LAPORAN STUDI LAPANGAN PRAKTIKUM EKOLOGI ANALISIS VEGETASI HUTAN WANAGAMA Oleh: Roni Ardyantoro 13308141044 Nur Tsani Rahmawati 13308141050 Hana Widiyanti 13308144006 Salma Nadiyah 13308144013 Kelompok V PRODI STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN STUDI LAPANGAN
PRAKTIKUM EKOLOGI
ANALISIS VEGETASI
HUTAN WANAGAMA
Oleh:
Roni Ardyantoro 13308141044
Nur Tsani Rahmawati 13308141050
Hana Widiyanti 13308144006
Salma Nadiyah 13308144013
Kelompok V
PRODI STUDI BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai
komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain
suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk
hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga
berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu
populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi dan merupakan suatu
sistem yang menunjukkan kesatuan (Ansari Fuad. 1975).
Populasi adalah keseluruhan objek yang akan/ingin diteliti. Populasi ini sering
juga disebut Universe. Anggota populasi dapat berupa benda hidup maupun benda
mati, dimana sifat-sifat yang ada padanya dapat diukur atau diamati. Populasi yang
tidak pernah diketahui dengan pasti jumlahnya disebut "Populasi Infinit" atau tak
terbatas, dan populasi yang jumlahnya diketahui dengan pasti (populasi yang dapat
diberi nomor identifikasi), misalnya murid sekolah, jumlah karyawan tetap pabrik, dll
disebut "Populasi Finit". Suatu kelompok objek yang berkembang terus (melakukan
proses sebagai akibat kehidupan atau suatu proses kejadian) adalah Populasi Infinitif
(Duncan Robert et al. 1988).
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari
beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme
kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama
individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya
sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis. Dalam
ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode untuk menganalisis suatu vegetasi
yang sangat membantu dalam mendekripsikan suatu vegetasi sesuai dengan
tujuannya. Dalam hal ini suatu metodologi sangat berkembang dengan pesat seiring
dengan kemajuan dalam bidang-bidang pengetahuan lainnya, tetapi tetap harus
diperhitungkan berbagai kendala yang ada (Syafei, 1990).
Analisis vegetasi merupakan cara yang dilakukan untuk mengetahui seberapa
besar sebaran berbagai spesies dalam suatu area melaui pengamatan langsung.
Hal yang perlu diperhatikan dalam analisis vegetasi adalah penarikan unit
contoh atau sampel. Dalam praktikum kali ini kami mengunakan teknik ploting
dengan menggunakan Quadrat Sampling Techniques. Teknik ini merupakan suatu
teknik survey vegetasi yang sering digunakan dalam semua tipe komunitas
tumbuhan.
Langkah awal kami menentukan luas minimal plot. Kami mengambil data
dimulai dari plot 4x4 kemudian diperbesar hingga tidak ada tambahan spesies
pada pertambahan plot. Kami tidak mendapatkan penambahan spesies pada plot
ke 5 sehingga didapatkan hasil maksimal pada plot 4 dengan jumlah spesies 14
pada luas 8x16 (128 m2). Data tersebut dianalisis didapatkan luas minimal plot
8x8 m2. Kemudian kami menentukan jumlah minimal plot dengan menghitung
jumlah spesies pada setiap plot dan kami berhenti menghitung jumlah minimal
plot jika tidak mendapatkan tambahan spesies baru. Kami tidak mendapatkan
tambahan jenis spesies baru pada plot ke 5 sehingga hanya didapatkan pada plot 4
dengan jumlah spesies 14. Kemudian kami analisis didapatkan jumlah minimal 3
plot.
Dari perolehan nilai penting diperoleh ranking tumbuhan sesuai banyaknya
tumbuhan dalam areal keseluruhan plot yang menjadi sampel pengamatan kami di
Wanagama. Ranking pertama diperoleh Dari perolehan nilai penting ini, diperoleh
ranking tumbuhan sesuai banyaknya tumbuhan dalam areal keseluruhan plot yang
menjadi sampel pengamatan kami di Wanagama. Ranking pertama diperoleh oleh
Podocarpus. Ranking kedua diperoleh oleh Swietenia. Ranking ketiga diperoleh
oleh Glerecidae . Ranking keempat diperoleh oleh Pasifora. Ranking kelima
diperoleh oleh Mimosa. Ranking keenam diperoleh oleh Mitragina. Ranking
ketujuh diperoleh oleh Maclura. Ranking kedelapan diperoleh oleh Barleria.
Ranking kesembilan diperoleh oleh Ingu. Ranking kesepuluh terdiri dari dua jenis
spesies, yaitu diperoleh oleh Hoplismenus dan Flacourtia. Namun, dalam
penghitungan nilai penting ini, tidak semuanya memiliki nilai dominansi relatif,
hanya tumbuhan – tumbuhan yang termasuk dalam kategori dominan saja.
Di areal pengamatan kami, Podocarpus macrophyllus merupakan
tumbuhan yang dominan. Podocarpus macrophyllus dapat menjadi tumbuhan
dominan karena factor biotic yang mendukung pertumbuhan Podocarpus
macrophyllus . Dengan areal pengamatan kami yang bersuhu 35°C, intensitas
cahaya dengan kisaran 64-103 cd, kelembaban udara 65%, dan tekstur tanah yang
remah merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan pohon Podocarpus
macrophyllus sehingga tumbuhan ini dapat tumbuh optimal. Dengan jumlah yang
paling banyak, Podocarpus macrophyllus menaungi paling luas areal
pengamatan. Hal ini menyebabkan sedikitnya intensitas cahaya yang diperoleh
daerah sekitar Podocarpus macrophyllus . Kurangnya intensitas cahaya ini
menjadi faktor penentu tumbuhan yang ada di sekitar Podocarpus macrophyllus,
tumbuh-tumbuhan itu harus mampu hidup optimal di daerah yang ternaungi.
Dominasi Podocarpus macrophyllus ini pun mempengaruhi jumlah
tumbuhan yang lain. jumlah Podocarpus macrophyllus yang banyak memerlukan
luas areal yang banyak sehingga tumbuhan yang lain memperoleh areal yang lebih
sempit untuk hidup dan melestarikan jenisnya. Tumbuhan yang mendapatkan luas
areal yang sedikit untuk hidup tentu tidak mampu mengoptimalkan hidupnya
sehingga jumlahnya lebih sedikit dari pada Podocarpus macrophyllus. Dominasi
Podocarpus macrophyllus ini juga dapat mempengaruhi serapan hara dari dalam
tanah. Disebabkan oleh banyaknya Podocarpus macrophyllus, sebagian besar hara
diserap oleh Podocarpus macrophyllus sehingga kemungkinan tumbuhan yang
lain mendapatka unsur hara yang lebih sedikit dibandingkan Podocarpus
macrophyllus. Hal ini menyebabkan tumbuhan yang lain kurang optimal
jumlahnya. Tumbuhan yang mampu bertahan dengan kompetisi ini mampu
mempertahankan jenisnya dengan jumlah yang cukup banyak pula meski tetap
lebih sedikit dari Podocarpus macrophyllus. Kebanyakan tumbuhan yang mampu
bertahan itu adalah jenis pohon karena strukturnya yang kokoh dan akarnya yang
panjang sehingga mampu menjangkau daerah yang luas untuk mendapatkan unsur
hara yang dibutuhkan.
Tanaman Barleria, ingu, Hoplismenus dan Flacourtia merupakan
tumbuhan yang menempati ranking terakhir. Hal ini dimungkinkan karena
lingkungan abiotik yang kurang mendukung untuk optimalisasi hidupnya. Selain
itu juga dipengaruhi kompetisi antara tumbuhan yang satu dengan yang lain yang
memiliki kebutuhan yang sama, baik areal maupun unsur hara untuk
kehidupannya. Jika tumbuhan-tumbuhan ini tidak mampu beradaptasi
kemungkinan di tahun-tahun yang akan datang dapat terseleksi.
Analisis dengan teknik Quadrat Sampling ini memberikan kami
gambaran bahwa dalam lokasi pengamatan yang kami pilih di salah satu
bagian Hutan Wanagama memiliki vegetasi yang didominasi oleh Podocarpus.
Kemudian tumbuhan yang juga cukup banyak di sana setelah Podocarpus
adalah Swietenia. Kemudian disusul Pasifora, dan Glerecidae . Ketiga jenis
tumbuhan ini adalah pohon. Pohon yang juga menjadi penyusun vegetasi di
sana adalah Barleria, ingu, Hoplismenus, Flacourtia Mimmosa, Mitragina, dan
Maclura yang jumlahnya sedikit.
2. Point quarter techniques
Teknik kedua yang kami gunakan adalah teknik Point quarter techniques,
teknik ini merupakan metode sampling tanpa petak contoh yang paling efisien
karena pelaksanaannya di lapangan memerlukan waktu yang lebih sedikit, mudah,
dan tidak memerlukan faktor koreksi dalam menduga kerapatan individu
tumbuhan.
Langkah kerja yang kami lakukan adalah menentukan lokasi dan menentukan
batas-batasnya. Kemudian membuat arah garis pertama yang arahnya sesuain
dengan arah kompas (garis ini disebut sebagai compass line). Selanjutnya
menentukan jarak antar titik (poin), sepanjang garis pertama. Langkah ke-3
membuat garis kedua yang arahnya tegak lurus dengan garis pertama dan karena
perpotongan kedua garis tersebut masing-masing daerah disekitar poin terbagi
menjadi 4 quarter. Langkah selanjutnaya menentukan titik yang diprioritaskan
untuk diamati terlebih dahulu. Langkah berikutnya mengukur jarak pohon yang
memiliki diameter 1 cm atau lebih, yang terdekat dengan poin senter, pada setiap
quarter pada masing-masing poin dengan poin senter. Selanjutnya mencatat nama
spesies dan mengukur diameter pohon yang dipilih (karena terdekat dengan poin
senter) dan megukur luas penutupan tajuk. Langkah terakhir mencari nilai penting
masing-masing spesies pada setiap tegakan. Selanjutnya menentukan kedudukan
(rank) masing-masing spesies untuk menentukan struktur trofik dimana komponen
vegetasi lain (spesies lain) dalam level produsen.
data pengamatan serta perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh hasil
bahwa rata-rata jarak antar pohon pada quarter dengan poin adalah 1,6 meter.
Densitas absolut seluruh spesies untuk setiap 100 m 2 sebesar 39,06. Sedangakan
densitas untuk setiap spesies adalah ; Glerecidae sepium sebesar 26,18, Mimosa
sp sebesar 3,12, Swietenia macropil sebesar 3,12, Podocarpus macrophyllus
sebesar 6,64.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pada pengamatan poin quarter dalam
daerah seluas 100 m2 spesies Glerecidae sepium yang memiliki kerapatan paling
tinggi. Sedangkan 3 spesies lainnya memiliki kerapan yang hampir sama. Dengan
demikian spesies Glerecidae sepium yang dominan.
Selanjutnya untuk pengukuran terhadap luas basal arean diperoleh hasil rata-
rata luas basal area untuk spesies Glerecidae sepium adalah 30,60 cm2, Mimosa sp
adalah 13,40 cm2, Swietenia macropil adalah 30,60 cm2, Podocarpus
macrophyllus adalah 79,25 cm2. Dari data tersebut spesies Podocarpus
macrophyllus yang memiliki luas basal area terbesar. Hal tersebut menunjukan
bahwa Podocarpus macrophyllus mempunyai kemampuan untuk hidup yang
cukup tinggi dalam memanfaatkan komponen-komponen abiotik baik organik
maupun anorganik yang tersedia dalam luas wilanyah poin quarter tersebut.
Walaupun Glerecidae sepium memiliki kerapan yang tinggi dibandingkan dengan
spesies yang lain yaitu Mimosa sp, Swietenia macropil, Podocarpus
macrophyllus. Namun Glerecidae sepium tidak dapat tumbuh dengan maksimal
karena kemampuannya dalam memanfaatkan komponen abiotik kurang maksimal
karena dalam pemanfaatan komponen abiotik didominasi oleh Podocarpus
macrophyllus.
Untuk frekuensi absolut pohon Glerecidae sepium sebesar 100 %, Mimosa sp
sebesar 33,33%, Swietenia macropil sebesar 33,33 %, Podocarpus macrophyllus
sebesar 33,33%. Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa untuk tanaman
Glerecidae sepium memiliki kepadatan sebesar 100 %, yang menutupi seluruh
daerah pengamatan. Sedangkan pohon Mimosa sp, Swietenia macropil,
Podocarpus macrophyllus memiliki kepadatan sebesar 33,33% yang menutupi
seluruh daerah pengamatan.
Untuk densitas relatif tiap spesies adalah; Glerecidae sepium sebesar 67,02
%, Mimosa sp sebesar 7,99 %, Swietenia macropil sebesar 7,99 %, dan
Podocarpus macrophyllus sebesar 17 %. Arti dari densitas itu sendiri adalah untuk
pohon Glerecidae sepium memiliki kepadatan sebesar 67,02 % yang menutupi
seluruh daerah pengamtan. Sedangkan Mimosa sp dan Swietenia macropil
memiliki kerapatan sebesar 7,99%. Dan untuk Podocarpus macrophyllus sebesar
17 % yang menutupi daerah pengamatan tersebut.
Berdasarkan hasil perhitungan diatas diketahui frekuensi relatif tiap spesies
paling besar oleh pohon Glerecidae sepium sebesar 50%, kemudian untuk pohon
Mimosa sp, Swietenia macropil, dan Podocarpus macrophyllus frekuensi relatif
tiap spesiesnya sama yaitu sebesar 16,66%. Dari data tersebut dapat diketahui
bahwa dominansi pada ekosistem tersebut adalah pohon Glerecidae sepium.
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa
untuk nilai penting tiap spesies dengan menggunakan harga dominansi yang
berdasarkan atas basal area adalah sebagai berikut: Untuk pohon Glerecidae
sepium memiliki nilai penting 175,01, untuk pohon Mimosa sp, mempunyai nilai
penting 27,68, untuk pohon Swietenia macropil memiliki nilai penting 25,53,
sedangkan untuk pohon Podocarpus macrophyllus memiliki nilai penting 71,75.
Untuk luas penutupan tidak dihitung karena pada saat pengamatan tanaman
yang kami jumpai daunnya meranggas. Soalnya pengamatan yang kami lakukan
pada saat awal musim hujan jadi tumbuhan yang disana belum banyak yang
menumbuhkan daunnya.
Jadi dapat diketahui, peringkat pertama adalah Glerecidae sepium , yang
diikuti oleh Podocarpus macrophyllus, kemudian Mimosa sp, dan yang terakhir
adalah Swietenia macropi. Sehingga dapat diketahui bahwa vegetasi pada hutan
wanagama yang diamati dengan tekhnik point quarter, vegetasi tersebut bertindak
sebagai produsen namun berdasarkan data hasil peringkat, Glerecidae sepium
menduduki peringkat pertama. Sehingga dapat diketahui Glerecidae sepium
merupakan produsen utama dalam ekosistem tersebut. Selain itu juga dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai pentingnya maka semakin tinggi peran
atau pengaruh tanaman tersebut dalam ekosistem.
3. Komonen Abiotik
Komponen abiotik yang kami ukur diantaranya komponen mikroklimat yang
meliputi suhu, kelembabapan udara, kecepatan angin, intensitas cahaya, dan
komponen edafik yang meliputi struktur tanah, tekstur tanah, pH dan kelembaban
tanah.
Untuk masing-masing plot komponen abiotik yang terukur adalah sebagai
berikut: pada plot I suhunya sebesar 35 0C suhunya agak tinggi karena pada saat
pengamatan dilakukan pada siang hari sekitar jam 11 siang, selanjutnya
kelembapan udaranya sebesar 65 cd, intensitas cahaya sebesar 103 lux dan
kecepatan angginnya sebesar 0 karena pada saat pengamatan anginnya tidak bisa
diukur dengan alat sebab hampir tidak ada angin, struktur tanahnya liat dengan
tekstur tanah remah, pH tanah 6,9 dan kelembapan tanah 100 % karena pada saat
pengamatan dilakukan pada saat musim hujan.
Pada plot 2 juga tidak jauh berbeda dengan plot 1 yaitu suhu udaranya sebesar
34,5 0C, kelembaban udaranya 65 cd, kecepatan angin 0, intensitas cahaya 85,
sedangkan komponen edafik yang meliputi struktur tanahnya liat, dengan tekstur
renah, pH tanah netral yaitu sebesar 7, dan kelembaban tanah 100 %.
Begitu juga dengan plot 3 komponen abiotik yang diukur juga sama dengan
plot1 dan plot 2, dimana suhu udara sebesar 39,5, kelembaban udaranya 65 cd,
kecepatan angin 0, intensitas cahaya 64 dimana plot 3 terdapat pohon Swietenia
macropilla yang mempunya kanopi sehingga cahaya tidak bisa masuk secara
optimal karena terhalang oleh tajuk pohon Swietenia macropilla, komponen
edafik yang meliputi struktur tanahnya liat, dengan tekstur renah, pH tanah
mendekati netral yaitu sebesar 6,8, dan kelembaban tanah 100 %.
KESIMPULAN
Dari analisis data yang kami lakukan pada pengamatan vegetasi hutan Wanagama,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Quadrat Sampling Techniques
Dapat diketahui bahwa vegetasi pada hutan Wanagama yang diamati dengan
Quadrat Sampling, vegetasi yang mendominasi yaitu tumbuhan Podocarpus
macrophyllus . Sehingga dapat diketahui melalui tekhnik pengamatan ini produsen
utama yaitu Podocarpus macrophyllus .
2. Point Quarter Techniques
Dapat diketahui bahwa vegetasi pada hutan Wanagama yang diamati dengan
Teknik Point Quarter, vegetasi yang bertindak sebagai produsen berdasarkan data
hasil peringkat adalah Glerecidae sepium yangmenduduki peringkat pertama.
Sehingga dapat diketahui Glerecidae sepium merupakan produsen pertama dalam
ekosistem tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Anonim . Analisis Vegetasi Metode Kuadrat, (online), www.2dix.com/pdf/analisis-vegetasi-metode-kuadrat-pdf.php diakses Senin, 22 November 2010.
Anonim. Apa dan Bagaimana Mempelajari Analisis Vegetasi, (online), www.boymarpaung.wordpress.com/apa-dan-bagaimana-mempelajari-analisis-vegetasi/ diakses Senin, 22 November 2010.
Anonim.Hutan,(online),www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/968/1/hutan-siti12.pdf. diakses Senin, 22 November 2010.
Kusmana, C, 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Duncan Robert et al. 1988. Biostatistics For Health.New York: Wiley Medical Publication
Fuad, Ansari. 1975. Prinsip- prinsip dan Dasar Statistika dalam perencanaan Kesehatan.
Surabaya. Airlangga University Press
Hadisubroto, Tisno. 1989. Ekologi Dasar. Deptdikbud. Jakarta.