LAPORAN TUTORIAL MODUL I DEMAM DI SUSUN OLEH : KELOMPOK III 1. Akmal Mukmin Mustari 2. Alfiani Nur 3. Amalia Ferbrianti Utami 4. Maya Lia Zohra 5. Melisa Budi Selawati 6. Pangeran Baso 7. Andi Ririn Yani Sidik 8. Nurul Waasi u Pallawarukka FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN TUTORIAL
MODUL I DEMAM
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK III
1. Akmal Mukmin Mustari 2. Alfiani Nur 3. Amalia Ferbrianti Utami 4. Maya Lia Zohra 5. Melisa Budi Selawati 6. Pangeran Baso 7. Andi Ririn Yani Sidik 8. Nurul Waasi u Pallawarukka
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
Scenario
Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan demam selama seminggu,
selera makan kurang dan disertai sakit kepala. Sepuluh hari yang lalu penderita baru datang dari papua.
Kata Kunci
1. Laki-laki 22 tahun
2. Demam seminggu
3. Selera makan kurang
4. Sakit kepala
5. Baru datang dari papua 10 hari lalu
DEMAM
Beberapa tipe demam yang sering kita jumpai, antara lain:
a. Demam septik : pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan mengigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.
b. Demam remiten : pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
c. Demam intermiten : pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tertiana dan bila terjadi dua hari bebas demam di anatra dua serangan demam disebut kuartana.
d. Demam kontinyu : pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
e. Demam siklik : pada tipe demam siklik terajdi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.1
A. DEMAM TIFOID
1. Pendahuluan
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah.
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.1
2. Epidemiologi
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990
sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000
penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606
kasus.
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah
urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan
erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di
Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil survey kesehatan rumah tangga Departemen
Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit
dengan mortalitas tinggi.1
3. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai
flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik
(O) yang terdiri dari oligosakarida, flager antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida
kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
mulitipel antibiotik.2
4. Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi (S.paratyphi)
ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang
baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,
gangguan mental dan koagulasi
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan
(S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh sekitar plaque Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini
dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan dan gangguan
organ lainnya.1
5. Gambaran Klinis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi
yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini
sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu
dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, disertai asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.1
Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang
bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk
kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi
setiap harinya, rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya. Gejala
yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis,
seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah
kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa
atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru,
kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering dijumpai
pada orang dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi
dapat dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau
makulopapular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit
putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta
menetap selama 2-3 hari.
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah
sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif
hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan
pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila
tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4
minggu.3
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk,
dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relative (bradikardia relative adalah peningkatan suhu 1 C tidak diikuti peningkatan⁰
denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepid an ujung
merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.1
6. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat tejadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan
dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid darah meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPTtidak memerlukan penanganan khusus.
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organism. Sampai
sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam penegakkan diagnostic. Selain uji
widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan
cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara lain uji
TUBEX, Typhidot dan dipstick.1
Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi. Pada uji
Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody
yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam
tifoid yaitu :
a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagella kuman) dan c).
Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase aktif mula-mula timbul agglutinin O,
kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O
masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama
antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji Widal yaitu : 1). Pengobatan dini
dengan antibiotic, 2). Gangguan pembentukan antibody, dan pemberian
kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemic atau non-endemik,
5). Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada
infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7).
Factor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna
diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan
saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai
laboratorium setempat.
Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa
menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-S.typhi O9 pada
serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi
pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida. S.typhi yang terkonjugasi
pada partikel magnetic latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi
oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negative.
Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhoid didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan igG
terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S.typhi pada
specimen serum atau whole blood. Uji inimenggunakan strip yang mengandung
antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai control), reagen
deteksi yang mengandung antibody anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna,
cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung
uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-
25 C di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan⁰
inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada
suhu kamar. Stelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.
Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkannya dengan reference strip. Garis control harus terwarna dengan
baik.
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa
hal sebagai berikut ; 1). Telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum
dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media
biakan terhambat dan hasil mungkin negative, 2). Volume darah yang kurang
(diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil
biakan bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung
dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman; 3).
Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibody dalam darah
pasien. Antibody (agglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negative, 4). Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat.1
7. Penatalaksanaan
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah
eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier. Pemilihan
antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.
Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik
(kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2
kategori resistensi antibiotic yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok
chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan
resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi
(NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap
fluoroquinolone. Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa
komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin)
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten
terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu
penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh
S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam
kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah
satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah
levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk
levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa
komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin
diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan
dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan
ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara
bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.
Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI mengenai efikasi
dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin
diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama 7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai
pada studi ini adalah 100% dengan efek samping yang minimal. Dari studi ini juga
terdapat table perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di antara berbagai jenis
fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di mana penurunan demam pada levofloxacin
paling cepat, yaitu 2,4 hari.
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa
pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol
untuk mencegah kekambuhan.
Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi. Chloramphenicol sudah sejak lama
digunakan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun kekurangan dari
chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier
juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.
Azithromycin dan cefi xime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan
waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka
kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%.
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran
menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai
pasien demam tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid
berat menurut WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel 2. Walaupun di tabel ini tertera
cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak
terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain pemberian
antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang diberikan antara lain
cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik.
Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan
mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.3
8. Penyulit (Komplikasi)
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 – 3%, sedangkan perdarahan usus pada
1- 10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau
pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu,
tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri
abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang menyelubung.
Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya
keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus halus
mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.
Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi
gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis
mengaitkan manifestasi klinis meuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain
adalah trombosis serebral akut, tuli, mielitis transversal, neuritis perifer maupun kranial,
meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-Barre. Dari berbagai penyulit neurologik yang
terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele).
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada
EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa
asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar
transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa diserati kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang
terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu
empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat
sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam
tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan
oleh kuman Salmonella typhi, namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain.
Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trompositopenia, koagulasi intravaskular diseminata,
hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi dibeberapa lokasi sebagai akibat bakteremia
misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, oto, kelenjar ludah dan persendian.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih
jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah penghentian
antibiotik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalesens, saat pasien
tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan antibiotik. Pada
umumnnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan lebih singkat.2
9. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketetapan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju dengan terapi antibiotik yang adekuat,
angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya 10%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komlikasi, seperti perforasi
gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.Typhi >3 bulan setelah
infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan
meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
Insidens penyakit traktus biliarislebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi
umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada
individu dengan skistosomiasis.2
10. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus
memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di
dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57o C beberapa menit dan secara merata juga dapat
mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung baik
buruknya pengadaan saran air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran
individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian
demam tifoid.2
11. Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi
kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi
kuman Salmonella typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah
puluhan tahaun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya
memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan
yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a)
diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan
6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan
didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin
yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intarmuskular
memberikan perlindungan 60 – 70% selama 3 tahun.2
B. DEMAM BERDARAH DENGUE
1. Pendahuluan
Adalah penyakit demam akut yang dapat menyebabkan kematian dan disebabkan oleh
empat serotype virus dari genus Flavivirus, virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Infeksi
oleh satu serotype virus dengue menyebabkan terjadinya kekebalan yang lama terhadap
serotype virus tersebut, dan kekebalan sementara dalam waktu pendek terhadap serotype
virus dengue lainnya.
Dengue ditularkan oleh genus Aedes, nyamuk yang tersebar luas di daerah tropis dan
subtropics diseluruh dunia. Demam dengue juga disebut breakbone fever dan merupakan
penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk yang terpenting pada manusia.4
2. Epidemiologi
Sekitar 2,5 miliar manusia yang merupakan duaperlima dari penduduk dunia
mempunyai resiko tinggi tertular demam dengue. Setiap tahunnya sekitar 50-100 juta
penderita dengue dan 500.000 penderita DBD dilaporkan oleh WHO di seluruh dunia,
dengan jumlah kematian sekitar 22.000 jiwa, terutama anak-anak. Sekitar 2,5-3 miliyar
manusia yang hidup di 112 negara tropis dan subtropics berada dalam keadaan terancam
infeksi dengue. Hanya benua Eropa dan Antartika yang secara alami bebas dari infeksi
dengue.
Daerah sebaran demam dengue meliputi :
Argentina, Australia
Bangladesh, Barbados, Bolivia, Belize, Brazil
Cambodia,l Cina, Casta Rica
Dominika
El Salvador
Guatemala, Guyana
Honduras
India, Indonesia
Jamaika
Laos
Malaysia, Mexico, Micronesia
Panama, Paraguay, Philipina, Puerto Rico
Samoa, Singapura, Suriname
Taiwan, Thailand
Venezuela, Vietnam.4
3. Virus Penyebab Dengue
Demam dengue disebabkan oleh virus dengue (DEN), yang termasuk genus
flavivirus. Virus yang ditularkan oleh nyamuk ini tergolong ss RNA positive-strand virus
dari keluarga Flaviviridae.
Terdapat 4 serotipe virus DEN yang sifat antigeniknya berbeda, yaitu virus dengue-1