BAB ISTATUS PASIEN
1.1 Identitas pasienNama: Ny. TNo. RM: 028325Jenis kelamin:
PerempuanUsia: 34 TahunPekerjaan: Ibu Rumah TanggaAgama:
IslamStatus: MenikahAlamat: Kendo Sari 2/10, BawenDiagnosis
preoperative: Duktal infiltrative mammae sinistraTindakan operasi:
Mastektomi radikalJenis anestesi: Anestesi umumTanggal operasi: 01
April 2015
1.2 AnamnesisKeluhan utamaKeluar cairan berwarna putih seperti
susu dari putting payudara kiri sejak 4 bulan yang lalu.
Riwayat penyakit sekarangTeraba benjolan di payudara sebelah
kiri, mulai terasa sejak 1 bulan yang lalu. Benjolan dirasakan
sebesar telur puyuh, nyeri (-), tidak mudah digerakkan, teraba
keras. Tidak terdapat penurunan berat badan.
Riwayat penyakit dahulu Riwayat Asma: disangkal Riwayat
Hipertensi: disangkal Riwayat DM: disangkal Riwayat Alergi:
disangkal Riwayat Operasi: insisi biopsi benjolan mammae kiri pada
tanggal 11 maret 2015
Riwayat penyakit keluargaRiwayat keluhan sama pada keluarga
disangkal.
1.3 Pemeriksaan fisikKU: tampak sakit ringan, compos mentisVital
Sign: T: 100/79 mmHgRR: 20x/menit HR: 86x/menitSuhu: 36,50CBerat
Badan: 60 kgMata:Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik
(-/-)Hidung: Sekret (-), deviasi septum (-)Mulut: Mallampati
ILeher: JVP tidak meningkat, KGB servikal tidak membesar, Thoraks:
Cor: Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak Palpasi: Ictus cordis
tidak bergeserPerkusi: Batas jantung kesan tidak melebarAuskultasi:
BJ I-II reguler, bising (-)Pulmo : Inspeksi: Pengembangan dada
kanan= kiriPalpasi: Fremitus raba kanan = kiriPerkusi: sonor/sonor
Auskultasi:Suara dasar vesikuler (+/+),Suara tambahan (-/-)Abdomen:
Supel, nyeri tekan (-), ascites (-)Ekstremitas: CRT 5 cmT4 : tumor
dengan penyebaran langsung ke dinding toraks atau ke kulit dengan
tanda udem, tukak, peau d orangeNX : kelenjer regional tidak dapat
ditentukanNO : tidak teraba kelenjer aksilaN1 : teraba kelenjer
aksila homolateral yang tidak melekatN2 : teraba kelenjer aksila
homolateral yang melekat satu sama lain atau melekat pada jaringan
sekitarnyaN3 : terdapat kelenjer mamaria internal homolateralMMX :
tidak dapat ditentukan metastasis jauhMO : tidak ada metastasis
jauhM1 : terdapat metastasis jauh termasuk ke kelenjer
supraklavikular
Keterangan:Lekukan pada kulit, retraksi papilla atau perubahan
lain pada kulit kecualiyang terdapat pada T4 bisa terdapat pada T1,
T2, atau T3 tanpa mengubah klasifikasi.Dinding thorak adalah iga,
otot interkostal, dan m. seratus anterior tanpa otot
pektoralis.Penderita biasanya datang dengan keluhan adanya benjolan
di payudara yang dapat berupa nodul single maupun multiple, dan
biasanya ada perubahan warna pada kulit payudara atau putting susu.
Pemeriksaan laboraturium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap. Selain itu, dapat dilakukan mammografi pada pasien yang
berusia lebih dari 40 tahun. USG biasanya digunakan bersama
mammografi, tujuannya untuk membedakan kista yang berisi cairan
atau solid. Untuk mengetahui stadium kanker digunakan pemeriksaan
foto thoraks, USG abdomen, CT Scan. Pemeriksaan biopsi jarum halus
dilakukan untuk mengetahui secara sitologi dan keganasan.
Tatalaksana Ca Mammae terdiri dari terapi pembedahan (mastektomi)
dan non pembedahan (radioterapi, kemoterapi, dan terapi hormon).
Pengobatan Ca Mammae disesuaikan dengan stadium kankernya. Indikasi
pembedahan yaitu Ca Mammae stadium dini, Ca Mammae stadium lanjut
lokal, keganasan jaringan lunak pada payudara.
III.2Penatalaksanaan Secara Pembedahan1. Mastektomi partial
(breast conservation)Tindakan konservatif terhadap jaringan
payudara terdiri dari reseksi tumor primer hingga batas jaringan
payudara normal, radioterapi dan pemeriksaan status KGB (kelenjar
getah bening) aksilla.Reseksi tumor payudara primer disebut juga
sebagai reseksi segmental, lumpectomy, mastektomi partial dan
tylectomy.Tindakan konservatif, saat ini merupakan terapi standar
untuk wanita dengan karsinoma mammae invasif stadium I atau
II.Wanita dengan DCIS hanya memerlukan reseksi tumor primer dan
radioterapi adjuvan.Ketika lumpectomy dilakukan, insisi dengan
garis lengkung konsentrik pada nipple-areola complex dibuat pada
kulit diatas karsinoma mammae.Jaringan karsinoma diangkat dengan
diliputi oleh jaringan mammae normal yang adekuat sejauh 2 mm dari
tepi yang bebas dari jaringan tumor.Dilakukan juga permintaan atas
status reseptor hormonal dan ekspresi HER-2/neu kepada patologis.
Setelah penutupan luka payudara, dilakukan diseksi KGB aksilla
ipsilateral untuk penentuan stadium dan mengetahui penyebaran
regional.Saat ini, sentinel node biopsy merupakan prosedur staging
yang dipilih pada aksilla yang tidak ditemukan adanya pembesaran
KGB. Ketika sentinel node biopsy menunjukkan hasil negatif, diseksi
KGB akilla tidak dilakukan.2. Modified Radical MastectomyModified
radical mastectomy mempertahankan baik M. pectoralis mayor and M.
pectoralis minor, dengan pengangkatan KGB aksilla level I dan II
tetapi tidak level III. Modifikasi Patey mengangkat M. pectoralis
minor dan diseksi KGB axilla level III. Batasan anatomis pada
Modified radical mastectomy adalah batas anterior M. latissimus
dorsi pada bagian lateral, garis tengah sternum pada bagian medial,
bagian inferiornya 2-3 cm dari lipatan infra-mammae dan bagian
superiornya m. subcalvia. Seroma dibawah kulit dan di aksilla
merupakan komplikasi tersering dari mastektomi dan diseksi KGB
aksilla, sekitar 30% dari semua kasus. Pemasangan closed-system
suction drainage mengurangi insidensi dari komplikasi ini. Kateter
dipertahankan hingga cairan drainage kurang dari 30 ml/hari.
Infeksi luka jarang terjadi setelah mastektomi dan kebanyakan
terjadi sekunder terhadap nekrosis skin-flap. Pendarahan sedang dan
hebat jarang terjadi setelah mastektomi dan sebaiknya dilakukan
eksplorasi dini luka untuk mengontrol pendarahan dan memasang ulang
closed-system suction drainage. Insidensi lymphedema fungsional
setelah modified radical mastectomy sekitar 10%. Diseksi KGB
aksilla ekstensif, terapi radiasi, adanya KGB patologis dan
obesitas merupakan faktor-faktor predisposisi.
III.3General AnestesiAnestesi umum adalah tindakan meniadakan
nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan
ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien. Obat anestesi yang diberikan
akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang selanjutnya menyebar ke
jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan yang banyak
vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan
rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh
faktor respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri.1.
Tujuan anestesi umumTujuan anestesi umum adalah hipnotik,
analgesik, relaksasi dan stabilisasiotonom.2. Syarat,
kontraindikasi dan komplikasi anestesi umum. Adapun syarat
idealdilakukan anestesi umum adalah :a. Memberi induksi yang halus
dan cepat.b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak beresponsc.
Timbulkan keadaan amnesiad. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi
bukan otot pernapasan.e. Hambatan persepsi rangsang sensorik
sehingga timbul analgesia yang cukup untuk tindakan operasi.f.
Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan
ESO yang berlangsung lama.Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi
umum yaitu dekompresi kordis derajat III IV, AV blok derajat II
total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi Relatif berupa
hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak
terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA. Sedangkan komplikasi
kadangkadang tidak terduga walaupun tindakan anestesi telah
dilakukan dengan sebaikbaiknya. Komplikasi dapat dicetuskan oleh
tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat
timbul pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi
kardiovaskular berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari
70 mmHg atau turun 25 % dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi
peningkatan tekanan darah pada periode induksi dan pemulihan
anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada penyakit
jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan kebutuhan
miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark
apabila tidak tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa
gelisah setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas ataupun
adanya peningkatan suhu tubuh.
PERSIAPAN UNTUK ANESTESI UMUMKunjungan pre-anestesi dilakukan
untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien menjalani suatu tindakan
operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara (anamnesis)
sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya,
adakah penyakit penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat.
Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi geligi,
tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek.
Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai
dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah
(Hb, leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi,
EKG.Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan
dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society Of
Anesthesiologist (ASA).ASA I: Pasien dalam keadaan normal dan
sehat.ASA II: Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain.ASA III: Pasien
dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab.ASA IV: Pasien dengan kelainan sistemik
berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.ASA V: Pasien tak
diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau
tidak.Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau
IIEPengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah
aspirasi lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan
elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : anak dan
dewasa 4 6 jam, bayi 3 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan
lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau
dengan cara lain yaitu menetralkan asam lambung dengan memberikan
antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2
(ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga
boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar
bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin
pembedahan secara tertulis (informed concent). Premedikasi sendiri
ialah pemberian obat - 1 jam sebelum induksi anestesia dengan
tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia,
menghilangkan rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan analgesia
dan mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan,
mengurasi sekresi saliva dan saluran napas.
Obat obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :Gol.
Antikolinergik: Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi
kelenjar ludah, antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos
organ organ dan menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 0,6
mg IM bekerja setelah 10 15 menit.Gol. Hipnotik sedative:Barbiturat
(Pentobarbital dan Sekobarbital). Diberikan untuk sedasi dan
mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan
secara oral atau IM. Dosis dewasa 100 200 mg, pada bayi dan anak 3
5 mg/kgBB. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang
dan efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi
serta jarang menyebabkan mual dan muntah.Gol. Analgetik
narkotik:Morfin. Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan
ketegangan menjelang operasi. Dosis premedikasi dewasa 10 20 mg.
Kerugian penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama,
penyempitan bronkus pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah
ada.Pethidin. Dosis premedikasi dewasa 25 100 mg IV. Diberikan
untuk menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot
polos. Pethidin juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca
bedah.Gol. Transquilizer:Diazepam (Valium). Merupakan golongan
benzodiazepine. Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan
dosis besar hipnotik. Dosis premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.
STADIUM ANESTESIStadium I Stadium I (St. Analgesia/ St.
Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar,
dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan
ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks
tersebut bisa kita raba bulu mata). Stadium II Stadium II (St.
Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss
cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan
dan kelopak mata. Stadium III Stadium III yaitu stadium sejak mulai
teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya pernapasan spontan.
Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya
reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan
kekanan dengan mudah.
Stadium IV Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang
kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan
akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium
ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang
berlebihan.
III.4Obat Obat Dalam Anestesi UmumJenis obat anestesi umum
diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau inhalasi.1.
Anestetik intravenaPenggunaan: Untuk induksi Obat tunggal pada
operasi singkat Tambahan pada obat inhalasi lemah Tambahan pada
regional anestesi SedasiCara pemberian: Obat tunggal untuk induksi
atau operasi singkat Suntikan berulang (intermiten) Diteteskan
perinfusObat anestetik intravena meliputi :a. BenzodiazepineSifat :
hipnotik sedative, amnesia anterograd, atropine like effect,
pelemas otot ringan, cepat melewati barier plasenta.Kontraindikasi
: porfiria dan hamil.Dosis : Diazepam : induksi 0,2 0,6 mg/kg IV,
Midazolam : induksi : 0,15 0,45 mg/kg IV.
A BGambar 2. Diazepam (A), Midazolam (B)
b. PropofolMerupakan salah satu anestetik intravena yang sangat
penting. Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama
dengan pemberian barbiturat secara inutravena, dan waktu pemulihan
yang lebih cepat. Dosis : 2 2,5 mg/kg IV.
Gambar 3. Propofol
c. KetaminKetamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat
general anaesthetic. Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur
dengan pengendalian jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis,
tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi dan asma. Dosis pemakaian
ketamin untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 10
mg/kgBB.
Gambar 4. Ketamin
d. Thiopentone SodiumMerupakan bubuk kuning yang bila akan
digunakan dilarutkan dalam air menjadi larutan 2,5%atau 5%.
Indikasi pemberian thiopental adalah induksi anestesi umum, operasi
singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk mengatasi kejang.
Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan
napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.
Gambar 5. Thiopen
2. Anestetik inhalasia. N2ONitrogen monoksida merupakan gas yang
tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada
udara. N2O biasanya tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi
dalam baja, tekanan penguapan pada suhu kamar 50 atmosfir. N2O
mempunyai efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam
oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk
mendapatkan efek analgesic maksimum 35% . gas ini sering digunakan
pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus
sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan
100% O2 pada waktu relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia.
Anestetik tunggal N2O digunakan secara intermiten untuk mendapatkan
analgesic pada saat proses persalinan dan Pencabutan gigi. N2O
digunakan secara umum untuk anestetik umum, dalam kombinasi dengan
zat lain
b. HalotanMerupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak
mudah terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan
oksigen. Halotan bereaksi dengan perak, tembaga, baja, magnesium,
aluminium, brom, karet dan plastic. Karet larut dalam halotan,
sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian
obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec. Efek
analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya
baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit untuk induksi sehingga
mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4 volume %). Kadar minimal
untuk anestesi adalah 0,76% volume.
Gambar 6. Halotanc. IsofluranMerupakan eter berhalogen yang
tidak mudah terbakar. Secara kimiawi mirip dengan efluran, tetapi
secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau tajam sehingga
membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh penderita karena
penderita menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian medikasi
preanestetik stadium induksi dapat dilalui dengan lancer dan
sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O dan O2. isofluran
merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul
aritmia amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan sensiitisasi
jantung terhadap ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan
takikardiadihilangkan dengan pemberian propanolol 0,2-2 mg atau
dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah
hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan volume
semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang
dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada
pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada
kadar labih dari 1,1 MAC (minimal Alveolar Concentration) dan
meningkatkan tekanan intracranial.
Gambar 7. Isoflurane
d. SevofluranObat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen
yang paling disukai untuk induksi inhalasi.
Gambar 8. Sevoflurane
III.5Laringeal Mask AirwayHilangnya kesadaran karena induksi
anestesi berhubungan dengan hilangnya pengendalian jalan nafas dan
reflex-reflex proteksi jalan nafas. Tanggung jawab dokter anestesi
adalah untuk menyediakan respirasi dan managemen jalan nafas yang
adekuat untuk pasien. LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi
celah antara intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA di insersi
secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan
rendah sekeliling pintu masuk laring. Leher yang pendek maupun
panjang akan mempersulit intubasi, untuk mengetahui apakah panjang
leher cukup untuk melakukan intubasi dengan cara mengukur jarak
mentohyoid, yaitu jarak antara mento dengan os. hyoid dibelakang
Adams apple. Jarak ideal mentohyoid adalah 4 jan atau 7 cm.1.
Desain dan FungsiLaringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra
glotis airway, didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya
bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan memungkinkan
ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif.
Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak
kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.
Gambar 9. Berbagai macam ukuran LMA
2. Macam-macam LMAa. Clasic LMAMerupakan suatu peralatan yang
digunakan pada airway management yang dapat digunakan ulang dan
digunakan sebagai alternatif baik itu untuk ventilasi facemask
maupun intubasi ET. LMA juga memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan difficult airway. Jika LMA dimasukkan dengan tepat
maka tip LMA berada diatas sfingter esofagus, cuff samping berada
di fossa pyriformis, dan cuff bagian atas berlawanan dengan dasar
lidah. Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi yang
efektif dengan inflasi yang minimal dari lambung.
Gambar 10. Classic LMAb. LMA Fastrach ( Intubating LMA )LMA
Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang melengkung (
diameter internal 13 mm ) yang dilapisi dengan silicone, connector
15 mm, handle, cuff, dan suatu batang pengangkat epiglotis.
Perbedaan utama antara LMA clasic dan LMA Fastrach yaitu pada tube
baja, handle dan batang pengangkat epiglottic.Nama lain dari
Intubating LMA : Fastrach. Laryngeal mask yang dirancang khusus
untuk dapat pula melakukan intubasi tracheal. Sifat ILMA : airway
tube-nya kaku, lebih pendek dan diameternya lebih lebar
dibandingkan cLMA. Ujung proximal ILMA terdapat metal handle yang
berfungsi membantu insersi dan membantu intubasi, yang memungkinkan
insersi dan manipulasi alat ini. Di ujung mask terdapat pengangkat
epiglotis, yang merupakan batang semi rigid yang menempel pada
mask. ILMA didesign untuk insersi dengan posisi kepala dan leher
yang netral.Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip
dengan intubasi konvensional dengan menggunakan laryngoscope.
Kemampuan untuk insersi ILMA dari belakang, depan atau dari samping
pasien dan dengan posisi pasien supine, lateral atau bahkan prone,
yang berarti bahwa ILMA merupakan jalan nafas yang cocok untuk
insersi selama mengeluarkan pasien yang terjebak.
Gambar 11. ILMA
c. LMA ProsealLMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang
menawarkan keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama
melakukan ventilasi tekanan positif. Pertama, tekanan seal jalan
nafas yang lebih baik yang berhubungan dengan rendahnya tekanan
pada mukosa. Kedua, LMA Proseal terdapat pemisahan antara saluran
pernafasan dengan saluran gastrointestinal, dengan penyatuan
drainage tube yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus atau
memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk dekompresi
lambung.
Gambar 12. LMA Proseal
a. Flexible LMABentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai
cLMA, dengan airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan
fleksibilitasnya meningkat yang memungkinkan posisi proximal end
menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna
pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA
memberikan perlindungan yang baik terhadap laryng dari sekresi dan
darah yang ada diatas fLMA. Populer digunakan untuk pembedahan
nasal dan pembedahan intraoral, termasuk tonsilektomy. Airway tube
fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan menaikkan resistensi
tube dan work of breathing. Ukuran fLMA : 2 5. Insersi fLMA dapat
lebih sulit dari cLMA karena flexibilitas airway tube. Mask dapat
ber rotasi 180 pada sumbu panjangnya sehingga masknya mengarah ke
belakang.
Gambar 13. FLMA
3. Tehnik Anestesi LMAa. Indikasi :a. Sebagai alternatif dari
ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management. LMA
bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu
indikasi.b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui
atau yang tidak diperkirakan.c. Pada airway management selama
resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.b. Kontraindikasi
:1) Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan
pada emergency adalah pengecualian ).2) Pasien-pasien dengan
penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal yang bertekanan
rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan
inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan
inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk
meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan lambung.3)
Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka
waktu lama.4) Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang
intack karena insersi dapat memicu terjadinya laryngospasme.c. Efek
Samping : Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok, dengan insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over
inflasi cuff LMA. Efek samping yang utama adalah aspirasi.
4. Tehnik Induksi dan InsersiUntuk melakukan insersi cLMA
membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih besar. Kedalaman anestesi
merupakan suatu hal yang penting untuk keberhasilan selama
pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang dalam sering membuat
posisi mask yang tidak sempurna.Sebelum insersi, kondisi pasien
harus sudah tidak ber respon dengan mandibula yang relaksasi dan
tidak ber-respon terhadap tindakan jaw thrust. Tetapi, insersi cLMA
tidak membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang dapat mengurangi
tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot. Meskipun pemakaian pelumpuh
otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian pelumpuh otot
akan mengurangi trauma oleh karena reflex proteksi yang di
tumpulkan, atau mungkin malah akan meningkatkan trauma yang
berhubungan dengan jalan nafas yang relax/menyempit jika manuver
jaw thrust tidak dilakukan.Propofol merupakan agen induksi yang
paling tepat karena propofol dapat menekan refleks jalan nafas dan
mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk atau terjadinya gerakan.
Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan
menstimulasi dinding pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan
darah dan nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat
ditumpulkan dengan menggunakan dosis besar propofol yang
berpengaruh pada tonus simpatis jantung. Jika propofol tidak
tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian induksi
thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan anestesi
atau dengan penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke
oropharing. Untuk memperbaiki insersi mask, sebelum induksi dapat
diberikan opioid beronset cepat ( seperti fentanyl atau alfentanyl
). Jika diperlukan, cLMA dapat di insersi dibawah anestesi
topikal.Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan
laryngoscopy ( Sniffing Position ) dan akan lebih mudah jika
dilakukan jaw thrust oleh asisten selama dilakukan insersi. Cuff
cLMA harus secara penuh di deflasi dan permukaan posterior
diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air sebelum dilakukan
insersi. Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff,
beberapa klinisi lebih menyukai insersi LMA dengan cuff setengah
mengembang. Tehnik ini akan menurunkan resiko terjadinya nyeri
tenggorokan dan perdarahan mukosa pharing.Dokter anestesi berdiri
dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu tangan
men-stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain
memegang cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan dengan cara menaruh
tangan dibawah occiput pasien dan dilakukan ekstensi ringan pada
tulang belakang leher bagian atas. cLMA dipegang seperti memegang
pensil pada perbatasan mask dan tube. Rute insersi cLMA harus
menyerupai rute masuknya makanan. Selama insersi, cLMA dimajukan ke
arah posterior sepanjang palatum durum kemudian dilanjutkan
mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas. Saat cLMA
berhenti selama insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus (
sfingter esofagus bagian atas ) dan harusnya sudah berada pada
posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang
lembut untuk meyakinkan titik akhir ter-identifikasi.
Gambar 14. Insersi LMA
Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit
pernafasan. Lima tes sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan
ketepatan posisi cLMA:a. End point yang jelas dirasakan selama
insersi.b. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat
cuff di inflasi.c. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit
selama cuff di inflasi.d. Garis hitam di belakang cLMA tetap
digaris tengah.e. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.Jumlah udara yang
direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung dari pembuat LMA
yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting untuk dicatat
bahwa volume yang direkomendasikan adalah volume yang
maksimum.Biasanya tidak lebih dari setengah volume ini yang
dibutuhkan. Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat bertekanan
rendah dengan jalan nafas. Tekanan didalam cuff tidak boleh
melebihi 60 cmH2O. Inflasi yang berlebihan akan meningkatkan resiko
komplikasi pharyngolaryngeal, termasuk cedera syaraf (
glossopharyngeal, hypoglossal, lingual dan laryngeal recuren ) dan
biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas.Setelah cLMA di
insersikan, pergerakan kepala dan leher akan membuat perbedaan
kecil terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan perubahan pada
tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N2O jika digunakan akan
berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff sama
dengan tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan tekanan didalam cuff pada 30 menit pertama sejak
pemberian N2O. Tekanan cuff yang berlebihan dapat dihindari dengan
mem-palpasi secara intermiten pada pilot ballon ( 5 )Setelah
insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-bagging
dengan lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat
bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas
sekat ini akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan nafas.
Dengan lembut, ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding
dada tanpa adanya suara ribut pada jalan nafas atau kebocoran udara
yang dapat terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung
reservoir tidak terisi ulang kembali seperti normalnya, ini
mengindikasikan adanya kebocoran yang besar atau obstruksi jalan
nafas yang partial, jika kedua hal tadi terjadi maka cLMA harus
dipindahkan dan di insersi ulang.Pemakaian LMA sendiri dapat juga
menimbulkan obstruksi. Untuk itu diperlukan suatu algoritme untuk
memfasilitasi diagnosis dan penatalaksanaan obstruksi jalan nafas
dengan LMA :
Gambar 15. Algoritma LMA
cLMA harus diamankan dengan pita perekat untuk mencegah
terjadinya migrasi keluar. Saat dihubungkan dengan sirkuit
anestesi, yakinkan berat sirkuit tadi tidak menarik cLMA yang dapat
menyebabkan pergeseran.Sebelum LMA difiksasi dengan plaster, sangat
penting mengecek dengan capnograf, auskultasi, dan melihat gerakan
udara bahwa cuf telah pada posisi yang tepat dan tidak menimbulkan
obstruksi dari kesalahan tempat menurun pada epiglotis. Karena
keterbatasan kemampuan LMA untuk menutupi laring dan penggunaan
elektif alat ini di kontraindikasikan dengan beberapa kondisi
dengan peningkatan resiko aspirasi. Pada pasien tanpa faktor
predisposisi, resiko regurgitasi faring rendah.
5. Maintenance ( Pemeliharaan )Saat ventilasi kendali digunakan,
puncak tekanan jalan nafas pada orang dewasa sedang dan juga pada
anak-anak biasanya tidak lebih dari 10 -14 cmH2O. Tekanan diatas 20
cmH2O harus dihindari karena tidak hanya menyebabkan kebocoran gas
dari cLMA tetapi juga melebihi tekanan sfingter esofagus. Pada
tekanan jalan nafas yang rendah, tekanan gas keluar lewat mulut,
tetapi pada tekanan yang lebih tinggi, gas akan masuk ke esofagus
dan lambung yang akan meningkatkan resiko regurgitasi dan aspirasi
( 5 )Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk
periode yang lama kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan
resistensi jalan nafas dan akses ke jalan nafas untuk membersihkan
sekret, tidak sebaik lewat tube trakea. Untungnya ventilasi kendali
pada grup ini sering lebih mudah sebagaimana anak-anak secara umum
mempunyai paru-paru dengan compliance yang tinggi dan sekat jalan
nafas dengan cLMA secara umum sedikit lebih tinggi pada anak-anak
dibandingkan pada orang dewasa.Selama fase maintenance anestesi,
cLMA biasanya menyediakan jalan nafas yang bebas dan penyesuaian
posisi jarang diperlukan. Biasanya pergeseran dapat terjadi jika
anestesi kurang dalam atau pasien bergerak. Kantung reservoir
sirkuit anestesi harus tampak dan di monitoring dengan alarm yang
tepat harus digunakan selama tindakan anestesi untuk meyakinkan
kejadian-kejadian ini terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk di
ubah, akan bijaksana untuk melepas jalan nafas selama pergerakan.
Saat pengembalian posisi telah dilakukan, sambungkan kembali ke
sirkuit anestesi dan periksa ulang jalan nafas.
6. Tehnik ExtubasiPada akhir pembedahan, cLMA tetap pada
posisinya sampai pasien bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai
perintah, dimana reflex proteksi jalan nafas telah normal pulih
kembali. Melakukan penghisapan pada pahryng secara umum tidak
diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan meningkatkan komplikasi
jalan nafas seperti laryngospasme. Saat pasien dapat membuka mulut
mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi akan terjadi pada
saat-saat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah dapat dihisap
saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan sekret tersebut.
Beberapa kajian menyebutkan tingkat komplikasi akan lebih tinggi
jika cLMA ditarik saat sadar, dan beberapa saat ditarik dalam. Jika
cLMA ditarik dalam kondisi masih dalam, perhatikan mengenai
obstruksi jalan nafas dan hypoksia. Jika ditarik dalam keadaan
sadar, bersiap untuk batuk dan terjadinya laryngospasme.
7. Komplikasi Pemakaian LMAcLMA tidak menyediakan perlindungan
terhadap aspirasi paru karena regurgitasi isi lambung dan juga
tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA pada pasien-pasien yang
punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien yang tidak
puasa, emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau refluks
gastro-esofageal dan pada pasien obese.
III.6Skor Pemulihan Pasca AnestesiSebelum pasien dipindahkan ke
ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang menggunakan general
anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk
menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau
masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
A. Aldrete ScoreNilai Warna Merah muda, 2 Pucat, 1 Sianosis,
0Pernapasan Dapat bernapas dalam dan batuk, 2 Dangkal namun
pertukaran udara adekuat, 1 Apnoea atau obstruksi, 0Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang 50% dari normal, 0Kesadaran Sadar, siaga
dan orientasi, 2 Bangun namun cepat kembali tertidur, 1 Tidak
berespons, 0Aktivitas Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2 Dua
ekstremitas dapat digerakkan,1 Tidak bergerak, 0Jika jumlahnya >
8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
B. Steward Score (anak-anak)Pergerakan Gerak bertujuan 2 Gerak
tak bertujuan 1 Tidak bergerak 0Pernafasan Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1 Perlu bantuan 0Kesadaran Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1 Tidak bereaksi 0Jika jumlah > 5,
penderita dapat dipindahkan ke ruangan
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2009. 2. Omuigui . The
Anaesthesia Drugs Handbook, 2nd ed, Mosby year Book Inc, 1995.3.
Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi FK UI. Jakarta 4. Thomas J Gal. Airway
Management in Millers Anesthesia, Chapter 42, . Elsivier : 2005 :
page 1617.5. Verghese C, Brimacombe JR. Survey of Laryngeal mask
airway usage in 11910 patients : safety and efficacy for
conventional and nonconventional usage. Anesth Analg 1996 ; 82 :
129 1336. Edward Morgan et al. Clinical Anesthesiology. Fourth
Edition. McGraw-Hill Companies. 2006 : 98.7. Peter F Dunn. Clinical
Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital.
Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -2178. Tim Cook, Ben
Walton. The Laryngeal Mask Airway. In : Update in Anaesthesia : 32
429. Cook TM, Lee G, Nolan JP. The ProSeal laryngeal mask airway ;
a review of the literature. Can j Anesth 2005 ; 52 : 739 76010.
Brimacombe J, Clarke G, Keller C. Lingual nerve injury associated
with the ProSeal laryngeal mask airway : a case report and review
of the literature. Br J Anaesth 2005 ; 95 : 420 42311. Brimacombe
J, Keller C, Kurian S, Myles J. Reliability of epigastric
auscultation to detect gastric insufflation. Br J Anaesth 2002 ; 88
( 1 ) : 127 12912. Turan et al. Comparison of the laryngeal mask (
LMA ) and laryngeal tube ( LT ) with the new perilaryngeal airway (
CobraPLA ) in short surgical procedures. EJA 2006 ; 23 : 234 23813.
Brimacombe J. The advantage of the LMA over the tracheal tube or
face mask : a meta analysis. Can J Anaest 1995 ; 42 : 1017 102314.
Devitt JH, Wenstone R, Noel AG, ODonnell MP. The laryngeal mask
airway and positive-pressure ventilation. Anesthesiology 1994 ; 80
: 550 55515. El-Ganzouri A, Avramov MN, Budac S, Moric M, Tuman KJ.
Proseal laryngeal mask airway versus endotracheal tube : ease of
insertion, hemodynamic response and emergence characteristic.
Anesthesiology 2003 ; 99 : A57116. Laxton CH, Kipling R. Lingual
nerve paralysis following the use of the laryngeal mask airway.
Anaesthesia 1996 ; 51 ( 9 ) : 869 870
2