Valuasi Ekonomi Karbon Ca. FaruhumpenaiBalai Besar KSDA Sulawesi
SelatanI. PENDAHULUANA. Latar BelakangIndonesia sebagai negara
berkembang yang mempunyai luas hutan 137,09 juta ha dan luas lahan
gambut 17 juta ha terbesar ketiga di dunia. Dengan kekayaan alam
yang sangat berlimpah, hutan mempunyai manfaat tidak hanya berupa
kayu, melainkan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Jasa
lingkungan seperti menampung air, mencegah banjir, mengurangi erosi
dan sedimentasi, sumber keanekaragaman hayati, dan menyerap karbon
sehingga mengurangi pencemaran udara. Akan tetapi telah terjadi
degradasi dan deforestasi hutan yang mencapai 1,87 ha / tahun. Luas
hutan konservasi yang terdapat di Indonesia seluas 27,2 juta ha,
atau kurang lebih 20 % dari luas kawasan hutan di Indonesia.
Pemanfaatan kawasan konservasi lebih banyak diarahkan pada
pemanfaatan produk jasa dari ekosistem hutan, yang secara garis
besar berupa :a. Jasa penyediaan untuk menghasilkan berbagai
komoditas kebutuhan manusia termasuk obat-obatan, sumber genetik,
air, dllb. Jasa pengaturan untuk menjaga kualitas iklim, udara,
air, erosi, dan mengontrol berbagai aspek biologis di muka bumi.c.
Jasa kultural dalam membentuk identitas budaya, hubungan sosial,
peninggalan pusaka, wisata,dlld. Jasa pendukung dalam membentuk
formasi tanah, produk oksigen, habitat, dan siklus mineral.Akibat
adanya perubahan iklim yang disebabkan aktivitas manusia terutama
berasal dari aktivitas industri dan perusakan hutan dan perubahan
tata guna lahan Indonesia telah menandatangani mekanisme REDD
(Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation).
Mekanisme REDD merupakan mekanisme internasional untuk memberikan
insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Serta melakukan
pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan penurunan kuantitas
penutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai
kegiatan. Di dalam Bali Road MAP, pengelolaan lestari dari hutan
(sustainable forest management) merupakan salah satu mekanisme
pengurangan emisi karbon yang termasuk di dalam upaya pengurangan
emisi dari deforestasi dan degradasi plus. Untuk sektor kehutanan
pengurangan emisi dari pencegahan kebakaran hutan dan degradasi
lahan hutan gambut merupakan prioritas utama untuk mengurangi
dampak pemanasan global.Kawasan konservasi memiliki potensi yang
sangat besar dalam menyerap emisi karbon. Pada kegiatan ini
dilakukan valuasi ekonomi karbon pada Cagar Alam Faruhumpenai yang
merupakan wilayah Balai Besar konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi
Selatan.
B. Maksud dan Tujuan1. Maksud Maksud penyusunan Laporan kegiatan
Valuasi Ekonomi Carbon di CA. Faruhumpenai Kabupaten Luwu Timur ini
adalah untuk memberikan gambaran potensi CA. Faruhumpenai dalam
menyerap karbon dan mengetahui nilai ekonomi dari penyerapan karbon
kawasan. 2. TujuanTujuan penyelenggaraan Kegiatan Valuasi Ekonomi
Carbon di CA Faruhumpenai Kabupaten Luwu Timur adalah untuk
mengetahui potensi CA. Faruhumpenai dalam menyerap emisi karbon dan
nilai ekonomis dari penyerapan karbon. C. Dasar Pelaksanaan
Kegiatan1. Undang-Undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;2. Undang-Undang No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;3.
Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa;4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
P.02/Menhut-II/2007 Tanggal 2 Februari 2007 tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam;5.
Surat Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) BA.29 Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan tahun 2010
No. SK. 226/BBKSDASS-19/1/Keu/2010 tentang Petunjuk Operasional
Kegiatan (POK) Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BA.029
Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan tahun 2010.6. Surat Pengesahan
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BA 029 Balai Besar KSDA
Sulawesi Selatan Nomor : 0177/029-05.2/XXIII/2010 tanggal 31
Desember 2009.7. Surat Perintah Tugas Kepala Bidang KSDA Wilayah I
Nomor PT. 764 / BBKSDA.SS-19/BID I/2010 tanggal 14 September
2010.
II. KONDISI WILAYAHA. Luas, Letak, dan Dasar Hukuma) Nama
kawasan: Cagar Alam Faruhumpenaib) Luas kawasan: 90.000 hektarc)
Fungsi: Cagar Alam d) KeunikanMerupakan contoh perwakilan ekosistem
hutan hujan tropis pegunungan rendah, hutan pamah dan hutan rawa
yang memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi.
Beberapa jenis yang endemik di sub kawasan Sulawesi atau kawasan
Wallacea diantaranya Diospyros celebica, Pinanga celebica,
Stemonorus celebicus, Garcinia nervosa, Lithocarpus celebica,
Ceolopgyne rumphii, Macrogalidia musschenbroekii, Babyrousa
babirussa, Buballus quarlesi, Macaca tonkeana, Rhityceros cassidix,
Penelopides exarhatus, Spizaetus lanceolatus, dan lain sebagainya
dapat ditemui di kawasan Faruhumpenai. Hingga saat ini, kawasan
Faruhumpenai diketahui merupakan habitat alami dari 38 jenis satwa
liar dan 205 jenis tumbuhan alam, yang akan terus bertambah seiring
dengan kontinuitas pelaksanaan identifikasi dan inventarisasi.
Angka ini belum termasuk jenis ikan air tawar serta komunitas lahan
basah lainnya yang belum teridentifikasi. Bentang alam dengan
beberapa bukit karang (karst) juga terdapat di kawasan ini. Aliran
sungai pada lahan dengan topografi yang berombak membentuk beberapa
air terjun, diantaranya yang terkenal adalah air terjun Salunoa. e)
Status: darat dan perairanf) Letak administrasi: Wilayah Kabupaten
Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di 4 (empat)
kecamatan yaitu Kecamatan Mangkutana, Nuha, Malili dan
Angkona.Batas Utara: Kabupaten Poso Propinsi Sulawesi TengahBatas
Selatan: Areal PT. HGU Sindoka Desa Taripa, Desa Non Blok, Dusun
Mangtadulu, Atue, Dusun Cerekang, Dusun Loroeha, Dusun Koropansu
dan Dusun Bonepute Desa Matano.Batas Barat : Jalan Trans Sulawesi
wilayah administratif Desa Kasintuwu, Desa Non Blok dan Desa Taripa
Kecamatan MangkutanaBatas Timur : Desa Matano dan Desa Nuha
Kecamatan Nuhag) Letak astronomis : Bujur: 120 45 52 BT - 121 17 32
BT Lintang: 02 13 06 LS - 02 32 40 LSStatus hukum :Penunjukan SK.
Menteri Pertanian 274/Kpts/Um/4/1979 tanggal 24 April 1979.
B. Kondisi Fisika) Deskripsi topografiMerupakan wilayah yang
terdiri dari areal berawa sampai tanah kering serta lapangan yang
berbatu cadas. Bentuk lapangan bervariasi dari datar, berombak,
berbukit-bukit sampai dengan bergunung. Kelerengan lapangan
bervariasi antara 0 % sampai dengan di atas 80 %. Pada beberapa
bagian kawasan terdapat tebing-tebing berbatu yang sangat terjal.
b) Tinggi minimum: 80 m di atas permukaan lautc) Tinggi maksimum:
1.786 m di atas permukaan lautd) Deskripsi kondisi tanahBerdasarkan
data yang termuat dalam Peta Tanah Propinsi Sulawesi Selatan skala
1 : 500.000 yang diterbitkan oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan
Hutan Wilayah VII Makassar (bersumber dari Peta Geologi Indonesia),
jenis tanah di kawasan Cagar Alam Faruhumpenai bervariasi dari
jenis Alluvial, Latosol dan Podsolik. Komposisi jenis tanah di
dalam kawasan dan sekitarnya yaitu : Alluvial membujur dari Luwu
bagian Selatan sampai ke Utara; Latosol di Kecamatan Mangkutana
bagian Selatan; dan Podsolik yang terdapat di Kecamatan Nuha bagian
Barat.e) Deskripsi geologiBerdasarkan data yang termuat dalam Peta
Geologi Propinsi Sulawesi Selatan skala 1 : 500.000 yang
diterbitkan oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah
VII Makassar (bersumber dari Peta Geologi Indonesia), formasi
geologi kawasan Cagar Alam Faruhumpenai terdiri dari Batuan Sedimen
Alluvium Undak dan Terumbu Koral, Batuan Sedimen Meozoikum Tak
Dibedakan, Batuan Sedimen Neogen, Batuan Sedimen Sekis Bablur, dan
Batuan Pluton Basa.f) Tipe iklim Schmidt dan Ferguson : A g) Tipe
iklim lain: -h) Curah hujan rata-rata tahunan : 4.365 mmi)
HidrologiCagar Alam Faruhumpenai merupakan kawasan catchment area
beberapa sungai di kawasan Malili dan sekitarnya serta merupakan
bank plasma nutfah bagi jenis Diospyros celebica bersama dengan
kawasan Cagar Alam Kalaena dan Cagar Alam Ponda-ponda di Sulawesi
Selatan.Kawasan Cagar Alam Faruhumpenai pada umumnya merupakan
daerah aliran sungai yaitu Sungai Cerekang, Angkona dan Kalaena.
Dimana daerah aliran sungai Cerekang dapat dijumpai pada bagian
selatan pada kawasan di daerah Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur,
Angkona di Kecamatan Angkona dan daerah aliran sungai Kalaena di
Kecamatan Mangkutana. Limbahan daerah aliran sungai tersebut
bermuara di Teluk Bone wilayah Kabupaten Luwu Timur.
C. Tipe Ekosistem1. Hutan Rawa Air TawarVegetasi banyak
didominasi oleh jenis-jenis rumput (Poaceae), serta jenis-jenis
flora yang terapung dan hidup di dalam air (Hydrocharitaceae).
Jenis-jenis fauna didominasi oleh moluska dan jenis-jenis ikan air
tawar seperti Julung-julung (Dermogenys weberi) dan lain
sebagainya.2. Hutan Pamah PrimerTipe ekosistem ini pada Cagar Alam
Faruhumpenai didominasi oleh jenis-jenis pepohonan yang tinggi dan
jenis-jenis perdu. Jenis yang menonjol di kawasan ini yaitu
Diospyros celebica yang tumbuh sampai pada ketinggian 900 m dpl.
Tipe ekosistem ini juga merupakan habitat alami Babyrousa babirussa
yang populasinya sudah sangat kecil. Rendahnya densitas populasi
jenis ini diperkirakan sebagai akibat dari persaingannya dengan Sus
celebensis.3. Hutan Hujan Tropis Pegunungan BawahPada ekosistem
hutan hujan tropis pegunungan bawah di Cagar Alam Faruhumpenai
masih dapat ditemukan jenis-jenis pepohonan yang tinggi tetapi
sangat jarang. Jenis-jenis anggrek dari berbagai genus dengan mudah
dapat ditemukan di dalam kawasan. Pada bagian tengah hingga utara
kawasan merupakan kawasan karst. Karena kelembaban udara yang
tinggi, karst ini kebanyakan berlumut dan dalam proses pelapukan.
Vegetasi yang ada juga kebanyakan terbungkus oleh lumut, sehingga
nampak seperti vegetasi pada hutan lumut.
D. Pengelolaan1. Sejarah kawasanCagar Alam Faruhumpenai
merupakan suatu formasi hutan yang memiliki tipe ekosistem hutan
hujan tropis pegunungan yang kaya akan jenis tumbuhan alam seperti
Palaquium sp, Calophyllum sp, Vitex sp, Agathis sp dan khususnya
Diospyros celebica. Kawasan ini juga merupakan habitat satwa liar
yang dilindungi undang-undang seperti Anoa Babalus quarlesi, Kera
Hitam Sulawesi Macaca tonkeana, Babirusa Babyrousa babirussa serta
memiliki keindahan alam yang menarik. Cagar Alam Faruhumpenai
merupakan kawasan catchment area beberapa sungai di kawasan Malili
dan sekitarnya serta merupakan bank plasma nutfah bagi jenis
Diospyros celebica bersama dengan kawasan Cagar Alam Kalaena dan
Cagar Alam Ponda-ponda di Sulawesi Selatan. Kawasan Faruhumpenai
ditunjuk menjadi kawasan konservasi berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 274/Kpts/Um/4/1979 tanggal 24 April 1979
dengan luas 90.000 ha. Sebelumnya, kawasan ini merupakan hutan
lindung. Karena kelimpahan populasi Diospyros celebica, di kawasan
ini pernah diadakan pemanenan Ebony secara besar-besaran. Sisa-sisa
kegiatan eksploitasi ini yang belum sempat terangkut hingga
dihentikannya kegiatan masih terdapat di dalam kawasan.2. Nilai
konservasiDi wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Cagar Alam
Faruhumpenai merupakan kawasan suaka alam terluas. Cagar Alam
Faruhumpenai memiliki indeks nilai konservasi tertinggi. Indeks
nilai konservasi tersebut merupakan hasil perhitungan (scoring)
berdasarkan faktor-faktor kekayaan spesies, areal habitat, rarity,
derajat kepunahan jenis, derajat perlindungan dan derajat
kekhususan (Anonim, 1982 dalam Whitten et al, 2002). Kawasan
Faruhumpenai terdiri dari 3 tipe ekosistem alami (perairan dan
terrestrial). Kawasan ini merupakan habitat dari berbagai jenis
keanekaragaman hayati Sulawesi, baik dilindungi maupun tidak
dilindungi undang-undang. Kawasan Sulawesi khususnya atau kawasan
Wallacea umumnya memiliki keanekaragaman hayati yang miskin namun
dengan endemisitas yang tinggi. Beberapa species endemik yang
langka dan jarang, seperti Diospyros celebica, Pinanga celebica,
Stemonorus celebicus, Garcinia nervosa, Lithocarpus celebica,
Ceolopgyne rumphii, Macrogalidia musschenbroekii, Babyrousa
babirussa, Buballus quarlesi, Macaca tonkeana, Rhityceros cassidix,
Penelopides exarhatus, Spizaetus lanceolatus dan lain-lain terdapat
di kawasan Faruhumpenai. Bentang alam kawasan yang bervariasi juga
merupakan salah satu faktor/ nilai konservasi yang mendasari
penunjukan kawasan ini.III. TINJAUAN PUSTAKAA. Perubahan Iklim
GlobalPerubahan iklim global yang terjadi saat ini diakibatkan
meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Semakin tinggi kebutuhan
manusia untuk meningkatkan kualitas hidup maka akan semakin besar
aktifitas industri, transportasi, pembukaan hutan, usaha pertanian,
rumah tangga, dan aktifitas-aktifitas lain yang melepaskan gas
rumah kaca. Akibatnya konsentrasi GRK di atmosfer akan terus
meningkat. GRK meliputi gas-gas karbondioksida, golongan chloro
fluorocarbon, methan, ozon, dan nitrogen oksida. Gas-gas tersebut
berada di atmosfer berfungsi sebagaimana kaca, yaitu melewatkan
radiasi matahari ke permukaan bumi tetapi menahan radiasi dari bumi
agar tidak lepas ke angkasa. Dalam jumlah tertentu GRK dibutuhkan
untuk menjaga suhu ekstrim bumi agar tidak terlalu tinggi atau
terlalu rendah, tetapi jika jumlah radiasi bumi yang terperangkap
di dalam atmosfer bumi berlebihan, maka atmosfer dan permukaan bumi
akan semakin panas (suhu meningkat).(armi susandi)Dari sekian
banyak gas rumah kaca, CO2 adalah kontributor utama. CO2 dihasilkan
dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi dan
gas. Selain itu gas CO2 juga dihasilkan dari proses deforestasi
(penebangan hutan). Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer ini
akan mengakibatkan naiknya temperatur permukaan bumi yang dapat
menyebabkan melelehnya es di kutub utara dan kutub selatan,
sehingga tinggi muka air laut pun akan mengalami peningkatan. (Armi
Susandi, 2006)Perubahan iklim global ini akan terus terjadi dengan
peningkatan aktifitas kegiatan manusia yang menghasilkan emisi
karbon, dan selanjutnya akan terjadi kenaikan temperatur global.
Menurut manne et al., 1995, didapatkan bahwa konsentrasi karbon
global akan naik mencapai titik tertinggi sebesar 500 rpm pada
tahun 2060, dan selanjutnya akan turun dengan peningkatan konsumsi
teknologi rendah emisi dalam total energi mix dunia.B. Perdagangan
KarbonRintisan awal untuk mengembangkan mekanisme pembiayaan
penyerapan karbon dimulai pada Pertemuan Tingkat Tinggi Bumi I di
Rio de Janeiro (Brazil) tahun 1992. Pada waktu itu lebih dari 150
negara menandatangani perjanjian kerjasama untuk mengantisipasi
perubahan iklim di bawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
dengan menetapkan batas-batas pelepasan (emisi) gas-gas rumah kaca
ke udara. Anggota konvensi ini mengadakan pertemuan Pertama di
Berlin pada tahun 1995 yang disebut dengan pertemuan antar pihak I
atau Conference of the Parties (COP1).Sejak itu ada beberapa
pertemuan COP di beberapa Negara. Salah satu pertemuan penting
yaitu pertemuan ketiga (COP3) diselenggarakan di Kyoto, Jepang pada
bulan Desember 1997 yang menghasilkan apa yang disebut Kyoto
Protocol (Protokol Kyoto). Pertemuan ini menjadi landasan bagi
pengembangan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development
Mechanism atau CDM), yang mengharuskan negara-negara maju
mengurangi pencemaran udara sebesar kurang lebih 5 persen pada
tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 1990. Umumnya negara-negara
maju dan industri adalah sumber utama polusi dunia. Dengan
mekanisme pembangunan bersih negara-negara maju harus memenuhi
sebagian kewajiban mereka mengurangi gas rumah kaca dengan
membiayai proyek-proyek energi bebas polusi dan penggunaan lahan
untuk penyerapan karbon di negara sedang berkembang.Salah satu yang
mendapat perhatian khusus adalah karbon yang terdapat dalam
beberapa bentuk gas yang menyebabkan tanaman hutan atau penghutanan
dan reboisasi untuk menyerap karbon. Namun kini ada beberapa
kesepakatan baru untuk menjajaki adanya tambahan bentuk kegiatan
penyerapan karbon melalui kehutanan dan perpaduannya dengan
pertanian.(Warta Kebijakan, 2003)Konvensi PBB tentang Perubahan
Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (
UNFCCC) Conference of the Parties (COP) 15 di Kopenhagen, Denmark
pada 7-18 Desember 2009, walaupun gagal menandatangani dokumen
terakhir yang berdaya mengikat secara hukum, namun telah meletakkan
dasar yang kokoh bagi peningkatan kerja sama komunitas
internasional. Kopenhagen akan menjadi titik tolak baru penanggapan
perubahan iklim melalui upaya bersama berbagai pihak, konferensi
kopenhagen dengan tegas memelihara kerangka dan prinsip yang
tercantum dalam konvensi kerangka perubahan iklim PBB dan Protokol
Kyoto.(Irwanto, 2010)Sementara itu, mengayunkan langkah baru dalam
mendorong negara-negara maju secara wajib melaksanakan pengurangan
emisi gas rumah kaca dan negara-negara berkembang secara inisiatif
mengambil aksi pengurangan emisi. Konferensi mencapai kesepahaman
luas mengenai target jangka panjang global, dukungan dana dan
teknologi serta transparansi terkait. Persetujuan Kopenhagen yang
diterima baik para peserta konferensi telah meletakkan dasar bagi
berbagai negara di dunia untuk mencapai persetujuan global pertama
dalam arti sesungguhnya mengenai pembatasan dan pengurangan emisi
gas rumah kaca. Persetujuan Kopenhagen akan diserahkan berbagai
negara kepada lembaga legislatif negeri masing-masing untuk
disahkan pada Januari tahun 2010, agar persetujuan tersebut dapat
disahkan sebagai dokumen hukum dalam konferensi iklim yang akan
digelar di Kota Meksiko tahun 2010 mendatang.
(http://indonesian.cri.cn)Setelah sulit menerapkan clean
Development Mechanism (CDM) membuat Indonesia beralih ke jalur
Reduced Emission from Deforestation and Degradation (REDD). Kini,
lewat jalur REDD, diharapkan Indonesia memperoleh manfaat dari
upaya pemeliharaan terhadap hutan untuk mengurangi emisi karbon.
Pemeliharaan ini juga diperhitungkan dalam perdagangan karbon, dan
sesuai dengan Konvensi Perubahan Iklim di Bali; diharapkan REDD
bisa dilaksanakan tahun 2012.Dalam konteks perubahan iklim, hutan
dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun
source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan
source, sedangkan aforestasi, reforestasi, dan kegiatan penanaman
lainnya serta konservasi hutan meningkatkan sink. Meskipun saat ini
kehutanan masih sebagai net emitter, namun pemerintah bertekad
untuk menurunkan tingkat emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dari
Business as Usual (BAU). Untuk itu sektor kehutanan diwajibkan
memberikan kontribusi sebesar 14% atau 52% dari total penurunan
emisi yang 26%.Untuk menurunkan emisi, kegiatan mitigasi harus
dilakukan yaitu dengan mempertahankan kapasitas hutan dalam
mneyerap karbon serta meningkatkan penanaman. Selain itu upaya
penurunan emisi harus menerapkan MRV yaitu dapat diukur,
dilaporkan, dan diverifikasi. Kegiatan-kegiatan seperti REDD dan
inventarisasi GRK harus memenuhi kaidah MRV. Sistem
inventarisasi/monitoring emisi harus menghasilkan informasi yang
seakurat mungkin (reliable) dan sesuai dengan kaidah
internasional.C. Valuasi Ekonomi KarbonTeori valuasi ekonomi
bukanlah hal baru dalam menghitung sumberdaya alam. Konsep ini
telah dimulai sejak tahun 1902 ketika Amerika melahirkan
undang-undang River and Harbor Act Of 1902 yang mewajibkan para
ahli untuk melaporkan tentang keseluruhan manfaat dan biaya yang
ditimbulkan oleh proyek-proyek yang dilakukan di sungai dan
pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih dikembangkan setelah perang
dunia kedua dimana konsep manfaat dan biaya lebih dikembangkan
setelah perang dunia kedua dimana konsep manfaat dan biaya lebih
dikembangkan ke pengukuran nilai tidak langsung (intangible) atau
nilai yang tidak tampak (Cantlon dan Herman, 1999).Menurut
Suparmoko (2005) pendekatan valuasi ekonomi terhadap sumberdaya
alam dapat dilakukan dengan empat metode :1. Perubahan produksi,
dimana terdiri dari jenis produksi apa saja, seperti produksi
pertanian, perikanan, produksi air, dan juga perubahan tingkat
kesehatan dalam masyarakat yang menyebabkan menurunnya
produktifitas serta biaya peluang (opportunity cost) juga dapat
menyebabkan menurunnya produktifitas, misal sebelum kuliah
pendapatan 1 juta, setelah kuliah uang 1 juta tersebut hilang, ini
yang disebut opportunity cost.2. Nilai Properti (hedonic approach)
nilai lahan, beda pendapatan/upah. Terjadi perubahan pendapatan,
misalnya tadinya sebagai petani, sekarang menjadi buruh tambang.3.
Metode Survey (survey method) seperti Contingen Valuation Method
(CVM), dilakukan dengan mensurvey orang tentang seberapa besar
mereka mau membayar.
4. Pasar pengganti (surrogate market)Barbier et al. (1997),
mengatakan bahwa dalam melakukan penilaian terhadap ekosistem alam
memiliki tiga tipe pendekatan, yaitu :1. Analisis dampak (impact
analysis) penilaian ini dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem
dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari
aktifitas tertentu, misalnya pertambangan terhadap ekosistem hutan.
2. Partial analysis, pendekatan ini dilakukan dengan menetapkan dua
atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem hutan,
sedangkan3. Total Valuation dilakukan untuk menduga total
kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada
masyarakat.Valuasi ekonomi dalam konteks lingkungan hidup adalah
pengukuran preferensi masyarakat untuk lingkungan yang baik dengan
dibandingkan dengan yang buruk. Valuasi bersifat fundamental untuk
memikirkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development), namun hal terpenting adalah mengetahui apa dan
bagaimana valuasi ekonomi dilakukan. (djijono, 2002)
IV. METODOLOGIA. Waktu dan Lokasi Kegiatana. Waktu : Tanggal 15
s/d 26 September 2010.b. Lokasi: CA. Faruhumpenai, Kabupaten Luwu
Timur, Provinsi Sulawesi Selatan
B. Alat dan BahanAlat dan bahan yang digunakan dalam pelaksanaan
Kegiatan Valuasi Ekonomi Karbon di CA Faruhumpenai Kabupaten Luwu
Timur , antara lain : Peta dasar/ Peta rupa bumi Indonesia Skala 1
: 50.000 Peta CA Faruhumpenai skala 1 : 100.000 GPS, untuk
mengetahui letak dan posisi plot contoh Altimeter, untuk mengetahui
ketinggian tempat dari permukaan laut Peta administrasi, peta
kawasan hutan, dan peta penggunaan lahan. Meteran rol, tali rapiah,
dan patok kayu untuk pembuatan plot contoh Hagameter, untuk
mengukur tinggi pohon Suunto, untuk mengetahui besarnya kemiringan
(kelerengan) plot contoh Pita diameter, untuk mengukur diameter
pohon Kamera, untuk dokumentasi penelitian Ring sample, sendok
tanah, pisau cutter, papan kayu ukuran 20 x 20 cm, dan palu untuk
pengambilan contoh tanah Kuadran yang terbuat dari bambu atau kayu
dengan ukuran 100 x 100 cm untuk pengambilan contoh serasah dan
tumbuhan bawah Oven dan peralatan lainnya, untuk mengeringkan
contoh tanah dan tanaman sampai mencapai berat kering konstan
Gergaji, Parang dan gunting tanaman untuk pengambilan contoh kayu
dan tanaman Amplop dan kantong plastik, untuk wadah contoh tanaman
dan tanah Timbangan kasar dan analitik untuk mengetahui berat basah
dan kering contoh kayu, tumbuhan bawah dan serasah Tally sheet,
kertas millimeter, dan alat tulis-menulis untuk memudahkan mencatat
dan merekam data hasil pengukuran, penggambaran dan keterangan
lainnya dari lapangan Sasak, koran bekas, label gantung, spidol
permanen, untuk pembuatan herbarium terhadap jenis-jenis tanaman
yang belum teridentifikasi di lapangan
C. Metode KegiatanPengumpulan data dalam pelaksanaan Valuasi
Ekonomi Karbon secara garis besarnya dilakukan dengan dua cara,
yaitu dengan pengumpulan data sekunder dan pengumpulan data
primer.1) Pengumpulan data sekunder, yaitu data yang berkaitan
dengan jumlah penduduk, curah hujan, jenis tanah, berupa laporan
dan publikasi ilmiah dari berbagai instansi pemerintah, badan pusat
statistik, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian.2) Pengumpulan
data primer, yaitu data yang diambil langsung di lapangan dengan
menggunakan metode survey dan analisis di laboratorium meliputi
data, data tanah, berat jenis kayu masing jenis pohon, serasah,
biomassa tanaman, nekromassa, dan tumbuhan bawah.a. Pembuatan Jalur
Jalur dibuat dengan memotong kontur Lebar jalur 20 m dengan panjang
50 m Tiap-tiap plot diberikan jarak 50 m Tiap jalur mewakili jenis
hutan primer dan sekunder
1 m10 m
10 m
50 m50 m50 m
Gambar 1. Jalur Pengamatanb. Pengukuran Tinggi dan Diameter
Pohon Mencatat nama setiap pohon Diameter batang diukur setinggi
dada (dbh = diameter at breast height = 1,3 m dari permukaan tanah)
yang terdapat pada plot ukuran 20 m x 50 m. pengukuran dbh pada
pohon berdiameter >5 cm. Pohon dengan dbh