i LAPORAN TAHUNAN IPTEKS BAGI INOVASI DAN KREATIFITAS KAMPUS (I b IKK) I b IKK BALINESECULTURE CONSERVATION CONSULTANT Tahun Ke II dari Rencana III Tahun Oleh: Ketua Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA (NIDN:0017025103) Anggota: Prof. Dr. Wayan Rai, M.Si (NIDN: 0016104903) Dr. Luh Putu Sendratari, M.Hum (NIDN: 0008126104) UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA NOPEMBER 2015
126
Embed
LAPORAN TAHUNAN IPTEKS BAGI INOVASI DAN …lppm.undiksha.ac.id/p2m/document/Proposal_195102171979031004_2014.pdf · IKK) I b IKK BALINESECULTURE CONSERVATION CONSULTANT Tahun Ke II
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
LAPORAN TAHUNAN
IPTEKS BAGI INOVASI DAN KREATIFITAS KAMPUS (IbIKK)
IbIKK BALINESECULTURE CONSERVATION CONSULTANT
Tahun Ke II dari Rencana III Tahun
Oleh:
Ketua
Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA (NIDN:0017025103)
Anggota:
Prof. Dr. Wayan Rai, M.Si (NIDN: 0016104903)
Dr. Luh Putu Sendratari, M.Hum (NIDN: 0008126104)
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
NOPEMBER 2015
ii
iii
PRAKATA
Pertama kali kami ucapkan terima kasih ke hadapan Ida Sanghyang Widhi
Waça, karena atas perkena-Nyalah kami bisa menyelesaikan laporan Pengabdian
pada Masyarakat IbIKK Balinese Culture Conservation Consultant (IbIKK
BCCC) ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan Lembaga
Pengabdian Pada Masyarakat UNDIKSHA atas fasilitas pendanaannnya sehingga
proses kegiatan ini kami dapat terselenggara dengan baik.
Selanjutnya, ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya juga kami
berikan kepada pihak Perpustakaan Lontar Universitas Udayana atas kesediaan
penyediaan bahan dan penerjemahan alih bahasa dan alih sastra lontar. Museum
Gedong Kirtya baik pimpinan dan staf dan Pemerintah Daerah Kabupaten
Buleleng khususnya Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kepala Bappeda
Kabupaten Buleleng, Kepala BKD, dan pihak-pihak lain yang turut membantu
proses pengabdian ini terlaksana dengan baik.
Pengabdian ini merupakan tahun I sehingga besar harapan kami bisa
didanai ke tahun berikutnya sehingga program yang telah kami rancang bisa
terwujud secara maksimal. Laporan tahap pertama ini kami harapkan mampu
menjadi pemicu munculnya pengabdian lanjutan yang sifatnya mengkritisi
maupun memperkaya kebudayaan Bali secara luas dan mendalam sebagai sebuah
kekayaan yang harus terus dilestarikan. Apabila dalam laporan ini dirasakan ada
kekurangan maupun kesalahan dari pelaksana, kami mohon maaf . Semoga apa
yang kami kerjakan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Bali dan Indonesia kedepannya.
Singaraja, 25 November 2015
Tim Pelaksana IbIKK BCCC
iv
RINGKASAN
Kebudayaan Bali secara tegas dinyatakan sebagai ikon pariwisata Bali
yang dituangkan pada Perda no. 3 tahun 1991. Dijadikannya kebudayaan Bali sebagai ikon pariwisata Bali, maka kebudayaan harus dikemas sedemikan rupa
hingga mampu menjadi daya tarik wisata yang tentunya akan memberikan manfaat ekonomis bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kajian tentang
kebudayaan hingga saat ini telah banyak dilakukan baik oleh kalangan formal maupun informal, yang berusaha menggali potensi kebudayaan untuk diolah,
dikemas hingga menjadi sesuatu yang menarik bagi siapapun yang menikmatinya. Ketika kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang adiluhung, maka perlu
adanya tindakan pelestarian terhadap kebudayaan tersebut sehingga dapat dinikmati oleh generasi penerus. Namun data kancah menunjukkan banyak
generasi muda Bali semakin banyak yang tidak memahamisubstansi kebudayaan Bali. Mereka mempraktikkan kebudayaan Bali dalam kehidupan sehari-hari,
namun hakikatnya mereka tidak paham. Begitu pula semakin banyak orang Bali bersandar pada kebudayaan modern, misalnya pada sistem medik modern.
Padahal masyarakat Bali memiliki sistem medik tradisional yang tercantum pada berbagai lontar usada. Begitu pula masyarakat Bali memiliki berbagai teknologi
pengendalian penyakit dan hama tanaman dan ternak secara tradisonal yang tidak kalah canggihnyadibandingkan ilmu dan teknologi modern.
Kajian terhadap kebudayan Bali di kalangan para akademisi, khususnya di Universitas Pendidikan Ganesha memang sudah banyak. Namun, berdasarkan
kajian terhadap hasil penelitian tersebut tampak ada kelemahan, yakni: pertama, bersifat involusi. Artinya, penelitian yang ada hanya mengulang-ulang apa yang
sudah ada, dengan mengambil lokasi di tempat lain. Kerangka teorinya sama sehingga hasilnya pun sama pula. Kedua, penelitian yang ada miskin publikasi
dalam jurnal dan atau penulisan lanjutan misalnya dalam bentuk buku sehingga komunikasi ilmiah menjadi tidak berlangsung secara intensif. Ketiga, penelitian
yang ada lebih menekankan pada penumpukkan ilmu atau teori sehingga miskin akan praksis.
Berkenaan dengan itu maka dibutuhkan suatu lembaga atau wadah yang menaunginya. Dalam konteks inilah maka gagasan untuk membentuk Balinese
culture conservation consultanttidak saja penting, tetapi juga merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak.Balinese culture conservation consultantakan
berusaha melakukan kajian terhadap kebudayaan Bali. Hasil kajian ini diharapkan mampu memberikan pelayanan kepada konsumen yang memerlukan kajian
tentang kebudayaan Bali baik dalam konteks peningkatan pemahaman mereka terhadap kebudayaan Bali maupun keikutsertaan dalam konservasi kebudayaan.
Bahkan tidak menutup pula kemungkinan terkait dengan pengembangan pariwsata Bali yang berlabelkan pariwisata budaya. Berkenaan dengan itu konsumen yang
menjadi target pasar bagi Balinese culture conservation consultant adalah kalangan akademisi yang membutuhkan data dan informasi tentang kebudayaan
Bali, pemerintah daerah yang diwakili oleh berbagai lembaga dan atau dinas yang terkait, LSM yang menaruh minat terhadap kebudayaan Bali, pebisnis pariwisata,
media masa, DPRD, desa pakraman, desa dinas, dadia, soroh, banjar, wangsa, subak, wisatawan, dan konsumen lainnya.
v
IbIKK BALINESECULTURE CONSERVATION CONSULTANT
Oleh:
Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA
Prof. Dr. Wayan Rai, M.Si
Dr. Luh Putu Sendratari, M.Hum
ABSTRAK
Kebudayaan merupakan sesuatu yang adiluhung, maka perlu adanya tindakan pelestarian terhadap kebudayaan tersebut sehingga dapat dinikmati oleh
generasi penerus. Namun data kancah menunjukkan banyak generasi muda Bali semakin banyak yang tidak memahamisubstansi kebudayaan Bali.Berkenaan
dengan itu maka dibutuhkan suatu lembaga atau wadah yang menaunginya. Dalam konteks inilah maka gagasan untuk membentuk Balinese culture
conservation consultanttidak saja penting, tetapi juga merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak.Balinese culture conservation consultantakan berusaha
melakukan kajian terhadap kebudayaan Bali. Hasil kajian ini diharapkan mampu memberikan pelayanan kepada tonsumen yang memerlukan kajian tentang
kebudayaan Bali baik dalam konteks peningkatan pemahaman mereka terhadap kebudayaan Bali maupun keikutsertaan dalam konservasi kebudayaan. Bahkan
tidak menutup pula kemungkinan terkait dengan pengembangan pariwsata Bali yang berlabelkan pariwisata budaya. Berkenaan dengan itu konsumen yang
menjadi target pasar bagi Balinese culture conservation consultant adalah kalangan akademisi yang membutuhkan data dan informasi tentang kebudayaan
Bali, pemerintah daerah yang diwakili oleh berbagai lembaga dan atau dinas yang terkait, LSM yang menaruh minat terhadap kebudayaan Bali, pebisnis pariwisata,
media masa, DPRD, desa pakraman, desa dinas, dadia, soroh, banjar, wangsa, subak, wisatawan, dan konsumen lainnya.
Kata Kunci: konservasi, kebudayaan, Bali
ABSTRACT
Culture is something that is valuable, it is necessary to measure the
preservation of the culture that can be enjoyed by future generations . However, the data shows many youth Bali that do not understand the substance of culture
Bali.Because of that we need a body or container shelter . In this context , the idea of forming a IbIKK Balinese Culture Conservation Consultant is not only
important , but also is a urgent need . Balinese culture conservation consultant will seek a review of the Balinese culture . The results of this study are expected
to provide services to consumen that require the study of Balinese culture both in the context of improving their understanding ofIbIKK Balinese Culture
Conservation Consultant. Not even close also probably related to the development of tourism labeled pariwsata Balinese culture. With regard to the consumer is the
target market for the Balinese culture is a conservation consultant academics requiring data and information on Balinese culture, local government , represented
by various institutions or agencies concerned, NGOs showed an interest in Balinese culture , tourism businesses, the media period, parliament,desa pakraman, dadia, soroh, banjar, wangsa, tourists , and other consumers .
Keyword: conservation, culture, Bali
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………....... ii
PRAKATA............................................................................................. iii
RINGKASAN...……………………………………………………..... iv
ABSTRAK............................................................................................. v
DAFTAR ISI………………………………………………………...... vi
DAFTAR GAMBAR………………………………………………… viii
DAFTAR TABEL……..……………………………………………… ix
DAFTAR BAGAN….………………………………………………… x
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Analisis Situasi…………………………………………… 1
1.2 Keunggulan Produk………………………………………. 7
1.3 Spesifikasi Produk……………………………………… 7
1.4 Kaitan Produk dengan Temuan Perguruan Tinggi……… 8
1.5 Dampak dan Manfaat IbIKK……………………………... 8
BAB II TARGET LUARAN………………………………………… 10
2.1 Target Luaran Tahun 2014, 2015, dan 2016……………... 10
BAB III METODE PELAKSANAAN……………………………..... 13
3.1 Bahan Baku……………………………………………… 13
3.2 Produksi………………………………………………… 14
3.3 Proses…………………………………………………… 15
3.4 Manajemen……………………………………………...... 17
3.5 Pemasaran……………………………………………… 18
3.6 Sumber Daya Manusia…………………………………… 19
3.7 Fasilitas………………………………………………… 20
3.8 Finansial………………………………………………… 21
BAB IV KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI………………… 22
4.1 Kualifikasi Tim………………………………………….. 22
4.2 Relevansi Skill…………………………………………… 22
4.3 Sinergi………………………………………………….... 23
vii
4.4 Pengalaman Kemitraan Tim Pelaksana………………… 23
4.5 Kedudukan Tim Pengusul dan Hubungan IbIKK dengan
Perguruan Tinggi…………………………………………
24
4.6 Akuntabilitas Pemasukan dan Pengeluaran Uang……… 24
BAB 5. HASIL YANG DICAPAI 25
5.1 Kegiatan Tahun 2015………………………………........ 25
5.2 Data Statistik Pemasukan IbiKK BCCC Undiksha Tahun
2015 …………………………………………………………..
35
5.3 Kendala yang dihadapi pada tahun 2015……………….... 37
5.4 Solusi yang dilakukan dalam menghadpi kendala……….. 37
5.5 Dampak dan Manfaat IbIKK…………………………… 38
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA 39
6.1 Spesifikasi Produk Tahap III (Tahun 2016)…………....... 39
6.2 Target Luaran tahap IIITahun 2016…………………...... 40
6.3 Metode Pelaksanaan Tahap III (Tahun 2016)…………… 41
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan…..………………………………………....... 52
7.2 Saran…………………………………………………….. 52
DAFTAR PUSTAKA 54
LAMPIRAN
Lampiran 1. Produk ……………………………………………
Lampiran 2. Dokumentasi Konsultasi Kebudayaan Bali ……...
Lampiran 3. Logbook ………………………………………….
Lampiran 4. Biodata Ketua dan Anggota Tim Pengusul ……...
55
100
102
104
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Dari Kanan: ruang diskusi, ruang tamu dan sat set
komputer sebagai tempat produksi ………………………...
20
Gambar 2 Peralatan kantor/belanja modal produksi tahun 2015: LCD,
laptop, tripod, handycam, pesawat telepon, external hardisk
25
Gambar 3 Cover dan sampul belakang buku “(NGABEN +
MEMUKUR) = (TUBUH + API) + (UPARENGGA +
MANTRA) = (DEWA PITARA + SURGA) (Perspektif
Teori Sosial Ketubuhan terhadap Ritual Kematian di Bali) .
26
Gambar 4 Cover dan sampul belakang buku “TAJEN DI BALI
(Perspektif Homo Complexus)” ……………………………
27
Gambar 5 Cover dan sampul belakang buku “PERTARUNGAN
WACANA NGAMADUANG (POLIGAMI) DALAM SENI
GENJEK : PERSPEKTIF KEKUASAAN LINGUAL DI
BALI” ……………………………………………………...
29
Gambar 6 Cover buku “MEMBONGKAR JARING KUASA,
KEKERASAN, DAN RESISTENSI DI BALIK
PERKAWINAN NGAMADUANG (POLIGAMI)” ……….
29
Gambar 7 Cover buku “KULINER TRADISIONAL KHAS
BULELENG” ……………………………………………...
30
Gambar 8 Halaman pertama artikel “Deconstructing Gender
Stereotypes in Leak”………………………………………
31
Gambar 9 Halaman pertama artikel “Geria Pusat Industri Banten
Ngaben di Bali Perspektif Sosiologi Komodifikasi Agama”
32
Gambar 10 Terjemahan lontar “Bali Islam” dan “Krama Islam” ……... 32
Gambar 11 CD video dan booklet tradisi Magebeg-gebegandi Desa
Tukadmungga, Buleleng – Bali ……………………………
33
Gambar 12 Konsultasi tanggal 3 Maret 2015 …………………………. 34
Gambar 13 Konsultasi tanggal 23 Juni 2015 ………………………….. 34
Gambar 14 Konsultasi tanggal 23 Juni 2015 ………………………….. 35
Gambar 15 Konsultasi tanggal 12 Oktober 2015Crew Trans 7 ……….. 35
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Harga dan Penjualan Usaha Balinese Culture Conservation Consultant Tahun 2014-2016 (Produk Nyata/Tangible Product) ............................. 11
Tabel 2Harga dan Penjualan Usaha Balinese Culture Conservation Consultant Tahun 2014-2016 (Produk Jasa/Intangible Product) .............................. 11
Tabel 3Bahan Baku, Suplai, Mutu, dan Alternatif Sumber Usaha Balinese Culture Conservation Consultant ...................................................................... 13
Tabel 4Rencana Produk dan Kapasitas Produksi ................................................... 14 Tabel 5Rencana spesifik Produk dan Kapasitas Produksi ..................................... 14
Tabel 6Rincian Biaya IbIKK Usaha Balinese Culture Conservation Consultant Tahun 2014-2016 ................................................................................. 21
Tabel 7Kulifikasi Tim IbIKK Usaha Balinese Culture Conservation Consultant .... 22 Tabel 8Pengalaman Kemitraan Tim Pelaksana ..................................................... 23
Tabel 9. Data Statistik Pemasukan IbiKK BCCC Undiksha Tahun 2015 ………35 Tabel 10. Rencana Spesifik Produk Tahun 2016 ................................................... 39
Tabel 11 Harga dan Penjualan Usaha Balinese Culture Conservation Consultant Tahun 2016 (Produk Nyata/Tangible Product) ..................................... 36
Tabel 12 Harga dan Penjualan Usaha Balinese Culture Conservation Consultant Tahun 2016 (Produk Jasa/Intangible Product) ...................................... 41
Tabel 13 Bahan Baku, Suplai, Mutu, dan Alternatif Sumber Usaha Balinese Culture Conservation Consultant ......................................................... 42
Tabel 14 Rencana Produk dan Kapasitas Produksi ............................................... 42 Tabel 15 Rencana spesifik Produk dan Kapasitas Produksi ................................... 43
Tabel 16 Rincian Biaya IbIKK Usaha Balinese Culture Conservation Consultant Tahun 2014-2016 ................................................................................ 49
Tabel 17 Rencana Investasi dan Belanja Modal Tahun II (2015) ........................... 50 Tabel 18 Honor Tim Pendamping Tahun II (2015) ............................................... 50
Tabel 19 Program Kerja dan Jadwal ..................................................................... 51
x
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Proses Produksi ..................................................................................... 16
Bagan 2 Struktur Organisasi IbIKK Balinese Culture Conservation Consultant ..... 24
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Analisis Situasi
Kekaguman orang luar terhadap kebudayaan Bali telah berlangsung sejak
lama. Kebudayaan Bali dianggap sebagai kebudayaan yang eksotis sehingga
menarik diperkenalkan ke dunia luar. Gagasan inilah yang menyebabkan pada
tahun 1920an Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Bali sebagai Daerah Tujuan
Wisata (Atmadja, 2010; Vickers, 2010). Bersamaan dengan itu pemerintah Hindia
Belanda menerapkan sistem pendidikan modern sehingga masyarakat Bali
mengalami modernisasi. Hal ini menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup
kebudayaan Bali sehingga tidak mengherankan jika timbul usaha untuk
melakukan konservasi terhadap kebudayaan Bali (Atmadja, 2001). Gejala ini
terlihat misalnya dari pendirian Perpustakaan Lontar Gedong Kirtya pada tahun
1928. Orang asing yang berkunjung ke Bali tidak saja wisatawa tetapi juga
wartawan yang menaruh perhatian terhadap kebudayaan Bali antara lain
Covarrubias (1972) yang menulis buku, yakni The Island of Bali. Pasca Revolusi
Fisik muncul beberapa ilmuwan yang berminat mengkaji kebudayaan Bali,
misalnya Clifford Geertz (1977, 1999), Hilderd Geert (1952), James Danandjaja
(1984), dll.
Kajian-kajian tersebut merupakan contoh-contoh kecil bagaimana orang
luar memandang kebudayaan Bali. Pada umumnya mereka sangat mengagumi
kebudayaan Bali sehingga tidak mengherankan jika Bali dilabeli dengan berbagai
nama, misalnya Pulau Dewata, Pulau Sorga Terakhir, Pulau Seribu Pura, pewaris
tradisi Majapahit, Museum Hidup, dll. Bahkan yang tidak kalah pentingnya,
nama Bali sering pula dianggap sebagai singkatan, yakni Bagus, Asli,
Luhur,Indah. Pendek kata, berbagai karya ilmiah klasik tentang Bali, begitu pula
berbagai label tentang Bali memberikan petunjuk bahwa ada kekaguman yang
luar biasa terhadap kebudayaan Bali. Kekaguman orang terhadap kebudayaan
Bali, tidak saja membanggakan orang Bali, tetapi yang tidak kalah pentingnya,
kebudayaan Bali digunakan pula sebagai modal budaya dalam pengembangan
pariwisata. Gejala ini terlihat dari basis pariwisata Bali adalah kebudayaan
2
sehingga melahirkan apa yang disebut Pariwisata Budaya. Kebudayaan Bali yang
unik spektakuler merupakan daya tarik utama dan sekaligus sebarang barang
jualan bagi pariwisata Bali.
Kebudayaan tunduk pada hukum perubahan (Lauer, 1983). Begitu pula
kebudayaan Bali tidak terlepas dari perubahan. Atmadja (2010) dalam bukunya
yang berjudul “Ajeg Bali Gerakan, Identitas Kultural dan Globalisasi”
memberikan uraian yang terinci tentang penyebab perubahan kebudayaan Bali
antara karena pembangunanisme yang diterapkan oleh pemerntah Orde Baru yang
berlanjut pada adanya globalisasi. Kondisi ini mengakibatkan kebudayaan Bali
mengalami perubahan yang drastik. Berkenaan dengan itu maka citra kebudayaan
Bali sebagai kebudayaan yang adhiluhung mengalami pembalikan. Gejala ini
terlihat misalnya dari label yang diberikan kepada Pulau Bali, misalnay Bali
sebagai Pulau Dewata, berubah menjadi Bali sebagai Pulau Dewana – manusianya
bermental raksasa yang menuh dengan keserakahan. Bali sebagai Pulau Sorga
Terakhir berubah menjadi Bali sebagai Pulau Sorga Berakhir. Bali sebagai Pulau
Seribu Pura berubah menjadi Bali sebagai Pulau Seribu Cafe, Pulau Seribu
Masalah atau Pulau penuh dengan kepura-puraan (Atmadja, 2010).
Perubahan label ini bisa saja berlebihan, mengingat bahwa cakupan
kebudayaan Bali sangat luas, misalnya desa-kota, Bali Aga – Bali Majapahit, dll.
Walaupun demikian sebagaimana dipaparkan oleh Atmadja (2010) label-label itu
tidak bisa dipungkiri bahwa ada benarnya. Misalnya, generasi muda Bali semakin
banyak yang tidak memahami substansi kebudayaan Bali. Mereka
mempraktikkan kebudayaan Bali dalam kehidupan sehari-hari, namun hakikatnya
mereka tidak paham. Begitu pula semakin banyak orang Bali bersandar pada
kebudayaan modern, misalnya pada sistem medik modern. Padalah masyarakat
Bali memiliki sistem medik tradisional yang tercantum pada berbagai lontar
usada. Begitu pula masyarakat Bali memiliki berbagai teknologi pengendalian
penyakit dan hama tanaman dan ternak secara tradisonal yang tidak kalah
penariknya daripada ilmu dan teknologi modern. Anak-anak Bali lebih menyukai
ceritra rakyat, permainan rakyat, dan nyanyia rakyat dari luar, padahal
kesemuanya ini tersedia pada masyarajat Bali. Hal ini merupakan media
pendidikan yang sangat penting sehingga melahirkan metode pembelajaran
3
melajah sambilang mesatua (belajar memakai ceritra rakyat), melajah sambilang
mepalalian (belajar menggunakan permainan rakyat) dan melajah sambilang
megending (belajar memakai nyanian rakyat). Ritual yang berlangsung pada
masyarakat Bali memang sangat semarak. Namun, penyelenggaaraan ritual lebih
menekankan pada kulit dan miskin akan substansi. Jika mereka ditanya, mengapa
melakukan tindakan sosial seperti itu?, maka jawabannya adalah anak suba mula
keto – karena memang sudah begitu dari dahulunya sehingga harus diterima
sebagaimana adanya.
Kebudayaan Bali berbasiskan ideologi Tri Hita Karana (THK), yakni tiga
penyebab kesejahteraan – Palemahan, Pawongan dan Parhyangan. Arinya,
manusia hidup sejahtera karena mereka mampu menciptakan hubungan harmonis
antara manusia dengan lingkungan alam (Palemahan), antara manusia dengan
manusia (Pawongan) dan antara manusia dengan Tuhan dan dewa-dewa sebagai
personifikasi-Nya. Namun, bersamaan dengan adanya perubahan kebudayaan
yang menerpa Bali sehingga melahirkan berbagai label yang bertolak belakang
atau nungkalik dengan citra ideal kebudayaan dan masyarakat Bali, maka
Atmadja (2010) menunjukkan bahwa ideologi THK pun mengalami erosi. Erosi
pada sila Palemahan terlihat pada kerusakan lingkungan yang semakin parah,
erosi pada sila Pawongan terlihat pada gejala konflik sosial di desa pakraman dan
atau antardesa pakraman sering terjadi dan erosi pada sila Parhyangan terjadi
pendangkalan makna tindakan keagamaan karena orang Bali lebih mengejar
pencitraan diri.
Aneka contoh tersebut memberikan petunjuk bahwa secara kasatmata
orang Bali memang masih tampak berbudaya Bali. Hanya saja, pemahaman
mereka terhadap hakikat kebudayaan Bali sangat lemah sehinggia terjadi praktik
sosial yang patologis. Kondisi ini menjadi lebih parah lagi, mengingat bahwa
pembelajaran orang Bali terhadap kebudayaan Bali sangat menurun. Keadaan ini
berkaitan erat dengan peran keluarga sebagai pusat pendidikan yang utama dan
pertama, dan orang tua sebagai guru yang pertama dan utama, telah digantikan
oleh TV yang mengajarkan ornag Bali dengan budaya konsumen. Sekolah sebagai
lembaga pembudayaan, ternyata lebih tertarik kepada pembudayaan yang
mengarah kepada kebudayaan nasional – nasionalisai dan kebudayaan global –
4
menimbulkan globalisasi, sehingga secara disadari maupun tidak disadari
kebudayaan Bali menjadi termaginalisasi (Atmadja, 2010). Kesemuanya ini
mengakibatkan orang Bali memang tetap berbudaya Bali secara penampilan,
namun miskin akan pemaknaan. Padahal dalam perspektif teori interaksionisme
simbolik atau teori strukturasi pemahaman sangat penting dalam konteks
mencintai dan mempraktikkan kebudayaan secara untuh, meruang dan mewaktu
(Ritzer, 2012; Craib, 1984; Zeitlin, 1984).
Dengan adanya kenyataan ini maka diperlukan usaha yang sangat serius
untuk melakukan tindakan konservasi kebudayaan Bali. Konservasi tidak saja
menyangkut perlidungan, pemeliharaan, dan pelestarian kebudayaan Bali, tetapi
mencakup pula peningkatan pemahaman sehingga praktik sosial pendukung suatu
kebudayaan menjadi lebih bermakna. Konservasi berkaitan dengan revitalisasi,
revivalisasi dan kontekstualisasi sehingga suatu unsur kebudayaan bisa ajeg
secara meruang dan mewaktu (Rachman, 2012; Becker et al. 2001; Soeroso dan
Susilo, 2008). Kegiatan konservasi tidak bisa dilakukan secara amatiran,
melainkan harus dilakukan secara melembaga dengan melibatkan berbagai pihak
yang tidak saja mau, tetapi juga memiliki berbagai modal, yakni modal
intelektual, sosial, dan finansial yang memadai.
Berkenaan dengan itu maka dibtuhkan suatu lembaga atau wadah yang
menaunginya. Dalam konteks inilah maka gagasan untuk membentuk Balinese
culture conservation consultanttidak saja penting, tetapi juga merupakan suatu
kebutuhan yang sangat mendesak.Balinese culture conservation consultantakan
berusaha melakukan kajian terhadap kebudayaan Bali. Hasil kajian ini diharapkan
mampu memberikan pelayanan kepada tonsumen yang memerlukan kajian
tentang kebudayaan Bali baik dalam konteks peningkatan pemahaman mereka
terhadap kebudayaan Bali maupun keikutsertaan dalam konservasi kebudayaan.
Bahkan tidak menutup pula kemungkinan terkait dengan pengembangan pariwsata
Bali yang berlabelkan pariwisata budaya. Berkenaan dengan itu konsumen yang
menjadi target pasar bagi Balinese culture conservation consultant adalah
kalangan akademisi yang membutuhkan data dan informasi tentang kebudayaan
Bali, pemerintah daerah yang diwakili oleh berbagai lembaga dan atau dinas yang
terkait, LSM yang menaruh minat terhadap kebudayaan Bali, pebisnis pariwisata,
5
media masa, DPRD, desa pakraman, desa dinas, dadia, soroh, banjar, wangsa,
subak, wisatawan, dll. Jadi, siapa pun yang membutuhkan jasa budaya dan produk
budaya berbentuk barang cetakan yang dihasilkan oleh culture conservation
consultantbisa dikonsumsi oleh konsumen. Jasa dan produk yang ditawarkan bisa
atas inisiatif Balinese culture conservation consultantatau bisa sebaliknya, yakni
konsumen yang memesanya. Misalnya, Desa Pakraman Pejeng merupakan salah
satu desa di kabupaten Gianyar yang memiliki berbagai jenis peninggalan sejarah
baik dalam bentuk artefak maupun cerita sejarahnya, sehingga banyak kalangan
akademisi, pemerintah baik daerah maupun pusat dan wisatawan yang
memerlukan informasi tentang Peng. Pihak Balinese culture conservation
consultant memandang perlu adanya pendataan dan pengemasan informasi
tentang segala bentuk kebudayaan yang terdapat di Desa PakramanPejeng dalam
bentuk buku yang nantinya dapat dijual secara langsung kepada target pasar dan
atau bekerjasama dengan pihak desa Pejeng dalam penjualan buku tersebut.
Kelemahan pembangunan di dunia ketiga seperti dikemukakan Chamvers
(1992) dan Dove (1994) adalah lebih berorentasi pada pertumbuhan ekonomi,
berkiblat ke Barat dan kurang memperhatikan modal budaya yang berkembang
pada masyarakat lokal. Akibatnya, pembangunan sering gagal karena tidak
berbasis budaya lokal. Dalam konteks Balinese culture conservation consultant
diharapkan bisa memberikan sumbangan pemikiran lewat kajian yang
dilakukannya, baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan pemerintah
daerah guna mewujudkan suatu model pembangunan yang berbasiskan
kebudayaan lokal, yakni ideologi THK dan agama Hindu. Sumbangan pemikiran
ini bisa secara lisan dalam bentuk jasa konsultatif atau melalui forum kegiatan
akademik, misalnya seminar, lokakarya, dan sejenisnya. Bahkan yang tidak kalah
penmtingnya sumbangan pemikiran bisa pula dalam bentuk bahan tercetak
sebagai hasil dari penelitian. Dengan cara ini maka apa pun program
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan atau pihak lainnya menjadi
lebih bermakna, karena sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bukan atas dasar
keinginan pemerintah dan atau pihak lainnya yang menyebut dirinya pelopor
pembangunan.
6
Citra kebudayaan Bali yang adhiluhung yang menyejarah, begitu pula
perubahan sosial yang menyertainya, mengakibatkan kajian tentang Bali tidak
pernah berhenti. Studi tentang Bali tidak saja dilakukan oleh orang asing, tetapi
juga orang Bali, termasuk di dalamnya para mahasiswa jenjang S1, S2 danS3.
Walaupun mahasiswa ini kebanyakan orang Bali, namun pengalaman
menunjukkan bahwa pemahaman mereka terhadap kebudayaan Bali belum
memadai. Berkenaan dengan itu makaBalinese culture conservation consultant
bisa mengambil peran penting, yakni memberikan ruang konsultasi bagi
pengkajian kebudayaan Bali baik dalam bentuk diskusi secara mandiri maupun
berkelompook – sesuai dengan pengelompokkan minat kajian atau bisa pula lewat
pengonsumsian hasil penelitian yang ada pada Balinese culture conservation
consultant. Bahkan tidak menutup pula kemungkinanBalinese culture
conservation consultantmelakukan kegiatan akedemik yang bersekala besar,
misalnya menyelenggaraan seminar nasional atau seminar internasional tentang
kebudayaan Bali, baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan lembaga
lainnya atas ijin lembaga, yakni Undiksha.
Kebudayaan yang dikaji oleh Balinese culture conservation consultant
bisa kebudayaan insitu, misalnya artefak atau kehidupan suatu komunitas yang
bersifat unik dan atau sesuai dengan permintaan lembaga tertentu, misalnya dalam
rangka menunjang pembangunan. Kebudayaan lainnya adalah berbagai lontar
yang tersimpan di Perpustakaan Lontar Geding Kirtya, Singaraja dan Pusat
Dokumentasi Kebudayaan Bali di Denpasar. Untuk itu, kerja sama dengan kedua
lembaga ini amat penting – berdasarkan penjajagan awal Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Buleleng bisa diajak bekerja sama. Misalnya, kedua
lembaga ini menerjemahkan lontar-lontar, sedangkan Balinese culture
conservation consultant memberikan komentar secara ilmiah sehingga
kebermakaannya menjadi lebih kuat, baik dilihat dari aspek budaya Bali termasuk
di dalamnya agama Hindu maupun akademik. Bahkan yang tidak kalah
pentingnya pihak luar yang ingin membaca lontar misalnya, maka Balinese
culture conservation consultantbisa membatunya dengan menyediakan tenaga
penerjemah, baik dari tenaga akademisi yang tersedia di Undiksha maupun para
praktisi per-lontar-an yang terikat dalam suatu bentuk kerja sama secara
7
melembaga. Dalam konteks ini promosi tentang keberadaan Balinese culture
conservation consultantmenjadi sangat penting.
Kajian terhadap kebudayan Bali di kalangan para akademisi, khsususya di
Universitas Pendidikan Ganesha memang sudah banyak. Namun, berdasarkan
kajian terhadap hasil penelitian tersebut tampak ada kelemahan, yakni: pertama,
bersifat involusi. Artinya, penelitian yang ada hanya mengulang-ulang apa yang
sudah ada, dengan mengambil lokasi di tempat lain. Kerangka teorinya sama
sehingga hasilnya pun sama pula. Kedua, penelitian yang ada miskin publikasi
dalam jurnal dan atau penulisan lanjutan misalnya dalam bentuk buku sehingga
komunikasi ilmiah menjadi tidak berlangsung secara intensif. Ketiga, penelitian
yang ada lebih menekankan pada penumpukkan ilmu atau teori sehingga miskin
akan praksis. Dalam rangka mengatasi kelemahan inilah maka perlu strategi lain,
yakni membentuk apa yang disebut Balinese culture conservation consultant.
1.2 Keunggulan Produk
Produk yang dihasilkan adalah berupa tulisan yang memuat tentang
kebudayaan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh dosen baik dosen di
dalam Universitas Pendidikan Ganesha maupun di luar yang dikemas untuk
menjadi berbagi produk. Kondisi yang ditemukan saat ini bahwa hasil penelitian
yang ada sangat minim untuk ditindaklanjuti menjadi buku yang dapat
memberikan informasi kepada umum. Disisi lain, kebutuhan informasi tentang
segala sesuatu yang terkait dengan kebudayaan cukup banyak khususnya dari
kalangan akademisi, pemerintah daerah yang ingin mengkaji kebudayaan Bali
serta wisatawan yang ingin mengetahui budaya Bali (cultural tourism). Dengan
demikian, dibentuknya usaha yang menyediakan informasi tentang kebudayaan
secara mendalam dan dikaji dengan berbagai perspektif bagi umum, merupakan
sebuah peluang usaha yang cukup menjanjikan. Terlebih lagi, melihat salah satu
pasar strategis dalam usaha ini adalah mahasiswa dan peneliti, maka usaha ini
akan sangat mampu menjadi pilihan bagi mereka yang menemukan kesulitan
dalam mengkaji kebudayaan Bali.
8
1.3 Spesifikasi Produk
Produk yang dihasilkan berupa buku, deskripsi, booklet dan artikel
dengan target pasar utamanya adalah: 1) Buku, deskripsi dan artikel adalah
kalangan akademisi, dosen, mahasiswa, dan pemerintah daerah; 2) Booklet adalah
wisatawan yang ingin mempelajari kebudayaan Bali (cultural tourism), meskipun
tidak menutup kemungkinan kalangan akademisi dan pemerintah daerah juga bisa
membeli produk ini. Selain itu, usaha ini juga menangani jasa konsultasi bagi
siapapun yang memerlukan bantuan khususnya dosen dan mahasiswa yang
mengalami kesulitan dalam mengkaji kebudayaan Bali melalui berbagai
perspektif dan teori-teori yang relevan khususnya.
1.4 Kaitan Produk dengan Temuan Perguruan Tinggi
Produk utama yang dihasilkan dalam usaha ini merupakan olahan hasil
penelitian yang telah dihasilkan oleh para peneliti, dikemas menjadi berbagai
produk yakni buku, artikel dan booklet. Dengan diolahnya berbagai hasil
penelitian menjadi buku atau berbagai bahan bacaan, maka akan memberi manfaat
bagi khalayak umum untuk memahami kebudayaan yang ada di Bali dengan
berbagai perspektif.
1.5 Dampak dan Manfaat IbIKK
Berbagai manfaat dapat dihasilkan melalui usaha Balinese Culture
Conservation Consultant yakni:
a. Pemertahanan budaya Bali, dimana ketika masyarakat Bali memahami
kebudayaannya sendiri maka kebudayaan-kebudayaan yang ada dapat
dipertahankan karena tahu fungsi dan manfaat yang ada di dalam
kebudayaan tersebut.
b. Memperkuat pariwisata Bali yang berbasiskan kebudayaan sesuai
dengan ikon pariwisata Bali yang tercermin pada Perda Nomor 3 tahun
1974 yang disempurnakan melalui Perda Nomor 3 Tahun 1991
tersebut, menetapkan bahwa pariwisata budaya sebagai jenis
kepariwisataan dengan menggunakan kebudayaan Bali, yang dijiwai
oleh agama Hindu.
9
c. Memperkenalkan substansi kebudayaan Bali kepada orang luar,
sehingga mereka lebih memahami kebudayaan Bali secara mendalam.
Dalam hal ini segala bentuk budaya yang ada di Bali dapat dipahami
sebagai sesuatu yang memiliki fungsi dan makna tertentu bagi
masyarakat Bali yang tentunya mengarah pada penciptaan kondisi
yang harmonis.
d. Mendapatkan manfaat sosial dan manfaat ekonomis. Manfaat sosial
yakni melalui pengembangan usaha ini, maka secara langsung juga
menjaga dan melestarikan kebudayaan Bali sehingga dapat diperoleh
penghargaan dari pihak Universitas, pemerintah daerah Bali,
pemerintah pusat bahkan Unesco. Manfaat ekonomis adalah
mendapatkan keuntungan dari penjualan berbagai produk yang
diciptakan. Diharapkan kedepannya usaha ini dapat berkembang
menjadi lebih baik dan lebih besar sehingga bisa menjadi pusat studi
kebudayaan Bali.
e. Melalui penciptaan produk berupa buku, deskripsi, booklet dan artikel
maka hal ini juga dapat meningkatkan kapasitas produksi Ganesha
Press yang selama ini dalam kondisi stagnan karena kekurangan
naskah. Dengan dihasilkannya naskah-naskah yang siap untuk
diterbitkan, maka secara langsung memanfaatkan keberadaan Ganesha
Press yang juga merupakan usaha percetakan Universitas Pendidikan
Ganesha.
10
BAB 2
TARGET LUARAN
2.1 Target Luaran Tahun 2014, 2015, dan 2016
Pada tahun 2014 akan diproduksi beberapa buku tentang kebudayaan di
Bali, baik tentang desa yang memiliki sejarah dan situs kebudayaan, puri-puri
yang sesungguhnya banyak puri bersejarah yang belum digali dan diperkenalkan
kepada umum, tradisi yang unik dan menarik, serta kebudayaan lainnya yang
dipandang perlu untuk dikemas dalam bentuk buku. Untuk membuat buku ini,
pada tahap pertama, tahun 2014 segala sumber informasi diperoleh dari berbagai
hasil penelitian yang telah dilegalisasi dan artikel yang telah diterbitkan.
Digunakannya sumber data sekunder, dengan alasan bahwa banyak hasil karya
atau tulisan tentang kebudayaan Bali yang belum dibuat dalam bentuk buku yang
tentunya dapat memiliki nilai ekonomis dan sekaligus memberi kesempatan
berbagai pihak untuk mendapatkan informasi tentang kebudayaan Bali, sehingga
kebudayaan Bali dapat lebih dikenal dan dipahami. Dengan demikian diharapkan
dapat timbul kecintaan terhadap kebudayaan Bali dan muncul rasa ingin menjaga
kebudayaan tersebut.
Pada tahun 2015, setelah banyak pihak yang mengetahui keberadaan usaha
ini maka diharapkan akan banyak datang konsumen dari kalangan akademisi,
pemerintah daerah dan desa yang datang ke usaha ini untuk membeli produk yang
dikembangkan oleh Balinese culture conservation consultant sesuai dengan
permintaan yang bersangkutan. Namun, produksi buku kebudayaan juga tetap
dikembangkan dan dicetak setiap tahunnya dengan asumsi bahwa bahan
pembuatan buku dalam bentuk hasil penelitian dan artikel masih sangat banyak
dan selalu ada pihak yang membutuhkan informasi tentang kebudayaan Bali.
Untuk meningkatkan penjualan, akan dilakukan promosi ke universitas –
universitas yang berpotensi untuk dijadikan sasaran, khususnya pada jurusan yang
terkait dengan kebudayaan yakni jurusan budaya, pariwisata, sosiologi dan
antropologi.
Pada tahun 2016, selain dilakukan pengembangan dan penjualan produk
berdasarkan permintaan dari konsumen dan berdasarkan hasil penelitian, juga
11
akan di buat artikel tentang kebudayaan yang dapat dierbitkan di beberapa tempat
yang memiliki standar akreditasi nasional dan internasional. Hal ini dilakukan
mengingat jurnal yang memiliki standar akreditasi baik nasional maupun
internasional juga dapat dijadikan sebagai media promosi tentang keberadaan
Balinese culture conservation consultant, sehingga makin banyak pihak yang
dapat mengetahui produk-produk yang dijual oleh Balinese culture conservation
consultant ini.
Tabel 1
Harga dan Penjualan Usaha Balinese Culture Conservation Consultant
Tahun 2014-2016 (Produk Nyata/Tangible Product)
Tahun
Harga dan Penjualan Usaha Balinese Culture Conservation Consultant Tahun
2014-2016
Spesifikasi
Produk
Kapasitas
Produk
Keterangan Harga satuan Jumlah
2014
Buku 1 buah 1000 eks Rp. 75.000,- Rp. 75.000.000,-
Deskripsi 6 buah @ 2 paket Rp. 5.000.000,- Rp. 60.000.000,-
Booklet 5 buah @ 200 eks Rp. 5.000,- Rp. 5.000.000,-
Artikel 2 buah @ 4 eks Rp. 1.000.000,- Rp. 8.000.000,-
2015
Buku 2 buah 500 eks Rp. 75.000,- Rp. 75.000.000,-
Deskripsi 10 buah @ 2 paket Rp. 5.000.000,- Rp. 100.000.000,-
Booklet 5 buah @ 200 eks Rp. 5.000,- Rp. 5.000.000,-
Artikel 2 buah @ 4 eks Rp. 1.000.000,- Rp. 8.000.000,-
2016
Buku 3 buah 500 eks Rp. 75.000,- Rp. 112.500.000,-
Deskripsi 15 buah @ 2 paket Rp. 5.000.000,- Rp. 150.000.000,-
Booklet 5 buah @ 200 eks Rp. 5.000,- Rp. 5.000.000,-
Artikel 2 buah @ 4 eks Rp. 1.000.000,- Rp. 8.000.000,-
Tabel 2
Harga dan Penjualan Usaha Balinese Culture Conservation Consultant
Tahun 2014-2016 (Produk Jasa/Intangible Product) Tahun Rencana spesifik Produk dan Kapasitas Produksi
Spesifikasi
Produk
Kapasitas
Produk
Keterangan Jumlah
2014
Konsultasi
penelitian dan
penulisan
kebudayaan Bali
5 paket (4 kali
pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/
pertemuan
Rp. 6.000.000,-
Konsultasi tentang perluasan
dan pemahaman
kebudayaan Bali
dari berbagai aspek
5 paket (4 kali pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/ pertemuan
Rp. 6.000.000,-
Konsultasi
kunjungan lokasi
kebudayaan Bali yang insitu
5 paket (4 kali
pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/
pertemuan
Rp. 6.000.000,-
Konsultasi nara
sumber tentang
5 paket (4 kali
pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/
pertemuan
Rp. 6.000.000,-
12
kebudayaan Bali
yang bersifat spesifik
2015
Konsultasi
penelitian dan
penulisan
kebudayaan Bali
5 paket (4 kali
pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/
pertemuan
Rp. 6.000.000,-
Konsultasi tentang perluasan
dan pemahaman
kebudayaan Bali
dari berbagai aspek
5 paket (4 kali pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/ pertemuan
Rp. 6.000.000,-
Konsultasi
kunjungan lokasi
kebudayaan Bali
yang insitu
5 paket (4 kali
pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/
pertemuan
Rp. 6.000.000,-
Konsultasi nara sumber tentang
kebudayaan Bali
yang bersifat
spesifik
5 paket (4 kali pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/ pertemuan
Rp. 6.000.000,-
2016
Konsultasi penelitian dan
penulisan
kebudayaan Bali
5 paket (4 kali pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/ pertemuan
Rp. 6.000.000,-
Konsultasi
tentang perluasan dan pemahaman
kebudayaan Bali
dari berbagai
aspek
5 paket (4 kali
pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/
pertemuan
Rp. 6.000.000,-
Konsultasi kunjungan lokasi
kebudayaan Bali
yang insitu
5 paket (4 kali pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/ pertemuan
Rp. 6.000.000,-
Konsultasi nara
sumber tentang kebudayaan Bali
yang bersifat
spesifik
5 paket (4 kali
pertemuan/paket)
@ Rp.300.000/
pertemuan
Rp. 6.000.000,-
13
BAB 3
METODE PELAKSANAAN
3.1 Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan produk pada usaha
IbIKK Balinese Culture Conservation Consultant adalah 1) hasil penelitian pada
dosen di lingkungan Universitas Pendidikan Ganesha; 2) lontar-lontar tentang
kebudayaan Bali yang terdapat di Gedong Kertya; 3) pusat dokumentasi
kebudayaan Bali di Denpasar; 4) perpustakaan Fakultas Sastra Universitas
Udayana Denpasar yang menyediakan naskah-naskah kebudayaan Bali berupa
lontar; 5) kebudayaan-kebudayaan Bali yang ada disekitar masyarakat berupa
artefak, pura dan tradisi-tradisi yang unik baik yang masih hidup maupun yang
sudah mati. Tradisi –tradisi yang sudah mati perlu untuk direvivalisasi dan
revitalisasi.
Tabel 3
Bahan Baku, Suplai, Mutu, dan Alternatif Sumber Usaha Balinese
Culture Conservation Consultant Bahan Baku Suplai Mutu Alternatif Sumber
Hasil Penelitian Undiksha Bagus Universitas lain yang memiliki tema terkait
dengan kebudayaan
Lontar Gedong Kertya Bagus Pusat dokumentasi kebudayaan Bali,
perpustakaan Fakultas
Sastra Unud dan kepemilikan pribadi
yang tersimpan di
Geriya, Puri, Dukun dan Kolektor
kebudayaan Bali
Tradisi-tradisi insitu (tradisi yang
berhubungan dengan
ritual daur hidup, tradisi tentang daur pertanian,
tradisi tentang pelestarian lingkungan,
dll)
Seluruh daerah di Bali Bagus
Artefak (Pura, Bangunan-bangunan
kuno, candi, arca,
lukisan-lukisan tua)
Seluruh daerah di Bali, Museum yang di Bali
Bagus
Buku-buku tua, Gedong Kertya Kurang Pusat dokumentasi
14
majalah/koran yang berasal dari penjajahan
jaman kolonial Belanda
terawat kebudayaan Bali
3.2 Produksi
Produk yang dihasilkan pada usaha IbIKK Balinese Culture Conservation
Consultant ini ada dua yakni berupa produk barang (tangible product) dan produk
jasa (intangible product) yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
Tabel 4
Rencana Produk dan Kapasitas Produksi
Tahun Rencana spesifik Produk dan Kapasitas Produksi
Spesifikasi Produk Kapasitas Produk Keterangan
2014
Buku 1 buah 500 eksemplar
Deskripsi 6 buah @ 2 paket
Booklet 5 buah @ 100 eksemplar
Artikel 2 buah @ 4 eksemplar
2015
Buku 2 buah 500 eksemplar
Deskripsi 10 buah @ 2 paket
Booklet 5 buah @ 100 eksemplar
Artikel 2 buah @ 4 eksemplar
2016
Buku 3 buah 500 eksemplar
Deskripsi 15 buah @ 2 paket
Booklet 5 buah @ 100 eksemplar
Artikel 2 buah @ 4 eksemplar
Untuk produk jasa berupa konsultasi tentang kebudayaan yang dilakukan
di tempat usaha IbIKK Balinese Culture Conservation Consultant dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 5
Rencana spesifik Produk dan Kapasitas Produksi
Tahun Rencana spesifik Produk dan Kapasitas Produksi
Spesifikasi Produk Kapasitas
Produk
Keterangan
2014
Konsultasi penelitian dan penulisan
kebudayaan Bali
5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
Konsultasi tentang
perluasan dan
pemahaman kebudayaan Bali dari
berbagai aspek
5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
Konsultasi kunjungan
lokasi kebudayaan
Bali yang insitu
5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
Konsultasi nara 5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
15
sumber tentang
kebudayaan Bali yang bersifat spesifik
2015
Konsultasi penelitian
dan penulisan
kebudayaan Bali
5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
Konsultasi tentang
perluasan dan pemahaman
kebudayaan Bali dari
berbagai aspek
5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
Konsultasi kunjungan
lokasi kebudayaan Bali yang insitu
5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
Konsultasi nara
sumber tentang
kebudayaan Bali
yang bersifat spesifik
5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
2016
Konsultasi penelitian dan penulisan
kebudayaan Bali
5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
Konsultasi tentang
perluasan dan
pemahaman kebudayaan Bali dari
berbagai aspek
5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
Konsultasi kunjungan
lokasi kebudayaan
Bali yang insitu
5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
Konsultasi nara sumber tentang
kebudayaan Bali
yang bersifat spesifik
5 paket @ Rp.300.000/ pertemuan
3.3 Proses
Proses produksi akan dilakukan di dalam universitas dengan berlokasi di
Fakultas Ilmu Sosial. Hal ini dilakukan mengingat fakultas ini mengembangkan
ilmu sosial dan humaniora baik dalam konteks ilmu pendidikan maupun ilmu
murni yang non pendidikan.
Produksi dilakukan dengan dua cara yakni memproduksi produk dengan
menerima pesanan dari konsumen sebelumnya dan memproduksi produk
berdasarkan trend pasar yang berkembang. Trend pasar dapat dilihat dengan
memahami trend pasar yang stabil, dimana kebutuhan produk tersebut dapat
dipastikan selalu diperlukan oleh konsumen misalnya buku tentang filsafat dan
agama Hindu. Di lain sisi juga ada pasar-pasar yang isidental yang perlu diolah
dan dikemas menjadi sebuah produk, misalnya mengolah dan menciptakan buku
tentang suatu tradisi yang ada di masyarakat seperti ritual ngerarung bikul, ritual
16
wana kertih, ritual danu kertih, ritual ngusaba. Buku tentang tradisi ini perlu
diciptakan tanpa harus menunggu pesanan dari konsumen, mengingat kebutuhan
sumber bacaan yang berkaitan dengan tradisi cukup stabil di pasaran.
Proses produksi melalui pesanan diprediksi akan diterima pada saat: 1)
keperluan untuk penelitian, 2) lomba desa pekraman, 3) kegiatan mencari silsilah
keluarga, 4) konsumen yang memiliki sebuah tradisi yang memerlukan sebuah
penjelasan secara akademik, 5) penerapan program pemmbangunan yang berbasis
budaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Konsumen dapat melakukan
pemesanan dengan cara datang langsung ke kantor atau memesan melalui media
elektronik untuk selanjutnya didistribusikan kepada bagian yang menangani.
Produk dihasilkan dengan cara langsung yakni membeli produk langsung apabila
sudah tersedia atau melakukan konsultasi untuk mendapatkan produk yang sesuai
dengan kebutuhan konsumen.
Bagan 1 Proses Produksi
Promosi
Konsumen menelpon
Atau datang langsung
Mengumpulkan Bahan/
Mencari Narasumber
Melayani Konsumenatau memproduksi produk
17
3.4 Manajemen
Manajemen yang diterapkan dalam usaha ini terdiri dari empat tahapan
yakni pembuatan perencanaan pengembangan dan penciptaan produk,
pembentukan tim pengembang produk, pembuatan produk, dan melakukan sistem
pengawasan terhadap produk yang dihasilkan.
1) Production Planning
Perencanaan pengembangan dan pembuatan produk merupakan tahap
pertama yang harus dilakukan, agar produk yang dihasilkan sesuai dengan
kebutuhan pasar/ konsumen. Pada tahap perencanaan ini, dilakukan
pembagian tugas kerja sesuai dengan bidang keahlian, merencanakan
teknik promosi dan mempelajari kebutuhan konsumen sehingga dapat
diketahui produk apa saja yang bisa dibuat tanpa harus menunggu pesanan
melainkan dengan melihat keperluan konsumen terhadap buku-buku
kebudayaan Bali khususnya yang terkait dengan ritual keagamaan.
2) Accounting
Sistem akuntansi yang dilakukan adalah melakukan pencatatan segala
bentuk pengeluaran dan pendapatan, kemudian dilaporkan secara periodik
kepada LPM dan Pembantu Rektor II serta Dikti sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Dalam pelaksanaannya transparansi pelaporan keuangan
dilakukan secara trebuka dan jujur kepada pihak yang berwenang untuk
mengetahuinya. Adapun hal-hal yang dilaporkan adalah penerimaan
pesanan dari pelanggan, inventarisasi peralatan dan perlengkapan,
pencatatan penjualan, pengeluaran kas.
3) Bookeeping
Buku besar digunakan untuk mencatat perubahan yang terjadi pada
perkiraan –perkiraan tertentu yang dipengaruhi oleh adanya transaksi
keuangan yang terjadi pada IbIKK Balinese Culture Conservation
Consultant.
4) Auditing
Sistem audit yang dilaksanakan pada usaha ini adalah audit internal dan
eksternal untuk memastikan bahwa penggunaan dana dilakukan dengan
benar sesuai dengan perencanaan yang dibuat. Pencatatan transaksi
18
dilakukan setiap hari, sedangkan pelaporan keuangan kepada pihak-pihak
yang terkait yakni Dikti Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat dan
Pembantu Rektor II.
5) Pajak
6) Pola Manajemen
Pola manajemen yang digunakan dalam usaha ini untuk mencapai tujuan
adalah:
a) Perencanaan: sebagai proses dasar manajemen. Pada tahap ini dilakukan
berbagai perencanaan yang menyangkut pembagian tugas kerja,
penggunaan dana, pengembangan dan penciptaan produk, sistem
pemasaran, sistem penjualan, sistem keuangan, sistem audit dan sistem
pelaporan hasil kerja.
b) Pengorganisasian dan pembuatan struktur organisasi: melakukan
pembagian tugas kerja berdasarkan bidang keahlian. Selain itu melakukan
perekrutan tenaga yang diperlukan untuk membantu operasional usaha.
c) Pengarahan dan Pengawasan: difungsikan untuk menjaga agar kepentingan
yang ada tidak saling berbenturan. Pengarahan dapat dilakukan oleh
pimpinan usaha (ketua pelaksana), pimpinan lembaga pengabdian kepada
masyarakat Undiksha, pimpinan Undiksha dalam hal ini Pembantu Rektor
Undiksha dan tim dari Dikti.
7) Inventori.
Sistem inventarisasi barang dilakukan agar segala inventaris usaha yang
dimiliki tercatat dengan baik, yakni harga beli barang, jenis barang, jumlah
barang, tempat membeli barang, kualitas barang, kegunaan barang, dan
umur ekonomis barang. Dengan mencatat semuanya secara detail dan baik,
maka diharapkan barang-barang yang dimiliki dapat digunakan dengan
baik, tahu cara perawatannya dan nilai suatu barang pada periode tertentu.
3.5 Pemasaran
Sistem pemasaran yang digunakan dalam usaha IbIKK Balinese Culture
Conservation Consultant adalah melalui penjualan langsung, sistem kerjasama,
brosur, leaflet, dan online melalui web www.ibikkbcccundiksha.com
Research & Learning in Sociology and Anthropology http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas
Deconstructing Gender Stereotypes in Leak
Nengah Bawa Atmadja1
, Luh Putu Sendratari2, I Wayan Rai
3
1,2
Sociology Education Major, Faculty of Social Science, Undiksha, Indonesia 3Sport, Health, and Recreation Education Major, Faculty of Sport and Health, Undiksha, Indonesia
Received : January 2015; Accepted: February 2015; Published: March 2015
Abstract The belief of Balinese people towards leak still survive. Leak is a magic based on durgaism that can transform a person from human to another form, such as apes, pigs, etc. People tend to regard leak as evil. In general, the evilness is constructed in gender stereotypes, so it is identified that leak are always women. This idea is a power game based on the ideology of patriarchy that provides legitimacy for men to dominate women with a plea for social harmony. As a result, women are marginalized in the Balinese society. Women should be aware of so it would provide encouragement for them to make emancipatory changes dialogically. Abstrak Kepercayaan orang Bali terhadap leak tetap bertahan sampai saat ini. Leak adalah sihir yang berbasiskan durgaisme yang dapat mengakibatkan seseorang bisa merubah bentuk dari manusia ke wujud yang lain, misalnya kera, babi, dll. Leak termasuk magi hitam sehingga dinilai bersifat jelek. Pada umumnya perempuan diidentikkan dengan leak sehingga melahirkan asumsi yang bermuatan steriotip gender bahwa leak = perempuan. Gagasan ini merupakan permainan kekuasaan berbasis ideologi patriarkhi dan sekaligus memberikan legitimasi bagi laki-laki untuk menguasai perempuan dengan dalih demi keharmonisan sosial. Akibatnya, perempuan menjadi termarginalisasi pada masyarakat Bali. Perempuan harus menyadarinya sehingga memberikan dorongan bagi mereka untuk melakukan perubahan secara dialogis emansipatoris. Keywords: black magic; patriarchal ideology; woman marginalization; emancipatory movement. How to Cite: Atmadja, N.B., Sendratari, L.P., Rai. I.W. 2015. Deconstructing Gender Stereotypes in
72 Nengah Bawa Atmadja, et al,Deconstructing Gender Stereotypes in LeakStereotype of Leak
INTRODUCTION The belief of Balinese people towards leak
still survives in their society until these days.
Leak is a magic practice which can result ina
person to be able to transform into other
form like rangda, celuluk, dogs, pigs, apes,
bicycle, cars, airplanes, carts, etc (Pekandel
and Yendra, 2013: 61-64; Kardji, 1993: 53-68).
This phenomenon is really interesting so
there are many people who study it. For
example, Pekandelan and Yendra (2010, 2012,
2013), Putra and Putra (2013), Subagia (2011),
Segara (2000), Kardji (1993), Atmaja (1993),
Pulasari (2013), Sumawa (2013),Yuddhianta-ra
(2008), etc. There are also literary works with
leak themes such as Ki Balian Batur (Supatra, 2012), Ki Gede Basur (Supatra,
2006), Calon Arang (Suastika, 1997), and so
on. In addition, Bali is rich of lontar (tradi-
tional document on lontar leaves) especially
about leak like Lontar Aji Pengleakan, Lon-
tarAji Pangiwa, Lontar Aji Wegig, etc thatare
kept in Gedong Kirtya in Singaraja and
Balinese Cultural Documentation Center in
Denpasar. Those various studies complete
each other in order to grasp a deep and com-
prehensive picture of leak. For example, the
methods to obtain pengleakan, types of leak
based on forms and mastering levels, the
processes of being leak, the danger of leak to
human, and the methods to overcome in
religious and magical ways. Although the study about leak has
been done so many times, leak is still in-
teresting to be studied academically. The
reasons are; first, the studies of leak focus on
the religious-magical approach with the
result that critical studies are neglected. Se-
cond, the issue of leak is really complex so
there are aspects that need deeper and more
comprehensive understanding. For examp-le,
gender stereotype of image that a person
who can do ngleak is generally identified as a
woman (leak = woman). This believe emer-
ges interesting questions to be studied criti-
cally, which are “What is used to legitimate
gender stereotype that Balinese woman =
leak?”, “Does this believe contain
ideologywhich leads to women
marginalization in Balinese society?” In order to answer these questions,
critical social theory is used; especially post-
culturalist which assumes that man and
woman relationship in a society is divided
into classes because there are imbalances of
authority in capital-economy, social, cul-
tural, symbolic, financial, and body which are
legitimated by ideology with the result that
their relationships have power dimen-sion
(Brooks, 2005: 69-137; Eagleton, 2007: 183-
219). The ideology which legitimates that
practice is patriarchy or phallusentrism. This
ideology isn’t visible because it is inside
human mind. In fact, it can also work sub-
consciously (Takwin, 2003: 96-101). Autho-
rity is not only represented in the form of
someone’s ability in determining a person’s
action by physical pressure, but also by lan-
guage which has ideology nature in which
language is the place where ideology resi-des
(Baryadi, 2012: 20). The relationship of
authority can be in the form of hegemony or
domination which is indicated by the use of
violence—physical, psychological, cultural,
or symbolic which leads to marginalization
of lower class by upper class or man to wo-
man (Lubis, 2014a: 157-199; Bourdieu, 2010; Barker, 2004: 61-64).
Based on this paradigm, it is hoped
that the issue can be answered deconstructi-
vely. The objective of this study is not only to
get the critical theoretical answer, but also to
grow critical awareness especially to wo-men
so that their position as lower class and the
image as leak can be minimized through
dialog and emancipatory approach. There-
fore, the relationship between man and wo-
man can be equal in a rwa bhineda manner. METHODS This research employed critical social theo-ry
approach so the objective was not only to
find the meaning of a visible social reality,
but also ideology or power act behind wo-
man image as leak. The references were text
books and literary works with leak theme like
Ki Gede Basur antara Asmara dan IlmuHitam
(Suparta, 2006) and Ki Balian Batur antara
Leak dan Titah Betari Danu (Suparta,2012);
and lontar, like Lontar Aji Pengleakan,Lontar
Aji Pangiwa, and Lontar Aji Wegig.Besides,
interviews were also done to some UNNES JOURNALS
60
sources who understood about leak like Wa-
yan Watra (Lecturer of Universitas Hindu
Indonesia). He also gave some reading sour-
ces to enrich the understanding about leak. The data from these sources were ana-
lyzed qualitatively by mean of deconstruc-
tion method (Noerhadi, 2013: 232’ Faruk,
2012: 172-232). By this method, the chance to
uncover the hidden, contradictive, and
internal inconsistent meaning in a text can
be optimal (Lubis, 2014: 2-26) either related
to denotative or connotative meaning (Bart-
hes, 2007: 82-89) in the context of Balinese
woman image as leak. The answers to those questions fo-
cused more to the aspect of niskala so the
validity, of course, could be debated in em-
pirically rational way. However, in post-mo-
dernism paradigm perspective, this idea can
be accepted academically. It is because in
studying a reality, post-modernism not only
stresses on deconstructionism, but also re-
cognizes the existence of pluralism and rela-
tivism of truth. Thus, tolerance in any form
of truth, including the truth from small nar-
ration is open as the way it is (Lubis, 2014: 2-
26). RESULTS AND DISCUSSION Balinese people’s believe about leak is clo-sely related to Hindu belief, that is tantrism (Surasmi, 2007: 41-57; Santiko, 1987: 218-219: Redig, 2007). That believe can be found in the mythology as follow; Dewi Uma who was cursed to become Durga Kardji (1993a: 13-32) and Segara (2000: 12-16)
show that the mythology of leak can be
found in the transformation story of Dewi
Uma to become Durga. This condition
started from the intention of Dewa Siwa to
test the loyalty of his wife, Dewi Uma. Dewa
Siwa pretended to be sick and needed the
one and only cure that was Cow’s milk. Siwa
asked Dewi Uma to descent to the mortal
world to get the milk. In her search, Dewi
Uma met a cow with its shepherd. Dewi Uma
asked for the milk. However, the shepherd
insisted that he could give it with the condi-
tion that Dewi Uma was willing to do sexual
Jurnal Komunitas 7 (1) (2015): 71-78 73 intercourse. Dewi Uma agreed to do it for her husband’s recovery.
When Dewi Uma gave the milk to Siwa, Siwa asked her how she got the milk. Dewi Uma claimed that the milk was ob-tained by asking to a shepherd freely. Dewa Siwa was furious since he knew that the way Dewi Uma obtained the milk was by doing sexual intercourse with the shepherd. Siwa knew it because he was the one who trans-formed (mesiluman) into the shepherd to test his wife’s loyalty.
When the fact was revealed, Dewa
Siwa cursed Dewi Uma to become Dewi
Durga and made her live in Gandamayu
graveyard. Dewi Durga protested by using
pengiwe. As the result, human being
wasattacked by plague. Siwa, Wisnu, and
Brah-ma tried to solve the problem by the
embo-diment of bang, telek, and barong
masks. This teamwork successfully
neutralized the plague made by Dewi Durga
(Segara, 2000). The embodiment of Siwa in
the form of ba-rong was positioned as the
opponent and atthe same time neutralized
the negative as-pect of Durga’s supernatural
power. Tanting Mas as the disciple of Dewi Durga The other mythology is the story of King Pa-
delengan. Unce upon a time, the king had a
twin son and daughter in the form of pi-glets
(kucit). To eliminate the shame, both of
them meditated in different places, which
were in Pura Dalem for the male kucit, and a
graveyard for the female kucit. Dewi Dur-ga
gave her pengiwe as her blessing to the
female kucit and she transformed herself into
a beautiful young girl named Tanting Mas.
On the contrary, the male kucit which
meditated in Pura Dalem received blessing
from Dewa Siwa in the form of panengen and
then he transformed into a man named
Tanting Rat. Both of them served in Dirah king-
dom. Tanting Rat was promoted to become
palace priest because he mastered ajipenen-
gen. Then he changed his name into
MpuParadah (Sri Mpu Baradah). While
Tanting Mas, because of her beauty, became
the con-sort of King Dirah. This marriage
61
resulted UNNES JOURNALS
62
74 Nengah Bawa Atmadja, et al,Deconstructing Gender Stereotypes in LeakStereotype of Leak = in the birth of a beautiful princess, Ratna Manggali. However, because King Dirah didn’t respect Tanting Mas and her daugh-ter, Tanting Mas was furious and then killed her husband by using ajipengliakan. Tanting Mas became a widow and appointed herself as the Queen with Walunateng Dirah as her title.
Although Ratna Manggali was very
pretty, there was no man willing to marry her
because they were afraid of her mother’s
pengliakan. Walunateng Dirah was very
sadbecause she was worried that her
daughter would be an old virgin. Walunateng
Dirah wanted to marry her daughter to
Erlangga, king of Kediri. Erlangga refused it
becau-se he was afraid to be leaked, which
made Walunateng Dirah really angry. She
released her anger by using pengleakan that
caused plague. Kediri kingdom was saved
because of Mpu Paradah. Walunateng Dirah
was kil-led while her daughter, Ratna
Manggali, and her men were pardoned and
were educated so they could walk on the
good path of life (Subagia, 2014; Kardji, 1993:
20). Leak as the representation of Durgaism Both mythologies present the image that Dewi Uma, Siwa’s Sakti after being cursed to transform into Durga and then lived in graveyard. Balinese people describe Durga as Rangda—having demonic facial feature like in Figure 1.
The description of Rangda like in pic-ture 1 has religious-magical meanings as fol-low: 1. A tongue as long as the stomach repre-
sents a continuous hunger and always wants to kill and eat her prey.
2. A flaming tongue means the symbol of
merciless magical burning. The oppo-
nents will definitely be burned magical-ly
which results in illness or even death.
3. Bulging and glaring eyes are the symbol of fury, cruelty, ruthlessness, selfishness, and believe that no one is able to surpass her ability.
4. Long fangs are the symbol of wild ani-malistic nature which is full of cruelty.
5. The flames above the head are the sym-bol of unrivalled supernatural power
lights (Ginarsa in Segara, 2000: 39).
Figure 1. Two models ofRangdaas manifes-
tation of Dewi Durga (Source: https://imag- es.search.yahoo.com/images/ downloaded on12 June 2014).
Dewi Durga in the form of Rangda is
worshiped in Pura Dalem—usually located
near graveyard. For that reason, it is not
surprising if Pura Dalem commonly decora-
ted with Rangda statue and/or keeping pra-
tima in the form of rangda as the symbol
ofworshiping for Dewi Durga. Pura Dalem as
a place for worshiping Dewi Durga is
believed as the center of ajipengeliakan.
63
UNNES JOURNALS
64
When the mythology and the charac-teristics of rangda are deconstructed, there is an ideology behind them, which is dur-gaism (Atmaja, 1993) or rangdaism. The ide-ology contains some ideas as follow: 1. Durgaism can result in woman’s beauti-
ful physical form to transform (masilu-
man) into mythical demon or others
likepigs, apes, dogs, etc. The transforma-
tion is also related to the character. For
example, from the character of a kind
and gentle woman into mythical demon
woman character which are hot-head-ed,
killer, selfish, cruel, vicious, savage,
ghostlike, fearful, etc. 2. This transformation is based on the
magical ability included in durgaism, which is pengleakan.
3. Durgaism which includes pengleakan is pengiwe, a dark art or black magic because it has potential to harm other people.
4. Durgaism as pengleakan can be ob-tained by worshiping Dewi Durga who is positioned as the queen of leak.
5. Pengleakan can be inherited or taught toother people by sisya for example.
6. Pengleakan as pengiwe is a magical tech-
nology for a woman to oppose man’s
hegemony and/or domination in life in
the society. The opposition can be in the
form of subduing a man by using witch-
craft or by using pengleakan destruc-
tively. For example, the widespread of
plague which results in massive death. 7. Pengleakan can be defeated by penen-
gen, a pure magic or white magic. Penen-
gen is the supernatural power of a man.
8. Penengen is not only able to defeat pengiwa, but also related to mercy tolead human being to leave the left path (kiwa, adharma, bad deeds), and direct them to the right path (tengen, dharma, good deeds).
If we pay attention to the idea above,
it will ensure Fiske’s opinion (2012: 207-216)– structuralism approach appears explicitly and implicitly that there is cognition struc-ture which binary oppose rwa bhineada, they are:
Jurnal Komunitas 7 (1) (2015): 71-78 75
Dewa : Dewi Purusa : Pradana
Purus (phallus) : Baga (vagina) Man : Woman
Siwa : Uma/Durga Barong: Rangda
Tanting Rat : Tanting Mas Paradah : Walunateng Dirah
Penengen : Pengiwe
Ilmu kanan : Ilmu kiri Pure Art : Dark Art
White Magic : Black Magic Leak Sari : Leak pemaron
2007: 43; Pekandelan and Yendra, 2010: 8). Purusism Behind The Image of Woman= Leak The ideal idea that man and woman or dewa
and dewi are complementary is not in line
with its social text. It is related to the exis-
tence of fact that binary opposition between
man and woman which is being related to
various forms of other binary oppositions,
that are penengen and penggiwe and so on
will lead to good–bad, right–wrong, or
maintain–destruct judgment. Thus, the re-
lationship between man and woman chan-
ges to become not neutral. Man as the sym-
bol of penengen is associated with good and
right which in result has potential to keep
the harmony. In the contrary, woman as the
symbol of pengiwe is associated with bad UNNES JOURNALS
65
76 Nengah Bawa Atmadja, et al,Deconstructing Gender Stereotypes in LeakStereotype of Leak = and wrong which in result has potential to destroy the harmony.
The emergence of this idea is related to
the act of dominant ideology in Balinese
society, which is patriarchal ideology (At-
madja, 2010). This ideology has a very strong
effect to Balinese society. It is proven in the
fact that “….even God is managed in such
manner to legitimate the authority of pu-
rusa” (Atmaja, 1993: 38). Patriarchal ideolo-
gy is focused to male, considering that the
word purusa which means man is changed
into purus which means male genital (phal-
lus = purus). Thus, patriarchal ideology in
the context of Balinese society can be called
purus or purusism ideology. Purusism not only puts purus as
thesymbol to differentiate man and woman, but also puts purus as the symbol of man-liness or manhood to subdue woman as the opponent—stereotyped as a weak being (Endraswara, 2011: 241-244). Man’s virility is symbolized by erected or stand tall purus. Balinese call unerected purus as purus layu. Purus layu makes it not possible for a manto do sexual intercourse. Hence, erected pu-rus is not only as a symbol to manhood, butalso as a media to proof that he is a man that is able to subdue a woman (Umar, 2014: 78-79).
In connection with that, it is interes-
ting to mention that Balinese language calls
purus as celak. The word celak itself is
alsorecognized in Javanese language which
me-ans close or dekat. The use of the word
celak (close) for purus denotatively makes
sense because the erected purus has function
to bring something close, attach, or even
unite man and woman when they are doing
sexu-al intercourse. The equation of purus
with celak is not only means libidinal
closeness,but also closeness in the context of
authority using purus as the asset. By referring to Hayong (2013: xvi-xvii)
that “…. human being with his sexual nature
which is revealed in mind and manner de-
termines his existence”. It is not enough with
just in the form of doing celak to woman in
private space, but it is also necessary in the
public space. This effort needs ideology le-
gitimacy, which is purusism ideology (ce-
lakism) which is related to penengen whichmeans good and right. In the contrary, wo-man which is pictured to have pengiwe is a quality of bad and wrong. This idea legiti-mates man’s authority over woman, with the pretext if man doesn’t have control over wo-man, then woman will easily do cruelty and harm by using durgaism.
The general belief that leak is gene-
rally female makes Balinese women in the
position of “problematic and ambiguous”
(Faruk, 2012: 200). This means, woman in
Bali can be positioned as subject and object.
When she is positioned as subject, there is
consequence. That is woman is easily trap-
ped in durgaism which results in having bad
natures that have potential to destroy
human’s life by using pengliakan. When she
is positioned as object, woman, which is pic-
tured as durgaism, makes implication that
woman is positioned under the authority of
man. If woman is not controlled, the life’s
harmony will be disturbed. The strength of
purusism ideology influence makes Bali-nese
woman to be positioned as object rat-her
than subject. In connection with that, woman’s positioning as leak essentially in-
dicates that man makes woman as an object
with the pretext to create harmony for hu-
man being. Man’s action, making woman as an
object easily creates abuse. By referring to
Baryadi (2012: 35) abuse is not only in the
form of physical abuse, but also symbolic
verbal abuse—using language or words, and
symbolic nonverbal—using pictures, films,
performance, etc. The labeling that woman
can ngleak is basically a symbolic verbal
abuse. In the contrary, the description that
woman who can ngleak has the form of apes,
rangga, celuluk, and so on is a symbolic non-
verbal abuse. Both verbal abuses are probab-
ly taking place simultaneously. Verbal abuse
can become psychological physical abuse like
seclusion in society to woman who is
believed can do ngleak. Pengleakan As A Weapon For OppressedWoman Even pengleakan is opposed because of its destructive nature, pengleakan still must
66
UNNES JOURNALS
67
exist according to rwa bhineda—penengen is
meaningless without pengiwe . Even pen-giwe
is useful for woman. That is as a toolto
oppose oppression which is done by man
(her husband). Kardji (1993: 20-21) exp-lained
that there are some ajian to subdue man,
they are pengasren, pengerger, penga-sih-
asih, penangkeb, and pengleakan. Theseare
the sequence of actions that start from magic
which results in making man seeing woman
to look beautiful, then make him interested,
then falling in love, continues to woman
subduing the husband. When eve-rything
has been done well, murder will be done to
offer the spirit to Dewi Durga in the grave—
called aji wegid or pengleakan (Kar-di, 1993:
20-21). The option of the action is understan-
dable since the fact that oppressed woman
either structurally or culturally must be gi-
ven a tool to release herself. The tool is not
in the form of physical object. It is because
woman is not possible to use physical abu-se
to man. It is not only because physically man
generally stronger that woman—man’s body
is strong, but also, no less importantly,
because the application of purusism results
in cultural barrier for woman to oppose man
(her husband)—husband is superior and
must be obeyed. Not to mention the existen-
ce of Tri Hita Karana ideology that is applied
in Balinese society which compel human to
develop harmonious relationship to each ot-
her—that includes woman must be harmo-
nious with man. If the woman neglects it or
in the contrary—man is obedient to woman,
society will condemn her by gossiping that
the wife is accused to be able to do ngleak.
Thus, Balinese women are in a dilemmatic
position. That is if they do not oppose, it will
be difficult for them to get out of either cul-
tural or structural abuse. In the contrary, if
they oppose, disgrace or even physical abuse
can be easily befall them. In order to overcome this cultural di-
lemma, Balinese culture gives the way out.
That is providing pengiwe including penge-
liakan for woman. Pengiwe is a magical reli-
gious technology that is very important for
woman to overcome abuse that they are ex-
perienced. It is because, however, the avai-
Jurnal Komunitas 7 (1) (2015): 71-78 77 lability of pengiwe gives space for woman to
subdue or even eliminate a man quietly using
ajian pengleakan. By using penglea-kan, the
woman’s purpose to avenge theabuse is
accomplished well without causing disrupt to
the harmony of social system. Re-garding to
that, it is no wonder that Atmaja (1993: 43)
showed that it is acceptable for a woman to
use pengiwe including penglea-kan as long as
it is a reasonable option afterthe one
concerned received extreme politi-cal and
cultural pressures. Moreover, the use of pengiwe, in the
point of view of human nature which has
anger, becomes make sense the way it is. By
referring to Haryatmoko (2014: 59), anger is a
hidden power that operates in human being.
A person who is angry can do anyt-hing
unreasonably—anything to channel the
anger. In this context, Balinese woman may
become unreasonable in the context to
release herself from anger or structural and
cultural abuse which is done by man. The
application of this practice is by using peng-
leakan with hope that the objective is fulfil-
led. However, the risk is still exist because
the law of karma phala is still applied so that
the chance for the woman to get the retalia-
tion of her negative deeds for the thing that
she has done is exist—the hell’s door is open
the way it is. CONCLUSION Balinese people’s believe that leak is identi-
cal with woman is legitimated by mythology
that closely related to Hindu. It is also st-
rengthened by traditional stage performan-
ce like Calon Arang. Thereby, Balinese peop-
le see the mythology as something that is
true so they accept it as cultural text, either
cognitively or social practical in the society. That belief is closely related to
rwabhineda which regards man as upper
classgroups who has right to have control
over woman who is lower class. The idea is
also related to purusaism ideology as
dominant ideology in Balinese society. Man
rules over woman not only because woman is
in lower class, but also because woman has
poten-tial to disrupt harmony as the result of
the existence of durgaism. However, woman UNNES JOURNALS
68
78 Nengah Bawa Atmadja, et al,Deconstructing Gender Stereotypes in LeakStereotype of Leak = may use durgaism as a tool to release her-self from oppression, either cultural or so-cial, which is done by man. Durgaism in the form of pengliakan existentially is the tool for losers—woman- to oppose the person who has defeated her - who is man. REFERENCES Atmaja, J. 1993. Peran Wanita Sandiwara di Bali.
Dalam Jiwa Atmadja ed. Kiwa – Tengen dalamBudaya Bali. Denpasar: CV Kayu Mas.
Atmadja, N.B. 2014. Saraswati dan Ganesha sebagaiSimbol Paradigma Interpretativisme dan Posi-tivisme Visi Integral Mewujudkan Iptek dari Pembawa Musibah Menjadi Berkah bagi Umat Manusia. Singaraja: IbIIK Undiksha.
Barker, C. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. Terjemahan Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wa-cana.