LAPORAN TAHUNAN/AKHIR IDENTIFIKASI KOMPONEN PENYUSUN PENGELOLAAN PERIKANAN DI RAWA BANJIRAN GIAM SIAK KECIL, PROVINSI RIAU PUSAT PENELITIAN PENGELOLAAN PERIKANAN ` DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2013 Oleh : Husnah, Yoga Candra Ditya, Melfa Marini, Sonny Koeshendrajana, Joko Samiaji, Dessy, dan Raider Sigit Juniarto
81
Embed
LAPORAN TAHUNAN/AKHIR - bp3upalembang.kkp.go.idbp3upalembang.kkp.go.id/assets/content_upload/files/Laptek Riau... · LAPORAN TAHUNAN/AKHIR ... curah hujan (C ) di stasiun klimatologi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN TAHUNAN/AKHIR
IDENTIFIKASI KOMPONEN PENYUSUN PENGELOLAAN PERIKANAN DI RAWABANJIRAN GIAM SIAK KECIL, PROVINSI RIAU
PUSAT PENELITIAN PENGELOLAAN PERIKANAN` DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKELAUTAN DAN PERIKANANKEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANANTAHUN 2013
Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari sistimperairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti dari cagar biosfir GSK-BB.Sasaran utama penetapan cagar biosfir adalah sebagai kawasan konservasi dan sebagaimodel pengelolaan lahan yang berkelanjutan. namun dari sebelum ditetapkan sebagai cagarbiosfir hingga saat ini, perairan tersebut telah dimanfaakan masyarakat untuk berbagaikegiatan termasuk perikanan. Hasil studi pada tahun 2010 mengindikasikan perubahanantrophogenik yang berasal dari wilayah sekitar cagar biosfir. Hal ini menunjukkan bahwapengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya perikanan di cagar biosfir ini belumoptimal. Mengingat kegiatan pemanfaatan dari berbagai sektor perlu disusun modelpengelolaan yang terpadu dengan pendekatan berbasis masyarakat dan ekosistem yangmelibatkan berbagai lembaga dan pengguna (stakeholder) yang terkait dengankeberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya alam di GSK. Penelitian bersifatmulti tahun untuk mendukung pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran GSK. Padatahun 2013 kegiatan yang dilakukan berupa desk study dan Focus group discussion denganpemanfaat dan pangelola sumberdaya ikan di rawa banjiran GSK. Penurunan kualitassumberdaya perairan GSK disebabkan oleh dan faktor anthropogenik. Oleh karena itu arahkebijakan dan strategi pengelolaan dimasa mendatang agar lebih ditekankan pada upayameminimalisasi tekanan lingkungan dan menyusun dan menerapkan peraturan mengenaipemanfaatan pengawasan dan sangksi berkaitan dengan sumberdaya GSK. Pengelolaanyang perlu dilakukan kedepan diantaranya adalah rehabilitasi hutan, zonasi wilayahkonservasi dan pemanfaatan, domestikasi ikan asli, penerapan pengawasan dan sanksihukum pelanggaran pemanfaatan SDA, restocking ikan asli, transfer teknologi pembenihandan budidaya, inisiasi pembentukan lembaga masyarakat pengelola GSK. Bagi peruntukanpengembangan pemanfaatan perikanan arah dan strategi kebijakan yang disarankan adalah:penetapan zonasi pemanfaatan, domestikasi ikan asli, transfer teknologi pembenihan ikanasli dan restocking ikan asli seperti tapah, baung dan selais. Model Pengelolaansumberdaya perairan rawa banjiran GSK secara keseluruhan harus bersifat terpadu,komprehensif dan partisipatif sesuai dengan dinamika perkembangan yang terjadi.
.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat nya sehingga riset berjudul “Identifikasi komponen penyusun pengelolaan
perikanan di rawa banjiran Giam siak Kecil, Provinsi Riau” dapat terlaksana dengan baik
sesuai dengan rencana. Tujuan ini adalah untuk mendapatkan data dan
informasikomponen penyusun pengelolaan sebagai berikut: (1) Potensi dan peamanfaatan
sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran GSK (2) Potensi dan pemanfaatan
sumberdaya alam di rawa banjiran GSK, (3) Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di
rawa banjiran GSK, (4) Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK dan (5)
Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK.Diharapkan
dengan adanya informasi ini dapat memberikan kontribusi terhadap penyusunan konsep
pengelolaan sumberdaya perikana di rawa banjiran Giam Siak Kecil, provinsi Riau.
Ucapan terima kasih kami tujukan terutama kepada pihak-pihak yang telah
membantu terlaksananya penelitian ini:
1. Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Riau
2. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkalis dan Siak Indrapura
3. BAPPEDA ProvinsiRiau
4. BAPPEDA Kabupaten Bengkalis dan Siak Indrapura
5. BLHD Kabupaten Bengkalis dan Siak Indrapura
6. Dekan Fakultas Perikanan, Universitas Riau
7. Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Islam Riau
8. PT. Sinarmas Forestry
9. Peneliti non klas dan teknisi di Laboratorium Koleksi Ikan, Hidrobiologi dan Kimia
BPPPU
10. Kepala Desa, nelayan dan masyarakat lainnya di Tasik Serai, Katialau, Betung dan Air
Hitam
Demikianlah semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi dunia perikanan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Atas perhatiannya kami ucapkan terima
kasih.
Palembang, Desember 2013
Penulis
vi
DAFTAR ISI
No HalHALAMAN SAMPUL iHALAMAN PENGESAHAN iiiABSTRAK ivKATA PENGANTAR vDAFTAR ISI viDAFTAR TABEL viiDAFTAR GAMBAR x
I. PENDAHULUAN 11.1. Latar Belakang 11.2. Tujuan Dan Sasaran 21.3. Tujuan dan Sasaran Kegiatan 31.4. Keluaran yang Diharapkan 31.5. Hasil Yang Diharapkan 41.4. Manfaat dan Dampak 4
II TELAHAAN HASIL-HASIL PENELITIAN TERKAITSEBELUMNYA
5
2.1. Definisi dan Klasifikasi Lahan Rawa 52.2. Karakteristik Khas Ekosistem Rawa Banjiaran 82.3. Profil Kewilayahan Mandau 102.4. Asumsi Dampak Degradasi Lingkungan Terhadap
Komponen Ikan11
III. METODOLOGI PENELITIAN 133.1. Kerangka Pemikiran dan Alur Pendekatan Pemecahan
Masalah Penelitian13
3.2. Waktu dan Lokasi 133.3. Pendekatan Dalam Penelitian 133.4. Kebutuhan Data 143.5. Faktor Resiko dan Keberhasilan 143.6. Komponen Kegiatan 143.7. Alat dan Bahan Penelitian 153.8. Metode Penelitian 15
vii
No Hal
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 174.1. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan dan Ikan di
Di Rawa Banjiran Giam Siak Kecil4.2. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Non Perikanan 474.3. Sosial ekonomi dan Budaya Masyarakat di Sungai dan Rawa
Banjiran Giam Siak Kecil48
4.4. Existing Pengelolaan Sumberdaya Alam di GSK 594.5. Kelembagaan 60
V. KESIMPULAN DAN SARAN 66
VI. DAFTAR PUSTAKA 67
viii
DAFTAR TABEL
No Hal
2.1 Parameter kunci lingkungan terdegradasi 11
4.1.4.1 Jenis-jenis ikan di sekitar Giam Siak Kecil Provinsi Mandau 32
4.1.4.2 Keragaman jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem dan dinamikafluktuasi air dirawa banjiran Giam Siak Kecil pada tahun 2010. Datapenelitian( Husnah et al, 2010) diolah
35
4.1.4.3 Keragaman jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem, dinamika fluktuasiair dan alat tangkap dirawa banjiran Giam Siak Kecil pada tahun 2010.Data penelitian( Husnah et al, 2010) diolah
37
4.1.4.4 Jenis ikan tertangkap nelayan di rawa banjiran GSK tahun 2013 (DataFGD 2013 diolah)
39
4.1.4.5 Jenis ikan yang mengalami penurunan jumlah di rawa banjiran GSKtahun 2013 (Data FGD 2013 diolah)
40
4.1.4.6 Jenis ikan yang punah di rawa banjiran GSK tahun 2013 (Diolah daridata FGD 2013)
41
4.1.5.1 Hasil tangkapan nelayan pada berbagai tinggi air, tipologi habitat danjenis alat tangkap (Data penelitian Husnah et al (2010) diolah
44
4.1.5.2 Jenis dan sebaran ikan di Danau Laut Tawar dan disepanjang badansungai Krueng Peusangan pada tahun 2012 (warna hitam, biru danmerah adalah waktu ditemukan masing-masing pada bulan Maret, Junidan Septmber )
48
4.3.2.1 Deskripsi Profil Sosial Ekonomi Nelayan Perairan Sungai dan RawaBanjiran GSK Menurut Lokasi Terpilih, 2013.
51
4.3.3.1 Mata Pencaharian Masyarakat Menurut Jenis Usaha, PengalamanUsaha dan Alokasi Curahan Kerja di Lokasi Terpilih, 2013.
53
4.3.3.2 Pola Mata Pencaharian Masyarakat Nelayan Sehari-hari Di GSK,2013.
54
4.3.3.3 Dinamika Pola Penggunaan Alat Tangkap dan Ikan TertangkapMenurut Bulan di Lokasi Studi, 2013.
54
ix
No Hal
4.3.4.1 Jumlah anggota bekerja responden di rawa banjiran Giam Siak Kecil
(GSK)
55
4.3.4.2 Struktur Pendapatan Keluaraga Menurut Kategori Jenis Pendapatandan Besaran Pendapatan Yang Diterima di Giam Siak Kecil, 2013.
56
4.3.4.3 Struktur Pengeluaran Keluarga Menurut Kategori jenis Pengeluarandan Besarannya di rawa banjiran Giam Siak Kecil (GSK), 2013.
57
4.3.5.1 Rata-rata luas lahan usaha responden 57
4.3.6.1 Peran Perempuan Dalam Keluarga dan Keterkaitannya denganPengelolaan Sumber daya Perikanan Perairan Sungai dan Rawa GSK,2013.
58
4.4.1. Persepsi masyarakat di rawa banjiran Giam Siak Kecil mengenaisumberdaya alam 60
4.4.2 Persepsi masyarakat di rawa banjiran Giam Siak Kecil mengenaisumberdaya alam
60
4.4.3 Persepsi responden (pemanfaat) terhadap komponen dan prosespengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran Giam Siak Kecil
61
4.5.1 Identifikasi Kelembagaan Masyarakat Nelayan di Tasik Karialau, AirHitam, Betung dan Serai (2013).
62
4.5.2 Persepsi pemanfaat dan pengelola tentang isu penting pengelolaanSDA di Giam Siak Kecil
64
4.5.3 Persepsi pemanfaat dan pengelola tentang peluang peluang untukperbaikan sistem pengelolaan SDA di Giam Siak Kecil
65
4.5.4 . Kriteria keberhasilan dan kegagalan pengelolaan 65
x
DAFTAR GAMBAR
No Hal
2.2.1 Contoh ekosistem “Swamp” di daerah aliran sungai (DAS) RawasProvinsi Sumatra Selatan.
5
2.2.2 Contoh ekosistem “Marsh” di daerah aliran sungai (DAS)Lempuing, Provinsi Sumatra Selatan
4.1.1.3 Kondisi Tasik Betung saat muka air rendah (tahun 2008) dan tinggi(Agustus, 2010) (Husnah & Prianto, 2011).
18
4.1.3.1 Tinggi muka air di Tasik Cagar Biosfir GSK (A) penguapan (B) dancurah hujan (C) di stasiun klimatologi Pekanbaru tahun 2010(Husnah & Prianto, 2011)
20
4.1.3.2 Tinggi muka air (water level) pada stasiun pengamatan di TasikGiam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei,Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011).
21
4.1.3.3 Suhu udara dan air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam SiakKecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus danNovember 2010 (Husnah & Prianto, 2011).
22
4.1.3.4 Nilai pH sedimen pada stasiun pengamatan di Tasik Giam SiakKecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, dan Agustus2010 (Husnah & Prianto, 2011).
23
xi
No Hal
4.1.3.5 Nilai pH air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil danSungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November2010 (Husnah & Prianto, 2011).
23
4.1.3.6 Nilai keasaman mineral (a) dan keasaman total (b) pada stasiunpengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil padabulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010 (Husnah &Prianto, 2011).
24
4.1.3.7 Bahan organik (A) total organik karbon (TOC) dan organik karbonterlarut (DOC) pada bulan Agustus (B) pada Komplek Tasik GiamSiak Kecil dan Sungai Siak Kecil di Riau pada tahun 2010.
25
4.1.3.8 Kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen) pada tasik GiamSiak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari hinggaNovember 2010.
26
4.1.3.9 Kandungan konsumsi oksigen biota (BOD 5 day) dan konsumsioksigen proses kimia (COD) pada tasik Giam Siak Kecil danSungai Siak Kecil, Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010(Husnah & Prianto, 2011).
27
4.1.3.10 Kandungan jumlah padatan terlarut (TDS) dan daya hantar listrik(conductivity) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil ,Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010 (Husnah &Prianto, 2011).
28
4.1.3.11 Kandungan fenol pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil, Riau pada bulan Agustus 2010.
29
4.1.3.12 Kandungan bahan organik pada sedimen di tasik Giam Siak Kecildan Sungai Siak Kecil (Husnah & Prianto, 2011).
29
4.1.3.13 Kandungan logam berat Timah Hitam (Pb) pada sedimen di tasikGiam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruaridan Mei.
30
4.1.3.14 Laju produksi karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P) daritumbuhan sepadan di di komplek danau rawa banjiran Giam SiakKecil Provinsi Riau , 2010
31
4.1.5.1 Hasil tangkapan ikan pada alat lukah (pot trap) di Tasik Air Hitampada tahun 2010 (Husnah et al., 2010)
42
xii
No Hal
4.1.5.2 Hasil tangkapan ikan pada alat jaring (gill net) di Tasik Air Hitampada tahun 2010 (Husnah et al., 2010).
43
4.1.5.3 tangkapan ikan pada berbagai alat tangkap di kempat tasik padabulan Pebruari, Mei, Agustus dan November 2010 (Marini et al.,2011)
45
4.3.1.1 Lokasi Penangkapan Ikan Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik Betung,Tasik Katialau dan Tasik Serai Pada Saat Air Pasang Maksimum diPerairan SungaiDan Rawa Banjiran GSK.
49
4.3.1.2 Betung, Tasik Katialau dan Tasik Serai Pada Saat Air SuruTerendah di Perairan Sungai Dan Rawa Banjiran GSK.
50
4.3.2.1 Distribusi Komposisi Kelompok Usia Nelayan Tasik Air Hitam,Tasik Katialau, Tasik Serai dan Tasik Betung Tahun 2013.
51
4.3.3.1 Keterkaitan sumber daya, pemanfaat dan pengelola sebagaiilustrasisistem sosial ekologi.
52
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil merupakan satu dari dua suaka
margasatwa dalam kawasan inti (core) Cagar Biosfir Giam Siak Kecil (GSK)-
Bukit Batu di Provinsi Riau yang ditetapkan oleh United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai cagar biosfir ke tujuh di
Indonesia pada bulan Mei 2009 di Jeju, Korea Selatan (Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia, 2009). Dibandingkan dengan enam cagar biosfir lainnya di
Indonesia, Cagar Biosfir GSK-Bukit Batu memiliki karakteristik yang spesifik
diantaranya adalah kawasan intinya (core zone) merupakan kawasan konservasi
dan hutan produksi yang tidak dikonversi (Biosphere Reserve Directory, 2010;
LPPM IPB, 2009), sedangkan cagar biosfir lainnya kawasan intinya adalah taman
nasional.
Sasaran utama ditetapkannya Cagar Biosfer GSK-BB tersebut diantaranya
adalah adalah: (1) memanfaatkan Cagar Biosfer untuk konservasi sumberdaya
alam dan (2)memanfaatkan Cagar Biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan
pendekatan pembangunan berkelanjutan di bentang lansekap (sustainable
development of the landscape) hutan rawa gambut, tasik dan sistem perairannya,
dan lahan gambut yang telah dikonversi menjadi hutan tanaman industri (HTI),
perkebunan, pertanian, dan pemukiman (LIPI, 2009; Biosphere Reserve
Directory, 2010). Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan
bagian dari sistim perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti,
namun dari sebelum ditetapkan sebagai cagar biosfir hingga saat ini, perairan
tersebut telah dimanfaakan masyarakat untuk berbagai kegiatan termasuk
perikanan.
Sampai saat ini informasi mengenai potensi dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan di rawa banjiran ini masih terbatas. Studi yang dilakukan Husnah et al
(2010) menunjukkan intensitas penangkapan ikan yang tinggi diindikasikan
dengan padatnya berbagai alat tangkap yang dioperasikan di danau rawa banjiran
(tasik) maupun di Sungai Siak baik pada musim kemarau maupun hujan. Jenis
ikan yang ditemukan mencapai 37 spesies dan didominasi oleh kelompok ikan
rawa (blackfish) ekonomis dari famili Siluridae seperti ikan lais-laisan
2
(Kryptopterus spp) dan Ikan Tapah (Wallago leeri), dan dari famili Bagridae
yaitu Ikan Baung (Hemibagrus nemurus).
Suatu wilayah yang akan dijadikan kawasan suaka hendaknya memenuhi
beberapa persyaratan diantaranya tersedianya kualitas lingkungan yang baik untuk
kehidupan, pertumbuhan dan perkembangbiakan biota yang dilindungi
(Koeshendrajana&Hoggarth, 1998; Hoggarth, 2000; Crivelli, 2002). Namun hasil
studi Husnah dan Marini (2011) mengindikasikan tingginya kandungan logam
berat timah hitam (Pb) dan cadmium pada sedimen dan organ ikan yang berasal
dari rawa banjiran Giam Siak Kecil. Selain itu prevalensi ketidaknormalan
kesehatan ikan mencapai 20%. Kondisi ini mengindikasikan adanya pengaruh
antrophogenik yang berasal dari sekitar wilayah cagar biosfir.
Untuk memfungsikan suaka margasatwa GSK secara optimal dengan tetap
memperhatikan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat
disekitarnya perlu dilakukan penyusunan dan implementasi model pengelolaan
sumberdaya di rawa banjiran GSK. Upaya ini telah diinsiasi oleh Balai Penelitian
Perikanan Perairan Umum (BP3U) melalui penandatangan naskah keinginan
bekerja sama antara BP3U dengan lembaga dan stakeholder di provinsi Riau
diantaranya adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Balai Konservasi Sumberdaya
Alam, Balai Pengelolaan DAS, Fakultas Perikanan Universitas Riau dan PT
Sinarmas Forestry pada bulan Oktober 2011.
Kegiatan desk study ” Identifikasi komponen penyusun pengelolaan
perikanan di rawa banjiran Giam Siak Kecil, Prov Riau” merupakan satu dari
rangkaian penelitian yang bersifat multi tahun untuk mendukung pengelolaan
perikanan terpadu di rawa banjiran GSK.
1.2. Justifikasi
Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari
sistim perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti dari cagar
biosfir GSK-BB. Sasaran utama penetapan cagar biosfir adalah sebagai kawasan
konservasi dan sebagai model pengelolaan lahan yang berkelanjutan. namun dari
sebelum ditetapkan sebagai cagar biosfir hingga saat ini, perairan tersebut telah
3
dimanfaakan masyarakat untuk berbagai kegiatan termasuk perikanan. Hasil studi
pada tahun 2010 mengindikasikan perubahan antrophogenik yang berasal dari
wilayah sekitar cagar biosfir. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan
sumberdaya alam khususnya sumberdaya perikanan di cagar biosfir ini belum
optimal. Mengingat kegiatan pemanfaatan dari berbagai sektor perlu disusun
model pengelolaan yang terpadu dengan pendekatan berbasis masyarakat dan
ekosistem yang melibatkan berbagai lembaga dan pengguna (stakeholder) yang
terkait dengan keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya alam di
GSk.
1.3. Tujuan Dan Sasaran Kegiatan
Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi komponen-komponen penyusun
model pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran Giam Siak Kecil:
a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran
GSK
b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK
d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK
e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah tersedianya data dasar komponen
penyusun model pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran GSK
diantaranya:
a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran
GSK
b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK
d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK
e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
4
1.4 Keluaran Yang Diharapkan
Keluaran dari penelitian ini adalah komponen penyusun model
pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran GSK diantaranya:
a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran
GSK
b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK
d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK
e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
1.5 Hasil Yang Diharapkan
Data dan informasi komponen komponen penyususn pengelolaan
perikanan terpadu di rawa banjiran GSK
1.6 Manfaat Dan Dampak
Manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi
komponen penyusun pengelolaan terpadu sumberdaya ikan di rawa banjiran
Giam Siak Kecil. Dampak yang diharapkan dari kegiatan penelitian adalah
keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya ikan di rawa banjiran
Giam Siak Kecil.
5
II. TELAAH HASIL–HASIL PENELITIAN TERKAIT SEBELUMNYA
2.1. Definisi Dan Klasifikasi Lahan Rawa
Lahan rawa berdasarkan Artikel 1.1 Konvensi Ramsar yang dilaksanakan di
Iran pada tahun 1971, didefinisikan sebagai lahan basah, atau “wetland”, yang
mencakup wilayah “marsh”, “fen”, lahan gambut (peatland), atau air, baik terbentuk
secara alami atau buatan, dengan air yang tidak bergerak (static) atau mengalir, baik
air tawar, payau, maupun air asin, termasuk juga wilayah laut yang kedalaman airnya,
pada keadaan surut terendah tidak melebihi enam meter (Anonimous, 2011). Menurut
Subagyo (2006) lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu
yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang
(waterlogged) air dangkal. Lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah, seperti
“swamp”, “marsh”, “bog” dan “fen”, masing-masing mempunyai arti yang berbeda
(Anonimous, 2011)..
“Swamp” adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan
wilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air
tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam setahun.
Air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir (stagnant), dan bagian dasar tanah
berupa lumpur. Dalam kondisi alami, swamp ditumbuhi oleh berbagai vegetasi dari
jenis semak-semak sampai pohon-pohonan, dan di daerah tropika biasanya berupa
hutan rawa atau hutan gambut (Gambar 2.2.1).
Gambar 2.2.1 Contoh ekosistem “Swamp” di daerah aliran sungai (DAS) Rawas Provinsi SumatraSelatan.
6
“Marsh” adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen, namun
mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut secara periodik,
dimana debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai seringkali diendapkan.
Tanahnya selalu jenuh air, dengan genangan relatif dangkal. Marsh biasanya
ditumbuhi berbagai tumbuhan akuatik, atau hidrofitik, berupa “reeds” (tumbuhan air
sejenis gelagah, buluh atau rumputan tinggi, seperti Phragmites sp.), “sedges”
(sejenis rumput rawa berbatang padat, tidak berbuluh, seperti famili Cyperaceae), dan
“rushes” (sejenis rumput rawa, seperti purun, atau “mendong”, dari famili Juncaceae,
yang batangnya dapat dianyam menjadi tikar, topi, atau keranjang). Marsh dibedakan
menjadi "rawa pantai" (coastal marsh, atau saltwater marsh), dan "rawa pedalaman"
(inland marsh, atau fresh water marsh) (SSSA, 1984; Monkhouse & Small,
1978)(Gambar 2.2.2).
Gambar 2.2.2 Contoh ekosistem “Marsh” di daerah aliran sungai (DAS) Lempuing,Provinsi Sumatra Selatan.
“Bog” adalah rawa yang tergenang air dangkal, dimana permukaan tanahnya
tertutup lapisan vegetasi yang melapuk, khususnya lumut Spaghnum sebagai vegetasi
dominan, yang menghasilkan lapisan gambut (bereaksi) masam. Ada dua macam bog,
yaitu "blanket bog” (Gambar 2.2.3a), dan "raised bog” (Gambar 2.2.3b). Blanket bog
adalah rawa yang terbentuk karena kondisi curah hujan tinggi, membentuk deposit
gambut tersusun dari lumut Spaghnum, menutupi tanah seperti selimut pada
7
permukaan lahan yang relatif rata. Raised bog adalah akumulasi gambut masam yang
tebal disebut “hochmoor" (Gambar 2.2.4),yang dapat mencapai ketebalan 5 meter, dan
membentuk lapisan (gambut) berbentuk lensa pada suatu cekungan dangkal.
Gambar 2.2.3 Contoh ekosistem “blanket bog” (a) dan “raised bog’ (b).
Gambar 2.2.4 Contoh ekosistem disebut “hochmoor".
“Fed” adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa sejenis “reeds”,
“sedges” dan “rushes”, tetapi air tanahnya bereaksi alkalis, biasanya mengandung kapur (CaCO3)
atau netral. Umumnya membentuk lapisan gambut subur yang ber-reaksi netral, yang disebut
“laagveen” atau “lowmoor”.
a b
8
2.2. Karakteristik Khas Ekosistem Rawa Banjiran
Karakteristik khas ekosistem rawa adalah secara periodik mengalami musim
air dalam dan musim air dangkal. Fluktuasi kedalaman ini akibat limpahan air dari
sungai, danau dan atau air hujan (Junk dan Wantzen, 2004). Perubahan kedalaman air
musiman mempengaruhi kondisi kualitas air (Hartoto, 2000), dan ritme kehidupan
ikan (Lowe-McConnell, 1987). Perubahan kedalaman air merupakan faktor utama
yang menentukan struktur komunitas ikan di rawa banjiran/lebak (Lowe-McConnell,
1987; Baran dan Cain, 2001; Hoeinghais et al, 2003). Struktur dan fungsi komunitas
biota perairan berkaitan erat dengan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup dari
biota tersebut. Lain halnya dengan biota pada lingkungan darat (terrestrial) dimana
perkembangan struktur dan fungsi komunitas merupakan fungsi dari kualitas dan
kuantitas lahan dan udara, struktur dan fungsi biota perairan selain fungsi kedua
komponen tersebut juga merupakan fungsi dari kualitas dan kuantitas media air.
Karakteristik dan dinamika kualitas media air sangat dipengaruhi oleh kualitas
udara, tanah di dasar perairan, geomorfologi dan kegiatan yang ada di daerah
tangkapan air (water catchment area) dan di daerah aliran sungai. Habitat ikan tidak
hanya menyediakan kualitas dan kuantitas air untuk hidup, namun dapat juga
menyediakan pakan alami ataupun substrat untuk tumbuh dan berkembang biak. Oleh
karena itu, dikenal beberapa jenis habitat seperti habitat pengasuhan, habitat mencari
makan dan habitat pemijahan. Habitat ikan bervariasi tergantung pada karakteristik
morfologi dan tingkah laku ikan yang berbeda antara satu jenis ikan dengan jenis ikan
lainnya.
Untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan
perlu.dilakukan pengelolaan perikanan, meliputi berbagai kegiatan yang ditujukan
dalam pengelolaan perikanan, diharapkan kesejahteraan hidup masyarakat dapat
meningkat,oleh sebab itu inventarisasi mengenai keinginan, harapan dan prefensi
masyarakat perlu dilakukan (Kartamihardja, 1993).
Hal-hal yang perlu diperhatikan agar dicapai tingkat pemanfaatan yang optimal dan
berkelanjutan, adalah :
9
a. Pengelolaan Habitat
Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan di dalam pengelolaan
sumberdaya perairan adalah kondisi habitat agar habitat baru tersebut sesuai bagi
persyaratan perkembangan populasi ikan untuk menyelesaikan daur hidupnya.karna
setiap perairan yang terbentuk mungkin hanya cocok sebagai daerah pertumbuhan,
tetapi tidak sebagai daerah pemijahan bagi beberapa jenis ikan, sehingga ikan tersebut
hanya dapat tumbuh namun tidak dapat melanjutkan keturunannya.
Agar produksi perikanan di perairan rawa banjiran meningkat dan sesuai
dengan sasaran yang diharapkan, maka pengelola perikanan harus mampu
memanipulasi dan memodifikasi habitat rawa banjiran sehingga sesuai dengan
persyaratan yang diperlukan oleh populasi ikan.
b. Pengelolaan Populasi Ikan
Perubahan ekosistem sungai menjadi ekosistem rawa banjiran akan
berpengaruh terhadap populasi ikan. Pada awal penggenangan, siklus hidup ikan akan
terganggu. Jenis ikan yang dapat beradaptasi dengan lingkungan rawa banjiran akan
tumbuh dan berkembang biak serta biasanya merupakan ikan yang mendominasi.
Sebaliknya, jenis ikan yang kurang atau tidak mampu beradaptasi, pada jangka
panjang akan menghilang meskipun mungkin pada tahun pertama penggenangan
jumlahnya melimpah.
c. Pengelolaan Penangkapan
Pola usaha penangkapan ikan yang dikembangkan di suatu perairan harus
didasarkan pada pengetahuan tentang populasi ikan seperti formasi populasi,
dinamika populasi, kelimpahan stok dan biomass, dan produksi maksimum lestari
yang dapat dicapai. Usaha penangkapan diarahkan pada rasionalisasi pemanfaatan
sumber yang optimal dengan memperhatikan kelestarian sumber. Dengan sasaran itu,
maka pola pembinaan pengelolaan di daerah padat menurut Widana dan
Martosubroto (1986) dilakukan dengan upaya sebagai berikut :
1. pembatasan upaya baik jumlah alat tangkap maupun musim penangkapan.
2. pembatasan ukuran mata jaring atau alat lain
10
3. membangun reservat baru dan meningkatkan fungsi reservat yang sudah ada, serta
perlu adanya pengawasan terhadap kegiatan nelayan yang merugikan fungsi
reservet tersebut dan perlu adanya penyuluhan tentang arti penting suatu reservat.
4. mengadakan penebaran yang harus ditunjang dengan penyediaan benih yang cukup
dengan jalan meningkatkan fungsi BBI lokal.
5.perlu penyuluhan yang intensif kepada masyarakat mengenai pentingnya kelestarian
sumber.
Pengendalian penangkapan ikan antara lain dapat dilakukan dengan cara:
1. Menetapkan daerah dan musim atau bulan larangan penangkapan ikan, yang
bertujuan untuk memberi kesempatan ikan berkembang biak dan bertumbuh.
2. Pengaturan ukuran terkecil yang boleh ditangkap, yaitu dengan penetapan ukuran
terkecil mata jaring insang dan ukuran mata pancing rawai yang boleh dipakai
oleh nelayan.
3. Pengaturan upaya penagkapan, misalnya dengan mengatur jumlah nelayan dan
atau unit alat tangkap.
4. Larangan penggunaan alat tangkap ikan yang dapat membahayakan kelestarian
sumberdaya perikanan, misalnya larangan penggunaan bahan peledak dan bahan
beracun berbahaya (B3), alat tangkap berarus listrik dan pukat harimau.
2.3. Profil Kewilayahan Mandau
Mandau merupakan sebuah kecamatan yang terletak di kabupaten Bengkalis,
dengan Ibukota Duri, luas wilayah 937.47 km2, 9 kelurahan dan 6 desa. Kabupaten
bengkalis awalnya terdiri dari 1 (satu) wilayah pembantu Bupati yang berkedudukan
di Duri dan 8 (delapan) wilayah kecamatan, yaitu : Kecamatan Bengkalis (luas
514,00 km2), kecamatan Mandau (luas 3,440,47 km2) ibukota Duri, Kecamatan
Merbau (luas 1.348,91 km2) ibu kota Teluk Bitung, Kecamatan Tebing Tinggi (luas
1.436,83 km2) dengan ibukota Selat Panjang,
Kemudian berdasarkan data akhir 2002 (sumber : badan pusat Statistik),
Kabupaten Bengkalis mengalami pemekaran wilayah menjadi 11 (sebelas) kecamatan
Gambar 2.1) Kecamatan – kecamatan tersebut (3 kecamatan baru) adalah Kecamatan
11
Rangsang Barat (dengan luas 241,60 km2 dan ibukota Segomeng) merupakan
pemekaran dari Kecamatan Rangsang (luas menjadi 681 km2), Kecamatan Rupat
Utara (ibukota Tanjung Medan dengan luas 628,50 km2) yang merupakan pemekaran
dari Kecamatan Rupat (luas menjadi 896,35 km) dan Kecamatan Tebing Tinggi Barat
(Ibukota Alai dengan luas 586,83 km2) yang merupakan pemekaran dari Kecamatan
Tebing Tinggi (luas menjadi 849,50 km2) serta menjadi 136 desa 24 Kelurahan
(berdasarkan data akhir 2002). Selanjutnya berdasarkan perda yang disyahkan awal
tahun 2003, guna mempercepat proses pembangunan Kabupaten Bengkalis
dimekarkan kembali hingga menjadi 13 kecamatan pinggir (merupakan hasil
pemekaran dari Kecamatan Mandau) dan Kecamatan Siak Kecil (merupakan
pemekaran dari Kecamatan Bukit Batu).
Batas wilayah dari kecamatan Mandau adalah Sebelah Utara Berbatasan
dengan Kecamatan Bukit Batu dan Kodya Dumai, sebelah selatan berbatasan
dengan Kecamatan Pinggir, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu
dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bukit Batu dengan Letak wilayah
0°56’12”-1°28’17” Lintang Utara, 100°56’10”-101°43’26” Bujur Timur.
2.4. Asumsi Dampak Degradasi Lingkungan Terhadap Komponen Ikan
a. Jumlah ikan asli dan ikan dengan ciri taxa khusus berkurang
b. Jumlah species yang peka berkurang
c. Persentase specialis trofik dan habitat berkurang
d. Jumlah total individu berkurang
e. Persentase ukuran individu yang besar dan jumlah ukuran kelas berkurang
f. Persentase species dan individu ikan introduksi bertambah
g. Persentase individu yang toleran bertambah
h. Persentase individu dengan keabnormalan morfologi luar bertambah
12
2.5. Parameter Kunci Lingkungan Terdegradasi
Tabel 1. Parameter kunci lingkungan terdegradasi
KIMIA FISIKA BIOLOGIpH Habitat structure External anomaliANC Bank stabilityConductivity Degree channel alterationSO4 Riparian vegetationNitrat Land useDOC
PARAMETER LOKASIREFERENSI DEGRADASI
pH ≥ 6 ≤ 5Acid Neutralizing Capacity (ANS)eq/L
≥ 50 ≤ 0
DO (ppm) ≥ 4 ≤ 2Nitrat (mg/L) ≤ 4.2 ≥ 7Urban land Use ≤ 20% catchment area > 50% catchment
areaForest land Use ≥ 25% catchment areaBank stability ratingRemoteness rating Optimal/sub optimalAesthetic rating Optimal or sub optimalChannel alteration rating No channelization poorRiparian buffer width (m) ≥ 15 = 0Point Source of discharge no
13
III METODOLOGI
3.1 . Kerangka Pemikiran Dan Alur Pendekatan Pemecahan MasalahPenelitian
Gambar 3.1. Kerangka pemikiran dan alur pemecahan masalah penelitian . AlurPengelolaan ) ( )
3.2. Waktu dan Lokasi
Kegiatan Penelitian dilakukan tahun 2013 di provinsi Riau
3.3 . Pendekatan dalam Penelitian
Pada tahun ke satu (2013) penelitian yang dilakukan bersifat desk study.
Data yang dikumpulkan mencakup studi pustaka yang berkaitan dengan
komponen penyusun model pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran.
LINGKUNGANPERAIRAN (fisik,
kimia danbiologi)
KARAKTERISTIKSUMBERDAYA
IKAN
SUMBERDAYA PERAIRANRAWA BANJIRAN GSK
PEMANFAATANMULTI SEKTOR
Pertanian,Pertambangan,
Pemukiman, Industri,Perikanan, dll
BENCANA ALAM DANPROSES ALAMIAH
DEGRADASI LINGKUNGAN DANSUMBERDAYA HAYATI PERAIRAN
SUNGAI (KRUENG) PEUSANGAN
PENGELOLAAN TERPADUWILAYAH/EKOSISTEM, SEKTOR,
DISIPLIN ILMU DANSTAKEHOLDERSektor Perikanan
POTENSI DAN PEMANFAATANSUMBERDAYA PERIKANAN PENELITIAN
KAPASITASPENANGKAPAN
14
Data dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dari lembaga terkait.
Selain itu, akan dilakukan beberapa kali pertemuan dengan stakeholder seperti
pemanfaat (masyarakat) dan pengelola seperti dinas-dinas pemerintah provinsi
Riau, lembaga perguruan tinggi dan lembaga penelitian kementrian dan non
kementrian yang terlibat dalam naskah keinginan bekerja sama yang telah ditanda
tangani di Pekanbaru pada bulan Nopember 2011.
3.4. Kebutuhan Data
Data sekunder yang dikumpulkan mencakup:
a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa
banjiran GSK
b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK
d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK
e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran
GSK
3.5 Faktor Resiko dan Keberhasilan
Faktor keberhasilan yang mendorong pencapaian sasaran adalah telah
adanya keinginan bekerja sama yang dituangkan dalam”Naskah kerjasama
pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK antara lembaga penelitian
departemen dan non departemen, Pemerintah Provinsi Riau dan perguruan tinggi
di Provinsi Riau”. Selain itu beberapa studi pendahuluan mengenai sumberdaya
alam di GSK telah dilakukan baik dari perguruan tinggi maupun lembaga
penelitian departemen dan non departemen.
3.6 . Komponen Kegiatan
Kegiatan penelitian terdiri atas:
a. Studi pustaka/desk study
b. Diskusi dengan Tim persiapan Penelitian
c. Focus discussion group(FGD) dengan pemanfaat SDI rawa banjiran Giam
Siak Kecil
15
d. Focus group discussion (FGD) dengan pengelola SDI rawa banjiran Giam
Siak Kecil
e. Penyusunan draft komponen pengelolaan terpadu SDI rawa banjiran Giam
Siak Kecil
3.7. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang dibutuhkan diantaranya adalah alat tulis kantor untuk kebutuhan
administrasi penelitian, FGD dan penyusunan draft pngelolaan. Untuk mobilitas
kegiatan FGD alat yang dibutuhkan adalah kendraaan roda empat dan perahu
motor.
3.8. Metode penelitian
3.8.1 . Pengumpulan DataPada tahun ke satu (2013) penelitian yang dilakukan bersifat desk study
dan appraisal study melalui diskusi kelompok secara terfokus focus group
discussion/FGD). Data yang dikumpulkan mencakup studi pustaka yang berkaitan
dengan komponen penyusun model pengelolaan perikanan terpadu di rawa
banjiran. Data dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dari lembaga terkait.
Selain itu, dilakukan beberapa kali pertemuan (FGD) dengan para pemanfaat dan
pengelola SDI rawa banjiran Giam Siak Kecil seperti masyarakat pemanfaat
langsung SDA GSK, dinas-dinas pemerintah provinsi Riau, lembaga perguruan
tinggi dan lembaga penelitian kementrian dan non kementrian yang terlibat dalam
naskah keinginan bekerja sama yang telah ditanda tangani di Pekanbaru pada
bulan Nopember 2011.
Data sekunder yang dikumpulkan mencakup:
a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa
banjiran GSK
b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK
d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK
16
e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran
GSK
Data primer diperoleh melalui survey observasi lapang dan responden
kunci yang diperoleh melalui diskusi kelompok terfokus (FGD). FGD
dilaksanakan secara bertahap, tahap pertama dilakukan dengan para pemanfaat
sumberdaya perairan yang berasal dari empat tasik yaitu tasik Serai, Katialau,
Betung dan Air Hitam. Peserta sebagai responden kunci dan atau narasumber
terdiri atas berbagai pemanfaat, yaitu: nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan,
pengolah ikan, petani dan pekebun. Tahap kedua dilakukan dengan para
pengambil keputusan dari berbagai Satuan Kerja Pemerintah Daerah (provinsi dan
kabupaten, perguruan tinggi, dan Lembaga Swadaya).
Pada tahap pertama, FGD dilaksanakan di tasik Serai dan Betung berlokasi
di rawa banjiran GSK pada bulan April 2013. Peserta FGD pertama sebanyak 37.
Tahap kedua dilaksanakan di tasik Katialau dan Air Hitam berlokasi di rawa
banjiran GSK pada bulan Oktober 2013 melibatkan peserta sebanyak 64 orang.
Focus group discussion dengan pengelola dilakukan pada bulan Oktober 2013
dengan peserta sebanyak 41 yang berasal dari Pusat Penelitian Pengelolaan
Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI), Balai Penelitian Perikanan
Perairan Umum, Universitas Riau, Universitas Islam Riau, PT. Sinamas Forestry,
pejabat tingkat kecamatan dan SKPD lingkup provinsi dan kabupaten di Riau
Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus (FGD)
dengan presentasi status sumberdaya alam rawa banjiran GSK hasil penelitian
Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum pada tahun 2010 dilanjutkan
pengarahan pengisian dan tanya jawab.
3.8.2. Analisis Sampel3.8.2.1. Analisis Data
Data yang dihasilkan dari kegiatan FGD dari pemanfaat dan pengelola SDI rawa
banjiran Giam Siak Kecil akan dikelompokan berdasarkan :
a. Sumberdaya dan ekologi
b. Sosial ekonomi
c. Aspek Legal dan kelembagaan
d. Masalah dan peluang
17
e. Isu dan peluang pengelolaan yang akan menghasilkan tujuan dan
rencana pengelolaan dan kriteria keberhasilan pengelolaan.
Data yang dikumpulkan ditabulasi dan dianalisa secara deskripsi. Data disusun
secara tabulasi dan gambar kemudian dianalisa dengan pemberian skor kemudian
dibahas secara deskriftif.
18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran GiamSiak Kecil
4.1.1. Karakteristik dan keragaman habitat ikan
Berdasarkan klasifikasi yang tercantum dalam Artikel 2.1. Konvensi Ramsar tahun
1971, rawa banjiran merupakan ekosistem perairan yang memiliki satu atau lebih tipe
ekosistem lahan rawa. Pada Suaka Margasatwa GSK, rawa banjirannya terdiri atas ekosistem
sungai permanen (permanen river) yaitu Sungai Siak Kecil, rawa lebak (grassland) terdiri
atas swamp, marsh, bog dan danau rawa banjiran (floodplain lake) yang terendam air secara
semi permanen (tasik) tersebar disepanjang Sungai Siak Kecil dari bagian hulu hingga hilir
(Husnah & Prianto, 2011). Tasik tersebut diantaranya adalah Sigalanggang, Baru, Tangkalan
Siam, Tombatusonsang, Katialau, Serai, Betung, Merbalu, Ungus, Besingin dan Air Hitam
(Gambar 4.1.1.1).
Morfologi rawa banjiran (tasik berikut anak sungai) di Suaka Margasatwa GSK
berbeda dengan morfologi sebagian besar rawa banjiran di Sumatera Selatan dan Kalimantan.
Morfologi rawa banjiran di Suaka Margasatwa GSK dicirikan dengan saluran utama Sungai
Siak Kecil yang kedua sisinya langsung ditumbuhi oleh tanaman sempadan (riparian
vegetation) (Gambar 4.1.1.2). Pada kondisi musim air besar (musim hujan), kesemua tasik
tersebut menyatu dengan badan air Sungai Siak Kecil, sedangkan pada musim air kecil
(musim kemarau) khususnya pada musim kemarau yang panjang, hampir sebagian besar tasik
tersebut kering dan perairan yang tersisa di dalam tasik adalah saluran yang menghubungkan
tasik dengan Sungai Siak Kecil (Gambar 4.1.1.3) (Husnah & Prianto, 2011).
Gambar 4.1.1.1 Sungai Siak Kecil dan tasik-tasik di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil,Provinsi Riau (Husnah & Prianto, 2011).
19
E
A
B
D
C
HF
L
K
JG
Keterangan:
A. Tumbuhan daratan (teresterial);Callophyllum sp, Kompassia sp
B. Tumbuhan sepadan (Riparian vegetation); Syzygum sp, Fragraea sp
C. Tumbuhan sepadan (Riparian vegetation), Pandanus sp
D. Rumput purun (Eleocharis sp)
E. Savannah floodplain(flooded grassland) area
F. Canal connected to the main river (Saluran berhubungan dengan badan sungai)
G. River bank (Sepadan sungai)
H. Main river (Badan sungai)
J . Highest water level (Muka air tertinggi)
K. Lowest water level (Muka air terendah)
Gambar 4.1.1.2 Profil rawa banjiran di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Provinsi Riau (Husnah &Prianto, 2011).
Gambar 4.1.1.3 Kondisi Tasik Betung saat muka air rendah (tahun 2008) dan tinggi (Agustus, 2010)(Husnah & Prianto, 2011).
20
4.1.2. Topografi dan kondisi tanah
Kondisi topografi di kawasan cagar biosfir GSK-BB tidak berbeda dengan kondisi di
wilayah kabupaten Bengkalis dan kabupaten Siak. Wilayah Kabupaten Bengkalis merupakan
dataran rendah, rata-rata ketinggian antara 1 - 25 meter diatas permukaan laut, sebagian besar
merupakan tanah organosol, yaitu jenis tanah yang banyak mengandung bahan organic
(Pemerintah Kabupaten Bengkalis, 2010).
Bentang alam di Kabupaten Siak sebagian besar terdiri dari dataran rendah di bagian
Timur dan sebagian dataran tinggi di sebelah barat. Pada umumnya struktur tanah terdiri dan
tanah podsolik merah kuning dan batuan, dan alluvial serta tanah organosol dan gley humus
dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah. Lahan semacam ini subur untuk pengembangan
pertanian, perkebunan dan perikanan (Pemerintah Kabupaten Siak, 2010).
4.1.3. Kualitas fisiko kimia air dan sedimen
Komplek tasik di cagar biosfir GSK dan BB termasuk dalam kelompok ekosistem
perairan rawa banjiran, oleh karena itu proses siklus fisika kimia dan biologi sangat
berkaitan erat dengan fluktuasi tinggi muka air yang juga dipengaruhi oleh iklim setempat.
Cagar biosfir GSK-Bukit Batu beriklim tropis dengan suhu udara antara 25°- 32° Celsius,
dengan kelembaban dan curah hujan cukup tinggi. Musim hujan terjadi sekitar bulan
September hingga Januari dan musim kemarau terjadi sekitar bulan Pebruari hingga Agustus
dengan curah hujan rata-rata berkisar antara antara 809-4.078 mm/tahun. Periode kering
(musim kemarau) biasanya terjadi antara bulan Pebruari hingga Agustus (Husnah & Prianto
2011).
Berdasarkan pengukuran tinggi air harian pada akhir bulan Pebruari hingga
pertengahan bulan Nopember (Gambar 4.1.3.1) menunjukkan kondisi tinggi muka air rendah
terjadi pada bulan awal bulan Maret hingga pertengahan bulan Juli, sedangkan kondisi air
tinggi terjadi pada akhir bulan Juli hingga akhir bulan Pebruari. Bila dikaitkan dengan laju
penguapan dan curah hujan harian berdasarkan stasiun pemantauan klimatologi di Pekanbaru
tahun 2010, maka fluktuasi tinggi muka air tersebut khususnya curah hujan kurang berkaitan
erat. Hal ini diperkirakan karena kondisi tataguna lahan yang sangat berbeda dengan tata
guna lahan di kawasan cagar biosfir yang didominasi oleh penutupan lahan hutan industri dan
hutan alam (Husnah & Printo, 2011)..
21
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
J anuari Pebruari Maret A pril Mei J uni J uli A gus tus S eptember Oktober November
Wa ktu peng a ma ta n
Peng
uapa
n (m
m)
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
140.0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November
Waktu (tanggal/bulan)
Cura
h hu
jan
(mm
)
Gambar 4.1.3.1 Tinggi muka air di Tasik Cagar Biosfir GSK (A) penguapan (B) dan curahhujan (C) di stasiun klimatologi Pekanbaru tahun 2010 (Husnah & Prianto,2011)
Fluktuasi tinggi muka air musim air rendah dan tinggi pada tasik di cagar biosfir GSK
berikut dengan Sungai Siak Kecil relative lebih rendah (lebih kurang 1.5 m) dibandingkan
dengan fluktuasi tinggi muka air pada beberapa danau atau tasik di rawa banjiran di Sumatra
Selatan ataupun di Kalimantan yang lebih dari 2 m (Husnah & Prianto, 2011).
B
C
020406080
100120140160180200
26 1 1 1 1 1 1 1 1 1
PebruariMaret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober NovemberWaktu (Bulan)
Ting
gi a
ir (c
m)
A
22
0.001.002.003.004.005.006.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakkecil
Siakkecil
Sampling Site
Wat
er le
vel (
m)
Feb May August Nov
Gambar 4.1.3.2 Tinggi muka air (water level) pada stasiun pengamatan di Tasik Giam SiakKecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus danNovember 2010 (Husnah & Prianto, 2011).
Relatif rendahnya fluktuasi tinggi muka air pada kedua musim di cagar biosfir GSK berkaitan
erat pasokan air yang relative kurang karena sumber air di Tasik Cagar biosfir GSK sebagian
besar dari Sungai Siak Kecil dengan debit air yang relative lebih rendah bila dibandingkan
dengan sumber air rawa banjiran di Sumatra Selatan dan Kalimantan yang berasal dari sungai
besar dengan debit air relative lebih tinggi. Dari kedua sisi sungai terbentuk bagian yang
agak dalam (tasik) yang bagian tepinya ditumbuhi tanaman kelompok pancang, tiang dan
semai dengan diameter batang masing-masing berukuran 10-20 cm, 5-10 cm, dan kurang dari
5 cm (Husnah & Prianto, 2011) .
Fluktuasi suhu air pada komplek tasik Giam Siak Kecil yang mencakup Tasik Serai,
Katialau, Betung, dan Air Hitam, serta pada dua stasiun di badan utama Sungai Siak Kecil
(hulu dan hilir) berkaitan erat dengan fluktuasi suhu udara dan ketinggian muka air (Gambar
4.1.3.2 dan 4.1.3.3). Fluktuasi suhu udara dan air pada komplek tasik Giam Siak Kecil pada
musim hujan dan kering mencapai 4 oC. Suhu air di badan utama Sungai Siak Kecil relatif
lebih rendah dibandingkan dengan keempat tasik tersebut. Hal ini berkaitan dengan
kedalaman air yang relatif lebih tinggi dan adanya aliran alir di badan utama Sungai Siak
Kecil (Husnah & Prianto, 2011)..
23
20222426283032343638
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakkecil
Siakhilir
Sampling Site
Air T
empe
ratu
re (o
C)
Feb May August Nov
20222426283032343638
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakkecil
Siakhilir
Sampling Site
Wate
r Tem
pera
ture
(oC)
Feb May August Nov
Gambar 4.1.3.3. Suhu udara dan air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil danSungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010(Husnah & Prianto, 2011).
Keasaman sedimen dan air pada komplek tasik Giam Siak Kecil (Tasik Serai,
Katialau, Betung dan Air Hitam) serta pada dua stasiun pengamatan di badan utama Sungai
Siak Kecil tergolong tinggi dengan nilai aktivitas ion hidrogen (pH) pada sedimen dan air
pada kisaran 3.5-5.0 dan 3.5-4.0 (Gambar 4.1.3.4 dan 4.1.3.5). Dari keempat tasik yang
diamati, nilai pH pada Tasik Serai relatif lebih rendah daripada ketiga tasik lainnya begitupun
dengan badan air Sungai Siak Kecil. Rendahnya nilai pH pada perairan rawa banjiran
tersebut berkaitan dengan jenis tanah yang mendominasi di lahan tersebut yaitu tanah gambut
(Husnah & Prianto, 2011).
24
2.002.503.003.504.004.505.005.50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakhulu
Siakhilir
Sampling site
pH
Sed
imen
t
Feb May August
2.003.004.005.006.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siak Siak
Sampling Site
Wa
ter
pH
Feb May August Nov
Gambar 4.1.3.4 Nilai pH sedimen pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil danSungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, dan Agustus 2010 (Husnah &Prianto, 2011).
Gambar 4.1.3.5 Nilai pH air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan SungaiSiak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010(Husnah & Prianto, 2011).
Bila dikaitkan dengan kandungan keasaman total dan mineralnya (Gambar 4.1.3.6),
dimana kandungan asam mineral dan keasaman total pada stasiun di Tasik Serai lebih rendah
daripada stasiun lainnya, maka sumber keasaman di Tasik Serai disebabkan oleh asam-asam
gambut sedangkan pada stasiun lainnya sumber keasaman disebabkan oleh asam-asam
mineral (Husnah & Prianto, 2011)..
25
01020304050
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siak SiakSampling Site
Min
eral
aci
dity
(mg
/L)
Feb May August Nov
01020304050
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siak SiakSampilng Site
To
tal A
cid
ity (m
g/L
)
Feb May August Nov
Kondisi terlihat dengan jelas pada bulan basah yaitu pada bulan Agustus dan November
terjadi peningkatan kandungan asam mineral yang berasal dari limpasan pada stasiun Tasik
Katialau, Betung, Air Hitam dan badan utama Sungai Siak.
Gambar 4.1.3.6 Nilai keasaman mineral (a) dan keasaman total (b) pada stasiun pengamatandi Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei,Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011).
Kandungan bahan organik di komplek tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil
cenderung meningkat dengan menurunnya tinggi muka air pada bulan Mei khususnya di
Tasik Katialau dan Tasik Betung (Gambar 4.1.3.7). Peningkatan kandungan bahan organik
tersebut berkaitan dengan konsentrasi bahan tersebut, berkaitan dengan akibat sinergi dari
berkurangnya volume air dan penambahan bahan organik pengaruh aktivitas dari pemukiman
masyarakat (Husnah & Prianto, 2011).
26
0
5
10
15
20
25
30
35
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakkecilhulu
SiakKecilHilir
Sampling site
TOC
0
1
2
3
4
5
6
7
DOC
Total organic carbon/TOC (mg/l) Dissolved organic carbon/DOC (mg/l)
0.002.004.006.008.00
10.0012.0014.0016.0018.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakhulu
Siakhilir
Sampling Site
Org
anic
mat
ter (
mg
C/L)
Feb May August Nov
Gambar 4.1.3.7. Bahan organik (A) total organik karbon (TOC) dan organik karbon terlarut(DOC) pada bulan Agustus (B) pada Komplek Tasik Giam Siak Kecil danSungai Siak Kecil di Riau pada tahun 2010.
Pada Gambar 4.1.3.7 terlihat juga bahwa kandungan bahan organik cenderung lebih
tinggi pada stasiun di bagian hilir seperti di Tasik Katialau, Betung, Air Hitam dan Sungai
Siak Kecil bagian hilir daripada Tasik Serai dan Siak Kecil Bagian hulu. Tasik Serai
merupakan tasik yang paling hulu dibandingkan dengan ketiga tasik lainnya. Relatif lebih
tingginya bahan organik pada bagian hilir berkaitan pasokan bahan organik berasal dari
berbagai aktivitas dan lingkungan yang lebih banyak dibandingkan di bagian hulu yang
merupakan kawasan konservasi. Fenomena tersebut didukung oleh data TOC dan DOC yang
lebih tinggi pada bagian hilir mulai dari Tasik Betung, Tasik Air Hitam hingga Siak Kecil
Bagian hilir dibandingkan dengan Tasik Serai, Tasik Katialau, dan Siak Kecil bagian hulu
(Gambar 4.1.3.7). Bila dikaitkan antara nilai TOC dan DOC, maka nilai DOC hanya 25%
daripada nilai TOC. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar bahan organik yang ada
dalam perairan dalam bentuk partikel (particulate) lebih besar dari 0.45 mikron yang
merupakan sisa dekomposisi bahan-bahan organik yang merupakan karakteristik dari lahan
gambut. Karakteristik lahan gambut terlihat juga dari nilai TOC yang lebih dari 10 mg/l.
27
0.001.002.003.004.005.006.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakhulu
Siakhilir
Sampling Site
Dis
solv
ed O
xyg
en (
mg
/L) Feb May August Nov
Fluktuasi tinggi muka air di rawa banjiran akan berkaitan erat dengan proses
dekomposisi bahan organik dan kandungan oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut pada
akhir dari air besar (bulan Februari) lebih rendah dibandingkan dengan waktu pengamatan
lainnya (Mei, Agustus, dan November) (Gambar 4.1.3.8). Hal ini berkaitan dengan puncak
dari dekomposisi tumbuhan yang mati akibat tergenang air dan proses oksidasi senyawa-
senyawa tereduksi. Tingginya proses oksidasi senyawa tereduksi didukung oleh tingginya
kandungan oksigen yang dibutukan untuk proses proses kimia (chemical oxygen
demand/COD) (Gambar 4.1.3.9). Tingginya Selain itu, kandungan bahan organik terlarut
pada tasik (Serai, Katialau, Betung, dan Air Hitam) yang dicirikan dengan perairan yang
tergenang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan mengalir (Sungai Siak Kecil bagian
hulu dan hilir).
Gambar 4.1.3.8 Kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen) pada tasik Giam Siak Kecildan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010.
Relatif lebih besarnya kandungan oksigen terlarut pada perairan tergenang adalah
kontribusi fotosintesa dari tumbuhan air dan dangkalnya perairan pada perairan tasik.
Kontribusi rendahnya tinggi muka air terhadap oksigen terlarut terlihat secara nyata pada
Tasik Serai yang relatif lebih dangkal dibandingkan tasik lainnya.
Peningkatan proses dekomposisi dicirikan oleh peningkatan konsusumsi oksigen
terlarut oleh dekomposer dan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan. Berdasarkan
pengukuran jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk proses dekomposisi mikroba
selama 5 hari (biological oxygen demand/BOD5 day) menunjukkan peningkatan pada saat
tinggi muka air rendah (bulan Mei) dan bukan pada bulan Februari. Tingginya BOD pada
28
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakhulu
Siakhilir
Sampling Site
BO
D 5
day
(m
g D
O/L
)
Feb May August Nov
0.005.00
10.0015.0020.0025.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakhulu
Siakhilir
Sampling Site
CO
D (
mg
DO
/L)
Feb May August Nov
bulan Mei tersebut berkaitan dengan terjadi konsentrasi mikroba akibat berkurangnya volume
air (Gambar 4.1.3.9).
Gambar 4.1.3.9 Kandungan konsumsi oksigen biota (BOD 5 day) dan konsumsi oksigenproses kimia (COD) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil,Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010 (Husnah & Prianto,2011).
29
020406080
100120140160
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakhulu
Siakhilir
Sampling Site
Tota
l Dis
solv
ed S
ollid
s(m
g/L)
Feb May August Nov
050
100150200250300
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakhulu
Siakhilir
Sampling Site
Cond
uctiv
ity (U
S)
Feb May August Nov
Gambar 4.1.3.10. Kandungan jumlah padatan terlarut (TDS) dan daya hantar listrik(conductivity) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riaupada bulan Pebruari hingga November 2010 (Husnah & Prianto, 2011).
Relatif lebih tingginya keasaman mineral pada seluruh stasiun kecuali di Tasik Serai
berkaitan dengan jumlah ion-ion dalam air yang diindikasikan dengan tingginya kandungan
jumlah padatan terlarut (TDS) dan daya hantar listrik (Conductivity) (Gambar 4.1.3.10).
Diperkirakan ion-ion tersebut berkaitan dengan sulfat yang merupakan hasil oksidasi tanah
mineral.
Senyawa fenol merupakan salah satu produk hasil dekomposisi, oleh karena
kandungan senyawa fenol erat kaitannya dengan kandungan bahan organik di suatu perairan.
Fenomena tersebut juga terjadi pada perairan rawa banjiran Giam Siak Kecil dimana
kandungan fenol yang tinggi di Tasik Katialau dan Air Hitam (Gambar 4.1.3.11) berkaitan
erat dengan kandungan bahan organiknya (Husnah & Prianto, 2011).
30
0123456789
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakkecil
Siakkecil
Sampling site
Phen
ol (m
g/kg
)
05
101520253035404550
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam Siakkecil
Siakkecil
Sampling site
Orga
nic m
atter
(%)
Gambar 4.1.3.11. Kandungan fenol pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riaupada bulan Agustus 2010.
Seperti halnya dengan di kolom air, kandungan bahan organik pada sedimen di Tasik
Serai, Katialau, Betung dan Air hitam ataupun Sungai Siak Kecil relatif tinggi dengan
kandungan lebih dari 5% (Gambar 4.1.3.12). Tingginya kandungan bahan organik ini
tercermin juga dari tekstur sedimen yang didominasi oleh partikel debu dan pasir baik pada
Tasik ataupun Sungai Siak Kecil dengan persentase kandungan pasir, debu dan liat di Tasik
Betung, Air Hitam dan Sungai Siak Kecil masing-masing adalah 47.02, 45.38, 7.6%; 41.10,
51.37, 7.53%; dan 51.60, 40.84, 7.56% (Husnah & Prianto, 2011).
Pengukuran terhadap logam berat Timah Hitam (Lead/Pb) dan Cadmium (Cd)di
sedimen pada bulan Pebruari dan Juni menunjukkan kandungan kedua logam tersebut pada
sebagian besar stasiun di Giam Siak Kecil dan badan utama Sungai Siak Kecil telah melebihi
baku mutu yang diizinkan yaitu lebih dari 0.6 mg/Kg (Gambar 4.1.3.13).
Gambar 4.1.3.12 . Kandungan bahan organik pada sedimen di tasik Giam Siak Kecil danSungai Siak Kecil (Husnah & Prianto, 2011).
31
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Serai Katialau Betung Air Hitam siakkecil
siakkecil
Sampling Site
Lead
(mg/
Kg)
Pebruari Mei
Gambar 4.1.3.13. Kandungan logam berat Timah Hitam (Pb) pada sedimen di tasik GiamSiak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari dan Mei.
Sebaliknya, kecuali pada Tasik Betung pada bulan Pebruari dan Tasik Serai pada bulan Mei,
kandungan logam Cadmiun pada sebagian besar stasiun pengamatan pada konsentrasi <0,005
mg/Kg. Tingginya kandungan Timah Hitam diperkirakan berkaitan dengan pasokan dari
kegiatan industri perminyakan disekitar Tasik Giam Siak Kecil.
Kemampuan suatu perairan untuk menghasilkan atau memproduksi karbon persatuan
luasan dan waktu merupakan indikator dari tingkat kesuburannnya. Pada perairan rawa
banjiran, produktivitas perairan sebagian besar berasal dari luar perairan atau disebut dengan
allochtonous yang berasal dari . dekomposisi daun atau bagian dari tumbuhan sepadan
(riparian vegetation) akan menentukan produktivitas perairan. Laju produksi guguran dari
tumbuhan sepadan jenis Samak bervariasi antara perairan tasik dan Sungai Siak Kecil dan
berada pada kisaran 2,92-3,91 ton karbon (C)/ha/th (Gambar 4.1.3.14). Laju produksi karbon
di rawa banjiran Giam Siak Kecil relatif lebih rendah dibandingkan dengan laju produksi
serasah pohon bakau di Muara Sunga Musi yang berada pada kisaran 10-20 ton/ha/th
(Husnah et al, 2009). Rendahnya laju produksi karbon di Giam Siak Kecil berkaitan dengan
lamanya tenggang waktu antara waktu penempatan dan waktu pengumpulan serasah yang
mencapai 90 hari, sehingga sebagian dari guguran bagian dari tumbuhan sepadan tersebut
telah mengalami proses dekomposisi. Dari bagian-bagian tumbuhan sepadan yang jatuh ke
dalam litter trap, komposisi yang tertinggi berasal dari daun dengan persentase pada kisaran
50-80%. Hal yang sama juga ditemukan pada komposisi serasah pohon bakau di Muara
Sungai Musi (Husnah & Prianto, 2011).
32
0.000.501.001.502.002.503.003.504.004.50
Betung Air Hitam Sungai SiakKecil
Sampling Site
C an
d P
0
20
40
60
80
100
N
C (tonne/ha/year) P (kg/ha.year) N (kg/ha/year)
0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.0090.00
Betung Air hitam Sungai Siak Kecil
Sampling Site
Perc
entag
e (%
)
Daun Ranting Buah Kelopak Hancuran Kulit kayu Campuran(biji)
Gambar 4.1.3.14. Laju produksi karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P) dari tumbuhansepadan di di komplek danau rawa banjiran Giam Siak Kecil ProvinsiRiau , 2010
4.1.4. Keragaman jenis ikan
Ikan dapat digunakan sebagai indikator dari perubahan lingkungan perairan.
Berdasarkan hasil tangkapan nelayan, jumlah jenis ikan yang ditemukan selama riset
berlangsung dari 14 stasiun ditemukan sebanyak 37 jenis yang berasal dari 12 familia (Tabel
4.1.2), dengan hasil tangkapan tertinggi pada bulan November di stasiun Air hitam. Dari 12
familia tersebut kelimpahan relatif didominasi oleh familia Siluridae dari spesies Wallago
leerii (Husnah, et. al, 2010). Rendahnya keanekaragaman jenis dan hasil tangkapan di Giam
Siak Kecil tersebut kemungkinan disebabkan oleh kondisi ekosistem hutan rawa di daerah
aliran Sungai Siak sudah banyak mengalami kerusakan, lokasi yang sempit dan juga faktor
karakteristik dari lokasi itu sendiri yang merupakan rawa banjiran sehingga pengaruh
ketinggian air memegang peranan yang sangat penting, Menurut Kottelat et al, (1996)
semakin panjang dan lebar ukuran suatu perairan semakin banyak pula jumlah jenis ikan
yang menempatinya. Adanya hubungan positif antara kekayaan jenis dengan suatu area yang
33
ditempati tergantung pada dua faktor. Pertama, peningkatan jumlah mikro habitat akan dapat
meningkatkan keragaman. Kedua, area yang lebih luas sering memiliki variasi habitat yang
lebih besar dibanding dengan area yang lebih sempit (Wooton, 1991). Keasaman yang tinggi
dan sumber karbon yang dominan berasal dari serasah di Giam Siak Kecil menyebabkan
hanya ikan jenis rawa (black fish) dan jenis ikan dengan rantai makanan detritus feeder dan
predator yang mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut (Marini et al., 2011)
Tabel 4.1.4.1. Jenis-jenis ikan di sekitar Giam Siak Kecil Provinsi Mandau
37 Siluridae Tapa payu Silurichthys phaiosoma Silurichthys phaiosoma
35
Dari 37 jenis ikan yang dikoleksi nelayan harian, hanya 30 jenis ditemukan pada saat
survey lapangan (Tabel 4.1.4.2). Keragaman jenis ikan bervariasi dan dipengaruhi oleh
lokasi, tinggi muka air, dan jenis alat tangkap yang digunakan (Tabel 4.1.4.2-4.1.4.4). Pada
saat air turun, jenis ikan yang ditemukan pada tasik dibandingkan dengan jenis ikan total
pada kisaran 37-60%, pada saat air kecil (stabil) pada kisaran 7-57%, dan pada saat air naik
(puncak) pada kisaran 10-50%. Relatif lebih banyaknya ikan tertangkap pada saat air kecil
berkaitan dengan berkurangnya luasan habitat perairan sehingga peluang tertangkap berbagai
jenis ikan semakin besar dibandingkan pada saat air besar. Keragaman jenis ikan di tasik
Betung dan Air Hitam relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kedua tasik lainnya. Hal ini
berkaitan dengan jenis dan jumlah alat tangkap yang digunakan. Pada kedua tasik tersebut
alat yang digunakan adalah berbagai ukuran lukah dan jaring insang baik pada saat air kecil
maupun air naik (Tabel 4.1.4.4). Persentasi jenis ikan yang tertangkap dengan alat lukah di ke
empat tasik pada kisaran 36.67-73.33% dan alat tangkap jaring pada kisaran 23.33-36.67%.
Dibandingkan dengan ekosistem tasik, jenis ikan yang tertangkap dengan di badan sungai
Siak Kecil lebih rendah. Hal ini berkaitan dengan kurang bervariasi mikrohabitat dan
keragaman jenis alat tangkap yang digunakan di badan sungai.
Lingkungan perairan yang sehat diindikasikan dengan keberadaan top predator. Pada
perairan laut top predator diantaranya adalah ikan hiu (Griffin et al., 2008) sedangkan pada
perairan umum daratan ikan top predator diantaranya adalah toman (Wikipedia, 2013) dan
ikan tapah (Wallago leeri). Kedua jenis ikan tersebut tergolong ikan yang dominan
tertangkap oleh nelayan di tasik maupun sungai Siak Kecik khususnya pada saat air turun dan
air rendah (Tabel 4.1.4.3). Komposisi ikan toman dan ikan tapah dalam tangkapan nelayan
berada pada kisaran 26-50% dan lebih dari 50%. Hasil FGD dengan para pemanfaat juga
menunjukkan bahwa 100% responden di Tasik Serai, Katialau dan Air hitam menjawab
bahwa ikan toman, ikan tapah dan ikan ekonomis lainnya seperti ikan baung, bujuk, selais
dan serandang (Tabel 4.1.4.4) adalah ikan yang masih banyak ditemukan. Namun demikian,
ikan toman dan tapah tergolong adalah ikan yang sedang mendapat tekanan penangkapan.
Hal ini terlihat dari jawaban lebih dari 60% pemanfaat yang menjawab bahwa kedua jenis
ikan ini telah mengalami penurunan ukuran (Tabel 4.1.4.5).
36
Tabel 4.1.4.2. Keragaman jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem dan dinamika fluktuasi air dirawa banjiran Giam Siak Kecil pada tahun 2010.Data penelitian( Husnah et al, 2010) diolah
No Nama lokal Nama latin Tasik Sungai Tasik
Air turun Air kecil (stabil) Air naik (Puncak) AirTurun
Feb-Maret
April-Juni Juli-Agustus Sept-Nop
Airhitam
Serai Katialau Betung Air hitam Siak kecilSerai
Katialau Betung Air hitam Betung Air hitam
1 Baung Hemibagrus nemurus x xxx x xx x x xx x x
2 Baung layar Bagrichthysmacracanthus
x x x xx x
3 Bujuk/Lumpung Channa lucius x x x xx x x xx x x
4 Gabus Channa striata x
5 gelang/Riu Psedeutropiusbracypopterus
x x
6 Patin Pangasius sp xx x
7 koli/lele Clarias nieuhofi x
8 Lilo Silurichthys hasseltii x
9 Mengkaek Puntius lineatus x x x
10 pantau Rasbora cephalotaenia x x
11 paud-paud Osteochilus spilurus x
12 Permato Trygoster leerii x
13 Pimping Parachila oxygastroides x x xx x x
14 Selais balik tulang Kryptopterus micronema x
15 Selais botul/lais muncung
Kryptopterus apogon x x x
16 Lais sungut(janggut)
Ompok eugeneiatus x xx x x x
37
Lanjutan Tabel 4.1.4.2
17 Selais modang/lais tapa
Kryptopterus limpok xx
18 Selais sp Kryptopterus lais x x x x x x x x x
19 Selincah/kepar Belontia hasseltii x x x x x x x x
20 Semburingan Puntius lineatus x
21 Sepat Trygoster trychopterus x x
22 Sepatung/batung Pristolepis fasciata x x x x xxx x x x x
23 Sepengkah Parambassis apogonoides x x x x x x x x x
24 Serandang Channa pleuropthalmus x x x x xx x x x x
Air turun Air kecil (stabil) Air naik (Puncak) AirTurun
Feb-Maret
April-Juni Juli-Agustus Sept-Nop
Airhitam
Serai Katialau Betung Air hitam Siak kecil Serai Katialau Betung Air hitam Betung Air hitam
38
Tabel 4.1.4.3. Keragaman jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem, dinamika fluktuasi air dan alat tangkap dirawa banjiran Giam Siak Kecil padatahun 2010. Data penelitian( Husnah et al, 2010) diolah
No Nama lokal Nama latin Tasik Sungai siak kecil Tasik
Tabel 4.1.5.1. Hasil tangkapan nelayan pada berbagai tinggi air, tipologi habitat dan jenis alat tangkap (Data penelitian Husnah et al (2010) diolah
Keterangan:1 : Hasil Tangkapan ≤ 5 kg/nelayan/hari 3 : Hasil Tangkapan 11-25 kg/nelayan/hari 5 : Hasil Tangkapan 51-100 kg/nelayan/hari2 : Hasil Tangkapan 6-10 kg/nelayan/hari 4 : Hasil Tangkapan 26-50 kg/nelayan/hari 6 : Hasil Tangkapan > 101 kg/nelayan/hari
46
Hasil tangkapan ikan toman dan ikan tembakang relatif lebih kecil dibandingkan tapah. Hasil
tangkapan kedua jenis ini cenderung lebih besar pada saat air naik dan mulai turun dengan kisaran 26-
50 kg/nelayan/bulan.
Informasi tersebut di atas mendukung hasil penilaian nelayan yang menyatakan telah
terjadinya tekanan terhadap sumberdaya ikan tapah dan toman yang dindikasikan dengan
penurunan ukuran individu ikan. Hasil FGD tentang isu permasalahan yang dihadapi nelayan
di tasik GSK, juga menunjukkan telah terjadi penurunan jumlah ikan dan pendapat nelayan
sebagai akibat peanurunan ketebalan hutan di sekitar GSK (Tabel 4.1.5.2)
Gambar 4.1.5.3. Hasil tangkapan ikan pada berbagai alat tangkap di kempat tasik pada bulanPebruari, Mei, Agustus dan November 2010 (Marini et al., 2011)
47
Tabel 4.1.5.2. Isu dan permasalahan dihadapi oleh pemanfaat dan pengelola rawa banjiranGiam Siak Kecil tahun 2013. (data FGD tahun 2013 yang diolah). Isue utamadiindikasikan dengan skor nilai mendekati 0.
No Isu dan Permasalahan Pemanfaat Pengelola1 Peningkatan ketinggian air 9 102 Penurunan ketinggian muka air 9 63 Meluasnya wilayah tumbuhan air di perairan 10 94 Penurunan ketebalan hutan di sekitar GSK 5 65 Hilangnya sumber-sumber air dan sungai di sekitar GSK 6 86 Pencemaran perairan 6 77 Penurunan jumlah jenis-jenis ikan 7 58 Penurunan jumlah ikan 4 59 Penurunan pendapatan dari hasil
tangkapan/karamba/pariwisata4 7
10 Pemakaian alat tangkap illegal (strum,tuba, bom) 5 811 Padatnya jumlah jaring (alat tangkap ikan)/keramba
dioperasikan di perairan8 10
12 Semakin kecilnya ukuran mata jaring yang dioperasikan 9 1013 Belum ada peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan,
pengawasan dan sanksi berkaitan dengan sumberdaya GSK9 4
14 Belum diterapkannya peraturan-peraturan mengenaipemanfaatan, pengawasan dan sanksi berkaitan dengansumberdaya GSK
10 4
15 Belum ada wadah/lembaga pengelola sumberdaya GSK 11 616 Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kelestarian
sumberdaya13 4
4.2. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam non perikanan
Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari sistim
perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti, namun dari sebelum
ditetapkan sebagai cagar biosfir hingga saat ini, perairan tersebut telah dimanfaakan
masyarakat. Berbagai aktivitas pada kedua kabupaten ini akan mempengaruhi kualitas,
produktivitas dan keberlanjutan dari sumberdaya perairan dan ikan di perairan tasik ataupun
di Sungai Siak Kecil berikut dengan anak-anak sungainya.
Pada zona inti, berbagai jenis pemanfaatan lahan diantaranya adalah pertanian
musiman dan perikanan. Pada zona penyangga, kegiatan masyarakat diantaranya perikanan,
perkebunan tanaman industri, kelapa sawit, dan tanaman perkebunan lainnya, pertanian
musiman, pengumpulan kayu dan produk hutan lainnya. Pemanfaatan lahan pada zona
industri kehutanan, pertambangan, ekplorasi gas dan minyak bumi, serta berbagai
pemanfaatan ekonomi lainnya (Anonimous, 2010).
Di luar kawasan cagai biosfir GSK-BB, pemanfaatan lahan di Kabupaten Bengkalis
seperti di kecamatan Mandau, diantaranya didominasi oleh penutupan lahan berupa kebun
karet, semak belukar, hutan, kebun sawit, kebun campuran dan lahan terbuka, dan sebagian
kecil merupakan lahan pertanian, lahan terbangun dan badan air. Sebagian dari areal lahan
terbuka merupakan kawasan pertambangan (Pemerintah Kabupaten Bengkalis, 2010).
Ladang-ladang minyak bumi terdapat di Kecamatan Mandau, Bukit Batu pengelolaannya
dilakukan oleh perusahaan minyak PT. Caltex Pasific Indonesia dengan wilayah operasi di
Kecamatan Mandau dan Bukit Batu. Jumlah perusahaan besar yang beroperasi di sekitar
kawasan cagar biosfir GSK-BB di kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis dan di
Kabupaten Siak masing-masing sebanyak 7 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan
industri dan hutan dan bidang lain.
4.3 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Sungai dan Rawa Banjiran GSK
4.3.1 Lokasi Terpilih Dan Profil Masyarakat Nelayan
Giam Siak Kecil (GSK) merupakan komplek tasik terbesar di Provinsi Riau yang juga
merupakan bagian dari sub daerah aliran sungai (DAS) Mandau dan Sungai Siak Kecil.
Sungai Siak kecil menghubungkan kompleks tasik Giam Siak Kecil dengan selat Bengkalis.
Kompleks tasik ini terdiri atas beberapa tasik yang saling berhubungan seperti: Tasik Baru,
Tombatusonsang, Katialau, Serai, Betung, Marbalu, Bunian, Ungus, Besingin dan Air hitam.
Komplek tasik Giam Siak Kecil dikelilingi oleh hutan tanaman industri yang dimiliki oleh
empat perusahaan dibawah naungan Sinar Mas Forestry (LPPM IPB, 2008 dalam Husnah et
al., 2012), dan telah diusulkan pada bulan Pebruari 2009 dan telah mendapatkan persetujuan
UNESCO pada bulan Mei 2009 sebagai Cagar Biosfir Giam Siak Kecil –Bukit Batu (GSK-
BB) yang merupakan satu dari tujuh Cagar Biosfir yang ada di Indonesia. Penurunan jumlah
dan ukuran jenis ikan tertangkap telah banyak dilaporkan oleh para peneliti dan salah satu
jenis ikan yang merupakan ikon dari Sungai Siak yaitu ikan Terubuk (Tenualosa Macrura)
sudah jarang ditemukan. Fenomena tersebut diperkuat oleh hasil kajian yang dilakukan oleh
Husnah et al. (2009) di Sungai Siak yang berlokasi di Kuala Tapung hingga muara Sungai
Mandau mengindikasikan rendahnya kuantitas dan kualitas hasil tangkapan nelayan
ditemukan hanya pada beberapa lokasi khususnya pada lokasi pemukiman, perkebunan dan
industri. Pada lokasi berdekatan dengan muara Sungai Mandau masih ditemukannya jenis
49
ikan ekonomis penting seperti Ikan Belida (Notopterus chitala), Patin (Pangasius sp), Baung
(Mystus nemurus) dan Ikan Lais-laisan (Kyrptopterus sp.).
Sementara itu, kajian terkait aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat nelayan
yang bermukim di kawasan cagar biosfir GSK-BB relatif belum banyak dilakukan. Oleh
karena itu, salah satu tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek sosial ekonomi dan budaya
masyarakat nelayan di kawasan tersebut. Data dan informasi nelayan pada perikanan sungai
dan rawa banjiran GSK dikumpulkan pada lokasi-lokasi terpilih: (a) Tasik Katialau; (b) Tasik
Betung; (c) Tasik Air Hitam, dan; (d) Tasik Serai. Sebaran lokasi-lokasi pengamatan tersebut
pada saat air tertinggi (pasang maksimum) dan air terendah (surut minimum) dapat dilihat
pada Gambar 4.3.1.1 dan 4.3.1.2
4.3.2 Profil Sosial Ekonomi dan Budaya
Profil sosial Ekonomi nelayan direpresentasikan oleh beberapa indikator, antara lain
adalah (a) jarak lokasi atau desa ke tempat pusat kegiatan ekonomi baik di tingkat kecamatan,
kabupaten dan propinsi; (b) komposisi jumlah penduduk; (c) tingkat pendidikan, dan; (d)
jumlah nelayan. Mengacu pada Tabel 1 di bawah serta Gambar 1 dan 2, lokasi terjauh
ditunjukkan oleh Tasik Air Hitam dan Katialau; kemudian diikuti oleh Tasik Serai dan
Betung. Jarak lokasi tempuh tersebut berimplikasi pada biaya transportasi yang harus
dikeluarkan oleh nelayan, baik untuk menjual hasil tangkapannya maupun untuk membeli
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dari sisi tingkat pendidikan, nelayan di Tasik Air Hitam
relatif mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup tinggi, diikuti oleh nelayan Tasik
Serai, Katialau dan Betung.
Dari sisi komposisi kelompok umur, nelayan di keempat lokasi menunjukkan pola
distribusi kelompok umur yang beragam; meskipun demikian dapat dikatakan bahwa nelayan
di Tasik Serai relatif menjadi profesi bagi generasi usia produktif (20-50 tahun) serta sedikit
sekali dilakukan oleh generasi ‘manula’ (>50 tahun). Lebih dari 50% nelayan Tasik Serai
berusia 20-30 tahun; komposisi kelompok usia yang sama ditunjukkan oleh nelayan Tasik Air
Hitam (33%), Tasik Katialau (25%) dan Tasik Betung (20%). Fenomena ini mengindikasikan
bahwa semakin dekat lokasi masyarakat ke pusat kegiatan ekonomi, semakin kecil minat
masyarakat berprofesi sebagai nelayan (ilustrasi Tabel 4.3.2.1 dan Gambar 4.3.2.1). Secara
umum dijumpai bahwa suku Melayu dan Siak relatif mendominasi profesi nelayan perikanan
perairan sungai dan rawa banjiran di GSK; kemudian diikuti oleh suku Mandau dan Jawa.
50
Gambar 4.3.1.1. Lokasi Penangkapan Ikan Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik Betung, TasikKatialau dan Tasik Serai Pada Saat Air Pasang Maksimum di Perairan SungaiDan Rawa Banjiran GSK.
51
Gambar 4.3.1.2. Lokasi Penangkapan Ikan Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik Betung, Tasik Katialau dan Tasik Serai Pada Saat Air SurutTerendah di Perairan Sungai Dan Rawa Banjiran GSK.
52
Tabel 4.3.2.1. Deskripsi Profil Sosial Ekonomi Nelayan Perairan Sungai dan Rawa BanjiranGSK Menurut Lokasi Terpilih, 2013.
Sumber: Data primer dan sekunder (2013) di olah.Keterangan:
- Nelayan Tasik Betung dari Desa Tasik Betung- Nelayan Tasik Serai dari Desa Tasik Serai- Nelayan Tasik Air Hitam dari Desa Lubuk Gaung, mereka bersifat musiman dengan cara membangun
pondok di sekitar lokasi penangkapan pada saat musim ikan.- Nelayan Tasik Katialau bersifat musiman dengan cara membangun pondok di sekitar lokasi
penangkapan pada saat musim ikan.
Gambar 4.3.2.1. Distribusi Komposisi Kelompok Usia Nelayan Tasik Air Hitam, TasikKatialau, Tasik Serai dan Tasik Betung Tahun 2013.
4.3.3 Pola Mata Pencaharian Masyarakat Nelayan
Hubungan masyarakat, sumber daya alam dan pengelola sumber daya merupakan satu
kesatuan yang secara sederhana dapat dikatakan sebagai satu kesatuan sistem sosial ekologi
atau sistem ekologi sosial. Anonymous (2013) menyatakan bahwa Sistem Ekologi-Sosial
Diskripsi Tasik Betung Tasik Serai Tasik Air Hitam Tasik Katialau
Orbitasi (km)Jarak Desa ke Ibukota Kecamatan 40 70 ke Ibukota Kabupaten 10 290 ke Ibukota Propinsi 160 120Penduduk (orang)- Laki-laki 403 1997 na na- Perempuan 365 1731 na na- Total 768 3728 na naTingkat Pendidikan (%)- s/d tamat SD 49,81 72,37 83,33 72,23- SLTP/A 47,1 27,63 16,67 27,67- PT 3,09 - - -
Nelayan (orang) 70 60 12-16 18-20
0,005,00
10,0015,0020,0025,0030,0035,00
<20 Tahun 20-30 31-40 41-50 >50
Persentase Usia
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
<20 Tahun 20-30 31-40 41-50 >50
Persentase Usia
(a) Tasik Air Hitam (b) Tasik Katialau
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
<20 Tahun 20-30 31-40 41-50 >50
Persentase Usia
(c) Tasik Serai
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
<20 Tahun 20-30 31-40 41-50 >50
Persentase Usia
(c) Tasik Betung
53
(SES) adalah sebuah sistem ekologi yang berhubungan erat dengan/dan dipengaruhi oleh satu
atau lebih sistem sosial. Sebuah sistem ekologi dapat secara bebas didefinisikan sebagai suatu
sistem yang saling tergantung dari organisme atau unit biologis. Istilah "SES" digunakan
untuk merujuk pada subset dari sistem sosial di mana beberapa hubungan saling tergantung
antara manusia yang dimediasi melalui interaksi dengan biofisik dan unit biologi non-
manusia (Anderies et al., 2004 dalam Anonymous, 2013). Secara sederhana hubungan
tersebut di atas dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4.3.3.1.
Gambar 4.3.3.1. Keterkaitan sumber daya, pemanfaat dan pengelola sebagai ilustrasisistem sosial ekologi.
Lingkungan sosial ekonomi dan budaya meliputi: (a) keberadaan manusia dalam
kumpulan rumah tangga yang membentuk komunitas dengan karakteristik budaya berupa
sistem nilai, perilaku dan norma yang mengalami perubahan secara dinamis sebagai respon
ataupun antisipasi dinamika perubahan sumber daya alam; (b) kelembagaan sosial ekonomi
seperti sistem peraturan sosial dalam memanfaatkan sumber daya serta ekonomi pasar.
Penelitian LIPI (2007) mengungkapkan bahwa secara tradisional penduduk atau
masyarakat telah bermukim dan beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya dalam kawasan
cagar alam biosfir GSK, terutama pada lahan ‘daratan’ berupa hutan dan vegetasi
pendukungnya kemudian mengalami perluasan ke lahan ‘perairan’ berupa sungai dan rawa
banjiran. Masyarakat memanfaatan hasil-hasil hutan maupun sungai dan rawa banjiran untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, antara lain berupa bahan makanan, sayuran, buah-buahan
dan ikan. Pemanfaatan sumber daya untuk diperjual belikan untuk mendapatkan uang secara
langsung (cash money) umumnya berupa kayu dan ikan. Dalam memanfaatkan dan
mendayagunakan sumber daya alam yang ada, sistem peraturan sosial yang terbentuk didasari
atas kesadaran bahwa mereka sangat tergantung pada kekayaan sumber daya alam yang ada,
sehingga mereka harus berperilaku arif dan bijaksana sedemikian rupa sehingga
kelestariannya terjamin.
54
Hasil penelitian di lokasi terpilih tasik Katialau, tasik Air Hitam, tasik Betung dan
tasik Serai menjelaskan pola mata pencaharian masyarakat yang hidup di sekitar cagar alam
biosfir GSK seperti diilustrasikan pada Tabel 4.3.3.1. Pada tabel tersebut diuraikan
pengalaman usaha terkait dengan mata pencaharian yang masyarakat beserta alokasi curahan
waktu mereka sehari-hari maupun dalam periode mingguan serta tahunan.
Tabel 4.3.3.1. Mata Pencaharian Masyarakat Menurut Jenis Usaha, Pengalaman Usaha danAlokasi Curahan Kerja di Lokasi Terpilih, 2013.
Sumber: Data survai 2013 di olah.
Secara tradisi, pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya perikanan perairan
sungai dan rawa banjiran GSK telah tertanam dalam kebiasaan masyarakat setempat bahwa
sumber daya yang ada tersebut mempunyai nilai penting bagi penghidupan mereka sehari-
hari; hal ini selanjutnya terefleksi dalam pola perkembangan mata pencaharian mereka.
Masyarakat secara sadar tidak menggunakan alat tangkap dan cara penangkapan yang bersifat
merusak kelestarian kehidupan sumber daya perikanan perairan sungai dan rawa banjiran,
misalnya tidak menggunakan alat setrum listrik, bahan peledak dan racun (tuba) ikan ataupun
memasang alat tangkap yang dipasang memotong jalur aliran sungai terutama pada saat
musim kemarau. Dengan melakukan tindakan seperti di atas, diyakini bahwa sumber daya
ikan sungai dan rawa banjiran terjamin kelestariannya. Pola mata pencaharian masyarakat
nelayan di sekitar sumber daya perairan sungai dan rawa banjiran GSK sehari-hari
ditunjukkan oleh Tabel 4.3.3.2.
Aktivitas penangkapan ikan di kalangan masyarakat nelayan sekitar perairan sungai
dan rawa banjiran GSK didominasi oleh nelayan tradisional dengan penguasaan armada dan
alat tangkap yang sederhana.
Lokasi Jenis Usaha Pengalaman (th) Jam/Hari Hari/Minggu Bulan/Tahun
Tabel 4.3.3.2. Pola Mata Pencaharian Masyarakat Nelayan Sehari-hari Di GSK, 2013.
Lampiran 1. Susunan keanggotaan Badan Koordinasi Pengelolaan cagar Biosfer Giam SiakKecil-Bukit Batu (Kep Gub Riau No. Kpts. 920/V/2010 tanggal 14 Mei 2010).
S
Sumber: Survai 2013, data di olah.
Armada perahu yang digunakan berukuran panjang dan lebar sekitar 5-6 m (panjang)
dan 70-80 cm (lebar) yang dioperasikan dengan dayung dan/atau mesin tempel dengan daya
yang relatif kecil (< 5 PK). Alat tangkap yang digunakan berupa jaring, pacing, jala dan
bubu. Selain itu alat tangkap lukah digunakan. Kegiatan penangkapan ikan umumnya masih
berorientasi pada upaya memenu kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Peningkatan jumlah
penduduk serta perkembangan peningkatan akses jalan dari lokasi pemukiman menuju pusat-
pusat kegiatan ekonomi (pasar) baik ke kecamatan, kabupaten maupun propinsi
menyebabkan permintaan terhadap ikan meningkat. Hal ini mendorong nelayan untuk
melakukan modifikasi alat tangkap dan cara penangkapan ikan sedemikian rupa sehingga
mampu memperoleh hasil tangkapan ikan dalam jumlah besar dan menguntungkan. Berbagai
perubahan konstruksi alat tangkap dan pengoperasian penangkapan cenderung memberikan
dampak negatip terhadap kondisi sumber daya ikan sehingga kegiatan penangkapan ikan
menjadi tidak terkendali. Dinamika pola penggunaan alat tangkap dan hasil ikan tertangkap
menurut bulan pada peride penangkapan tahunan dapat dilihat pada Tabel 4.3.3.3
Tabel 4.3.3.3. Dinamika Pola Penggunaan Alat Tangkap dan Ikan Tertangkap MenurutBulan di Lokasi Studi, 2013.
Apakah Bapak/Ibu dalampengelolaan sumberdayaalam, baik itu hutan danperairan GSK memintapertimbangan izin kepadapara tokoh agama, adat,masyarakat dan pemerintah
9 82 22 56 20 70 13 77
63
Kelembagaan sosial memiliki suatu tingkat kekekalan tertentu ketika himpunan norma-
norma yang terkandung di dalam kelembagaan sosial tersebut berkisar kepada kebutuhan
pokok sudah sewajarnya harus dipelihara. Fungsi dari kelembagaan sosial adalah menjaga
keutuhan masyarakat dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan
sistem pengendalian sosial (social control system). Konflik terjadi seiring munculnya
perbedaan kepentingan atau kebutuhan di dalam suatu masyarakat. Berfungsinya peranan ini
akan dapat mengikat tujuan-tujuan pembentukan kelembagaan sesuai dengan fungsinya
tersebut.
Hasil identifikasi kelembagaan yang ada dan berkembang di lokasi kajian dapat
dilihat pada Tabel 4.5.1.
Tabel 4.5.1. Identifikasi Kelembagaan Masyarakat Nelayan di Tasik Karialau, Air Hitam,Betung dan Serai (2013).
Parameter/ Komponen Lokasi Tasik Persentasi Pilihan respondenSerai Katialau Betung Air Hitam Rataan
Ada TidakAda
Ada TidakAda
Ada TidakAda
Ada TidakAda
Ada TidakAda
Apakah sudah ada kelompoknelayan/pembudidaya/masyarakat lainnya
0 91 0 94 10 80 8 92 5 89
Apakah ada aturan-aturan yangtidak tertulis dijalankan secaraturun temurun dalammenjalankan usaha/matapencaharian
0 91 28 67 30 60 0 100 14 79
Apakah ada upacara-upacaraadat berkaitan dengansumberdaya di GSK
0 0 11 78 0 0 0 100 3 44
Apakah ada pengaturan waktukapan bekerja dan tidak bekerja
0 0 11 72 0 0 0 100 3 43
Apakah ada orang yang dihormati di lingkungan tempattinggal dan usaha
45 45 72 11 70 20 25 75 53 38
Apakah ditemukan konflikantara nelayan/pembudidaya/usaha pariwisata yangmerupakan penduduk aslisetempat
9 82 0 89 30 60 0 100 10 83
Apakah ditemukan konflikantaranelayan/pembudidaya/usahapariwisata yang merupakanpenduduk asli setempat dengannelayan/pembudidaya/usaha pariwisata pendatang
0 91 11 72 30 60 0 100 10 81
Sumber: Data FGD 2013 diolah.
64
Berdasarkan hasil diskusi kelompok terfokus di masing-masing lokasi, kelembagaan
dalam bentuk kelompok nelayan, pengolah ikan, pekebun ataupun bentuk lainnya sebagai
representasi suatu wadah atau organisasi maupun mekanisme pengaturan kegiatan
penangkapan di keempat lokasi dilaporkan hampir tidak ada. Meskipun demikian, ada
ketokohan yang dihormati dan dianut oleh masing-masing komunitas tersebut dan tidak
ditemukan konflik antar pengguna baik antar penduduk asli dan antar penduduk asli dengan
pendatang.
Berdasarkan hasil studi pustaka, data primer FGD pemanfaatn dan pengelola yang
telah dipaparkan pada sub bab 4.1-4.5 tersebut diatas, perlu disusun tujuan pengelolaan,
rencana pengelolaan dan kriteria keberhasilan pengelolaan. Ketiga komponen tersebut tidak
didasarkan pada sinergitas antara persepsi masyarakat pemanfaat dan pengelola SDA rawa
banjiran GSK yang merupakan inti dari pengelolaan secara bersama (ko-manajemen).
Tujuan pengelolaan dicermikan dari isu atau permasalahan penting yang dirasakan oleh
pemanfaatan dan pengelola. Isu penting yang dirasakan oleh nelayan maupun pengelola di
rawa banjiran GSK diantaranya adalah penurunan jumlah ikan, penurunan ketebalan hutan
disekitar GSK, penurunan pendapatan dari hasil tangkapan (Tabel 4.5.2). Isu penting lain
yang dirasakan pemanfaat adalah belum adanya tapal batas yang jelas wilayah inti suaka
margasatawa GSK sehingga pembukaan lahan untuk perkebunan sawit seperti yang
ditemukan di desa tasik Serai dan Betung telah memasuki wilayah inti ssuaka margasatwa
GSK. Untuk itu persepsi masyarakat dan nelayan tentang rencana pengelolaan ke depan
diarahkan pada rehabilitasi hutan, zonasi wilayah konservasi dan pemanfaatan, domestikasi
ikan asli, penerapan pengawasan dan sanksi hukum pelanggaran pemanfaatan SDA,
restocking ikan asli, transfer teknologi pembenihan dan budidaya, inisiasi pembentukan
lembaga masyarakat pengelola GSK (Tabel 4.5.3). Keberhasilan suatu pengelolaan dirasakan
langsung oleh nelayan dan pengelolaa suatu SDA. Berdasarkan hasil FGD, persepsi
keberhasilan pengelolaan menurut pemanfaat dan pengelola rawa banjiran GSK diindikasikan
pada besarnya produksi ikan dan pendapatan masyarakat serta masih baiknya keragaman
ikan.
65
Tabel 4.5.2. Persepsi pemanfaat dan pengelola tentang isu penting pengelolaan SDA diGiam Siak Kecil
No Isu dan Permasalahan Jawaban responden/Lokasi TasikSerai Katialau Betung Air
HitamRataan
PemanfaatRataan
Pengelola1 Peningkatan ketinggian air 7 12 9 10 9 102 Penurunan ketinggian muka air 5 16 8 9 9 63 Meluasnya wilayah tumbuhan air di
perairan9 10 12 9 10 9
4 Penurunan ketebalan hutan di sekitarGSK
8 5 5 4 5 6
5 Hilangnya sumber-sumber air dansungai di sekitar GSK
9 3 9 4 6 8
6 Pencemaran perairan 7 5 9 2 6 77 Penurunan jumlah jenis-jenis ikan 6 7 9 7 7 58 Penurunan jumlah ikan 3 6 4 3 4 59 Penurunan pendapatan dari hasil
tangkapan/karamba/pariwisata2 7 4 4 4 7
10 Pemakaian alat tangkap illegal(strum,tuba, bom)
9 3 7 3 5 8
11 Padatnya jumlah jaring (alat tangkapikan)/keramba dioperasikan diperairan
9 5 10 9 8 10
12 Semakin kecilnya ukuran mata jaringyang dioperasikan
12 5 10 9 9 10
13 Belum ada peraturan-peraturanmengenai pemanfaatan, pengawasandan sanksi berkaitan dengansumberdaya GSK
12 7 8 9 9 4
14 Belum diterapkannya peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan,pengawasan dan sanksi berkaitandengan sumberdaya GSK
13 9 7 12 10 4
15 Belum ada wadah/lembaga pengelolasumberdaya GSK
11 Penerapan pengawasan dansanksi hukum pelanggaranhukum pemanfaatansumberdaya GSK
3 3 3 3 5
12 Pembatasan jumlah dan ukuranmata jaring alat tangkap dankeramba pada musim tertentu
4 4 4 1 3 7
Sumber: Data FGD 2013 diolah
Keterangan: Prioritas jawaban utama diindikasikan dengan skor yang mendekati angka 0
Tabel 4.5.4. Kriteria keberhasilan dan kegagalan pengelolaan
No Kriteria Keberhasilan Jawaban responden/Lokasi TasikSerai Katialau Betung Air Hitam Rataan
PemanfaatRataan
Pengelola1 Produksi ikan 1 2 3 1 2 32 Keragaman ikan 4 2 4 3 3 33 Kuantitas dan kualitas perairan 4 4 4 4 4 34 Pendapatan masyarakat 2 2 2 3 2 35 Kualitas pendididkan
masyarakat5 5 4 5 5 4
6 Tidak adanya konflik 5 5 4 6 5 4Sumber: Data FGD 2013 diolah
Keterangan: Prioritas jawaban utama diindikasikan dengan skor yang mendekati angka 1
67
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Pengembangan pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya perairan
rawa banjiran GSK bagi perikanan dapat dikelompokkan kedalam pengembangan
usaha perikanan tangkap dan pengolahan ikan. Hasil FGD memetakan status dan
permasalahan pemanfaatan serta pendayagunaan sumberdaya GSK, dalam
kelompok dinamika potensi sumberdaya perairan dan ikan, potensi dan
pemanfaatan sumberdaya alam non perikanan dan sosial ekonomi serta
kelembagaan pengelolaan perikanan.
Penurunan kualitas sumberdaya perairan GSK disebabkan oleh dan faktor
anthropogenik. Oleh karena itu arah kebijakan dan strategi pengelolaan dimasa
mendatang agar lebih ditekankan pada upaya meminimalisasi tekanan lingkungan
dan menyusun dan menerapkan peraturan mengenai pemanfaatan pengawasan dan
sangksi berkaitan dengan sumberdaya GSK. Pengelolaan yang perlu dilakukan
kedepan diantaranya adalah rehabilitasi hutan, zonasi wilayah konservasi dan
pemanfaatan, domestikasi ikan asli, penerapan pengawasan dan sanksi hukum
pelanggaran pemanfaatan SDA, restocking ikan asli, transfer teknologi
pembenihan dan budidaya, inisiasi pembentukan lembaga masyarakat pengelola
GSK
Bagi peruntukan pengembangan pemanfaatan perikanan arah dan strategi
kebijakan yang disarankan adalah: penetapan zonasi pemanfaatan, domestikasi
ikan asli, transfer teknologi pembenihan ikan asli dan restocking ikan asli seperti
tapah, baung dan selais. Model Pengelolaan sumberdaya perairan rawa banjiran
GSK secara keseluruhan harus bersifat terpadu, komprehensif dan partisipatif
sesuai dengan dinamika perkembangan yang terjadi.
68
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2010a. Pemerintah Kabupaten Bengkalis. Access 23 Desember 2010.http://www.bengkalis.go.id/sajian_menu.php?link_unemdi=4
Anonymous. 2010b. Pemerintah Kabupaten Siak. Access 23 Desember 2010.http://siakkab.go.id/tentangsiak_4_Geografi.html
Anonymous. 2011. Classification system for wetland type. Http://www.Ramsar.org/cda/en/ramsar-activities-cepa-classification-system/main/ramsar/1-6369^21235_4000_0. Akses Oktober 2011 jam 9.42
Anonimous. 2011. Suaka Margasatwa di Riau – Sumatera – Indonesia. SuakaMargasatwa di Riau – Sumatera – Indonesia Thursday, 27 January 2011 09:52(ramsar.org, 2011). http://www.ramsar.org/pictures/norbalwet - 2007 - 04. Jpg.Disebut “hochmoor”.
Anonymous, 2013. Sistem Sosial Ekologi. http://tropical-mcrm.blogspot.com/2012/04/ sistem-ekologi-sosial.html diakses 11Desember 2013.
Griffin, E., K.L. Miller, B. Freitas, and M. Hirshfield. 2008. Predator as prey: whyhealthy ocean need sharks. Oceana. Washington D.C. 20 pp
Hoggarth, D., M.F. Sukadi, A.S. Sarnita, S. Koeshendrajana, N.A. Wahyudi, E.S.Kartamihardja, A. Poernomo, M.S. Anggraeni, A.K. Gaffar, Ondara, Samuel,M.A. Thomas, Murniati dan K. Purnomo. 2000. Panduan PengelolaanBersama Suaka Produksi Ikan Di Perairan Sungai Dan Rawa Banjiran.Balitbangtan – Puslitbang Perikanan. Jakarta. 27 hal.
Husnah et al., 2009. Penentuan Tingkat Degradasi Lingkungan Perairan di SungaiSiak Bagian Hilir dengan benthic Integrated Biotic Index (B-IBI). LaporanTahunan/Akhir. T.a. 2009. Internal record. BRPPU.PRPT.BRKP.DKP.
Husnah dan E. Prianto. 2011. Karakteristik lingkungan perairan rawa: Studi kasusurawa banjiran suaka margasatwa Giam Siak Kecil. Dalam: Perikanan dankondisi lingkungan sumberdaya ikan perairan umum daratan Riau.N.N.Wiadyana, A. K. Gaffar dan Husnah (eds). Bee Publishing. Palembang. Hal:37-60
Husnah, Makri, E. Riani, K. Fatah, Maturidi, A. Sudrajat, M. Marini, Darmansyah,M. D. Rastina dan R. S. Junianto. 2011. Karakteristik Habitat, Sumber DayaPerairan Dan Kegiatan Penangkapan Ikan Di Komplek Danau Rawa BanjiranSub DAS Mandau, Provinsi Riau. Laporan Teknis (tidak dipublikasikan).Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan,Balitbang-KP, KKP. Jakarta.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartika, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishesof western Indonesia and Sulawesi. Barkeley Books. Singapura
LIPI. 2007. Keanekaragaman Hayati Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil TasikBitung Dan Hutan Konservasi PT Arara Abadi Blok Bukit Batu, Riau.
69
Laporan Akhir: Kerjasama LIPI dengan PT Arara Abadi Sinar Mas Asia Pulpand Paper, Riau. 112 hal.
Marini, M. Asyari, dan Herlan. 2011. Keragaman jenis ikan. Dalam: Perikanan dankondisi lingkungan sumberdaya ikan perairan umum daratan Riau.N.N.Wiadyana, A. K. Gaffar dan Husnah (eds). Bee Publishing. Palembang. Hal:141-230.
Priyatna, F.N. 2007. Laporan Aspek Sosial Ekonomi Sungai Seruyan. Balai BesarRiset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Sarnita, A.S., M.F. Sukadi dan F. Cholik. 1993. Program penelitian perikananperairan umum. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Perairan Umum.Pengkajian potensi dan prospek pengembangan perairan umum Sumatera
Simatauw, M., L. Simanjuntak dan P.T. Kuswardono. 2001. Gender danPengelolaan Sumber daya Alam: Sebuah Panduan analisis. YayasanPenguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL). Galang Printika.Yogjakarta. 106 hal.
Welcomme, R.L. 2001. Inland Fisheries: Ecology and Management. Food andAgricultural Organization. The United Nation. Fishing News Book. Oxford.357 p.
Wikipedia. 2013. List of apex predators http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_apex_predators#In_ aquatic_environments. 24 Desember 2013 jam12.10
Wooton, J. 1991. Ecology of Teleost Fishes. New York: Chapman & Hall.