LAPORAN STUDI LAPANG PABRIK GULA KEBON AGUNG Dosen pembimbing: Angga Dheta S., Ssi., Msi Disusun oleh: Agil Adham Reka 105100200111035 Fatma Ridha N 105100200111036 Niken Lila W 105100201111016 Ratih Dwi M 105100207111004 Rizki Yunia C 105100200111005 Rendi Hadi S 105100200111045 Tri Priyo U 105100201111005 Vita Noeravila P 105100200111032 Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang 2012
39
Embed
LAPORAN STUDI LAPANG PABRIK GULA KEBON AGUNGblog.ub.ac.id/...Kunjungan-Pabrik-Gula-Kebon-Agung.pdf · Untuk memisahkan kristal dan larutan setelah proses kristalisasi dilakukan langkah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN STUDI LAPANG
PABRIK GULA KEBON AGUNG
Dosen pembimbing: Angga Dheta S., Ssi., Msi
Disusun oleh:
Agil Adham Reka 105100200111035
Fatma Ridha N 105100200111036
Niken Lila W 105100201111016
Ratih Dwi M 105100207111004
Rizki Yunia C 105100200111005
Rendi Hadi S 105100200111045
Tri Priyo U 105100201111005
Vita Noeravila P 105100200111032
Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya
Malang
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang menghasilkan polusi terbanyak
didunia. Sumber polusi yang upaling tama adalah dari kendaraan bermotor dan
limbah industry. Polusi ini terjadi akibat kurangnya penanganan limbah-limbah
industry sedangkan semakin hari semakin banyak berdiri pabrik industry.
Pencemaran yang disebabkan oleh polusi ini menyebabkan perubahan yang
signifikan terhadap lingkungan. Perubahan yang paling bisadirasakan adalah
perubahan suhu udara yang semakin panas dan perubahan pada air sungai.
Permasalahan tentang pencemaran ini terjadi akibat kurangnya pengetahuan
serta penanganan yang lebih terhadap limbah. Meskipun limah tidak dapat
dihilangkan secara total tetapi denga penanganan limbah yang baik dapat
mengurangi seminimal mungkin polutan yang mencemari udara, air maupun
tanah. Maka dari itu, dilaksanakan kegiatan studi lapang yang bertempat di Pabrik
Gula Kebon Agung, desa Kebon Agung, Malang, Jawa Timur untuk mengetahui
lebih dalam dan melihat secara lngsung proses pembuatan gula Kristal serta
pengolahan limbah pabriknya, serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi
Bersih.
1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembuatan gula di PG. Kebon Agung?
2. Bagaimana cara mengelola limbah sisa proses pembuatan gula Kristal di PG.
Kebon Agung?
3. Bagaimana proses pengemasangula Kristal di PG. Kebon Agung?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui proses pembuatan gula Kristal putih di PG.Kebon Agung.
2. Untuk mengetahui cara pengolahan limbah di PG. Kebon Agung.
3. Untuk mengetahui proses pengemasan gula Kristal putih di PG.Kebon
Agung.
4. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Bersih.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan mengerti proses pembuatan gula
Kristal putih di PG. Kebon Agung
2. Mahasiswa dapat mengetahui proses-proses pengolahan limbah di PG.
Kebon agung yang berupa limbah cair,gas dan padat.
3. Mahasiswa mampu memahami proses pengemasan gula Kristal putih
di PG.Kebon Agung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teknologi Proses Industri Tekstil dan Limbahnya
2.1.1. Tinjauan teknologi proses pabrik gula
Pada umumnya, pabrik gula tebu di Indonesia merupakan warisan
belanda pada zaman kolonial. Perjalanan proses pengolahannyapun hampir
seragam kecuali pada pabrik yang menerapkan proses karbonatasi. Berikut
ini adalah sekilas proses pengolahan gula tebu dengan prmurnian cara
sulfitasi. Secara garis besar, pabrik gula bertujuan untuk mengambil
sukrosa dari tebu semaksimal mungkin dengan menekan kehilangan gula
seoptimal mungkin.
Dalam pabrik gula dikenal section-section yang disebut stasiun,
mulai dari emplasement, stasiun gilingan sampai pengarungan.
Emplasement (Halaman Pabrik) Halaman pabrik berfungsi untuk
menimbun tebu yang datang dari kebun. Biasanya di sekitarya terdapat
pohon-pohon besar yang berfungsi untuk menahan panasnya matahari.
Suhu halaman pabrik yang panas akan menyebabkan temperatur tebu naik
dan akan barakibat mempercepat proses tebu menjadi layu (wayu).
Layunya tebu akan dibarengi dengan inversi sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa. Hal ini disebabkan karena nira dalam tebu bersifat asam dan
proses inversi lebih cepat apabila temperatur tinggi.
Idealnya, halaman pabrik dilengkapi dengan timbangan tebu, baik
berupa jembatan timbang atau crane yang dilengkapi dengan timbangan.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui bobot tebu yang masuk ke pabrik dan
selanjutnya digunakan untuk pengawasan proses. Halaman pabrik juga
harus mempunyai alat untuk bongkar muatan baik dari truk atau dari lori.
Yang terpenting adalah, persediaan tebu di halaman pabrik harus dapat
memenuhi kapasitas giling. Sebenernya, sisa tebu kemarin dalam halaman
pabrih, semakin kecil semakin baik. Untuk menjamin kelancaran giling,
sisa tebu yang baik yaitu pada jam 06.00 sampai 18.00 sebanyak 12 dikali
kapasitas giling perjam, dan pada jam 18.00 – 06.00 sebenyak 15 dikali
kapasitas giling perjam. Literature lain juga menyebutkan sisa tebu
kemarin yang baik adalah sebesat 25-30% dari kapasitas giling perhari
dihitung pada jam 06.00 pagi. Stasiun gilingan dibagi menjadi dua bagian
yaitu:
a. Persiapan
Tebu yang dibongkar dari truk atau lori diletakkan diatas meja
tebu. Meja tebu dilengkapi dengan alat yang berfungsi untuk mendorong
tebu ke krepyak tebu (carrier). Setelah diatas carrier, tebu dibawa melewati
cutter untuk dipotong menjadi bagian yang lebih kecil. Selanjutnya tebu
terpotong dihancurkan dengan menggunakan shredder atau unigrator.
Setelah itu masuk ke gilingan. Proses persiapan mempunyai tujuan untuk
mempersiapkan tebu yang akan digiling sehingga proses pemerahan bisa
maksimal. Efektifitas dari alat-alat persiapan ditunjukkan dengan angka
preparation index yang besarannya berbeda-beda tiap pabrik. Pada
umumnya angka preparation index lebih kurang sebesar 90
b. Gilingan
Gilingan berfungsi untuk mengambil nira dalam tebu. Optimalnya
gilingan dengan cepat dapat diketahui dengan melihat pol ampas. Semakin
kecil pol ampas, akan semakin baik. Dalam stasiun gilingan diberikan air
panas (added water) yang biasa disebut imbibisi (dari bahasa belanda
imbibitie). Fungsinya untuk membilas ampas gilingan antara agar fungsi
pemerahan gula bisa maksimal. Umumnya pabrik gula menerapkan sistem
imbibisi majemuk yaitu menggunakan air panas dan nira gilingan
berikutnya. Dari stasiun gilingan dihasilkan nira mentah yaitu nira yang
keluar dari gilingan 1 dan 2.
b.1 Stasiun Pemurnian
Fungsi dari stasiun pemurnian adalah untuk menyingkirkan
kotoran-kotoran bukan gula yang terdapat dalam nira mentah. Proses yang
dilakukan baik berupa proses fisik ataupun kimia. Proses dalam stasiun
pemurnian dilakukan sedemikian rupa sehingga kerusakan sukrosa dapat
ditekan seoptimal mungkin. Yang pertama dilakukan dalam stasiun
pemurnian adalah menyaringan dengan menggunakan saringan parabolis
(DSM). Setelah itu nira mentah dipanasi sampai suhu 75 C. Nira mentah
yang telah dipanasi ditambahkan Ca(OH)2 sampai pH tertentu. Setelah itu
pada nira ditambahkan SO2 sampai pH netral. Nira dipanaskan kembali
sampai suhu 105 C, ditambahkan flokulan dan diendapkan di clarifier.
Setelah mengendap, nira jernih disaring lagi dan menghasilkan nira encer,
setelah itu, dipanaskan sampai suhu 115 C dan selanjutnya diproses ke
tehap evaporasi. Nira kotor yang ada di clarifier selanjutnya disaring
menggunakan vacuum filter. Proses filtrasi ini menghasilkan filtrat dan
blotong. Filtrat akan dikembalikan lagi ke awal proses pemurnian dan
blotong diangkut truk menuju tempat penimbunan.
Fungsi dari stasiun penguapan adalah meningkatkan konsentrasi
larutan gula dalam nira. Nira encer dari stasuin pemurnian diuapkan
dengan menggunakan evaporator multi effect. Nira dipanaskan dengan
menggunakan uap panas yang berasal dari uap bekas penggerak turbin
gilingan. Nira encer yang mempunyai brix 15 diuapkan airnya sampai
mencapai brix 60. setelah itu akan dihasilkan material yang dinamakan
nira pekat. Selanjutnya nira pekat ditambah SO2 sehingga dicapai pH
tertentu.
b.2 Stasiun Kristalisasi
Sistem kristalisasi di pabrik gula tebu menggunakan sistem
kristalisasi bertingkat, baik berupa A-D, A-C-D, A-B-D, atau A-B-C-D,
dengan ketentuan A dan B adalah produk (berlaku untuk abrik gula tebu di
jawa). Nira pekat hasil dari stasiun penguapan diuapkan lagi airnya
sehingga akan terbentuk kristal dengan sendirinya. Metode lain kristalisasi
adalah dengan menggunakan bibit gula berupa fondan yang selanjutnya
kristal bibit itu dibesarkan.
Proses kristalisasi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga
kristal yang terbentuk mempunyai ukuran yang seragam. Seragamnya
ukuran kristal gula akan dicapai apabila konsentrasi larutan dalam bejana
kristalisasi dijaga pada konsentrasi tertentu. Setelah ukuran kristal yang
diinginkan tercapai, maka kristal yang masih bercampur dengan larutan
(masakan /massecuit) diturunkan ke bejana penampung.
b.3 Stasiun Pemutaran
Untuk memisahkan kristal dan larutan setelah proses kristalisasi
dilakukan langkah pemutaran. Dengan gaya centrifugal, kristal akan
tertahan di saringan (basket) dan larutan akan melewati saringan tersebut.
Langkah proses pemutaran yang baik akan menghasilkan gula yang putih
dan mempunyai kadar air yang kecil.
Di stasiun putaran terdapat 2 jenis alat yaitu batch dan continue.
Putaran continue disebut low grade centrifugal dan putaran batch biasa
disebut hi grade centrifugal (putaran untuk produk). Selanjutnya gula
produk hasil pemutaran di angkut dengan talang goyang (grasshopper)
menuju pengering.
b.4 Stasiun Pengeringan dan Pendinginan
Pengeringan berfungsi untuk mengurangi kadar air dalam gula
sehingga meningkatkan ketahanan dalam penyimpanan. Cara pengeringan
dilakukan dengan cara pemanasan menggunakan udara kering dan
dikontakkan dengan gula. Alat yang digunakan bermacam macam ada
yang berupa talang getar atau rotary dryer.
Gula yang dikeringkan dalam keadaan panas, untuk itu perlu
didinginkan agar tidak terjadi proses kimiawi yaitu browning pada saat
penyimpanan. Pendinginan dilakukan dengan menghembuskan udara
dingin baik dari udara sekitar ataupun udara dingin dari alat pendingin
udara.
b.5 Stasiun Pengarungan
Gula yang sudah dingin selanjutnya ditampung di sugar bin.
Setelah itu dilakukan pengarungan atau pengemasan dengan berat 50 Kg.
Untuk suplai langsung ke konsumen, pabrik biasanya juga membuat
kemasan 1 Kg.
b.6 Gudang Gula
Gudang gula berfungsi untuk menimbun gula yang telah dikemas.
selanjutnya gula siap untuk didistribusikan ke penyalur atau konsumen.
2.1.2. Tinjauan limbah cair industri gula
Untuk mengontrol dan mengawasi kualitas lingkungan, khususnya air sungai
di Indonesia, pemerintah melalui KEPMENKLH No. 4 Thn 2002 telah
mengeluarkan keputusan bahwa kualitas air yang boleh dibuang ke badan air
sungai harus memenuhi standar tertentu. Adapun parameter yang harus diukur
kadarnya untuk limbah cair pabrik tekstil adalah:
Zat organik terlarut (yang menyebabkan turunnya harga DO)
Padatan tersuspensi (TSS/TS)
Zat organik trace (contoh fenol)
Logam berat, ( contoh Cr) dan sianida
Warna dan turbiditas
Floating material (oil dan grease)
Polutan yang ada pada limbah cair pabrik tekstil biasanya berupa koloid dan
zat terlarut. Namun akibat berbagai proses pada produksi tekstil, hampir
kebanyakan polutan berada dalam bentuk koloid. Cara yang umum digunakan
untuk mengatasi partikel limbah dalam bentuk koloid adalah proses destabilasi
koloid, sehingga partikel -partikel tersebut dapat dipisahkan dari badan air. Pada
dasarnya jenis koloid dapat dikategorikan sebagai koloid hidrofob dan koloid
hidrofil. Koloid hidrofob berperan dalam penampakan warna pada permukaan air,
hal ini disebabkan oleh bagian R -NH2 atau R-OH dari partikel koloid tersebut.
Bagian-bagian yang elektronegatif mengakibatkan terjadinya ikatan hydrogen
dengan molekul air. Permukaan yang elektronegatif tersebut saling menolak dan
menghalangi terjadinya pembentukan agregat. Sedangkan koloid hidrofil berasal
dari adanya partikel -partikel mineral yang terhidrolisis, sehingga pada permukaan
koloid terkonsentrasi muatan negatif yang saling menolak dan mencegah
terjadinya agregat. Pada dasarnya koloid tidak pernah 100% hidrofob dan tidak
pula 100% hidrofil.
Salah satu cara destabilisasi koloid adalah pentralan muatan listrik melalui
penambahan suatu koagulan sehingga terjadi penggabungan partikel -partikel
koloid menjadi agregat-agregat yang lebih besar. Koagulasi merupakan proses
agregasi yang terjadi akibat adanya gaya elektrostatik antara partikel -partikel
koloid yang memiliki muatan yang berlawanan. Adapun tujuan dari proses
koagulasi adalah untuk memisahkan partikel-partikel koloidal yang melayang-
layang dalam air sehingga membentuk agregat yang dapat mengendap. Beberapa
koagulan yang sering digunakan dalam pengolahan limbah cair adalah tawas,
garam besi dan kapur yang amat efektif untuk mengendapkan partikel koloidal
yang berasal dari logam berat; Besi(III) klorida yang dapat terhidrolisis menjadi
Fe(OH)3 dapat mengikat 92% koloidal arsen, seng, nikel, mangan dan raksa
Proses detabilasisasi partikel koloid dilanjutkan dengan pembentukan agregat
dengan cara mengumpulkan polimer yang telah destabil dengan suatu polimer.
Polimer merupakan molekul besar yang dibentuk oleh monomer-monomer.
Sebenarnya istilah flokulasi digunakan untuk menjelaskan aksi material polimerik
yang membentuk jembatan-jembatan antar partikel individual koloid. Ada empat
jenis mekanisme flokulasi yang diakibatkan oleh polimer (Moudgil dan
Somasundaran, 1985), (i) polymer bridging, (ii) netralisasi, (iii) pembentukan
polimer kompleks, (iv) flokulasi dengan polimer bebas.
Proses flokulasi dengan mekanisme bridging biasanya terjadi dengan cara
menambahkan polimer bermassa molekul tinggi ke dalam suatu dispersi partikel
koloid. Permukaan polimer tersebut akan mengadsorpsi lebih dari satu partikel
koloid, sehingga terjadi kelompok koloid yang terhubungkan. Mekanisme ini
merupakan mekanisme yang dominan. Mekanisme netralisasi muatan terjadi
apabila jumlah polimer yang diperlukan untuk terjadinya flokulasi sesuai dengan
jumlah polimer yang dibutuhkan untuk memberikan mobilitas elektroforetik
koloid menjadi nol. Hal ini dapat terjadi jika spesi polimer memiliki muatan yang
berlawanan dengan muatan permukaan koloid sehingga muatannya menjadi
netral.
Pembentukan polimer kompleks terjadi jika polimer yang ditambahkan
berinteraksi dengan komponen-komponen yang ada dalam system sekaligus
dengan bahan kimia lain yang ditambahkan ke dalam system. Mekanisme ini
paling mungkin terjadi pada dual system polimer atau pada system yang telah
ditambahkan garam kalsium, besi, atau alumunium. Sedangkan mekanisme
flokulasi dengan polimer bebas dapat terjadi melalui efek defletion flocculation.
Pada dasarnya mekanisme ini merupakan efek dengan prinsip tekanan osmotik.
Untuk terjadinya mekanisme ini diperlukan konsentrasi polimer yang cukup
tinggi. Pada dasarnya sangat sulit mengkategorikan proses flokulasi hanya sesuai
untuk mekanisme tertentu saja. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa proses
flokulasi merupakan fungsi dari konsentrasi polimer, massa dan muatan molekul,
muatan dan konsentrasi partikel, kondisi s aat proses pencampuran, serta waktu
yang diperlukan agar polimer berelaksasi terhadap permukaan koloid.
2.1.2.1. Sumber dan karakteristik limbah Cair serta pengaruhnya terhadap
lingkungan
Pada pemrosesan gula dari tebu menghasilkan limbah atau hasil samping,
antara lain ampas, blotong dan tetes. Ampas berasal dari tebu yang digiling dan
digunakan sebagai bahan bakar ketel uap. Blotong atau filter cake adalah endapan
dari nira kotor yang di tapis di rotary vacuum filter, sedangkan tetes merupakan
sisa sirup terakhir dari masakan yang telah dipisahkan gulanya melalui kristalisasi
berulangkali sehingga tak mungkin lagi menghasilkan kristal.
a. Limbah Bagasse
Satu diantara energi alternatif yang relatif murah ditinjau aspek produksinya
dan relatif ramah lingkungan adalah pengembangan bioetanol dari limbah-limbah
pertanian (biomassa) yang mengandung banyak lignocellulose seperti bagas
(limbah padat industri gula). Indonesia memiliki potensi limbah biomassa yang
sangat melimpah seperti bagas. Industri gula khususnya di luar jawa
menghasilkan bagas yang cukup melimpah.
Potensi bagasse di Indonesia menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI) tahun 2008, cukup besar dengan komposisi rata-rata hasil
samping industri gula di Indonesia terdiri dari limbah cair 52,9 persen, blotong 3,5
persen, ampas (bagasse) 32,0 persen, tetes 4,5 persen dan gula 7,05 persen serta
abu 0,1 persen.
Bagasse tebu (Saccharum officinarum L.) semula banyak dimanfaatkan oleh
pabrik kertas, namun karena tuntutan dari kualitas kertas dan sudah banyak
tersedia bahan baku kertas lain yang lebih berkualitas, sehingga pabrik kertas
mulai jarang menggunakannya. Material bahan organik yang dimiliki pabrik gula
cukup banyak, sebagai contoh adalah limbah hasil proses pasca panen di
lapangan, yaitu klaras dan daun tebu, serta limbah proses pabrik gula, antara lain
blotong dan ampas tebu yang kadar bahan organiknya dapat mencapai di atas 50%
(Unus, 2002). Limbah padat pabrik gula (PG) berpotensi besar sebagai sumber
bahan organik yang berguna untuk kesuburan tanah. Menurut Budiono (2008),
ampas (bagasse) tebu mengandung 52,67% kadar air; 55,89% C-organik; N-total
0,25%; 0,16% P2O5: dan 0,38% K2O.
Kompos adalah hasil dekomposisi biologi dari bahan organik yang dapat
dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba (bakteria,
actinomycetes dan fungi) dalam kondisi lingkungan aerobik atau anaerobic. Hasil
pengomposan campuran blotong, ampas (bagasse) dan abu ketel diinkubasi
dengan bioaktivator mikroba selulolitik selama 1 dan 2 minggu, kemudian
diaplikasikan ke lahan tebu. Pemberian kompos 10 ton/ha mampu meningkatkan
bobot tebu sebanyak 16,8 ton/ha. Bioaktivator adalah inokulum campuran
berbagai jenis mikroorganisme (mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik,
lipolitik, amilolitik, dan mikroba fiksasi nitrogen non simbiotik) untuk
mempercepat laju pengomposan bahan organik . Bibit perombak
Katalek® merupakan bioaktivator pembuatan kompos yang diteliti selama
beberapa tahun akan keefektifan mikrobanya dalam mempercepat perombakan
bahan-bahan organik menjadi unsur hara yang berguna bagi tanah. Bibit
perombak Katalek® mengandung 13 macam mikroba (diantaranya Bacillus,
Lactobacillus, Pseudomonas, Streptomyces, Clostridium, Aspergillus) yang
berperan dalam penguraian atau dekomposisi limbah oirganik sampai berubah
menjadi kompos. Sedangkan penggunaan bibit pengaya Katalek® yang terdiri dari
beberapa mikroba diantaranya Azotobacter, Trichoderma, Aspergillus,
Pseudomonas) akan menghasilkan kompos yang lebih kaya akan unsur hara (N, P
dan K) sehingga dapat mempengaruhi produktivitas tanaman.
Pengembangan teknologi bioproses etanol dengan menggunakan enzim pada
proses hidrolisisnya diyakini sebagai suatu proses yang lebih ramah lingkungan.
Pemanfaatan enzim sebagai zat penghidrolisis tergantung pada substrat yang
menjadi prioritas, penelitian telah dilakukan untuk mengantikan asam yaitu
menggunakan jamur pelapuk putih untuk perlakuan awal kemudian dengan
menggunakan enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa,
kemudian melakukan fermentasi dengan menggunakan S. cerivisiae untuk
mengkonversi menjadi etanol. Namun, pemanfaatan enzim selulase dan yeast S.
cerivisiae tidak mampu mengkonversi kandungan hemiselulosa pada bagas.
Padahal sekitar 20-25% komposisi karbohidrat bagas adalah hemiselulosa. Jika
kita mampu mengkonversi hemiselulosa berarti akan meningkatkan konversi
bagas menjadi etanol. Material berbasis lignoselulosa (lignocellulosic material)
memiliki substrat yang cukup kompleks karena didalamnya terkadung lignin,
polisakarida, zat ekstraktif, dan senyawa organik lainnya. Bagian terpenting dan
yang terbanyak dalam lignocellulosic material adalah polisakarida khususnya
selulosa yang terbungkus oleh lignin dengan ikatan yang cukup kuat. Dalam
kaitan konversi biomassa seperti bagas menjadi etanol, bagian yang terpenting
adalah polisakarida. Karena polisakarida tersebut yang akan dihidrolisis menjadi
monosakarida seperti glukosa, sukrosa, xilosa, arabinosa dan lain-lain sebelum
dikonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis umumnya digunakan pada industry
etanol adalah menggunakan hidrolisis dengan asam (acid hydrolysis) dengan
menggunakan asam sulfat (H2SO4) atau dengan menggunakan asam klorida
(HCl). Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan menggunakan enzim yang sering
disebut dengan enzymatic hydrolysis yaitu hidrolisis dengan menggunakan enzim
jenis selulase atau jenis yang lain. Keuntungan dari hidrolisis dengan enzim dapat
mengurangi penggunaan asam sehingga dapat mengurangi efek negatif terhadap
lingkungan. Kemudian setelah proses hidrolisis dilakukan fermentasi
menggunakan yeast seperti S. cerevisiae untuk mengkonversi menjadi etanol.
Proses hidrolisis dan fermentasi ini akan sangat efisien dan efektif jika
dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa melalui tenggang waktu yang lama, hal
ini yang sering dikenal dengan istilah Simultaneous Sacharificatian dan
Fermentation (SSF). Keuntungan dari proses ini adalah polisakarida yang
terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi poliskarida karena
monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol. Selain itu dengan
menggunakan satu reaktor dalam prosesnya akan mengurangi biaya peralatan
yang digunakan.
Seperti halnya pakan ternak dari limbah yang mengandung serat pada
umumnya, bagas tebu mempunyai faktor pembatas, yaitu kandungan nutrisi dan
kecernaannya yang sangat rendah. Bagas tebu mempunyai kadar serat kasar dan
kadar lignin sangat tinggi, yaitu masing-masing sebesar 46,5% dan 14%.
Pendekatan bioproses dalam rumen melalui suplementasi amonium sulfat dan
defaunasi yang dilakukan pada kambing yang mendapat ransum berbahan dasar
limbah tebu belum berhasil meningkatkan produktivitas kambing. Pendekatan
melalui teknik pengolahan pakan sebelum pakan dikonsumsi akan dapat
meningkatkan daya guna bagas tebu. Rekayasa teknologi pengolahan pakan yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas nutrisi bagas tebu adalah teknik
amoniasi dan fermentasi. Proses amoniasi akan melemahkan ikatan lignoselulosa
bagas tebu serta fermentasi telah terbukti dapat menurunkan kadar serat kasar dan
meningkatkan kadar protein kasar. Mikroba yang sering digunakan sebagai agen
fermentasi limbah yang mengandung serat kasar tinggi adalah
kapang Trichoderma viride. Kapang tersebut akan menghasilkan enzim untuk
mencerna serat kasar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan.
Teknologi pembuatan papan partikel dari ampas tebu PSUH 94-3 merupakan
komponen teknologi pemanfaatan hasil samping tebu. Kompo-sisi bahan dan
teknologi pembuatan papan partikel telah memenuhi Standar Industri Indonesia
(SII) seperti terlihat pada tabel hasil uji coba. Papan partikel dari ampas tebu
dibuat dengan cara pengeringan, penggilingan, dan pe-nyaringan ampas,
pencampuran ampas dengan perekat, resin dan parafin wax serta pencetakan
dengan tekanan hidrolik pada kondisi tekanan 10 kg per cm2, suhu 150?C selama
15 menit. Perekat terdiri dari urea formaldehide, hardener, ammonia, dan air.
b. Limbah Blotong
Salah satu limbah yang dihasilkan PG dalam proses pembuatan gula adalah
blotong, limbah ini keluar dari proses dalam bentuk padat mengandung air dan
masih ber temperatur cukup tinggi < panas >, berbentuk seperti tanah, sebenarnya
adalah serat tebu yang bercampur kotoran yang dipisahkan dari nira. Komposisi
blotong terdiri dari sabut, wax dan fat kasar, protein kasar,gula, total abu,SiO2,
CaO, P2O5 dan MgO. Komposisi ini berbeda prosentasenya dari satu PG dengan
PG lainnya, bergantung pada pola prodkasi dan asal tebu.
Selama ini pemanfaatan blotong umumnya adalah sebagai pupuk organik,
dibeberapa PG daur ulang blotong menjadi pupuk yang kemudian digunakan
untuk produksi tebu di wilayah-wilayah tanam para petani tebu. Proses
penggunaan pupuk organik ini tidak rumit, setelah dijemur selama beberapa
minggu / bulan untuk diaerasi di tempat terbuka, dimaksudkan untuk mengurangi
temperatur dan kandungan Nitrogen yang berlebihan. Dengan tetap menggunakan
pupuk anorganik sebagai starter, maka penggunaan pupuk organik blotong ini
masih bisa diterima oleh masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya, upaya
pemanfaatan blotong sebagai pengganti kayu bakar mulai dilirik setelah
kampanye penggunaan energi alternaif didengungkan. Pemanfaatan blotong
sebagai kayu bakar, sebenarnya sudah lama dijalankan oleh masyarakat di sekitar
PG, hal ini diawali dari pengalaman mereka setelah melihat bahwa blotong bisa
terbakar, dan timbulah pemikiran untuk memanfaatkan blotong sebagai pengganti
kayu bakar dengan cara menghilangkan kadar air yang terkandung didalamnya.
untuk memudahkan dalam penggunaanya sebagai kayu bakar, mereka mencetak
dalam ukuran yang mudah diangkut dan sesuai dengan ukuran mulut kompor
didapur mereka.
Proses pembuatan blotong pengganti kayu bakar sangat sederhana, limbah
blotong dari pabrik yang masih panas, diangkut dengan dump truk menuju lokasi
pengrajin/pembuat blotong kayu bakar, blotong ini kemudian dijemur di terik
matahari selama 2 – 3 minggu dengan intensitas matahari penuh. Sebelum total
kering, lapisan blotong ini dipadatkan dengan tujuan untuk mempersempit pori
dan membuang sisa kandungan air, kemudian dipotong seukuran batu bata untuk
memudahkan pengangkutan. Setelah dirasa cukup kering pada satu permukaan,
bata blothong ini dibalik, supaya sisi lainnya juga kering. Hasil yang diperoleh
dari proses ini adalah blothong seukuran batu bata yang bobotnya ringan karena
kandungan airnya sudah hilang. Penggunaan, untuk keperluan memasak di
kompor tanah mereka, blothong kering tersebut masih harus dipotong menjadi
ukuran yang lebih kecil menyesuaikan lubang pemasukan kompor. Dari satu rit
blothong tersebut, setelah diolah dan kering, kemudian dipindahkan ke dapur
sebagai cadangan kayu bakar. Cadangan blothong / kayu bakar ini cukup untuk
memenuhi kebutuhan memasak sampai dengan musim giling tahun depan.
Blotong dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein. Kandungan protein dari
nira sekitar 0.5 % berat zat padat terlarut. Dari kandungan tersebut telah dicoba
untuk melakukan ekstraksi protein dari blotong dan ditemukan bahwa kandungan
protein dari blotong yang dipress sebesar 7.4 %. Protein hanya dapat diekstrak
menggunakan zat alkali yang kuat seperti sodium dodecyl sulfate. Kandungan dari
protein yang dapat diekstrak antara lain albumin 91.5 %; globulin 1 %; etanol
terlarut 3 % dan protein terlarut 4 %. Dengan demikian blotong dapat juga
digunakan sebagai pakan ternak dengan cara dikeringkan dan dipisahkan partikel
tanah yang terdapat didalamnya. Untuk menghindari kerusakan oleh jamur dan
bakteri blotong yang dikeringkan harus langsung digunakan dalam bentuk pellet
Pada saat ini pemanfaatan blotong antara lain sebagai bahan bakar alternative
dalam bentuk briket. Untuk pembuatan briket blotong dipadatkan lalu
dikeringkan. Keuntungan menggunakan briket blotong adalah harganyayang lebih
murah daripada kayu bakar dan bahan bakar lain. Akan tetapi untuk membuat
briket ini diperlukan waktu cukup lama antara 4 sampai 7 hari pengeringan, selain
itu juga tergantung dari kondisi cuaca. Pada saat ini semakin banyak masyarakat
yang memanfaatkan blotong sebagai bahan bakar rumah tangga pengganti
MITAN dan kayu bakar. Kedepannya perlu ada kajian apakah briket blotong ini
juga bisa digunakan sebagai bahan bakar ketel sehingga dapat mengurangi
konsumsi bahan bakar minyak PG.
Blotong dapat digunakan langsung sebagai pupuk, karena mengandung unsur
hara yang dibutuhkan tanah. Untuk memperkaya unsur N blotong dikompos
dengan ampas tebu dan abu ketel (KABAK). Pemberian ke tanaman tebu
sebanyak 100 ton blotong atau komposnya per hektar dapat meningkatkan bobot
dan rendemen tebu secara signifikan. Kandungan hara kompos ampas tebu
(KAT), blotong dan komposdari ampas tebu, blotong dan abu ketel (KABAK)
disajikan pada Tabel
Tabel Hasil Analisis Kimia KAT, Blotong dan KABAK
c. Limbah Tetes
Tetes atau molasses merupakan produk sisa (by product) pada proses
pembuatan gula. Tetes diperoleh dari hasil pemisahan sirop low grade dimana
gula dalam sirop tersebut tidak dapat dikristalkan lagi. Pada pemrosesan gula tetes
yang dihasilkan sekitar 5 – 6 % tebu, sehingga untuk pabrik dengan kapasitas
6000 ton tebu per hari menghasilkan tetes sekitar 300 ton sampai 360 ton tetes per
hari. Walaupun masih mengandung gula, tetes sangat tidak layak untuk
dikonsumsi karena mengandung kotoran-kotoran bukan gula yang membahayakan
kesehatan. Penggunaan tetes sebagian besar untuk industri fermentasi seperti
alcohol, pabrik MSG, pabrik pakan ternak dll.
Secara umum tetes yang keluar dari sentrifugal mempunyai brix 85 – 92
dengan zat kering 77 – 84 %. Sukrosa yang terdapat dalam tetes bervariasi antara
25 – 40 %, dan kadar gula reduksi nya 12 – 35 %. Untuk tebu yang belum masak
biasanya kadar gula reduksi tetes lebih besar daripada tebu yang sudah masak.
Komposisi yang penting dalam tetes adalah TSAI ( Total Sugar as Inverti ) yaitu
gabungan dari sukrosa dan gula reduksi. Kadar TSAI dalam tetes berkisar antara
50 – 65 %. Angka TSAI ini sangat penting bagi industri fermentasi karena
semakinbesar TSAI akan semakin menguntungkan, sedangkan bagi pabrik gula
kadar sukrosa menunjukkan banyaknya kehilangan gula dalam tetes.
Komposisi Tetes
Tetes merupakan bahan yang kaya akan karbohidrat yang mudah larut (48-
68)%, kandungan mineral yaqng cukup dan disukai ternak karena baunya manis.
Selain itu tetes juga mengandung vitamin B komplek yang sangat berguna untuk
sapi yang masih pedet. Tetes mengandung mineral kalium yang sangat tinggi
sehingga pemakaiannya pada sapi harus dibatasi maksimal 1,5-2 Kg/ekor/hari.
Penggunaan tetes sebagai pakan ternak sebagai sumber energi dan meningkatkan
nafsu makan, selain itu juga untuk meningkatkan kualitas bahan pakan dengan
peningkatan daya cernanya. Apabila takaran melebihi batas atau sapi belum
terbiasa maka menyebabkan kotoran menjadi lembek dan tidak pernah dilaporkan
terjadi kematian karena keracunan tetes.
Pembuatan bioethanol molase melalui tahap pengenceran karena kadar
gula dalam tetes tebu terlalu tinggi untuk proses fermentasi, oleh karena itu perlu
diencerkan terlebih dahulu. Kadar gula yang diinginkan kurang lebih adalah 14 %.
Kemudian dilakukan penambahan ragi, urea dan NPK kemudian dilakukan proses
fermentasi. Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 66 jam atau kira-kira
2.5 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat lagi
adanya gelembung-gelembung udara. Kadar etanol di dalam cairan fermentasi
kurang lebih 7% – 10 %. Setelah proses fermentasi selesai, masukkan cairan
fermentasi ke dalam evaporator atau boiler dan suhunya dipertahankan antara 79 –
81oC. Pada suhu ini etanol sudah menguap, tetapi air tidak menguap. Uap etanol
dialirkan ke distilator. Bioetanol akan keluar dari pipa pengeluaran distilator.
Distilasi pertama, biasanya kadar etanol masih di bawah 95%. Apabila kadar
etanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi hingga kadar etanolnya
95%. Apabila kadar etanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau penghilangan
air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis.
Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar airnya kurang lebih 99.5%.
2.1.2.2. Baku mutu limbah cair industri gula
Dalam Keputusan menteri NOMOR : KEP- 51/MENLH/10/1995
TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
pasal 1 menyebutkan:
1. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan
baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai
yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun
dan perekayasaan industri;
2. baku Mutu Limbah Cair Industri adalah batas maksimum limbah cair yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
3. Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan
industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas
lingkungan;
4. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan
dengan debit, kadar dan beban pencemaran;
5. Debit Maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang
ke lingkungan;
6. Kadar Maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan;
7. Beban Pencemaran Maksimum adalah beban tertinggi yang masih
diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
8. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
9. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
10. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur
kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Baku mutu Limbah cair untuk industri gula dapat dilihat pada tabel :
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam
kg per ton produk gula
(KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, LAMPIRAN A.
VII)
2.2. Tinjauan Produksi Bersih dan Penerapannya di Industri Gula
2.2.1. Pengertian produksi bersih
Produksi Bersih merupakan tindakan efisiensi pemakaian bahan
baku, air dan energi, dan pencegahan pencemaran, dengan sasaran
peningkatan produktivitas dan minimisasi timbulan limbah. Istilah
Pencegahan Pencemaran seringkali digunakan untuk maksud yang sama
dengan istilah Produksi Bersih. Demikian pula halnya dengan Eco-
efficiency yang menekankan pendekatan bisnis yang memberikan
peningkatan efisiensi secara ekonomi dan lingkungan.
Pola pendekatan produksi bersih bersifat preventif atau pencegahan
timbulnya pencemar, dengan melihat bagaimana suatu proses produksi
dijalankan dan bagaimana daur hidup suatu produk. Pengelolaan
pencemaran dimulai dengan melihat sumber timbulan limbah mulai dari
bahan baku, proses produksi, produk dan transportasi sampai ke konsumen
dan produk menjadi limbah. Pendekatan pengelolaan lingkungan dengan
penerapan konsep produksi bersih melalui peningkatan efisiensi
merupakan pola pendekatan yang dapat diterapkan untuk meningkatkan
daya saing.
Menurut UNEP, Produksi Bersih adalah strategi pencegahan
dampak lingkungan terpadu yang diterapkan secara terus menerus pada
proses, produk, jasa untuk meningkatkan efisiensi secara keseluruhan dan
mengurangi resiko terhadap manusia maupun lingkungan (UNEP, 1994).
Produksi Bersih, menurut Kementerian Lingkungan Hidup,
didefinisikan sebagai : Strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat
preventif, terpadu dan diterapkan secara terus-menerus pada setiap
kegiatan mulai dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi,
produk dan jasa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya
alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan mengurangi
terbentuknya limbah pada sumbernya sehingga dapat meminimisasi resiko
terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan
(KLH,2003).
Dari pengertian mengenai Produksi Bersih maka terdapat kata
kunci yang dipakai untuk pengelolaan lingkungan yaitu : pencegahan