BAB IPENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANGRumah sakit sebagai salah satu sarana upaya
kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta
dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan
penelitian. Pelayanan di rumah sakit adalah kegiatan yang berupa
pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, dan pelayanan gawat
darurat yang mencakup pelayanan medik dan penunjang medik, yang
salah satu unit pelayanan yang mempunyai peranan yang sangat
penting di dalamnya adalah unit kefarmasian.Menghadapi era
persaingan yang ketat, hal utama yang perlu diperhatikan oleh rumah
sakit adalah kepuasan pelanggan agar dapat bertahan, bersaing,
mempertahankan pasar yang sudah ada. Untuk itu rumah sakit harus
mampu mempertahankan kualitasnya dengan memberikan pelayanan yang
sesuai dengan harapan pasien sehingga pasien merasa
puas.Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit
disebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang
berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu,
termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua
lapisan masyarakat.Tujuan pelayanan kesehatan adalah tercapainya
derajat kesehatan masyarakat yang memuaskan harapan dan derajat
kebutuhan masyarakat (consumer satisfaction) melalui pelayanan yang
efektif oleh pemberi pelayanan yang juga akan memberikan kepuasan
dalam harapan dan kebutuhan pemberi pelayanan (provider
satisfaction) dalam institusi pelayanan yang diselenggarakan secara
efisien (institutional satisfaction).Mutu pelayanan kesehatan
menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam
menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Makinsempurna
kepuasan tersebut, makin baik pula mutu pelayanan kesehatan.Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit menyebutkan bahwa pasien adalah setiap orang yang melakukan
konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak
langsung di rumah sakit. Sedangkan rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri
yang dipengaruhi oleh perkembanganilmu pengetahuan kesehatan,
kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang
harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan
terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang
setinggitingginya.RSAL Dr. Mintohardjo merupakan salah satu rumah
sakit milik pemerintah yang dituntut untuk memberikan pelayanan
terbaik kepada pasien dan harus mampu bersaing dengan penyedia jasa
yang lain. RSAL Dr. Mintohardjo beralamat di Jalan Bendungan Hilir
No.17 Jakarta Pusat. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Sukoharjo memiliki 11 departemen atau poli dengan 3 buah
apotek yaitu Dinas, Yanmasum, ASKES yang kegiatannya berlangsung
selama 24 jam. Jumlah tenaga apoteker yang bertugas di ASKES
sebanyak 4 orang. Bagian entry data untuk ASKES sebanyak 2 orang
dan bagian penerimaan resep sebanyak 2 orang. Bagian penyerahan
obat sebanyak 2 orang. Jumlah keseluruhan tenaga farmasi pada
apotek ASKES sebanyak 18 orang. Pasien Askes termasuk salah satu
jenis pasien yang terdapat di dalam RSAL Dr. Mintohardjo dimana
pesertanya meliputi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran
dan Perintis Kemerdekaan yang membayar iuran untuk jaminan
pemeliharaan kesehatan, Dokter Pegawai Tidak Tetap dan Bidan
Pegawai Tidak Tetap. Pasien Askes dipilih karena pasien Askes ingin
mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal dengan biaya
pengobatan yang terjangkau dan obat yang dipilih juga sesuai dengan
yang diharapkan. Selain itu pasien Askes juga menguntungkan rumah
sakit karena segala biaya yang dikeluarkan untuk pasien Askes sudah
ditanggung oleh PT. Askes sehingga pihak rumah sakit tidak akan
dirugikan dengan adanya pasien Askes. Oleh karena itu pihak rumah
sakit selalu berusaha pemberikan pelayanan yang maksimal terutama
dalam hal melayani resep sehingga pasien merasa puas.Waktu tunggu
merupakan salah satu indikator dari jenis pelayanan yang terdapat
di rumah sakit. Waktu tunggu pelayanan obat jadi dan obat racikan
sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor:129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit adalah 30 menit dan 60 menit.
II. TUJUANTujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
waktu tunggu pasien di apotek Askes rumah sakit TNI AL Dr.
Mintohardjo Jakarta.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
1. EvaluasiEvaluasi menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2006), adalah serangkaian prosedur untuk menilai suatu
program dan memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian
tujuan, kegiatan, hasil dan dampak serta sistematis dari dampak
program. Dengan demikian maka evaluasi dapat diartikan sebagai :1.
Suatu proses untuk menentukan suatu nilai atau keberhasilan dalam
usaha pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan.1. Suatu usaha
untuk mengukur pencapaian suatu tujuan atau keadaan tertentu dengan
membandingkan dengan standar nilai yang sudah ditentukan
sebelumnya.1. Suatu usaha untuk mencari kesenjangan antara rencana
yang ditetapkan dengan kenyataan hasil pelaksanaan.Organisasi
Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) 1993,
menyebutkan bahwa evaluasi adalah cara yang sistematis untuk
belajar dari pengalaman dan menggunakan pelajaran-pelajaran yang
diiperoleh untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan yang sedang
dilakukan dan untuk meningkatkan perencanaan yang lebih baik dengan
menyeleksi secara cermat alternatif alternative tindakan yang akan
diambil. Pernyataan ini menyangkut analisis kritis mengenai
berbagai aspek pengembangan pelaksanaan suatu program dan
kegiatan-kegiatan yang membentuk program itu, relevansi, rumusan,
efisiensi dan efektifitas, biaya dan penerimaannya oleh semua pihak
yang terlibat.Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(2006), ada empat jenis evaluasi yang dibedakan atas interaksi
dinamis di antara lingkungan program dan waktu evaluasi, yaitu :1.
Evaluasi formatif, yang dilakukan selama berlangsungnya kegiatan
program. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat dimensi kegiatan
program yang melengkapi informasi untuk perbaikan program.1.
Evaluasi sumatif, yang dilakukan pada akhir program. Evaluasi ini
perlu untuk menetapkan ikhtisar program, termasuk informasi
outcome, keberhasilan dan kegagalan program.1. Evaluasi penelitian,
adalah suatu proses penelitian kegiatan yang sebenarnya dari suatu
program, agar diketemukan hal-hal yang tidak tampak dalam
pelaksanaan program.1. Evaluasi presumtif, yang didasarkan pada
tendensi yang menganggap bahwa jika kegiatan tertentu dilakukan
oleh orang tertentu yang diputuskan dengan pertimbangan yang tepat,
dan jika bertambahnya anggaran sesuai dengan perkiraan, maka
program dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.Manfaat evaluasi
adalah : 1) untuk menetapkan kesulitan yang ditemui dalam program
yang sedang berjalan, 2) meramalkan kegunaan dan pengembangan
usaha-usaha dan memperbaikinya, 3) mengukur kegunaan
program-program yang inovatif, 4) meningkatkan efektivitas program,
manajemen dan administrasi, 5) kesesuaian tuntutan tanggungjawab.
(Depkes RI, 2002).Tujuan evaluasi menurut (WHO,1993) adalah untuk
memperbaiki program-program kesehatan dan infrastruktur
pelaksanaannya serta mengarahkan alokasi sumber-sumbernya untuk
program-program yang sedang berjalan dan yang akan datang. Dengan
demikian evaluasi merupakan proses yang berlanjut dengan tujuan
agar kegiatan-kegiatan kesehatan menjadi lebih relevan, efektif dan
efisien. Penerapannya menghendaki pikiran yang terbuka dan mampu
member kritik yang membangun menuju kepada mitra pemikiran pendapat
yang sehat.2. Sistem Manajemen MutuManajemen adalah proses
sistematis untuk mencapai tujuan melalui fungsi perencanaan,
pelaksanaan, pemeriksaan dan tindak lanjut (Susilo, 2003).
Fungsi-fungsi tersebut dikenal dengan PDCA, yaitu : Plan, Do, Check
dan Action (Suardi, 2004). Manajemen Mutu menurut Susilo (2003)
adalah upaya sistematis melalui fungsi perencanaan, pelaksanaan,
pemeriksaan atau pengendalian serta tindak lanjut terhadap semua
unsur organisasi, baik internal maupun eksternal. Dimana mencakup
dimensi material, metode, mesin, dana, manusia, lingkungan dan
informasi untuk merealisasikan komitmen, kebijakan dan sasaran mutu
yang telah ditetapkan dalam rangka memberikan kepuasan kepada
pelanggan untuk masa sekarang maupun dimasa depan.Sistem manajemen
mutu sebagai sistem manjemen berfungsi untuk mengendalikan dan
mengarahkan organisasi dalam hubungannya dengan mutu berlandaskan
pada konsep manajemen umum yakni PDCA. Sistem manajemen mutu
menurut Koentjoro (2007) didefinisikan sebagai suatu tatanan
(termasuk didalamnya adalah budaya organisasi) dalam sistem
manajemen yang dirancang dan diterapkan untuk menjamin agar sistem
atau proses pelayanan dan produksi diperbaiki terus-menerus,
berjalan sesuai persyaratan mutu, dan dapat memenuhi bahkan
melebihi apa yang diharapkan pelanggan.3. Pelayanan Kefarmasian
Strand (1992) menggunakan istilah Pelayanan Kefarmasian untuk
mewakili semua pelayanan yang diperlukan oleh tenaga kefarmasian
dalam menyelesaikan masalah terapi obat pasien. Dimana layanan ini
dimulai dari pemberian informasi obat untuk konseling ke pasien
sampai dengan distribusinya. Pharmaceutical Public Health menurut
WHO (2006) merupakan penerapan ilmu farmasi, ketrampilan dan sumber
daya untuk ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup,
mempromosikan, melindungi dan meningkatkan kesehatan bagi semua
melalui upaya masyarakat yang terorganisir.Konsep pelayanan
kefarmasian ditingkat individu adalah pelayanan yang dibutuhkan dan
diberikan kepada pasien untuk menjamin keamanan dan penggunaan
obat. Menurut WHO (2006), pelaksanaan dan praktek kefarmasian harus
didukung dan ditingkatkan dengan mengukur, menilai dan meningkatkan
praktek kefarmasian dengan memanfaatkan konsep pelayanan
kefarmasian tidak hanya menciptakan hasil yang lebih baik, tetapi
juga dapat mengurangi biaya. Dengan demikian peningkatan kualitas
harus tertuju pada sumber daya (terstruktur) dan kegiatan yang
dilakukan (proses) untuk memastikan atau meningkatkan kualitas
layanan kefarmasian (hasil).Asuhan kefarmasian merupakan proses
perbaikan yang berkesinambungan dalam proses kolaborasi antara
tenaga kefarmasian dengan tenaga kesehatan lainnya serta pasien
untuk mencapai tujuan terapi yang optimal bagi pasien. Hal ini
sejalan dengan pemikiran Donabedian dalam Pohan (2007) dimana fokus
dari mutu merupakan kesatuan dari manajemen, pasien/masyarakat,
serta profesi kesehatan. Aktivitas praktek kefarmasian menurut WHO
(2006), yaitu:a. Memastikan terapi dan tujuan pengobatan sesuai,
dengan memastikan bahwa tepat farmakoterapi, pasien mengerti atau
patuh terhadap rencana terapinya serta memonitoring dan melaporkan
hasil terapi.b. Dispensing dan perbekalan kesehatan yaitu
melayani/memproses resep atau permintaan perbekalan, menyiapkan
produk farmasi, dan pemberian obat atau perbekalan.c. Promosi
kesehatan dan pencegahan penyakit dengan menyampaikan pelayanan
pencegahan, melakukan pengawasan dan pelaporan terhadap isu
kesehatan masyarakat, serta mempromosikan penggunaan obat yang
tepat di masyarakat.d. Manajemen sistem kesehatan dengan
pengelolaan obat dan penggunaan obat melalui sistem kesehatan, ikut
berpartisipasi dalam penelitian penelitian serta mengaitkan dengan
berbagai cabang ilmu pengetahuan.Menurut Depkes (2006), pelayanan
kefarmasian adalah pelayanan yang berorientasi kepada pasien yang
mengacu pada asuhan kefarmasian. Oleh karena itu apoteker sebagai
tenaga farmasi dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan
dan perilaku agar dapat berinteraksi langsung dengan
pasien.Penanggung jawab pelayanan resep di apotek sepenuhnya
dipegang oleh seorang apoteker pengelola apotek. Apoteker menangani
pengelolaan obat yang meliputi manajemen dan dispensing obat. Bila
penulis resep (prescriber) membuat kekeliruan dalam penulisan
resep, kemudian apoteker atau asisten apoteker menyelesaikan resep
tersebut tanpa pertimbangan, maka apotekerlah yang harus
bertanggung jawab atas kesalahan tersebut (Depkes, 2004).4.
Indikator Pelayanan KefarmasianIndikator kinerja dibutuhkan untuk
menggambarkan secara kuantitatif efektifitas dan efisinsi proses,
dengan berpedoman pada target-target dan tujuan organisasi (Lohman
dalam Mahsun, 2006). Indikator pelayanan kesehatan yang spesifik
dan terukur, dikembangkan berdasarkan bukti-bukti dan konsensus
sehingga dapat digunakan untuk menilai kualitas pelayanan kesehatan
(Murti, 2003),. Indikator yang baik perlu memberikan batasan yang
jelas tentang pelayanan yang dimaksud, selain itu pelayanan harus
dalam jangkauan kendali pihak yang memberikan pelayanan sehingga
dapat diterapkan dalam upaya perbaikan kualitas suatu pelayanan.
Beberapa indikator penggunaan obat yang dikembangkan mengenai
perawatan pasien di pelayanan kesehatan sekunder adalah :a.
Rata-rata waktu penyiapan obat, Pengukuran rata-rata waktu
penyiapan obat dilakukan dengan tujuan untuk melihat waktu yang
dibutuhkan oleh tenaga kefarmasian untuk menyiapkan obat yang
diresepkan. Penelitian Tubagus (1996) menemukan rata-rata waktu
penyiapan obat adalah antara 65-89 detik. Berbeda dengan penelitian
Jamil (2006) yang dilakukan di Puskesmas Kota Padang, rata-rata
waktu penyiapan obat masih melebihi rata-rata. Hal ini disebabkan
karena tenaga pengelola obat di puskesmas masih tidak sebanding
dengan jumlah kunjungan resep yang harus dilayani, dimana 90-100
resep pasien dilayani oleh hanya satu orang asisten apoteker atau
ada beberapa puskesmas yang sudah terdapat dua pengelola obat,
yaitu satu orang apoteker dan atau orang asisten apoteker.b.
Rata-rata waktu penyerahan obatRata-rata waktu penyerahan obat
dilakukan untuk melihat waktu yang digunakan oleh tenaga
kefarmasian dalam memberikan informasi atau komunikasi dengan
pasien saat menyerahkan obat. Informasi mengenai obat dan
pengobatan sangat diperlukan oleh semua tingkat pelayanan
kesehatan. Pemegang kebijakan dan pengelola pelayanan, informasi
obat diperlukan dalam evaluasi obat, dalam proses seleksi maupun
dalam proses regulasi obat. Pasien juga membutuhkan informasi obat
dan pengobatan untuk kesembuhan dirinya (WHO, 1993).Pasien yang
mendapat informasi baik cenderung secara aktif akan berpartisipasi
dalam pengobatannya dan mendukung saran-saran yang diberikan bahkan
ia akan lebih bertanggung jawab dalam mengatur pengobatannya
(Barber, 2000). Menurut WHO (1993) informasi minum obat yang harus
disampaikan kepada pasien adalah indikasi, efek samping obat,
larangan atau peringatan, komunikasi dan kejelasan informasi yang
disampaikan. Petugas penyerahan obat beranggapan bahwa pasien telah
didiagnosa dan pengobatan telah ditentukan atau mungkin pasien
telah menapat informasi dari dokter sehingga mereka tidak perlu
lagi memberikan informasi. c. Presentase jumlah obat sesuai resep
yang diberikan kepada pasienPengukuran presentase jumlah obat
sesuai resep yang diberikan kepada pasien bertujuan untuk mengamati
apakah obat yang diserahkan kepada pasien, cukup jumlahnya sesuai
dengan resep dokter atau kurang dari resep dokter. Pengukuran ini
menggambarkan tingkat kecukupan obat di kamar obat. d. Presentase
item obat sesuai resep yang diberikan kepada pasienPengukuran
dilakukan dengan mengamati apakah obat yang diserahkan kepada
pasien cukup jenisnya sesuai yang dimaksudkan dalam resep,
sekaligus untuk menggambarkan tingkat kecukupan obat di kamar obat.
Hasil penelitian Jamil (2006) terhadap 570 pasien, diperoleh hasil
100% jumlah jenis obat diserahkan sesuai dengan resep. Hal ini
karena petugas kamar obat memberitahukan kepada penulis resep
mengenai jenis obat yang tersedia di puskesmas.e. Presentase
penggantian resepPengukuran presentase penggantian resep digunakan
untuk menggambarkan tingkat kecukupan obat, dimana pengukuran
dilakukan dengan mengamati berapa banyak item obat dalam resep yang
diganti baik oleh petugas maupun oleh penulis resep karena alasan
obat habis atau tidak tersedia. Penggantian resep dapat dihindari
bila terdapat komunikasi yang baik antara petugas obat dengan
penulis resep dengan cara petugas obat sebelumnya memberitahukan
kepada penulis resep tentang obat yang masih tersedia dan obat yang
habis (Jamil, 2006).f. Kelengkapan labelSetelah obat di kemas perlu
ditempeli etiket pada masing-masing wadah obat dan perlu ditulis
pada etiket adalah nama pasien, aturan pakai obat, dan waktu pakai
(Depkes, 2004). Hasil penelitian Jamil (2006), mengungkapkan alasan
petugas yang tidak menulis lengkap informasi pada etiket adalah
apabila label/etiket ditulis lengkap maka pasien akan memerlukan
waktu yang lama untuk menunggu penyiapan obat sedangkan jumlah
tenaga pengelola obat dan jumlah kunjungan pasien tidak seimbang.g.
Pengetahuan pasien tentang obat yang diterimaPengukuran ini
dimaksudkan untuk melihat sejauhmana pasien mengerti/paham dengan
informasi yang diberikan oleh petugas pengelola obat mengenai obat
dan pengobatannya. Komunikasi efektif antara pasien dan praktisi
akan meningkatkan semangat dan kesadaran pasien tentang riwayat
penyakitnya, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam
pengobatannya. Informasi yang tidak akurat dan jenjang pendidikan
sangat berhubungan dengan masalah ketidakpatuhan pasien, hal ini
menyebabkan gagalnya proses pengobatan. Pasien tidak akan berobat
jika dia percaya resiko berobat lebih besar dari penyakit itu
sendiri. Sejak diterimanya hak pasien untuk memperoleh informasi
tentang keadaan kesehatan dan pengobatannya, maka pasien tidak lagi
diperlakukan sebagai objek melainkan sebagai partner (Jamil,
2006).4. Kepuasan PasienSalah satu indikator keberhasilan pelayanan
kesehatan perorangan diapotek adalah kepuasan pasien. Kepuasan
didefinisikan sebagai penilaian pasca konsumsi, bahwa suatu produk
yang dipilih dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen,
sehingga mempengaruhi proses pengambilan keputusan untuk pembelian
ulang produk yang sama.Pengertian produk mencakup barang, jasa,
atau campuran antara barang dan jasa. Produk apotek adalah jasa
pelayanan kesehatan (Supranto, 2001).Model kepuasan yang
komprehensif dengan fokus utama pada pelayanan barang dan jasa
meliputi lima dimensi penilaian, sebagai berikut (3, 4).1.
Responsiveness(ketanggapan), yaitu kemampuan petugas memberikan
pelayanan kepada konsumen dengan cepat. Dalam pelayanan puskesmas
adalah lama waktu menunggu pasien mulai dari mendaftar sampai
mendapat pelayanan tenaga kesehatan.2. Reliability(kehandalan),
yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada konsumen dengan
tepat. Dalam pelayanan puskesmas adalah penilaian pasien terhadap
kemampuan tenaga kesehatan.3. Assurance(jaminan), yaitu kemampuan
petugas memberikan pelayanan kepada konsumen sehingga dipercaya.
Dalam pelayanan puskesmas adalah kejelasan tenaga kesehatan
memberikan informasi tentang penyakit dan obatnya kepada pasien.4.
Emphaty(empati), yaitu kemampuan petugas membina hubungan,
perhatian, dan memahami kebutuhan konsumen. Dalam pelayanan
puskesmas adalah keramahan petugas kesehatan dalam menyapa dan
berbicara, keikutsertaan pasien dalam mengambil keputusan
pengobatan, dan kebebasan pasien memilih tempat berobat dan tenaga
kesehatan, serta kemudahan pasien rawat inap mendapat kunjungan
keluarga / temannya.5. Tangible(bukti langsung), yaitu ketersediaan
sarana dan fasilitas fisik yang dapat langsung dirasakan oleh
konsumen. Dalam pelayanan puskesmas adalah kebersihan ruangan
pengobatan dan toilet (Parasuraman, 1991).Kepuasan pasien dapat
mempengaruhi minat untuk kembali ke apotek yang sama. Hal ini akan
merupakan promosi dari mulut ke mulut bagi calon pasien lainnya
yang diharapkan sangat positif bagi usaha apotek. Suatu pelayanan
dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan
dan harapan pelanggan. Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan
elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih
efisien dan lebih efektif. Apabila pelanggan merasa tidak puas
terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut
dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini terutama
sangat penting bagi pelayanan publik. Tingkat kepuasan pelanggan
terhadap pelayanan merupakan faktor yang pentingdalam mengembangkan
suatu sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan
pelanggan, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak
pelayanan terhadap populasi sasaran (Supranto, 2001).
BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN
I. JENIS PENELITIANPenelitian dilakukan dengan cara observasi
yaitu cara pengambilan data dengan pengamatan langsung tanpa
menggunakan alat standar.II. LOKASI PENELITIANPenelitian dilakukan
di Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo Jakarta yaitu di Apotek Askes
Rawat Inap dan Jalan.III. WAKTU PENELITIANPenelitian ini dilakukan
pada tanggal IV. TEKNIK PENGUMPULAN DATAa. Jenis DataData primer
yaitu data yang didapatkan langsung dari sumber pertama dengan
mengamati waktu pelayanan resep.b. Cara Pengambilan Sampel Sampel
diambil dengan cara Probabilitas/Acak Sampel yang diamati sebanyak
30 sampel/hariV. TEKNIK PENGOLAHAN DATALangkah-langkah yang
dilakukan adalah:1. Mencatat waktu pasien menyerahkan resep kapada
petugas apotek.2. Mengamati jenis obat dan jumlah obat yang
terdapat pada resep3. Mencatat waktu penyelesaian pengerjaan
resep4. Mencatat waktu pasien menerima obat5. Mengevaluasi waktu
pelayanan resep yaitu mulai dari pasien menyerahkan resep kepada
petugas apotek sampai dengan petugas menyerahkan obat ke
pasien.
BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
I. HASIL PENELITIANBerdasarkan penelitian yang dilakukan pada
tanggal 12 Desember 2011 sampai dengan 23 Desember 2011 dan
penelitian ini dilakukan dengan mengambil resep secara acak serta
jumlah resep yang diteliti berjumlah 30 resep per hari selama 10
hari.1. Tabel 1. Hasil Data Waktu Tunggu Jenis Obat Jadi selama 10
hariHari keTanggalRata-RataJumlah Resep
112/12/20110:38:1830
212/13/20110:58:5230
312/14/20110:30:2628
412/15/20110:21:2630
512/16/20110:23:0829
612/19/20110:38:4430
712/20/20110:44:0029
812/21/20110:40:5628
912/22/20110:42:5431
1012/23/20110:21:1830
total 6:00:02295
rata-rata0:36:0029.5
2. Table 2. Hasil data Waktu Tunggu Jenis Obat Racikan selama 10
hariHari keTanggalRata-rataJumlah resep
312/14/20110:38:302
512/16/20110:49:001
612/20/20110:52:302
712/21/20111:06:002
Total3:26:007
Rata-rata0:51:301.75
II. PEMBAHASAN Waktu tunggu merupakan salah satu indikator dari
jenis pelayanan yang terdapat di rumah sakit. Waktu tunggu
pelayanan obat jadi dan obat racikan sebagaimana disebutkan dalam
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor:129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit adalah 30 menit dan 60 menit (DepKes, 2008).Dalam kaitannya
dengan apotik, waktu tunggu merupakan hal yang perlu diperhatikan.
Berdasarkan hal tersebut maka diadakan penelitian atau pengamatan
mengenai waktu tunggu di apotek ASKES RSAL dr.Mintohardjo dalam hal
ini dibahas mengenai berapa lama waktu tunggu yang diperlukan oleh
pasien, mulai dari pasien menyerahkan resep sampai dengan pasien
menerima obatnya.Alur pelayanan resep di apotek ASKES adalah
sebagai berikut:6. Penerimaan resep oleh petugas apotek7. Skrining
terhadap jenis dan jumlah obat yang diresepkan oleh dokter, berupa:
Ada tidaknya obat yang tidak didukung ASKES, Ada tidaknya obat yang
perlu di ACC oleh verifikator ASKES contohnya Insulin Ada tidaknya
obat khusus yang pemberiannya memerlukan hasil lab terbaru dan
nilai hasil lab harus mengikuti standar minimal yang telah
ditentukan, misalnya obat simvastatin diberikan jika pasien
memiliki hasil lab terbaru dengan nilai HDL diatas 1608. Entry data
ke dalam komputer9. Penyiapan obat (obat racik dan obat jadi)10.
Penyerahan obat oleh petugas apotekBerdasarkan tabel 1 didapatkan
hasil Waktu Tunggu Jenis Obat Jadi sebagai berikut:1. Waktu tunggu
pelayanan resep tercepat adalah 00:21:18 yaitu pada hari ke-10
dengan jumlah sampel resep sebanyak 312. Waktu tunggu pelayanan
resep terlama adalah 00:58:52 yaitu pada hari ke-2 dengan jumlah
sampel resep sebanyak 303. Rata-rata waktu tunggu pelayanan resep
selama 9 hari adalah 00:35:17Berdasarkan tabel 2 didapatkan hasil
waktu tunggu untuk obat racikan sebagai berikut:1. Waktu tunggu
pelayanan resep tercepat adalah 00:38:30 yaitu pada hari ke-3 2.
Waktu tunggu pelayanan resep terlama adalah 01:06:00 yaitu pada
hari ke-2 Hal-hal yang mempengaruhi lama tidaknya pelayanan resep
adalah:1. Harus melakukan entry data ke dalam computer yang memakan
waktu yang lama2. Pada saat penyiapan obat petugas kurang cekatan
dan juga harus menyiapkan obat dalam jumlah yang banyak karena
mayoritas resep yang masuk adalah resep untuk pemakaian selama 1
bulan3. Setelah penyiapan dan pengemasan obat petugas akan
menyerahkan obat ketika obat sudah terkumpul sesuai dengan nomer
urutan, sehingga apabila dalam salah satu resep terdapat obat
racikan, maka obat yang lain yang sudah dikemas harus menunggu obat
racikan selesai dikerjakan kemudian baru diserahkan kepada
pasien.Untuk mengatasi permasalahan diatas maka perlu dilakukan
peningkatan kinerja dalam hal panambahan jumlah tenaga kerja untuk
melakukan entry data. Dalam hal penyiapan obat memerlukan petugas
yang cekatan dan pada saat akan menyerahan obat sebaiknya petugas
penyerahan obat tidak menunggu terjadinya penumpukan obat yang
selesai dikemas, sehingga obat yang siap untuk diserahkan segera
diterima oleh pasien tanpa harus menunggu obat dalam jangka waktu
yang lama.
BAB VKESIMPULAN
I. KESIMPULANBerdasarkan penelitian yang dilakukan dapat
disimpilkan bahwa1. Waktu tunggu tercepat untuk resep obat racikan
adalah 00:38:30 dan waktu tunggu terlama 01:06:00.2. Waktu tunggu
tercepat untuk resep non racikan adalah 00:21:18 dan waktu terlama
00:58:52.3. Factor-faktor yang mempengaruhi lama tidaknya pelayanan
resep adalah pengentryan data ke dalam komputer yang memakan waktu
yang relative lama, petugas penyiapan obat kurang cekatan dalam
menyiapkan obat juga harus menyiapkan obat dalam jumlah yang banyak
karena mayoritas resep yang masuk adalah resep untuk pemakaian
selama 1 bulan serta keterlambatan dalam penyerahan obat kepada
pasien diakibatkan petugas penyerahan obat menunggu terkumpulnya
obat. 4. Solusi yang dapat diberikan untuk mengatasi permalahan
diatas yaitu perlu dilakukannya peningkatan kinerja dalam hal
penambahan jumlah tenaga kerja, pengadaan petugas yang cekatan
dalam melakukan penyiapan obat serta diperlukanya kinerja yang baik
pada petugas penyerahan obat agar sesegera mungkin menyerahkan obat
yang telah selesai dikemas kepaad pasien. II. SARAN Saran yang
diberikan yaitu perlu adanya standarisasi waktu pelayanan untuk
setiap jenis obat baik yang non racikan maupun yang racikan dan
perlu dilakukan peningkatan kinerja pegawai dalam melaksanakan
pelayanan kefarmasian.
DAFTAR PUSTAKA
Barber, N., & Wilson, A. (2000) Churchills Clinical Pharmacy
Survival Guideline, Hartcourt Publisher Limited, London.Departemen
Kesehatan (DepKes) Republik Indonesia, (2004) Keputusan menteri
kesehatan RI Nomor: 128/MENKES/SK/II/2004 Tentang Kebijakan Dasar
Pusat Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.Departemen Kesehatan (Depkes) Republik
Indonesia, (2006) Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.Foster, T.S.
(2004) Managing Quallity An Integrative Approach. Second edition,
Pearson Education, Upper Saddle River : New Jersey.Jamil, L. (2006)
Mutu Pelayanan Farmasi di Puskesmas Kota Padang. Tesis. Program
Magister Manajemen Farmasi. Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada:
Yogyakarta.Koentjoro, T. (2007) Regulasi Kesehatan Di Indonesia.
Penerbit Andi. Yogyakarta.Mahsun, M. (2006) Pengukuran Kinerja
Sektor Publik, Edisi I, cetakan pertama< BPFE, Yogyakarta.Murti,
B. (2003) Mengembangkan Indikator Kualitas Pelayanan Kesehatan,
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Universitas Gajah Mada,
vol.06/No.02/2003. Hal.51-62Nasution, M.N. (2004) Manajemen Mutu
Terpadu (Total Quality Manajemen) Edisi Pertama. Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Parasuraman, A Zeithaml, Valerie A.dan LBerry,Delivering Quality
Service, The Free Press A Divission of Mac Millan inc,New York,
1991.Pohan, S.I. (2007) Jaminan Mutu Layanan Kesehatan. Cetakan
Pertama. EGC. Jakarta.Racmadi., (2008) Pengaruh Kualitas Pelayanan
Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap Kelas III di RSUD Kabupaten
Karimun, Tesis Pasca Sarjana Universitas Terbuka, Jakarta.Susilo,
(2003) Audit Mutu Internal : Panduan Praktis Para Praktisi
Manajemen Mutu Dan Auditor Mutu Internal. Vorqistatama Binamega.
Jakarta.Suardi, R. (2004) Sistem Manajemen Mutu ISO 9000:2000.
Penerapannya Untuk Mencapai TQM. Cetakan Ketiga. Penerbit PPM.
Jakarta.Supranto, J. 2001. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan
untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Rhineka Cipta, Jakarta.Strand, L.M.,
Cipolle, R.J., Morley, P.C. (1992) Pharmacheutical Care : an
Introduction. Kalamazoo. MI. USA. Uphjon Company.Tjiptono, &
Diana, (2001) Total Quality Management. Edisi IV. Andi Offset.
Yogyakarta.Tubagus, (1996) Dampak Penempatan Asisten Apoteker
Terhadap Pengelolaan Dan Mutu Pelayanan Obat Di Puskesmas, Tesis
Program Studi IKM, UGM, Yogyakarta.WHO, (1993) How To Investigate
Drug Use In Health Facilities, Selected Drug Use Indicator. Action
Programe On Essentiale Drugs. WHO. Geneva.WHO, (2006) Developing
Pharmacy Practice : A Focus on Patient Care. Working Draft for
Testing and Revision. WHO. Geneva.