1 Laporan Tahunan 2003 Balai Penelitian Pascapanen Pertanian
1
Laporan Tahunan 2003 Balai Penelitian Pascapanen Pertanian
2
I. PENDAHULUAN
Strategi pembangunan pertanian selama ini lebih banyak diarahkan pada usaha
meningkatkan produksi pertanian. Peningkatan produktivitas belum menjamin terjadinya
peningkatan kesejahteraan petani, karena selama ini petani hanya mampu menjual hasil
panennya dalam bentuk bahan mentah. Pemasaran hasil dalam bentuk bahan mentah,
memiliki beberapa kelemahan diantaranya: nilai tambah rendah, mudah rusak, daya simpan
terbatas, dan konsistensi mutu sulit dijamin. Selain itu, penanganan hasil panen juga masih
lemah dengan tingginya tingkat kehilangan hasil panen. Data dari Ditjen BP2HP (2003)
menunjukkan tingkat kehilangan hasil panen padi selama tahun 1997-2002 masih tinggi yaitu
rata-rata mencapai 24,61% per tahun (Ditjen BP2HP).
Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan sistem pertanian
secara keseluruhan, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah hingga pemasaran
produk akhir. Peran kegiatan pascapanen menjadi sangat penting, karena merupakan salah
satu sub-sistem agribisnis yang mempunyai peluang besar dalam upaya meningkatkan nilai
tambah produk agribisnis. Sebagai gambaran, nilai PDB yang dihasilkan industri pengolahan
berbahan baku komoditas primer perkebunan adalah sebesar Rp. 1.666,6 triliun atau lebih
dari empat kali lipat nilai Product Domestic Bruto (PDB) komoditas primer perkebunan yang
besarnya Rp. 37,6 triliun (Saragih, 2000). Dibanding dengan produk segar, produk olahan
mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar. Data BPS menunjukkan bahwa
perolehan devisa dari ekspor produk olahan pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2000
rata-rata sebesar US$ 4.638,2 juta per tahun, sementara ekspor produk segar hanya mencapai
US$ 119,2 ribu per tahun.
Walaupun Indonesia merupakan salah satu produsen utama produk pertanian dunia,
tetapi daya saing komoditas Indonesia di pasar internasional masih lemah. Beberapa
komoditas ekspor unggulan seperti sawit, karet, kakao, kelapa, lada dan minyak atsiri, belum
mampu menguasai pangsa pasar maupun menjadi acuan harga internasional. Hal ini terjadi,
karena selama ini hanya mengandalkan keunggulan komparatif dengan kelimpahan
sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor–driven), sehingga produk yang dihasilkan
didominasi oleh produk primer atau bersifat natural recources-based dan unskilled-labor intensive
(Saragih, 2003). Mutu produk pertanian yang tidak konsisten dan tingginya cemaran (seperti
3
aflatoxin dan bakteri salmonella, kotoran dan hama gudang) merupakan salah satu penyebab
rendahnya daya saing produk pertanian Indonesia.
Untuk kepentingan kebutuhan pasar di dalam negeri, Indonesia mengimpor cukup
besar produk maupun komponen bahan industri, bahan pangan, dan pakan yang bahan
bakunya tersedia cukup besar di Indonesia seperti pati dan produk turunan, konsentrat
pakan, parfum, aneka produk makanan, produk oleo-chemical, bahan kosmetika, dan farmasi.
Dilihat dari data impor, maka pada kurun waktu (tahun 1997-2000) rata-rata impor produk
olahan mencapai US$ 1.894,7 juta dan produk segar mencapai US$ 1.358,9 juta (BPS, 2000).
Besarnya nilai impor ini menunjukkan bahwa produksi pertanian dan industri pengolahannya
khususnya yang bahan bakunya tersedia di dalam negeri harus dipacu perkembangannya.
Pengembangan agribisnis dan agroindustri yang berdaya saing dalam menyongsong
perdagangan bebas memberi konsekuensi bahwa pengembangan agroindustri harus berbasis
pada inovasi teknologi. Pengolahan lebih lanjut dan pengembangan produk baru diharapkan
dapat meningkatkan nilai tambah produk dan memaksimalkan nilai ekonomi komoditas
pertanian, yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Dengan
memperhatikan issue dan tantangan dalam sistem dan usaha agribisnis, maka perakitan dan
pengembangan inovasi teknologi pascapanen membutuhkan pendekatan serta strategi
penelitian dan pengembangan yang lebih komprehensif.
Balai Penelitian Pascapanen Pertanian (Balitpasca) merupakan institusi baru di
lingkup Badan Litbang Pertanian. Berdirinya Balitpasca berdasarkan Kepmen No.
76/Kpts/OT.210/1/2002 tanggal 29 Januari 2002. Sebagai institusi penelitian eselon III,
tugas pokok Balitpasca melaksanakan kegiatan penelitian bidang pascapanen pertanian.
Berdasarkan Kepmen No. 632/Kpts/OT.140/12/2003 tanggal 30 Desember 2003,
Balitpasca ditingkatkan statusnya menjadi unit eselon IIB dengan nama Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB-Pascapanen). BB-Pascapanen mempunyai
tugas tidak hanya melaksanakan penelitian teknologi pascapanen termasuk juga
pengembangan dari teknologi pascapanen yang dihasilkan.
Selama periode tahun 2002 – 2004, telah ditetapkan Program Utama Penelitian
Pascapanen jangka menengah sebagai berikut: (1) program penelitian penyediaan teknologi
pangan alternatif, (2) program penelitian peningkatan pemanfaatan hasil dan limbah
pertanian, (3) program penelitian peningkatan daya saing produk segar dan olahan hasil
pertanian, (4) program penelitian mendukung sistem manajemen mutu dan keamanan
4
pangan, dan (5) program diseminasi hasil penelitian untuk percepatan pengembangan
agroindustri. Berbagai pencapaian target keluaran kegiatan penelitian dari tahun 2002-2003
telah mulai memperlihatkan hasil, namun demikian diperlukan tindak lanjut dengan
kerjasama kemitraan untuk mempercepat komersialisasi dan transfer teknologi.
5
II. PROGRAM PENELITIAN
2.1. VISI DAN MISI
Balai Penelitian Pascapanen Pertanian (Balitpasca) mempunyai tugas pokok
melaksanakan penelitian. Dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut, Balitpasca
menyelenggarakan fungsi :
a. Pelaksanaan penelitian karakterisasi bahan, pengembangan produk baru dan
pemanfaatan limbah hasil pertanian.
b. Pelaksanaan penelitian teknologi proses fisik, kimia dan mikrobiologi.
c. Pelaksanaan penelitian sistem mutu dan keamanan produk hasil pertanian.
d. Pelaksanaan penelitian komponen teknologi sistem dan usaha agribisnis bidang
pascapanen pertanian.
Departemen Pertanian, dalam koridor pembangunan pertanian di masa mendatang
mempunyai misi pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing,
berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi. Sesuai dengan misi Departemen Pertanian
tersebut, Badan Litbang Pertanian telah menetapkan visinya, yaitu menjadi lembaga
penelitian, pengkajian dan pengembangan pertanian dengan citra proaktif dan partisipatif
dalam menciptakan, merekayasa dan mengembangkan IPTEK di sektor pertanian, untuk
mewujudkan pertanian tangguh yang modern dan efisien berbasis sumberdaya, Selaras
dengan hal itu, maka Balitpasca mengemban visi dan misi sebagai berikut :
VISI
Menjadi institusi terdepan dalam inovasi teknologi pascapanen untuk menunjang
pengembangan agroindustri yang berdaya saing.
MISI
Menghasilkan teknologi pascapanen untuk pembentukan produk baru bermutu tinggi
Merakit komponen teknologi pascpanen untuk menghasilkan model agroindustri pada
skala UKM
Menyusun pangkalan data karakteristik bahan/produk untuk pengembangan sistem
manajemen mutu pada proses produksi
6
2.2. PENDEKATAN STRATEGIS
Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan sistem pertanian
secara keseluruhan, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah hingga pemasaran
produk akhir. Sejalan dengan hal itu, keberadaan Balitpasca sangat terkait dengan mandat
Balai Penelitian Komoditas dalam mengembangakan hasil pertanian yang berkualitas, dengan
Pusat Litbang Sosial Ekonomi Pertanian dalam penggalangan subsistem pasar (termasuk
aspek market intelligence), dengan Balai Besar Alsintan dalam diseminasi hasil penelitian.
Penelitan pascapanen pertanian pertanian diarahkan untuk dapat memecahkan
berbagai masalah yang berkaitan dengan rendahnya mutu dan daya saing produk pertanian,
besarnya kehilangan hasil akibat pengelolaan panen dan pascapanen yang kurang benar.
Langkah-langkah strategis yang akan ditempuh adalah :
Mengutamakan perakitan komponen teknologi pascapanen yang telah banyak dihasilkan
untuk menjadi suatu model agroindustri yang siap diimplementasikan dan lebih berdaya
guna dalam satu wilayah pembangunan pertanian.
Menyelaraskan model agroindustri dengan kebijakan pengembangan kawasan agribisnis
yang dicanangkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah (pengembangan
agropolitan) serta ketersediaan mitra usaha.
Mengembangkan sistem manajemen mutu untuk meningkatkan daya saing agroindustri,
khususnya bagi industri rakyat di bidang pengelolaan hasil pertanian komoditas lokal.
Menggali potensi produk, khususnya dari komoditas lokal, sebagai suatu penelitian yang
bersifat visioner, bioprospektif dan berorietansi HaKI untuk menghasilkan produk-
produk baru atau bahan pendukung yang mampu meningkatkan efisiensi proses.
2.3. PROGRAM PENELITIAN 2001-2004
a. Program penelitan menyediakan teknologi pangan alternatif.
Tujuan program penelitian adalah dapat memenuhi kebutuhan pangan melalui
diversifikasi produk, khususnya berbahan baku non-beras. Sasaran produk diarahkan pada
penyiapan bahan pangan untuk masyarakat kurang gizi, balita, kecukupan gizi dan pangan
untuk keadaan darurat (instan). Penelitian juga diarahkan untuk mengangkat bahan
pangan tradisional menjadi bahan pangan yang bermutu dengan citra tinggi.
7
b. Progarm penelitian peningkatan pemanfaatan hasil dan limbah pertanian.
Program penelitian ini bertujuan untuk menampung berbagai penelitian yang bersifat
visioner dan eksploratif dalam usaha peningkatan nilai tambah komoditas pertanian, baik
dari produk yang sudah ada, maupun penanganan bahan baku dan limbah pertanian,
sehingga dapat lebih bermanfaat bagi industri pangan, kosmetik dan farmasi. Kegiatan
penelitian ini dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi kimia, biofisika dan
bioproses.
c. Program penelitian peningkatan daya saing produk segar dan olahan hasil pertanian
Program penelitian ini bertujuan meningkatkan daya saing produk melalui perbaikan
mutu, efisiensi proses, penciptaan model agroindustri terpadu, perakitan dan peningkatan
skala komponen teknologi pascapanen. Kegiatan penelitian menyangkut pengamanan
terhadap aspek tekno-sosio-ekonomis bagi kelayakan operasi dan panduan komponen
teknologi pascapanen yang telah dihasilkan.
d. Program penelitian mendukung pengembangnan sistem mutu dan keamanan pangan
Penelitian ini bertujuan mengembangkan sistem manajemen mutu yang sesuai bagi
agroindustri berbasis komoditas unggulan Indonesia untuk dapat bersaing
sehubungandengan masuknya produk impor. Penelitian diarahkan pada pengembangan
model agroindustri yang menggunakan sistem mutu dan pengawasan terhadap keamanan
pangan.
e. Program diseminasi hasil penelitian untuk percepatan pengembangan agroindustri
Program ini merupakan upaya penyampaian inovasi teknologi pascapanen yang dihasilkan
kepada pengguna, seperti petani, pengusaha dan pemerintah yang dilakukan melalui
berbagai medium dan cara. Kerjasama internal unit penelitian lingkup Badan Litbang
Pertanian dan instansi terkait di daerah akan dilakukan untuk mendapatkan umpan balik
bagi teknologi yang diintroduksi.
8
III. HASIL KEGIATAN PENELITIAN
3.1.
PENGEMBANGAN MODEL AGROINDUSTRI TEPUNG KASAVA SKALA KECIL MENENGAH
Pengembangan agroindustri aneka tepung dari bahan sumber karbohidrat lokal
diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pangan dan mengurangi ketergantungan
terhadap beras. Teknologi pengolahan tepung kasava dapat memberikan nilai tambah sebesar
3,7 trilyun bila seluruh produksi ubi kayu (16 juta ton) diolah menjadi tepung kasava. Nilai
tambah tersebut disajikan pada Tabel 3.1. Tepung kasava berpotensi sebagai pengganti atau
substitusi terigu impor. Tepung kasava dapat menggantikan 20-80% terigu pada beragam
produk. Bila teknologi substitusi diterapkan, maka dapat dihemat devisa sebesar 1,84-7,36
trilyun rupiah (Tabel 3.2).
Tabel 3.1. Nilai tambah penerapan teknologi pengolahan tepung kasava
Tepung Kasava Ubi Segar
Produksi (ton) 16 juta 16 juta Rendemen (27%) 4,32 juta - Harga Produk (Rp/ton) 1,6 juta 200 ribu Nilai Produk (Rp) 6,9 trilyun 3,2 trilyun
Selisih nilai=(6,9-3,2)=3,7 trilyun
MMaallaanngg :: MMiittrraa KKooppeerraassii BBuummii
PPeerrttiiwwii IInnddoonneessiiaa
LLaammppuunngg :: MMiittrraa KKeell..TTaannii SSeettiiaa HHaarraappaann
ddaann CCVV PPaattrriicciiaa TTaannggeerraanngg
TTeekknnoollooggii yyaanngg ddiilliittkkaajjii::
TTeekknnoollooggii ppeennggoollaahhaann tteeppuunngg kkaassaavvaa
kkaappaassiittaass 11 ttoonn uubbiikkaayyuu//hhaarrii
KKeeuunngggguullaann tteekknnoollooggii::
RReennddeemmeenn 2277--3300%%
DDaayyaa ssiimmppaann bbaahhaann bbaakkuu lleebbiihh llaammaa
MMuuttuu tteeppuunngg kkaassaavvaa lleebbiihh bbaaiikk ddeennggaann kkaaddaarr
HHCCNN ddiibbaawwaahh 4400 ppppmm
Gambar 3.1. Model Agroindustri Tepung Kasava
9
Tabel 3.2. Nilai substitusi tepung kasava terhadap tepung terigu
Nominal Impor terigu/tahun (ton) 4 juta
Harga/ton (Rp) 2,3 juta
Nilai impor terigu (Rp) 9,2 trilyun
Substitusi tepung kasava 20-80% (setara 0,8-3,2 juta ton)
Nilai substitusi (Rp) 1,84-7,36 Trilyun
Ubikayu (Manihot esculenta Crantzs. L) merupakan sumber karbohidrat lokal yang
jumlahnya melimpah dan harganya relatif murah. Untuk meningkatkan bargaining position
petani ubikayu serta meningkatkan ketersediaan bahan pangan sumber karbohidrat
pendamping beras dan terigu dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan, maka
dikembangkan agroindustri tepung kasava. Beberapa kendala yang dihadapi dalam
pengembangan tepung kasava antara lain: (1) masyarakat mempunyai penilaian yang rendah
terhadap ubikayu; (2) tepung kasava merupakan produk yang belum memasyarakat; (3) flavor
spesifik ubikayu yang ada pada tepung kasava dan keterbatasan sifat kemekaran mengurangi
preferensi konsumen; dan (4) minimnya informasi penggunaan tepung kasava untuk produk
non pangan.
Penelitian ini bertujuan untuk memantapkan dan mengembangkan agroindustri
tepung kasava yang kompetitif, membantu meningkatkan ketersediaan pangan sumber
karbohidrat pendamping beras dan terigu maupun bahan baku untuk industri pangan dan
non pangan, mengembangkan produk olahan, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat,
khususnya petani ubikayu dan labu kuning.
Pada tahun 2003 dilakukan 3 kegiatan yaitu: (1) Pemantapan agroindustri tepung
kasava; (2) Karakterisasi, pengembangan produk dan pemanfaatan limbah; (3) Kelembagaan
dan pemasaran.
Pemantapan agroindustri tepung kasava
Berdasarkan keragaman di lapang dan prospek pengembangan, maka kegiatan
agroindustri tepung kasava difokuskan di daerah Lampung. Optimalisasi teknologi tepung
kasava di kelompok tani Setia Harapan, Desa Tambah Subur, Kec. Purbolinggo Utara, Kab.
Lampung Timur mempunyai tujuan antara lain: mengoptimalkan kapasitas produksi tepung
kasava, perbaikan kualitas tepung kasava sesuai dengan keinginan konsumen, konsistensi
terhadap produksi, kualitas dan harga tepung terjangkau oleh konsumen, dan kepercayaan
konsumen terhadap persyaratan higienitas selama proses produksi.
10
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, telah dilakukan kegiatan antara lain:
a. Evaluasi terhadap kendala pada setiap tahap pengolahan. Kendala pengolahan
terutama terletak pada tahap pengeringan. Agar kapasitas produksi meningkat dapat
dilakukan dengan merubah sistem produksi. Pengeringan dilakukan tidak hanya
menggunakan alat pengering, tetapi juga dengan cara penjemuran. Selain itu
dilakukan pelatihan penggunaan alat pengering sistem bak, sehingga kapasitas
produksi meningkat dari 200 kg/6 jam menjadi 600 kg/6 jam.
b. Mengatasi keluhan konsumen terhadap mutu tepung yang kurang halus dan berbau
apek terutama disimpan dalam waktu lama. Untuk meningkatkan kehalusan tepung
dilakukan penambahan alat ayakan 100 mesh. Bau apek disebabkan tingginya kadar
air tepung kasava sehingga terjadi fermentasi dalam penyimpanan. Untuk mencegah
bau, kadar air tepung dipertahankan agar tidak lebih dari 14%.
c. Memberi jaminan mutu kepada konsumen dengan menerapkan sistem manajemen
mutu melalui kegiatan perbaikan sistem dokumentasi, sosialisasi pembinaan sumber
daya manusia yang terlibat dalam sistem produksi, penataan ruangan,
mengoptimalkan agar setiap tahap proses dicapai efisiensi yang akan mempengaruhi
biaya produksi dan harga produk lebih murah dan terjangkau.
Karakterisasi dan pengembangan produk dan pemanfaatan limbah
Tepung kasava mengandung karbohidrat 81,75%, kadar air 12%, kadar abu 0,75%,
kadar serat kasar 3,34%, lemak 0,32%, glutamat 2,01 mg/g, gliserin 0,01 mg/g dan kalori
395,86 kal/100 g. Selain itu tepung kasava juga mengandung beberapa jenis vitamin,
diantaranya vitamin A 5,97 mg/100 g, vitamin B 7,96 mg/100 g, dan vitamin C 5,95 mg/100
g. Granula tepung kasava mulai tergelatinisasi dalam waktu 29,0 menit pada suhu 65,0oC.
Granula tepung pecah dalam waktu 30,0 menit dengan suhu 94,0oC dan viskositas 700 B U.
Formula untuk tiap produk makanan dari bahan tepung kasava telah
direkomendasikan dan diuraikan dalam buku kumpulan resep makanan dari bahan tepung
kasava. Untuk produk non pangan, telah diadakan kerjasama dengan PT. Pachira sebagai
pembeli tepung kasava yang akan dimanfaatkan sebagai bahan baku industri produk setengah
jadi “Texturiza”, yaitu produk pangan fungsional kaya serat.
11
Kelembagaan dan pemasaran
Dalam kegiatan ini, di provinsi Lampung diusahakan terbentuk jaringan dengan
lembaga-lembaga yang terkait. Untuk bidang budidaya dan teknologi, bekerjasama dengan
Dinas Pertanian dan BPTP, bidang permodalan bekerjasama dengan Bappeda dan
perbankan, dan bidang koperasi dan perdagangan bekerjasama dengan Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi.
Untuk memperoleh dukungan yang lebih luas lagi, harus bekerjasama dengan Badan
Ketahanan Pangan Daerah dan DPRD setempat, membuat jaringan pasar dengan para
pengguna/konsumen, baik konsumen industri maupun rumah tangga. Direncanakan pula
adanya sosialisasi pertemuan antara Balitpasca, BPTP Lampung, Pemda Kab. Lampung
Tengah dan Lampung Timur untuk membahas tentang kerjasama kemitraan dalam
pembinaan teknis dan pemasaran tepung kasava di Lampung.
Dalam upaya merintis pasar, telah dilakukan kerjasama dengan Dinas Perindustrian
Kota Bogor. Untuk mempelajari jalur pemasaran tapioka, yang diharapkan dapat juga
digunakan sebagai acuan tata niaga tepung kasava, telah dilakukan penjajagan dengan pabrik
Tapioka Kujang dan pabrik Tapioka Setia di Bogor.
Peluang pasar lainnya dengan PT. Pachira sedang dirintis kembali. Hasil pertemuan
kedua dengan PT. Pachira pada bulan Desember 2003 telah ada kesepakatan bahwa pada
pertengahan bulan Februari 2004 PT. Pachira akan membeli lagi tepung kasava dari
kelompok tani Setia Harapan (binaan BB-Pascapanen) sebanyak 4 ton.
Selain itu pada tahun 2003 juga dilakukan partisipasi 4 kali ekspose, yaitu: (1) Agro
Food Expo, Senayan, Jakarta; (2) Pameran Produksi Indonesia, Jakarta; (3) Ekspose Inovasi
Teknologi Pertanian Lahan Pasang-surut, Kalimantan Selatan; (4) Ekspose Inovasi
Teknologi Pertanian Lahan Irigasi, Sulawesi Selatan.
3.2. PENELITIAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEPUNG SUKUN
Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia tidak sebanding dengan
produksi padi nasional, sehingga perlu dicari upaya lain untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Untuk memenuhi sumber karbohidrat sebagai bahan pangan, buah sukun merupakan salah
satu pilihan sebagai bahan pangan lokal potensial pengganti beras. Buah sukun telah lama
dimanfaatkan sebagai bahan pangan, berupa makanan pokok, makanan ringan maupun
makanan lainnya.
12
Teknologi penepungan perlu dikembangkan karena dalam bentuk tepung
mempunyai beberapa keuntungan antara lain akan lebih mudah dicampur, dibentuk dan
lebih cepat masak menjadi berbagai bentuk produk olahan, serta lebih tahan lama disimpan.
Bentuk tepung merupakan produk setengah jadi, dan merupakan bahan baku utama dalam
diversifikasi pangan untuk menunjang program ketahanan pangan dan pengembangan
agribisnis.
Tujuan penelitian ini antara lain: (1) mengevaluasi sifat fisikokimia buah dan tepung
sukun dari seluruh Indonesia diharapkan dapat dirakit produk olahan tertentu yang sesuai
dan mendapatkan formula produk olahan (ekstrudat) dari tepung sukun, (2) melakukan uji
penerimaan konsumen tepung sukun dan produk olahannya untuk membuka peluang
pemasaran, dan (3) mengidentifikasikan potensi wilayah sentra produksi sukun untuk lokasi
pengembangan agroindustri tepung sukun.
Kegiatan penelitian pada tahun 2003 terdiri dari 3 kegiatan, yaitu: (1) Evaluasi
karakteristik sifat fisikokimia bahan mentah dan tepung sukun dari berbagai varietas di
Indonesia, serta uji fungsional produk olahannya, (2) Uji preferensi konsumen produk
tepung dan hasil olahannya, (3) Identifikasi potensi penerapan model agroindustri tepung
sukun.
Evaluasi karakteristik buah dan tepung sukun
Warna kulit buah sukun ada yang hijau, hijau kekuningan dan hijau kecoklatan,
tergantung varietas dan tingkat kematangan. Semakin tua buah sukun, semakin lebar lingkar
mata pada kulit buahnya. Warna daging juga tergantung dari varietas dan kematangan, ada
yang berwarna putih, putih kekuningan dan kuning. Semakin tua buah sukun, warna daging
buah semakin kuning.
Bentuk permukaan buah sukun ada yang berduri dan tidak berduri. Tingkat
kematangan buah sukun ditandai dengan keluarnya getah yang semakin lama permukaan
penuh dengan getah dan warna getah berubah dari warna putih menjadi coklat/hitam.
Semakin besar ukuran buah, semakin tua tingkat kematangan optimum. Buah sukun ada
yang berukuran kecil (lingkaran buah kurang dari 40 cm), sedang (lingkaran buah 40-44 cm)
dan besar (lingkaran buah lebih dari 45 cm).
Berat dan tingkat kekerasan buah sukun ditentukan oleh tingkat kematangan buah.
Semakin tua sampai tingkat kematangan optimum akan meningkatkan berat buah, tetapi
13
kekerasannya semakin berkurang. Kekerasan buah sukun muda sebesar 0,4-1,7 kg/g dan
kekerasan buah sukun tua sebesar 0,04-1.0 kg/g. Berdasarkan berat, buah sukun
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu Kelompok I (berat buah 350-500 gram per
buah), Kelompok II (500-110 gram per buah), dan Kelompok III (berat buah lebih dari 110
gram per buah).
Rendemen tepung sukun sangat bervariasi antara 17-24,4%. Tingkat kemasakan buah
sangat menentukan rendemen tepung sukun. Semakin tua akan semakin tinggi rendemen
tepung sukun, karena semakin tua kadar patinya meningkat. Tingkat keputihan tepung sukun
antara 50-70%. Tepung paling putih dihasilkan dari buah sukun dengan tingkat kematangan
sedang. Sukun yang lewat matang akan dihasilkan tepung yang tinggi kadar gulanya, sehingga
tidak cepat kering.
Kadar air buah sukun segar antara 68-72%, abu antara 0,9-1.0%, protein antara 0,8-
1,0%, lemak antara 0,2-0,4% dan karbohidrat antara 26-33%. Nilai gizi tepung sukun
ditentukan oleh kadar air antara 2-6%, kadar abu antara 2,0-3,8%, kadar protein antara 2-
3,6%, kadar lemak antara 0,7-1,3% dan karbohidrat antara 87-91%.
Tepung sukun dengan kadar amilosa antara 11-17% menunjukkan tekstur produk
olahan yang sangat pulen, sedangkan yang berkadar amilosa 17-20% menghasilkan produk
olah yang pulen. Kandungan gula total pada sukun rendah yaitu antara 0,21-0,32%.
Kandungan pektin pada sukun Cilacap, Sukabumi dan Kediri cukup tinggi yaitu sekitar 20%,
sedangkan pada sukun Kulonprogo, P. Seribu, Bone dan Purworejo kandungan pektinnya
rendah (10%). Sukun Bone-Jumpie mengandung vitamin A (64 IU) dan vitamin C (9
mg/100 mg) tertinggi dibanding sukun lainnya.
Viskositas puncak tepung sukun lebih dari 1000 BU, berarti mempunyai daya
mengembang mekar dibandingkan terigu. Sifat fitokimia menunjukkan bahwa tepung sukun
mengandung senyawa aktif alkaloid dan saponin yang banyak digunakan dalam pengobatan.
Secara empiris sukun digunakan sebagai obat untuk menekan asam urat.
Rendemen hasil olahan sukun dari sukun segar sebagai berikut: sukun kupas sebesar
83,63%, kulit sukun 16,37%, bagian hati sukun sebesar 8,03%, rendemen sawut/chip kering
sebesar 20,82% dan rendemen tepung sukun sebesar 20,10%. Rendemen tepung sukun
tergantung pada varietas.
Komposisi tepung komposit sukun dengan formula 1 (tepung jagung : tepung sukun)
dengan penambahan tepung sukun sampai 40% dapat meningkatkan kadar protein 2% dan
14
kadar lemak 1,5%. Pada formula 2 (tepung terigu : tepung sukun) dengan penambahan
tepung sukun sampai 40% dapat meningkatkan kadar protein 3%, tetapi tidak meningkatkan
kadar lemak. Penggunaan substitusi tepung jagung dan tepung terigu, disamping dapat
memperbaiki tekstur produk, juga memperbaiki nilai gizinya.
Pengembangan produk dan uji preferensi konsumen produk olahannya
Semakin meningkat konsentrasi tepung sukun, penambahan air agar adonan kalis
akan semakin banyak sehingga akan meningkatkan rendemen mie mentah. Rendemen mie
mentah dari campuran 30% tepung sukun dan 70% tepung terigu. Hasil uji organoleptik
menunjukkan bahwa warna, aroma, tekstur dan kesukaan mie mentah dan mie kering dengan
penggunaan tepung sukun sampai konsentrasi 40% masih disukai oleh konsumen.
Identifikasi potensi pengembangan agroindustri tepung sukun
Daerah-daerah sentra produksi sukun telah dilakukan identifikasi yaitu DKI Jakarta
(Kepulauan Seribu), Jawa Tengah (Kabupaten Cilacap dan Purworejo), DI. Yogyakarta
(Kabupaten Kulon Progo) dan Sulawesi Selatan (Kabupaten Bone).
Petani sukun (n=14) membudidayakan varietas sukun daging kuning (di Cilacap) dan
sukun gundul dengan cara stek, setelah tinggi bibit 30-50 cm dipindah. Pemupukan dengan
pupuk kompos sampai pohon mulai berbuah (3 tahun). Hama yang menyerang adalah uret
dan ulat busuk buah. Umur pohon sukun yang ada antara 8-10 tahun.
Saat panen optimum ditandai dengan buah sukun berwarna hitam karena tertutup
getah, duri kulit mulai gundul dan mata lingkar pada kulit melebar. Cara panen bervariasi di
tiap daerah antara lain dengan alat bambu/kayu/gantar dengan arit atau dengan alat
penampung kantong kain. Pada saat pengumpulan dan transportasi, banyak buah yang
memar dan tergores sehingga menurunkan harga. Penyimpanan sukun segar belum
ditemukan dan sangat dibutuhkan mengingat sukun adalah buah klimaterik.
Produksi buah/pohon 80-150 buah, dengan harga di petani untuk sukun ukuran
besar Rp 1200,- -Rp 1500,- per buah dan ukuran kecil Rp 700,- - Rp 1000,- per buah. Musim
panen dua kali per tahun yaitu Juli-Agustus dan Desember-Januari. Di tingkat petani buah
sukun dibuat kripik, digoreng, digetuk atau disayur.
Pedagang pengumpul (n=8) mengumpulkan buah sukun segar dari pengrampal
(pemanen). Masing-masing pengumpul mempunyai 13-40 orang tenaga pengrampal. Harga
15
sukun segar ditentukan oleh ukuran biji, tingkat kemasakan buah, kerusakan mekanis dan
warna kulit buah.
Setiap pemanen memetik sekitar 100 buah per hari. Setiap 100 buah pemetikan, rata-
rata jatuh sebanyak 5-10%, dan buah muda ikut terpanen mencapai 5-30%. Berat rata-rata
buah sukun adalah 1 kg per buah. Distribusi sukun segar oleh pedagang diangkut
menggunakan truk, dengan sistem curah. Daya muat 3000 buah per truk setiap kali kirim.
Pengiriman ke Jakarta 2 hari sekali, pada musim kemarau (Juli-Agustus) selama 2 bulan, pada
musim penghujan (Desember-Januari) selama 4 bulan.
Produk olahan sukun yang sudah dikomersialkan terbatas pada produk kripik dan
stik. Produksinya masih berdasarkan pesanan, belum kontinyu. Bahan baku berasal dari
daerah setempat. Sukun yang dipilih untuk pembuatan kripik adalah sukun yang sudah tua,
berukuran besar, tidak ada bekas jatuhan, dan berdaging buah kuning. Setiap 3 kg sukun
dapat menghasilkan 0,5 kg stik sukun atau 1 kg kripik/ceriping sukun. Daya simpan kripik
sukun sekitar 1 bulan.
3.3. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PANGAN TRADISIONAL
PROSPEKTIF SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN POKOK Penelitian pengembangan teknologi pangan tradisional prospektif sebagai alternatif
pangan pokok bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi pangan tradisional.
Hal ini diharapakan dapat memacu konsumsi pangan pokok di luar beras dan tercapainya
ketahanan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sagu tergolong sebagai sumber
karbohidrat yang potensial di wilayah Kawasan Timur Indonesia. Produk olahan sagu yang
teridentifikasi memiliki prospek sebagai bahan pangan pokok alternatif adalah mi sagu dan
sagu bakar. Mi merupakan produk olahan pangan yang mudah penerimaannya bagi
masyarakat.
Kajian jenis pangan pokok
Pangan pokok adalah sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi atau secara teratur
dikonsumsi sebagai makanan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai makanan
pembuka atau penutup. Beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar merupakan sumber karbohidrat
utama bagi penduduk Indonesia. Hasil pengamatan di lokasi penelitian dan studi literatur
menunjukkan bahwa sagu berperan sebagai sumber karbohidrat di beberapa daerah. Di
daerah Jawa Barat terutama Bogor, Sukabumi dan Cianjur sagu sebagai pangan pokok
16
dikonsumsi dalam bentuk mi yang dikenal dengan sebutan mi gleser (Bogor) atau mi leor
(Sukabumi) dan sebagian kecil dalam bentuk bubur sagu. Mi sagu biasanya disajikan dengan
bumbu kacang. Mi merupakan bentuk makanan yang sudah populer, bersifat fleksibel dan
tidak menimbulkan kesan inferior.
Sagu bakar merupakan makanan tradisional di Kawasan Indonesia Timur seperti
Ambon, Papua dan sebagian Sulawesi Selatan. Di Luwu (Sulsel), sagu bakar disebut dange
atau sagu lempeng. Sagu bakar juga dikenal di daerah Bogor, Jawa Barat dengan nama sang
rangi. Dange dimakan dengan cara dicelupkan dalam teh panas atau air panas atau dinikmati
dengan lauk seperti ikan bakar. Biasanya dange dijadikan bekal melaut karena tahan lama. Di
Jawa, sagu rangi diolah lebih lanjut menjadi bubur dengan menambahkan gula merah dan
santan. Sagu rangi merupakan makanan padat seperti bubur kacang hijau atau bubur
sumsum. Sagu bakar meskipun dapat dikonsumsi secara fleksibel namun justru kurang
populer.
Di daerah Sulawesi Selatan, sebagai pangan pokok sagu dikonsumsi dalam bentuk
kapurung. Gel sagu merupakan keunikan dalam makanan tersebut. Abubakar (2003,
komunikasi pribadi) menyatakan bahwa kapurung merupakan hidangan khas Kabupaten
Luwu, Sulawesi Selatan yang memiliki nilai gizi lengkap karena di dalamnya sudah tersedia
karbohidrat (sagu), protein dan lemak (ikan, udang atau daging ayam) serta vitamin dan
mineral (sayur-sayuran). Salah satu kelemahan kapurung adalah perlu waktu relatif lama
untuk menyajikan, karena gel sagu harus dibuat dalam keadaan segar.
Pangan pokok berbasis beras, jagung, ubi jalar dan ubi kayu telah banyak dikaji dan
diteliti. Sebaliknya kajian terhadap pangan pokok berbasis sagu masih relatif terbatas. Di lain
pihak pangan tersebut memiliki peluang untuk dikembangkan.
Abner dan Miftahorrahman (2000) menyebutkan bahwa potensi sagu sebagai salah
satu sumber karbohidrat belum dimanfaatkan secara maksimal. Indonesia memiliki areal sagu
sekitar 1128 juta ha atau 51,3% dari luas areal sagu dunia. Diperkirakan 90% areal sagu
Indonesia berada di Irian Jaya. Saat ini peranan sagu sebagai sumber bahan pangan pokok
telah digeser oleh beras. Konsumsi sagu di tingkat rumah tangga untuk wilayah KTI
cenderung berkurang dengan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Agar peran
sagu sebagai sumber karbohidrat utama dapat dipertahankan maka produk olahannya perlu
dikembangkan sesuai dengan permintaan konsumen dan perubahan gaya hidup masyarakat.
Oleh karena itu pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada pangan pokok berbasis sagu.
17
Kajian proses
Kajian proses yang dilaksanakan dalam penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
acuan dalam menyusun Standart Operating Procedure (SOP) bagi produk yang bersangkutan,
agar dapat memberikan jaminan kualitas bagi konsumen pada taraf komersialisasinya.
Ekstraksi sagu
Ekstraksi sagu terdiri dari beberapa tahap: pemarutan, filtrasi, pengendapan dan
pengeringan. Tingkat aplikasi teknologi dinilai sangat rendah. Peralatan semi mekanis yang
digunakan berupa alat pemarut sederhana, sedangkan filtrasi masih dikerjakan secara manual.
Hasil filtrasi diendapkan dalam bak penampung sederhana (dari kulit batang sagu) atau
permanen (dari semen). Pati hasil ekstraksi dijemur. Di daerah palopo, pati sagu umumnya
dijual dalam keadaan pati basah yang dikemas dalam kemasan tradisional yang disebut
tumang. Rendemen pati sagu sekitar 20%. Karena jenis sagu dan proses ekstraksinya
beragam maka dapat dipahami jika karakteristik sagupun beragam. Sudradjat (1985)
melaporkan bahwa rendemen dan kualitas pati sagu yang diekstrak secara mekanis lebih
bagus kualitasnya dibanding cara ekstraksi tradisional atau cara fermentasi. Menurut Sanusi
(1991) dengan menggunakan larutan kaporit 0,5-6% dapat meningkatkan warna putih pati
sagu.
Mi sagu
Pembuatan mi sagu terdiri dari beberapa tahap yaitu pembuatan biang, pembentukan
adonan, pencetakan, pemasakan, perendaman dan penirisan. Sebagian besar proses
dikerjakan secara manual dengan peralatan sederhana yang dirakit oleh bengkel lokal. Proses
diawali dengan membuat ”biang” dengan cara menambahkan air mendidih ke dalam suspensi
pati sagu yang telah ditambah dengan pewarna dan bahan pengeras hingga terbentuk gel.
Selanjutnya ke dalam biang ditambah sagu sambil terus diaduk hingga adonan kalis dan siap
cetak. Setelah dicetak, mi dimasak dalam air mendidih hingga terapung, diangkat dan
direndam dalam air mengalir selama beberapa jam. Mi diangkat, ditiriskan dan diberi minyak
agar tidak lengket. Setelah beberapa saat mi dikemas untuk dipasarkan.
Dari hasil observasi tampak bahwa yang dimaksud biang adalah pati yang
tergelatinisasi sempurna dan berfungsi sebagai pengikat (binder) sehingga adonan menjadi
lebih mudah ditangani. Oleh karena itu binder dapat dianalogikan dengan gluten pada mi
terigu.
18
Sagu bakar
Proses pembuatan sagu bakar pada dasarnya adalah merupakan aplikasi perlakuan
panas pada tingkat kadar air tertentu terhadap pati yang dikenal dengan HMT (Heat Moisture
Treatment). Proses pembuatan sagu bakar di Palopo (Sulawesi Selatan) sedikit berbeda dengan
proses serupa di Bogor. Di Palopo sagu bakar biasanya berasal dari pati sagu segar dicampur
dengan pati sagu kering untuk mendapatkan adonan dengan kadar air yang sesuai (adonan
berbentuk hablur) kemudian dimasukkan ke dalam cetakan (dari tanah liat) yang telah
dipanaskan terlebih dahulu dan dibiarkan selama beberapa menit agar matang. Bahan
kemudian dikeluarkan dari cetakan, dibiarkan dingin kemudian dikemas.
Sagu bakar di Bogor dibuat dari pati sagu kering. Sagu ditambah air hingga kadar air
tertentu (35-45%) selanjutnya dimasukkan ke dalam cetakan (dari plat baja) dan dipanaskan
selama beberapa detik, dikeluarkan dari cetakan dan dijemur kemudian dikemas. Penggunaan
plat baja diduga menyebabkan produk mengalami case hardening sehingga produk menjadi
keras dibagian luar karena baja menghantar panas lebih cepat dibanding tanah liat. Gejala case
hardening tidak tampak pada sagu bakar yang diproses di Palopo.
Kajian sifat produk
Hasil analisis menunjukka bahwa sifat fisik dan kimia pati sagu yang diperoleh dari
pengrajin mi di Sukabumi sangat bervariasi. Hal ini dapat dipahami karena proses ekstraksi
pati juga beragam. Nilai L (?), a (?) dan b (?) pada pengukuran warna dengan chromameter
rata-rata adalah 96,90; 0,39; dan 4,39. Nilai pH suspensi pati 5,20-6,88 sedangkan kadar
amilosa bervariasi antara 20-33%. Angka ini berada dalam kisaran kadar amilosa pati sagu
yang dilaporkan oleh Ahmed et. al., (1999).
Sifat fungsional pati sagu dievaluasi dengan alat brabender. Pati sagu mulai
tergelatinisasi pada suhu sekitar 70oC dan tidak lama kemudian (sekitar 3-7 menit) pati
tergelatinisasi sempurna. Gel pati sagu tidak stabil dalam proses pemanasan. Gel pati sagu
mengeras pada proses pendinginan, seperti yang ditunjukkan oleh nilai setback positif.
Keragaman sifat ini dapat dipahami karena contoh berasal dari sumber yang berbeda dan
diolah dengan cara yang bervariasi pula. Keragaman sifat pasta sagu tentunya akan
berpengaruh terhadap sifat produk yang dihasilkan. Berdasarkan klasifikasi Schoch dan
Maywald (1968), pati sagu termasuk tipe A yang ditandai dengan tingginya viskositas puncak
dan viskositas tersebut berkurang selama proses pemanasan. Lii dan Chang (1981)
19
menyatakan pati tipe A kurang sesuai untuk diolah menjadi mi, namun hal ini dapat diatasi
dengan cara menambahkan aditif yang sesuai. Pengrajin mi menambahkan tawas (potas
alum). Hingga saat ini tawas masih diijinkan sebagai bahan aditif pangan.
Selain ditentukan oleh sifat bahan baku, karakteristik mi juga sangat ditentukan oleh
proses pengolahannya. Hasil analisis di laboratorium dan uji organoleptik menunjukkan
adanya variasi yang sangat beragam pada sifat/mutu mi sagu. Nilai L, a dan b pada
pengukuran warna berturut-turut adalah 69 sampai 82, 4-17 dan (-38) sampai (-23). Variasi
warna yang sangat tajam terjadi karena setiap pengrajin menambahkan pewarna yang
jumlahnya berbeda-beda. Mi yang diuji memiliki nilai kekerasan 10-45 kg dengan kelengketan
200-273 g.cm. Kadar air mi dan lemak masing-masing berkisar antara 73-81% dan 3-5%.
Tingginya kadar lemak karena ada penambahan minyak untuk mencegah lengketnya untaian
mi. Hingga saat ini belum ada acuan atau standar mutu untuk mi sagu. SNI yang ada masih
terbatas untuk mi terigu, bihun maupun soun. Warna, tekstur dan aroma mi dinyatakan suka
oleh panelis.
Seperti halnya mi, karakteristik sagu bakar juga sangat bervariasi. Ditinjau dari tingkat
kekerasannya, sagu bakar Palopo lebih lunak (0,98 kg) dibanding sagu bakar Bogor yang
diperoleh dari supermarket dan pasar tradisional masing-masing yaitu 2,98 kg dan 1,37 kg.
Sagu bakar Palopo kurang mampu mengembang dibanding dua jenis sagu bakar lainnya.
Sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, sagu bakar diolah melalui aplikasi
perlakuan panas HMT pada sagu. Stute (1992), Hoover dan Savanthan (1994) melaporkan
perlakuan HMT mengakibatkan perubahan sifat fisiko-kimia pati. Perubahan yang terjadi
tergantung jenis pati dan kondisi HMT. Perubahan tipe pati akibat perlakuan HMT
dilaporkan oleh Collado dan Corke (1999) pada pati ubi jalar.
Sifat pasta sagu bakar sangat berbeda dengan sifat pasta pati sagu yang alami (native
starch). Berdasarkan klasifikasi Schoch dan Maywald (1968), sagu bakar cenderung
menunjukkan karakter tipe B, sedangkan sagu alami termasuk dalam tipe A.
Kajian sosial ekonomi
Kajian aspek ekonomi hanya diterapkan pada industri pengolahan mi. Usaha
pengolahan mi sagu yang dikaji merupakan usaha kecil skala rumah tangga, yang lokasi
usahanya menyatu dengan tempat tinggal pemiliki usaha. Pengetahuan teknologi pengolahan
sagu diperoleh secara turun menurun.
20
Tenaga kerja pada usaha ekstraksi sagu dan pembuatan mi sagu termasuk kelompok
usia produktif dengan tingkat pendidikan lulus sekolah dasar (>6 tahun). Mereka berasal dari
lingkungan keluarga dan beberapa orang berasal dari luar keluarga. Jam kerja rata-rata pada
usaha mi sagu masih dibawah standar yaitu kurang dari 8 jam/hari. Pada usaha mi sagu upah
yang diterima sekitar Rp 11.875,- (tenaga keluarga) dan Rp 14.500,- (tenaga luar). Kajian
ekonomi disusun dengan asumsi:
Kapasitas produksi normal yaitu sekitar 600 kg mi gleser ( dari sagu ) perhari
Rendemen 350%
Tenaga kerja 8 orang per hari kerja
Jam kerja 8 jam/hari, 30 hari per bulan
Produksi dilakukan di tempat yang disewa dengan harga Rp 1.500.000,-/tahun
Harga sagu Rp 2200,-/kg
Harga mi di tingkat pengrajin Rp 950,-/kg
Tidak ada beban pajak
Tidak ada pinjaman modal komersial dari pihak lain
Usaha mi gleser memerlukan modal tetap sekitar 40 juta rupiah untuk pengadaan
sarana produksi. Modal kerja yang diperlukan sekitar 51 juta rupiah. Biaya tetap dan biaya
variabel masing-masing mencapai 44 juta rupiah dan 52 juta rupiah. Berdasarkan indeks
keuntungan tampak bahwa usaha mi gleser secara ekonomis tidak memberi keuntungan
cukup besar (B/C rasio 1,06). Nilai tambah ekonomi juga relatif kecil, hanya sekitar Rp 186,-
/kg bahan baku. Namun demikian ada keuntungan sosial yang bisa diperoleh yaitu
terbukanya lapangan kerja.
Pembuatan mi sagu di laboratorium
Mi sagu dibuat di laboratorium berdasarkan hasil kajian dan penelitian lapang.
Tujuannya untuk mempelajari pengaruh jenis bahan baku dan formula terhadap sifat produk
yang dihasilkan. Dengan demikian akan diperoleh informasi dasar yang diperlukan untuk
mengembangkan mi berbasis sagu di wilayah lain. Pati yang digunakan terdiri dari pati sagu
yang diperoleh dari Palopo ( Sulawesi Selatan ), pati sagu dari pengrajin mi gleser di Pancasan
Bogor ( Jawa Barat ) dan pati sagu aren yang dibeli dari pasar di Bogor. Formula yang diuji
meliputi penambahan aditif berupa tawas, minyak sayur dan campuran antara tawas dan
21
minyak sayur. Minyak sayur dipilih karena mampu berkompetisi dengan air pada proses
gelatinisasi dan hal ini diharapkan akan memberi keuntungan tertentu.
Hasil uji analisis laboratorium menunjukkan a sagu aren tampak lebih cerah
dibanding sagu Palopo dan Pancasan di Bogor. Sedangkan sifat lainnya tidak terlalu
bervariasi. Kadar amilosa antara 24-26%. Meskipun demikian tampak sifat pastanya sangat
berbeda. Sifat pasta pati sagu aren sangat berbeda dengan sifat pati sagu asal Palopo maupun
Pancasan Bogor. Meskipun disebut dengan sagu aren, hal ini belum dapat dipastikan bahwa
pati yang bersangkutan berasal dari pohon aren (Arenga pinnata). Berbeda dengan dua jenis
sagu lainnya, sagu aren termasuk dalam tipe B.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bahan baku dan formula secara terpisah
maupun bersama-sama mempengaruhi rendemen mi dan sifat/mutu lainnya. Rendemen mi
dari pati sagu Palopo dan Pancasan relatif sama ( sekitar 300% ), sedangkan pati aren
memberikan rendemen rendah (sekitar 260%). Pada saat gelatinisasi, pati aren dari pasar
Bogor kurang mampu mengembang dibanding dua jenis pati lainnya seperti ditunjukkan oleh
rendahnya nilai viskositas puncak pada kurva brabendernya. Hal ini merupakan salah satu
kemungkinan yang menyebabkan rendahnya rendemen mi yang bersangkutan. Formula
adonan dengan tambahan berupa minyak sayur juga menghasilkan rendemen mi rendah
(270%) dibanding formula yang mengadung tawas. Kekerasan mi bervariasi antara 20-42 kg
tergantung formula, sedangkan kelengketan antara 196-234 g.cm tergantung pada jenis
sagunya. Losses pada saat pemasakan, warna dan komposisi kimia mi ditentukan oleh
kombinasi antara jenis sagu dan formula mi. Tingkat kehilangan (losses) berkisar antara 1.5-
7%. Nilai L,a dan b pada pengukuran warna berkisar antara 44 sampai 73, -0,44 sampai 1,6
dan –0,2 sampai 3. Mi yang dibuat di laboratorium tidak diberi pewarna. Kadar air dan kadar
lemak masing-masing adalah 67-76% dan 5-7%. Angka ini sebanding dengan nilai yang ada
pada mi gleser yang beredar di pasar. Panelis menyatakan suka hingga sangat suka terhadap
warna, aroma dan tekstur mi pati sagu yang dibuat di laboratorium.
3.4.
PENELITIAN PENGEMBANGAN MODEL AGROINDUSTRI PADI BERDAYA SAING
Kegiatan penelitian ini diarahkan untuk membangun model agroindustri padi terpadu
berbasis inovasi teknologi dan bersifat komersial, dengan memaksimumkan nilai tambah dari
produk utama (beras) dan produk sampingnya. Model yang dibangun ini berlokasi di
22
Laboratorium Karawang, selanjutnya akan menjadi rujukan untuk pembangunan agroindustri
padi terpadu. Inovasi teknologi pada model agroindustri padi ini adalah dihasilkannya
teknologi pengolahan beras (beras kepala, beras kristal, dan beras slip) dan teknologi
pengolahan hasil samping (tepung beras dari beras pecah dan menir, briket arang sekam, dan
dedak awet). Model yang dikembangkan ini memiliki kapasitas produksi 1,2 ton GKG/jam.
Produk yang dihasilkan adalah beras super (44-48%), beras kristal (11-12%), tepung beras (8-
10%), dedak awet (8-10%) dan briket arang sekam 8%. Nilai jual dari produk samping
tersebut dapat menutup biaya produksi, sedangkan nilai jual dari produk utama merupakan
keuntungan, sehingga model agroindustri ini dapat meningkatkan pendapatan usaha
penggilingan. Telah dilakukan MoU antara BB-Pascapanen dengan Dinas Pertanian
Kabupaten Subang dan implementasi model agroindustri padi terpadu telah dilakukan pada
tahun 2003.
Peningkatan mutu beras dilakukan dengan cara: (1) memilah beras kepala dari beras
pecah (menir), sesuai dengan standar mutu, (2) penampakan visual beras ditingkatkan dengan
cara refining dengan refiner untuk menghasilkan beras kristal, sehingga didapatkan hasil beras
yang mempunyai kenampakan lebih bersih dan cemerlang. Penggunaan beras berkadar
amilosa tinggi dan alat penepung disk mill menghasilkan tepung yang lebih halus dan lebih
putih.
Penggilingan beras dengan bahan bakar sekam akan diperoleh beras hasil giling
dengan persentase beras kepala sebesar 93%, beras patah 5%, dan menir 1%. Efisiensi
pembuatan arang sekam sistem cerobong (diameter 20 cm) dengan kapasitas pembakaran
mencapai 15 kg/jam menghasilkan rendemen arang sekam mencapai 75,45% dan kadar abu
1%. Proses pemanfaatan dedak menggunakan metoda penyangraian menghasilkan produk
dedak dan bekatul awet. Produk dedak dan bekatul awet dapat dimanfaatkan menjadi bahan
pangan dan pakan.
Gambar 3.2. Pengolahan padi terpadu dan produknya (a). beras kristal, (b). tepung beras, (c). dedak awet dan (d). briket arang sekam.
a b d
c
23
Produk samping dari penggilingan padi perlu diolah dan ditangani dengan baik
sehingga dapat menghasilkan produk olahan bernilai ekonomi tinggi dan mampu
meningkatkan pendapatan bagi usaha penggilingan padi. Produk samping berupa beras
pecah, menir dan bekatul jumlahnya semakin meningkat, karena konsumen beras
menghendaki beras dengan kadar beras kepala tinggi dan derajat sosoh seratus persen.
Pada tahun 2003 dilakukan pengembangan model sistem agroindustri padi terpadu di
Penggilingan Padi (PP) Laboratorium Karawang, PP Intisari, Rengasdengklok, Karawang,
dan penerapan sistem manajemen mutu di PP Gapoktan Pancasari, Subang. Tujuan
penelitian sistem agroindustri padi terpadu 2003 adalah :
1. Penerapan model teknologi penggilingan padi dengan pengolahan hasil samping dan
pemanfaatan limbahnya secara terpadu.
2. Implementasi model sistem agroindustri padi terpadu di lokasi petani untuk
mengembangkan manajemen mutu sebagai pilot percontohan.
Kegiatan yang dilakukan meliputi:
a. Penerapan teknologi pengolahan beras
b. Penerapan teknologi pengolahan hasil samping
c. Penerapan teknologi pemanfaatan limbah
d. Penerapan model sistem agroindustri terpadu
Parameter yang digunakan antara lain:
a. Unjuk kerja paket teknologi, sinergi proses dalam kelembagaan dalam sistem agroindustri
dan pemasaran
b. Kelengkapan unit proses dengan panduan prosedur kerja dan prosedur pengolahan
c. Kelayakan ekonomi dalam hal operasional dan pengelolaan
Unjuk kerja paket teknologi
PP. Lab. Karawang mempunyai fasilitas peralatan yang lengkap untuk menerapkan
model sistem agroindustri padi terpadu. Sistem kelembagaan internal telah terbentuk,
operator peralatan telah terlatih dan telah tersusun buku panduan prosedur pengelolaan.
Namun masih ada kendala kurangnya sosialisasi pemanfaatan produk samping dan produk
sisa sehingga pemasarannya sulit.
Di PP. Intisari Rengasdengklok, seluruh paket teknologi model agroindustri padi
terpadu telah dilatihkan. Dari 3 macam teknologi yang disosialisasikan, 2 teknologi telah
24
diadopsi oleh PP. Intisari secara komersial yaitu teknologi pengolahan produk utama dan
teknologi pemanfaatan produk sisa.
Pada PP. Gapoktan Pancasari, telah dilakukan sosialisasi mengenai sistem
manajemen mutu. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Subang memberikan pembinaan
aspek pra panen dengan memperhatikan GAP. Balitpasca berperan memberikan supervisi
dan konsultasi unit proses penggilingan, sosialisasi tentang GMP, serta melakukan uji
preferensi pasar produk beras yang mengacu pada SNI dengan responden rumah tangga dan
pedagang.
Uji model sistem agroindustri padi terpadu
Dari gabah kering giling (GKG) sebanyak 4624 kg yang digiling di penggilingan padi
Laboratorium Karawang, dihasilkan beras giling 2979 kg sebagai produk utama, 54,5 kg
beras menir dan 384,5 kg dedak atau bekatul sebagai produk samping, serta 1103.5 kg sekam
sebagai produk sisa atau limbah.
Produk samping berupa beras menir sebanyak 44.5 kg diolah lebih lanjut menjadi
tepung, sedangkan sisanya diolah lebih lanjut menjadi karak legendar. Produk samping
lainnya berupa dedak diolah lebih lanjut menjadi dedak awet. Produk sisa atau limbah diolah
menjadi arang sekam dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin pengering gabah .
Tanpa menggunakan model agroindustri terpadu penggilingan 4624 kg GKG→
menjadi beras hasil giling, akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 357.450,-. Bila
menggunakan model sistem agroindustri terpadu mendapatkan keuntungan sebesar Rp
624.687,- atau ada nilai tambah sebesar Rp 267.237,-. Dengan meningkatkan mutu produk
juga akan terjadi peningkatan keuntungan. Dengan memproduksi beras poles dan
menerapkan agroindustri padi terpadu, keuntungan yang didapat mencapai Rp 1.400.426,-
dengan nilai tambah mencapai Rp 741.734,- .
Dalam satu kali proses dengan menggunakan bahan awal GKG, lebih
menguntungkan daripada bahan awal dalam bentuk GKP (gabah kering panen). Hal ini
dikarenakan harga jual GKG/GKS di tingkat petani sering lebih rendah dari harga jual GKP.
Disamping itu, pengusaha penggilingan yang membeli GKP harus keluar biaya tambahan
untuk proses pengeringan GKP menjadi GKG. Biaya pengeringan dengan cara penjemuran
mencapai Rp 12-15,- per kg GKP dengan mesin pengering gabah BBS dapat mencapai Rp
40-50,-/kg GKP dan dengan pengering gabah BBM dapat mencapai Rp 60,-/kg GKP.
25
Pengeringan GKP menjadi GKG dapat mengakibatkan susut bobot mencapai 10-15%
tergantung pada kadar air GKP pada awal pengeringan.
Penggilingan gabah di PP. Intisari dengan membeli gabah berupa 14 ton GKP,
kemudian dijemur menjadi GKG selanjutnya digiling menjadi beras poles, tanpa menerapkan
model agroindustri terpadu, diperoleh keuntungan sebesar Rp 378.800,-. Keuntungan ini
relatif kecil dibanding bila memproses langsung dari GKG. Meskipun demikian penggilingan
padi umumnya lebih menyukai membeli dalam bentuk GKP daripada GKG, karena lebih
mudah mendapatkan gabah untuk memenuhi kapasitas giling dan mutu produk lebih
terjamin. Petani menjual GKG dalam jumlah kecil dan gabah berasal dari penjemuran
dengan fasilitas yang tidak memadai sehingga mutunya rendah. Meskipun dengan
peningkatan mutu dapat meningkatkan nilai jual beras, tidak otomatis penggilingan beras
memproduksi beras dengan mutu tinggi, karena tidak ada artinya memproduksi beras
berkualitas tinggi bila tidak ada permintaan pasar.
3.5.
PENELITIAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN PUREE MANGGA MENDUKUNG AGROINDUSTRI BUAH-BUAHAN
Puree merupakan produk antara dari pengolahan buah-buahan, dan merupakan bahan
baku industri jus, sirup serta industri pangan lainnya. Produk berbentuk puree akan
memudahkan dalam transportasi, mutu produk lebih konsisten, dan daya simpan lebih lama,
sehingga kontinuitas bahan baku untuk industri lanjutan dapat terjamin. Kegiatan penelitian
ini diarahkan untuk membangunan model agroindustri puree mangga berbasis inovasi
teknologi dan bersifat komersial. Model agroindustri yang dibangun berlokasi di Kabupaten
Cirebon. Model ini akan menjadi rujukan untuk pembangunan agroindustri puree mangga.
Inovasi teknologi pada model puree mangga ini menghasilkan teknologi pengolahan puree
mangga skala kecil-menengah yang sesuai untuk dikembangkan di pedesaan. Selain aspek
teknologi, juga dilakukan pembinaan manajemen usaha agroindustri, sehingga diharapkan
petani tidak hanya memperoleh pendapatan dari usaha taninya (on farm) tetapi juga dari usaha
pengolahan puree-nya. Model yang dikembangkan ini memiliki kapasitas 500 kg buah mangga
per jam dengan rendemen puree 45 – 50 %. Telah disusun MoU dengan Pemda Kabupaten
Cirebon dan CV. Promindo Utama, yang akan mendukung pendanaan untuk pembangunan
pabrik mini pada tahun 2004. Pihak Kementerian Negara Riset dan Teknologi juga telah
26
bersedia menyediakan dana ventura (start-up capital) untuk mendukung pengembangan model
agroindustri puree mangga tersebut pada tahun 2004.
Tabel 3.3. Nilai tambah penerapan teknologi pengolahan puree mangga (tahun)
Puree Mangga Mangga Segar Jumlah Produksi (30%) (ton) 300.000 300.000 Rendemen (50%) 150.000 - Harga (Rp/ton) 12 juta 2,5 juta Nilai Produk (Rp) 1,8 trilyun 0,75 trilyun
Selisih nilai akibat pengolahan puree=(1,8-0,75)=1,05 trilyun rupiah/tahun
Pengembangan model pengolahan puree pada agroindustri rakyat dapat menghemat
devisa Rp. 1,8 trilyun/tahun, karena produk puree selama ini masih diimpor. Teknologi ini
dapat diterapkan untuk komoditas buah-buahan yang lain seperti sirsak, jeruk, jambu dan
sebagainya.
Pengembangan unit pengolahan puree mangga dan sirsak
Penyediaan alat untuk proses pasteurisasi telah diselesaikan yakni pembuatan
pasteurisasi tipe hidro dengan bahan bakar gas. Alat ini dilengkapi dengan kontrol suhu agar
suhu relatif stabil. Alat ini juga dilengkapi dengan batu api sehingga panas yang ada didalam
sistem menjadi lebih stabil dan dapat ditinggikan.
Rendemen puree sirsak dengan menggunakan mesin rata-rata sebesar 42%.
Rendemen ini adalah lebih rendah dibanding kinerja manual namun demikian pengolahan
dengan mesin akan lebih cepat dibanding dengan pengolahan manual.Waktu yang
dibutuhkan untuk mengupas dan pulper sirsak adalah 46 menit tiap 20 kg sirsak dengan
kecepatan mengupas 1,3 menit per 20 kg.
Optimalisasi pembuatan puree mangga untuk mendukung pabrik mini yang telah
dilaksanakan di laboratorium. Puree mangga kweni setelah 1 minggu, 60% produk (20 oBrix)
rusak, sedangkan produk (40 oBrix), semuanya masih bagus. Pada pengamatan setelah 2
minggu semua produk rusak. Hasil
Demikian juga pada percobaan buah mangga kemang, dengan meningkatkan masa
pasteurisasi mengunakan kemasan gelas aqua, tampak bahwa peningkatan konsentrasi gula
hanya sedikit meningkatkan daya simpan. Namun demikian dengan meningkatkan masa
pasteurisasi hingga 2 menit, nampak menimbulkan kerusakan warna yang sangat nyata
walaupun daya simpannya sedikit bertambah. Penyimpanan lanjutan pada 22 oC, seminggu
sesudahnya terjadi kerusakan pada semua produk. Daya simpan perlakuan ini masih jauh
27
dari harapan referensi, sehingga masih perlu dicari perlakuan untuk memperpanjang daya
simpan terutama tanpa menggunakan pengawet.
3.6.
TEKNOLOGI EKSTRAKSI MINYAK BUNGA MELATI MENDUKUNG PENGEMBANGAN INDUSTRI MINYAK ATSIRI BERBASIS BUNGA
Minyak melati merupakan bahan baku untuk industri kosmetika, parfum, farmasi,
sabun, dan produk pewangi lainnya. Prospek industri minyak atsiri berbasis bunga di
Indonesia cukup kompetitif, dengan beragam keuntungan seperti terbukanya lapangan kerja,
peningkatan nilai tambah yang dapat diperoleh melalui diversifikasi hasil olahannya, dan
dapat membuka peluang investasi agroindustri. Teknologi ekstraksi minyak melati terdiri dari
rangkaian alat leaching apparatus, evaporator dan distiller. Teknologi ekstraksi yang
dikembangkan dapat menekan kehilangan produk dan pelarut, sehingga dapat diperoleh
rendemen dan mutu minyak yang tinggi. Dengan waktu ekstraksi 20 menit (satu kali
ekstraksi), rendemen minyak melati kasar mencapai 0,383%. Pencucian ampas yang diikuti
ekstraksi lanjutan mampu meningkatkan rendemen hingga 0,408%.
Gambar 3.3. Puree mangga dan unit pengolahannya
28
A. Perbaikan teknologi ekstraksi minyak bunga melati
Perbaikan teknologi dilakukan pada leaching apparatus untuk meningkatkan recovery
pelarut, dan produksi minyak pada musim kemarau untuk mendapatkan rendemen minyak
yang lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa recovery pelarut meningkat dari 74%
menjadi 84%. Rendemen absolut yang dihasilkan adalah 0,108%. Perbaikan yang dilakukan
adalah penambahan keranjang peniris dalam leaching apparatus, dan lubang pengeluaran
ampas yang lebih besar, serta tangki yang dapat dimiringkan sehingga memudahkan operasi.
Leaching apparatus juga ditingkatkan kapasitasnya menjadi skala pilot yang dapat mengolah
bunga melati hingga 20-30 kg. Dengan kapasitas yang lebih besar tersebut dapat langsung
diaplikasikan untuk skala usaha kecil menengah.
Rendemen concrete
Concrete hasil ekstraksi minyak bunga melati yang dihasilkan meningkat terus dari
bulan Juni dan pada bulan Agustus-September 2003 dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Perlakuan ekstraksi satu tahap dan dua tahap tidak memberikan perbedaan pada rendemen
concrete. Teknik pencucian ternyata menghasilkan rendemen paling rendah pada semua
bulan perlakuan. Hal ini terjadi karena banyaknya pelarut yang hilang terserap ampas pertama
dan kadar minyak dalam ampas sudah sangat rendah. Rendemen concrete yang dihasilkan
dari ekstraksi bulan Juni-September 2003 ditunjukkan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4: Rendemen concrete yang dihasilkan dari ekstraksi bulan Juni-September 2003
Perlakuan Bulan
Juni Juli Agustus September
Ekstraksi satu tahap
Ekstraksi dua tahap
Pencucian
8,36 g cd
0,278% ab
11,74 g abc
0,205% abcd
2,85 g e
0,123% cd
8,15 g cd
0,272% ab
13,75 g ab
0,242% abc
3,53 g de
0,152% bcd
8,71 g c
0,29% a
13,65 g ab
0,242% abc
2,69 g e
0,109% d
10,14 g bc
0,338% a
15,25 g a
0,267% ab
3,02 g e
0,113% d
Keterangan: Notasi huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada kategori data berat concrete dan persentase concrete
Rendemen absolut
Concrete selanjutnya diproses menjadi absolut untuk mendapatkan rendemen absolut.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian pada bulan Desember 2002, Januari dan Maret
2003, maka terlihat bahwa Agustus dan September 2003 terjadi peningkatan rendemen
absolut yang dihasilkan. Pasa bulan September memperoleh absolut 0,191, sementara pada
29
bulan sebelumnya lebih rendah. Hasil penelitian ini memperkuat penelitian terdahulu bahwa
rendemen absolut yang diperoleh lebih tinggi pada musim kemarau dibandingkan musim
hujan seperti pada perolehan absolut bulan Desember 2002 dan Januari 2003. Rendemen
absolute yang dihasilkan dari ekstraksi bulan Juni-September 2003 ditunjukkan pada Tabel
3.5.
Tabel 3.5: Rendemen absolute yang dihasilkan dari ekstraksi bulan Juni – September 2003
Perlakuan Rendemen absolute hasil ekstraksi (berat dan persen)
Juni Juli Agustus September
1. Ekstraksi satu tahap 2. Ekstraksi dua tahap 3. Pencucian
4,622 g a
0,155% abc 5,407 g a
0,094% bcd 1,507 g a
0,065% d
4,43 g a
0,148% abc 8,84 g a
0,156% ab 3,10 g a
0,132% abcd
4,747 g a
0,158% ab 9,527 g a
0,169% a 1,587 g a
0,065% d
6,92 g a
0,191% a 9,50 g a
0,170% a 2,66 g a
0,087% cd
Keterangan: Notasi huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada kategori data berat concrete dan persentase concrete
Recovery pelarut
Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi proses
ekstraksi adalah jumlah pelarut yaitu heksan murni yang dapat diambil kembali dari proses.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa recovery heksan yang paling tinggi pada perlakuan
pencucian, dan yang paling rendah pada perlakuan ekstraksi dua tahap. Perlakuan ekstraksi
dua tahap yang berarti flitrat yang telah mengandung minyak ditambahkan bunga segar lagi,
mengakibatkan banyak kehilangan pelarut. Kehilangan heksan disebabkan terserap pada
bunga yang jumlahnya lebih banyak pada perlakuan ekstraksi dua tahap daripada perlakuan
ekstraksi satu ekstraksi maupun perlakuan pencucian. Recovery pelarut berkisar antara 67,45-
81,69%. Kisaran yang cukup besar pada recovery pelarut antar perlakuan, selain disebabkan
oleh perlakuan, juga disebabkan oleh peralatan. Percobaan ini menggunakan unit ekstraksi
yang dirancang pada TA 2002, dan hasil perbaikan unit ekstraksi TA 2003 sudah berhasil
meningkatkan recovery pelarut dengan adanya penambahan alat peniris pada leaching
apparatus.
30
Tabel 3.6: Persentase pelarut murni yang dapat diperoleh kembali dari proses ekstraksi bulan Juni-September 2003
Perlakuan Rendemen absolute hasil ekstraksi (berat dan persen)
Juni Juli Agustus September
1. Ekstraksi satu tahap 2. Ekstraksi dua tahap 3. Pencucian
79,22 70,99 83,60
77,68 69,01 79,97
70,83 65,36 75,42
76,06 64,36 87,77
B. Mutu minyak melati yang dihasilkan
Analisis fisik dan kimiawi dilakukan terhadap minyak melati yang diperoleh untuk
mengetahui mutunya. Parameter yang digunakan untuk menentukan mutu minyak melati
adalah indeks bias, bilangan asam dan bilangan ester serta komponen penyusunnya. Hasil
analisis indeks bias, bilangan asam dan bilangan ester dari absolute yang dihasilkan
ditunjukkan pada Tabel 3.7
Tabel 3.7: Indeks bias, bilangan asam dan bilangan ester absolute melati hasil ekstraksi
Nilai tiap unsur mutu
Juni Juli Agustus September
1. Indeks bias
Ekstraksi satu tahap
Ekstraksi dua tahap
Pencucian
1,733 1,729 1,683
1,4787 1,4606 1,4612
1,2778 1,4511 1,3742
1,4553 1,4880 1,4576
2. Bilangan asam
Ekstraksi satu tahap
Ekstraksi dua tahap
Pencucian
11,2 10,9 14,10
11,2 8,8 11,3
9,8 8,8 11,7
7,8 7,8 10,7
3. Bilangan ester
Ekstraksi satu tahap
Ekstraksi dua tahap
Pencucian
97,8 116,5 10,8
189,8 132,8 93,8
90,3 98,7 39,3
112,9 147,9 184,5
C. Perhitungan bianya ekstraksi dan harga kasar absolute melati
Proses ekstraksi satu tahap, biaya prosesnya sekitar Rp. 87.380,- dan menghasilkan
concrete rata-rata 8 gram atau absolute rata-rata 4 gram, maka harga dasar concrete adalah
Rp. 9.255,- atau absolute Rp. 21.845,- tiap gram. Pada ekstraksi dua tahap, dengan biaya
proses Rp. 127.880,- menghasilkan concrete 13 gram atauabsolut 6 gram, maka harga dasar
concrete adalah Rp. 8.793,- atau absolute Rp. 21.314,-. Sementara, untuk teknik pencucian,
ternyata membutuhkan biaya yang lebih besar yaitu Rp. 63.250,- menghasilkan concrete 3
gram atau absolute 2 gram, maka harga dasar concrete adalah Rp. 16.650,- dan absolute
adalah Rp. 31.625,-.Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka absolute melati paling
Perlakuan
ekstraksi
Unsur
mutu
31
murah dihasilkan dari ekstraksi dua tahap atau satu tahap, sedangkan proses pencucian
membutuhkan biaya proses yang lebih besar.
D. Teknologi ekstraksi untuk menghasilkan minyak bunga mawar
Bahan yang digunakan adalah bunga mawar tabor merah dan putih yang dicampur
dengan perbandingan 1 : 1. Percobaan yang telah dikerjakan adalah penentuan waktu lama
ekstraksi. Perlakuan yang diterapkan adalah 20, 30, 40, 50, dan 60 menit. Hasil pengamatan
disajikan pada Tabel 3.8. Dengan membandingkan perolehan persen absolute mawar akan
dapat ditentukan waktu proses yang paling sesuai.
Tabel 3.8: Hasil ekstraksi bunga mawar pada berbagai lama proses
Perlakuan Concrete, % Absolut, % Recovery heksan, %
Kehilangan pelarut, %
1. Ekstraksi selama 20 menit 2. Ekstraksi selama 30 menit 3. Ekstraksi selama 40 menit 4. Ekstraksi selama 50 menit 5. Ekstraksi selama 60 menit
0,1290 0,1840 0,2200 0,1850 0,2200
0,100 0,109 0,108 0,108 0,120
74,7920 79,0830 82,8020 79,6880 67,9690
25,2080 20,9170 17,1980 20,3130 32,0310
Berdasarkan hasil percobaan penentuan waktu ekstraksi, maka untuk penelitian
selanjutnya digunakan waktu ekstraksi 20 menit. Perlakuan yang diterapkan untuk ekstraksi
minyak mawar adalah: ekstraksi satu tahap, dua tahap dan tiga tahap. Hasil percobaan
menghasilkan concrete 0,156% dengan hasil absolute 0,067% pada perlakuan ekstraksi satu
tahap dengan recovery heksan 79,70%. Untuk perlakuan ekstraksi dua tahap menghasilkan
concrete 0,112% dengan absolute 0,0345% dengan recovery pelarut sebesar 77,89%.
Selanjutnya untuk perlakuan pencucian menghasilkan concrete 0,272% dengan absolute
0,0675% dan recovery pelarut 78,39%. Mutu absolute mawar yang dihasilkan ditunjukkan
pada Tabel 3.9.
Tabel 3.9: Hasil analisa mutu absolute mawar
Perlakuan Mutu absolut
Indeks bias Bilangan asam Bilangan ester
1. Ekstraksi satu tahap 2. Ekstraksi dua tahap 3. Pencucian
1,3745 1,3742 1,3755
9,62 9,45 9,70
82,95 84,40 71,36
32
3.7.
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PEMBUATAN PASTA CABAI DAN TOMAT SKALA PILOT
Cabai merah (Capsicum annum L.) dan tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan
komoditas hortikultura yang dikenal sebagai bahan makanan sehari-hari maupun sebagai
bahan baku industri pangan dan obat-obatan. Sebagaimana produk pertanian pada
umumnya, cabai merah yang mengandung air 80-90% mudah rusak akibat aktivitas kimia dan
biologi, demikian juga halnya dengan tomat. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan teknik
pengolahan yang bertujuan untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu.
Tujuan jangka pendek penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi terbaik
dalam pembuatan bubuk cabai/pasta kering dalam skala pilot, pasta cabai dalam skala
laboratorium dan pasta tomat dalam skala laboratorium dan pilot. Sedangkan tujuan jangka
panjangnya adalah untuk mengembangkan pasta cabai dan tomat dalam suatu model
agroindustri.
Bubuk cabai merah dibuat dengan mengeringkan cabai merah dalam alat pengering
Through Flow Air Dryer (TFAD) yang berkapasitas 100 kg. Dalam penelitian ini telah dicoba
mengeringkan 30 kg cabai merah dengan tiga kali ulangan. Proses pengeringan berlangsung
selama 10-15 jam, dengan rendemen 10%. Cabai kering yang diperoleh kemudian digiling
untuk mendapatkan bubuk cabai dengan ukuran 60 dan 120 mesh. Analisa yang dilakukan
adalah pengukuran kadar air, warna, dan uji organoleptik. Perlakuan pada percobaan ini
adalah penyimpanan dan penambahan asam akorbat pada pasta basah yang dibuat dari pasta
kering.
Bubuk cabai kering mempunyai kadar air 10,2%, dengan tekstur, warna, dan aroma
yang disukai oleh panelis. Perlakuan penyimpanan dan penambahan asam askorbat sedang
dalam proses. Pasta cabai dan tomat dibuat dengan perlakuan perbedaan varietas, blansing
dan penambahan bahan pengental. Produk pasta dianalisa sifat fisik dan kimianya, selain itu
juga dilakukan pengukuran warna dan uji organoleptik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga varietas cabai besar, yaitu TW,
Tanjung dan Victory, yang mempunyai rendemen pasta tertinggi adalah varietas Victory
(26%). Pasta cabai dengan perlakuan tanpa blansing lebih baik dari, pada pasta cabai dengan
perlakuan blansing dalam hal kadar air dan warna.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pembuatan pasta tomat dari ketiga varietas
tomat yang digunakan, yaitu Arthaloka, Marta, dan Idola pada prinsipnya semua dapat
33
diterima panelis. Perlakuan tanpa blansing ternyata juga lebih baik dalam hal tingkat kadar air
dan warna daripada perlakuan dengan blansing.
Dalam skala pilot telah diuji coba sebanyak 15 kilogram bubur tomat dan cabai yang
dievaporasi pada suhu 90oC dan tekanan vakum 60 cmHg. Dari uji coba ini, diketahui bahwa
kinerja evaporator vakum belum optimal. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya kerak
pasta pada dinding tangki evaporator dan pasta belum mencapai tingkat kekentalan yang
diinginkan. Untuk itu, diperlukan modifikasi berupa penambahan batang pengaduk pada
tangki evaporator untuk mencegah pengkerakan pasta tomat.
3.8.
PENGEMBANGAN MODEL AGROINDUSTRI SKALA KECIL MENENGAH MINYAK NILAM TERPADU
Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas perdagangan Indonesia yang
digunakan sebagai bahan penting untuk industri obat-obatan, flavor, fragrance, dan parfum.
Guna meningkatkan ekspor, memenuhi kebutuhan di dalam negeri, dan mengantisipasi
persaingan di pasar dunia, diperlukan perbaikan sistem agroindustri penyulingan minyak
atsiri yang meliputi aspek: teknologi proses penyulingan, rekayasa alat penyuling, dan
manajemen kelembagaan petani minyak atsiri. Salah satu model penyulingan SBCS-1000
telah diuji coba sebagai pilot plant di Desa Cikondang Kec. Cingambul Kab. Majalengka.
Model ini telah menarik perhatian Pemda Jawa Barat dengan disediakannya dana APBD
untuk pengembangan areal tanaman nilam.
Minyak atsiri (essential oil) merupakan salah satu komoditas perdagangan yang
digunakan sebagai bahan penting untuk industri obat-obatan, flavor, fragrance, dan parfum.
Di Indonesia tercatat 14 jenis minyak atsiri yang sudah diekspor, salah satu diantaranya yaitu
minyak nilam (patchouli oil). Pada tahun 2000 volume ekspor minyak nilam Indonesia sekitar
1052 ton dengan nilai US $ 16.24 juta, sedangkan impornya sekitar 8.1 ton dengan nilai US $
123 ribu.
Pada tahun 2001-2002, telah dilakukan penelitian perbaikan sistem penyulingan
minyak atsiri dan pengembangannya. Dari hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan
bahwa limbah penyulingan daun nilam serta ekstrak limbahnya mengandung senyawa
alkaloid, saponin, glikosida, dan flavonoid yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan
produk pestisida dan pewangi ruangan. Berdasarkan hasil kegiatan tahun 2002, maka pada
tahun 2003 dilakukan pengembangan kelembagaan dan aplikasi sistem manajemen mutunya.
34
Selain itu dilaksanakan pembuatan produk pewangi ruangan (dupa dan lilin) dari limbah
minyak nilam pada skala laboratorium serta uji efektifitas produk.
Tujuan dari penelitian ini yaitu: (1). Mengembangkan model agroindustri minyak
nilam pada skala komersial di sentra produksi dan pnataan manajemen kelembagaan serta
penerapan sistem manajemen mutunya; (2). Memperoleh teknologi proses pengolahan
limbah penyulingan nilam yang aplikatif pada skala industri kecil. Sasaran dari penelitian ini
yaitu: (1). Mendapatkan model agroindustri minyak nilam yang efisien dan aplikatif di
lapangan; (2). Mendapatkan teknologi proses pengolahan limbah penyulingan nilam dan
formulanya untuk pewangi ruangan.
Kegiatan penelitian pengembangan model agroindustri skala kecil menengah minyak
nilam terpadu terdiri atas pengembangan metode dan teknologi proses penyulingan minyak
nilam, serta teknologi pemanfaatan limbah penyulingan nilam. Dalam upaya pengembangan
metode dan teknologi proses penyulingan minyak nilam dengan menggunakan alat SBCS 100
dilakukan pelatihan bagi petani, kelompok tani dan pengrajin, serta pembentukan
kelembagaan agribisnis minyak nilam di sentra produksi (di Cikondang-Majalengka). Selain
itu diterapkan sistem manajemen mutu dan prosedur standar operasional, yang meliputi:
prosedur panen, perlakuan bahan baku setelah panen, dan prosedur penyulingan.
Dalam kegiatan penelitian teknologi pengolahan limbah penyulingan nilam, dilakukan
pendekatan karakteristik limbah termasuk analisis bahan aktif, pengolahan limbah menjadi
produk pewangi ruangan (dupa dan lilin), serta pengujian produk.
Penelitian teknologi penyulingan diarahkan pada penerapan sistem manajemen mutu
dalam penyulingan minyak nilam di tingkat kelompok tani dan pengrajin minyak atsiri, serta
pembinaan kemitraan. Berdasarkan data yang terkumpul akan dilakukan penyusunan
prosedur standar operasional. Penelitian teknologi pengolahan limbah diarahkan pada
kegiatan perbaikan metode pengolahan limbah penyulingan nilam menjadi produk pestisida
dan pewangi ruangan, serta pengujian bahan baku/produknya.
Hasil percobaan penyulingan minyak nilam dengan alat SBCS-1000 di Cikondang
ditunjukkan pada Tabel 3.10.
35
Tabel 3.10: Hasil percobaan penyulingan minyak nilam dengan alat SBCS-1000
Bobot bahan (kg) Lama penyulingan
(jam) Rendemen Minyak
Nilam (%) Kadar Patchouly
Alkohol (%)
80 6 2,46 30
90 6 2,52 31
100 6 2,28 30
80 7 2,56 32
90 7 2,63 33
100 7 2,36 32
80 8 2,67 33
90 8 2,78 34
100 8 2,48 32
Revisi rancangan SNI Nilam oleh BSN dan Deperindag mengusulkan agar kadar
patchouli alcohol minimum 31%. Dibandingkan dengan hasil percobaan, maka lama
penyulingan nilam dengan alat SBCS-1000 harus lebih dari 7 jam.
Analisis biaya penyulingan minyak nilam menunjukkan bahwa harga jual minyak
nilam minimal yang dapat menguntungkan penyuling/petani nilam yaitu Rp 175.000,-/kg
dengan rendemen minyak paling sedikit 1,8%. bila rendemen minyak mencapai 2,4% harga
jual minimal adalah Rp 150.000,-/kg. Kenyataannya rata-rata petani/penyuling nilam hanya
mampu mencapai rendemen 2,0%. hal itu antara lain dipengaruhi oleh kualitas bahan baku
terna nilam, lama penyulingan dan cara penyulingan yang dipakai.
Identifikasi masalah pengembangan agroindustri minyak atsiri di Garut dan Bandung
Minyak atsiri yang sudah berkembang di Garut yaitu akar wangi. Minyak atsiri yang
potensial untuk dikembangkan adalah nilam. Kendala yang dihadapi petani/pengrajin nilam
yaitu: (1) fluktuasi harga minyak nilam; (2) kesulitan air untuk pendingin (karena musim
kemarau); (3) tanaman rusak/mati akibat penyakit dan kemarau. Petani/pengrajin nilam
mengharapkan adanya bantuan dari instansi terkait berupa bantuan modal kerja, unit
penyulingan yang terbuat dari plat SS, informasi pasar, serta diharapkan ada standar harga
yang sama-sama menguntungkan baik, bagi petani/pengrajin, maupun pedagang dan
eksportir.
Minyak atsiri yang sudah berkembang di Bandung yaitu serai wangi. Minyak nilam
belum dikembangkan. Namun pedagang pengumpul minyak nilam banyak berdomisili di
Bandung, sasaran pengumpulannya adalah Majlengka, Kuningan, Garut, dan Tasikmalaya.
36
Identifikasi masalah pengembangan agroindustri minyak nilam di Purbalingga
Di lapangan mulai nampak masalah hama/penyakit, terutama penyakit buduk (akibat
virus) dan hama trips. Masalah pascapanen yang menonjol adalah rendemen minyak rata-rata
1,5%, kadar patchouli alcohol 28-33% dan kadar Fe yang tinggi.
Identifikasi masalah pengembangan agroindustri minyak nilam di Bengkulu
Kondisi tanaman di lapangan tidak terawat baik, kurang pupuk, dan ada gejala
terserang hama/penyakit. Di beberapa tempat terlihat tanaman rusak/mati karena pengaruh
kemarau. Penyulingan dilakukan dengan cara dikukus dan uap langsung menggunakan ketel
dari plat besi. Rendemen minyak nilam 1,5-2,5% tergantung mutu dan lama penyulingan.
Penyulingan dilaksanakan selama 10-12 jam dengan bahan bakar kayu bakar.
Identifikasi masalah pengembangan agroindustri minyak nilam di Lampung
Kondisi tanaman nilam kurang terawat baik, kurang pupuk dan ada gejala
hama/penyakit. Sebagian pembeli mempersyaratkan kadar patchouli alcohol di atas 32%
dengan harga yang tidak berbeda dengan yang di bawah 32%. Petani/pengrajin minyak nilam
mengharapkan adanya kerjasama dan koordinasi dengan petani/pengrajin minyak nilam di
Jawa, terutama dalam menghadapi masalah fluktuasi harga minyak nilam.
Rencana kerjasama pengembangan agribisnis minyak nilam
Dalam rangka mensosialisasikan teknologi dan mencari mitra untuk pemasaran
produk minyak nilam, telah dilakukan Gelar Teknologi dan Temu Usaha Minyak Atsiri pada
tanggal 16-17 Desember 2002 di Majalengka. Sebagai tindak lanjut dari Gelar Teknologi dan
Temu Usaha, telah diadakan pertemuan pada tanggal 5 Februari 2003 di Bandung yang
difasilitasi oleh Dinas Perkebunan Jawa Barat, antara Balitpasca, Balittro, BPTP Jawa Barat,
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Majalengka, PT. Bioekstrak Agroindustri dan Kelompok
Tani nilam. Pada pertemuan tersebut telah dilahirkan beberapa kesepakatan antara lain:
a. Unit instalasi penyulingan minyak atsiri yang telah dibangun oleh Balitpasca di desa
Cikondang, Kab. Majalengka akan dijadikan sebagai model pengembangan sstem
agribisnis minyak nilam.
b. PT. Bioekstrak Agroindustri bersedia menjadi mitra sebagai penjamin pasar minyak
nilam produksi unit instalasi penyulingan binaan Balitpasca, dengan harga di atas
pasar lokal.
37
c. Pemerintah Daerah khususnya Kab. Majalengka, akan mendorong dan memfasilitasi
pengembangan tanaman nilam maupun mengkondisikan iklim usaha agribisnis
minyak nilam yang sehat.
d. Balitpasca akan berperan dalam pembinaan teknologi, sehingga pengoperasian unit
instalasi penyulingan sesuai standar prosedur penyulingan dan kualitas minyak dapat
dijamin.
Penyiapan dan penataan kelembagaan unit usaha
Rancangan bentuk kelembagaan unit usaha tani nilam disusun berdasarkan skala
usaha tani, kondisi sosial ekonomi petani/kelompok tani dan dengan melibatkan unsur-unsur
terkait. Unsur-unsur kelembagaan yang telah ada yaitu kelompok tani nilam mekar, unit
pengolahan, pemerintahan Desa Cikondang, pembina teknis serta kelembagaan pemasaran.
Kelompok tani memasok bahan baku ke unit usaha pengolahan yang dimiliki oleh
Balitpasca, kelompok tani dan Pemerintah desa. Unit usaha pengolahan dibina oleh
Balitpasca, Balittro, Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan
Pemerintah Desa. Minyak nilam yang dihasilkan akan dipasarkan ke koperasi dan pihak
swasta.
Penerapan Sistem Manajemen Mutu
Sistem manajemen mutu pada dasarnya dibangun oleh 5 pilar utama, yaitu pasar,
sumber daya manusia, sistem atau prosedur, aspek produksi dan infrastruktur. Upaya
penerapan sistem manajemen mutu yang dilaksanakan pada penelitian ini sampai dengan
Desember 2003 antara lain penerapan prosedur cara panen dan penanganan pascapanen
yang tepat.
Penggunaan ketel penyuling yang efisien dan terbuat dari stainless steel merupakan
salah satu syarat agar rendemen dan mutu yang dihasilkan dapat memenuhi SNI No. 06-
2385-1998. Untuk penyulingan nilam usaha skala kecil menengah (luas areal tanaman nilam
15-25 ha) dianjurkan menggunakan penyulingan secara dikukus (metode uap dan air).
Fasilitas di Desa Cikondang telah tersedia 2 unit. Salah satunya adalah alat penyuling
SBCS-1000 yang mempunyai volume ketel 1000 liter serta dilengkapi dengan fasilitas
pengembangan dan sarana pendukung lainnya. Selain itu pada tahun 2002 telah dibuat alat
penyuling minyak atsiri dengan cara uap langsung kapasitas 1000 liter yang diberi nama SD-
1000.
38
Analisis Sosial Ekonomi Petani Nilam
Dari hasil analisis ekonomi diperoleh angka pendapatan bersih dengan tingkat bunga
50% dan harga jual minyak nilam Rp 150.000,-/kg adalah Rp 65.000.000,-. Usaha tani dan
penyulingan nilam di Desa Cikondang, Kec. Cingambul secara sosial disambut baik oleh
petani dan tokoh masyarakat setempat.
Diseminasi Hasil Penelitian
Diseminasi hasil penelitian akan diadakan pada Februari-Maret 2004. Bentuk acara
diseminasi tersebut antara lain temu usaha antara petani dan pengusaha, kunjungan lapang ke
lokasi pembibitan dan penyulingan minyak nilam di Cikondang, serta penandatanganan MoU
antara pihak-pihak yang terkait seperti kelompok tani dengan mitra swasta, atau Koperasi
Tani Nilam dengan Kantor Menristek, atau Balitpasca dengan kelompok tani dan Kantor
Menristek, atau Balittro dengan Pemda Kab. Majalengka.
Teknologi Pemanfaatan Limbah Penyulingan Minyak Nilam
Ekstrak limbah nilam dengan konsetrasi 20% masih dapat membunuh serangga S
litura sampai 40% secara semprot serangga, sedangkan terhadap O purnacalis dapat
membunuh sampai 40% dengan cara semprot pakan. Limbah penyulingan nilam serta
ekstrak limbahnya masih mengandung senyawa alkaloid, saponin, glikosida dan flavonoid.
Alkaloida piperin yang terdapat dalam lada dapat berfungsi sebagai antibakteri dan pestisida.
Senyawa lain yang berguna sebagai pestisida antara lain tanin dan triterpenoid. Saponin dan
flavonoid dapat digunakan selain sebagai antibakteri juga sebagai antikanker.
Kegiatan tahun 2003 dikonsentrasikan kepada pembuatan produk lilin dan dupa dari
limbah penyulingan minyak nilam dalam skala laboratorium. Dari hasil kegiatan tahun 2002,
ekstrak limbah nilam mempunyai kemampuan membunuh serangga pertanian sampai 40%.
Hal ini berarti untuk meningkatkan daya bunuh limbah tersebut harus ditambahkan bahan
aktif kedua. Pemilihan bahan aktif kedua tersebut yaitu minyak serai wangi atau minyak
cengkeh.
Pembuatan Lilin Blanko
Berdasarkan sifat-sifat dari lilin blanko yang telah dibuat, lilin yang terbaik akan
digunakan sebagai basis lilin pada pembuatan lilin aromatik. Lilin dengan campuran bahan
parafin, stearin dan cera alba dengan perbandingan 6:1:3 adalah lilin yang terpilih sebagai
39
basis lilin. Karakteristik dari lilin tersebut cukup baik, yaitu sumbu, fisik lilin, dan uji nyalanya
cukup stabil selama pembakaran.
Pembuatan Lilin Aromatik
Dari pengamatan terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan aktif maka kondisi
saat lilin menyala kurang baik, sumbu lilin cepat habis dan nyala tersebar ke semua
permukaan lilin. Demikian juga dengan aromanya, semakin tinggi konsentrasi bahan aktif
aroma minyak atsiri saat menyala sangat menyengat terutama yang menggunakan sereh
wangi.
Pembuatan Dupa/Obat Nyamuk Bakar
Penelitian pembuatan dupa/obat nyamuk bakar terdiri atas percobaan pendahuluan
dan percobaan utama. Dalam percobaan pendahuluan produk pewangi ruangan bentuk
dupa/obat nyamuk bakar meliputi:
a. Penentuan jumlah penambahan air, gom, dan bahan aktif. Setelah dilakukan trial and error,
diperoleh hasil sebagai berikut: (1) penambahan air 120 ml; (2) penambahan gom 19.5 g
setelah produk jadi dan dapat terbakar secara kontinyu; (3) penambahan bahan aktif
minimal 4 g, dan maksimal 12 g, yang ditentukan berdasarkan hasil adonan yang baik.
b. Uji daya bakar bahan pengisi. Bahan pengisi yang memiliki daya bakar paling lama adalah
tepung batok, dan daya bakar paling singkat adalah tepung akar wangi.
Percobaan utama pembuatan produk pewangi ruangan bentuk dupa/obat nyamuk bakar
meliputi pengamatan karakteristik produk dan uji efektifitas.
Gambar 3.4. Model pilot penyulingan minyak atsiri dan minyak nilam hasil penyulingan
3.9
PENGEMBANGAN MODEL AGROINDUSTRI TERPADU BERBASIS PENGOLAHAN KULIT-BULU DAN DAGING KELINCI EKSOTIS
Kelinci mempunyai karakteristik daging dan kulit bulu serta bulu yang bernilai tinggi.
Olahan daging kelinci berupa sosis dapat meningkatkan nilai jual hampir Rp. 50.000,-,
40
padahal harga daging mentahnya hanya Rp 20.000,- - Rp. 25.000,- per kilogram. Melihat
peluang usaha yang besar dari produk olahan komoditas kelinci, maka telah dilakukan
penelitian pengembangan model agroindustri terpadu berbasis pengolahan kulit-bulu dan
daging kelinci eksotik yang sasaran akhirnya membentuk model agroindustri kemitraan.
Hasil identifikasi lokasi di beberapa daerah dengan memperhatikan potensi dan
karakteristik wilayah untuk pengembangan pengolahan daging dan kulit-bulu kelinci maka
ditetapkan lokasi penelitian di Desa Kepakisan-Dieng, Kabupaten Banjarnegara dan
Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Pertimbangan penentuan kedua kabupaten tersebut
selain adanya perusahaan yang dapat dijadikan mitra kerjasama, juga adanya kelompok tani
yang diharapkan dapat membantu pengembangan model agroindustri ini. Kehadiran breeding
centre yang dikelola PT Dirra Farm (Dieng Rex Rabbit Farm) yang berlokasi di desa
Kepakisan Kabupaten Banjarnegara, memungkinkan dikembangkannya model inti-plasma di
lokasi tersebut. Sementara di Kabupaten Wonosobo, adanya PT Lembu Aji Perkasa
memungkinkan dijalinnya kerjasama untuk pengembangan agroindustri kelinci. Kelompok
Tani yang terdapat pada kedua lokasi terpilih yaitu Kelompok Tani Toto Raharjo di desa
Kepakisan Kab. Banjarnegara dan Kelompok Tani di desa Kejajar Kab. Wonosobo.
Penelitian ini mencakup kegiatan introduksi model teknologi pengolahan daging kelinci
(sosis, nugget, kornet, bakso, dendeng, dan abon) dan teknologi penyamakan kulit bulu.
A. Introduksi model teknologi pengolahan daging kelinci menjadi berbagai produk
olahan
Kegiatan sosialisasi dan pelatihan teknologi pengolahan produk kelinci merupakan
tahap pertama. Kegiatan introduksi dilakukan dengan kooperator, swasta dan Dinas
Peternakan/Perikanan Kab. Wonosobo serta Sub Dinas Peternakan Kab. Banjarnegara.
Materi pelatihan yang diberikan meliputi pengolahan daging kelinci menjadi sosis, bakso,
nugget, dan burger. Peralatan yang diintroduksi untuk pengolahan daging adalah food processor
dan stuffer sosis serta alat-alat pendukung lainnya seperti kompor gas, panci pengukus, dan
pressure cooker. Modul pengolahan daging dan pengolahan kulit-bulu kelinci yang dibuat berisi
prosedur pembuatan produk-produk daging dan penyamakan kulit, dan dibagikan kepada
peserta.
Produk pengolahan daging (sosis, nugget, kornet, bakso, dendeng, dan abon) yang
dihasilkan selama 2 hari berturut-turut ternyata habis dikonsumsi oleh seluruh peserta dan
41
tak terkendala dengan preferensi daging, sehingga para peserta pengolahan daging memiliki
keyakinan untuk mencoba menjual sendiri produknya.
B. Introduksi model teknologi penyamakan kulit/kulit-bulu kelinci
Introduksi teknologi penyamakan kulit/kulit-bulu kelinci dilakukan bersamaan
dengan introduksi pengolahan daging. Untuk memperlancar introduksi teknologi ini maka
pihak PT Dirra sebagai breeding centre telah siap untuk menggunakan teknologi yang
dikembangkan. Produksi kelinci potong PT Dirra masih relatif kecil yaitu sekitar 30-50 ekor
per bulan. PT Dirra bersedia memberikan imbalan jasa penyamakan kulit sebesar Rp. 6.500
per lembar kulit bulu (> 1 ft persegi/lembar), dengan ketentuan teknologi dan bahan kimia
disediakan Balitpasca. Nilai ini Rp. 1.500 lebih besar dari biaya penyamakan di Balai Kulit,
Karet dan Plastik Yogyakarta. PT Dirra telah mulai melakukan penyamakan dengan
menggunakan teknologi dan bahan kimia yang disediakan Balitpasca. Terhitung selama tahun
2003, pihak PT Dirra telah melakukan penyamakan sebanyak 285 lembar, dengan kontribusi
ke Balitpascca sebesar Rp. 1.852.500.
Untuk pengolahan penyamakan kulit bulu kelinci, dilakukan kerjasama penelitian
dengan Balai Penelitian Kulit, Karet dan Plastik Yogyakarta dengan tujuan meningkatkan
mutu kulit samak dan pengolahan limbah kulit secara sederhana.
C. Pengembangan Teknologi
Selain berbagai kegiatan pengembangan, juga dilakukan penelitian Laboratorium,
yang merupakan lanjutan dari kegiatan TA. 2002. Penelitian yang dilakukan adalah
pengolahan daging menjadi sosis, karage, nugget, dan kornet, dengan variabel perlakuan
adalah tingkat dan jenis bahan pengisi (kentang, maizena atau tapioka) dan bahan pengikat
ISP (isolate soybean protein dan susu skim).
a. Sosis
Kadar susu skim atau isolat protein yang digunakan 4,4%, sedangkan tepung tapioka,
maizena ataupun tepung kentang digunakan sebanyak 3,36%. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan ISP maupun skim sebagai bahan pengisi dan tapioka, maizena ataupun
tepung kentang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali pada tepung kentang pada
parameter stabilitas emulsi, daya ikat air, kekerasan dan intensitas warna merah. Penggunaan
ISP meningkatkan biaya produksi yang cukup tinggi dan lebih sukar diperoleh terutama
42
untuk pengolahan skala rumah tangga, sehingga disarankan untuk menggunakan susu skim.
Kadar lemak yang cukup tinggi berasal dari suplemen omega-3 dan omega-6 sebanyak 9,5%,
dengan asumsi konsumsi 100 g sosis per hari cukup untuk memenuhi kebutuhan harian
kedua senyawa ini.
b. Nugget
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung tapioka dianggap yang
paling memungkinkan untuk diolah pada skala kecil, selain biaya produksi yang lebih rendah,
rasa dan tekstur secara organoleptik lebih disukai. Kadar bahan kimia pada umumnya tidak
jauh berbeda. Seperti pada sosis, kadar lemak tinggi berasal dari suplemen omega-3 dan
omega-6, sedangkan tambahan lainnya berasal dari minyak yang digunakan saat menggoreng
produk.
c. Kornet
Penelitian pengolahan kornet dilakukan dengan menguji peubah bahan pengisi (aren
dan tapioka) dalam kombinasinya dengan campuran bahan pengisi (skim dan isolate soybean
protein). Kandungan campuran bahan pengisi umumnya berkisar antara 10-15% dalam
produk olahan. Dalam penelitian ini digunakan kombinasi skim: ISP = 1:3 dan 3:1. Dari hasil
analisis kimia, analisis fisik dan rendemen produk, tidak terdapat perbedaan yang nyata,
kecuali tepung aren dalam kombinasi dengan skim konsentrasi rendah, memberikan nilai
kekerasan yang lebih rendah dari perlakuan lainnya.
D. Model agroindustri
Model agroindustri merupakan tujuan akhir dari penelitian ini, karena diharapkan
dengan pengujian model, adopsi teknologi dapat terlaksana. Dari beberapa daerah yang
menjadi sasaran, hanya Banjarnegara dan Wonosobo yang saat ini menunjukkan potensi
terciptanya agroindustri. Model agroindustri yang ditawarkan untuk lokasi Banjarnegara dan
Dieng adalah model inti plasma. Inti berfungsi sebagai penyedia dan/atau pemasar bahan
baku bagi anggotanya. Diharapkan pada akhirnya anggota itu sendiri dapat belajar untuk
memasarkan produknya tanpa bergantung pada intinya, sehingga nilai tambah tetap dapat
diperoleh oleh pengolah. Inti dapat berupa perusahaan (dalam hal ini PT Dirra), atau
Kelompok maupun Koperasi.
43
Gambar 3.6: Diversifikasi produk olahan daging kelinci
Dari 15 kg daging, dengan nilai Rp. 450.000 dan biaya tenaga produksi (Rp. 75.000)
serta bumbu dan campuran pelengkap (Rp. 75.000) diperoleh hasil Rp. 1.125.000, sehingga
margin keuntungan adalah Rp. 525.000. Dari keuntungan ini, Balitpasca memperoleh 20%
senilai Rp. 105.000 yang disetor sebagai sisa hasil usaha.
Model agroindustri kulit, belum dapat berjalan seperti yang diharapkan karena
ketersediaan bahan baku yang terbatas. Namun demikian, beberapa peternak yang
memperoleh pelatihan, telah dapat melakukan pengolahan sendiri.
Model agroindustri daging di Banjarnegara dan Wonosobo, dibentuk dalam bentuk
kelompok, dengan harapan masing-masing anggota kelompok pada akhirnya dapat berdiri
sendiri dan/atau dapat dibantu kelompoknya, terutama dalam pengadaan bahan baku dan
pemasaran. Nengingat ketersediaan modal dan bahan baku yang sangat terbatas, maka usaha
pemanfaatan teknologi secara individual belum dapat dilakukan. Produk olahan yang sudah
dipasarkan adalah bakso. Sebagai bantuan awal untuk pengolahan dan pemasaran produk
daging kelinci, kooperator memperoleh 15 kg daging dari kegiatan penelitian ini. Keuntungan
Gambar 3.5. Produk kulit bulu kelinci eksotik, (A) hasil olahan tradisional, (B) hasil
penelitian
A B
44
yang diperoleh dibagi sesuai perjanjian yaitu 70% untuk pengolah, 20% untuk Balitpasca, dan
10% untuk Dinas.
3.11. TEKNOLOGI PENGOLAHAN MENTE
Pengolahan kacang mete di tingkat petani selama ini menghasilkan rendemen kacang
sebesar 25% dengan kadar kacang belah yang sangat tinggi (± 40%), sementara kacang
utuhnya relatif rendah (60%). Pengembangan teknologi pengolahan mete melalui proses
pengukusan dan introduksi alat bantu pengupas tipe MM-99, mampu meningkatkan
presentasi kacang utuh hingga 90%. Melalui teknologi ini, petani mete dapat memperoleh
nilai tambah sebesar Rp 687,5 untuk setiap kilogram gelondong mente yang diolah lebih
besar. Pendapatan yang diperoleh dari penerapan teknologi mi sebesar Rp 3.237,50/kg,
dibandingkan yang diperoleh petani dengan teknologi yang selama ini dikuasainya.
Minyak kulit biji mete (CNSL) merupakan produk samping dari pengolahan kacang
mente, yang mengandung senyawa fenolik. Pemisahan kardanol dari CNSL dapat dilakukan
melalui tahapan proses: (1) dekarboksilasi CNSL untuk mengkonversi asam anakardat di
dalam CNSL menjadi kardanol, dan (2) pemisahan kardanol dari CNSL dengan distilasi
vakum. Dekarboksilasi dapat dilakukan dengan pemanasan. Kondisi optimum dicapai
dengan pemanasan 140oC selama 1 jam. Kardanol dipisahkan dari CNSL dengan distilasi
vakum (4-8 mmHg) pada suhu tinggi. Temperatur optimum dicapai pada suhu distilasi 280oC
dengan rendemen destilat (kardamal) 74%. Karakteristik destilat CNSL yang diperoleh sesuai
dengan karakteristik kardanol. Kardanol merupakan senyawa fenolik sehingga dapat dipakai
untuk mensubtitusi fenol dalam berbagai produk industri seperti cat, vernis, coating, dan
perekat kayu lapis.
3.12.
PENELITIAN PERBAIKAN SISTEM MANAJEMEN MUTU AGROINDUSTRI PENGOLAHAN KEDELAI
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi keragaan teknis dan manajemen
agroindustri pengolahan kedelai. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan jaminan mutu
produk olahan kedelai (tahu). Perbaikan ini penting, mengingat melalui pendekatan
agroindustri skala kecil-menengah tersebut diharapkan dapat diperoleh selling point tersendiri
yang mungkin dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing dan memenangkan pasar.
Secara makro, penerapan sistem mutu pada agroindustri ini juga dapat dipakai sebagai bukti
45
atau acuan dalam penetapan kebijakan yang terkait dengan kemungkinan masuknya produk
serupa (khususnya tahu) dari negara lain, seiring dengan perkembangan pasar global.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan sistem manajemen mutu pada
industri tahu UD Cinta Sari di DI Yogyakarta mampu memberikan jaminan terhadap
konsistensi mutu tahu. Dengan memperhatikan kualitas bahan baku (kedelai), kadar protein
tahu meningkat menjadi 19,21% dibandingkan sebelum diterapkan sistem manajemen mutu
(17,13%). Penataan peralatan dan alur proses memberikan efektifitas dan efisiensi selama
proses produksi. Efisiensi lahan yang dicapai sebesar 17,06% dan penghematan waktu
mencapai 20% ( 1,5 jam) dalam satu batch produksi (32 kg). Penerapan sistem manajemen
mutu meningkatkan B/C rasio dari 1,063 menjadi 1,37.
3.13. LITKAJI PENGEMBANGAN MODEL PENGOLAHAN PADI
Penelitian Litkaji Pengembangan Model Pengolahan Padi dilaksanakan di Kabupaten
Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat sebagai lokasi pengkajian kegiatan PFI3. Tujuannya
adalah meningkatkan pendapatan petani melalui perbaikan mutu gabah dan beras. Sebagai
tahap pertama penelitian, telah dilakukan survai identifikasi lokasi, penerapan teknologi
pascapanen, dan keadaan mutu gabah dan beras yang dihasilkan oleh petani maupun
penggilingan padi. Survey dilakukan semi terstruktur dengan pendekatan PRA. Dari 20
responden diperoleh kesimpulan petani belum menerapkan teknologi pascapanen dengan
benar, sehingga mutunya rendah. Kandungan hampa dan kotoran di atas 5%, beras pecah
lebih 30%, menir > 5%. Penggilingan padi umumnya menerapkan satu pass (80%), sehingga
derajat sosohnya hanya mencapai 80-85% dengan rendemen giling 60-62%. Tataniaga beras
belum lancar, sehingga nilai tawar gabah petani sangat rendah. Pendapatan petani berpeluang
ditingkatkan melalui perbaikan mutu hasil panen padinya, dalam suatu kelembagaan.
3.14. PENELITIAN PRODUKSI SAYURAN INSTAN MELALUI TEKNOLOGI FAR INFRARED (FIR)
Komoditas sayuran merupakan produk yang mudah rusak. Kerusakan yang terjadi
diantaranya disebabkan oleh mikroba akibat kontaminasi yang terjadi selama proses
pengolahan atau penanganan pascapanen. Untuk itu diperlukan suatu teknologi yang dapat
mengatasi masalah yang terjadi, sehingga dapat menekan kerusakan dan aman untuk
dikonsumsi.
46
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi status teknologi pengeringan
sayuran yang sudah ada dan mengembangkan teknologi far infra red (FIR) untuk
meningkatkan nilai tambah komoditas sayuran melalui produk sayuran instan berkualitas.
Keluaran dari penelitian ini adalah model teknologi FIR untuk menghasilkan sayuran kering
wortel, seledri, bayam, daun bawang, dan jamur.
Sasaran penelitian ini adalah tercapainya percepatan penerapan dan pengembangan
teknologi FIR untuk produksi sayuran instan sebagai salah satu proses dalam pengembangan
agroindustri yang memiliki nilai tambah dan nilai komersial. Hasil yang telah dicapai adalah
model teknologi FIR, informasi status teknologi sayuran kering, karakteristik fisiko-kimia
sayuran segar dan sayuran kering melalui teknologi FIR pada skala laboratorium.
Tabel 3.11: Kondisi kadar air dan waktu proses pengeringan pada jarak sumber radiasi FIR 18 cm
No. Sayuran Kadar air, (%)
Waktu, (menit) Awal Akhir
1. 2. 3. 4. 5.
Wortel Bayam Seledri Brokoli Jamur
91,90 87,94 84,08 87,20 89,45
8,53 11,96 16,01 12,71 10,49
21 9 9 15 21
Percobaan terhadap lima jenis sayuran (Tabel 3.11), menunjukkan bahwa pada jarak
sumber radiasi FIR dengan bahan sejauh 18 cm pada suhu 95-110oC, memerlukan waktu
pengeringan beragam dengan kisaran 9-21 menit. Kandungan vitamin C pada sayuran kering
yang dihasilkan melalui teknologi FIR ditunjukkan pada Tabel 3.12. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa secara signifikan sayuran instan yang diproses menggunakan teknologi
FIR menghasilkan kandungan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan produk kering hasil
sinar matahari. Sedangkan kandungan vitamin A sayuran instan menggunakan teknologi FIR
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk kering hasil sinar matahari.
Tabel 3.12 : Kandungan vitamin C pada sayuran kering
No. Jenis Sayur Vitamin C, (mg)
FIR Sinar Matahari 1. 2. 3. 4. 5.
Wortel Bayam Seledri Brokoli Jamur
3,443 6,593329
7,711 6,829 6,809
4,003 5,784 6,965 5,777 7,549
47
Tabel 3.13: Kandungan vitamin A pada sayuran kering
No. Jenis Analisis Vitamin A, (ppm)
FIR Sinar Matahari
1.
Retinol I II III
Rata-rata
95,957 102,17 99,411 99,17
69,414 68,112 69,112 68,879
2.
Beta karoten I II III
Rata-rata
96,415 97,503 89,911 94,609
49,447 49,754 49,903 49,701
114,97 77,16
3.15. TEKNOLOGI ISOLASI EUGENOL DAN SINTESIS ISO-EUGENOL DARI MINYAK DAUN CENGKEH SKALA KECIL
Sebagian besar minyak daun cengkeh Indonesia diekspor dan dikenal di pasar dunia
sebagai Indonesian clove-leaf oil, sebagian kecil diolah menjadi eugenol. Minyak daun
cengkeh Indonesia diolah menjadi beberapa produk isolat dan derivatnya seperti eugenol,
eugenol asetat, isoeugenol, vanilin, dan etil vanilin yang mempunyai harga jual lebih tinggi
dan banyak digunakan dalam industri flavor makanan, minuman, dan industri farmasi.
Eugenol sebagai komponen terbesar dari minyak daun cengkeh dapat diisolasi dengan
metode fisik dan kimia. Isolasi secara kimia relatif lebih mudah dan murah karena tidak
memerlukan peralatan yang mahal seperti halnya isolasi secara fisik, sehingga dapat
diusahakan oleh industri kecil menengah.
Hasil penelitian isolasi iso-eugenol dari minyak daun cengkeh dihasilkan produk iso-
eugenol kasar berupa cairan berwarna gelap dan mempunyai aroma harum seperti bunga
cengkeh. Suhu dan waktu reaksi isomerisasi berpengaruh nyata terhadap rendemen dan sifat
fisiko-kimia iso-eugenol kasar yang dihasilkan. Senyawa alkaloid, saponin, dan glikosida
terdapat pada bonggol, batang dan daun, sedangkan ampas penyulingan mengandung
saponin.
Isolasi eugenol pada skala laboratorium menghasilkan rendemen eugenol 67,8-68,3%
dengan tingkat kemurnian 99,3-99,5%, bobot jenis 1,0919-1,1670, warna kuning kecoklatan.
Uji proses isolasi eugenol pada skala proses 20 liter dengan peralatan hasil rancang bangun
menghasilkan rendemen eugenol 66,9-67,6% dengan kemurnian 93,2-98,5%. Biaya pokok
isolasi eugenol pada skala proses 20 liter adalah Rp. 91.726,2/liter dan harga minimal agar
proses tersebut masih menguntungkan adalah Rp. 98.846,-/liter sedangkan titik impas
48
produksinya 170,3 liter/tahun dengan asumsi harga eugenol Rp. 90.000,-/liter dan harga
minyak cengkeh Rp. 50.000,-/liter. Dalam kondisi pasar saat ini dimana harga eugenol lebih
rendah, usaha produksi pada skala 20 liter belum menguntungkan. Pada proses sintesis iso-
eugenol, perlakuan dengan KOH 60%, lama pemanasan 120 menit pada suhu 190oC
menghasilkan rendemen 99,8% dengan tingkat kemurnian 45,95%. Perlakuan dengan NaOH
30% menghasilkan rendemen 75,42% tapi dengan tingkat kemurnian 51,32%. Karakteristik
mutu eugenol dan iso-eugenol umumnya sudah memenuhi syarat, kecuali warnanya yang
masih gelap kuning kecoklatan.
A. Isolasi Eugenol
Percobaan verifikasi pendahuluan metode isolasi eugenol dari minyak daun cengkeh
berdasarkan metode yang dikembangkan sebelumnya, telah dilaksanakan pada skala proses 2
liter bahan baku minyak daun cengkeh dengan menggunakan peralatan gelas di laboratorium.
Rendemen, sifat fisiko-kimia dan kemurnian eugenol hasil isolasi dari minyak daun cengkeh
disajikan pada Tabel 3.14.
Tabel 3.14: Sifat fisiko-kimia eugenol hasil isolasi dari minyak daun cengkeh
Ulangan Rendemen
eugenol, (%)
Kemurnian eugenol,
(%)
Bobot jenis
(25oC)
Indeks bias (25oC)
Kelarutan dalam
alkohol Warna
1 2 3
68,0 67,8 68,3
99,3 99,5 99,4
1,067 1,067 1,069
1,5377 1,5374 1,5379
Larut 1:1 Larut 1:1 Larut 1:1
Kuning coklat Kuning coklat Kuning coklat
Hasil percobaan pendahuluan isolasi eugenol menunjukkan bahwa rendemen
eugenol dan persentase kandungan eugenol dalam larutan eugenol hasil isolasi (yang
menunjukkan tingkat kemurnian eugenol) dan karakteristik sifat fisiknya telah memenuhi
persyaratan standar perdagangan yang berlaku (Standar EOA, 1970). Walaupun demikian,
warna larutan eugenol hasil isolasi masih agak gelap (kuning kecoklatan) yang mungkin
disebabkan karena warna minyak daun cengkeh sebagai bahan bakunya juga kuning
kecoklatan (agak gelap). Warna gelap tersebut juga disebabkan larutan NaOH teknis yang
digunakan dalam reaksi saponifikasi masih mengandung ion besi (Fe3+) yang akan bereaksi
dengan senyawa eugenol membentuk cairan berwarna gelap. Untuk mendapatkan eugenol
yang berwarna kuning muda seperti disyaratkan dalam standar mutu, mungkin perlu
dilakukan destilasi eugenol pada tekanan vakum. Walaupun demikian, larutan eugenol
49
dengan kondisi warna seperti tersebut di atas, sudah dapat diperdagangkan dengan harga
lebih rendah dibanding eugenol berwarna kuning jernih. Eugenol berwarna kuning jernih
umumnya diproduksi dengan metode fraksinasi yang membutuhkan peralatan lebih mahal.
Metode isolasi eugenol tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam proses scale-up dengan
menggunakan peralatan yang telah dirancang bangun pada skala proses 20 liter.
B. Sintesis iso-eugenol
Percobaan pendahuluan sintesis iso-eugenol pada skala laboratorium dengan
menggunakan bahan baku eugenol hasil proses isolasi dari minyak daun cengkeh telah
dilaksanakan dengan melakukan modifikasi metode Bedoukian (1967) dalam
Laksmanahardja et al., (2002), yaitu dengan menggunakan larutan KOH teknis sebagai basa
pada proses saponifikasi eugenol. Hal ini dilakukan karena penggunaan larutan NaOH teknis
pada penelitian sebelumnya menghasilkan rendemen iso-eugenol yang masih dianggap
rendah yaitu rata-rata 75,42% dengan tingkat kemurnian 51,32%. Dibandingkan dengan
penggunaan NaOH dalam reaksi saponifikasi eugenol sebagai bagian dari reaksi sintesis iso-
eugenol sebagaimana dilakukan pada penelitian sebelumnya, penggunaan KOH ternyata
dapat meningkatkan rendemen iso-eugenol yang dihasilkan.
C. Rancang bangun peralatan proses
Rancang bangun peralatan proses meliputi: (a) satu unit ketel reaksi berpengaduk
mekanik, (b) satu unit ketel pemisah, dan (c) satu unit autoclave bertekanan yang dilengkapi
pengaduk mekanis sebagai ketel reaksi proses isomerisasi eugenol menjadi iso-eugenol. Ketel
reaksi dan ketel pemisah telah selesai dibuat, dengan spesifikasi: (1) bahan kontruksi ketel
besi tahan karat (SS) 2 mm, (2) kapasitas masing-masing ketel 20 liter cairan, (3) pengaduk
ketel digerakkan motor listrik 1 HP dengan sirip pengaduk berbentuk V, (4) kecepatan
putaran pengaduk bersifat tetap yaitu 300 rpm, (5) peralatan untuk proses batch. Ketel reaksi
dan ketel pemisah akan digunakan dan diuji untuk proses isolasi eugenol dari minyak daun
cengkeh. Eugenol yang dihasilkan digunakan sebagai bahan baku untuk proses isolasi iso-
eugenol yang reaksi isomerisasinya dari eugenol menjadi iso-eugenol dilakukan dalam ketel
autoclave bertekanan. Ketel autoclave bertekanan dirancang berkapasitas 20 liter, dapat
dioperasikan sampai tekanan 12 bar, dilengkapi klep pengaman tekanan, jaket pemanas listrik
dengan panel pengontrol suhu dan pengaduk mekanis dengan tenaga motor listrik 1,5 HP.
50
D. Uji proses isolasi eugenol dan sintesis iso-eugenol
Uji proses isolasi eugenol dilakukan dengan menggunakan peralatan ketel reaksi
(pengaduk) dan ketel pemisah hasil rancang bangun yang masing-masing berkapasitas 20
liter/proses. Hasil uji proses isolasi eugenol menunjukkan bahwa rendemen eugenol yang
dihasilkan masih di bawah kandungan eugenol minyak daun cengkeh sebagai bahan bakunya
yaitu 76,0%. Dengan kisaran rendemen 66,9-67,3%, berarti tingkat recoverynya 88,03-88,5%.
Masih rendahnya tingkat recovery ini, disebabkan masih belum sempurnanya proses
pemisahan cairan sehingga masih terjadi loss (kehilangan cairan eugenol karena masih ikut
dengan cairan non-eugenol pada proses pemisahan). Walaupun demikian tingkat recovery
tersebut masih cukup memadai, walaupun idealnya mendekati 100%.
Ditinjau dari segi mutu, tingkat kemurnian eugenol yang disyaratkan USP (United
States Pharmacopea) adalah minimal 98,0%. Ada dua ulangan percobaan yang menghasilkan
kemurnian eugenol lebih rendah dari 98,0%. Hal ini mungkin disebabkan (1) bahan baku
minyak daun cengkeh tidak homogen, (2) pengadukan yang tidak sempurna karena pada
waktu uji ada penundaan pengerjaan. Karakteristik bobot jenis eugenol yang dihasilkan agak
lebih tinggi dibandingkan standar, walaupun karakteristik indeks biasnya memenuhi standar.
Walaupun warna eugenol yang dihasilkan berwarna agak gelap (kuning coklat) namun warna
seperti ini dapat diterima dalam perdagangan eugenol kasar (crude eugenol), karena pada
proses lanjutannya akan dimurnikan dengan cara destilasi vakum.
3.16. TEKNOLOGI PENGOLAHAN MINYAK KELAPA MURNI
2 Penggunaan produk minyak kelapa murni lebih diutamakan untuk kesehatan dan
kosmetika, sedangkan minyak kelapa biasa digunakan untuk minyak goreng. Spesifikasi
produk minyak kelapa murni pada Tabel 3.7 menunjukkan bahwa produk minyak kelapa
murni yang dihasilkan mempunyai kadar air dan asam lemak bebas (FFA) berturut-turut
adalah 0,114% dan 0,010%. Berdasarkan hasil tersebut produk minyak kelapa murni
memenuhi syarat mutu Codex Stan 19-1981 (Rev. 2-1999). Produk minyak kelapa murni
disajikan pada Gambar 3.8.
Kadar asam lemak minyak kelapa murni pada Gambar 3.8., menunjukkan besarnya
kandungan asam laurat (48%) dari minyak kelapa murni yang dihasilkan. Asam laurat
merupakan komponen penting penyusun dari produk minyak kelapa murni. Minyak kelapa
murni memiliki kandungan asam laurat yang sangat tinggi (45-50%), yang membedakannya
51
dengan minyak kelapa biasa (konvensional). Kondisi proses pengeringan yang digunakan
dalam proses scale-up adalah suhu pengeringan 75oC dan lama pengeringan 45 menit.
Gambar 3.7: Produk minyak kelapa murni
Tabel 3.15: Spesifikasi produk minyak kelapa murni
Karakteristik Kadar
a. Kadar air (%) b. Asam lemak bebas (%) c. Densitas (60oC) d. Bilangan iod e. Bilangan penyabunan
0,114 0,010 0,910
10 251
marat
Gambar 3.8: Kadar asam lemak minyak kelapa murni
48%
21%
10%
6%
11%
1%
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%
As. Laurat
As. Miristat
As. Palmitat
As. Stearat
As. Oleat
Gugus < C12
Kadar asam lemak, (%)
Asa
m lem
ak
52
Keunggulan teknologi proses yang dikembangkan waktu proses produksi minyak
lebih singkat ± 3 jam (tradisional 24-26 jam), kebutuhan air relatif sedikit (ekstraksi kering),
dan hemat energi. Teridentifikasi proses pengembangan untuk produk samping yakni
pemanfaatan ampas kelapa dengan mengisolasi senyawa galaktomannan yang dapat
meningkatkan nilai tambah dari produk-produk berbasis kelapa. Dalam ampas kelapa
terdapat galaktomannan 61%, mannan 26%, dan selulosa 13%. Telah terbentuk kerjasama
penelitian dengan pola kemitraan antara Badan Litbang Pertanian dengan Disperindag
Kabupaten Cianjur dan Koperasi Mutiara Baru Cianjur Selatan.
3.17 PENGEMBANGAN MODEL AGROINDUSTRI BERBASIS PENGOLAHAN DAGING DAN BULU ITIK
Itik merupakan komoditas ternak yang memiliki peluang pengembangan, termasuk
sebagai komoditas ekspor, melalui industri pengolahan hasil ternak. Daging itik dapat diolah
menjadi sosis, abon, dan dendeng bermutu tinggi, sedangkan pengolahan yang populer
adalah pengasapan, yang dipengaruhi oleh jenis bahan dan lama pengasapan. Harga itik asap
dapat mencapai antara Rp. 40.000 – 50.000,-. Bulu itik yang bermutu dengan warna putih
(bersih), setelah mengalami proses separasi dengan rendemen down-feather tinggi (> 10%),
diekspor ke Eropa dengan harga Rp. 90.000 – 100.000,- per kg. Kegiatan ini ditujukan untuk
meningkatkan nilai tambah itik melalui agroindustri terpadu berbasis pengolahan daging dan
bulu itik. Peningkatan nilai tambah itik tersebut dilakukan melalui teknologi pengasapan
daging dan teknologi separasi bulu. Hasil identifikasi lokasi di beberapa daerah dengan
memperhatikan potensi pemotongan, pengolahan, dan aktivitas pengolah didaerah lokasi
maka ditetapkan lokasi penelitian dan pengembangan agroindustri berbasis pengolahan
daging dan bulu itik di desa Nglengis – Banyurejo Kec. Tempel Kab. Sleman, DIY.
53
IV. KEGIATAN KERJASAMA KEMITRAAN
Kegiatan kerjasama kemitraan pada tahun 2003 merupakan kelanjutan dari kegiatan
yang telah dimulai pada tahun 2001 dan 2002, selain kegiatan baru pada tahun 2003.
Kegiatan kerjasama kemitraan tersebut sebagai berikut:
1. Pengembangan Agroindustri Minyak Nilam
Kegiatan pengembangan agroindustri minyak nilam dengan mitra kerjasama
Pemda Kab. Majalengka, Jawa Barat, yang dalam pelaksanaannya melibatkan (1) Koperasi
Tani Nilam Mekar Mulya, berlokasi di Desa Cikondang, Kec. Cingambul, Kab. Majalengka,
(2) PT Bioekstrak Agroindustry, produsen dan eksportir minyak atsiri berkedudukan di
Jakarta (kantor pusat) dan Desa Cimahi, Kec. Cicantayan, kabupaten Sukabumi (lokasi
pabrik).
Status dan perkembangan kerjasama:
a. Kerangka Acuan Kerjasama Penelitian dan Naskah Kesepakatan Kerjasama
Penelitian antara Balai Penelitian Pascapanen Pertanian dan Pemda Kabupaten
Majalengka (cq. Dinas Kehutanan dan Perkebunan) telah ditandatangani pada tanggal
27 Mei 2003.
b. Telah dilakukan pembuatan bangunan pabrik/unit pengolahan minyak nilam lengkap
dengan 1 unit ketel penyuling kapasitas 1000 liter dan telah dilakukan uji produksi
penyulingan minyak nilam. Telah dilakukan pelatihan/bimbingan kepada tenaga
operator yang merupakan karyawan Koperasi. Selama 2003 telah dilakukan produksi
minyak nilam, dan minyaknya telah dipasarkan selain ke PT Bioekstrak juga ke
pembeli lainnya.
c. Telah dilakukan Gelar Teknologi Agroindustri Minyak Nilam di Majalengka , bekerja
sama dengan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Majalengka, dihadiri
oleh pengusaha, petani, pengrajin minyak nilam, Badan Litbang Pertanian, Pemda
Propinsi Jabar dsb.
54
2. Pengembangan Model Agroindustri Tepung Kasava Skala Kecil Menengah
Kegiatan pengembangan model agroindustri tepung kasava dengan mitra kerjasama
Kelompok Tani Setia Harapan, Kabupaten lampung Timur, Lampung, Koperasi Bumi
Pertiwi, Lampung dan CV Pacira, Tanggerang.
Status dan Perkembangan:
a. Telah dibuat Kerangka Acuan dan Naskah Kerjasama yang disepakati bersama.
b. Telah dibuat unit pengolahan tepung kasava dengan bangunannya.
c. Telah dilaksanakan proses produksi pengolahan tepung kasava.
d. Telah dilakukan proses pembelian tepung kasava oleh mitra( CV. Pacira ).
e. Kerjasama berlanjut pada tahun 2004
3. Teknologi Ekstraksi Minyak Bunga Melati
Kegiatan penelitian teknologi ekstraksi minyak bunga melati dengan mitra kerjasama:
PT. Rezki Fortuna Andama, produsen dan pedagang minyak atsiri di Yogyakarta.
Status dan Perkembangan:
a. Telah dilakukan penjajagan kerjasama dan pembuatan peralatan ekstraksi serta uji
produksi di Jakarta.
b. Peralatan akan segera dipasang di Yogyakarta dilanjutkan dengan uji produksi.
c. Pemasaran produk akan dilakukan oleh PT Rezki Fortuna Andama.
d. Kegiatan dilanjutkan pada tahun 2004.
4. Teknologi Pengolahan Puree Mangga
Kegiatan penelitian teknologi pengolahan puree mangga dengan mitra kerjasama
Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon dan CV Promindo Utama, Cirebon.
Status dan Perkembangan:
a. Pada tahun 2003 telah dimulai penjajagan kerjasama , pembuatan unit pengolahan
dan bangunan pabrik serta uji produksi.
b. Kegiatan kerjasama ini mendapat bantuan dana “start-up capital” dalam program
Technopreneurship dari Kementerian Ristek dan Teknologi.
c. Kegiatan dilanjutkan pada tahun 2004.
55
5. Teknologi Agroindustri Padi Terpadu
Kegiatan penelitian teknologi agroindustri padi terpadu dengan mitra kerjasama
Pemda Kabupaten Subang dan Karawang, Jabar, Perusahaan Penggilingan Padi Intisari
Karawang & Gapoktan, Subang
Status dan Perkembangan:
a. Kerangka Acuan dan Naskah Kerjasama Pengembangan Agroindustri Padi Melalui
Penerapan Sistem Manajemen Mutu telah ditandatangani pada tanggal 23 Juni 2003
dengan Pemda Kabupaten Subang.
b. Kerangka Acuan dan Naskah Kerjasama Penerapan Teknologi Sistem Agroindustri
Terpadu telah ditandatangani dengan Perusahaan Penggilingan Padi Intisari,
Karawang pada tanggal 22 Oktober 2002 dan kegiatannya dilanjutkan pada tahun
2003.
c. Kegiatan telah berjalan dalam bentuk penyediaan dan supervisi teknologi serta
produksi beras melalui penerapan sistem manajemen mutu untuk menghasilkan beras
bermutu yang dapat meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani.
d. Kegiatan dilanjutkan pada tahun 2004.
6. Teknologi Pengolahan Kulit Bulu dan Daging Kelinci Eksotis.
Kegiatan penelitian teknologi pengolahan kulit bulu daging kelinci eksotis dengan
mitra kerjasama PT Dieng Rex Rabbit Farm, Wonosobo dan Pemda Kabupaten Wonosobo.
Status dan Perkembangan:
a. Kerangka Acuan dan Naskah Kerjasama dengan Kel. Tani Toto Raharjo, Dieng,
Wonosobo telah ditandatangani tanggal 1 april 2003, diketahui oleh Dinas Pertanian,
Peternakan & Perikanan Kabupaten. Wonosobo.
b. Uji produksi telah dilakukan di lokasi dan telah dilakukan uji pemasaran. Kendala
utama adalah bahan baku kelinci belum mencukupi, masih sangat terbatas sehingga
diperlukan unit peternakan kelinci yang dapat memasok bahan baku.
c. Diperlukan pengembangan kelembagaan yang terintegrasi mulai dari pasokan bahan
baku sampai pemasaran.
d. Kegiatan akan dilanjutkan dan disempurnakan pada 2004.
56
7. Teknologi Pengolahan Minyak Kelapa Murni Secara Terpadu
Kegiatan penelitian teknologi pengolahan minyak kelapa murni dengan mitra
kerjasama Dinas Perdagangan dan Industri Kabupaten Cianjur dan Koperasi Mutiara Baru,
Agrabinta, Kabupaten Cianjur.
Status dan Perkembangan:
a. Kerangka Acuan dan Naskah Kerjasama telah ditandatangani pada tanggal 23
Oktober 2003
b. Kerjasama bertujuan mengembangkan teknologi pengolahan minyak kelapa murni,
pembinaan kemitraan dan penyediaan sarana dan prasarananya.
c. Peralatan proses telah dibuat dan diuji coba, menunggu pemasangan dan uji coba
produksi di Agrabinta, kabupaten Cianjur.
d. Kegiatan akan dilanjutkan pada tahun 2004.
8. Teknologi Pengawetan Bunga Kering
Kegiatan penelitian pengawetan bunga kering dengan mitra kerjasama PT. Florina,
Jakarta.
Status dan Perkembangan:
a. PT Florina sebagai mitra telah berminat membeli formula pengawetan bunga kering.
b. Kesepakatan selanjutnya akan dirundingkan pada tahun 2004 termasuk kelanjutan
kerjasamanya.
57
V. KEGIATAN ESKPOSE BALAI PENELITIAN PASCAPANEN
Badan Litbang Pertanian mempunyai peranan yang penting dan strategis untuk
menghasilkan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kualitas
secara berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat dalam upaya mendukung dan
mengembangkan ketahanan pangan dan agribisnis. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut,
penyampaian informasi dan teknologi hasil pertanian kepada para pengguna dalam bentuk
promosi teknologi dan hasil penelitian merupakan tugas pokok dari Badan Litbang
Pertanian
Melalui kegiatan promosi hasil penelitian dan penyebarluasan informasi berupa
ekspose, diharapkan teknologi dan hasil penelitian yang telah dihasilkan oleh masing-masing
unit kerja termasuk Balitpasca dapat sampai dan diadopsi oleh masyarakat pengguna serta
pada gilirannya dapat meningkatkan citra Balitpasca sebagai penghasil teknologi di bidang
pascapanen pertanian.
Keragaan promosi dan diseminasi serta komunikasi hasil penelitian dengan
memberdayakan open show room berfungsi sebagai sarana membangun citra Balitpasca dan
sebagai media promosi hasil penelitian menuju komersialisasi hasil penelitian. Keragaan
promosi dan diseminasi yang bersifat eksternal diawali dengan perkenalan organisasi dan
Tupoksi Balitpasca, kemudian ditindaklanjuti dengan promosi hasil-hasil kegiatan baik dari
aspek penelitian, pengembangan maupun penerapan dan pembinaan dalam rangka adopsi
teknologi dan menjaring mitra kerja.
Beberapa kegiatan diseminasi dan komunikasi hasil penelitian yang berupa ekspose,
gelar teknologi maupun seminar telah dilakukan oleh Balitpasca. Berdasarkan jaring kegiatan
ekspose dapat dipilah menjadi dua jenis kegiatan yaitu : a) Ekspose yang dikoordinir oleh
Sekretariat Badan Litbang serta b) Ekspose diluar agenda Sekretariat Badan Litbang.
I. Ekspose Koordinasi Sekretariat Badan Litbang
Pelaksanaan kegiatan promosi di Badan Litbang Pertanian dilaksanakan melalui
beberapa kegiatan diantaranya pameran atau ekspose. Kegiatan ini melibatkan semua unit
kerja lingkup Badan Litbang Pertanian dengan koordinasi Sekretariat Badan Litbang dalam
hal ini Bagian Kerjasama, Iptek dan Humas.
58
Tabel 3.18. : Kegiatan Diseminasi dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Balitpasca melalui Koordinasi Sekretariat Badan Litbang
No Topik/Penyelenggara Waktu Tempat
1. Sewindu BPTP Jawa Timur, BPTP Jawa Timur 4-6 Juni 2003 Malang, Jawa Timur
2. Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian di Soropadan, Ungaran, Puslitbang Sosek Pertanian
15 Juli 2003 Ungaran, Jawa Tengah
3. Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian di Lahan Rawa Pasang Surut, Balitra Kalsel
30-31 Juli 2003 Kalimantan Selatan
4. Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian di Lahan Irigasi, Puslitbangtan 6-7 Agustus 2003 Sulawesi Selatan
5. Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian, BBP Mektan 12 Agustus 2003 BBP Mektan
6. Ekspose Inovasi Teknologi Lahan Kering dan Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Sawit-Sapi 9-10 September 2003
Kantor Gubernur Bengkulu
7. Pekan Biogen Pertanian 2003 dan Seminar Peraturan dan Kebijakan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
8-12 Desember 2003 Balitbiogen Bogor
1. Ekspose Sewindu BPTP Jawa Timur
Penyelenggaraan kegiatan Sosialisasi dan Ekspose Teknologi Unggulan dilakukan
dengan harapan masyarakat agribisnis dan pengguna teknologi pertanian khususnya di Jawa
Timur dapat memperoleh informasi teknologi terbaru untuk mendorong pengembangan
kreatifitas dan inovasi bagi kepentingan agribisnis yang lebih menguntungkan secara
berkelanjutan. Tema ekspose adalah : “Sewindu pengabdian Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian kepada petani. Manfaat yang diharapkan dari terselenggaranya kegiatan ekspose ini
adalah terjadinya arus timbal balik informasi pengembangan teknologi pascapanen, sehingga
dapat memperkaya dan mempertajam arah pengembangan sistem dan usaha agribisnis.
Pelaksanaan ekspose yang berlangsung pada tanggal 4-6 Juni 2003, kegiatan Sosialisasi dan
Ekspose Teknologi Unggulan dikemas dalam bentuk :
a. Ekspose
Dalam Ekspose tersebut ditampilkan teknologi-teknologi tepat guna dalam rangka
peningkatan produktivitas, efisiensi, kualitas, pengolahan hasil dan alat mesin pertanian.
59
b. Seminar Nasional
Seminar Nasional yang difokuskan pada topik yang berkaitan dengan „‟Daya Saing
Sektor Pertanian menghadapi AFTA” 2003, yang dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 2003.
materi yang disampaikan oleh Balitpasca ditunjukkan pada Tabel 3.19
Tabel 3.19. : Materi ekspose Balitpasca pada ekspose sewindu BPTP Jawa Timur
2. Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian di Soropadan, Ungaran
Materi yang disampaikan oleh Balitpasca pada kegiatan ekspos inovasi teknologi
pertanian di Soropadan, ditunjukkan pada Tabel 3.20
Tabel 3.20. : Materi ekspose Balitpasca pada inovasi teknologi pertanian di Soropadan
No. Judul Leaflet Panel Produk
1. Teknologi Aneka Tepung * * - Aneka kue kering
- Aneka kue basah
- Buku resep
2. Model Agroindustri Pengolahan Mangga dan Sirsak
* * - Puree sirsak
- Puree mangga
3. Teknologi Pewarnaan Bunga Sedap Malam
* - - Formula pewarnaan
- Bunga segar
4. Teknologi Proses Bunga Kering * - - Rangkaian Bunga Kering
5. Model Sistem Agroindustri Padi Berdaya Saing
- - - Beras merah
No. Judul Leaflet Panel Produk
1. Teknologi Aneka Tepung * * - Aneka kue kering
- Aneka kue basah
- Buku resep
2. Model Agroindustri Pengolahan Mangga dan Sirsak
* * - Puree sirsak
- Puree mangga
3. Teknologi Pemurnian Minyak Nilam * * - Minyak Nilam
4. Teknologi Proses Bunga Kering * - Rangkaian bunga kering
5. Teknologi Pengolahan Mente * - Mente
60
3. Ekspose Nasional Teknologi Lahan Rawa/Pasang Surut
Luas lahan Indonesia diperkirakan sekitar 190 juta ha yang terbagi atas 3 ekosistem,
yaitu ekosistem lahan irigasi, lahan kering dan lahan rawa. Ekosistem lahan rawa diperkirakan
luasnya 30 juta ha dan masih belum dimanfaatkan secara optimal yang tersebar di Pulau
Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Dibandingkan dengan ekosistem lahan irigasi dan lahan
kering, lahan rawa/pasang surut memerlukan penanganan yang lebih seksama karena kondisi
lahannya yang labil, terutama masalah tata air dan timbulnya zat-zat beracun.
Tabel 3.21. : Materi Balitpasca pada ekspose nasional teknologi lahan rawa/pasang surut No. Topik/Tema Poster Leaflet Olahan/Produk Keterangan
1. Tepung Labu Kuning Alabio
Olahan berbentuk mie basah & kue kering
2. Puree Jeruk Olahan dalam bentuk puree segar
3. Agroindustri padi terpadu Produk berupa beras, briket arang sekam, dan dedak awet
4. Kacang-kacangan:
a. Kacang kedelai b. Kacang merah c. Kacang hijau
- - -
- - -
Olahan susu Olahan susu Olahan susu
5. Buku Resep Aneka Olahan Tepung Non-Beras
- - - Berupa buku
6. Tepung Ubi Alabio - Kue kering, kue basah, mie, jam
7. Tepung Pisang -
8. Tepung Talas -
9. Tomat - Saus
10. Pisang segar (masak) - Jam, keripik
11. Nanas - Keripik
12. Nangka - Keripik
Teknologi pengelolaan lahan rawa telah dihasilkan melalui kegiatan penelitian. Hasil-
hasil penelitian tersebut perlu disebarluaskan kepada pengguna seperti petani, dunia usaha,
dan pengambil kebijakan antara lain melalui Pameran Nasional Teknologi Lahan
Rawa/Pasang Surut. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengkomunikasikan hasil-hasil
penelitian yang telah dihasilkan selama ini serta mendapatkan umpan balik dari pengguna
61
untuk memperbaiki kinerja penelitian di masa yang akan datang. Tema kegiatan ini adalah
inovasi teknologi lahan rawa/pasang surut. Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan
kegiatan ini adalah terjadinya arus timbal balik informasi pengembangan teknologi
pascapanen, sehingga dapat memperkaya dan mempertajam arah pengembangan sistem dan
usaha agribisnis. Materi yang ditampilkan oleh Balitpasca pada kegiatan tersbut ditunjukkan
pada Tabel 5.4.
4. Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian di Lahan Irigasi
Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi, baik berupa
varietas unggul, teknologi produksi, alsintan, pascapanen, maupun rekayasa sosial komoditas
pertanian. Teknologi yang tersedia perlu disebarluaskan kepada pengguna dalam upaya
meningkatkan produksi dan pendapatan melalui efisiensi dan nilai tambah, serta memberikan
kontribusi bagi pembangunan pertanian.
Salah satu upaya penyebarluasan teknologi dilakukan melalui Ekspose Teknologi
Pertanian di lahan irigasi. Hal ini dikaitkan dengan adanya kompetisi penggunaan lahan irigasi
untuk non pertanian serta upaya optimalisasi lahan untuk meningkatkan ketahanan pangan
nasional dan kesejahteraan petani. Tema ekspose adalah “Pertanian Lahan Irigasi Tulang
Punggung Ketahanan Pangan Nasional untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan
Pelestarian Lingkungan”. Materi ekspose di lahan irigasi adalah rancang bangun
pembangunan sistem dan usaha agribisnis di lahan irigasi yang terbagi dalam 3 subsistem
yaitu subsistem agribisnis hulu (pembenihan, varietas unggul inbrida, varietas unggul hibrida,
dan ideal), on farm (pengelolaan tanaman terpadu/PTT), integrasi sistem padi ternak/ISPT,
komponen teknologi penunjang PTT seperti varietas, pemupukan, pengendalian hama dan
penyakit, penggunaan alsintan, serta pengelolaan panen), dan hilir (sistem pengembangan
alsintan, pascapanen, permodalan, dan pemasaran), untuk dapat dikembangkan di beberapa
daerah spesifik lokasi ataupun dikembangkan oleh swasta. Materi ekspose yang ditampilkan
dalam acara ekspose adalah gelar teknologi di lapang, ekspose di dalam ruangan, temu usaha
antara peneliti dan dunia usaha, serta temu wicara peneliti/penyuluh dengan petani
62
5. Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Lahan Kering dan Seminar tentang Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi di Bengkulu
Kegiatan Ekspose dan Seminar dilaksanakan di Bengkulu pada tanggal 9-10
September 2003 yang dikoordinir oleh Puslitbang Peternakan. Acara berlangsung di halaman
Kantor Gubernur Bengkulu dengan tema “Inovasi Teknologi Lahan Kering untuk
Meningkatkan Kesejahteraan Petani”. Selain kegiatan Ekspose dan Seminar diadakan juga
acara kegiatan Temu Bisnis dan kunjungan lapang serta dialog interaktif untuk lebih
memperjelas dan membuktikan keberhasilan Sistem Integrasi Sapi di perkebunan Kelapa
Sawit Agricinal
Keikutsertaan Balitpasca untuk menginformasikan produk teknologi dengan tujuan
sebagai salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah. Materi yang ditampilkan berupa
poster dan produk. Materi Poster meliputi poster teknologi pascapanen kelinci, teknologi
proses bunga kering, teknologi pengolahan puree mangga, teknologi tepung kasava, dan
teknologi olahan ternak. Produk yang ditampilkan meliputi produk pengolahan kelinci (
baso, nugget, kornet, dan sosis), bunga kering, formula bunga kering, puree mangga, abon,
dendeng dan yoghurt.
II. Ekspose diluar agenda Sekretariat Badan Litbang Pertanian
Selain mengikuti ekspose yang dikoordinir oleh Sekretariat Badan Litbang Pertanian,
Balitpasca juga mengikuti kegiatan pameran lainnya baik yang tingkat nasional maupun
internasional. Beberapa kegiatan pameran yang diikuti disajikan pada Tabel 3.22.
Tabel 3.22. : Kegiatan Diseminasi dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian diluar Agenda Sekretariat Badan Litbang
1. Pameran Inovasi Teknologi Agro & Food Ekspo 2003
1-4 Mei 2003 Jakarta
2. Pameran Produksi Indonesia 8-11 Mei 2003 Jakarta
3 Seminar APEC Agustus 2003 Bali
4. Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V 5-9 Oktober 2003 GOR Sidoarjo Jawa Timur
5. Hari Pangan Sedunia Tahun 2003 24-26 Oktober 2003 Lap. Turangga Seta, Semarang, Jateng
6. Peringatan 100 tahun Pendidikan Pertanian
17-21 Desember 2003 Kampus Cibalagung, Cikaret, STTP Bogor
63
1. Agro & Food Ekspo 2003
Pameran Agro & Food Ekspo merupakan agenda tetap penyelenggaraan pameran
inovasi dibidang pertanian dan industri serta bidang pendidikan, sehingga
penyelenggaraannya selalu dilaksanakan pada tanggal 2 Mei bertepatan dengan Hari
Pendidikan Nasional. Pada pelaksanaan penyelenggaraan Agro & Food Expo tahun 2003
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bergabung dengan sebagian besar unit kerja
dibawahnya menjadi satu stand besar Departemen Pertanian. Tema kegiatan ini adalah
“Inovasi teknologi pertanian untuk pengembangan usaha agribisnis”. Manfaat yang
diharapkan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah terjadinya arus timbal balik informasi
pengembangan teknologi pascapanen, sehingga dapat memperkaya dan mempertajam arah
pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kegiatan pameran ini dikemas dalam bentuk
acara pameran dan demonstrasi teknologi. Materi pameran Balitpasca pada Agro & Food
Ekspo 2003 disajikan pada Tabel 3.23.
Tabel 3.23. : Materi pameran Balitpasca pada Agro & Food Ekspo 2003
No. Judul Leaflet Panel Produk
1. Teknologi Aneka Tepung * * - Aneka kue kering dan kue basah
- Buku resep
2. Model Agroindustri Pengolahan Mangga dan Sirsak
* * - Puree sirsak
- Puree mangga
3. Agroindustri Terpadu Pengolahan Kulit dan Daging Kelinci
* * - Sosis
- Nugget
- Bakso
- Kornet
- Gantungan kunci
4. Teknologi Pewarnaan Bunga Sedap Malam
* - Formula pewarnaan
- Bunga segar
5. Teknologi Proses Bunga Kering * - Rangkaian Bunga Kering
6. Model Sistem Agroindustri Padi Berdaya Saing
- Beras merah
a. Pameran
Pameran Agro & Food Ekspo 2003 menampilkan panel-panel teknologi unggulan
yang didukung display produk, alat-mesin pertanian dan pengolahan pangan, benih, bibit,
dan brosur. Pada arena ini diperkenalkan situs Badan Litbang Pertanian.
64
b. Demonstrasi teknologi
Demonstrasi teknologi dilaksanakan di arena pameran untuk mendemonstrasikan
teknologi unggulannya. Demontrasi teknologi dilaksanakan pada tanggal 2 Mei - 4 Mei 2003
dengan melibatkan pengusaha, peneliti/perekayasa dengan nara sumber di bidang penelitian,
yaitu Ir. Sri Widowati, MappSc, Suyanti, BSc dan Dr. Setyadjit, MAppSc.
2. Pameran Produksi Indonesia
Bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional yang ke-75 ini, Pemerintah RI
menggelar Pameran Produksi Indonesia 2003 (PPI 2003). Pameran ini diselenggarakan untuk
menumbuhkembangkan kembali kebanggaan, kecintaan dan kepercayaan pemerintah, dunia
usaha dan masyarakat terhadap produksi Indonesia dalam rangka mewujudkan kebangkitan
nasional di bidang ekonomi. Tema pameran Pameran Produksi Indonesia 2003 adalah
“Indonesia bangkit! Membangun Produk Nasional Unggulan: Berjaya di Pasar Lokal,
Bersaing di Pasar Global”. Melalui kegiatan Pameran Produksi Indonesia 2003 maka
diharapkan terjadinya arus timbal balik informasi pengembangan teknologi pascapanen,
sehingga dapat memperkaya dan mempertajam arah pengembangan sistem dan usaha
agribisnis. Kegiatan pameran ini dikemas dalam bentuk acara pameran.
Pameran Produksi Indonesia 2003 menampilkan panel-panel teknologi unggulan
yang didukung display produk, alat-mesin pertanian dan pengolahan pangan, benih, bibit,
dan brosur. Pada arena ini diperkenalkan situs Badan Litbang Pertanian.
Tabel 3.24. : Materi pameran Balispasca pada Pameran Produksi Indonesia 2003
No. Judul Leaflet Panel Produk
1. Teknologi Aneka Tepung * * - Aneka kue kering
- Aneka kue basah
- Buku resep
2. Model Agroindustri Pengolahan Mangga dan Sirsak
* * - Puree sirsak
- Puree mangga
3. Teknologi Pewarnaan Bunga Sedap Malam
* - Formula pewarnaan
- Bunga segar
4. Teknologi Proses Bunga Kering * - Rangkaian Bunga Kering
5. Model Sistem AI Padi Berdaya Saing - Beras merah
65
3. Seminar Internasional APEC ke-3 Pelaksanaan seminar yaitu di Inna Putri Bali Hotel, Nusa Dua Bali, 23-26 Agustus
2004. Pada kegiatan ke-21 ASEAN atau ke-3 Seminar APEC tentang Teknologi Pascapanen
ini dihadiri oleh peneliti, pengusaha industri pangan dan pejabat struktural Departemen
terkait. Isu utama yang dibahas adalah : Manajemen pascapanen produk pertanian yang
mudah rusak, perikanan dan biji-bijian, keamanan pangan pada produk pertanian, penerapan
standar mutu, persepsi dan penerimaan konsumen, manajemen lingkungan, akses pasar dan
strategi pemasaran, manajemen rantai pemasaran dan nilai tambah produk pertanian. Tema
Seminar APEC ke-3 adalah “Keamanan Pangan, Jaminan Mutu dan Keberlanjutan
Lingkungan Hidup Terhadap Peluang Pengembangan Sektor Pascapanen”. Materi pameran
Balitpasca yang ditampilkan pada seminar tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.25.
Tabel 3.25. : Materi pameran Balitpasca pada Seminar APEC ke-3
No. Topik/Tema Poster Leaflet Olahan/Produk Keterangan
1. Hiasan Bunga Kering Bunga segar yang diawetkan
2. Puree Mangga Olahan dalam bentuk puree segar
3. Agroindustri padi terpadu Produk berupa beras, briket arang sekam, dan dedak awet
4. Pasta Cabai dan Tomat -
5. Teknologi Olahan Mente -
6. Tepung Labu Kuning -
7. Teknologi Degreening Jeruk -
8. Teknologi Sayuran Kering -
4. Hari Pangan Sedunia di Ambarawa
Fungsi strategis pangan bagi kehidupan manusia oleh FAO diperingati setiap tahun
dalam kegiatan Hari Pangan Sedunia (HPS). Berdasarkan hasil KTT Pangan pada bulan Juli
2002, yang menyatakan bahwa kelaparan merupakan penyebab sekaligus dampak dari
kemiskinan maka mengikis kelaparan serta pembangunan pertanian dan pedesaan merupakan
langkah yang sangat vital dalam mengentaskan kemiskinan. Pada tahun 2003 telah
ditetapkan “International Alliance Against Hunger” sebagai tema internasional peringatan
HPS dan tema nasionalnya “Menggalang Peran Serta Masyarakat Memerangi Kelaparan
untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga”.
66
Peringatan HPS ke-23 dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan yang arahnya
mengacu pada upaya pemantapan ketahanan pangan. Berbagai kegiatan dalam rangka
peringatan tersebut diantaranya: seminar, perlombaan, pameran, dan bazar. Badan Litbang
Pertanian ikut serta dalam kegiatan pameran, dimana dalam pelaksanaannya terbagi dalam
dua yaitu pameran inti dan pameran pada acara puncak peringatan HPS yang keduanya sama-
sama bernama Pameran Ketahanan Pangan. Materi pameran Balitpasca pada HPS 2003
ditunjukkan pada Tabel 3.26.
Tabel 3.26. : Materi pameran Balitpasca pada Hari Pangan Sedunia 2003
Panel Produk display Produk olahan
Teknologi Proses Tepung Sukun
Tepung Labu Kuning
Teknologi Pascapanen Kelinci
Tepung dan Sawut Sukun, Labu Kuning
Produk Kulit Kelinci: Gantungan kunci, tas, dan kulit kelinci
Sukun: Keripik sukun segar, kue gabus, kue keju
Daging Kelinci: Sosis, nugget, kornet, bakso
5. Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V di Propinsi Jawa Timur
Sesuai dengan arah Kebijakan Pembangunan Nasional, berbagai upaya dalam rangka
pemberdayaan masyarakat telah banyak dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat.
Perkembangan lingkungan strategis Nasional dan Global menuntut upaya tersebut perlu
terus ditingkatkan dengan berbagai program yang melibatkan masyarakat untuk berperan
aktif sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berkenaan dengan itu salah satu pendekatan yang
dipandang dapat meningkatkan proses memberdayakan masyarakat adalah melalui
pendekatan teknologi yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat yaitu teknologi yang
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara ekonomis dan sederhana atau yang disebut
Teknologi Tepat Guna. Teknologi Tepat Guna yang dikembangkan sesuai kemampuan
masyarakat merupakan teknologi yang dapat bertumpu pada sumber daya yang ada, baik itu
sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Hal inilah yang menjadi latar belakang
dilaksanakannya Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V di Propinsi Jawa Timur. Tema
Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V “Pemanfaatan inovasi teknologi pertanian tepat
guna menjawab tantangan pembangunan sistem dan usaha agribisnis”. Materi pameran
Balitpasca yang ditampilkan pada Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V ditunjukkan pada
Tabel 3.27.
67
Tabel 3.27 : Materi pameran Balitpasca pada Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V
Panel Produk
Teknologi Proses Tepung Sukun
Teknologi Puree mangga dan sirsak
Teknologi pengembangan model pengolahan mente
Tepung Sukun, dan produk olahannya
Puree mangga dan sirsak
Bunga sedap malam
Bunga kering
6. Pameran dan Bazar Peringatan 100 Tahun Pendidikan Pertanian, Bogor
Dalam rangka memperingati 100 tahun Pendidikan Pertanian, Sekolah Tinggi
Penyuluhan Pertanian (STPP) Bogor mengadakan kegiatan Pameran dan Bazaar yang
dilaksanakan pada tanggal 17-21 Desember 2003, bertempat di Kampus STPP Cibalagung,
Bogor. Pada kesempatan tersebut Balitpasca ikut berpartisipasi dengan menampilkan poster,
leaflet, dan beberapa produk yang dijual diantaranya produk olahan kelinci (bakso, nugget,
kornet, dan gantungan kunci), formula pewarnaan bunga sedap malam, formula bunga
kering, beras pandan wangi, dan puree mangga.
68
VI.
VII. MANAJEMEN PENELITIAN
A. Sumber Daya Manusia (SDM)
Balai Penelitian Pascapanen Pertanian (Balitpasca) didirikan berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian No. 76/KPTS/OT.210/1/2002 tanggal 29 Januari
2002 sebagai unit eselon III. Balai ini telah mulai berfungsi menghasilkan teknologi
pascapanen mendukung pengembangan agroindustri yang berdaya saing
Dalam implementasi tupoksinya, Balitpasca harus melayani keluaran dari 12 Bali
Komoditas di bawah 4 Puslitbang, untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi
produk yang bernilai tambah tinggi yang kemudian disalurkan kepada 27 BPTP di
seluruh Indonesia. Tugas dan fungsi tersebut sukar dilaksanakan dalam posisi
Balitpasca sebagai eselon III.
Tenaga SDM yang berada di Balitpasca telah cukup untuk peningkatan kapasitas
kerja Balitpasca. Saat ini telah aktif 127 orang yang terdiri atas 54 orang tenaga
peneliti, teknisi 38 orang dan administrasi 35 orang. Kualifikasi tenaga peneliti
tersebut beserta pengelompokkannya berdasarkan jabatan fungsionalnya dapat
dilihat pada Tabel 3.28.
Tabel 3.28. : Kualifikasi Peneliti Berdasarkan Jabatan Fungsionalnya No. Jabatan Fungsional Jumlah
1. Ahli Peneliti 8 orang
2. Peneliti 13 orang
3. Ajun Peneliti 15 orang
4. Asisten Peneliti 1 orang
5. Non Fungsional 17 orang
Ketiga laboratorium (Pasarminggu, Bogor dan Karawang) mampu mendukung
penelitian melalui proses kimia, mikrobiologi, fisik, dan manajemen mutu.
69
B. Keuangan
1. Dana Rutin dan Pembangunan
Untuk TA. 2003 Balitpasca belum memperoleh dana rutin. Pada tahun
tersebut alokasi yang tersedia bagi kegiatan Balitpasca pada tahun 2003 adalah
Dana Pembangunan masih melekat pada Balai Penelitian Tanaman Hias dan Balai
Penelitian Padi. Dana yang tersedia adalah Dana Pembangunan sebesar Rp.
6.429.534.000,-. Hingga bulan Desember 2003 TA. 2003 DIP tahun 2003 Bagian
Proyek Pengembangan Teknologi Pascapanen Pertanian telah menyerap dana
seperti tersedia pada Tabel 3.29.
Tabel 3.29. Realisasi/Penyerapan Dana Pembangunan TA. 2003
Uraian Anggaran
setelah revisi
Realisasi Sisa Anggaran Jumlah %
a. Rupiah Murni 5.539.527.000 5.409.819.762 97,65 129.710.238
b. Pinjaman Luar Negeri 890.007.000 803.684.894 90,30 86.322.106
Jumlah 6.429.534.000 6.213.501.656 96.64 216.032.344
Anggaran Pembangunan TA. 2003 tersebut digunakan untuk menunjang
pelaksanaan 8 kegiatan yang tersebar di 3 lokasi yaitu Pasarminggu, Bogor dan
Karawang, dan kegiatan lain yang terkait dengan pelaksanaan proyek.
2. Penerimaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Balai Penelitian Pascapanen untuk TA. 2003 belum dapat melaksanakan
kewajiban untuk memungut PNBP karena belum mempunyai Dana Rutin.
C. Sarana
Fasilitas penelitian telah cukup tersedia, Balitpasca didukung oleh bangunan
laboratorium, bangsal pengolahan dan administrasi yang berlokasi di Pasarminggu
Jakarta (luas lahan 1 Ha, bangunan 1323 m2), Bogor (lahan 2 Ha, bangunan 5190 m2).
Uraian rinci dari masing-masing laboratorium dan bangsal tersebut disampaikan
sebagai berikut:
70
1. Sarana Laboratorium dan Bangsal Pengolahan Hasil Balitpasca
Balitpasca memiliki laboratorium analisis dan bangsal pengolahan hasil di
tiga lokasi, yaitu Laboratorium Bogor, Pasarminggu dan Karawang yang masing-
masing memiliki spesifikasi terhadap bahan baku atau produk yang ditangani dan
dihasilkan.
1.1 Laboratorium Bogor
a. Laboratorium analisis
Merupakan laboratorium utama/induk Balitpasca yang menangani
aspek kimia, mikrobiologi, fraksinasi, fermentasi dan organoleptik.
Sedangkan fasilitas yang disediakan merupakan peralatan analisis dengan
ketelitian tinggi untuk identifikasi struktur dan isolasi senyawa dan lain
sebagainya.
b. Bangsal pengolahan hasil
Bangsal pengolahan minyak atsiri (aneka minyak atsiri; produk
derivatnya dan produk formulasinya)
Bangsal pengolahan hasil ternak (daging: daging asap, sosis, dendeng,
bakso, karage, nugget, abon, dan kornet; kulit: kulit samak dan bulu;
susu pasteurisasi, yoghurt, kefir, keju, dodol susu, caramel/candy serta
kerupuk susus)
Bangsal pengolahan kedelai
1.2 Laboratorium Pasarminggu
a. Laboratorium analisis
Merupakan laboratorium pendukung untuk analisis keamanan pangan
untuk produk makanan dan minuman (juice, sari buah, campuran dan
produk turunannya, candy)
Melayani analisis proksimat untuk analisis mutu produk minuman dan
produk turunannya
71
b. Bangsal pengolahan hasil
Bangsal pengolahan sari buah dan produk turunannya, pasteurisasi dan
canning (produk berbasis buah dan sayuran)
Bangsal pengolahan produk roti berbasis aneka tepung (kasava, sukun,
labu kuning, sagu dan produk tepung lainnya)
1.3 Laboratorium Karawang
a. Laboratorium analisis
Mendukung analisis sifat-sifat rheology dan sifat fisik bahan (aneka
tepung)
Melayani analisis proksimat
b. Bangsal pengolahan hasil
Bangsal pengolahan aneka tepung turunannya (proses kering dan
basah)
Bangsal pengolahan beras
Uji fungsional model
Bengkel perekayasaan
2. Fasilitas
Untuk melaksanakan berbagai kegiatan di ketiga laboratorium tersebut
dipersiapkan peralatan-peralatan spesifik berupa peralatan analisis dan pengolahan:
berupa peralatan pengolahan hasil ternak, minyak atsiri, aneka tepung dan
makanan/minuman.