat kering, terjadi likenifikasi, berskuama, kadang terdapat fisura, batasnya
tidak jelas. Dapat juga disertai papulovesikel, namun tidak selalu. Pada awalnya,
DKA biasanya hanya terjadi pada kulit yang mengalami kontak dengan alergen.
Namun, dapat terjadi penyebaran ke bagian tubuh yang lainnya baik melalui
4
pajanan terhadap alergen, atau melalui autosensitisasi. Daerah kulit kepala,
telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA.2
Gambaran klinis DKA juga dapat dilihat menurut predileksi regionalnya.
Hal ini akan memudahkan untuk mencari bahan penyebabnya. Tempat predileksi
DKA antara lain:2
1. Tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergi paling sering di
tangan, karena merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk
pekerjaan sehari-hari. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada penderita.
Etiologi DKA pada tangan sangat kompleks karena banyak faktor lain yag
berperan di samping atopi. Contoh bahan penyebabnya misalnya deterjen,
antiseptik, getah sayuran/tanaman, semen dan pestisida. Riwayat pekerjaan
perlu diperhatikan apabila terjadi dermatitis kontak alergi pada tangan.
2. Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen dan tanaman. Di aksila umumnya
oleh deodaran, anti perspiran, dan formaldehid pada pakaian.
3. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan bahan kosmetik, spons,
obat topikal, alergen yang ada di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kaca
mata). Alergen pada tangan dapat menenai muka dan leher pada waktu
menyeka keringat. Bila di bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh
lipstik, pasta gigi dan getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat
disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, perona mata dan obat mata.
4. Telinga
DKA pada telinga sering diakibatkan oleh anting atau jepit telinga terbuat
dari nikel. Penyebab lainnya seperti obat topikal, tangkai kaca mata, cat
rambut, alat bantu pendengaran, gagang telepon.
5. Leher dan kepala
Pada leher penyebabnya adalah kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal
dari ujung jari), parfum, alergen di udara dan zat warna pakaian. Kulit
5
kepala relative tahan terhadap alergen kontak, namun dapat juga terkena
oleh cat rambut, semprotan rambut, sampo atau larutan pengeriting rambut.
6. Badan
Dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing logam, karet (elastis,
busa), plastik dan deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.
7. Genitalia
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut
wanita dan alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen.
Bila mengenai daerah anal, mungkin karena obat anti hemorrhoid.
8. Paha dan tungkai bawah
Disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon,
obat topikal (anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, sandal dan
sepatu. Pada kaki dapat diakibatkan oleh deterjen, bahan pembersih lantai.
9. Dermatitis kontak sistemik
Dapat terjadi pada individu yang telah mengalami sensitisasi, yang
kemudian mengalami pajanan secara sistemik. Walaupun jarang terjadi,
reaksi dapat meluas bahkan hingga terjadi eritroderma.
Gambar 1. Gambaran Dermatitis kontak alergi akut pada tangan
6
Gambar 2. Gambaran kronis dermatitis kontak alergi pada tangan
2.5 Histopatologis
Gambaran histopatologis tidak memberi gambaran khas untuk diagnostik
karena dapat juga terlihat pada dermatitis oleh sebab lain. Pada DKA akut dan
kronis gambaran histopatologisnya agak berbeda, dan bergantung pada derajat
keparahan reaksi inflamasi yang terjadi.5
Pada stadium akut, umumnya akan terjadi spongiosis akibat edema
interselular, biasanya terbatas pada epidermis bagian bawah, tapi bila reaksi yang
terjadi lebih hebat dapat mencapai lapisan epidermis bagian atas. Dermis sembab
dan pembuluh darah mengalami vasodilatasi. Terdapat sebukan sel radang
terutama sel mononuklear, kadang eosinofil juga ditemukan. Manifestasi klinis
dari akumulasi cairan pada stadium akut yaitu pembentukan vesikel yang dapat
mengalami ruptur ke permukaan epidermis.5
Pada stadium subakut, gambarannya mirip dengan stadium akut namun
edema, eksositosis dan vesikel berkurang. Vasodilatasi dan sebukan sel radang
masih jelas. Epidermis mulai menebal (akantosis) dan stratum korneum
mengalami parakeratosis. Jumlah fibroblast meningkat.5
Stadium kronis, epidermis semakin menebal, pada stratum korneum terjadi
hyperkeratosis. Pigmen melanin di dalam sel basal bertambah dan papilla dermis
memanjang. Sebukan sel radang mononuklear masih Nampak terutama di sekitar
pembuluh darah dermis bagian atas. Dinding pembuluh darah menebal, fibroblast
bertambah, dan kolagen menebal.5
2.6 Diagnosis
7
Untuk menegakkan diagnosis DKA, diperlukan anamnesis yang teliti dan
cermat, pemeriksaan fisik, dan uji tempel. Anamnesis ditujukan selain untuk
menegakkan diagnosis juga untuk mencari kausanya. Karena hal ini penting
dalam menentukan terapi dan tindak lanjutnya, yaitu mencegah kekambuhan.
Diperlukan kesabaran, ketelitian, pengertian dan kerjasama yang baik dengan
pasien. Pada anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat atopi pribadi dan keluarga,
perjalanan penyakit, pekerjaan, hobi, pemakaian kosmetika, penyakit kulit yang
pernah dialami, riwayat kontak, dan pengobatan yang pernah diberikan oleh
dokter maupun dilakukan sendiri, serta kondisi lain yaitu riwayat medis umum,
dan mungkin faktor psikologis.2
Pemeriksaan fisik amat penting, karena dari lokasi dan pola kelainan kulit
yang ditemukan, dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Sangat penting
untuk mencari tahu lokasi awal munculnya kelainan kulit dan membuat daftar
kontaktan yang mungkin menjadi penyebabnya. Bila penderita mengalami
dermatitis kontak alergi yang kronis, informasi tentang faktor-faktor yang
mengakibatkan kekambuhan dari pasien akan sangat bermanfaat.2
Individu dengan DKA biasanya muncul gejala setelah beberapa hari
terpapar oleh alergen. Terutama pada area yang terpapar. Minimal 10 hari untuk
seseorang menghasilkan gejala sensitivitas yang spesifik.3 Umumnya penderita
mengeluh gatal. Pada fase akut dimulai dari bercak eritema yang berbatas jelas
diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel dan bula yang
pecah menimbulkan ekskoriasi dan eksudasi. Pada DKA kronis terlihat kulit
kering, skuama, papul dan likenfikasi dengan batas tidak tegas.2
Gejala klinis fase akut DKA umumnya terjadi meningkat (escalating)
dimulai dari eritema hingga vesikel. Perkecualian pada daerah dengan kulit yang
tipis dan memungkinkan absorpsi yang lebih cepat seperti kelopak mata, mukosa
dan genital akan dominan tampak edema.3
Pola distribusi pada DKA mengikuti daerah kulit yang terpapar oleh
alergen atau kontaktan. Sehingga pola distribusi lesi dan daerah dengan gejala
DKA membuat klinisi mudah menentukan penyebab terjadinya dermatitis kontak
alergi.3
8
DKA dapat dibuktikan dengan uji tempel. Uji ini biasa digunakan untuk
alergen dengan berat molekul rendah yang dapat menembus stratum korneum
yang utuh (membran barier kulit yang intak). Meskipun anamnesis dari pasien
didapatkan kemungkinan adanya alergi, bukti yang nyata didapatkan dari hasil uji
kulit yang positif. Tujuan uji tempel adalah mencari atau membuktikan penyebab
DKA.2
2.7 Diagnosis Banding
Kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi sering tidak
menunjukkan gambaran morfologi yang khas. Berbagai jenis kelainan kulit yang
harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding adalah :
1. Dermatitis kontak iritan: Diagnosis banding yang terutama adalah
dermatitis kontak iritan. Dalam keadaan ini, diperlukan pemeriksaan uji
tempel untuk menegakkan diagnosis. Biasanya gejala dermatitis kontak
iritan lebih banyak mengarah pada nyeri dan rasa terbakar. Onset gejala
muncul berlangsung cepat setelah kontak dengan bahan iritan sehingga
biasanya pasien ingat bahan penyebabnya.
2. Dermatitis atopik: erupsi kulit yang bersifat kronik residif, pada tempat -
tempat tertentu seperti lipat siku, lipat lutut disertai riwayat atopi pada
penderita atau keluarganya. Biasanya gejalanya gatal hilang timbul
sepanjang hari terutama pada malam hari dan terkena keringat.
3. Dermatitis numularis: merupakan dermatitis yang bersifat kronik residif
dengan lesi berukuran sebesar uang logam dan umumnya berlokasi pada
sisi ekstensor ekstremitas. Biasanya tanpa riwayat paparan terhadap
alergen.
4. Dermatomikosis: infeksi kulit yang disebabkan oleh jamur dengan
efloresensi kulit bersifat eritema, berbatas tegas dengan tepi yang lebih
aktif dan bagian tengahnya tenang.
2.8 Uji Tempel
Uji tempel kulit pertama kali diperkenalkan oleh Jadassohn pada tahun
1895. Tujuan dari uji tempel untuk mendeteksi DKA, dilakukan dengan
9
menempelkan bahan yang dicurigai dengan bentuk dan konsentrasi yang benar
pada kulit normal. Uji tempel merupakan cara artifisial yang hasilnya tidak selalu
sama dengan hasil kontak dengan lingkungan pasien sehari-hari, sebab
dipengaruhi oleh absorsi perkutan. Oleh karena itu untuk menjamin dan
membantu absorbsi dari bahan yang diuji, uji tempel harus dilakukan secara
tertutup (oklusif). Absorbsi perkutan juga dipengaruhi oleh cara yang dipakai,
temperatur, kelembaban, dan waktu/kapan dilakukannya tes.2
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Penempelan
dapat dilakukan dengan menggunakan thin-layer rapid-use epicutaneus (TRUE)
test atau dengan wadah aluminium (Finn chamber) yang diletakan pada perekat.
Setelah 48 jam lembaran uji diangkat dan dilakukan pembacaan dengan sistem
skoring tertentu.2
Berbagai hal berikut perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:2
a. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Dapat terjadi reaksi “angry
back”, reaksi positif palsu, bahkan memperburuk penyakit yang diderita.
b. Tes dilakukan sekurang-sekurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dan topikal dihentikan. Sedangkan antihistamin
sistemik tidak mempengaruhi hasil tes.
c. Uji tempel dibuka setelah dua hari kemudian dibaca. Pembacaan kedua
dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
d. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
menjadi longgar, dilarang mandi sekurang-kurangnya 48 jam dan menjaga
agar punggung selalu kering sampai pembacaan terakhir selesai karena
dapat memberikan hasil negatif palsu.
e. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan pada penderita yang
mempunyai riwayat urtikaria dadakan karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan
pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang
diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicacat seperti berikut:2