Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
ii Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Kata Pengantar
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang (LSPPU) adalah publikasi bersama antara Departemen Akunting
dan Sistem Pembayaran dan Departemen Pengelolaan Uang, Bank Indonesia. LSPPU ini merupakan laporan tahunan
yang mencakup informasi perkembangan kinerja dan kebijakan dibidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang
yang ditempuh Bank Indonesia selama tahun 2012 dalam mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat melalui
penyediaan alat pembayaran baik tunai maupun non-tunai.
Laporan ini terdiri dari dua bagian yaitu Bagian 1 Sistem Pembayaran dan Bagian 2 Pengelolaan Uang. Bagian 1
menginformasikan perkembangan penyelenggaraan dan kinerja sistem pembayaran, kebijakan sistem pembayaran,
pengawasan sistem pembayaran, dan arah pengembangan sistem pembayaran. Sedangkan Bagian 2 Pengelolaan Uang
memaparkan perkembangan indikator pengelolaan uang, kebijakan pengelolaan uang, kegiatan dan informasi pendukung
dalam tugas pengelolaan uang, penilaian kinerja dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia dibidang pengelolaan uang,
serta arah dan kebijakan pengelolaan uang kedepan.
Kinerja dan daya tahan ekonomi yang kuat selama tahun 2012, yang tercermin pada kestabilan makroekonomi dan sistem
keuangan yang kondusif, tidak terlepas dari peran strategis sistem pembayaran dan pengelolaan uang dalam mendukung
kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat maupun dunia usaha. Dalam kegiatan perekonomian, peran strategis sistem
pembayaran dilakukan untuk menjamin kelancaran transaksi pembayaran non-tunai yang dilakukan masyarakat dan
dunia usaha, serta untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Sedangkan peran
strategis pengelolaan uang tercermin melalui terpenuhinya kebutuhan uang kartal masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi layak edar. Kelancaran transaksi pembayaran non-tunai
dan terpenuhinya kebutuhan uang kartal masyarakat tersebut dicapai melalui serangkaian kebijakan Bank Indonesia
dibidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang dengan memperhatikan berbagai aspek a.l. efisiensi dan kepentingan
masyarakat. Diseminasi LSPPU ini dilakukan dalam bentuk cetak dan compact disc serta dapat di akses melalui website
Bank Indonesia (www.bi.go.id). Laporan dalam bentuk cetak selama ini hanya distribusikan untuk keperluan intern di Bank
Indonesia. Sebagaimana edisi tahun sebelumnya, diseminasi LSPPU 2012 dilakukan secara luas kepada berbagai kalangan
seperti pemerintah,akademisi, lembaga penelitian independen, analis dan pakar.
Akhirnya kami berharap diseminasi LSPPU ini dapat memberikan informasi yang komprehensif atas perkembangan kinerja
sistem pembayaran dan pengelolaan uang selama 2012, serta kebijakan yang dijalankan Bank Indonesia dalam menjaga
kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat melalui tersedianya alat pembayaran tunai dan non-tunai.
Jakarta, April 2013BANK INDONESIA
Departemen Akunting dan Sistem PembayaranDepartemen Pengelolaan Uang
iiiLaporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Daftar Isi
1
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Tabel vi
Daftar Grafik vi
Daftar Bagan viii
Ringkasan Eksekutif ix
Bagian 1 Sistem Pembayaran
BAB 1 Sekilas Sistem Pembayaran 3
1.1 Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran 4
1.2 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran 6
BAB 2 Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran 10
2.1 Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia 10
2.2 Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Pihak di Luar Bank Indonesia 15
2.3 Peta Penyelenggaraan Sistem Pembayaran di Indonesia 18
BAB 3 Kebijakan Sistem Pembayaran 22
3.1 Pengembangan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II 22
3.2 Pengembangan Sistem Transfer Kredit Elektronik (STKE) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 22
3.3 Implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Nasional dalam rangka Persiapan MEA 23
3.4 Pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) 24
3.5 Tahapan Pengembangan National Payment Gateway (NPG) Sistem Pembayaran Ritel 26
3.6 Upaya Mewujudkan Interoperabilitas melalui Kegiatan Fasilitasi Interkoneksi Industri Uang Elektronik 27
3.7 Implementasi Standar Nasional Kartu ATM dan ATM/Debet 28
3.8 Penguatan Aspek Hukum dalam Sistem Pembayaran 29
3.9 Implementasi Roadmap Pengembangan Sistem Pembayaran dan Setelmen ASEAN 34
3.10 Peningkatan Efisiensi Dalam Layanan Kepada Kemenkeu 35
Boks 3.1 Implementasi STKE BPR Wilayah Jawa Timur 37
iv Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
BAB 4. Pengawasan Sistem Pembayaran 40
4.1 Pengawasan Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia 40
4.2 Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Pihak di Luar Bank Indonesia 42
BAB 5. Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan 48
5.1 Arah Kebijakan dan Pengembangan BI-RTGS/BI-SSSS Generasi II 48
5.2 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia 49
5.3 Arah Kebijakan dan Pengembangan NPG ke Depan 50
5.4 Arah Kebijakan dan Pengembangan Uang Elektronik 51
5.5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran dan Setelmen ASEAN Dalam Rangka MEA 2015 51
5.6 Penyusunan Konsep RUU Sistem Pembayaran dan Penyelesaian Akhir (SPPA) 54
Artikel 1. Potensi Uang Elektronik di Jakarta: Potensi Besar yang belum Tergarap 59
Artikel 2. Mobile Financial Services dalam rangka Mendukung Financial Inclusion 61
63Bagian 2 Pengelolaan Uang
BAB 6. Sekilas Pengelolaan Uang 64
6.1. Isu Strategis dan Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012 64
6.2. Arah Kebijakan ke Depan 65
BAB 7. Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas
Perekonomian Nasional 67
7.1. Uang Kartal yang Diedarkan (UYD) 68
7.2. Perkembangan Aliran Uang Kartal melalui Bank Indonesia 71
7.3. Perkembangan Posisi Kas Bank Indonesia 74
7.4 Perkembangan Pemusnahan Uang Rupiah 75
7.5. Perkembangan Temuan Uang Rupiah Palsu 77
BAB 8. Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012 79
8.1 Tersedianya Uang Rupiah yang Berkualitas 80
8.2 Distribusi dan Pengolahan Uang Rupiah yang Aman dan Terpercaya 95
8.3 Pengembangan Layanan Kas Prima 97
8.4 Koordinasi dalam rangka Implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang 109
vLaporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
BOKS 8.1. 3D Generasi Dua (Didapat, Disayang dan Disimpan) 90
BOKS 8.2. Rintisan Edukasi Keaslian Uang Rupiah melalui Jalur Pendidikan – Pilot Project Edukasi Kebanksentralan di Kabupaten
Sukabumi dan di Provinsi Jawa Barat 92
BOKS 8.3. Bye-Laws Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB) 99
BOKS 8.4. Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC) 112
BAB 9. Kegiatan dan Informasi Pendukung dalam Tugas Pengelolaan Uang 115
9.1 Kegiatan Museum Artha Suaka Bank Indonesia 115
9.2 Uang Rupiah yang Sudah Dicabut dan Ditarik dari Peredaran 116
9.3 Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas (BISILK) 117
BAB 10. Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugas di Bidang Pengelolaan Uang
Rupiah 119
10.1 Survei Kepuasan Terhadap Ketersediaan Uang Rupiah Layak Edar 119
10.2 Survei Kepuasan Perbankan atas Layanan Kas di Kantor Pusat Bank Indonesia 120
BAB 11. Arah Kebijakan dan Rencana Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2013 123
vi Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Daftar Tabel
Tabel 1.1 Perkembangan Transaksi Sistem Pembayaran 2012 4
Tabel 2.1 Perkembangan Jenis Transaksi melalui Sistem BI RTGS 11
Tabel 2.2 Jumlah Nasabah yang Tercantum dalam DHN dan Perbandingan antara Jumlah Warkat Cek dan/atau Bilyet
Giro Kosong terhadap Total Warkat Penyerahan Bank 13
Tabel 2.3 Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Indonesia 19
Tabel 7.1 Rata-rata UYD dan Posisi UYD 68
Tabel 7.2. Pangsa UYD di Bank dan Masyarakat 70
Tabel 7.3 Jumlah NetfFow Uang Kartal Berdasarkan Wilayah (Triliun Rp) 74
Tabel 7.4 Pangsa Jumlah Uang Rupiah Kertas yang Dimusnahkan Berdasarkan Wilayah 76
Tabel 7.5 Pangsa Uang Rupiah Kertas yang Dimusnahkan Berdasarkan Denominasi 76
Tabel 7.6 Rasio Pemusnahan Uang Rupiah terhadap Inflow Berdasarkan Denominasi 76
Tabel 9.1 Uang yang di Cabut dan Ditarik dari Peredaran 116
Tabel 10. Atribut Penilaian Survei Layanan Kas di Kantor Pusat Bank Indonesia Tahun 2012 121
Daftar Grafik
Grafik 2.1 Perkembangan Transaksi Melalui Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia 10
Grafik 2.2 Perkembangan Transaksi Sistem BI-RTGS 10
Grafik 2.3 Pangsa Nilai Transaksi Sistem BI-RTGS 11
Grafik 2.4 Pangsa Volume Transaksi Sistem BI-RTGS 11
Grafik 2.5 Perkembangan Transaksi melalui BI-SSSS 12
Grafik 2.6 Perkembangan Transaksi melalui SKNBI 12
Grafik 2.7 Volume Cek dan Bilyet Giro Kosong Tahun 2012 12
Grafik 2.8 Nilai Cek dan Bilyet Giro Kosong Tahun 2011 12
Grafik 2.9 Perkembangan Infrastruktur Pembayaran Ritel (ATM dan EDC) 15
Grafik 2.10 Perkembangan Jumlah Kartu Kredit Beredar 15
viiLaporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Grafik 2.11 Perkembangan Transaksi Menggunakan Kartu Kredit 15
Grafik 2.12 Perkembangan Jumlah Kartu ATM dan ATM/Debet Beredar 16
Grafik 2.13 Perkembangan Transaksi Menggunakan Kartu ATM dan ATM/debet 16
Grafik 2.14 Perkembangan Jumlah Uang Elektronik 17
Grafik 2.15 Perkembangan Komposisi Jumlah Uang Elektronik 17
Grafik 2.16 Perkembangan Transaksi Menggunakan Uang Elektronik 17
Grafik 2.17 Pangsa Volume Transaksi KUPU 18
Grafik 2.18 Pangsa Nilai Transaksi KUPU 18
Grafik 4.1 Throughput Guideline 41
Grafik 4.2 Turn Over Ratio 41
Grafik 4.3 Proporsi Volume Queue Transaction 42
Grafik 4.4 Proporsi Nominal Queue Transaction 42
Grafik 4.5 Perkembangan Jumlah Kasus Fraud Kartu Kredit 43
Grafik 4.6 Perkembangan Nominal Fraud Kartu Kredit 43
Grafik 7.1 Pertumbuhan UYD, PDB dan Inflasi 68
Grafik 7.2 Pertumbuhan UYD, Konsumsi RT, Rasio UYD terhadap Konsumsi RT 68
Grafik 7.3 Perkembangan Posisi UYD 69
Grafik 7.4 Perkembangan Rata-rata UYD Bulanan 69
Grafik 7.5 Perkembangan Pangsa UYD di Perbankan 70
Grafik 7.6 Pangsa UYD Berdasarkan Nominal 70
Grafik 7.7 Pangsa UYD Berdasarkan Bilyet/Keping 71
Grafik 7.8 Perkembangan Jumlah Outflow 72
Grafik 7.9 Pangsa Outflow Berdasarkan Pecahan 72
Grafik 7.10 Pangsa Outflow Berdasarkan Sebaran Wilayah 72
Grafik 7.11 Perkembangan Jumlah Inflow 72
Grafik 7.12 Perkembangan Inflow Berdasarkan Pecahan 73
Grafik 7.13 Perkembangan Inflow Berdasarkan Sebaran Wilayah 73
Grafik 7.14 Perkembangan Jumlah Inflow, Outflow, dan NetFlow 73
Grafik 7.15 Perkembangan Jumlah NetFlow 74
Grafik 7.16 Pangsa Posisi Kas Bank Indonesia Berdasarkan Pecahan 75
Grafik 7.17 Perkembangan Jumlah Bilyet Uang Kertas yang Dimusnahkan 76
viii Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bagan 3.1 Bagan implementasi Blueprint dalam rangka MEA 23
Bagan 3.2 Grand Design Pengembangan SKNBI 25
Bagan 5.1 Roadmap Pengembangan SKNBI 50
Bagan 5.2 Keterkaitan Undang-Undang lain dengan dengan Sistem Pembayaran 55
Daftar Bagan
ixLaporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Ringkasan Eksekutif
Kondisi Perekonomian Tahun 2012
Di tengah perkembangan ekonomi dunia yang melemah dan diliputi ketidakpastian, ekonomi Indonesia tetap
menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Pada tahun 2012, ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar
6,23%, dengan inflasi terkendali pada tingkat yang rendah sebesar 4,30%. Kinerja ekonomi tersebut terutama ditopang
oleh menguatnya permintaan domestik di tengah pelemahan kinerja ekspor.
Kinerja ekonomi yang menggembirakan selama tahun 2012 ini melengkapi periode panjang pertumbuhan ekonomi
Indonesia dengan rata-rata di atas enam persen dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Selain itu, kinerja positif
tersebut pada saat yang sama juga menunjukkan daya tahan ekonomi Indonesia di tengah gejolak ekonomi global.
Daya tahan tersebut tercermin pada kemampuan ekonomi Indonesia untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi
pada tingkat yang cukup tinggi, sementara ekonomi dunia masih menghadapi kinerja yang melemah. Permasalahan
perekonomian AS yang belum sepenuhnya pulih, penurunan kinerja ekonomi negara-negara di kawasan Eropa, serta
dampak permasalahan tersebut terhadap emerging market, telah menjadi penyebab perekonomian global tumbuh
melambat.
Daya tahan ekonomi Indonesia yang kuat ini tidak terlepas dari dukungan kondisi ekonomi makro yang stabil dan sistem
keuangan yang kondusif.
Terjaganya sistem keuangan yang kondusif antara lain tidak terlepas dari peran sistem pembayaran yang mendukung
kelancaran, efisiensi, dan keamanan transaksi perekonomian. Sementara itu, melalui kebijakan pengelolaan uang rupiah,
kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan uang kartal layak edar dalam jumlah yang cukup, baik nominal maupun
pecahan, dapat dipenuhi.
Kinerja dan Kebijakan Sistem Pembayaran
Terselenggaranya sistem pembayaran sebagai infrastruktur sistem keuangan merupakan faktor penting untuk mendukung
stabilitas sistem keuangan dan moneter. Selain itu, sistem pembayaran juga berperan penting untuk memperlancar
aktivitas perekonomian masyarakat dan dunia usaha.
Selama tahun 2012, keandalan sistem pembayaran sebagai infrastruktur sistem keuangan tetap terpelihara dengan baik.
Hal tersebut tercermin dari terselenggaranya sistem pembayaran yang aman dan lancar. Keandalan sistem pembayaran
tersebut ditunjukkan dengan terpenuhinya tingkat ketersediaan (availability) sistem pembayaran sesuai service level yang
telah ditetapkan.
Bank Indonesia secara konsisten terus berupaya meningkatkan kinerja sistem pembayaran sebagai urat nadi
perekonomian Indonesia. Upaya tersebut telah menunjukkan hasil yang baik, yaitu dengan semakin meningkatnya peran
x Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
sistem pembayaran dalam mendukung aktivitas ekonomi masyarakat. Sesuai data transaksi keuangan melalui sistem
pembayaran, selama tahun 2012 nilai transaksi mencapai Rp104,83 ribu triliun atau meningkat 46,52% dari nilai transaksi
tahun 2011 yang tercatat sebesar Rp71,55 ribu triliun. Sementara itu volume transaksi mencapai 3,27 miliar transaksi atau
meningkat sebesar 24,42% dari volume transaksi tahun 2011 yang mencapai 2,63 miliar transaksi.
Di sisi kebijakan sistem pembayaran, kebijakan Bank Indonesia selalu mengedepankan empat aspek utama, yaitu
keamanan, efisiensi, perluasan akses, dan perlindungan konsumen. Terselenggaranya sistem pembayaran yang aman
dan efisien merupakan faktor penting untuk memperlancar transaksi pembayaran. Selanjutnya, perluasan akses dalam
sistem pembayaran dapat mendorong terwujudnya program keuangan inklusif bagi lapisan masyarakat yang belum
terjangkau oleh layanan perbankan. Selain itu, perlindungan konsumen merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam
penetapan kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran untuk menempatkan posisi konsumen pengguna jasa sistem
pembayaran setara dengan penyelenggara sistem pembayaran.
Terkait dengan rekening Pemerintah, Bank Indonesia terus berupaya meningkatkan layanan pengelolaan rekening
Pemerintah untuk mendukung dan mempermudah koordinasi kebijakan fiskal dan moneter.
Kebijakan Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran ditempuh melalui penguatan infrastruktur dan terus
mengupayakan interkoneksi infrastruktur sistem pembayaran yang telah ada dalam upaya untuk menjamin keamanan
dan efisiensi penyelenggaraan sistem pembayaran. Berbagai kebijakan Bank Indonesia terkait penguatan infrastruktur
meliputi pengembangan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan Bank Indonesia Scripless
Securities Settlement System (BI-SSSS) Generasi II, interkoneksi sistem pembayaran ritel melalui pengembangan Gerbang
Pembayaran Nasional (National Payment Gateway-NPG), dan interkoneksi penyelenggaraan uang elektronik, serta
implementasi standar nasional kartu ATM/Debet berbasis chip secara bertahap. Dalam rangka perluasan akses sistem
pembayaran, Bank Indonesia bekerjasama dengan Bank Jatim mengimplementasikan Sistem Transfer Kredit Elektronik
(STKE) antar BPR. Selanjutnya, Bank Indonesia senantiasa memperkuat aspek hukum dalam penyelenggaraan sistem
pembayaran di Indonesia dalam rangka menjamin perlindungan konsumen pengguna jasa sistem pembayaran, melalui
penyusunan dan penyempurnaan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem pembayaran.
Kinerja dan Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah
Di tengah pesatnya perkembangan inovasi instrumen pembayaran non tunai, uang kartal masih tetap memegang peranan
penting dalam mendukung kelancaran transaksi pembayaran di masyarakat. Hal ini terlihat dari terus meningkatnya
transaksi pembayaran tunai masyarakat yang salah satunya tercermin dari pertumbuhan jumlah uang kartal yang
diedarkan (UYD).
Selama tahun 2012, jumlah rata-rata harian UYD mencapai Rp370,61 triliun atau meningkat 15,68% dibanding tahun
sebelumnya. Demikian pula dengan rasio UYD terhadap konsumsi masyarakat khususnya rumah tangga yang juga
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 33,64%.
Di sisi kebijakan, kebijakan pengelolaan uang rupiah diarahkan pada misinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
ketersediaan uang rupiah layak edar dalam jumlah nominal cukup dan pecahan yang sesuai. Kebijakan tersebut diambil
dengan memperhatikan perkembangan kondisi ekonomi makro maupun isu-isu strategis yang berkembang dalam kegiatan
pengelolaan uang rupiah.
Kebijakan pengelolaan uang Bank Indonesia pada tahun 2012 juga mengacu isu strategis terkait dengan implementasi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mulai diberlakukan pada tanggal 28 Juni 2011. Pada
xiLaporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
perkembangannya, implementasi UU Mata Uang membawa dampak luas bagi Bank Indonesia, terutama dengan semakin
besarnya keterlibatan instansi lain di luar Bank Indonesia dalam kegiatan pengelolaan uang rupiah.
Menyikapi berbagai perkembangan tersebut, kebijakan pengelolaan uang rupiah Bank Indonesia pada tahun 2012
dilakukan dengan mengacu pada tiga pilar kebijakan yaitu i) Tersedianya Uang Rupiah yang Berkualitas; ii) Distribusi
dan Pengolahan Uang Rupiah yang Aman dan Terpercaya; dan iii) Layanan Kas Prima. Adapun penjabaran dari berbagai
kebijakan pengelolaan uang tersebut juga diarahkan untuk meningkatkan efisiensi kegiatan pengolahan uang rupiah oleh
Bank Indonesia.
Pilar kebijakan satu yaitu tersedianya uang rupiah yang berkualitas diterjemahkan ke dalam suatu rangkaian strategi
kegiatan pengelolaan uang rupiah. Strategi tersebut diantaranya meliputi penetapan Estimasi Kebutuhan Uang Rupiah
(EKU) dan Rencana Cetak Uang Rupiah (RCU) serta pengadaan bahan baku dan jasa pencetakan uang Rupiah. Selain itu,
ketersediaan uang rupiah yang berkualitas di masyarakat juga diwujudkan melalui strategi peningkatan pemantauan
kualitas uang dan kegiatan pengolahan uang rupiah yang dilakukan oleh Perbankan dan perusahaan Cash in Transit (CIT);
terus meningkatkan upaya penanggulangan peredaran uang rupiah palsu disamping secara berkesinambungan melakukan
peningkatan kualitas uang rupiah melalui penyempurnaan desain uang.
Sementara itu, untuk mewujudkan Pilar Kebijakan dua, berbagai strategi telah ditempuh oleh Bank Indonesia guna
memujudkan distribusi dan pengolahan uang rupiah yang aman dan terpercaya. Strategi tersebut diantaranya meliputi
pelaksanaan distribusi uang rupiah secara efektif dan efisien sesuai dengan EKU yang telah ditetapkan; pemantauan
terhadap kegiatan pengolahan uang dan layanan nasabah yang dilakukan oleh Perbankan dan perusahaan Cash in Transit
(CIT) serta melakukan pemantauan terhadap optimalisasi kinerja sarana pengolahan uang rupiah yang dimiliki Bank
Indonesia.
Adapun untuk mewujudkan Pilar Kebijakan tiga yaitu Layanan Kas Prima, Bank Indonesia terus berupaya untuk
meningkatkan keterlibatan pihak-pihak eksternal terkait dalam kegiatan pengelolaan uang rupiah yang dilakukannya. Hal
ini dilakukan melalui strategi penyempurnaan sistem dan prosedur layanan kas; optimalisasi kerjasama penukaran uang
rupiah pecahan kecil dengan perbankan dan pihak lainnya maupun melalui pengembangan strategi layanan kas pada
periode Hari Raya Keagamaan. Kebijakan layanan kas prima juga diwujudkan melalui strategi optimalisasi Layanan Kas
Luar Kantor Bank Indonesia yang meliputi layanan kas keliling dan kas titipan serta layanan kas di wilayah terpencil dan
terdepan NKRI.
Ke depan, kebutuhan uang rupiah diperkirakan meningkat seiring dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang tetap
tinggi. Dengan kondisi tersebut dan mempertimbangkan perkembangan lingkungan srategis ke depan, kebijakan
pengelolaan uang rupiah akan tetap mengacu pada tiga pilar kebijakan yang telah dijalankan sebelumnya. Implementasi
ketiga pilar kebijakan tersebut akan memfokuskan pada penguatan manajemen pengelolaan uang kartal, peningkatan
efektivitas dan efisiensi distribusi uang, penguatan implementasi UU Mata Uang dan penguatan fungsi layanan kas.
1Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
BAGIAN 1
SISTEM PEMBAYARAN
2 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran memiliki peran strategis dalam mendukung aktivitas perekonomian masayrakat dan dunia usaha. Selain itu sistem pembayaran juga berperan penting dalam mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Dengan peran strategis tersebut, Bank Indonesia dituntut untuk terus memastikan bahwa perkembangan sistem pembayaran harus selalu berada dalam koridor ketentuan yang berlaku dan kebijakan yang ditetapkan. Hal ini tentu saja demi menjamin kelancaran dan keamanan jalannyakegiatan sistem pembayaran yang perkembangan transaksinyaterusmeningkat secara signifikan dari tahun ketahun.
Selama 2012, terjadi peningkatan aktivitas transaksi sistem pembayaran dibandingkan dengan tahun sebelumnya.Meningkatnya aktivitas sistem pembayaran tersebut karenaperekonomian Indonesia yang berkinerjabaik, tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi yaitu mencapai 6,23% dengan pencapaian inflasi pada level yang rendah yaitu 4,30%.
Kebijakan Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran selama 2012 difokuskan pada empat aspek utama, yaitu peningkatan keamanan, efisiensi, perluasan akses, dan perlindungan konsumen.
3Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
Sekilas Sistem Pembayaran
Perekonomian Indonesia pada 2012 menunjukkan
pertumbuhan yang relatif tinggi dengan laju inflasi
yang tetap terkendali pada tingkat yang rendah sebesar
4,30%. Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,23% menjadikan
Indonesia sebagai salah satu negara yang masih
mampu menjaga pertumbuhan ekonominya di tengah
perlambatan ekonomi global.
Terjaganya pertumbuhan ekonomi pada 2012 ditopang
oleh kinerja permintaan domestik. Di satu sisi, kuatnya
permintaan domestik mampu menjaga pertumbuhan
ekonomi di tengah melambatnya kinerja ekspor akibat
melemahnya perekonomian global dan penurunan harga
komoditas. Namun, di sisi lain, kuatnya permintaan
domestik juga berimplikasi pada kuatnya pertumbuhan
impor. Dari sisi penawaran, sektor yang berorientasi
ekspor tumbuh rendah, tetapi kondisi sebaliknya
berlangsung pada sektor-sektor yang berorientasi
domestik.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap terjaga
tersebut, tidak terlepas dari peran strategis sistem
pembayaran dalam mendukung aktivitas perekonomian.
Peran strategis sistem pembayaran dalam aktivitas
perekonomian terutama untuk menjamin terlaksananya
berbagai transaksi pembayaran yang dilakukan oleh
masyarakat dan dunia usaha. Perkembangan inovasi
dalam sistem pembayaran merupakan konsekuensi
logis dari semakin besarnya kebutuhan masyarakat akan
keberadaan instrumen dan mekanisme pembayaran yang
praktis, efisien, aman, dan nyaman untuk mendukung
aktivitas ekonomi yang dilakukan.
Selain itu sistem pembayaran juga berperan penting
dalam mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan
dan pelaksanaan kebijakan moneter.
Dengan peran strategis tersebut, Bank Indonesia dituntut
untuk terus memastikan bahwa perkembangan sistem
pembayaran harus selalu berada dalam koridor ketentuan
yang berlaku dan kebijakan yang ditetapkan. Hal ini tentu
saja demi menjamin kelancaran dan keamanan jalannya
kegiatan sistem pembayaran.
Berbagai kebijakan dan pengembangan sistem
pembayaran ditempuh Bank Indonesia dengan tetap
terfokus pada empat aspek utama, yaitu peningkatan
keamanan, efisiensi, perluasan akses dalam sistem
pembayaran dengan tetap memperhatikan perlindungan
konsumen.
Peningkatan keamanan dalam sistem pembayaran
bertujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat
akan berbagai alternatif instrumen pembayaran yang
dapat digunakan masyarakat dalam kegiatan ekonomi
yang dilakukannya. Sementara itu peningkatan efisiensi
melalui upaya interkoneksi sistem pembayaran menjadi
sangat penting agar industri sistem pembayaran dapat
melakukan sharing investasi pengembangan infrastruktur
untuk menciptakan efisiensi secara nasional baik bagi
industri sistem pembayaran maupun bagi masyarakat
pengguna karena tidak harus memiliki banyak instrumen
pembayaran dalam melakukan berbagai transaksi
pembayaran.
Bab 1
4 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
������������������ ���� ���� ���
�������������������������
����������������������� ���� ���� ���
�������������������������
��������������������������
���������������������������������������������������������
��������������
����������
����������������
����������
���������
��������������������������
���������������������������������
�������������������������
��������������
����������
����������������
����������
����������
�����������������������������
�������������������������������
�����������������������������������������
�������������
��������������
���������������
����������������
����������������������������������
���������������
���������������������������������
�������������������
������������
��������������
���������������
���������������
���������������
�����������������
���������������
���������������������������������
��������������������
������������
��������������������
��������������������
������������������������������
�����������������������
�������������
����
�������
����������������������������
��������������������������
������������������������������������������������������������
�������
���������
�����
����������������������������
�������������������
���������������������������������������
����������������������������������������������������������������������������������������������������������������
������������
����������������������������
����������������������������
��������������������������
��������������������������
Tabel 1.1Perkembangan Transaksi Sistem Pembayaran 2012
Dari sisi perluasan akses dalam sistem pembayaran,
Bank Indonesia senantiasa mendorong industri sistem
pembayaran untuk memperluas cakupan layanan sistem
pembayaran sehingga dapat lebih luas dan merata ke
seluruh wilayah Indonesia, tidak hanya di kota-kota besar.
Selain itu, perluasan akses dalam sistem pembayaran
dapat mendorong terwujudnya program keuangan inklusif
bagi lapisan masyarakat yang belum terjangkau oleh
layanan perbankan.
Selanjutnya, perlindungan konsumen merupakan faktor
yang tidak kalah penting dalam penetapan kebijakan dan
pengembangan sistem pembayaran untuk menempatkan
posisi konsumen pengguna jasa sistem pembayaran
setara dengan penyelenggara sistem pembayaran. Hal
ini menjadi penting agar masyarakat sebagai konsumen
pengguna jasa sistem pembayaran dapat semakin
terlindungi dan tidak lagi berada pada posisi lemah
yang diakibatkan dari kekurangpahaman masyarakat
atas manfaat dan risiko dari suatu instrumen dan/atau
mekanisme pembayaran yang digunakan.
Keempat faktor utama dalam penetapan kebijakan dan
pengembangan sistem pembayaran menjadi sangat
relevan untuk terus diupayakan mengingat perkembangan
transaksi keuangan yang melalui sistem pembayaran yang
semakin tinggi setiap tahunnya (Tabel 1.1).
1.1 Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran
Dengan mengedepankan empat aspek utama, yaitu
peningkatan keamanan, efisiensi, perluasan akses, dan
perlindungan konsumen, kebijakan dan pengembangan
sistem pembayaran yang ditempuh Bank Indonesia selama
2012 dilakukan melalui persiapan implementasi Sistem
BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II, pengembangan NPG,
interkoneksi dalam penyelenggaraan uang elektronik,
persiapan implementasi standar nasional kartu ATM dan
ATM/Debet berbasis chip, perluasan akses BPR dalam
sistem pembayaran, serta penyempurnaan ketentuan
untuk lebih meningkatkan penerapan aspek perlindungan
konsumen pengguna jasa sistem pembayaran.
Kebijakan penguatan infrastruktur untuk meningkatkan
keamanan dan efisiensi dalam penyelenggaraan
sistem pembayaran dilakukan Bank Indonesia dengan
melakukan persiapan implementasi Sistem BI-RTGS dan
BI-SSSS Generasi II. Pengembangan ini dilakukan untuk
mengimbangi tren peningkatan jumlah transaksi BI-RTGS
dan BI-SSSS dari waktu ke waktu yang sejalan dengan
perkembangan ekonomi. Selain itu, pengembangan ini
juga dilakukan sebagai persiapan untuk mengantisipasi
konektivitas Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan
infrastruktur sistem keuangan lainnya baik domestik
5Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
maupun internasional. Selain itu, dengan pengembangan
ini diharapkan akan tercapai peningkatan kemampuan
mitigasi risiko dalam penyelenggaraan sistem pembayaran
sehingga dapat berjalan secara aman dan efisien. Efisiensi
dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS
Generasi II nantinya, tidak hanya dari sisi penggunaan
likuiditas tetapi juga dari sisi infrastuktur sistem yang
digunakan.
Selain itu, kebijakan untuk peningkatan keamanan juga
dilakukan melalui persiapan implementasi standar
nasional kartu ATM/Debet menggunakan teknologi chip
dan Personal Identification Number (PIN) paling kurang
6 (enam) digit. Penggunaan standar nasional kartu ATM
dan ATM/Debet dengan menggunakan teknologi chip
ditargetkan dapat diterapkan secara menyeluruh pada
akhir 2015. Teknologi chip dinilai mampu mengurangi
kejahatan (fraud) yang dilakukan melalui infrastruktur
sistem kartu ATM dan ATM/Debet, yang antara lain
dilakukan dengan metode skimming. Kebijakan ini
tentunya juga ditujukan untuk memberikan perlindungan
kepada masyarakat pengguna kartu ATM dan ATM/Debet.
Dalam upaya meningkatkan efisiensi dalam
penyelenggaraan sistem pembayaran ritel, Bank
Indonesia terus mendorong interkoneksi infrastruktur
sistem pembayaran ritel melalui pengembangan
NPG. Terwujudnya NPG akan membantu pemantauan
risiko penyelenggaraan sistem pembayaran dan akan
membentuk database sistem pembayaran ritel secara
nasional yang dapat mendukung pengambilan keputusan
bagi otoritas yang berwenang. Kebijakan interkoneksi
infrastruktur sistem pembayaran tersebut bertujuan
untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan
kegiatan pembayaran dan transfer dana. Dengan
interkoneksi sistem pembayaran, masyarakat tidak harus
memiliki banyak APMK dan uang elektronik, karena
hanya dengan satu kartu atau satu uang elektronik,
masyarakat dapat melakukan kegiatan pembayaran dan
transfer dana melalui berbagai alternatif infrastruktur
sistem pembayaran yang ada. Dari sisi industri
sistem pembayaran, interkoneksi infrastruktur sistem
pembayaran akan meningkatkan efisiensi nasional
terkait biaya investasi dalam penyelenggaraan sistem
pembayaran. Pada tahap awal pengembangan NPG,
Bank Indonesia memfasilitasi interkoneksi ATM dua
bank, yaitu Bank Mandiri dan BCA. Dengan terkoneksinya
infrastruktur ATM kedua bank tersebut, maka semakin
memperluas jaringan layanan sistem pembayaran. Kondisi
ini mempermudah masyarakat untuk melakukan transaksi
secara lebih cepat dan efisien. Pada gilirannya sinergi
kedua bank tersebut diharapkan dapat meningkatkan
daya saing industri sistem pembayaran secara nasional
dalam menghadapi era persaingan global.
Upaya lain yang dilakukan Bank Indonesia untuk
peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem
pembayaran ritel adalah melalui kebijakan pengembangan
interkoneksi dalam penyelenggaraan uang elektronik.
Selama periode laporan, Bank Indonesia telah
berkoordinasi dengan Kementerian Negara Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dan Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Dari koordinasi tersebut disepakati agar pengembangan
interkoneksi dalam penyelenggaraan uang elektronik
menjadi program nasional. Salah satu sektor yang akan
memperoleh manfaat dari interkoneksi tersebut adalah
sektor transportasi yang secara massal digunakan oleh
masyarakat.
Selanjutnya untuk meningkatkan perluasan akses dalam
sistem pembayaran, Bank Indonesia turut aktif dalam
pengembangan sistem transfer kredit elektronik (STKE).
Akses BPR dalam sistem pembayaran semakin luas karena
BPR di wilayah Jawa Timur, baik untuk kepentingan BPR
sendiri maupun nasabahnya, telah dapat memanfaatkan
layanan sistem pembayaran yang cepat dan aman dengan
biaya relatif murah melalui STKE. STKE dikembangkan
oleh Bank Jatim sebagai bank pengayom BPR (APEX
BPR) di wilayah Jawa Timur bekerjasama dengan Bank
Indonesia. STKE merupakan suatu sistem yang digunakan
dalam penyelenggaraan transfer dana antar anggota APEX
BPR dan/atau dengan bank umum melalui Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI).
Selanjutnya, upaya Bank Indonesia terkait aspek
perlindungan konsumen dilakukan antara lain melalui
6 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
penyempurnaan ketentuan yang lebih memperhatikan
aspek perlindungan konsumen, yaitu penyempurnaan
ketentuan APMK yang dilakukan Bank Indonesia dengan
menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/2/
PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Perubahan
atas PBI No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (PBI
APMK) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.14/17/
DASP tanggal 7 Juni 2012 perihal Perubahan SEBI
No.11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan APMK.
Pokok-pokok materi perubahan yang dimuat dalam
PBI dan SEBI tersebut antara lain meliputi pengaturan
batas maksimum suku bunga kartu kredit, pengaturan
persyaratan dalam pemberian fasilitas kartu kredit
(batas minimum usia, batas minimum pendapatan, batas
maksimum plafon kredit, dan jumlah maksimum penerbit
yang dapat memberikan fasilitas kartu kredit), penerapan
prinsip kehati-hatian dan transparansi (penyeragaman
pola perhitungan bunga kartu kredit serta pengenaan
biaya dan denda, pengaturan kerjasama dengan pihak
lain, khususnya yang terkait dengan penagihan utang
kartu kredit).
Terkait kebijakan pembatasan kepemilikan kartu kredit,
Bank Indonesia juga telah menerbitkan SEBI No.14/27/
DASP tanggal 25 September 2012 perihal Mekanisme
Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit. Surat Edaran
Bank Indonesia ini diterbitkan sebagai aturan pelaksana
Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 yang pada
intinya mewajibkan Penerbit Kartu Kredit melakukan
penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit khususnya bagi
mereka yang berpendapatan antara Rp3 juta – Rp10 juta
tiap bulan. Sementara itu, terkait pembatasan suku bunga
kartu kredit, Bank Indonesia menerbitkan SEBI No.14/34/
DASP tanggal 27 November 2012 perihal Batas Maksimum
Suku Bunga Kartu Kredit. Berdasarkan ketentuan tersebut,
batas maksimum suku bunga kartu kredit ditetapkan
sebesar 2,95% per bulan.
Selain ketentuan terkait APMK, pada periode laporan
Bank Indonesia juga telah menerbitkan Peraturan Bank
Indonesia No.14/3/PBI/2012 tanggal 29 Maret 2012
tentang Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme Bagi Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran Selain Bank. Ketentuan ini merupakan
tindak lanjut dari amanat dalam Undang-Undang No.8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, dan mengatur mengenai
penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme (APU dan PPT).
1.2 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran
Melanjutkan kebijakan dan pengembangan sistem
pembayaran 2012, ke depan Bank Indonesia senantiasa
mendorong industri untuk melakukan penataan dan
penguatan infrastruktur sistem pembayaran dalam upaya
meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam sistem
pembayaran.
Hal tersebut dilakukan Bank Indonesia dengan tetap
melanjutkan tahapan pengembangan NPG, SKNBI, dan
uang elektronik.
Pengembangan NPG ke depan akan dilakukan melalui tiga
tahapan besar. Tahap pertama, adalah pengembangan
instrumen pembayaran yang paling dominan digunakan
oleh masyarakat Indonesia yaitu kartu ATM dan
ATM/Debet dengan menginterkoneksikan jaringan
penyelenggara kartu ATM dan ATM/Debet di Indonesia.
Tahapan kedua adalah pengembangan instrumen
pembayaran pada kartu kredit dan uang elektronik
melalui pemrosesan kartu kredit secara domestik untuk
transaksi yang dilakukan di Indonesia tanpa harus
diteruskan kepada Prinsipal luar negeri seperti yang
berlaku saat ini. Sementara itu, untuk perluasan cakupan
transaksi menggunakan uang elektronik akan didukung
melalui interkoneksi diantara penerbit uang elektronik.
Selanjutnya tahap terakhir adalah pengembangan
layanan Mobile Financial Services (MFS) dan e-commerce.
Modul layanan ini akan mendukung konvergensi layanan
transaksi berbasis mobile serta e-commerce di masa
datang.
7Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
Pendanaan Terorisme Bagi Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran Selain Bank. Ketentuan ini merupakan
tindak lanjut dari amanat dalam Undang-Undang No.8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, dan mengatur mengenai
penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme (APU dan PPT).
1.2 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran
Melanjutkan kebijakan dan pengembangan sistem
pembayaran 2012, ke depan Bank Indonesia senantiasa
mendorong industri untuk melakukan penataan dan
penguatan infrastruktur sistem pembayaran dalam upaya
meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam sistem
pembayaran.
Hal tersebut dilakukan Bank Indonesia dengan tetap
melanjutkan tahapan pengembangan NPG, SKNBI, dan
uang elektronik.
Pengembangan NPG ke depan akan dilakukan melalui tiga
tahapan besar. Tahap pertama, adalah pengembangan
instrumen pembayaran yang paling dominan digunakan
oleh masyarakat Indonesia yaitu kartu ATM dan
ATM/Debet dengan menginterkoneksikan jaringan
penyelenggara kartu ATM dan ATM/Debet di Indonesia.
Tahapan kedua adalah pengembangan instrumen
pembayaran pada kartu kredit dan uang elektronik
melalui pemrosesan kartu kredit secara domestik untuk
transaksi yang dilakukan di Indonesia tanpa harus
diteruskan kepada Prinsipal luar negeri seperti yang
berlaku saat ini. Sementara itu, untuk perluasan cakupan
transaksi menggunakan uang elektronik akan didukung
melalui interkoneksi diantara penerbit uang elektronik.
Selanjutnya tahap terakhir adalah pengembangan
layanan Mobile Financial Services (MFS) dan e-commerce.
Modul layanan ini akan mendukung konvergensi layanan
transaksi berbasis mobile serta e-commerce di masa
datang.
Pengembangan SKNBI akan mencakup penyelesaian
transaksi atas transfer kredit dan debet baik yang bersifat
individual maupun rutin (bulk payment).
Selanjutnya, arah kebijakan dan pengembangan uang
elektronik ke depan difokuskan pada upaya untuk
meningkatkan penggunaan uang elektronik di masyarakat
serta memperluas jangkauan dan penetrasi infrastruktur
uang elektronik melalui dua tahapan waktu yaitu jangka
pendek dan menengah dengan kegiatan edukasi dan
sosialisasi, fasilitasi industri serta perluasan pasar.
Sedangkan untuk jangka panjang melalui standardisasi
uang elektronik.
Dari sisi penguatan aspek hukum dalam sistem
pembayaran, Bank Indonesia akan menginisiasi
penyusunan Rancangan Undang Undang (RUU) Sistem
Pembayaran dan Penyelesaian Akhir (SPPA). Alasan
utama mengapa perlunya UU SPPA ini adalah karena
laju perkembangan sistem pembayaran yang sangat
pesat. Pesatnya perkembangan sistem pembayaran
dapat menjadi sumber informasi (kondisi likuiditas dan
infrastruktur sistem keuangan) yang menjadi subyek
pemantauan secara microprudential guna memonitor
kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potential
shock. Hasil dari riset dan pemantauan selanjutnya
akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam
pengambilan langkah-langkah yang tepat untuk meredam
gangguan dalam sektor keuangan.
Selanjutnya informasi secara komprehensif mengenai
perkembangan sistem pembayaran, kebijakan dan
pengembangan sistem pembayaran yang ditempuh
selama 2012, serta arah kebijakan dan pengembangan
sistem pembayaran ke depan akan diulas secara
mendalam pada bab-bab selanjutnya.
8 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 1 Sekilas Sistem Pembayaran
Halaman ini sengaja dikosongkan
9Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
Saat ini system pembayaran di Indonesia diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan pihak di luar Bank Indonesia atau industri system pembayaran. Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI merupakan system pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, sementara APMK, uang elektronik, dan kegiatan usaha pengiriman uang (KUPU) atau transfer dana diselenggarakan oleh industri system pembayaran, baik berupa bank maupun lembaga selain bank.
Perkembangan transaksi keuangan yang melalui system pembayaran selama tahun 2012 meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Nilai transaksi melalui system pembayaran selama tahun 2012 mencapai Rp104,84 ribu triliun atau meningkat 46,52% dari nilai transaksi dari tahun 2011 yang tercatat sebesar Rp71,55 ribu triliun. Sementara itu, dari sisi volume transaksi terjadi peningkatan sebesar 24,42% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Volume transaksi sepanjang tahun 2012 mencapai 3,27 miliar transaksi.
10 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
2.1 Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia
Selama periode laporan perkembangan transaksi
keuangan melalui sistem pembayaran yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia, baik Sistem BI-RTGS
maupun SKNBI mengalami peningkatan nilai dan volume
transaksi dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Grafik
2.1).
Aktivitas transfer keuangan elektronik yang diproses
oleh Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI
mencapai nilai Rp101,57 ribu triliun atau meningkat
sebesar 47,43% dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yang mencapai nilai Rp68,89 ribu triliun. Sementara itu
dari sisi volume transaksi, mencapai 123,59 juta transaksi
atau meningkat sebesar 7,15% dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang mencapai 115,34 juta transaksi.
Perkembangan Transaksi melalui Sistem BI-RTGS
Aktivitas transaksi pembayaran melalui Sistem BI-RTGS
pada tahun 2012 menunjukkan peningkatan dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (Grafik 2.2). Nilai transaksi
yang penyelesaiannya dilakukan melalui Sistem BI-RTGS
pada 2012 mencapai Rp99,40 ribu triliun atau naik
sebesar 48,53% dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yang mencapai Rp66,92 ribu triliun dengan volume
tercatat sebanyak 17,50 juta transaksi atau naik sebesar
8,24% dibandingkan dengan 2011. Dengan demikian,
rata-rata harian transaksi yang dilakukan melalui Sistem
BI-RTGS pada 2012 mencapai nilai Rp404,05 triliun
Grafik 2.1 Perkembangan Transaksi Melalui Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia
Grafik 2.2Perkembangan Transaksi Sistem BI-RTGS
���������������������������������������������
�
�����
�����
�����
�����
������
������
���������������������
�
�
�
�
�
��
��
��
��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������� ����
�����������������������������������������
���������������������
��� ������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���
���� ����
�
�����
�����
�����
�����
������
������
�
���
���
���
���
�����
�����
�����
�����
�����
Perkembangan Penyelenggaraan dan Kinerja Sistem Pembayaran
Bab 2
11Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
���� ���� ��������
���� ���� ��������
�����������������������
�����������������������
���������������
������
�����
������
�����
�����
�����������
�����������
�����
������
�����
�����
�����������
������������
�������
������
�������
�����
������������
������������
��������������������
�������������������
���������
�����
����
�������������������
��������������������������
��������������������
������
����������
�������
������
�������
������
���������
����������
������
����������
������
������
�������
������
���������
����������
�������
�����
�������
������
�����
�����
�����
�����
���������
����
�������������������
��������������������������
��������������������
���������������������������������������
�����
Grafik 2.3Pangsa Nilai Transaksi Sistem BI-RTGS
dengan volume sebesar 71,13 ribu transaksi. Dengan
nilai yang tinggi ini, Sistem BI-RTGS dikategorikan sebagai
Systemically Important Payment System (SIPS), yaitu
sistem yang memproses transaksi bernilai besar dengan
potensi risiko sistemik1.
Transaksi transfer elektronik yang diproses melalui Sistem
BI-RTGS meliputi transaksi masyarakat, pasar uang antar
bank (PUAB), valuta asing, pasar modal, pengelolaan
moneter, dan transaksi yang dilakukan untuk kepentingan
pemerintah.
Peningkatan nilai transaksi melalui BI-RTGS terutama
disebabkan oleh meningkatnya transaksi pengelolaan
moneter yang memiliki pangsa 60,86% dari total nilai
transaksi BI-RTGS (Grafik 2.3). Nilai transaksi pengelolaan
moneter pada 2012 mengalami peningkatan sebesar
96,53% (Tabel 2.1) dibandingkan dengan tahun 2011.
Peningkatan nilai tersebut mengindikasikan meningkatnya
kegiatan pengelolaan moneter yang dilakukan Bank
Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas moneter dan
sistem keuangan.
Sementara itu, peningkatan volume transaksi melalui BI-
RTGS disebabkan oleh meningkatnya transaksi pasar modal
yang memiliki pangsa 0,40% dari total volume transaksi
Grafik 2.4Pangsa Volume Transaksi Sistem BI-RTGS
Tabel 2.1Perkembangan Jenis Transaksi melalui Sistem BI RTGS
1 Risiko sistemik adalah risiko yang disebabkan oleh satu peserta tidak dapat memenuhi kewajibannya yang berdampak pada terjadinya ketidakmampuan seluruh peserta dalam sistem untuk memenuhi kewajibannya .
BI-RTGS (Grafik 2.4). Volume transaksi pasar modal pada
2012 mengalami peningkatan sebesar 13,94% (Tabel
2.1). Peningkatan volume transaksi pasar modal tersebut
menunjukkan bahwa sampai saat ini transfer dana melalui
Sistem BI-RTGS masih menjadi pilihan selain transfer
melalui SKNBI dan APMK. Dari perspektif efisiensi sistem
pembayaran, Sistem BI-RTGS mendukung percepatan
penyelesaian transaksi dan efisiensi dari sisi waktu.
�����
������
����������
�����
������
����������
�������
���������������
��������������������
��������������������
�������������������
�������
�����
������
����������
����������
������
�������
�������������������
��������������������
��������������������
�������������������������
�������
����
12 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
Grafik 2.5Perkembangan Transaksi melalui BI-SSSS
���������������������������������������������
�
�
�
�
�
��
��
��
��
��
�����������������������������
��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������� ����
�
���
�����
�����
�����
�����
�����
�����
�����
�����
Aktivitas Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS)
Sehubungan dengan kegiatan penatausahaan surat
berharga pada BI-SSSS, pada periode laporan, telah
ditatausahakan transaksi surat berharga dengan nilai
mencapai Rp32,50 ribu triliun atau meningkat sebesar
81,99% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
mencapai Rp17,86 ribu triliun. Sementara itu di sisi
volume transaksi mencapai 137,16 ribu atau meningkat
sebesar 12,27% dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yang mencapai 122,17 ribu (Grafik 2.5). Dengan demikian
rata-rata harian transaksi surat berharga melalui BI-SSSS
pada periode laporan mencapai nilai Rp132,12 triliun
dengan volume sebesar 558 transaksi.
Sampai dengan akhir periode laporan, peserta BI-SSSS
terdiri dari 137 bank , 14 non bank dan 16 sub registry.
Perkembangan Transaksi melalui SKNBI
Aktivitas transaksi melalui SKNBI pada 2012 menunjukkan
peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya
(Grafik 2.6). Nilai transaksi melalui SKNBI pada 2012
mencapai Rp2.170,19 triliun atau naik sebesar 10,13%
Grafik 2.6Perkembangan Transaksi melalui SKNBI
���������������������������������������������
�
�
�
�
�
��
��
�����������������������������
��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������� ����
�
��
���
���
���
���
Grafik 2.7Volume Cek dan Bilyet Giro Kosong Tahun 2012
Grafik 2.8Nilai Cek dan Bilyet Giro Kosong Tahun 2012
���
���
����������
������������������
���
���
����������
������������������
13Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
������ ��������������� ������ ��������������� ������ �����
����� ����������������������� �����������������������������������������������������������������
����������������������������������������������������������������
���������
����
����
������
������
����������
����������
����������������
����������������
�������
�������
�������������
�������������
�����
�����
�����
�����
dengan volume transaksi tercatat sebanyak 106,10 juta
transaksi atau naik sebesar 6,98% dibandingkan dengan
2011. Dengan demikian rata-rata harian transaksi yang
dilakukan melalui SKNBI pada 2012 mencapai nilai Rp8,82
triliun dengan volume sebesar 431,29 ribu transaksi.
Sampai dengan akhir periode laporan, jumlah peserta
SKNBI sebanyak 140 peserta bank dan 1 peserta Bank
Indonesia.
Pengelolaan Daftar Hitam Nasional (DHN)
Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
instrumen pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro (BG),
Bank Indonesia perlu menjaga kredibilitas Cek dan/
atau BG tersebut sangat penting bagi kelancaran sistem
pembayaran.
Dalam praktek, pembayaran menggunakan Cek dan/
atau BG masih memiliki permasalahan risiko gagal bayar
karena saldo tidak cukup atau rekening giro telah ditutup
yang dikenal dengan istilah Cek dan/atau BG kosong.
Dalam rangka pencegahan penarikan Cek dan/atau BG
kosong tersebut, bank secara self assessment melakukan
penetapan identitas penarik Cek/BG kosong dalam DHN
berdasarkan kriteria yang diatur dalam PBI No. 8/29/
PBI/2006 tanggal 20 Desember 2006 tentang Daftar Hitam
Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong dan
SE BI No. 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar
Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong.
Persentase perbandingan jumlah warkat Cek dan/atau
BG kosong terhadap total warkat penyerahan bank
pada periode laporan mengalami kenaikan dari 1,15%
pada 2011 menjadi 1,26% pada 2012. Demikian pula
persentase perbandingan jumlah nominal penarikan Cek
dan/atau BG kosong mengalami kenaikan dari 1,07% pada
2011 menjadi 1,23% pada 2012.
Selama dua tahun terakhir, penarikan BG kosong baik sisi
volume maupun nilai lebih besar dibanding penarikan
Cek kosong. Pada periode laporan, dari sisi volume, porsi
penarikan BG kosong sebesar 76%, sedangkan dari sisi
nilai sebesar 67%. Sementara itu, porsi penarikan Cek
kosong dari sisi volume sebesar 24% dan dari sisi nilai
sebesar 33%.
Kinerja Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Bank Indonesia
Untuk mengetahui kinerja Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan
SKNBI, Bank Indonesia menggunakan ukuran ketersediaan
Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI bagi pesertanya.
Ukuran ketersediaan sistem tersebut menunjukkan
tingkat keandalan Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI yang
diselenggarakan Bank Indonesia. Pada periode laporan,
tingkat ketersediaan sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI
mencapai tingkat yang sesuai dengan service level yang
telah ditetapkan.
Untuk mendukung kinerja penyelenggaraan sistem
pembayaran Bank Indonesia, maka salah satu upaya Bank
Indonesia adalah dengan melakukan migrasi jaringan dari
yang semula berbasis System Network Architecture (SNA)
menjadi berbasis Transmission Control Protocol/Internet
Protocol (TCP/IP).
Latar belakang migrasi tersebut dengan pertimbangan :
- Jaringan SNA merupakan teknologi lama yang sudah
jarang digunakan.
- Ketersediaan perangkat pendukung sudah terbatas
sehingga jika terjadi kerusakan pada perangkat
Tabel 2.2 Jumlah Nasabah yang Tercantum dalam DHN dan Perbandingan antaraJumlah Warkat Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong terhadap Total Warkat Penyerahan Bank
14 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
pendukung, maka sulit untuk mencari perangkat
pengganti karena sudah tidak tersedia di pasaran.
- Kapasitas jaringan yang terbatas karena tidak dapat
di-upgrade.
Upaya Menjaga Keamanan dan Keandalan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan SKNBI melalui Business Continuity Plan, Kegiatan User Group dan Forum Kepesertaan, dan Member Certification
Business Continuity Plan
Dalam kedudukannya sebagai penyelenggara sistem
BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI, Bank Indonesia senantiasa
berupaya menjamin kelancaran sistem secara keseluruhan
yang andal baik dalam kondisi normal maupun dalam
kondisi darurat.
Selama periode laporan, untuk menjamin keandalan
sistem back-up telah dilakukan uji coba environment
sebanyak tiga kali. Selain itu, dilakukan juga operasional
secara live sebanyak satu kali dengan menggunakan
infrastruktur teknologi informasi di lokasi Disaster
Recovery Centre (DRC) Bank Indonesia.
Sementara itu, untuk memastikan kesiapan infrastruktur
back-up siap digunakan, setiap bulan dilakukan juga
pengecekan infrastruktur Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan
SKNBI di lokasi DRC dan Backup Front Office.
Untuk memberikan alternatif sarana back-up kepada
Peserta sistem BI-RTGS dan BI-SSSS, Bank Indonesia
menyediakan fasilitas guest bank. Selama tahun 2012
terdapat 32 Peserta yang menggunakan fasilitas guest
bank tersebut dengan rincian tiga peserta karena
gangguan pada internal sistem sisanya sebanyak 29
peserta karena gangguan koneksi jaringan sistem BI-RTGS
dan BI-SSSS.
Selanjutnya, guna meningkatkan kompetensi peserta
dalam pemanfaatan fasilitas guest bank, Bank Indonesia
secara rutin memberikan pelatihan guest bank. Selama
periode laporan, telah dilakukan pelatihan kepada 13
peserta sistem BI-RTGS dan BI-SSSS.
Kegiatan User Group dan Forum Kepesertaan
Kegiatan user group dan forum kepesertaan, dilakukan
untuk menjembatani komunikasi antara penyelenggara
dan seluruh peserta terutama dalam rangka diseminasi
informasi terkini dan penyelesaian permasalahan
penyelenggaraan sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI.
Selama 2012, kegiatan user group peserta sistem BI-
RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI dilakukan di Jakarta dalam
dua tahap. Tahap pertama pada Juni 2012, dilaksanakan
dalam rangka sharing informasi mengenai pelaksanaan
member certification yang dihadiri oleh petugas audit
internal peserta sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI. Tahap
kedua pada Oktober 2012, dilaksanakan dalam rangka
diseminasi informasi mengenai rencana pengembangan
SKNBI dan implementasi sistem BI-RTGS dan BI-SSSS
generasi 2.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan pelayanan Bank
Indonesia sebagai central registry kepada sub registry,
telah dilaksanakan pertemuan sub registry pada
Oktober 2012, dimana dalam forum pertemuan tersebut
dilakukan diseminasi informasi terkini terkait dengan
penyelenggaraan BI-SSSS.
Sementara itu, dalam rangka evaluasi penyelenggaraan
kliring lokal dan diseminasi perubahan kebijakan
pemberian bantuan keuangan kepada Penyelenggara
Kliring Lokal (PKL) Selain BI, pada Juli 2012 telah
dilaksanakan pertemuan tahunan dengan seluruh
penyelenggara kliring lokal yang diselenggarakan di
Jakarta.
Member Certification (MC)
Member certification dilakukan dengan tujuan
mengevaluasi kepatuhan peserta terhadap ketentuan
yang ditetapkan penyelenggara, perjanjian pengunaan
sistem antara penyelenggara dan peserta, dan/atau
kesepakatan antar Peserta dalam bye laws, serta
mengidentifikasi risiko peserta dalam penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS dan SKNBI. Dalam pelaksanaannya,
15Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
kegiatan member certification dilakukan dengan metode
asesmen atas laporan yang disampaikan oleh peserta dan
on site visit.
Berdasarkan pelaksanaan member certification yang
dilakukan selama 2012, secara umum operasional BI-
RTGS dan SKNBI peserta sudah berjalan sesuai ketentuan
yang berlaku. Namun demikian, masih terdapat beberapa
hal yang masih perlu mendapat perhatian dan harus
ditingkatkan seperti penyediaan infrastruktur back-up
system, dan prosedur contingency plan.
2.2 Perkembangan dan Kinerja Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Pihak di Luar Bank Indonesia
Saat ini penyelenggaraan sistem pembayaran yang
diselenggarakan oleh pihak di luar Bank Indonesia
meliputi penyelenggaraan APMK (kartu kredit, kartu ATM
dan kartu ATM/Debet), uang elektronik, dan kegiatan
usaha pengiriman uang atau transfer dana. Selama 2012,
terjadi peningkatan transaksi keuangan melalui sistem
pembayaran yang diselenggarakan oleh pihak di luar Bank
Indonesia, baik itu melalui kartu kredit, kartu ATM dan
kartu ATM/Debet, uang elektronik maupun KUPU.
Selain itu, dari sisi infrastruktur pembayaran ritel
mengalami perkembangan dari tahun ke tahun (Grafik
2.9).
Aktivitas Pembayaran Menggunakan Kartu Kredit
Jumlah kartu kredit yang beredar pada akhir 2012
mencapai 14,82 juta kartu atau meningkat sebesar 0,21%
dari periode sebelumnya yang mencapai 14,79 juta kartu.
Meningkatnya jumlah kartu tersebut turut pula
mendorong peningkatan penggunaannya (Grafik 2.10).
Selama 2012 nilai transaksi menggunakan kartu
kredit mencapai Rp201,84 triliun, meningkat sebesar
5,84% dibandingkan dengan periode sebelumnya
yang mencapai Rp182,60 triliun. Sementara itu di
sisi volume transaksi mencapai 221,58 juta transaksi,
meningkat sebesar 10,54% dibandingkan dengan periode
sebelumnya yang mencapai 209,35 juta transaksi. Dengan
demikian rata-rata harian transaksi menggunakan kartu
Grafik 2.9 Perkembangan Infrastruktur Pembayaran Ritel (ATM dan EDC)
Grafik 2.11Perkembangan Transaksi Menggunakan Kartu Kredit
Grafik 2.10Perkembangan Jumlah Kartu Kredit Beredar
���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����
������������������
�
������
�������
�������
�������
�������
�������
�������
�������
�������
�������
���������������������������
� � � � � � � � � �� �� �� � � � � � � � � � �� �� ��
���� ����
��
��
��
��
��
��
��
��
��
�����������������������������������������
������
���������������
�
�����
������
������
������
������
� � � � � � � � � �� �� �� � � � � � � � � � �� �� ������ ����
�
�
�
�
�
��
��
��
��
��
��
16 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
kredit pada periode laporan mencapai nilai Rp551,48
miliar dengan volume sebesar 605,41 ribu transaksi.
Sampai dengan periode laporan, jumlah penerbit dan
prinsipal kartu kredit di Indonesia masing-masing
berjumlah 20 penerbit dan 5 prinsipal.
Perkembangan Transaksi Menggunakan Kartu ATM dan Kartu ATM/Debet
Pada akhir periode laporan, total kartu ATM dan ATM/
Debet yang beredar mencapai 77,75 juta kartu. Jumlah
tersebut meningkat sebesar 21,15% dibandingkan dengan
akhir periode laporan sebelumnya yang mencapai 63,39
juta kartu. Dari jumlah tersebut sebanyak 73,22 juta
kartu (94,17%) merupakan kartu ATM/Debet, yang selain
berfungsi untuk melakukan transaksi di terminal ATM,
juga dapat berfungsi sebagai kartu debet untuk digunakan
dalam transaksi belanja di pedagang (merchant).
Dengan peningkatan jumlah kartu ATM dan ATM/Debet
beredar tersebut, mendorong peningkatan aktivitas
transaksi menggunakan kartu ATM dan ATM/Debet (Grafik
2.12). Pada periode laporan, nilai transaksi menggunakan
kartu ATM dan ATM/Debet mencapai Rp3,07 ribu triliun
atau meningkat sebesar 23,74% dibandingkan dengan
periode sebelumnya yang mencapai Rp2,48 ribu triliun.
Sementara itu, volume transaksi menggunakan kartu
ATM dan ATM/Debet mencapai 2,82 miliar transaksi atau
meningkat sebesar 24,83% dibandingkan dengan periode
sebelumnya yang mencapai 2,26 miliar transaksi.
Dengan demikian rata-rata harian transaksi menggunakan
kartu ATM dan ATM/Debet pada periode laporan
mencapai nilai Rp8,37 triliun dengan volume sebesar 7,72
juta transaksi.
Sampai dengan akhir periode laporan terdapat 102 bank
yang bertindak sebagai penerbit kartu ATM dan ATM/
Debet yang terdiri atas 59 bank umum, 8 bank syariah,
26 Bank Pembangunan Daerah dan 9 Bank Perkreditan
Rakyat. Selain itu juga terdapat enam lembaga selain bank
sebagai prinsipal.
Aktivitas Uang Elektronik
Sampai akhir periode laporan, terdapat 13 penerbit
uang elektronik yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia baik yang berbasis chip maupun media
berbasis server. Adapun jumlah uang elektronik yang
beredar baik yang berbasis chip maupun berbasis
server mencapai sekitar 21,87 juta, meningkat sebesar
52,94% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang
mencapai 14,30 juta.
Komposisi penggunaan uang elektronik yang berbasis
chip dan server based mengalami perkembangan dari
tahun ke tahun. Jika pada awal hadirnya uang elektronik,
penggunaan uang elektronik berbasis chip based
Grafik 2.12Perkembangan Jumlah Kartu ATM dan ATM/Debet Beredar
Grafik 2.13 Perkembangan Transaksi MenggunakanKartu ATM dan ATM/debet
������
��������������������������������
� � � � � � � � � �� �� �� � � � � � � � � � �� �� ������ ����
�
��
��
��
��
��
��
��
��
��
�����������������������������������������
�
��
���
���
���
���
���
���
�
������
�������
�������
�������
�������
�������
���������������������
� � � � � � � � � �� �� �� � � � � � � � � � �� �� ��
���� ����
17Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
menempati pangsa terbesar yaitu 72%, maka sampai
dengan akhir 2012 penggunaan uang elektronik berbasis
server based menempati pangsa terbesar yaitu 57%.
Aktivitas transaksi menggunakan uang elektronik pada
2012 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan
periode sebelumnya (Grafik 2.14). Nilai transaksi
menggunakan uang elektronik pada 2012 mencapai
Rp1,97 triliun atau naik sebesar 101,02% dibandingkan
dengan periode sebelumnya yang mencapai Rp981,30
miliar. Sementara itu di sisi volume transaksi mencapai
100,62 juta transaksi atau naik sebesar 145,06%
dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai
41,06 juta transaksi. Dengan demikian rata-rata harian
transaksi yang dilakukan dengan menggunakan uang
elektronik pada 2012 mencapai nilai Rp5,39 miliar dengan
volume sebesar 274,93 ribu transaksi.
Pada periode laporan, penggunaan uang elektronik
mengalami pertumbuhan dibandingkan periode
sebelumnya baik dari sisi jumlah instrumen yang
diterbitkan maupun volume dan nilai transaksi. Jumlah
instrumen uang elektronik mengalami pertumbuhan 53%,
sementara volume dan nominal transaksi tumbuh masing-
masing sebesar 153% dan 116%.
Perkembangan Penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU) atau Transfer Dana Selain Bank
Mekanisme pengiriman uang melalui penyelenggara
Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU) selain bank telah
berjalan sejak lama terutama untuk mengakomodasikan
kegiatan pengiriman uang oleh tenaga kerja Indonesia di
luar negeri. Pada umumnya pengguna jasa penyelenggara
KUPU ini adalah tenaga kerja yang bergerak di sektor
informal yang kurang mengenal perbankan.
Sampai dengan akhir periode laporan, terdapat 119
penyelenggara KUPU yang telah memperoleh izin dari
Bank Indonesia. Dari jumlah tersebut, 76 merupakan
penyelenggara badan usaha berbadan hukum, 15
Grafik 2.14 Perkembangan Jumlah Uang Elektronik
Grafik 2.15 Perkembangan Komposisi Jumlah Uang Elektronik
Grafik 2.16 Perkembangan Transaksi Menggunakan Uang Elektronik
����������������������������������������
���������������������
� � � � � � � � � �� �� �� � � � � � � � � � �� �� ��
���� ����
�
��
���
���
���
���
���
�
�����
�����
�����
�����
������
����������
��������������������������������
����������������������������������
���� ���� ���� ���� ����
�
�����
�����
�����
�����
������
������
������
��
���
���
���
���
���
���
���
���
���� ���� ���� ���� ����
���
���
���
��� ������
���
���
��� ���
���������� ������������
18 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
badan usaha tidak berbadan hukum (Commanditaire
Vennootschap dan Usaha Dagang) dan 16 perorangan.
Pelaporan transaksi pengiriman uang oleh penyelenggara
KUPU selain bank pada periode laporan dari sisi nilai
mencapai Rp18,43 triliun dengan volume sebesar 3,61
juta transaksi.
Aktivitas terbesar transaksi pengiriman uang dari sisi nilai
transaksi pada periode laporan, adalah pengiriman uang
dari luar negeri dengan porsi nilai 53,07% dan volume
84,97%. Pengiriman uang domestik (antar wilayah di
Indonesia) dengan porsi nilai 36,99% dan volume 13,13%.
Sedangkan sisanya pengiriman uang dari Indonesia ke luar
negeri dengan porsi nilai 9,94% dan volume 1,90%.
2.3 Peta Penyelenggaraan Sistem Pembayaran di Indonesia
Seiring dengan semakin strategisnya peran sistem
pembayaran dalam perekonomian di Indonesia, maka
penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia juga
semakin beragam. Adapun penyelenggaraan sistem
pembayaran di Indonesia adalah sebagaimana dalam
Tabel Peta Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Indonesia
(Tabel 2.3).
Grafik 2.17Pangsa Volume Transaksi KUPU
Grafik 2.18Pangsa Nilai Transaksi KUPU
������
����� ������
������������������
������������������������
��������������������������
������
�����
������ ��������������������������
������������������������
������������������
19Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
������ �������������� ������������� �������
� ���������������� ����������������������������������������� ��������������������������������������������
����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
� ���������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
� �������������������������������������������������������
� �������������� � ��������������������������������������������������������������������������������
� ��������������
����������������������������������������
���������������������������������������������������������������������������������������������������������
�����������������������������������������������
�����������������������������������������������������������
���������������������������������������������
��������������������������������������������������������������
�����������������������������������������������������������
������������������������������������������������������
��������������������������������������
�����������������������������������
� ���������� �������� ������� ��������� ���������������������������������������������������������
� ��������� ������ ��������� ����� ����������������� �������� ���������� ������� ���
� ���������������������������������������������������������������������
� ����������������������������������������������������������
� ������������������������� ����������������������������������������
�������������
� �������������� � ������������������������������������������������������
� �������������������������������������������������������������������������������������
� ���������������������������������������������������������������������������
� ����������������������������������������������������������������������������������������������������
� ��������� ����� ������������������ �� ������������� ����� �������� ������� ���������������������
� ������������������������������������������
� ������������������������������������
� �����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
� �����������������������������������������������������������������������
� ���������������������������������������������
� ���������������������������������������������������������������������
� �����������������������������������������������
� ���������������������������
� �����������������������
� ���������������
� ���������������
� ���������������
Tabel 2.3Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Indonesia
20 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 2 Perkembangan Penyelenggaraan danKinerja Sistem Pembayaran
������ �������������� ������������� �������
� ���������������������������������������������
� ��������������������������������
� �������������������������
� ������������������
� ���������������������������������������������������������
� ���������������������������������������������������
� ��������������
� ���������������������������������
� ������������������������������ ������������������
�������������������������������������������
�����������������������������������������
���������������������������������������������
��������������������������������������
� ��������������������������������������������������������������������������������������������
� ���������������������������������
� ����������������������������������������������������
� ����������������������������
� ���������������������������������������������������������
� ��������������������������������������������������������
� ��������������
� ���������������
� ���������������� ��������������
������������������������������������������������� ������ ������ ��������������� �������������������������������
������������������������������������������������
������������������������������� � ����������������������������������������������������
� ������������������� ������������������������� ���� ����������������� ������������������
� ���������������� ��������������������������������������� ��������������� ������� ������
��������������� �� �������������������������������������������������������������������������������������������
� ������������������������� � ������������� ����������������������������� ������������
��������������������������������������
� ����������������������������������������������������������������������������
� �������������������������� ����������� ���������� �����������������������
�����������������������������������������
� ������������ ����������
������������������������������������������������������������������
� ���������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
� �������������
� ����������
� ��������������������������������
� ������������������������������������������������������������������������������������������������������
� ������������������������������������������������������������������������������
� �����������������������������������������������������������������������������������������
21Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Kebijakan Bank Indonesia di bidang system pembayaran selama 2012 difokuskan pada empat aspek utama, yaitu peningkatan keamanan, efisiensi, perluasan akses, dan perlindungan konsumen.
Kebijakan peningkatan keamanan dan efisiensi antara lain ditempuh melalui persiapan implementasi Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II, pengembangan interkoneksi system pembayaran ritel melalui pengembangan NPG dan interkoneksi penyelenggaraan uang elektronik, serta implementasi standar nasional kartu ATM/Debet berbasis chipse cara bertahap. Dalam rangka perluasan akses system pembayaran, Bank Indonesia bekerjasama dengan Bank Jatim mengimplementasikan Sistem Transfer Kredit Elektronik (STKE) antar BPR.Selanjutnya, Bank Indonesia senantiasa memperkuat aspek hokum dalam penyelenggaraan system pembayaran di Indonesia dalam rangka menjamin perlindungan konsumen pengguna jasa system pembayaran, melalui penyusunan dan penyempurnaan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai system pembayaran.
22 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
3.1 Pengembangan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II
Menindaklanjuti pengembangan pada 2011 yang berfokus
pada penyusunan design and functional specification
dengan melibatkan pihak eksternal, maka pada tahun
2012 kegiatan utama berfokus pada pengembangan
aplikasi dan penyiapan infrastruktur serta pelaksanaan uji
coba terhadap Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II.
Dalam proses pengembangan aplikasi, pihak pengembang
melakukan proses pengembangan aplikasi yang
disesuaikan dengan user requirements dari Bank
Indonesia. Aplikasi yang dikembangkan meliputi aplikasi
Sistem BI-RTGS (RTS/X), aplikasi BI-SSSS (DEPO/X), aplikasi
Bank Indonesia Electronic Trading Platform (TRADE/X)
serta aplikasi Bank Indonesia Historical And Real Time
Information System (BI HARTIS). Terkait kegiatan
penyiapan infrastruktur, tahapan ini dilakukan baik di sisi
Bank Indonesia sebagai pihak yang akan mengoperasikan
keempat aplikasi di atas (operator) maupun di sisi peserta
sebagai pengguna sistem tersebut.
Setelah tahap pengembangan aplikasi selesai, dilakukan
serangkaian kegiatan uji coba baik yang dilakukan oleh
internal Bank Indonesia maupun uji coba yang melibatkan
working group yang beranggotakan bank dan non bank
peserta Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS. Pada saat yang
bersamaan, telah dilakukan kegiatan sosialisasi kepada
seluruh peserta Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS untuk
memaparkan progres pengembangan dan menyampaikan
persiapan yang harus dilakukan oleh seluruh peserta.
Terkait penyiapan ketentuan, Bank Indonesia mengacu
pada international standard dan best practice dalam
penyelenggaraan sistem pembayaran, antara lain
Principles for Financial Market Infrastructures (PFMIs).
3.2 Pengembangan Sistem Transfer Kredit Elektronik (STKE) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Pengembangan STKE BPR merupakan upaya Bank
Indonesia dan PT. Bank Jatim untuk memperluas layanan
sistem pembayaran melalui BPR sehingga dapat lebih
menjangkau masyarakat, khususnya masyarakat yang
belum dapat dilayani oleh bank umum. Sementara itu,
jaringan BPR yang tersebar luas di berbagai daerah hingga
ke pelosok pedesaan saat ini masih sangat terbatas dalam
memberikan layanan sistem pembayaran.
Kondisi tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang
belum terjangkau oleh layanan sistem pembayaran dalam
memenuhi kebutuhan untuk bertransaksi. Selain itu,
masih terdapat mekanisme kegiatan transfer dana yang
kurang efisien oleh BPR dimana BPR harus membuka
rekening giro di beberapa bank umum dan membuat
virtual account untuk nasabahnya.
Untuk mengakomodir kebutuhan transaksi pembayaran
nasabah BPR sekaligus memperluas akses masyarakat
terhadap layanan sistem pembayaran, pada 2012 Bank
Indonesia mengembangkan STKE BPR. Pengembangan
STKE BPR dilakukan dengan konsep two tier system
dimana transfer antar BPR tidak dilakukan secara langsung
(one tier system), namun dilakukan melalui bank umum.
Sebagai tahap awal, Bank Indonesia mengembangkan
pilot project STKE BPR bersama PT. Bank Jatim selaku
bank umum yang akan menyelenggarakan STKE BPR di
Kebijakan Sistem Pembayaran
Bab 3
23Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
wilayah Jawa Timur. Pengembangan pilot project STKE
BPR wilayah Jawa Timur telah berhasil diimplementasikan
dan diresmikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Darmin
Nasution pada 29 November 2012 di Surabaya (lihat
Boks 3.1: Implementasi STKE BPR Wilayah Jawa Timur).
Pengembangan STKE BPR untuk wilayah lain akan
dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan
dan kesiapan BPR maupun bank pengayom di wilayah
tersebut.
3.3 Implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Nasional dalam rangka Persiapan MEA
Berdasarkan hasil pemetaan terhadap kondisi sistem
pembayaran dan setelmen di Indonesia saat ini, tren
sistem pembayaran, analisis isu-isu strategis dari sisi
kebijakan, kerangka hukum, kelembagaan, instrumen, dan
infrastruktur/mekanisme, telah disusun arah kebijakan
3.3
Implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Nasional Dalam Rangka Persiapan MEA
dan pengembangan sistem pembayaran nasional yang
tertuang dalam blueprint sistem pembayaran nasional
2011.
Implementasi dari blueprint tersebut dijabarkan ke
dalam program kerja Bank Indonesia yang terbagi dalam
program jangka pendek (2012-2013), jangka menengah
(2014-2015) dan jangka panjang (2016-2017). Walaupun
terbagi ke dalam beberapa milestone namun seluruh
program kerja yang akan dilaksanakan tetap mengarah
pada terwujudnya sistem pembayaran yang cepat, aman,
efisien, andal, dan mengutamakan perlindungan kepada
nasabah, serta meningkatkan national competitive
advantage.
Secara umum, fokus program kerja jangka pendek 2012
adalah meningkatkan keamanan, keandalan dan efisiensi
infrastruktur penyelenggaraan sistem pembayaran,
memperkuat legal framework penyelenggaraan sistem
pembayaran, mempersiapkan pemenuhan terhadap
Bagan 3.1Bagan implementasi Blueprint dalam rangka MEA
�������������������������� ��������������������������������������������������������������������������� ��������������������������������������������� ������������������������������������������������������������������������ ������������������������ �������������������������������������������
���������������������������� ������������������������������������������������������ ����������������������������������������������������������
��������������������������� ���������������������������������������� ��������������������������������
�����������������������������������
24 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
International Standard and Best Practices, memperkuat
pengawasan sistem pembayaran dan memperluas
penggunaan instrumen pembayaran non-tunai (less cash
society).
Terkait dengan fokus pertama, yaitu meningkatkan
keamanan, keandalan dan efisiensi infrastruktur
penyelenggaraan sistem pembayaran, program kerja
yang dilaksanakan selama 2012 meliputi pengembangan
sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II, pengembangan
NPG, pengembangan SKNBI, pengembangan sistem
pembayaran dalam rangka meningkatkan akses terhadap
penggunaan jasa sistem pembayaran (financial inclusion),
penguatan business continuity management (BCM),
penyempurnaan sistem informasi sistem pembayaran,
serta peningkatan peran Bank Indonesia dalam forum
internasional.
Fokus selanjutnya, yaitu peningkatan keamanan
penyelenggaraan sistem pembayaran, dijabarkan ke dalam
program kerja implementasi penggunaan chip pada kartu
ATM dan ATM/Debet, serta penyempurnaan framework
pengawasan sistem pembayaran.
Adapun penjabaran dari fokus perluasan penggunaan
instrumen pembayaran non-tunai adalah program
kerja untuk melakukan edukasi preferensi masyarakat
untuk penggunaan sistem pembayaran non-tunai dan
melakukan fasilitasi perluasan jenis dan jangkauan sistem
pembayaran non-tunai.
Selain program kerja jangka pendek di atas, Bank
Indonesia juga sudah melakukan inisiatif untuk menjawab
isu strategis yang muncul dalam sistem pembayaran
nasional, seperti yang terkait dengan kerangka hukum
dalam penyelenggaraan sistem pembayaran dan setelmen
melalui penyusunan ketentuan terkait perlindungan
nasabah pengguna jasa sistem pembayaran dan
penyusunan undang-undang sistem pembayaran. Selain
itu Bank Indonesia juga mendorong peningkatan peran
pelaku sistem pembayaran domestik dalam sistem
pembayaran ritel dalam rangka menjawab isu terkait
kelembagaan.
3.4 Pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
Hasil evaluasi SKNBI pada 2011 menunjukkan perlunya
dilakukan penyempurnaan terhadap SKNBI baik dari aspek
bisnis maupun teknis. Dalam jangka pendek, beberapa
penyempurnaan yang telah dilakukan pada 2012 antara
lain: 1) Efisiensi proses warkat debet, 2) Peningkatan
bantuan kepada Penyelenggara Kliring Lokal (PKL) selain
Bank Indonesia untuk mengoptimalkan peran PKL selain
BI, 3) Implementasi kliring online pada beberapa wilayah
kliring yang sebelumnya dilakukan secara offline, dan
4) Pembukaan akses SKNBI kepada Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) melalui bank pengayom (Apex Bank). Dalam
jangka panjang, perlu dilakukan pengembangan terhadap
SKNBI secara menyeluruh agar dapat mengakomodir
perkembangan serta kebutuhan masyarakat akan layanan
transfer dana yang lebih efisien.
Saat ini, layanan SKNBI masih terbatas pada transaksi
yang bersifat konvensional yaitu transaksi Cek dan Bilyet
Giro (BG) serta transfer individual. SKNBI belum dapat
mengakomodir transaksi pembayaran yang bersifat
rutin (billing payment) dan transaksi pembayaran yang
bersifat jamak (bulk payment). Layanan SKNBI juga masih
terbatas pada bank umum sebagai penyelenggara transfer
dana (PTD), sementara PTD selain bank sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Transfer Dana belum
memiliki akses terhadap SKNBI. Untuk kliring debet, masih
terjadi ketidakefisienan penyediaan likuiditas oleh bank
peserta kliring. Hal itu karena perhitungan mekanisme
Failure to Settle (FtS) melalui penyediaan prefund
dilakukan secara gross sehingga penyediaan dana menjadi
lebih besar dari yang dibutuhkan (setelah dilakukan
netting).
Di sisi teknis, SKNBI yang telah beroperasi sejak 2005
semakin mendekati batas kapasitasnya dalam memproses
transaksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2013, sebagian infrastruktur SKNBI sudah mencapai
umur teknis dan berada pada periode end of support dari
prinsipal. Sementara itu, aplikasi SKNBI yang bersifat satu
25Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
kesatuan (tidak modular) menyebabkan penyempurnaan
pada satu fitur akan berpengaruh pada fitur lain sehingga
tidak fleksibel. Untuk kliring debet, penyelenggaraan
yang masih tersebar di banyak wilayah (desentralisasi)
menyebabkan biaya pemeliharaan menjadi tidak efisien.
Untuk mengatasi kendala dan menyempurnakan
kelemahan pada SKNBI, pada 2012 Bank Indonesia mulai
melakukan pengembangan SKNBI. Sebagai tahap awal,
Bank Indonesia menyusun konsep pengembangan SKNBI
yang mengacu pada hasil evaluasi SKNBI. Bank Indonesia
juga melakukan survei kepada bank-bank peserta SKNBI
untuk menjaring kebutuhan dan masukan terkait rencana
pengembangan SKNBI. Konsep pengembangan SKNBI
juga dibahas bersama Asosiasi Sistem Pembayaran
Indonesia (ASPI) sebagai perwakilan industri. Berdasarkan
hasil survei dan pembahasan dengan industri, dapat
disimpulkan bahwa secara umum industri mendukung
langkah Bank Indonesia untuk mengembangkan SKNBI.
Bagan 3.2Bagan Grand Design Pengembangan SKNBI
����������������������������
���������������
����
����
�����
�����
�����
�����
����
����
�����
�����
�����
�����
�������������������
��������������������
�������������������������������
��������������������������������������
��������������������������������������������������������
�������������������
����������������
����������
���������������
�������������������
�����������������
���
���������������������� ������
����������������
����
�������������������������
�����
��������������������������������������
���������������
���������������
��������������������������������������
Berdasarkan hasil evaluasi SKNBI saat ini dan masukan
dari industri, pada 2012 Bank Indonesia telah menyusun
desain pengembangan SKNBI.
Pokok-pokok perbedaan antara SKNBI saat ini dengan
SKNBI ke depan dapat dilihat pada matriks berikut:
����� �������� ��������������������
������� ����������������������������������
� ������������������������������������� ����������������������������������������
����������������� ��������������������������
������� ��������� ��������������������������������������������������������������������������������������������
��������������� ���������������������������������������������������������������������������
���������������������������������������������
26 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Sebagai tahap awal pengembangan SKNBI, fokus
utama kegiatan selama 2012 adalah penyusunan dan
pembahasan grand design SKNBI. Penyusunan grand
design, mengikutsertakan peserta SKNBI, Asosiasi Sistem
Pembayaran Indonesia (ASPI) sebagai perwakilan industri,
dan otoritas terkait lainnya seperti Direktorat Jenderal
Pengelolaan Utang (DJPU) dalam rangka mendapatkan
informasi mengenai kebutuhan bisnis dan arah kebijakan
DJPU yang perlu diakomodir dalam SKNBI ke depan.
Pengembangan SKNBI akan dimulai 2013, dengan
mengacu pada grand design sebagaimana Bagan Grand
Design Pengembangan SKNBI.
3.5 Tahapan Pengembangan National Payment Gateway (NPG) Sistem Pembayaran Ritel
Interkoneksi sistem pembayaran ritel menjadi cita-cita
bersama Bank Indonesia dan para pengguna layanan
jasa sistem pembayaran di Indonesia. Inisiatif untuk
mewujudkan interkoneksi diperkenalkan melalui NPG.
Bank Indonesia dan pelaku industri sistem pembayaran
nasional telah memiliki kesepahaman bahwa terdapat
kebutuhan masyarakat untuk menggunakan jasa sistem
pembayaran ritel secara lebih efisien.
Untuk mewujudkan efisiensi tersebut, perlu
diupayakan untuk mengembangkan suatu sistem
yang dapat menghubungkan antar penyelenggara
sistem pembayaran. Sementara itu, kondisi saat ini
penyelenggara jasa sistem pembayaran ritel masih
mengembangkan sistem masing-masing dan belum saling
terhubung satu sama lain.
Dalam rangka mewujudkan interkoneksi secara nasional
diawali dengan upaya mendorong dua bank yang selama
ini mendominasi transaksi pembayaran ritel yaitu Bank
Mandiri dan BCA. Sejak pertengahan Januari 2012,
nasabah pemegang kartu ATM Bank Mandiri dapat
menggunakan kartunya di ATM BCA atau sebaliknya untuk
fitur informasi saldo, tarik tunai dan transfer. Kerja sama
ini sangat mendukung upaya perluasan akses layanan
ATM di kedua bank tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya tren peningkatan transaksi antar kedua bank
tersebut melalui ATM yaitu meningkat sebesar 174,27%
dari awal mulai diimplementasikannya sampai dengan
Desember 2012.
Manfaat interkoneksi dua bank tersebut diharapkan
dapat memberikan pengaruh positif kepada industri
penyelenggara jasa sistem pembayaran ritel, khususnya
dalam membangun kesadaran dan kebutuhan adanya
interkoneksi layanan. Hal tersebut dapat mendorong
terwujudnya NPG yang tidak hanya mengkoneksikan
penyelenggaraan ATM, namun dapat mengkoneksikan
penyelenggaraan sistem pembayaran lainnya seperti kartu
kredit, kartu debet, dan uang elektronik.
Manfaat lain yang diperoleh dari interkoneksi adalah
optimalisasi pemanfaatan infrastruktur yang disediakan
industri perbankan. Dengan saling interkoneksi, bank
tidak perlu lagi menyediakan infrastruktur berupa mesin
ATM dan EDC di suatu tempat yang sama. Selain itu,
penyelenggara sistem pembayaran dapat menempatkan
infrastruktur secara lebih merata sehingga dapat
meningkatkan penggunaan instrumen pembayaran non-
tunai oleh masyarakat dapat lebih luas. Dalam kaitan
ini, Bank Indonesia mengharapkan peran industri untuk
mendistribusikan infrastruktur yang dimiliki sampai ke
lokasi yang terpencil.
Melalui NPG diharapkan arus informasi transfer dana
dapat lebih terpantau, sehingga Bank Indonesia akan
mudah mengontrol pergerakan dana baik domestik
maupun antarnegara. Selain itu, NPG juga dapat
digunakan untuk memantau kondisi likuiditas industri
sistem pembayaran, sehingga melalui NPG tersebut
bank sentral dapat melakukan pendeteksian dini dalam
rangka mendukung stabilitas industri sistem pembayaran
nasional.
Selama periode laporan, terdapat beberapa kegiatan
yang dilakukan untuk mendukung pengembangan NPG
yaitu menyusun kajian aspek hukum mengenai lembaga
yang berwenang menyelenggarakan NPG. Dari hasil
kajian, diperoleh kesimpulan bahwa secara ketentuan
Bank Indonesia dapat bertindak sebagai penyelenggara
NPG karena kegiatan NPG merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kegiatan kliring dan penyelesaian akhir.
27Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Di samping itu, telah dilakukan kajian kebijakan NPG
yang antara lain meliputi aspek keanggotaan, cakupan
penyelenggaraan, mekanisme kliring dan setelmen.
Selanjutnya guna memperoleh masukan dari industri
terkait dengan pengembangan NPG, Bank Indonesia
melakukan diskusi dengan industri yang diwakili oleh ASPI
serta beberapa bank terkait.
3.6 Upaya Mewujudkan Interoperabilitas melalui Kegiatan Fasilitasi Interkoneksi Industri Uang Elektronik
Salah satu karakteristik penggunaan uang elektronik
adalah digunakan untuk transaksi dengan nilai kecil dan
bersifat massive. Sektor transportasi merupakan sektor
yang sesuai dengan karakteristik tersebut, sehingga
sebagai tahap awal upaya mewujudkan interoperabilitas2
uang elektronik difokuskan pada sektor transportasi.
Hal ini karena potensi pembayaran sektor transportasi
seperti di TransJakarta, Kereta Api, Taxi, Perparkiran
dan Bahan Bakar Minyak (BBM) mencapai Rp23,4
triliun/tahun. Selain itu, kemudahan dan kenyamanan
penggunaan uang elektronik di sektor ini, diharapkan
dapat membiasakan masyarakat untuk menggunakan
uang elektronik di sektor lain. Namun demikian, kondisi
saat ini, penggunaan uang elektronik di Indonesia
khusus untuk sektor transportasi masih terbatas dan
belum optimal. Hal ini disebabkan masyarakat belum
dapat merasakan kenyamanan dalam menggunakan
uang elektronik. Saat ini diperlukan uang elektronik
dari berbagai penerbit untuk melakukan berbagai
transaksi khususnya di sektor transportasi, misalnya
ketika akan bertransaksi membayar tol dan membayar
parkir, diperlukan uang elektronik yang berbeda.
Selain itu, kondisi ini menyebabkan inefisiensi dalam
penyelenggaraan uang elektronik.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Bank Indonesia
memfasilitasi interkoneksi industri uang elektronik untuk
2 Interoperabilitas adalah kemampuan untuk bertukar informasi / bertukar layanan antar perangkat/sistem/ platform yang berbeda (sumber: IEEE Glossary)
mewujudkan interoperabilitas dalam penyelenggaraan
uang elektronik dengan tahap awal di sektor transportasi.
Sebagai tahap awal mewujudkan interoperabilitas
tersebut, pada periode laporan Bank Indonesia telah
memfasilitasi penggunaan uang elektronik di kereta api
khususnya kereta komuter Jabodetabek. Hal tersebut
sejalan dengan program Unit Kerja Presiden bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4)
yang salah satunya yaitu mengatasi kemacetan di Jakarta.
Sesuai hasil koordinasi dengan UKP4, salah satu langkah
kolaboratif dalam jangka pendek (temporary solution) atas
penggunaan uang elektronik di sektor transportasi publik
adalah dengan menggunakan uang elektronik di kereta
listrik (KRL), jalan tol dan TransJakarta. Fasilitasi yang telah
dilakukan oleh Bank Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Fasilitasi Interkoneksi pada PT. KAI Grup
Sebagai tindak lanjut pelaksanaan kesepakatan dengan
Kementerian BUMN dan Bank Himbara, Bank Indonesia
melakukan pembahasan dengan PT. KAI Grup termasuk
anak perusahaannya yaitu PT. Kereta Api Commuter
Jabodetabek (KCJ) dan PT. Railink Indonesia. Pada
prinsipnya PT. KAI Grup sepakat untuk menerapkan
e-ticketing di lingkungan PT. KAI melalui interkoneksi
uang elektronik dari beberapa penerbit agar dapat
meningkatkan layanan kepada penumpang yang terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Terkait pengembangan e-ticketing, PT. KCJ dan bank telah
melakukan uji coba untuk mengintegrasikan jaringan dan
sistem dari penerbit. Selanjutnya, PT. KJC juga melakukan
penataan sarana dan prasarana di lingkungan stasiun dan
melakukan edukasi kepada seluruh penumpang terkait
rencana implementasi e-ticketing. Tahap awal PT. KJC
akan menempatkan 250 reader di 35 stasiun yang telah
memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk
implementasi e-ticketing.
Selain itu, dalam rangka mempersiapkan pembayaran
tiket menggunakan uang elektronik pada kereta api
bandara dari Kuala Namo menuju Medan, PT. Railink
28 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
telah menyiapkan infrastruktur e-payment agar dapat
dimanfaatkan oleh bank-bank penerbit uang elektronik.
2. Fasilitasi Interkoneksi Uang Elektronik pada TransJakarta
Berkaca dari keberhasilan implementasi interkoneksi
uang elektronik di TransJogja dan Prameks, Pemerintah
provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan adopsi
mekanisme interkoneksi uang elektronik (e-ticketing)
pada TransJakarta di Jakarta. Pada akhir 2012
Pemprov DKI Jakarta menetapkan lima bank untuk
mengimplementasikan e-ticketing TransJakarta yaitu Bank
Mandiri, BRI, BNI, BCA dan DKI.
Dalam interkoneksi tersebut, Bank berperan dalam
penyiapan infrastruktur e-ticketing TransJakarta, dan
secara bersama-sama melakukan edukasi e-ticketing
kepada masyarakat. Adapun kegiatan sampai dengan
akhir 2012 adalah melakukan review pengembangan dan
optimalisasi sistem, serta penyiapan sarana dan prasarana
persiapan peresmian implementasi e-ticketing di Koridor
1 TransJakarta (Blok M – Kota) pada pertengahan Januari
2013.
3. Fasilitasi Interkoneksi Uang Elektronik berbasis server
Dalam rangka lebih meningkatkan penggunaan uang
elektronik berbasis server, selama periode laporan,
pada tahap awal telah dilakukan pertemuan antara
Bank Indonesia dengan tiga penerbit uang elektronik
berbasis server yaitu Indosat, Telkomsel dan XL. Dari hasil
pertemuan, ketiga penerbit uang elektronik berbasis
server tersebut sepakat untuk turut mendukung program
Bank Indonesia guna mewujudkan interkoneksi di industri
ini. Sesuai target interkoneksi akan dapat diselesaikan
pada pertengahan tahun 2013.
Selain kegiatan fasilitasi, untuk mewujudkan interkoneksi,
Bank Indonesia juga melakukan koordinasi dengan
Kementerian Negara BUMN, tiga Bank BUMN, dan
beberapa perusahaan BUMN. Untuk mewujudkan
interkoneksi uang elektronik di sektor transportasi
dibutuhkan dukungan dan sinergi penyedia jasa
transportasi BUMN di Indonesia mengingat potensinya
yang sangat besar. Dari hasil koordinasi dengan
Kementerian Negara BUMN diperoleh komitmen untuk
membentuk prinsipal uang elektronik dan menghilangkan
perjanjian kerjasama yang eksklusif di sektor transportasi
sehingga diharapkan dapat meningkatkan penggunaan
uang elektronik.
3.7 Implementasi Standar Nasional Kartu ATM dan ATM/Debet
Untuk meningkatkan keamanan pada penyelenggaraan
kartu ATM dan ATM/Debet, Bank Indonesia menginisiasi
penyusunan standar kartu ATM dan ATM/Debet berbasis
chip mengingat teknologi chip merupakan teknologi paling
aman saat ini. Dalam rangka mendukung implementasi
standar dimaksud, Bank Indonesia menerbitkan Surat
Edaran Bank Indonesia No. 13/22/DASP tanggal 18
Oktober 2011 perihal Implementasi Teknologi Chip
dan Penggunaan Personal Identification Number (PIN)
pada Kartu ATM dan ATM/Debet yang diterbitkan di
Indonesia. Hal tersebut memberikan konsekuensi pada
dimulainya tahapan implementasi pada 2012. Sejumlah
tahapan persiapan implementasi terus dilakukan selama
2012, yaitu pembentukan Certification Body (CB) dan
pelaksanaan proses sertifikasi vendor kartu dan mesin,
yaitu:
1. Pembentukan dan operasionalisasi Certification Body
(CB)
Pada Juli 2012, CB telah terbentuk dengan nama PT.
Citra Bakti Indonesia (CBI) dan dimiliki oleh Forum
Prinsipal. Fungsi dari CB adalah melakukan sertifikasi
terhadap produk kartu dan mesin dari berbagai vendor
untuk memastikan kesesuaian dengan spesifikasi yang
telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan
dilakukan functional dan security test.
2. Pendistribusian Spesifikasi Teknis National Standard
for Indonesia Chip Card Specification (NSICCS)
Proses pendistribusian spesifikasi teknis NSICCS
berlangsung sejak akhir 2011. Hampir seluruh penerbit
telah memperoleh spesifikasi teknis terutama penerbit
yang telah menjadi anggota prinsipal.
29Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
3.8 Penguatan Aspek Hukum dalam Sistem Pembayaran
Penerbitan ketentuan Bank Indonesia di bidang Sistem Pembayaran selama 2012
Sesuai amanat yang diatur dalam Undang-Undang
Bank Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Tugas pengaturan ini dilaksanakan dengan menerbitkan
berbagai ketentuan Bank Indonesia, baik dalam bentuk
Peraturan Bank Indonesia maupun Surat Edaran
Bank Indonesia. Selama tahun 2012, Bank Indonesia
menerbitkan tiga Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan
tujuh Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI).
Penyempurnaan Ketentuan Bank Indonesia mengenai Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK)
Sepanjang tahun 2012 Bank Indonesia menerbitkan
empat ketentuan terkait penyelenggaraan kegiatan APMK,
yaitu:
1) PBI Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas
PBI Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan APMK;
2) SE BI Nomor 14/17/DASP tanggal 7 Juni 2012 perihal
Perubahan atas SE BI Nomor 11/10/DASP perihal
Penyelenggaraan Kegiatan APMK;
3) SE BI Nomor 14/27/DASP tanggal 25 September 2012
perihal Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu
Kredit; dan
4) SE BI Nomor 14/34/DASP tanggal 27 November 2012
perihal Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit.
Penerbitan empat ketentuan ini dimaksudkan untuk
memperkuat dan menyempurnakan pengaturan APMK
yang telah diterbitkan selama ini. Materi pengaturan
yang disempurnakan kali ini sebagian besar terkait
dengan penyelenggaraan kegiatan kartu kredit. Meskipun
demikian, dua jenis APMK lainnya, yaitu kartu ATM dan
kartu ATM/Debet, juga terdapat beberapa penyesuaian
ketentuan.
Sejalan dengan pengaturan APMK selama ini, aspek
pengaturan APMK tetap terdiri dari tiga besaran, yaitu
aspek pengaturan sistem pembayaran (payment system
aspect), aspek kehati-hatian (prudential aspect), dan
aspek perlindungan konsumen (consumer protection
aspect).
��
��
��������� ������� ������� �������� ��������
���������� ���������������� ���������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
�� �������������� ���������������� ������������� �������������
�� ���������� ���������������� ��������������������������������������
�� ���������� ����������������� ����������������������������������������������
�� ���������� ��������������� ��������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
����������
�� ���������� ������������ ����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
����������
�� ���������� ����������� ������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
����������
�� ���������� ������������� �������������������������������������������������������������������� ����������
�� ������������� ������������� ����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
��� ������������� ��������������� ��������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
���������������
30 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Selama 2012 penyempurnaan ketentuan APMK lebih
dititikberatkan pada peningkatan aspek perlindungan
konsumen.
Penyampaian Informasi
Terkait dengan pengaturan di bidang informasi, Bank
Indonesia memperluas cakupan pengaturan mengenai
penyampaian informasi yang wajib dilakukan oleh
penyelenggara kepada pemegang kartu. Pengaturan
sebelumnya yang telah memuat kewajiban penyampaian
informasi mengenai prosedur penggunaan kartu, hak dan
kewajiban pemegang kartu, mekanisme penyampaian
keluhan, risiko penggunaan kartu, biaya yang dikenakan,
dan lain sebagainya diperluas lagi dengan adanya
kewajiban untuk menyampaikan informasi mengenai
mekanisme penutupan kartu, rekapitulasi transaksi
tahunan, informasi kurs untuk transaksi di luar negeri
dan kualitas kredit bagi pemegang kartu kredit. Tata
cara penyampaian informasi ini pun dirinci, termasuk
dimuatnya pengaturan mengenai tata cara dan waktu
penyampaian rincian tagihan untuk pemegang kartu
kredit. Dengan bertambahnya cakupan informasi yang
harus disampaikan ini diharapkan pemegang kartu menjadi
lebih waspada dan bijak dalam menggunakan kartunya.
Penyeragaman Pola Penghitungan Tagihan Kartu Kredit
Salah satu keluhan yang sering ditemui di masyarakat
terkait penyelenggaraan kegiatan kartu kredit adalah
tidak seragamnya pola penghitungan tagihan kartu
kredit. Hal ini dimungkinkan terjadi karena selama ini
pola penghitungan tagihan ini diserahkan sepenuhnya
kepada masing-masing penerbit. Oleh karena itu,
dalam penyempurnaan ketentuan APMK tersebut telah
dilakukan penyeragaman pola penghitungan tagihan
dalam menentukan komponen, penghitungan jangka
waktu ataupun besaran komponen tagihan tersebut di
antara para penerbit.
Langkah pertama penyeragaman yang dilakukan adalah
dengan menentukan bahwa penghitungan bunga dimulai
sejak tanggal posting transaksi, bukan pada tanggal
transaksi dilakukan. Apakah yang dimaksud dengan
tanggal posting? Tanggal posting adalah tanggal pada
waktu penerbit kartu kredit benar-benar melakukan
pembayaran atau penalangan dana kepada acquirer atas
transaksi yang telah dilakukan oleh pemegang kartu.
Langkah selanjutnya adalah dengan membatasi
pengenaan bunga hanya terhadap sisa (outstanding)
tagihan kartu kredit yang belum dibayar, yang bersumber
dari transaksi pembelanjaan atau tarik tunai saja.
Dengan penegasan bahwa biaya, denda dan bunga
terutang dilarang untuk dikenakan bunga lagi, maka pola
penghitungan tagihan “bunga berbunga” tidak dapat
dilakukan lagi.
Etika Penagihan Kartu Kredit
Ketentuan lama APMK telah mengatur mengenai pola
penagihan, termasuk tata cara dalam hal penagihan
akan dilakukan dengan memanfaatkan jasa pihak ketiga.
Namun demikian masukan yang disampaikan kepada
Bank Indonesia menunjukkan bahwa praktek pelaksanaan
penagihan ini masih perlu disempurnakan lagi, dan
ditingkatkan kualitas pelaksanaannya untuk melindungi
dan memberikan kenyamanan bagi pemegang, serta
memberikan hasil yang lebih efektif bagi penerbit.
Secara umum ketentuan APMK baru menambahkan
dan menegaskan beberapa unsur baru yang harus
diperhatikan dalam pelaksanaan penagihan. Misalnya,
terdapat penegasan bahwa pihak yang melakukan
penagihan harus sudah memperoleh pelatihan yang
memadai, dan memahami etika penagihan yang berlaku.
Terkait pelaksanaan penagihan sendiri, ketentuan APMK
mengatur antara lain bahwa penagihan hanya dapat
dilakukan di alamat penagihan dan dilakukan pada pukul
08.00 sampai dengan 20.00 waktu setempat. Penagihan
tidak boleh dilakukan dengan cara-cara kekerasan,
menggunakan tekanan, serta dilakukan kepada pihak
lain yang bukan merupakan pemegang kartu yang
bersangkutan.
31Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Khusus untuk penagihan yang dilakukan dengan bantuan
pihak ketiga, terdapat beberapa tambahan pengaturan
lainnya. Pertama, penagihan oleh pihak ketiga ini hanya
dapat dilakukan bila kolektibilitas kredit sudah masuk
kategori “macet”. Kedua, kerjasama ini wajib dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai alih
daya dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terakhir, penerbit kartu kredit wajib menjamin bahwa
kualitas penagihan yang dilakukan oleh pihak ketiga
adalah sama dengan jika penagihan dilakukan oleh
penerbit sendiri.
Transaction Alert
Untuk meningkatkan keamanan bagi pemegang kartu
kredit, maka dalam ketentuan APMK baru terdapat
kewajiban bagi penerbit untuk menyampaikan transaction
alert setelah terdapat transaksi yang memenuhi kondisi
tertentu. Transaction alert ini disampaikan melalui
short message service (sms) atau sarana lainnya yang
dipilih oleh pemegang kartu. Selama prinsip transaction
alert berisikan notifikasi bahwa telah terjadi transaksi
dengan menggunakan kartu kredit pemegang, dan
menginformasikan kepada pemegang nomor telepon yang
dapat dihubungi bila pemegang tidak merasa melakukan
transaksi tersebut. Terkait penyampaian transaction
alert, terdapat beberapa kondisi, diantaranya adalah
saat terdapat transaksi di merchant yang masuk kategori
berisiko tinggi, terdapat transaksi yang tidak sesuai
dengan profil pemegang, terdapat transaksi berkali-kali
dengan nilai sama, atau saat kartu kredit digunakan untuk
pertama kalinya.
Persyaratan Kepemilikan Kartu Kredit
Dari sisi kepemilikan kartu kredit, Bank Indonesia
mengatur kembali mengenai persyaratan yang harus
dipenuhi oleh individu untuk dapat menjadi pemegang
kartu kredit. Persyaratan ini dimulai dengan persyaratan
bersifat dasar berupa syarat minimum usia 21 tahun bagi
pemegang kartu utama, dan 17 tahun bagi pemegang
kartu tambahan. Syarat usia ini diharapkan dapat
menyaring agar pemegang kartu kredit adalah individu-
yang telah dewasa, dan matang dalam memahami
risiko penggunaan kartu kredit. Syarat dasar berikutnya
adalah minimum pendapatan sebesar tiga juta rupiah
per bulan. Syarat ini dimaksudkan untuk memastikan
bahwa pemegang kartu kredit merupakan individu yang
memiliki kemampuan untuk membayar dan mengelola
fasilitas kredit yang diberikan melalui kartu kredit. Dalam
hal ini pendapatan harus dibuktikan dengan dokumen
resmi berupa slip gaji bagi calon pemegang kartu kredit
yang bekerja pada perusahaan atau lembaga, atau bukti
setoran pajak bagi yang memiliki usaha sendiri. Kedua
syarat ini disebut syarat dasar perolehan kartu kredit
sehingga calon pemegang yang tidak memenuhi kedua
syarat diatas pada prinsipnya tidak diperbolehkan untuk
memegang kartu kredit.
Setelah pengaturan persyaratan dasar di atas, untuk
memperkuat aspek kehati-hatian dalam pemberian kredit,
maka terdapat pengaturan persyaratan mengenai plafon
kredit dan jumlah penerbit yang dapat memberikan kartu
kredit. Persyaratan ini hanya berlaku bagi pemegang
kartu kredit yang memiliki pendapatan antara tiga
juta rupiah sampai dengan sepuluh juta rupiah. Bagi
pihak yang masuk dalam kategori tersebut, maka batas
maksimal plafon kredit yang dapat diberikan oleh seluruh
penerbit kartu kredit adalah sebesar tiga kali pendapatan
bulanannya. Batas maksimal plafon ini berlaku secara
industri; artinya total plafon seluruh kartu kredit yang
dimiliki oleh pemegang kartu akan dijumlahkan, dan
jumlah tersebut tidak boleh melebihi batas maksimal yang
ditetapkan. Pembatasan selanjutnya adalah mengenai
jumlah penerbit, yaitu untuk pemegang kartu yang masuk
kategori diatas akan dibatasi hanya dapat menerima kartu
kredit dari dua penerbit yang berbeda. Perlu dipertegas
bahwa yang dibatasi disini bukanlah jumlah kartu kredit
melainkan jumlah penerbitnya.
Untuk melaksanakan dua pembatasan di atas, seluruh
penerbit kartu kredit di Indonesia diwajibkan untuk
saling bertukar informasi mengenai jumlah plafon kredit
dan informasi individu yang telah diberikan kartu kredit
oleh penerbit dimaksud. Pembatasan ini berlaku sejak
1 Januari 2013, sehingga sejak tanggal tersebut individu
32 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
dengan penghasilan tiga sampai dengan sepuluh juta
rupiah hanya dapat menerima kartu kredit dari penerbit
dengan total plafon tidak melebihi tiga kali pendapatan
per bulannya.
Untuk pemegang kartu yang telah memperoleh kartu
kredit sebelum 1 Januari 2013, penerbit diberikan waktu
sampai dengan 1 Januari 2015 untuk menyesuaikan
kepemilikan kartu kredit dengan persyaratan yang
ditetapkan dalam ketentuan APMK ini. Secara garis
besar, mekanisme penyesuaian dilakukan pertama
di level industri, yakni penerbit diwajibkan untuk
saling bekerjasama dalam melakukan penyesuaian
kepemilikan kartu kredit yang pemegang kartunya
memiliki pendapatan antara tiga sampai dengan sepuluh
juta rupiah tersebut. Apabila upaya untuk melakukan
penyesuaian kepemilikan kartu kredit yang dilakukan oleh
para penerbit tidak berhasil, maka upaya penyelesaiannya
dapat diajukan kepada Bank Indonesia. Mekanisme
pelaksanaan penyesuaian kepemilikan kartu kredit ini
diatur secara rinci dalam SE BI Nomor 14/27/DASP tanggal
25 September 2012 perihal Mekanisme Penyesuaian
Kepemilikan Kartu Kredit.
Penetapan Suku Bunga Maksimum Kartu Kredit
Salah satu pengaturan baru lainnya yang diatur dalam
ketentuan baru APMK adalah mengenai kewenangan
Bank Indonesia untuk menetapkan batas maksimum
suku bunga kartu kredit. Selama ini batas maksimum
suku bunga kartu kredit ditetapkan oleh penerbit kartu
kredit dengan mempertimbangkan risiko dan biaya
yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kegiatan
kartu kreditnya. Besarannya bisa berbeda antar bank,
dan bahkan bisa berbeda antar jenis kartu kredit yang
diterbitkan oleh penerbit yang sama.
Melalui SE BI Nomor 14/34/DASP tanggal 27 Nopember
2012 perihal Batas Maksimum Suku Bunga Kartu
Kredit, Bank Indonesia telah menetapkan bahwa batas
maksimum suku bunga kartu kredit yang dapat ditetapkan
oleh penerbit adalah sebesar 2,95% (dua koma sembilan
puluh lima persen) per bulan atau 35,40% (tiga puluh lima
koma empat puluh persen) per tahun. Nilai ini ditetapkan
dengan mempertimbangkan indikator perekonomian
yang ada, struktur biaya dalam kegiatan kartu kredit serta
praktek suku bunga yang dikenakan oleh penerbit selama
ini.
Penerbitan Ketentuan Bank Indonesia mengenai Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank
Sebagai tindak lanjut dari telah diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 8
tahun 2010), Bank Indonesia menerbitkan dua ketentuan
terkait pelaksanaan Program Anti Pencucian Uang
dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) bagi
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) Selain Bank,
yaitu:
1) PBI Nomor 14/3/PBI/2012; dan
2) SE BI Nomor 14/38/DASP tanggal 28 Desember 2012.
Penerbitan kedua ketentuan tersebut didasarkan pada
amanat dalam UU No. 8 tahun 2010 kepada Bank
Indonesia, selaku Lembaga Pengawas dan Pengatur, untuk
menerbitkan ketentuan prinsip mengenali pengguna
jasa bagi penyelenggara kegiatan APMK, Uang Elektronik
dan kegiatan usaha pengiriman uang. Cakupan prinsip
mengenali pengguna jasa sebagaimana diatur dalam Pasal
18 ayat (5) UU No. 8 tahun 2010 bahwa prinsip mengenali
pengguna jasa sekurangnya memuat identifikasi, verifikasi
dan pemantauan transaksi pengguna jasa.
Cakupan pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa
kemudian dikembangkan dalam bentuk program APU
PPT bagi PJSP Selain Bank yang komprehensif. Struktur
program APU PPT ini terdiri atas beberapa besaran
materi pengaturan, yang antara lain terdiri atas materi
terkait tanggung jawab direksi dan komisaris, kebijakan
dan prosedur, pengendalian internal, dan sumber daya
manusia. Dilihat dari ruang lingkupnya sendiri, program
APU PPT ini wajib diterapkan oleh PJSP Selain Bank yang
merupakan penerbit dan acquirer APMK, uang elektronik
dan penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang atau
penyelenggara transfer dana.
33Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Dilihat dari porsinya, penekanan program APU PPT
terdapat pada materi kebijakan dan prosedur, yang lebih
lanjut dipecah menjadi mekanisme pelaksanaan Customer
Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence
(EDD), penatausahaan dokumen, penetapan profil dan
pengkinian informasi pengguna jasa, penolakan dan
penghentian hubungan usaha, kebijakan dan prosedur
transfer dana, dan pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
CDD adalah kegiatan identifikasi, verifikasi, dan
pemantauan yang dilakukan penyelenggara untuk
memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan
profil pengguna jasa, sedangkan EDD adalah tindakan
CDD lebih mendalam yang dilakukan penyelenggara pada
saat berhubungan dengan pengguna jasa yang tergolong
berisiko tinggi termasuk politically exposed person
terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan
terorisme. Dalam rangka pelaksanaan CDD dan EDD, PJSP
Selain Bank harus meminta dokumen-dokumen terkait
identitas pengguna jasa dan transaksi yang dilakukannya,
dan memastikan apakah transaksi yang dilakukan
sesuai dengan profil pengguna jasa yang disusun oleh
Penyelenggara. Dalam hal terdapat transaksi yang tidak
sesuai dengan profil pengguna jasa, maka penyelenggara
memiliki kewajiban untuk melaporkan transaksi tersebut
kepada PPATK.
Untuk memberikan kesempatan kepada PJSP Selain
Bank untuk mempelajari, memahami dan kemudian
menerapkan program APU PPT ini Bank Indonesia
memberikan masa transisi sehingga ketentuan-ketentuan
APU PPT bagi PJSP Selain Bank ini baru akan berlaku pada
8 Juni 2013. Setelah tanggal tersebut, Bank Indonesia
akan mulai melakukan pengawasan kepada PJSP Selain
Bank untuk memastikan kesiapan dan kepatuhan PJSP
Selain Bank dalam menerapkan program APU PPT ini.
Penerbitan Ketentuan Bank Indonesia mengenai Transfer Dana
Pada 23 Maret 2011 diundangkan Undang-Undang Nomor
3 tahun 2011 tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana).
Materi yang diatur dalam UU Transfer Dana telah relatif
lengkap. Namun demikian masih terdapat beberapa aspek
pengaturan yang dipandang perlu untuk diatur lebih
lanjut dalam PBI. Untuk melaksanakan amanat dalam UU
Transfer Dana tersebut, pada 26 Desember 2012 Bank
Indonesia telah menerbitkan PBI Nomor 14/23/PBI/2012
tentang Transfer Dana (PBI Transfer Dana).
Dengan mempertimbangkan bahwa pengaturan dalam
UU Transfer Dana sendiri telah relatif lengkap, maka
ketentuan yang dimuat dalam PBI Transfer Dana lebih
bersifat melengkapi materi pengaturan yang ada dalam
UU Transfer Dana. Adapun materi dalam PBI Transfer
Dana meliputi materi terkait perizinan penyelenggara
transfer dana, pelaksanaan transfer dana, pelaksanaan
transfer dana yang ditujukan untuk diterima secara
tunai, jasa bunga dan kompensasi, biaya transfer dana,
pemantauan dan sanksi administratif.
Dalam materi terkait perizinan, Bank Indonesia
menegaskan kembali bahwa pihak selain bank yang
dapat menjadi penyelenggara transfer dana harus
merupakan badan usaha berbadan hukum Indonesia.
Untuk dapat menjadi penyelenggara badan usaha
berbadan hukum Indonesia tersebut harus mengajukan
permohonan ke Bank Indonesia dengan memenuhi
persyaratan kelengkapan dokumen yang ditetapkan.
Bank Indonesia juga mengatur mengenai Tempat
Penguangan Tunai (TPT). TPT ini merupakan pihak yang
bekerjasama dengan penyelenggara transfer dana untuk
melakukan penguangan dana hasil transfer yang telah
dialokasikan dalam rekening untuk kepentingan penerima
(beneficiary). Dalam hal ini TPT bukan merupakan
penyelenggara sehingga TPT tidak perlu memperoleh izin
dari Bank Indonesia. Namun dalam pelaksanaan kerja
sama ini tentunya penyelenggara wajib melaporkannya
kepada Bank Indonesia, dengan memenuhi beberapa
persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Terkait kerjasama dengan pihak di luar negeri, Bank
Indonesia mengatur bahwa pelaksanaan kerjasama
tersebut hanya dapat dilakukan dengan penyelenggara
di luar negeri yang telah memperoleh izin dari otoritas
setempat untuk melakukan kegiatan transfer dana. Kerja
sama ini juga harus didasarkan pada suatu perjanjian
34 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
tertulis, yang antara lain harus memuat penerapan asas
resiprositas, hak dan kewajiban para pihak, mekanisme
penetapan kurs, biaya dan penyelesaian akhir, serta
mekanisme penyelesaian masalah.
Pengaturan mengenai pelaksanaan transfer dana yang
dimuat dalam PBI Transfer Dana lebih banyak terkait
dengan tata cara dan mekanisme pelaksanaan transfer
dana dalam kondisi atau sistuasi tertentu, misalnya dalam
hal terjadi keadaan darurat, terjadi kekeliruan, serta
pengembalian dana.
Pengaturan mengenai transfer dana yang ditujukan
untuk diterima secara tunai menitikberatkan pada
situasi dimana pihak pengirim asal (originator) dan
penerima (beneficiary) dalam suatu transfer dana
melakukannya dengan menggunakan uang tunai.
Dalam hal ini PBI Transfer Dana mengatur mengenai
mekanisme yang harus dilakukan oleh penyelenggara
penerima akhir dalam menyampaikan pemberitahuan
kepada penerima mengenai dana yang menjadi haknya,
dan mekanisme yang harus dilakukan apabila dana
tersebut tidak diambil oleh penerima maupun pengirim
asal dalam hal dana dikembalikan. Dalam hal pengirim
asal juga tidak mengambil kembali dana tunainya yang
semulaakan ditransfer, maka penyelenggara pengirim
asal dapat menyerahkan dana tersebut kepada Balai
Harta Peninggalan untuk mengurus dana tersebut sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menjalankan kewenangan untuk melakukan
pemantauan atas penyelenggaraan kegiatan transfer
dana, dalam PBI ini dijelaskan metode pelaksanaan
pemantauan oleh Bank Indonesia, yaitu dengan cara
pengamatan (monitoring), penilaian (assessment) dan
upaya mendorong perubahan (inducing change). Upaya
pemantauan ini ditujukan untuk memastikan bahwa
pelaksanaan kegiatan transfer dana dilakukan dengan
baik, masing-masing pihak melaksanakan hak dan
kewajibannya serta bertanggung jawab sesuai porsinya,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal terjadi
pelanggaran atas ketentuan yang berlaku, dalam hal
segala upaya untuk memperbaiki penyelenggaraan
transfer dana tersebut tidak berhasil, maka sebagai
upaya terakhir atau ultimum remedium Bank Indonesia
berwenang untuk mengenakan sanksi administratif
kepada penyelenggara, berupa teguran tertulis, denda,
penghentian kegiatan atau pencabutan izin.
Mengingat masih terdapat beberapa hal yang masih
belum cukup diatur dalam PBI Transfer Dana, maka Bank
Indonesia akan menerbitkan pula aturan pelaksanaan PBI
dimaksud dalam bentuk SE BI. Diharapkan SE BI ini dapat
diterbitkan pada triwulan II di tahun 2013.
3.9 Implementasi Roadmap Pengembangan Sistem Pembayaran dan Setelmen ASEAN
Dalam rangka pengembangan sistem pembayaran
dan setelmen di ASEAN, ASEAN Working Committee
on Payment and Settlement Systems (WC PSS) telah
menyusun rekomendasi yang terbagi dalam milestone dan
tahapan sebagai berikut:
- Rekomendasi jangka pendek (2012-2013), memuat
mengenai standardisasi.
- Rekomendasi jangka menengah (2014-2015), memuat
mengenai pengembangan infrastruktur dan prasarana
sistem pembayaran dan setelmen.
- Rekomendasi jangka panjang (setelah 2015), memuat
mengenai pengkajian kemungkinan pengembangan
linkages antara berbagai sistem pembayaran di
kawasan ASEAN.
Sesuai milestone rekomendasi di atas, fokus tahun
2012 adalah pada penerapan standar dalam sistem
pembayaran dan setelmen, baik sistem pembayaran nilai
ritel maupun nilai besar.
Dalam jangka pendek, salah satu bentuk proses menuju
standardisasi di sisi sistem pembayaran nilai besar adalah
pada penggunaan message format berbasis SWIFT
pada sistem BI-RTGS dan BI-SSSS generasi II mengingat
message format berbasis SWIFT merupakan best practice
yang digunakan oleh institusi keuangan di berbagai
negara. Dengan penggunaan message format berstandar
35Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
internasional tersebut diharapkan akan mempermudah
interkoneksi infrastruktur baik di perbankan nasional
maupun dengan sistem pembayaran dan setelmen di
negara lain.
Penggunaan message format berbasis SWIFT dalam
BI-RTGS dan BI-SSSS generasi II di atas sejalan dengan
rekomendasi WC-PSS yang lain, yaitu yang terkait dengan
adanya penyelenggaraan straight through processing
(STP) untuk setelmen surat berharga, baik di tingkat
domestik maupun lintas batas negara.
Dari sisi sistem pembayaran ritel, upaya yang telah
dilakukan dalam rangka menuju standardisasi adalah
dengan penerapan standar untuk kartu ATM dan ATM/
Debet, yang meliputi standar penggunaan Chip dan
standar digit PIN. Tujuan standardisasi tersebut, di
samping untuk perlindungan nasabah dari risiko fraud
adalah juga untuk memudahkan dalam mewujudkan
interoperability yang lebih luas di masa yang akan datang,
baik di level domestik maupun internasional serta efisiensi
dan memudahkan dalam pengembangan fungsi-fungsi
lainnya di masa yang akan datang.
Selain rekomendasi terkait standardisasi di atas,
rekomendasi jangka pendek lainnya adalah terkait dengan
kebijakan untuk mendorong penggunaan jasa remitansi
formal serta peningkatan transparansi biaya remitansi
untuk meningkatkan perlindungan kepada konsumen.
Upaya yang telah dilakukan terkait rekomendasi untuk
mendorong penggunaan jasa remitansi formal, antara lain
dengan mendorong penyedia jasa remitansi non formal
untuk menjadi berizin (formal), mendorong penyedia
jasa keuangan non bank formal untuk dapat menjangkau
daerah pedesaan dan masyarakat yang belum
menggunakan jasa perbankan, serta melalui edukasi dan
sosialisasi kepada pengguna jasa remitansi (TKI) untuk
menggunakan jasa remitansi formal.
Sementara upaya yang telah dilakukan untuk
meningkatkan transparansi biaya remitansi adalah dengan
ketentuan yang mewajibkan pihak penyelenggara jasa
remitansi untuk transparan dalam hal biaya.
3.10 Peningkatan Efisiensi Dalam Layanan Kepada Kemenkeu
Dalam rangka upaya peningkatan kualitas dan efisiensi
pelayanan kepada Pemerintah, khususnya Kementerian
Keuangan (Kemenkeu), telah dilakukan pengembangan
Sistem Bank Indonesia Government electronic Banking
(Sistem BIG-eB), dan penerapan standar layanan sesuai
dengan Standar Manajemen Mutu (SMM), yaitu ISO
9001:2008. Selama 2012, Pengembangan Sistem BIG-eB
dan penerapan SMM dalam layanan kepada Pemerintah
sebagai berikut:
1. Penyempurnaan Sistem BIG-eB dalam rangka efisiensi
layanan kepada Kemenkeu
Penyempurnaan Sistem BIG-eB dilakukan dalam
rangka memfasilitasi kebutuhan Pemerintah
(Kemenkeu) dan persiapan interkoneksi Sistem BIG-
eB dengan Sistem Perbendaharaan Aparatur Negara
(SPAN) sejalan dengan perkembangan kebutuhan
Kemenkeu.
Untuk mengakomodir kebutuhan Kemenkeu telah
dilakukan pengembangan fitur-fitur yaitu:
a. Perubahan tampilan fitur yaitu penambahan
fungsi Monitoring transaksi Interface pada menu
inquiry.
b. Penambahan Laporan Kurs Neraca dan Kurs
Transaksi pada menu Laporan.
Sedangkan untuk persiapan interkoneksi sistem BIG-
eB telah dilakukan pengembangan fungsi upload dan
tahapan pengembangan yang meliputi:
1) User Acceptance Test (UAT) bersama Kemenkeu
terkait perubahan fitur pada September 2012.
2) Unit Test bersama Kemenkeu untuk
implementasi Interkoneksi SPAN pada Oktober –
Desember 2012.
2. Standar Manajemen Mutu (ISO 9001: 2008)
Sertifikasi Standar Manajemen Mutu ISO 9001:2008
yang dimulai sejak Mei 2010 merupakan salah
satu wujud upaya peningkatan kualitas layanan
kepada stakeholders. Adapun ruang lingkup layanan
36 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
yang telah memperoleh sertifikasi ISO 9001:2008
meliputi layanan penatausahaan rekening dan
penyelesaian transaksi untuk Pemerintah serta layanan
penatausahaan rekening giro untuk rekening bank
dalam valuta asing.
Pencapaian sasaran mutu yang telah ditetapkan adalah
cerminan dari peningkatan kualitas layanan yang diberikan
dan tentunya diharapkan akan dapat memberikan nilai
tambah bagi Pemerintah sebagai salah satu stakeholders
utama. Secara periodik, dilakukan evaluasi, review dan/
atau penyesuaian terhadap sasaran mutu yang telah
ditetapkan sesuai dengan perubahan bisnis yang ada, baik
di Kemenkeu maupun Bank Indonesia.
Selama 2012, telah dilakukan dua kali surveillance
audit oleh auditor eksternal untuk menilai keefektifan
implementasi ISO 9001:2008, yaitu pada April dan
November 2012. Berdasarkan hasil kedua surveillance
audit tersebut, pihak auditor menyatakan bahwa layanan
yang diberikan masih sesuai dengan ruang lingkup
SMM sehingga sertifikasi ISO9001:2008 masih dapat
dipertahankan.
37Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Nasabah BPR di Jawa Timur saat ini dapat melakukan transfer dana antar BPR maupun antara BPR dengan bank
umum secara mudah dan cepat. Hal tersebut dimungkinkan sejak dikembangkannya sistem transfer dana bagi BPR
yang dikenal dengan nama STKE BPR yang merupakan kerjasama antara Bank Indonesia dengan Bank Jatim. Sistem
yang diresmikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution pada 29 November 2012 di Surabaya tersebut
merupakan terobosan baru dalam penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia. Sistem ini menghubungkan
antara BPR dengan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) melalui bank pengayom (apex bank). Oleh karena
itu, melalui sistem ini BPR akan memiliki akses transfer dana secara nasional kepada seluruh bank peserta kliring.
Pengembangan STKE BPR dilandasi oleh kebutuhan transfer dana bagi nasabah BPR yang kian meningkat. Tidak hanya
transfer dana antar nasabah BPR melainkan juga transfer dana antara nasabah BPR dengan bank umum. Sebelum
sistem ini ada, transfer dana antar BPR dilakukan melalui bank umum sehingga BPR harus memiliki rekening di
beberapa bank umum. Hal itu dilakukan karena BPR tidak memiliki akses secara langsung terhadap layanan sistem
transfer dana. Akibatnya, layanan transfer dana bagi nasabah BPR menjadi terbatas. Dengan adanya STKE BPR maka
BPR cukup memiliki satu rekening di bank pengayom BPR. Melalui bank pengayom tersebut transfer dana BPR akan
diteruskan kepada BPR lain sesama anggota bank pengayom. Selain itu, bank pengayom juga akan meneruskan
transfer dana antara BPR dengan bank umum melalui SKNBI. Dengan mekanisme ini, nasabah BPR bisa melakukan
transfer dana ke seluruh bank peserta kliring seperti halnya nasabah bank umum.
STKE BPR rencananya akan dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia secara bertahap. Untuk tahap awal, pilot
project STKE BPR dikembangkan Bank Indonesia bersama dengan Bank Jatim yang bertindak sebagai bank pengayom
untuk BPR di wilayah Jawa Timur. Pemilihan Jawa Timur sebagai wilayah pilot project didasari oleh eksistensi Bank
Jatim sebagai bank pengayom yang dinilai berhasil.Dari 330 BPR yang ada, sebanyak 274 BPR atau 83%-nya telah
menjadi anggota bank pengayom BPR. Hingga saat ini tercatat 109 BPR anggota bank pengayom telah bergabung
dalam layanan STKE BPR.
Manfaat utama STKE BPR adalah terbukanya akses layanan sistem pembayaran bagi BPR. Dengan adanya STKE ini,
praktis tidak ada lagi hambatan bagi BPR dalam melakukan transfer dana, baik kepada sesama BPR maupun kepada
bank umum. Kegiatan transfer dana pun menjadi semakin mudah dan efisien bagi nasabah BPR. Hal ini tentu akan
meningkatkan kualitas layanan transfer dana BPR kepada nasabahnya yang kini bisa dikatakan sudah “sejajar” dengan
bank umum. Selain itu, STKE BPR juga akan meningkatkan fee based income BPR dari layanan transfer dana. Pada
akhirnya, seluruh manfaat tersebut akan meningkatkan loyalitas nasabah dan memperkuat daya saing BPR sebagai
ujung tombak layanan perbankan, khususnya kepada masyarakat kecil serta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM).
Manfaat lain yang dapat diperoleh dari pengembangan STKE BPR adalah memperluas akses layanan keuangan kepada
masyarakat (financial inclusion), terutama terkait dengan transfer dana. Hal itu karena STKE BPR akan memudahkan
akses masyarakat yang belum menjadi nasabah bank (unbanked people) untuk melakukan transfer dana. Selain
melalui bank umum, kini masyarakat juga dapat melakukan transfer dana melalui BPR terdekat. Dengan demikian,
layanan transfer dana yang mudah dan efisien akan dapat dinikmati secara lebih merata, baik bagi masyarakat
perkotaan maupun masyarakat di pelosok pedesaan yang belum terjangkau oleh layanan bank umum.
Implementasi STKE BPR Wilayah Jawa TimurBoks 3.1
38 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 3 Kebijakan Sistem Pembayaran
Halaman ini sengaja dikosongkan
39Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
Bank Indonesia sebagai otoritas system pembayaran berwenang untuk melakukan pengawasan, selain melakukan pengaturan dan perizinan dalam penyelenggaraan system pembayaran.
Obyek pengawasan sistem pembayaran meliputi sistem yang dikategorikan sebagai Systemically Important Payment System (SIPS) dan non-SIPS. Sistem yang dikategorikan sebagai SIPS adalah Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS. Adapun sistem pembayaran yang non-SIPS meliputi SKNBI, APMK, uang elektronik, dan KUPU atau transfer dana. Ruang lingkup sistem pembayaran menitik beratkan pada aspek keamanan, keandalan, efisiensi, dan perlindungan konsumen.
40 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
Sebagaimana diamanatkan UU Bank Indonesia dan UU
Transfer Dana, Bank Indonesia sebagai otoritas sistem
pembayaran berwenang untuk melakukan pengawasan,
pemantauan, atau pemeriksaan terhadap penyelenggara
jasa sistem pembayaran, selain kewenangan di bidang
pengaturan dan perizinan serta penyelenggaraan sistem
pembayaran.
Obyek pengawasan sistem pembayaran meliputi sistem
yang dikategorikan sebagai Systemically Important
Payment Systems (SIPS) maupun yang non-SIPS. Sistem
pembayaran yang dikategorikan sebagai SIPS merupakan
sistem pembayaran yang apabila terjadi gangguan pada
sistem tersebut dapat menimbulkan gangguan secara
sistemik yang berdampak kepada sistem keuangan secara
luas yaitu Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS. Adapun sistem
pembayaran yang non-SIPS meliputi SKNBI, APMK, Uang
Elektronik dan KUPU. Ruang lingkup pengawasan Sistem
Pembayaran menitikberatkan pada aspek keamanan, dan
efisiensi di dalam penyelenggaraannya serta memastikan
dipatuhinya ketentuan Bank Indonesia seperti ketentuan
perlindungan konsumen, manajemen risiko serta
Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme (APU dan PPT). Seluruh penyelenggara sistem
pembayaran yang berizin dari Bank Indonesia, menjadi
obyek pengawasan Bank Indonesia.
4.1 Pengawasan Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia
Berdasarkan hasil pengawasan selama periode laporan,
dari sisi operasional, terjaganya ketersediaan Sistem BI-
RTGS, BI-SSSS, dan PVP selama tahun 2012 tidak terlepas
dari keandalan sistem BI-RTGS dan BI-SSSS serta Business
Continuity Plan (BCP) untuk menyediakan infrastruktur
back up system yang dapat menggantikan setiap saat
bila terjadi gangguan pada sistem utama. Terkait dengan
kesinambungan dan kesiapan back up system tersebut,
dari hasil pengawasan selama periode laporan telah
dilakukan uji coba secara berkala terhadap back up
system, serta pengkinian sistem jaringan komunikasi data
yang semula System Network Architecture (SNA) menjadi
Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP-
IP). Beralihnya sistem jaringan komunikasi data tersebut
sejalan dengan tren pertumbuhan jumlah transaksi yang
sangat tinggi, sehingga diperlukan teknologi yang mampu
menampung kapasitas yang lebih besar, mengingat
teknologi SNA hanya mempunyai kapasitas 64kb dan saat
ini sudah tidak supported dan obsolete.
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan PvP
Selama periode laporan, keandalan Sistem BI-RTGS
terjaga dengan baik terlihat dari ketersediaan atau tingkat
Pengawasan Sistem Pembayaran
Bab 4
41Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
availability Sistem BI-RTGS yang memenuhi service level
yang telah ditetapkan.
Hal serupa juga dialami oleh sistem PvP yang merupakan
sarana untuk bertransaksi USD/IDR melalui PvP
Link. Selama periode laporan, sistem PvP berjalan
dengan aman dan lancar yang ditandai dengan tingkat
ketersediaan sistem yang memenuhi service level yang
telah ditetapkan.
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Sistem BI-SSSS
Selama periode laporan, sebagaimana sistem BI-RTGS,
sistem BI-SSSS secara operasional berjalan dengan baik.
Selama periode laporan, keandalan Sistem BI-SSSS terjaga
dengan baik terlihat dari ketersediaan atau tingkat
availability Sistem BI-SSSS yang memenuhi service level
yang telah ditetapkan.
Selama 2012, pengelolaan likuiditas oleh peserta pada
sistem BI-RTGS juga berjalan dengan baik dan lancar
ditandai dengan:
a. Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) hanya
terjadi satu kali pada Juni 2012.
b. Terpenuhinya target throughput guideline 3
penyelesaian transaksi masih berada dalam pola
jangka waktu acuan yang ditetapkan, dan rata-
rata mayoritas transaksi diselesaikan pada awal
hari. Kelompok bank campuran mempunyai pola
yang sedikit berbeda, namun hal ini tidak sampai
mengganggu kelancaran sistem pembayaran secara
keseluruhan. Sedangkan untuk kelompok non bank,
kurang mengikuti graduated payment schedule. Hal
ini dikarenakan nature of business kelompok non
bank yang penyelesaian transaksinya mengandalkan
incoming transaction. Grafik berikut menunjukkan
pola distribusi penyelesaian transaksi per kelompok
bank selama periode laporan.
c. Turn over ratio 4, selama periode laporan saldo
rekening bank yang disediakan pada awal hari, masih
longgar. Turn over ratio per kelompok bank selama
periode laporan ditunjukkan pada grafik 4.2.
d. Queue transaction 5 selama periode laporan, rata-rata
secara volume maupun nominal transaksi per bulan
sangat kecil (tidak lebih dari 0,05% dari total transaksi).
Seluruh transaksi tersebut dapat diselesaikan pada
Grafik 4.1Throughput Guideline
Grafik 4.2Turn Over Ratio
�� ��� ��� ��� ��� ����
���������������������������������������������������
��������
��������������������
��������������������
���
���������������
�������������
����������
��������������������
��������������������
��� ��� ���
��� ��� ���
��� ��� ���
��� ��� ���
��� ��� ���
��� ��� ���
��� ��� ���
��� ��� ���
��� ��� ���
3 Throughput guideline adalah suatu target dimana Peserta diharapkan telah menyelesaikan persentase tertentu dari total pembayaran selama 1 hari dengan mengacu pada graduated payment schedule < 10.30 WIB ; 10.30 s/d 14.30 WIB ; 14.30 s/d 16.30 diharapkan 30% : 30% : 40%
4 Turn over ratio = merupakan perbandingan antara outgoing transaction yang diselesaikan melalui saldo rekening bank yang disediakan pada awal hari
5 Queue transaction atau transaksi yang mengalami antrian di sistem karena bank tidak mempunyai kecukupan dana untuk melakukan setelmen pada saat transaksi dikirimkan.
Sumber data : EDW diolah dari Januari – Desember 2012 Sumber data : EDW diolah dari Januari – Desember 2012
�������� ��������������������
���������� ������������
��������������
��� �������������������
�������������������
�
���
�
���
�
���
�
���
�
�����������������������������������������������������
42 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
akhir hari sehingga tidak terjadi risiko setelmen.
Proporsi Queue transaction selama periode laporan di
tunjukkan pada grafik 4.3 dan 4.4.
Pengawasan Terhadap Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
Secara umum, operasional penyelenggaraan SKNBI selama
2012 berjalan baik dan lancar yang ditunjukkan dengan
tidak adanya system down. Meski secara harian terdapat
beberapa kasus perpanjangan waktu yang diakibatkan
permasalahan teknis, namun hal tersebut tidak
mengganggu penyelenggaraan SKNBI secara keseluruhan.
Total perpanjangan waktu operasional SKNBI sepanjang
2012 adalah 1,04% dari total waktu operasional normal.
Sama halnya dengan Sistem BI-RTGS, untuk menjaga
kelancaran operasional SKNBI, Bank Indonesia juga
memiliki prosedur contingency yang didukung dengan
infrastruktur back up yang andal.
Likuiditas peserta SKNBI sepanjang 2012 secara umum
juga dapat terjaga dilihat dari beberapa indikator
antara lain, pemenuhan kewajiban penyediaan prefund,
penggunaan prefund, top up prefund dan transaksi yang
tidak dapat diperhitungkan. Sepanjang 2012, tidak ada
bank yang mengalami ketidakmampuan memenuhi
penyediaan prefund di awal hari sebagai syarat untuk
dapat mengikuti kliring harian.
Total prefund kliring debet dan kliring kredit yang
disediakan peserta dari Januari sampai dengan Desember
2012 mencapai Rp4.434 triliun dengan total nilai transaksi
sampai dengan Desember 2012 sebesar Rp2.170
triliun. Dengan demikian rata-rata penggunaan prefund
sepanjang tahun 2012 adalah 48,71% dengan penggunaan
terendah 44% yang terjadi pada Februari 2012 dan
tertinggi 52,54% yang terjadi pada November 2012. Hal
ini menunjukkan bahwa prefund yang tersedia masih
jauh lebih besar dari kewajiban yang harus dipenuhi
peserta. Namun demikian, secara individu, masih terdapat
transaksi dari beberapa peserta yang tidak diperhitungkan
karena peserta tidak melakukan top up prefund. Meskipun
secara umum tidak mengganggu proses kliring secara
keseluruhan, namun hal tersebut juga menjadi perhatian
dalam aspek perlindungan kepada para pemegang
Cek/Bilyet Giro karena mengakibatkan tertundanya
pembayaran melalui proses kliring.
4.2 Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Pihak di Luar Bank Indonesia
Pengawasan terhadap Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK)
Kartu Kredit
Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh penerbit
kartu kredit sepanjang periode 2012, jumlah kasus fraud
Grafik 4.3Proporsi Volume Queue Transaction
Grafik 4.4Proporsi Nominal Queue Transaction
����������
��������������������
�������������������� ��������
���
�������������
���
���
����
�� ��
���������� �������������
�����������������������
�������������������� ��������
������
����
�����
�����������������������������������������������������
43Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
terkait penggunaan kartu kredit mencapai 11.263 kasus
atau 0,006% dari total transaksi kartu kredit sepanjang
2012. Sementara nominal kerugian akibat fraud yang
dilaporkan (aktual maupun potensial) mencapai Rp
34,18 miliar atau 0,017 % dari total nominal transaksi
kartu kredit yang terjadi selama 2012. Jumlah kasus dan
nominal fraud ini mengalami peningkatan dibanding
periode tahun sebelumnya masing-masing sebesar
43,76% dan 2,45%. Adapun gambaran perkembangan
jumlah kasus fraud dan nominal kerugian kartu kredit
(aktual maupun potensial) sejak 2009 sampai dengan
2012 sebagaimana grafik berikut:
Pada tahun-tahun sebelumnya jumlah kasus dan nominal
fraud kartu kredit mengalami penurunan yang cukup
signifikan terutama sejak diwajibkannya penggunaan
chip untuk kartu kredit per 1 Januari 2010. Namun pada
tahun 2012, terutama mulai paruh semester II-2012
hingga akhir tahun, terdapat peningkatan kasus fraud
terutama yang menggunakan modus card not present
(CNP). Pada tahun 2012, fraud yang dilaporkan dengan
modus CNP menduduki peringkat pertama baik dari
jumlah kasus yang mencapai 5.637 kasus maupun
nominal kerugian (aktual dan potensial) yang mencapai
Rp11,34 miliar.
Sebelum Bank Indonesia mewajibkan penggunaan
chip untuk kartu kredit, modus kartu palsu selalu
menduduki peringkat pertama dalam kejahatan kartu
kredit. Seiring dengan penurunan kasus pemalsuan
kartu sejak diimplementasikannya chip, terjadi shifting
kepada modus lain yang lebih konvensional yaitu CNP,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. CNP pada
dasarnya merupakan penyalahgunaan kartu kredit oleh
pihak yang tidak berwenang untuk bertransaksi melalui
internet (e-commerce).
Dalam kaitan dengan pencegahan fraud CNP, Bank
Indonesia telah menghimbau kepada para penerbit untuk
menerapkan aturan one time password untuk setiap
transaksi yang dilakukan secara on line. Sementara itu
dalam pengaturan transaksi kartu kredit telah diwajibkan
agar penerbit memberikan alert kepada pemegang kartu
untuk transaksi-transaksi yang bersifat menyimpang
dari kebiasaan dan kewajiban menggunakan PIN sebagai
pengganti tandatangan mulai 1 Januari 2015.
Selain itu, selama periode 2012, Bank Indonesia
juga telah melakukan pemeriksaan terhadap empat
penerbit dan dua acquirer kartu kredit. Dalam
pemeriksaan tersebut juga ditekankan pentingnya
mematuhi ketentuan di bidang perlindungan kepada
para pemegang kartu, seperti etika penagihan, kualitas
pemberian kartu kredit serta cara pengenaan bunga
dan denda. Sejauh ini, dari hasil pemeriksaan tidak
ditemukan pelanggaran ketentuan yang serius. Atas hasil
pemeriksaan tersebut, sejumlah penerbit dan acquirer
Grafik 4.5Perkembangan Jumlah Kasus Fraud Kartu Kredit
Grafik 4.6Perkembangan Nominal Fraud Kartu Kredit
����
����
����
����
� ����� ����� �����
�����������
���������
�����������������
�������������������
��������������
���
��������������������
�������������������
�����������
������������
���������������
����
����
����
����
�����������
��������
���� �������� ��������� ��������� ��������� ���������
�����������������������������������
���������
�����������������
�������������������
��������������
���
��������������������
�������������������
�����������
44 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
telah berkomitmen untuk melakukan sejumlah perbaikan
dengan tenggat waktu tertentu yang telah disepakati.
Kartu ATM dan ATM/Debet
Berdasarkan hasil pengawasan selama periode laporan,
fraud terkait penggunaan kartu ATM dan kartu ATM/
Debet yang dilaporkan oleh penerbit mengalami
penurunan baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun
nilai kerugian (aktual dan potensial). Selama periode
laporan jumlah kasus dan nilai kerugian akibat fraud yang
dilaporkan adalah 11.468 kasus dan Rp1,4 miliar. Bila
dibandingkan dengan periode sebelumnya nilai kerugian
akibat fraud mengalami penurunan sebesar Rp961 juta
sedangkan dari sisi jumlah kasus mengalami penurunan
sebanyak 4.321 kasus. Bila dilihat lebih mendalam,
jumlah kasus yang dilaporkan paling sering terjadi adalah
kartu ATM dan kartu ATM/Debet hilang atau dicuri yang
mencapai 10.498 kasus. Sedangkan nilai kerugian terbesar
selama periode laporan berasal dari fraud kartu palsu
yaitu sebesar Rp1,1 miliar.
Untuk menekan angka fraud pada penyelenggaraan kartu
ATM dan kartu ATM/Debet ini khususnya yang dilakukan
melalui modus pemalsuan kartu, Bank Indonesia telah
mewajibkan penerbit kartu ATM dan ATM/Debet untuk
mengimplementasikan teknologi chip dan penggunaan
PIN minimal 6 (enam) digit untuk kartu ATM/Debet yang
diterbitkan di Indonesia. Batas waktu implementasi chip
dan PIN 6 (enam) digit ini adalah 31 Desember 2015.
Dengan kata lain, pada 1 Januari 2016, seluruh kartu
ATM dan kartu ATM/Debet sudah harus menggunakan
teknologi chip dan PIN minimal 6 (enam) digit, demikian
pula seluruh perangkat yang digunakan untuk memproses
transaksi kartu ATM dan kartu ATM/Debet tersebut harus
dapat memproses chip (chip enable).
Saat ini Bank Indonesia terus memonitor perkembangan
implementasi chip oleh seluruh penyelenggara kartu
ATM dan kartu ATM/Debet melalui laporan triwulanan
yang disampaikan oleh penyelenggara untuk memastikan
tahapan yang telah dicapai dan kendala yang dihadapi
dalam proses implementasi. Sejauh ini masih terdapat
beberapa kendala teknis, namun diharapkan dapat
diselesaikan dengan baik oleh industri, sehingga batas
waktu yang telah ditetapkan dapat dipenuhi oleh seluruh
penerbit.
Selain itu, selama periode 2012, Bank Indonesia juga telah
melakukan pemeriksaan terhadap dua penerbit kartu ATM
dan kartu ATM/Debet. Sejauh ini, dari hasil pemeriksaan
tidak ditemukan pelanggaran yang serius. Atas hasil
pemeriksaan tersebut, penerbit telah berkomitmen untuk
melakukan perbaikan dengan tenggat waktu tertentu yang
telah disepakati.
Pengawasan terhadap Uang Elektronik
Pengawasan terhadap penyelenggaraan uang elektronik,
dilakukan secara tidak langsung melalui monitoring data
dan informasi serta pengawasan secara langsung melalui
pemeriksaan (on site visit).
Selama periode laporan, Bank Indonesia tidak menerima
adanya laporan terkait fraud di dalam penyelenggaraan
uang elektronik.
Sementara itu, pengawasan secara langsung telah
dilakukan kepada dua penerbit uang elektronik (bank dan
penyelenggara selain bank) melalui on site visit untuk
memastikan kepatuhan penyelenggara uang elektronik
terhadap ketentuan yang berlaku. Dari hasil pemeriksaan
tersebut, tidak ditemukan pelanggaran yang serius oleh
penerbit, namun demikian terdapat beberapa temuan
yang harus diperbaiki antara lain terkait perlindungan
konsumen (khususnya aspek transparansi terkait biaya)
dan juga aspek pengelolaan risiko. Atas hasil pemeriksaan
tersebut, penerbit telah berkomitmen untuk melakukan
perbaikan.
Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU) atau Transfer Dana Selain Bank
Selama periode laporan, telah dilakukan pengawasan
secara tidak langsung kepada seluruh penyelenggara
KUPU di wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia, dan
tiga diantaranya telah dilakukan pula pengawasan
secara langsung. Pengawasan secara langsung kepada
45Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
penyelenggara KUPU melalui on site visit, selain dilakukan
untuk memastikan kepatuhan penyelenggara KUPU
terhadap ketentuan yang berlaku, juga ditujukan untuk
memastikan pemenuhan komitmen atas hasil audit PPATK.
Selanjutnya berdasarkan hasil pengawasan, pada periode
laporan telah dilakukan pencabutan izin terhadap satu
penyelenggara KUPU karena tidak mematuhi ketentuan
Bank Indonesia dan pengenaan sanksi administratif
berupa penyampaian surat teguran tertulis kepada dua
penyelenggara KUPU karena tidak menyampaikan laporan
berkala kepada Bank Indonesia. Di samping itu pada
periode laporan terdapat satu penyelenggara KUPU yang
dicabut izin penyelenggaraannya berdasarkan permintaan
sendiri.
Terkait dengan tugas Bank Indonesia sebagai Lembaga
Pengatur dan Pengawas terkait kepatuhan penyelenggara
KUPU dalam menerapkan program APU dan PPT
sebagaimana amanat UU Nomor 8 tahun 2010 selama
periode tahun 2012, kewenangan tersebut masih berada
di PPATK dengan masa transisi dari PPATK kepada Bank
Indonesia selama dua tahun (2011-2013). PPATK telah
melakukan audit kepatuhan terhadap 28 penyelenggara
KUPU (21 penyelenggara di wilayah KPBI dan tujuh
penyelenggara di wilayah KPwBI) dengan tujuan untuk
mengetahui tingkat kepatuhan penyelenggara KUPU
dalam menerapkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (UU TPPU) dan kendala-kendala yang dihadapi
dalam menerapkan UU TPPU. Terhadap hal tersebut, Bank
Indonesia telah memberikan surat pembinaan kepada
penyelenggara untuk melakukan tindak lanjut hasil audit
PPATK.
Selanjutnya, sehubungan dengan pemberlakuan UU
Nomor 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana pada 23
Maret 2011, selama periode laporan Bank Indonesia
telah melakukan pembinaan kepada penyelenggara
KUPU yang belum berbadan hukum Indonesia, dengan
mengirimkan surat pembinaan sebanyak dua kali
dalam rangka mengingatkan yang bersangkutan untuk
segera meningkatkan status usahanya menjadi badan
hukum Indonesia. Dalam hal penyelenggara KUPU
tersebut sampai dengan 23 Maret 2013, masih belum
meningkatkan status badan usahanya menjadi badan
hukum Indonesia sebagaimana dimaksud oleh UU
TD maka izin KUPU yang telah diberikan oleh BI akan
dinyatakan tidak berlaku.
46 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 4 Pengawasan Sistem Pembayaran
Halaman ini sengaja dikosongkan
47Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
Arah kebijakan dan pengembangan sistem pembayaran kedepan akan tetap difokuskan pada peningkatan keamanan, efisiensi, perluasan akses, dan perlindungan konsumen. Hal tersebut dilakukan Bank Indonesia dengan tetap melanjutkan tahapan pengembangan NPG, SKNBI, dan uang elektronik, serta penguatan aspek hukum melalui penyusunan RUU Sistem Pembayaran dan Penyelesaian Akhir (SPPA).
Pengembangan NPG ke depan akan dilakukan melalui tiga tahapan besar. Tahap pertama, adalah pengembangan instrumen pembayaran yang paling dominan digunakan oleh masyarakat Indonesia yaitu kartu ATM dan kartu ATM/Debet dengan menginterkoneksikan jaringan penyelenggara kartu ATM dan ATM/Debet di Indonesia. Tahapan kedua adalah pengembangan instrumen pembayaran pada kartu kredit dan uang elektronik melalui pemrosesan kartu kredit secara domestik untuk transaksi yang dilakukan di Indonesia tanpa harus diteruskan kepada Prinsipal luar negeri seperti yang berlaku saat ini. Sementara itu, untuk perluasan cakupan transaksi menggunakan uang elektronik akan didukung melalui interkoneksi diantara penerbit uang elektronik. Selanjutnya tahap terakhir adalah pengembangan layanan Mobile Financial Services (MFS) dan e-commerce. Modul layanan ini akan mendukung konvergensi layanan transaksi berbasis mobile serta e-commerce di masadatang. Sementaraitu, pengembangan SKNBI akanmencakup penyelesaian transaksi atas transfer kredit dan debet baik yang bersifat individual maupun rutin (bulk payment).
Selanjutnya, arah kebijakan dan pengembangan uang elektronik ke depan difokuskan pada upaya untuk meningkatkan penggunaan uang elektronik di masyarakat serta memperluas jangkauan dan penetrasi infrastruktur uang elektronik melalui dua tahapan waktu yaitu jangka pendek dan menengah. Untuk jangka pendek dilakukan melalui kegiatan edukasi dan sosialisasi, fasilitasi industri serta perluasan pasar, sedangkan untuk jangka panjang melalui standardisasi uang elektronik. Penguatan aspek hukum dilakukan melalui penyusunan RUU SPPA mengingat lajunya perkembangan sistem pembayaran yang sangat pesat sebagai dampak dari adanya perkembangan teknologi informasi yang sangat maju yang mendorong munculnya berbagai inovasi produk dan layanan sistem pembayaran.
48 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
5.1 Arah Kebijakan dan Pengembangan BI-RTGS/BI-SSSS Generasi II
Kebijakan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) pada Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS Generasi II
Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI), termasuk berdasarkan
prinsip Syariah (FLIS), merupakan fasilitas dari BI
sebagai penyelenggara Sistem BI-RTGS guna mendukung
kelancaran penyelesaian (smoothness of settlement) dari
seluruh transaksi pembayaran melalui sistem pembayaran
antar-bank (bersifat systemically important) atau
infrastruktur pasar keuangan yang diselenggarakan oleh BI
tersebut.
Di dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS saat ini dan
sebagaimana diatur dalam PBI No.10/29/PBI/2008, PBI
No.11/ 30 /PBI/2009, SEBI No12/29/DASP, dan SEBI No.
12/4/DASP, FLI/FLIS diberikan kepada Bank Peserta BI-
RTGS dengan mekanisme repurchase agreement (Repo)
atas surat berharga yang yang dimiliki oleh Bank Peserta
BI-RTGS yang membutuhkan/mengajukan FLI/FLIS, dan
FLI/FLIS tersebut harus dikembalikan pada hari yang sama
dengan hari penggunaan FLI/FLIS.
Merujuk kepada ketentuan yang berlaku, dalam hal
Bank Peserta BI-RTGS tidak dapat mengembalikan/
menyelesaikan nilai FLI/FLIS sampai dengan batas waktu
yang ditetapkan, maka terhadap nilai FLI/FLIS yang
tidak dapat dikembalikan tersebut akan diberlakukan
(dikonversi) sebagai transaksi Repo dengan BI dengan
jangka waktu satu hari (i.e. transaksi Repo overnight (O/N)
dengan BI atau transaksi Lending Facility).
Berdasarkan laporan Bank Dunia (Payment Systems
Worldwide: A Snapshot 2010, Outcomes of the
Global Payment Systems Survey 2008) mengenai
penyelenggaraan Large-Value Payment Systems (LVPS)
RTGS Systems):
• Dari 88 negara yang menyelenggarakan LVPS, 75 LVPS
menyediakan FLI dengan mekanisme Repo;
• 75 LVPS yang menyediakan FLI Repo, mengenakan
penggunaan FLI dengan Repo interest rate;
• Untuk FLI yang tidak dapat dikembalikan pada akhir
hari (end-of day), dari 75 LVPS yang menyediakan FLI
Repo:
• 17 LVPS mengkonversi menjadi Repo O/N at market
rates;
• 55 LVPS mengkonversi menjadi Repo O/N at penalty
rates (termasuk Australia, HongKong, Jepang,
Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura); dan
• 3 LVPS mengkonversi menjadi Repo O/N at market and
penalty rates.
Kebijakan terkait mekanisme FLI pada Sistem BI-RTGS Generasi II
Telah diputuskan (berdasarkan hasil rapat Steering
Committee 26 Februari 2013) bahwa FLI pada
Generasi II akan mengadopsi the standard DEPO/X
functionality (guna menghindari Change Request serta
untuk mengimplementasikan mekanisme yang lebih
sesuai dengan common practices dari ILF di dalam
penyelenggaraan LVPS pada umumnya), yang meliputi:
Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran ke Depan
Bab 5
49Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
• FLI akan langsung mengkredit di RTS/X pada rekening
Bank Peserta BI-RTGS yang mengajukan FLI;
• FLI dapat di-redeem berdasarkan instruksi manual dari
Bank Peserta BI-RTGS yang mengajukan FLI atau secara
otomatis sesuai dengan parameter yang ditetapkan
sebelumnya;
• Interest rate atas penggunaan FLI dihitung dengan
menggunakan ILF interest rate calculation yang sudah
ada di DEPO/X, berdasarkan cash value dari setiap
initial granted ILF;
• FLI yang tidak bisa dikembalikan sampai dengan EOD,
DEPO/X akan mengkonversi menjadi O/N Repo.
Sehubungan dengan implementasi mekanisme di
atas, maka perlu penyesuaian ketentuan/ pengaturan
mekanisme FLI pada Sistem BI RTGS Generasi II.
Selanjutnya, mengingat transaksi yang ada saat ini
adalah transaksi Lending Facility (transaksi penyediaan
dana dari BI kepada Bank), sehingga konversi dari FLI
menjadi O/N Repo (i.e. transaksi Repo dengan BI dengan
jangka waktu satu hari) dimaksud dapat diterima pula
sebagai transaksi Lending Facility (yang merupakan salah
satu bentuk Operasi Moneter BI). Di samping itu, salah
satu persyaratan FLI adalah surat berharga yang dapat
direpokan kepada Bank Indonesia berupa SBI dan/atau
SBN, di mana surat berharga yang dapat ditransaksikan
melalui Lending Facility adalah SBI dan SBN. Oleh sebab
itu, dengan mengkonversi instrumen moneter SBI dan
SBN tersebut (yang digunakan sebelumnya untuk FLI)
ke domain kegiatan pengendalian moneter, hal tersebut
tentunya akan lebih mendukung efektivitas kegiatan
Operasi Moneter BI. Mekanisme ‘mengkonversikan’
menjadi Lending Facility dari Standing Facilities (Operasi
Moneter ‘Koridor Suku Bunga’ tersebut) juga diaplikasikan
pada banyak LVPS.
Selain itu, diperkirakan kebutuhan akan FLI menjadi
berkurang dan akan benar-benar menjadi last resort di
dalam penyelenggaraan LVPS IDR di Indonesia karena
BI-RTGS Generasi II akan menerapkan mekanisme-
mekanisme liquidity saving yang dapat menekan liquidity
need.
5.2 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
Tahapan Implementasi Grand Design SKNBI
Pengembangan SKNBI akan dimulai pada 2013 mencakup
penyelesaian transaksi atas transfer kredit dan debet baik
yang bersifat individual maupun rutin (bulk payment)
meliputi :
�� ������������� ����������
���������������
� �������������������� �����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
� �������������� ���������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
��������������
� ����������������� �������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
� �������������� ��������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
� ���������������� ����������������������������������������������������������������������������������
Selain itu, dalam SKNBI yang akan dikembangkan juga
modul informasi yang dapat diakses oleh peserta dan
penyelenggara untuk mendapatkan informasi/data terkait
penyelenggaraan SKNBI baik yang bersifat real time
maupun hitoris. Adapun tahapan implementasi SKNBI
adalah sebagai berikut :
50 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
a. Penyusunan User Requirement SKNBI
b. Pengembangan Aplikasi
c. Implementasi SKNBI Tahap I
d. Implementasi SKNBI Tahap II
Sementara itu, pengembangan electronic debit akan
dilakukan apabila kajian mengenai instrumen dan
mekanisme penyelenggaraan electronic debit selesai.
5.3 Arah Kebijakan dan Pengembangan NPG ke Depan
Pengembangan NPG ke depan akan dilakukan ke dalam
tiga tahapan besar. Tahap pertama, adalah pengembangan
instrumen pembayaran yang paling dominan digunakan
oleh masyarakat Indonesia yaitu kartu ATM dan
ATM/Debet dengan menginterkoneksikan jaringan
penyelenggara kartu ATM dan ATM/Debet di Indonesia.
Tahapan kedua adalah pengembangan instrumen
pembayaran pada kartu kredit dan uang elektronik
melalui pemrosesan kartu kredit secara domestik untuk
transaksi yang dilakukan di Indonesia tanpa harus
diteruskan kepada prinsipal luar negeri seperti yang
berlaku saat ini. Sementara itu, untuk perluasan cakupan
transaksi menggunakan uang elektronik akan didukung
melalui interkoneksi diantara penerbit uang elektronik.
Tahapan terakhir adalah pengembangan layanan Mobile
Financial Services (MFS) dan e-commerce. Modul layanan
Bagan 5.1Roadmap Pengembangan SKNBI
��������������������������������������������������������������������������������
������������������������������������������������������������������
���������������������������������
��������������������������
�������������������������������� ��������������������������� ����������������������������� ���������������������������
������������������������������� ��������������������������� ���������������������� ����������������������������� ���������������������������� ���������������������������
��������������������������������������������������
51Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
ini akan mendukung konvergensi layanan transaksi
berbasis mobile serta e-commerce di masa datang.
Dengan tahapan pengembangan NPG tersebut diharapkan
penggunaan instrumen non-tunai dapat lebih ditingkatkan
dalam rangka mendukung Less Cash Society (LCS).
5.4 Arah Kebijakan dan Pengembangan Uang Elektronik
Arah kebijakan dan pengembangan uang elektronik
ke depan difokuskan pada upaya untuk meningkatkan
penggunaan uang elektronik di masyarakat serta
memperluas jangkauan dan penetrasi infrastruktur uang
elektronik melalui dua tahapan waktu yaitu jangka pendek
dan menengah dengan kegiatan edukasi dan sosialisasi,
fasilitasi industri serta perluasan pasar. Sedangkan untuk
jangka panjang melalui standardisasi uang elektronik.
Kegiatan edukasi akan difokuskan pada upaya untuk
memperkenalkan uang elektronik kepada masyarakat
dan memberikan pengalaman bertransaksi menggunakan
uang elektronik.
Fasilitasi industri dan perluasan pasar dilakukan dengan
mendorong penyelenggara uang elektronik untuk saling
bekerjasama dan mengkoneksikan jaringannya dengan
penerbit lainnya, agar pemegang uang elektronik dari
satu penerbit dapat menggunakan uang elektroniknya
tersebut pada jaringan yang dimiliki penerbit lain.
Dengan mempertimbangkan besarnya potensi sektor
transportasi, maka arah kebijakan pengembangan uang
elektronik ke depan akan tetap diarahkan pada sektor
tersebut. Sementara untuk jangka menengah dan panjang
perluasan pasar akan dilakukan kepada sektor-sektor lain
seperti misalnya industri ritel.
Tahapan jangka panjang pengembangan uang elektronik
adalah mendorong tersedianya standar uang elektronik
yang dapat digunakan oleh seluruh penerbit uang
elektronik di Indonesia yang penyusunannya dilakukan
oleh pelaku industri uang elektronik. Standar tersebut
dapat disusun dari pengembangan standar kartu ATM/
Debet berbasis chip ataupun pengembangan standar yang
baru.
5.5 Arah Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pembayaran dan Setelmen ASEAN Dalam Rangka MEA 2015
Sistem pembayaran dan penyelesaian akhir merupakan
tulang punggung dari sebuah perekonomian modern.
Sebuah sistem pembayaran dan penyelesaian akhir yang
efisien, aman, dan andal akan memberikan keunggulan
kompetitif bagi suatu negara untuk berkompetisi di
pasar global. Disamping itu, peningkatan aktivitas
perekonomian antara negara-negara anggota Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) memerlukan sistem pembayaran
dan penyelesaian akhir (setelmen) yang efisien untuk
mendukung transaksi bisnis mereka. Bahkan dalam
periode integrasi ekonomi regional, sistem pembayaran
dan penyelesaian akhir memiliki peran yang strategis
mengingat mereka merupakan infrastruktur keuangan
yang memfasilitasi arus barang, jasa, investasi, tenaga
kerja terampil dan modal.
Menjelang MEA 2015, arah pengembangan sistem
pembayaran dan penyelesaian akhir nasional perlu
dipersiapkan dengan terencana dan terukur. Selain itu,
negara anggota MEA juga dituntut untuk menyusun arah
pengembangan dan harmonisasi sistem pembayaran
dan setelmen agar dapat mengakomodasi transaksi
lintas batas negara (cross-border) dan integrasi keuangan
regional. Adapun fokus pengembangan dan harmonisasi
dimaksud adalah: cross-border trade settlement,
cross-border money remittance, cross-border retail
payments, cross-border capital market settlement dan
standardization.
Cross-Border Trade Settlement
Keterbukaan ekonomi di lingkup ASEAN akan berdampak
signifikan bagi persaingan dunia usaha, termasuk
sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Di
satu sisi, implementasi MEA akan memberikan potensi
pengembangan UMKM yang lebih besar mengingat
semakin terbukanya akses UMKM terhadap sumber-
sumber keuangan yang tidak hanya terbatas pada
pembiayaan dalam negeri, tetapi juga pasar keuangan
internasional. Meskipun demikian, di sisi lain UMKM
52 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
di negara ASEAN menghadapi tantangan yang cukup
berat karena semakin ketatnya persaingan antar
negara. Oleh sebab itu, agar mereka dapat bertahan
dari persaingan yang ketat, diperlukan dukungan sistem
pembayaran dan setelmen yang aman, andal, dan
efisien. Cross-Border Trade Settlement ditujukan untuk
mendukung pelaksanaan pembayaran dan setelmen
dalam mendukung aliran barang dalam aktivitas
perdagangan di antara negara ASEAN. Salah satu
kendala cross-border trade settlement adalah efisiensi.
Tidak adanya direct conversion rate antar mata uang di
kawasan mengakibatkan setelmen pembayaran dalam
mata uang lokal harus dikonversi melalui USD, sehingga
menimbulkan biaya tambahan bagi pelaku transaksi.
Berdasarkan hasil survei terhadap seluruh bank sentral
di ASEAN, mekanisme korespondensi yang saat ini
digunakan pada cross-border trade settlement cukup
memadai dan penggunaan standar internasional dalam
dokumen transaksi perdagangan telah banyak dilakukan.
Namun demikian, peluang peningkatan efisiensi setelmen
perdagangan dapat dilakukan antara lain dengan
mengurangi spread dan charges oleh bank melalui
transparansi biaya.
Terkait dengan cross-border trade settlement, negara
anggota ASEAN telah menyepakati hal-hal sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip yang terkait dengan keterbukaan dan
transparansi produk bank terdiri atas:
• Disclosure harus menyorot informasi yang penting
bagi pelanggan;
• Disclosure harus jelas dan konsisten;
• Perangkat komunikasi harus dibentuk sehingga
memudahkan pelanggan untuk mengakses
informasi;
Prinsip-prinsip tersebut sebagai pedoman best
practices untuk memastikan pelanggan memiliki
akses ke informasi penting dengan cara yang mudah
sebelum mereka melakukan transaksi dengan lembaga
keuangan.
2. Bank menghadapi tantangan dalam mengungkapkan
isu-isu sebagai berikut:
• Biaya total yang harus dibayar oleh pengirim;
sebaiknya diinformasikan dalam bentuk persentase
dari total biaya, dan bukannya angka secara
absolut;
• Biaya yang dibebankan kepada penerima manfaat
(beneficiaries) dan waktu maksimum untuk dana
diterima oleh beneficiaries;
• Nilai valuta sebelum pembayaran dilakukan
mengingat adanya volatilitas intraday yang
signifikan.
3. Definisi dari Usaha Kecil dan Menengah (Small and
Medium Entreprises). Setiap anggota MEA memiliki
definisi yang berbeda untuk Small and Medium
Enterprises (SME), yang sesuai dengan kondisi
ekonominya, sehingga sulit untuk membuat definisi
SME yang seragam di ASEAN. Oleh sebab itu task
force cross border trade settlement perlu menyusun
prinsip umum mengenai SME dan setiap negara dapat
menggunakannya sebagai pedoman.
Cross-Border Money Remittances
Cross-Border Money Remittances bertujuan untuk
mendukung aliran tenaga kerja yang bebas terutama
untuk memfasilitasi aliran dana ke negara asal dari hasil
kerja para tenaga kerja ASEAN. Mengingat dalam proses
pengiriman dimaksud mata uang yang diterima oleh
penerima adalah mata uang negara penerima, maka
proses pengiriman (remittance) uang tidak dimasukan
dalam integrasi keuangan (financial integration).
Task force cross-border money remittances telah
menyusun pedoman dasar untuk pengembangan money
remittances yang terdiri atas 3 (tiga) bagian:
a. Program administrasi pra-keberangkatan terdiri dari:
ketentuan akreditasi lembaga/kelompok penyedia
jasa, biaya program, dan program pelatihan untuk
kelompok yang melakukan program orientasi, dan lain-
lain;
b. Isi dari program orientasi pra-keberangkatan terdiri
dari: profil negara, hukum dasar negara tuan rumah,
isu mengenai negara tuan rumah, pendidikan dasar
mengenai kesehatan, keuangan pribadi, saluran
remitansi yang formal, keanggotaan dan manfaat ikut
serta dalam organisasi buruh migran, serta kedutaan di
tempat negara tujuan;
53Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
c. Mekanisme umpan balik, yang terdiri atas: pasca
evaluasi dan forum online untuk para pekerja migran.
Cross-Border Retail Payment System
Cross-Border Retail Payment System bertujuan untuk
mendukung pelaksanaan pembayaran dan setelmen
dalam mendukung aliran barang, jasa, tenaga kerja
terdidik, dan investasi yang bebas serta aliran modal
yang lebih bebas. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan
oleh task force cross-border retail payment system
diketahui bahwa tujuan dari pengembangan sistem
pembayaran ritel di setiap negara pada dasarnya sama
yaitu: (i) mendorong terciptanya sistem pembayaran ritel
yang aman, efisien, andal, dan cepat, (ii) mendorong
penggunaan instrumen pembayaran non-tunai, (iii)
mendorong terciptanya kebijakan internasional yang
bersifat resiprokal untuk area sistem pembayaran
tertentu, (iv) mendorong industri untuk menggunakan
standar internasional, (v) mendorong penggunaan
sarana pembayaran formal yang aman dan andal, dan
(vi) memfasilitasi pihak non bank untuk ikut serta dalam
penyediaan jasa sistem pembayaran yang efisien dan
aman.
Selanjutnya, terkait dengan pengembangan jaringan
sistem pembayaran regional, task force cross-border
retail payment system telah berkoordinasi dengan
Asian Payment Network (APN) untuk menyusun format
standard dan proses bisnis untuk transfer kredit, yang
terdiri atas 3(tiga) tahap: value proposition development,
market research and value proposition validation,
dan mengembangkan blueprint. Berdasarkan value
proposition development yang disusun oleh APN, terdapat
beberapa hal yang membutuhkan dukungan bank sentral:
a. APN meminta bank sentral untuk melaksanakan
joint event untuk memperkenalkan APN logo kepada
publik untuk meningkatkan awareness dari industri
perbankan;
b. Adanya harmonisasi peraturan diantara negara-negara
ASEAN sehingga memungkinkan atau mendukung
pengembangan koneksi dan pengaturan APN.
Cross-Border Capital Market Settlement
Cross-Border Capital Market Settlement bertujuan
untuk pelaksanaan pembayaran dan setelmen dalam
mendukung transaksi pasa modal di antara negara ASEAN.
mendukung pelaksanaan pembayaran dan setelmen
dalam mendukung aliran barang, jasa, tenaga kerja
terdidik, dan investasi yang bebas serta aliran modal
yang lebih bebas. Mengingat praktek setelmen pasar
modal sangat variatif sehingga menghambat proses
setelmen antarnegara, maka terdapat beberapa hal yang
dapat mendukung pengembangan cross-border capital
market settlement di ASEAN antara lain: ketentuan
perundang-undangan yang mendukung pengembangan
pasar; kebijakan yang transparan dan dapat diprediksi;
kesesuaian praktik dengan standar internasional;
dan pengembangan infrastruktur yang sesuai dengan
standar internasional. Terkait dengan pengembangan
infrastruktur, task force cross-border capital market
settlement telah bekerja sama dengan ASEAN Exchange
Groupings (AEG) untuk mengembangkan 3 (tiga) model
CCP/CSD Linkages. Namun demikian, masih terdapat
perbedaan perspektif dari setiap negara terkait dengan
risiko yang ditimbulkan oleh CCP/CSD.
Cross-Border Standardization
Cross-Border Standardization bertujuan untuk
harmonisasi dalam pengembangan sistem pembayaran
ASEAN agar lebih mudah melakukan interkoneksi.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh task force
standardization diketahui antara lain: (i) bank sentral
memegang peran penting dalam pengembangan standar
sistem pembayaran, terutama pada instrumen cek, (ii)
bank sentral memegang peranan penting dalam usaha
harmonisasi standar di bidang sistem pembayaran,
(iii) keterlibatan negara ASEAN dalam komite standar
internasional masih relatif terbatas, (iv) beberapa
negara ASEAN menunjukkan keinginan untuk melakukan
technical assistance dalam standardisasi di bidang
sistem pembayaran, dan (v) standar yang paling umum
diterapkan di ASEAN adalah SWIFT, IBAN, BIC dan EMV.
Disamping itu, terkait dengan survei mengenai credit
54 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
transfer, yang tujuan utamanya adalah melakukan
penilaian atas praktek-praktek pasar dan kemungkinan
modalitas dalam menyediakan layanan transfer kredit
oleh bank-bank di ASEAN, ditemukan bahwa bank-bank di
ASEAN cukup memahami manfaat pengembangan skema
cross-border credit transfer di ASEAN.
5.6 Penyusunan Konsep RUU Sistem Pembayaran dan Penyelesaian Akhir (SPPA)
Pengertian Sistem Pembayaran
Sasaran dari fungsi mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran oleh bank sentral adalah terciptanya
sistem pembayaran yang aman dan efisien. Pengertian
Sistem Pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup
seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang
digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna
memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu
kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, Sistem Pembayaran
yang aman dan efisien sangat mendukung keberhasilan
suatu negara dalam menjaga dan meningkatkan Stabilitas
Sistem Keuangan (SSK) dan stabilitas moneter. Hal
tersebut dikarenakan terjadinya gangguan pada Sistem
Pembayaran dapat menyebabkan kegagalan kewajiban
pembayaran dan mempengaruhi kepercayaan masyarakat
terhadap likuiditas perekonomian, SSK, dan perbankan.
Sistem pembayaran merupakan salah satu komponen
utama dalam mendukung aktifitas perekonomian di suatu
negara dan oleh karena itu sistem pembayaran harus
senantiasa dijaga agar dapat berjalan secara aman dan
efisien. Keamanan dalam kegiatan sistem pembayaran
dapat dilihat dari berbagai indikator antara lain sebagai
berikut:
1. Tersedianya lembaga, mekanisme, alat pembayaran,
dan infrastruktur dalam kegiatan sistem pembayaran
yang andal dan aman dari segala bentuk fraud;
2. Tersedianya aturan hukum yang memberikan
pengaturan yang jelas dan fair untuk seluruh pihak
dalam penyelenggaraan sistem pembayaran;
3. Tersedianya sistem yang andal dalam pemrosesan
transaksi sistem pembayaran yang antara lain
dibuktikan dengan tingkat availability sistem yang
maksimal, serta kepastian penyelesaian transaksi.
4. Tersedianya back-up system yang menjamin
kelangsungan kegiatan sistem pembayaran yang aman.
Sedangkan sistem pembayaran yang efisien ditunjukkan
melalui berbagai indikator antara lain:
1. Tersedianya infrastruktur sistem pembayaran yang
menjangkau seluruh wilayah Indonesia dan dapat
dimanfaatkan secara bersama oleh penyedia sistem;
2. Tersedianya layanan sistem pembayaran yang cepat,
mudah diakses dan murah untuk seluruh lapisan
masyarakat;
3. Mekanisme penyelesaian pembayaran yang praktis
dan cepat.
Pada prinsipnya, kelima komponen utama dalam sistem
pembayaran yaitu aturan, lembaga, mekanisme, alat
pembayaran, dan infrastruktur yang merupakan satu
kesatuan utuh dalam sistem harus selalu dikembangkan
dalam menjawab tantangan perkembangan teknologi
yang mendasari perkembangan sistem pembayaran dan
kebutuhan masyarakat terhadap sistem pembayaran yang
semakin aman dan efisien.
Pengertian sistem pembayaran dapat saja berbeda
antara negara satu dengan negara lainnya sesuai dengan
pengaturan hukum dari negara tersebut, namun demikian
secara best practices komponen sistem pembayaran
meliputi 5 (lima) aspek tersebut meskipun dalam
perumusannya dapat saja disebutkan hanya dalam
beberapa aspek besarnya saja.
Peran Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran
di Indonesia sangat menentukan keberhasilan peranan
sistem pembayaran dalam mendukung aktifitas
perekonomian suatu negara dan sekaligus sebagai bagian
penting dalam pelaksanaan transmisi kebijakan moneter.
Selaku otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia
akan melakukan pengaturan sistem pembayaran dan
penyelesaian akhir di dalam suatu Undang-Undang
tersendiri. Saat ini pengaturan tersebut masih tersebar
di berbagai aturan yang mengatur mengenai kegiatan
sistem pembayaran dan penyelesaian akhir yang
berpotensi terjadinya berbagai inkonsistensi pengaturan
55Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
sistem pembayaran dan penyelesaian akhir yang dapat
menimbulkan permasalahan.
Sesuai ketentuan Bank Indonesia, komponen kerangka
hukum dalam sistem pembayaran dan penyelesaian akhir
menjelaskan dasar hukum dalam menjamin adanya aspek
legalitas dalam pelaksanaan sistem pembayaran, yang
dituangkan dalam undang-undang dan peraturan terkait
lainnya, termasuk aturan untuk dan antar berbagai pihak
seperti antar bank, antara bank dengan nasabah, dan
antara bank dengan bank sentral. Melalui kerangka hukum
ini Bank Indonesia menuangkan kebijakan di bidang
sistem pembayaran dan penyelesaian akhir.
Bagan 5.2Keterkaitan Undang-Undang lain dengan dengan Sistem Pembayaran
Pengaturan Sistem Pembayaran
Keberadaan UU SPPA diperlukan agar terdapat kepastian
dan kejelasan dalam kegiatan sistem pembayaran dan
penyelesaian akhir. Hal tersebut menjadi dasar hukum
bagi otoritas dalam bekerjasama dengan otoritas lain baik
dalam maupun luar negeri memerlukan dukungan dalam
bentuk pengaturan UU yang dapat memberikan arah yang
jelas dalam memajukan kegiatan sistem pembayaran
dan penyelesaian akhir antar negara sehingga sistem
pembayaran dan penyelesaian akhir dalam negeri mampu
bersaing dengan sistem pembayaran negara lain. Selaras
dengan tujuan dari sistem pembayaran yaitu memiliki
dasar hukum yang kuat dan komprehensif mengenai
��������������������������������������������������������������������������
���
������������������������������������������������������
������������������������������
���������������������������������������������������������
�����������������������������������������������������
������������������������������������������������������������������������
����������������������������������������������������
������������������������������������������
����������������������������������������������������������������������������������������
�������������������������������������������������������������������
��������������������������������������������������������������������������������������������������������
������������������������������������������������������������
����������������
����������������������
�����
����������������
��������������
������������
������
�����������
�����������������
����������������
���������������������
������
�����������
�������
56 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
sistem pembayaran dan penyelesaian akhir di Indonesia,
penyusunan RUU SPPA akan memberikan kepastian
hukum dan perlindungan kepada nasabah dalam kegiatan
sistem pembayaran. Dalam rangka pengaturan terdapat
beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki
keterkaitan erat dengan sistem pembayaran, sehingga
dalam perumusan RUU SPPA harmonisasi ketentuan
menjadi sangat penting agar tidak terjadi pengaturan yang
saling bertentangan atau tumpang tindih di kemudian
hari.
Alasan utama diperlukannya UU SPPA ini adalah karena
laju perkembangan sistem pembayaran yang sangat
pesat. Pesatnya perkembangan sistem pembayaran
dapat menjadi sumber informasi terkait kondisi likuiditas
dan infrastruktur sistem keuangan yang menjadi subyek
pemantauan secara microprudential guna memonitor
kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potential
shock. Hasil dari riset dan pemantauan selanjutnya
akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam
pengambilan langkah-langkah yang tepat untuk meredam
gangguan pada sektor keuangan.
Selain itu, ada beberapa hal yang menjadi latar belakang
perlunya penyusunan RUU SPPA yaitu:
Landasan sosiologis antara lain:
1. perkembangan teknologi Sistem Pembayaran;
2. penyesuaian aturan dan hukum dari otoritas untuk
mengimbangi perkembangan teknologi Sistem
Pembayaran;
3. beberapa kegiatan sistem pembayaran dan
penyelesaian akhir belum disertai aturan hukum yang
mengaturnya;
4. kepastian perlindungan pengguna jasa dan
memastikan Penyelenggara memenuhi kewajiban
terhadap pengguna jasa.
Adapun landasan secara yuridis meliputi:
1. belum ada dasar hukum pengaturan sistem
pembayaran dan penyelesaian akhir yang
komprehensif;
2. adanya ketidakjelasan dalam pengaturan,
pengembangan dan koordinasi antar otoritas terkait;
dan
3. beberapa pengaturan terkait sistem pembayaran dan
penyelesaian akhir masih dilakukan secara parsial.
Materi RUU SPPA
Ruang lingkup berlakunya UU SPPA akan mencakup
penyelenggaraan kegiatan pemindahan dana, kegiatan
alat pembayaran non-tunai dan seluruh sarana
pemrosesnya, kegiatan kliring dan penyelesaian akhir
sistem pembayaran yang dilakukan di wilayah RI, dan
kegiatan sistem pembayaran lain yang ditetapkan Bank
Indonesia. RUU SPPA ini tidak dimaksudkan untuk
mengatur penyelenggaraan kegiatan transfer dana,
kliring, dan penyelesaian akhir yang diselenggarakan oleh
Bank Indonesia, kegiatan penyediaan sistem yang hanya
digunakan untuk menfasilitasi instruksi pembayaran, dan
kegiatan penyediaan sistem yang hanya digunakan untuk
kepentingan pembayaran internal (in house payment).
Prinsip-Prinsip Dalam Sistem Pembayaran
Di dalam sistem pembayaran dikenal beberapa prinsip
umum, yaitu:
- Finality of Payment/Finality of Settlement yaitu dana
yang sudah diterima tidak dapat ditarik kembali atau
dibatalkan.
- Pengecualian Prinsip Zero Hour Rules 6 yaitu
pengaturan bahwa transaksi sistem pembayaran
atau transfer dana tetap harus dilaksanakan atau
diselesaikan sekalipun dalam kondisi kepailitan.
- Delivery Versus Payment (DVP) yaitu pengaturan
bahwa dalam hal transaksi menggunakan prinsip DVP
maka pihak yang telah menerima pembayaran wajib
untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak yang
telah melakukan pembayaran.
Masih sejalan dengan tujuan dan prinsip umum dalam
penyelenggaraan kegiatan sistem pembayaran, untuk
mewujudkan sistem pembayaran yang aman dan efisien
6 Prinsip Zero Hour Rules adalah prinsip dalam hukum kepailitan yang menetapkan bahwa semua transaksi yang dilakukan oleh pihak yang dinyatakan pailit dari pukul 00.00 pada tanggal dikeluarkannya penetapan pailit sampai dengan saat dikeluarkannya penetapan pailit dianggap batal dan tidak berlaku.
57Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
serta memastikan diterapkannya aspek perlindungan
kepada pengguna jasa. Dalam konsep RUU SPPA telah
ditetapkan 5 (lima) komponen sistem pembayaran yang
meliputi:
a. Aturan, merupakan kebijakan tertulis dalam bentuk
aturan dan kebijakan tidak tertulis;
b. Lembaga, merupakan cerminan kelembagaan dari
seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran baik
yang dilakukan oleh Bank Indonesia maupun pihak
selain Bank Indonesia. Pengertian pihak selain Bank
Indonesia dapat berupa bank, lembaga selain bank,
maupun asosiasi sistem pembayaran;
c. Mekanisme, merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan dalam penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran seperti kegiatan dalam suatu sistem
transfer, kliring dan penyelesaian akhir;
d. Alat Pembayaran, merupakan setiap instrumen
yang digunakan untuk memindahkan dana. Dalam
hal ini alat pembayaran yang dimaksud adalah alat
pembayaran non-tunai baik yang paper based seperti
Cek dan Bilyet Giro maupun instrumen pembayaran
elektronik seperti APMK dan uang elektronik; dan
e. Infrastruktur, merupakan setiap sarana dan prasarana
yang digunakan untuk memproses pemindahan dana
seperti EDC, mesin ATM, internet, mobile phone
dan delivery channel lainnya. Dalam pengertian
infrastruktur ini termasuk pula berbagai sistem dalam
rangka pemindahan dana seperti BI-RTGS dan SKNBI.
Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yang
digunakan untuk membentuk sistem dalam rangka
pemindahan dana yang aman dan efisien sebagai upaya
dalam mendukung stabilitas sistem keuangan dan
stabilitas moneter.
Pengembangan sistem pembayaran merupakan rangkaian
tugas dan/atau kegiatan dalam rangka memelihara
dan meningkatkan keamanan dan efisiensi sistem
pembayaran. Sistem pembayaran yang aman dan efisien
mutlak diperlukan dalam mendukung terciptanya
stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Kegiatan pengembangan sistem pembayaran meliputi:
- Kegiatan Penelitian dan Pengembangan;
- Kegiatan Pengaturan;
- Kegiatan Pemberian Perizinan;
- Kegiatan Penyelenggaraan;
- Kegiatan Pengawasan; dan
- Kegiatan Katalisasi dan Fasilitasi.
Prinsip kesetaraan akses dalam sistem pembayaran
merupakan dasar dari pengaturan penyelenggaraan
kegiatan jasa sistem pembayaran dan penyelesaian akhir.
Setiap pihak yang akan menyelenggarakan kegiatan jasa
sistem pembayaran harus dipastikan telah memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang.
Terkait dengan hal ini, otoritas mewajibkan penyelenggara
tersebut harus untuk menyelesaikan transaksi yang
dilakukannya, memitigasi risiko yang mungkin timbul,
menggunakan sistem yang aman, dan menerapkan aspek
perlindungan kepada pengguna jasa.
Sebagai muara dari seluruh transaksi pembayaran, dalam
UU SPPA akan diatur mengenai mekanisme penyelesaian
atas transaksi pembayaran, baik yang dilakukan secara
netting maupun individual.
UU SPPA ini juga akan memperkuat pengaturan mengenai
finality of payments. Dalam konsep finality of payments
diatur bahwa sistem transfer bersifat tidak dapat
dibatalkan dan final.
Perlindungan Pengguna Jasa Sistem Pembayaran
Fungsi perlindungan pengguna jasa sistem pembayaran
bertujuan untuk memberdayakan seluruh pengguna jasa
sistem pembayaran antara lain melalui pengaturan yang
komprehensif dalam bentuk peraturan Bank Indonesia,
penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan
nasabah, peningkatan transparansi informasi produk
sistem pembayaran, edukasi kepada pengguna jasa
sistem pembayaran, dan membentuk satuan kerja di Bank
Indonesia yang melaksanakan fungsi mediasi. Dengan
dibangunnya fungsi perlindungan pengguna jasa sistem
pembayaran yang lebih komprehensif diharapkan dapat
58 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
mempercepat terciptanya less cash society dan pada
akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap sistem pembayaran di Indonesia.
Hal-hal lain yang akan diatur dalam UU SPPA antara lain
pembentukan National Payment System Council (NPSC)
dan Self Regulatory Organization (SRO).
Hal lain yang perlu dimuat dasar hukum pengaturannya
dalam UU SPPA adalah pengenaan biaya terkait dengan
fungsi pengawasan oleh otoritas. Dalam Key Element for
a National Payment System Act yang digunakan sebagai
pedoman dalam pengaturan dan pengawasan sistem
pembayaran secara international best practice dijelaskan
bahwa otoritas berwenang untuk mengenakan biaya
dalam rangka pengawasan dan pengaturan serta dalam
rangka penyediaan layanan jasa sistem pembayaran dan
penyelesaian akhir terkait dengan penyediaan layanan
operasional dan infrastruktur.
Ketentuan Pidana
Pengaturan ketentuan pidana dalam RUU SPPA
dimaksudkan antara lain untuk menjaga agar
penyelenggara sistem pembayaran tetap mengutamakan
prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan
usahanya dan menutup celah terjadinya kejahatan dalam
kegiatan sistem pembayaran.
Dengan pengaturan yang komprehensif yang meliputi
berbagai aspek kegiatan sistem pembayaran dan
penyelesaian akhir, maka undang-undang ini diharapkan
memenuhi kebutuhan hukum dan kebutuhan masyarakat,
serta lebih memberikan jaminan kepastian hukum,
khususnya kepada industri sistem pembayaran dan
penyelesaian akhir.
59Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
Uang elektronik pertama kali diterbitkan di Indonesia
pada tahun 2007, namun sampai saat ini penggunaannya
masih belum signifikan dibanding instrumen non-tunai
lainnya walaupun disadari memiliki potensi yang cukup
besar, khususnya di sektor ritel dan transportasi. Kondisi
tersebut tentunya kurang menguntungkan bagi penerbit
maupun masyarakat pengguna uang elektronik. Untuk
mengetahui potensi penggunaan uang elektronik maka
dilakukan penelitian potensi uang elektronik di Jakarta
yang dapat dijadikan referensi dalam perumusan strategi
pengembangan uang elektronik di masa yang akan
datang.
Potensi Uang elektronik
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) tahun 2011, kebutuhan sehari-hari (makanan
dan minuman) menempati pangsa 51% serta transportasi
menempati pangsa 8% dari keseluruhan proporsi
pengeluaran rumah tangga dari makanan sampai bukan
makanan. Di sisi nilai kebutuhan sehari-hari di pasar ritel
modern mencapai Rp17 triliun.
Uang elektronik yang pada dasarnya ditujukan untuk
transaksi ritel memiliki potensi untuk digunakan dalam
bertransaksi untuk kebutuhan sehari-hari termasuk
makanan, minuman dan transportasi.
Berdasarkan hasil kajian mengenai potensi uang
elektronik di Jakarta pada 2012, diperoleh proyeksi bahwa
potensi penggunaan uang elektronik untuk kebutuhan
sehari-hari secara total adalah sebesar Rp24 triliun per
tahun yang terdiri atas Rp23,4 triliun di sektor transportasi
(TransJakarta, KRL, taksi, jalan tol, BBM dan parkir) dan
Rp600 miliar pada sektor makanan/minuman.
Potensi Uang Elektronik di Jakarta: Potensi Besar yang belum TergarapArtikel 1:
Potensi Uang Elektronik di Jakarta: Potensi Besar yang belum Tergarap
Jika melihat hal tersebut maka peran uang elektronik
dalam sistem pembayaran diarahkan dalam rangka
mengurangi penggunaan uang tunai dengan denominasi
≤ Rp50.000, hal tersebut diharapkan dapat menekan laju
penggunaan uang pecahan kecil sehingga Bank Indonesia
dapat mengefisienkan biaya pengadaan/pencetakan uang.
Kendala Pengembangan Uang Elektronik
1. Bisnis Model
Ekosistem uang elektronik di Indonesia saat ini terlihat
masih kurang produktif. Indikasi ini muncul dari
relatif terbatasnya sumber pendapatan bagi penerbit.
Salah satu keuntungan utama yang didapatkan
oleh penerbit adalah dari sisi non financial seperti
brand exposure dan customer retention, hal tersebut
akan mengakibatkan industri uang elektronik susah
berkembang.
Dalam ekosistem uang elektronik sekarang merchant
memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dibanding
penerbit. Hal tersebut dikarenakan selain harus
membangun seluruh infrastruktur, penerbit harus
membayar fee kepada merchant untuk setiap
transaksi. Bisnis model tersebut menyebabkan
penerbit menanggung beban investasi yang tinggi
tanpa mendapatkan keuntungan finansial. Disisi
lain floating fund yang dikelola oleh penerbit tidak
diperbolehkan untuk digunakan dalam investasi.
Adapun konsep ideal Bisnis model uang elektronik
adalah penerbit mendapatkan keuntungan fee per
transaksi dari merchant dan penempatan floating
fund.
60 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
2. Konsumen
Komposisi perilaku pembayaran oleh konsumen
menunjukkan bahwa sebagian besar masih
bertransaksi secara tunai. Tiga alasan utama
masyarakat belum menggunakan uang elektronik
adalah belum mengetahui atau belum mendengar
tentang uang elektronik, belum membutuhkan atau
tertarik serta belum mengetahui cara penggunaannya.
Untuk itu diperlukan strategi sosialisasi, edukasi
dan komunikasi kepada masyarakat untuk membuat
mereka lebih “aware” terhadap keberadaan uang
elektronik.
3. Kurang optimalnya industri Telekomunikasi sebagai
MFS (mobile financial services)
Penyebab kurang berkembangnya industri
telekomunikasi dalam sistem pembayaran
adalah (1) adanya kekhawatiran dan kepercayaan
kalangan perbankan terhadap kemampuan industri
telekomunikasi dalam pengelolaan di sektor finansial;
(2) dualisme peran industri telekomunikasi sebagai
kompetitor dan rekan penyedia jaringan, dan (3)
kebijakan Bank Indonesia yang belum mengakomodir
kebutuhan industri telekomunikasi.
Di sisi lain industri telekomunikasi memiliki
kemampuan untuk menjangkau masyarakat dengan
social economic terbawah yang mayoritas merupakan
unbanked people. Dengan sebaran infrastruktur yang
mencapai 90% wilayah di Indonesia serta kepemilikan
jumlah mobile phone yang menjangkau seluruh lapisan
masyarakat maka industri telekomunikasi berpotensi
besar dalam sistem pembayaran di Indonesia.
4. Tidak adanya Killer Sector dalam industri uang
elektronik
Belum ada “killer sector” yang dapat memaksa
konsumen untuk mengubah kebiasaan dalam
penggunaan uang elektronik. Sementara itu, beberapa
Negara lain menggunakan sektor transportasi sebagai
“killer sector” yang memaksa masyarakat untuk
menggunakan uang elektronik.
5. Regulasi
Dari sisi ketentuan terdapat dua hal yang perlu
disesuaikan guna mendukung perkembangan uang
elektronik yaitu (1) peruntukan dana float sehingga
dapat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi
bank, dan (2) kemudahan dalam penggunaan agen
sebagai tempat cash in dan cash out.
6. Interkoneksi
Belum saling terkoneksinya antara satu penerbit
dengan penerbit yang lain membuat konsumen
harus membawa banyak instrumen untuk melakukan
berbagai kegiatan transaksi. Di sisi lain hal tersebut
merupakan duplikasi investasi oleh penyelenggara
uang elektronik.
Strategi Pengembangan
Berdasarkan hasil penelitian tersebut beberapa strategi
yang harus dilakukan adalah:
a. Merubah ekosistem uang elektronik menjadi lebih
produktif;
b. Mendorong industri telekomunikasi untuk lebih
berperan dalam pengembangan sebagai MFS;
c. Mengeluarkan regulasi yang mendukung
perkembangan uang elektronik;
d. Bekerjasama dengan pihak terkait dalam rangka
meningkatkan penggunaan uang elektronik; dan
e. Melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat.
61Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
Dalam tahun 2012, Bank Indonesia melakukan
penyusunan kajian Model Mobile Financial Services (MFS)
yang sesuai untuk diterapkan dalam rangka program
Financial Inclusion (FI) untuk meningkatkan akses bagi
masyarakat yang kurang terjangkau layanan keuangan.
Akses terhadap layanan keuangan menjadi isu penting
beberapa tahun belakangan ini. Adapun tujuan FI
adalah untuk memberdayakan ekonomi dari kelompok
masyarakat tersebut. Salah satu faktor krusial penyebab
rendahnya akses masyarakat kepada layanan keuangan
di Indonesia adalah kondisi geografis yang berbentuk
kepulauan dan tersebar. Kondisi tersebut dan ditambah
dengan terbatasnya infrastruktur transportasi merupakan
kendala yang dihadapi bank dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat di daerah terpencil maupun
daerah pedesaan. Selain itu, skala ekonomis operasional
bank juga menjadi penyebab bank enggan memperluas
layanannya di daerah tersebut.
Salah satu best practice yang telah dikembangkan
dan dimanfaatkan untuk mendukung program FI
di beberapa negara adalah penggunaan teknologi
telepon genggam dan agen sebagai sarana yang dapat
menjangkau masyarakat hingga daerah terpencil,
dimana bank maupun institusi keuangan lainnya belum
dapat menjangkaunya. Penggunaan telepon genggam
yang sudah sangat luas di seluruh lapisan masyarakat
merupakan faktor yang mendukung digunakannya telepon
genggam untuk menjangkau masyarakat dalam program
FI. Demikian pula keberadaan agen yang banyak dan luas
hingga ke daerah terpencil juga membantu masyarakat
untuk dengan mudah mengakses berbagai layanan
keuangan.
Artikel 2:
Mobile Financial Services dalam rangka Mendukung Financial Inclusion
Salah satu best practice model yang dikembangkan
dan dimanfaatkan untuk menyukseskan program FI di
beberapa negara adalah melalui Branchless Banking.
Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia sedang
mengkaji kemungkinan penerapan model Branchless
Banking. Branchless Banking yaitu penyediaan layanan
perbankan tanpa adanya kehadiran fisik dari kantor
bank. Kemajuan teknologi serta keterbatasan dari bank
untuk membuka kantor cabang di berbagai daerah
terpencil merupakan latar belakang munculnya konsep
Branchless Banking. Dengan kemajuan teknologi yang
semakin pesat menciptakan banyak alternatif delivery
channel yang dapat digunakan untuk mengakomodasi
kebutuhan masyarakat terhadap sistem perbankan.
Dengan konsep Branchless Banking, masyarakat tidak
perlu lagi bergantung pada “Bank” secara fisik, melainkan
dapat memanfaatkan alternatif delivery channel dengan
kapabilitas konsep baru ini antara lain EDC, mobile wallet,
dan mobile banking.
Jika dilihat secara lebih luas, FI tidak hanya dilakukan
melalui branchless banking saja yang pada umumnya
bank sebagai pelaku utama di samping adanya pelaku lain
seperti perusahaan telekomunikasi sebagaimana yang
terjadi di Kenya. Salah satu keunggulan kompetitif dari
perusahaan telekomunikasi adalah mempunyai database
nasabah sangat besar dan coverage yang luas, sehingga
hal tersebut dapat menjadi faktor pendukung suksesnya
pelaksanaan FI, melalui produk e-money server-based
yang diterbitkan oleh perusahaan telekomunikasi.
Berdasarkan model yang diterapkan di berbagai negara,
seperti Kenya, Afrika Selatan, dan Filipina, terdapat 3
model layanan yang menggunakan teknologi telepon
62 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 5 Arah Kebijakan dan PengembanganSistem Pembayaran ke Depan
genggam dan agen yang dikenal sebagai mobile financial
services (MFS), yaitu Bank-led Model, Mobile Network
Operator (MNO)-led Model, dan Hybrid Model. Adapun
masing-masing karakteristik dari model tersebut adalah:
- Bank-led Model, yaitu Mobile chanel hanya merupakan
saluran akses untuk banking services
- Non Bank Model (MNO-led), yaitu Service didistribusi
dan dikelola oleh operator dengan lisensi dan merek
milik sendiri
- Hybrid Model (Joint Venture) yaitu Bank dan operator
memanfaatkan keunggulan masing- masing pihak
Masing-masing model tersebut memiliki kelebihan
dan kelemahannya masing-masing. Di negara-negara
berkembang seperti Kenya dan Filipina, konsep MNO-
led berhasil diterapkan. Untuk negara yang relatif lebih
maju, seperti Afrika Selatan berhasil dengan model
Bank-led. Pada dasarnya baik bank dan MNO mempunyai
peranan yang sedikit berbeda jika digunakan dalam
pengembangan FI, yaitu:
Bentuk kerjasama yang paling optimal adalah dengan
melakukan sinergi dimana bank dan perusahaan
telekomunikasi sama-sama menyediakan layanan yang
dapat saling terintegrasi. Bentuk-bentuk sinergi yang
dapat dilakukan antara lain:
������������������������������������������������������������������������������
�����������������������������������������������������������
����������������������������������������������������������������������������������������
����������������������������������������������������
������������������������������������������������������������������
������������������������������������������������������
Dalam upaya pencapaian tersebut, perlu diselesaikan
beberapa isu yang ada, antara lain sinergi antara bank dan
perusahaan telekomunikasi termasuk business model yang
tepat, edukasi kepada masyarakat, eksklusivitas antara
bank maupun perusahaan telekomunikasi, pengaturan
yang mendukung, serta koordinasi antar otoritas seperti
BI, OJK, Kemenkominfo, dan lainnya.
Masing-masing institusi tersebut mempunyai peran
dan keunggulan masing-masing yang jika disinergikan
akan memberikan manfaat yang lebih optimal.
Berdasarkan pertimbangan kondisi geografis Indonesia
yang sangat luas dan keberadaan jaringan bank yang
terbatas dibandingkan dengan jaringan perusahaan
telekomunikasi, model yang dianggap paling sesuai adalah
Hybrid Model. Model ini merupakan sinergi antara bank
dan perusahaan telekomunikasi.
���������� ������������������������������
����������������������������
����������������������
������������������������������������������������
�������������������
��������������
��������������������������������������������������������������
�������������������������������������
63Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 6 Sekilas Pengelolaan Uang
BAGIAN 2
PENGELOLAAN UANG
Bab 6 Sekilas Pengelolaan Uang
64 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Menjamin ketersediaan uang Rupiah layak edar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memenuhi amanat Undang-Undang Mata Uang
Dalam delapan tahun terakhir, Indonesia merupakan
salah satu negara yang mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi tertinggi dan paling stabil di dunia. Daya tahan
perekonomian Indonesia yang didukung oleh lingkungan
makro dan sistem keuangan yang terjaga kondusif dan
stabil mendorong perekonomian tumbuh dengan rata-rata
di atas enam persen per tahun. Adapun pada tahun 2012,
tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh
kenaikan kontribusi permintaan domestik yang terjadi di
tengah pelemahan kinerja eksternal.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan stabil
tersebut perlu dukungan ketersediaan uang kartal agar
tetap terjaga kelancaran aktivitas transaksi pembayaran
tunai masyarakat. Perkembangan tersebut direspon oleh
Bank Indonesia dengan senantiasa menjaga ketersediaan
uang rupiah layak edar baik secara nominal maupun jenis
pecahan di seluruh wilayah NKRI.
Ketersediaan uang rupiah layak edar tersebut tercermin
oleh jumlah dan laju pertumbuhan uang kartal yang
diedarkan (UYD) maupun aliran uang kartal yang keluar
dari Bank Indonesia ke perbankan dan masyarakat
(outflow) dan aliran uang kartal yang masuk melalui Bank
Indonesia.
Jumlah rata-rata harian UYD pada tahun 2012 mencapai
Rp370,61 triliun, tumbuh 15,68% dibandingkan tahun
sebelumnya sebesar Rp320,37 triliun. Peningkatan UYD
tersebut terutama digunakan untuk keperluan konsumsi
rumah tangga. Meningkatnya UYD tersebut dikonfirmasi
pula dengan adanya tambahan kebutuhan uang kartal
masyarakat sepanjang tahun 2012 sebesar Rp63,29 triliun,
atau meningkat 16,80% dibandingkan tahun sebelumnya
sebesar Rp54,19 triliun.
Pasca penerapan kebijakan penyetoran dan penarikan
uang oleh bank umum di Bank Indonesia pada bulan April
2011, pertumbuhan outflow dan inflow pada tahun 2012
masih cenderung tinggi meskipun masih lebih rendah
dari pertumbuhan tahun 2011. Pertumbuhan outflow
pada tahun 2012 mencapai 23,6% sementara inflow naik
24,8%. Merespon kenaikan jumlah outflow tersebut,
Bank Indonesia menerapkan kebijakan penguatan strategi
distribusi uang untuk memenuhi ketersediaan uang kartal
layak edar secara merata hingga ke wilayah terpencil dan
terdepan NKRI.
Sementara itu, guna menjaga kualitas uang yang beredar
di masyarakat dalam kondisi layak edar, Bank Indonesia
melakukan kegiatan pemusnahan uang tidak layak edar
yang masuk kembali dari perbankan dan masyarakat ke
Bank Indonesia. Jumlah uang rupiah kertas tidak layak
edar yang dimusnahkan Bank Indonesia selama tahun
2012 mencapai 3,82 miliar lembar dalam berbagai
pecahan.
6.1. Isu Strategis dan Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Kinerja positif perekonomian Indonesia pada tahun 2012
berlangsung ditengah melambatnya kondisi ekonomi
global. Pencapaian ini memerlukan ketersediaan alat
Sekilas Pengelolaan Uang
Bab 6
65Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 6 Sekilas Pengelolaan Uang
pembayaran dalam mendukung kelancaran aktivitas
perekonomian domestik.
Dari sisi alat pembayaran tunai, peningkatan aktivitas
ekonomi domestik khususnya konsumsi rumah tangga
mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan uang
kartal di masyarakat. Sesuai dengan tugasnya untuk
menjaga kelancaran sistem pembayaran, kebutuhan uang
kartal yang meningkat tentunya harus didukung dengan
ketersediaan uang kartal dari Bank Indonesia sebagai satu-
satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan
dan mengedarkan uang rupiah.
Mewujudkan hal tersebut, kebijakan Bank Indonesia
sepanjang tahun 2012 diarahkan untuk memenuhi
misinya di bidang pengelolaan uang yakni memenuhi
kebutuhan uang rupiah masyarakat dalam jumlah yang
cukup, pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam
kondisi layak edar. Kebijakan tersebut ditempuh dengan
memperhatikan perkembangan beberapa indikator
ekonomi makro baik nasional maupun masing-masing
daerah yang berimplikasi langsung terhadap kebutuhan
uang kartal masyarakat maupun isu-isu strategis yang
berkembang dalam aktivitas pengelolaan uang yang
dilakukan Bank Indonesia.
Sementara itu, perkembangan berbagai isu strategis
dalam aktivitas pengelolaan uang menjadi tantangan
tersendiri bagi Bank Indonesia yang harus disikapi
dengan respon kebijakan yang tepat. Masih kentalnya
budaya masyarakat untuk memegang fisik uang dan
melakukan transaksi pembayaran secara tunai, belum
memadainya ketersediaan uang kartal layak edar di
seluruh wilayah NKRI, serta perlunya peningkatan kualitas
dan penyempurnaan unsur pengaman pada uang rupiah
untuk melindungi uang rupiah dari upaya pemalsuan
serta agar mudah dikenali ciri keasliannya, merupakan
isu-isu strategis yang harus disikapi oleh Bank Indonesia.
Disamping itu, upaya untuk meningkatkan keterlibatan
pihak lain di luar bank sentral dalam kegiatan pengelolaan
uang rupiah turutpula menjadi isu yang mendapatkan
perhatian khusus dan mendasari pengambilan kebijakan
Bank Indonesia di bidang pengelolaan uang.
Demikian pula dengan diberlakukannya UU Mata Uang
pada tanggal 28 Juni 2011 menjadi faktor penting yang
mendasari pengambilan kebijakan Bank Indonesia
di bidang pengelolaan uang sepanjang tahun 2012.
Diberlakukannya UU Mata Uang yang mengamanatkan
agar Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah
dalam berbagai hal, berimplikasi luas pada kegiatan
pengelolaan uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia
yang meliputi kegiatan perencanaan, pencetakan,
pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan
serta pemusnahan uang rupiah.Penambahan fungsi
baru pada kegiatan perencanaan, pencetakan dan
pemusnahan uang rupiah menuntut adanya penyesuaian
mekanisme dan alur kerja yang mengakomodir koordinasi
Bank Indonesia dengan Pemerintah. Disamping itu,
penambahan fungsi baru tersebut juga mengharuskan
Bank Indonesia untuk melakukan penguatan fungsi yang
telah ada dalam hal penanggulangan uang rupiah palsu
bersama dengan Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah
Palsu (BOTASUPAL).
Memperhatikan perkembangan ekonomi makro, berbagai
isu startegis dan implementasi UU Mata Uang, kebijakan
pengelolaan uang rupiah selama tahun 2012 dilakukan
dengan mengacu pada tiga pilar kebijakan yaitu i)
Tersedianya Uang Rupiah yang Berkualitas; ii) Distribusi
dan Pengolahan Uang Rupiah yang Aman dan Terpercaya;
dan iii) Layanan Kas Prima. Berbagai kebijakan yang
ditempuh selama tahun 2012 selain dimaksudkan untuk
memenuhi misi Bank Indonesia di bidang pengelolaan
uang, juga berkontribusi meningkatkan efisiensi
manajemen kas perbankan maupun efisiensi kegiatan
cash processing di Bank Indonesia.
6.2. Arah Kebijakan ke Depan
Ekonomi Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan akan
tumbuh lebih tinggi mencapai kisaran 6,3%-6,8%. Hal ini
sejalan dengan peningkatan kinerja ekonomi global yang
diperkirakan mengalami peningkatan secara gradual.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 ini
masih disumbang oleh permintaan domestik. Selain itu,
persiapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan legislatif
pada tahun 2014 juga akan mendorong kebutuhan
Bab 6 Sekilas Pengelolaan Uang
66 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
uang kartal tumbuh ke arah yang lebih tinggi. Perkiraan
pertumbuhan kebutuhan uang yang cukup tinggi ini
menjadi pijakan bagi penetapan arah kebijakan dan
rencana pengembangan di bidang pengelolaan uang pada
tahun 2013.
Disamping pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
peta strategi dan arah kebijakan Bank Indonesia ke depan
juga dipengaruhi oleh berbagai lingkungan strategis
Bank Indonesia. Amandemen UU Bank Indonesia,
pengesahan UU lainnya seperti UU Mata Uang dan RUU
terkait, maupun isu-isu strategis yang berkembang di
dunia internasional, nasional, regional serta internal
Bank Indonesia, menjadi lingkungan strategis yang turut
mempengaruhi kebijakan Bank Indonesia pada tahun
2013.
Menghadapi perkembangan ini, kebijakan pengelolaan
uang ke depan diarahkan untuk memperkuat manajemen
persediaan dan fungsi layanan uang kartal, disamping
meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan distribusi
uang yang telah dijalankan selama ini. Kebijakan-kebijakan
tersebut diambil dengan tetap memperhatikan amanat
UU Mata Uang maupun perkembangan lainnya.
67Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi pada tahun 2012 (6,23%) dan laju inflasi yang terkendali pada tingkat yang rendah (4,3%) terutama ditopang oleh naiknya permintaan domestik.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi serta berbagai kebijakan pengelolaan uang rupiah yang ditempuh Bank Indonesia, beberapa indikator utama pengelolaan uang rupiah yaitu uang kartal yang diedarkan (UYD) dan aliran uang kartal melalui Bank Indonesia juga mengalami peningkatan.
Kinerja perekonomian domestik yang meningkat pada
tahun 2012 perlu mendapat dukungan ketersediaan uang
kartal sebagai salah satu alat pembayaran di masyarakat.
Peran penting uang kartal tersebut tercermin dari
peningkatan beberapa indikator utama pengelolaan uang
yaitu uang kartal yang diedarkan (UYD) dan aliran uang
kartal melalui Bank Indonesia.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi,
jumlah UYD terus mengalami peningkatan. Rata-rata
harian UYD naik dari Rp320,37 triliun pada tahun
sebelumnya menjadi Rp370,61 triliun pada tahun
2012 atau meningkat 15,68%. Hal ini mengindikasikan
adanya peningkatan kebutuhan uang kartal sebagai
alat pembayaran tunai di masyarakat. Peningkatan ini
dikonfirmasi pula dengan tambahan kebutuhan uang
kartal (net outflow) sepanjang tahun 2012 sebesar
Rp63,29 triliun atau meningkat 16,80% dibandingkan
tahun sebelumnya sebesar Rp54,19 triliun.
Sejalan dengan perkembangan UYD, rasio UYD terhadap
konsumsi masyarakat khususnya rumah tangga juga
mengalami peningkatan. Rasio UYD terhadap konsumsi
masyarakat pada tahun 2012 mencapai 33,64%, naik
dibanding tahun sebelumnya dengan rasio sebesar
31,97%. Kenaikan rasio ini mengindikasikan bahwa
ditengah beragamnya pilihan alat pembayaran yang
tersedia di masyarakat, uang kartal masih tetap menjadi
salah satu pilihan utama masyarakat, khususnya rumah
tangga, dalam membiayai aktivitas konsumsinya.
Disisi lain, perkembangan pangsa UYD di perbankan
selama tahun 2012 masih melanjutkan tren penurunan
pada tahun sebelumnya. Pangsa UYD di perbankan
tercatat sebesar 15,50%, turun dari tahun 2011 dengan
pangsa sebesar 15,76%. Tren penurunan pangsa UYD di
perbankan ini didorong oleh penerapan penyempurnaan
ketentuan penyetoran dan penarikan uang rupiah
oleh bank umum di Bank Indonesia yang mulai
diberlakukan pada bulan April 2011. Sebelum penerapan
penyempurnaan ketentuan tersebut, pangsa UYD di
perbankan berada di kisaran 16,00%. Kecenderungan
penurunan pangsa UYD di perbankan memperlihatkan
semakin efisiennya cash management di perbankan serta
makin optimalnya transaksi uang kartal antar bank dalam
memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan.
Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalam Mendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Bab 7
68 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Grafik 7.2 Pertumbuhan UYD, Konsumsi RT,Rasio UYD terhadap Konsumsi RT
Grafik 7.1Pertumbuhan UYD, PDB dan Inflasi
Sementara itu, pasca penerapan penyempurnaan
ketentuan penyetoran dan penarikan uang rupiah oleh
bank umum di Bank Indonesia, laju pertumbuhan jumlah
aliran uang kartal yang keluar (outflow) dan masuk
(inflow) melalui Bank Indonesia pada tahun 2012 turun
dibanding tahun sebelumnya. Jumlah outflow dan inflow
masing-masing tumbuh sebesar 23,57% dan 24,82%,
menurun dibandingkan pertumbuhan tahun 2011 sebesar
40,55% dan 39,06%. Penurunan tersebut merupakan
dampak penyempurnaan ketentuan sehingga penggunaan
uang kartal lebih optimal yang pada gilirannya dapat
meningkatkan efisiensi baik bagi perbankan maupun Bank
Indonesia.
7.1. Uang Kartal yang Diedarkan (UYD)
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi,
jumlahuang kartal yang diedarkan (UYD) terus meningkat
(Grafik 7.1).
Posisi dan rata-rata UYD pada tahun 2012 mengalami
peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Posisi UYD
pada akhir tahun 2012 mencapai sebesar Rp439,72
triliun atau meningkat 17,90% dibandingkan posisi pada
akhir periode sebelumnya sebesar Rp 372,97 triliun.
Secara rata-rata harian, jumlah UYD sepanjang tahun
2012 mencapai Rp370,61 triliun, naik 15,68% dibanding
tahun sebelumnya. Meskipun meningkat cukup tinggi,
Tabel 7.1Rata-rata UYD dan Posisi UYD
Periode
UYD Rata-rata (Triliun) 318,58 372,97 439,72
Pertumbuhan (yoy) 14,17% 17,08% 17,90%
Posisi UYD Akhir Th. (Triliun) 273,96 320,37 370,61
Pertumbuhan (yoy) 12,10% 16,94% 15,68%
2010 2011 2012
pertumbuhan rata-rata UYD tersebut masih lebih rendah
dibanding tahun sebelumnya sebesar 16,94% (Tabel 7.1).
Namun demikian, laju pertumbuhan rata-rata UYD pada
tahun 2012 tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah
tangga. Pada tahun 2012, pertumbuhan pengeluaran
konsumsi rumah tangga sebesar 10,58% atau lebih rendah
dibanding pertumbuhan rata-rata UYD sebesar 15,68%.
Dengan perkembangan tersebut, rasio UYD terhadap
konsumsi rumah tangga meningkat dari sebesar 31,97%
pada tahun 2011 menjadi sebesar 33,64%. Perkembangan
rasio UYD serta laju pertumbuhan UYD yang cukup tinggi
selama tahun 2012 mengindikasikan peranan penting
uang kartal sebagai alat pembayaran di masyarakat (Grafik
7.2).
Ditengah pertumbuhan UYD yang cukup tinggi selama
tahun 2012, dinamika perkembangan UYD tidak dapat
dilepaskan dari pola musimannya. Sebagaimana tahun-
��� ��� �������
��������� ������������������
� �� ��� �� � �� ��� �� � �� ��� ������ ���� ����
�
�
�
�
�
��
��
��
��
��
��
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�������
��������������������������
����������������������������
������������������
��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������� ���� ����
��
��
��
��
��
��
��
�
�
69Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Grafik 7.3Perkembangan Posisi UYD
tahun sebelumnya, pola musiman tersebut ditandai
dengan kenaikan jumlah UYD secara signifikan pada
periode Hari Raya Keagamaan yaitu Ramadhan dan Idul
Fitri, Natal dan akhir tahun maupun Hari Raya Imlek; serta
periode liburan sekolah dan tahun ajaran baru.
Pada tahun 2012, pengaruh pola musiman terhadap
jumlah UYD tercermin dari posisi UYD pada pekan terakhir
menjelang Hari Raya Idul Fitri maupun posisi UYD pada
akhir bulan Desember 2012 bersamaan dengan Natal
dan akhir tahun, yang masing-masing tercatat sebesar
Rp442,59 triliun dan Rp439,72 triliun. Posisi UYD pada
pekan terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri tersebut
(tanggal 16 Agustus 2012) merupakan posisi UYD tertinggi
sepanjang tahun 2012. Sedangkan posisi UYD terendah
terjadi pada tanggal 24 Maret 2012 sebesar Rp329,03
triliun (Grafik 7.3).
Pengaruh pola musiman tersebut juga tercermin dari
tingginya rata-rata UYD selama bulan Agustus dan
Desember 2012 atau selama periode Ramadhan dan Idul
Fitri serta periode Natal dan akhir tahun.Rata-rata UYD
bulananpada periode tersebut masing-masing mencapai
sebesar Rp420,85 triliun dan Rp411,15 triliun (Grafik 7.4).
Pola musiman juga mempengaruhi perkembangan
pangsa UYD di perbankan. Antisipasi perbankan terhadap
peningkatan kebutuhan uang kartal nasabahnya selama
Grafik 7.4Perkembangan Rata-rata UYD Bulanan
periode Ramadhan dan Idul Fitri, maupun selama
periode Natal dan akhir tahun 2012 berdampak pada
meningkatnya pangsa UYD perbankan pada periode
tersebut.
Pangsa UYD perbankan pada bulan Agustus dan
September 2012 atau selama periode Ramadhan dan
Idul Fitri masing-masing tercatat sebesar 17,98% dan
16,19%. Sementara pangsa UYD di perbankan pada bulan
Desember 2012 bersamaan dengan Natal dan akhir tahun
2012 mencapai 15,71%, lebih tinggi dibanding pangsa
bulan Oktober dan November 2012 yang mencapai
14,65% dan 15,34%.
Sepanjang tahun 2012, rata-rata pangsa UYD di
perbankan mencapai 15,50%, sedikit lebih rendah
dibanding tahun sebelumnya dengan pangsa sebesar
15,76%. Tren penurunan pangsa UYD di perbankan
ini masih merupakan kelanjutan dari tren penurunan
tahun sebelumnya, sebagai dampak dari penerapan
penyempurnaan ketentuan penyetoran dan penarikan
uang rupiah oleh bank umum di Bank Indonesia yang
mulai diberlakukan pada bulan April 2011. Pasca
penerapan ketentuan tersebut, pangsa rata-rata UYD
di perbankan turun ke kisaran 15,00%. Sementara
sebelumnya,rata-rata pangsa UYD perbankan berada di
atas kisaran 16,00% (Grafik 7.5).
����������
���� ���� ����
���
���
���
���
��������
����
�����
�����
�����
�����
�����
�����
�����
�����
����
����
����
����
���
���
���
���
���
���
�����������
��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���
���� ���� ����
70 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Januari 81,40% 18,60% 81,94% 18,75% 83,75% 16,25%Februari 83,14% 16,86% 83,08% 16,92% 84,96% 15,04%Maret 83,30% 16,70% 84,50% 15,50% 85,20% 14,80%April 83,90% 16,10% 84,93% 15,07% 85,27% 14,73%Mei 84,52% 15,48% 85,23% 14,77% 85,06% 14,94%Juni 84,83% 15,17% 85,50% 14,50% 85,48% 14,52%Juli 83,98% 16,02% 84,88% 15,12% 84,39% 15,61%Ags 83,58% 16,42% 83,92% 16,08% 82,02% 17,98%Sep 80,09% 19,91% 81,55% 18,45% 83,81% 16,19% Okt 83,00% 17,00% 85,04% 14,96% 85,35% 14,65%Nov 84,43% 15,57% 85,16% 14,84% 84,66% 15,34%Des 84,18% 15,82% 84,94% 15,06% 84,29% 15,71%Tahunan 83,37% 16,63% 84,24% 15,76% 84,50% 15,50%
Penurunan pangsa UYD di perbankan yang terjadi selama
tahun 2012 diikuti dengan peningkatan pangsa UYD
di masyarakat. Pangsa UYD di masyarakat mengalami
peningkatan dari sebesar 84,24% pada tahun 2011
menjadi sebesar 84,50% (Tabel 7.2).
Secara nominal, rata-rata UYD di perbankan dan
masyarakat mengalami peningkatan sejalan dengan
kenaikan jumlah UYD secara keseluruhan. Rata-rata UYD
di perbankan dan masyarakat selama tahun 2012 masing-
masing tercatat sebesar Rp57,46 triliun dan Rp313,15
triliun, meningkat dari UYD pada tahun sebelumnya yakni
di perbankan sebesar Rp50,51 triliun dan di masyarakat
sebesar Rp269,87 triliun.
Berdasarkan nilai nominal, komposisi UYD per pecahan
didominasi oleh uang rupiah pecahan besar (UPB) atau
pecahan Rp20.000 ke atas. Sementara berdasarkan
jumlah bilyet/keping, sebagian besar UYD merupakan
uang rupiah pecahan kecil (UPK) atau pecahan Rp10.000
ke bawah.
Pangsa UPB pada tahun 2012 mencapai 93,19% dari
total UYD dengan komposisi pangsa pecahan Rp100.000,
Rp50.000, dan Rp20.000 masing-masing sebesar 60,65%;
30,11%; dan 2,43% (Grafik 7.6).
Peningkatan UYD dan pangsa UYD yang didominasi oleh
UPB ini sejalan dengan meningkatnya nilai transaksi
kartu ATM dan kartu ATM/Debet yang pada tahun 2012
tumbuh sebesar 23,32%, yakni dari Rp2,48 ribu triliun
pada tahun 2011 menjadi Rp3,05 ribu triliun pada tahun
2012. Penggunaan kartu ATM dan kartu ATM/Debet masih
didominasi untuk transaksi tarik tunai, dibandingkan
untuk transaksi pembelanjaan dan transfer.
Sementara itu, berdasarkan jumlah lembar/keping, pangsa
UPB pada tahun 2012 mencapai 21,35% dari jumlah
lembar/keping UYD. Pangsa lembar/keping pecahan
Rp100.000, Rp50.000 dan Rp20.000 masing-masing
tercatatsebesar 9,74%, 9,67% dan 1,95% (Grafik 7.7).
Disisi lain, perkembangan komposisi UYD per pecahan
selama beberapa tahun terakhir memperlihatkan
Grafik 7.5Perkembangan Pangsa UYD di Perbankan
Grafik 7.6Pangsa UYD Berdasarkan Nominal
Tabel 7.2.Pangsa UYD di Bank dan Masyarakat
Periode 2010 2011 2012
Masy Masy MasyBank Bank Bank
���� ���� ����
�
��
��
��
��
��
��
����� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���
������
������
����������
������
������
����������
������
������
����������
����������� ������ ������ �������
�
���
��
��
��
��
�
���� ���� ����
71Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Grafik 7.7Pangsa UYD Berdasarkan Bilyet/Keping
kecenderungan peningkatan pangsa UYD pecahan
Rp100.000 secara nominal. Peningkatan ini diikuti dengan
penurunan pangsa pecahan Rp50.000, sedangkan
pangsa pecahan lainnya relatif tidak berubah. Hal
ini mengindikasikan semakin tingginya kebutuhan
masyarakat dan perbankan terhadap uang rupiah pecahan
terbesar dalam aktivitas transaksinya.
Secara keseluruhan, pangsa uang rupiah kertas (UK) dan
uang rupiah logam (UL) yang diedarkan pada tahun 2012
relatif tidak mengalami perubahan. Pangsa UK pada
akhir tahun 2012 mencapai 99,00% dari total UYD, tidak
berubah dari pangsa tahun sebelumnya.
7.2. Perkembangan Aliran Uang Kartal melalui Bank Indonesia
Sejalan dengan peningkatan jumlah UYD, aliran uang
kartal melalui Bank Indonesia, baik aliran uang kartal yang
keluar ke perbankan dan masyarakat (outflow), maupun
aliran uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia (inflow)
juga mengalami peningkatan. Kenaikan tersebut diikuti
dengan pola fluktuasi yang relatif sama dengan pola tahun
sebelumnya yang juga mencerminkan pola musimannya.
Pada tahun 2012, jumlah outflow meningkat 23,57%
dari tahun sebelumnya, yakni dari Rp347,62 triliun
menjadi Rp429,55 triliun. Sementara jumlah inflow
mecapai Rp366,26 triliun, naik 24,82% dibanding tahun
sebelumnya yang mencapai Rp293,42 triliun.
Meskipun naik cukup tinggi, pertumbuhan jumlah aliran
uang kartal melalui Bank Indonesia selama tahun 2012
masih lebih rendah dibanding pertumbuhan tahun
sebelumnya. Pada tahun 2011, outflow dan inflow masing-
masing tumbuh sebesar 40,55% dan 39,06%, atau tercatat
sebagai pertumbuhan tertinggi selama 10 tahun terakhir.
Perkembangan ini tidak terlepas dari kebijakan Bank
Indonesia untuk terus mendorong perbankan melakukan
optimalisasi Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB)
dalam memenuhi kebutuhan likuiditas mereka.
Berdasarkan penggunaannya, sebagian besar uang
kartal yang keluar dari Bank Indonesia ditujukan untuk
memenuhi penarikan perbankan. Pangsa penarikan bank
selama tahun 2012 mencapai 95,2% dari total outflow,
sedikit lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya sebesar
94,9%. Sementara itu, uang kartal yang keluar dari Bank
Indonesia juga digunakan untuk memenuhi kegiatan
layanan kas lainnya seperti pembayaran non-bank,
penukaran uang, kas keliling, dan kas titipan.
Di tengah peningkatan jumlah outflow dan inflow,
pemenuhan kebutuhan uang kartal masyarakat selama
tahun 2012 tidak mengalami hambatan yang berarti.
Melalui berbagai kebijakan yang dijalankan, Bank
Indonesia dapat memenuhi kebutuhan uang kartal
masyarakat termasuk pada saat terjadinya peningkatan
kebutuhan uang kartal secara signifikan seperti pada
periode Hari Raya Keagamaan dan akhir tahun.
Sepanjang tahun 2012, jumlah outflow menunjukkan pola
yang meningkat setiap triwulannya.Pada tahun 2012,
jumlah outflow tertinggi terjadi pada triwulan IV dan III
dengan jumlah masing-masing sebesar Rp133,57 triliun
dan Rp125,05 triliun. Secara musiman, tingginya jumlah
outflow uang kartal pada periode tersebut sebagian
besar dipengaruhi oleh kenaikan kebutuhan uang kartal
masyarakat untuk keperluan transaksi pada periode
Ramadhan dan Idul Fitri yang terjadi pada akhir bulan
Agustus, serta untuk kebutuhan Natal dan akhir tahun
(Grafik 7.8).
�
����������� ������ ������ �������
���� ���� ����
���������������
������
�����
�����������
������
�����
����������
������
���
��
��
��
��
�
72 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Berdasarkan pecahan, pangsa outflow UPB sedikit
meningkat dari 95,02% pada tahun 2011 menjadi
sebesar 95,51%. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya,
pangsa nominal pecahan Rp100.000 terus mengalami
peningkatan, sedangkan pecahan lainnya menunjukkan
kecenderungan menurun. Pangsa pecahan Rp100.000
pada tahun 2012 mencapai 57,80% dari total outflow,
lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya sebesar 51,08%
(Grafik 7.9). Hal ini mengindikasikan tingginya kebutuhan
akan ketersediaan uang rupiah pecahan terbesar dalam
aktivitas transaksi masyarakat.
Berdasarkan sebaran wilayah, pangsa outflow terbesar
pada tahun 2012 terjadi di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia (KPBI) yang meliputi Jakarta dan
BODETABEK sebesar 31,77%. Kemudian diikuti oleh
wilayah kerja Kantor Perwakilan Dalam Negeri (KPw DN)
Bank Indonesia yang berada di Pulau Jawa (Jawa Non-KP)
dengan pangsa sebesar 25,93% dari total outflow (Grafik
7.10).
Dinamika perkembangan jumlah inflow pada tahun 2012
tetap memperlihatkan pola yang sama dengan pola dua
tahun sebelumnya, dimana jumlah inflow turun pada
Grafik 7.8Perkembangan Jumlah Outflow
Grafik 7.9Pangsa Outflow Berdasarkan Pecahan
Grafik 7.10 Pangsa Outflow Berdasarkan Sebaran Wilayah
Grafik 7.11 Perkembangan Jumlah Inflow
���� ���� ����
���
���
��
��
��
������ ����� ����� ������
�����������
��
���
���
���
���
����
������ ����� ����� ������
������ ������������
������ ������������
����� ����� ���������� ����� �����
���� ���� ����
�������� ���������� ��������
������� ����������� ����
������ ������ ������
������������
�����������
����������
������������ ������
����� ����� �����
������ ������ ������
���� ���� ������
���
���
���
���
����
�����������
����� ����� ����� �����
���� ���� ����
�
��
��
��
���
���
73Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Indonesia di Pulau Jawa serta di wilayah kerja KPBI yang
meliputi Jakarta dan BODETABEK. Sebaran inflow di kedua
wilayah tersebut mencapai 43,82% dan 20,93% dari total
inflow (Grafik 7.13).
Perkembangan aliran uang kartal melalui Bank Indonesia
sepanjang tahun 2012 ditandai dengan jumlah outflow
yang lebih tinggi dibandingkan dengan inflow. Hal ini
menyebabkan aliran uang kartal melalui Bank Indonesia
mengalami net outflow sebesar Rp63,29 triliun atau
meningkat 16,80% dibanding tahun 2011 dengan net
outflow uang kartal sebesar Rp54,19 triliun (Grafik 7.14).
triwulan II, meningkat pada triwulan III dan kembali turun
pada triwulan IV. Jumlah inflow tertinggi selama tahun
2012 terjadi pada triwulan III sebesar Rp115,58 triliun
yang dipengaruhi oleh pola musiman yaitu arus balik uang
kartal pasca Ramadhan dan Idul Fitri. Kelebihan likuiditas
perbankan pasca arus balik uang kartal dari masyarakat
ini mengakibatkan meningkatnya jumlah setoran uang
kartal dari perbankan ke Bank Indonesia dan mendorong
kenaikan jumlah inflow ke titik tertinggi sepanjang tahun
2012 (Grafik 7.11).
Tidak jauh berbeda dengan kondisi outflow, sebagian
besar inflow selama tahun 2012 merupakan UPB dengan
pangsa sebesar 95,59% dari total inflow, meningkat
dibanding tahun sebelumnya dengan pangsa sebesar
94,77%.
Sejalan dengan pola perkembangan outflow, pangsa
inflow pecahan Rp100.000 terus mengalami peningkatan
sedangkan pecahan lainnya menunjukkan kecenderungan
menurun. Pangsa pecahan Rp100.000 mencapai 52,04%
dari total inflow tahun 2012, lebih tinggi dibanding tahun
sebelumnya sebesar 47,25%. Adapun pangsa pecahan
Rp50.000, Rp20.000 dan Rp10.000 ke bawah turun dari
tahun sebelumnya dengan pangsa masing-masing sebesar
41,25%, 2,30% dan 4,41% (Grafik 7.12).
Berdasarkan sebaran wilayah, pangsa inflow terbesar
pada tahun 2012 terjadi di wilayah kerja KPw DN Bank
Grafik 7.12 Perkembangan Inflow Berdasarkan Pecahan
Grafik 7.13 Perkembangan Inflow Berdasarkan Sebaran Wilayah
Grafik 7.14 Perkembangan Jumlah Inflow, Outflow, dan NetFlow
��
���
���
���
���
����
������ ����� ����� ������
���� ���� ����
������ ������ ������
������ ������������
����� ����� ���������� ����� �����
���� ���� ����
��
���
���
���
���
����
������ ������ ������
������ ������ ������
����� ����� �����
������ ������ ������
����� ����� ���������� ����� �����
�������� ���������� ��������
������� ����������� ����
���� ���� ��������
�
���
���
���
���
���
������ ������� �������
74 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Kondisi net outflow ini mencerminkan kebutuhan uang
kartal yang meningkat sepanjang tahun 2012 seiring
dengan tumbuhnya kegiatan ekonomi masyarakat.
Secara triwulanan, pada tahun 2012, posisi net outflow
terjadi pada triwulan II sampai dengan triwulan IV. Net
outflow tertinggi terjadi pada triwulan IV yang mencapai
Rp54,95 triliun. Hal ini disebabkan pertumbuhan jumlah
outflow sebesar 6,81% diikuti dengan penurunan jumlah
inflow secara signifikan sebesar 31,97%. Kondisi ini
berlangsung seiring dengan periode Natal dan akhir tahun
2012 (Grafik 7.15).
Sementara itu, pola sebaran netflow uang kartal secara
regional relatif tidak mengalami perubahan dibanding
tahun sebelumnya. Pola net outflow uang kartal yang
terjadi secara nasional diikuti oleh pola net outflow
regional yang cenderung sama dengan tahun 2011.
Pada tahun 2012, pola net outflow masih terjadi di
wilayah kerja KPBI yang meliputi Jakarta dan BODETABEK
serta wilayah kerja KPw DN Bank Indonesia di luar Pulau
Jawa. Sebaliknya, pola net inflow terjadi di wilayah kerja
KPw DN yang ada di Pulau Jawa dengan kecenderungan
jumlah net inflow yang meningkat dari Rp40,41 triliun
pada tahun 2011 menjadi Rp49,12 triliun (Tabel 7.3).
Fenomena pola netflow yang terjadi sepanjang tahun
2012 mencerminkan masih tingginya preferensi
masyarakat di luar wilayah Jawa dan JABODETABEK untuk
menarik uang kartal, yang kemudian mengalir masuk ke
berbagai wilayah di Pulau Jawa. Pola netflow tersebut
juga mengindikasikan masih berpusatnya sumber daya
ekonomi di wilayah Jawa meskipun sentra-sentra ekonomi
daerah di luar pulau Jawa mulai berkembang.
7.3. Perkembangan Posisi Kas Bank Indonesia
Ditengah kebutuhan uang kartal yang meningkat, posisi
kas Bank Indonesia pada tahun 2012 tetap terjaga pada
posisi yang aman. Hal ini diwujudkan melalui berbagai
kebijakan yang diterapkan secara berkesinambungan oleh
Bank Indonesia.
Salah satu kebijakan yang ditempuh adalah kebijakan
untuk mengedarkan kembali uang rupiah layak edar (ULE)
yang berasal dari setoran perbankan melalui mekanisme
dropshot baik dalam satu wilayah maupun antar wilayah.
Penerapan mekanisme dropshot tersebut terutama
dimaksudkan untuk menciptakan kondisi uang rupiah
yang berkualitas dan layak edar serta merata di seluruh
wilayah NKRI.
Kebijakan lain yang ditempuh adalah penerapan kebijakan
sortasi uang rupiah kertas dan logam serta dibangunnya
kerjasama intensif dengan Perum Peruri untuk
meningkatkan pasokan hasil cetak sempurna (HCS) uang
rupiah. Penerapan kebijakan tersebut telah membantu
Bank Indonesia menjaga posisi kas selama tahun 2012
dalam level yang aman. Berdasarkan nilai nominalnya,
sebesar 89,88% dari posisi kas Bank Indonesia merupakan Grafik 7.15
Perkembangan Jumlah NetFlow
Tabel 7.3 Jumlah NetfFow Uang KartalBerdasarkan Wilayah (Triliun Rp)
Wilayah
Jabodetabek (17,12) (38,65) (59,80)
Jawa Non KP 34,04 40,41 49,12
Bali + Nustra (4,29) (6,10) (4,81)
Sumatera (24,56) (22,19) (19,32)
Kalimantan (14,56) (16,26) (15,87)
Sulampua (9,83) (11,39) (12,61)
Total (36,31) (54,19) (63,29)
2010 2011 2012
�����������
���� ���� ����
����
����
����
�
��
��
����� ����� ����� �����
75Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
UPB (Grafik 7.16). Adapun rasio posisi kas Bank Indonesia
mencapai ± dua bulan rata-rata outflow.
7.4 Perkembangan Pemusnahan Uang Rupiah
Mengemban misi untuk memenuhi kebutuhan uang
kartal masyarakat melalui ketersediaan uang rupiah yang
berkualitas baik dan dalam kondisi yang layak edar, Bank
Indonesia terus meningkatkan upaya untuk menjaga
dan meningkatkan kualitas uang rupiah yang beredar di
masyarakat.
Salah satu kebijakan yang ditempuh untuk menjaga
kualitas uang rupiah dilakukan melalui kegiatan
pemusnahan uang rupiah tidak layak edar (UTLE) yang
masuk kembali ke Bank Indonesia dari peredaran di
masyarakat, maupun uang rupiah yang sudah dicabut dan
ditarik dari peredaran. Kegiatan pemusnahan dilakukan
secara rutin baik di KPBI maupun di KPw DN Bank
Indonesia.
Pelaksanaan pemusnahan uang rupiah kertas tidak layak
edar dan uang rupiah kertas yang telah dicabut dan
ditarik dari peredaran dilakukan dengan menggunakan
Mesin Racik Uang Kertas (MRUK) atau secara otomasi
dengan menggunakan Mesin Sortasi Uang Kertas (MSUK).
Sedangkan pemusnahan uang rupiah logam tidak layak
edar dan uang rupiah logam yang telah dicabut dan
ditarik dari peredaran dilakukan melalui proses peleburan.
Adapun penetapan UTLE dilakukan melalui setting mesin
sortasi uang dengan menetapkan soil level (tingkat
kelusuhan) tertentu ataupun secara manual melalui
penetapan standarisasi visual uang rupiah layak edar.
Memenuhi amanat UU Mata Uang, Bank Indonesia
berkewajiban untuk menyampaikan informasi mengenai
uang rupiah yang dimusnahkan kepada Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Informasi yang disampaikan meliputi jenis pecahan,
jumlah lembar/keping dan nilai nominal uang rupiah yang
dimusnahkanselama periode satu tahun. Selanjutnya,
informasi mengenai pemusnahan uang rupiah tersebut
akan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia (LNRI).
Selama periode 1 Januari s.d 31 Desember 2012, Bank
Indonesia telah melakukan pemusnahan sebanyak 3,82
miliar lembar uang rupiah kertas tidak layak edar. Jumlah
ini setara dengan nilai nominal sebesar Rp47,57 triliun.
Sementara itu, dalam tahun 2012 tidak terdapat kegiatan
peleburan untuk memusnahkan uang rupiah logam. Hal
ini mengingat kualitas uang rupiah logam yang masuk
kembali ke Bank Indonesia sepanjang tahun 2012 secara
umum masih dalam kondisi yang layak edar sehingga
selain dapat diedarkan kembali ke masyarakat, dan jumlah
uang logam apkir belum memadai untuk dilebur.
Jumlah lembar uang rupiah kertas yang dimusnahkan
selama tahun 2012 mengalami penurunan sebesar
34,52% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 5,83
miliar lembar. Secara triwulanan, jumlah lembar uang
rupiah kertas yang dimusnahkan cenderung tinggi pada
triwulan I dan triwulan IV. Hal ini seiring dengan tingginya
arus balik uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia
pasca berakhirnya Natal dan akhir tahun 2011 maupun
pasca Hari Raya Idul Fitri 2012 (Grafik 7.17).
Rasio pemusnahan uang rupiah mencapai sebesar
12,99% dari jumlah aliran uang rupiah kertas yang masuk
ke Bank Indonesia sepanjang tahun 2012. Rasio tersebut
lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai
55,14%.
Grafik 7.16 Pangsa Posisi Kas Bank IndonesiaBerdasarkan Pecahan
���������� ������ ������ �������
���� ���� ����
������
������������
������
������ ������
������������
�����������
������������
��
���
���
���
���
����
76 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Berdasarkan wilayah kerjanya, pemusnahan uang rupiah
tidak layak edar (UTLE) terbesar dilakukan oleh KPw DN di
wilayah Jawa (Non-KPBI), Sumatera dan KPBI. Sepanjang
tahun 2012, KPw DN di wilayah Jawa telah melaksanakan
pemusnahan 1,64 miliar lembar UTLE dalam berbagai
pecahan senilai Rp22,12 triliun atau merupakan 46,50%
dari total nominal pemusnahan tahun 2012. Sementara
itu, KPw DN di wilayah Sumatera dan KPBI masing-masing
melakukan pemusnahan 797,12 juta lembar dan 782,60
juta lembar UTLE senilai Rp11,05 triliun (23,23%) dan
Rp5,90 triliun (12,41%). Tingginya jumlah pemusnahan
di wilayah tersebut sejalan dengan upaya Bank Indonesia
untuk selalu menjaga kualitas uang rupiah yang beredar
di masyarakat terutama di wilayah-wilayah dengan nilai
inflow yang tinggi (Tabel 7.4).
Berdasarkan nominalnya, sebagian besar uang rupiah
kertas yang dimusnahkan merupakan UPB Rp50.000 dan
Rp100.000. Nilai nominal pemusnahan masing-masing
UPB tersebut mencapai Rp16,75 triliun dan Rp13,04
triliun atau merupakan 35.21% dan 27,41% dari total
nominal pemusnahan tahun 2012.
Sementara itu, selama tahun 2012, tercatat sebanyak
2,53 miliar lembar UPK Rp5.000 ke bawah dan 593,07 juta
lembar pecahan Rp10.000 yang dimusnahkan. Jumlah ini
merupakan 66,38% dan 15,54% dari total lembar uang
rupiah kertas tidak layak edar yang dimusnahkan (Tabel
7.5).
Di sisi lain, rasio pemusnahan uang rupiah kertas
terhadap jumlah inflow uang rupiah kertas terus
mengalami penurunan. Kondisi ini berlangsung ditengah
kecenderungan peningkatan jumlah inflow ke Bank
Indonesia. Setelah turun dari 65,19% pada tahun 2010
menjadi 55,16% pada tahun 2011, rasio pemusnahan
terhadap inflow uang rupiah kertas tahun 2012 tercatat
sebesar 12,99%.
UPK memiliki rasio pemusnahan yang lebih tinggi
dibanding dengan UPB. Rasio pemusnahan UPK kertas
pecahan Rp5.000 ke bawah dan pecahan Rp10.000
masing-masing tercatat sebesar 87,97%, dan 76,85%
Grafik 7.17 Perkembangan Jumlah BilyetUang Kertas yang Dimusnahkan
Tabel 7.4 Pangsa Jumlah Uang Rupiah Kertasyang Dimusnahkan Berdasarkan Wilayah
Kantor Pusat BI 23,83% 19,80% 12,41%Jawa Non Kantor Pusat 47,44% 46,35% 46,50%Bali + Nustra 2,67% 4,06% 5,77%Sumatera 17,41% 19,78% 23,23%Kalimantan 3,42% 3,45% 4,97%Sulampua 5,23% 6,56% 7,13% 100,00% 100,00% 100,00%
2010 2011 2012
Tabel 7.5 Pangsa Uang Rupiah Kertas yangDimusnahkan Berdasarkan Denominasi
PecahanBerdasarkan Nominal Berdasarkan Jumlah Lembar
2010 2011 2012 2010 2011 2012
100,000 36.55% 39,55% 27,41% 10,61% 12,30% 3,42%50,000 51.55% 47,65% 35,21% 29,65% 29,65% 8,77%20,000 5.05% 4,49% 9,46% 7,33% 6,98% 5,89%10,000 3.27% 3,99% 12,47% 9,51% 12,42% 15,54%<=5000 4.07% 4,33% 15,45% 42,91% 38,64% 66,38% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
Tabel 7.6 Rasio Pemusnahan Uang Rupiah terhadapInflow Berdasarkan Denominasi
Pecahan
100,000 55.58% 46.15% 6.84%
50,000 69.05% 58.74% 11.08%
20,000 92.11% 88.65% 53.51%
10,000 89.03% 90.94% 76.85%
< 5,000 89,61% 86.06% 87.97%
Jumlah 65.19% 55.16% 12.99%
2010 2011 2012
����� ����� ����� �����
�������������
���� ���� ����
��
�����
�����
�����
�����
77Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
dari jumlah inflow uang kertas pecahan tersebut selama
tahun 2012. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sebagian
besar uang rupiah kertas pecahan Rp5.000 ke bawah dan
pecahan Rp10.000 yang masuk kembali ke Bank Indonesia
berada dalam kondisi tidak layak edar, yang menunjukkan
tingginya perputaran uang rupiah pecahan kecil di
masyarakat (Tabel 7.6).
7.5. Perkembangan Temuan Uang Rupiah Palsu
Perkembangan temuan uang rupiah palsu yang dilaporkan
oleh perbankan dan Kepolisian RI selama tahun 2012
tercatat lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
Hal ini tercermin dari penurunan rasio temuan uang
rupiah palsu dari sebanyak 10 lembar pada tahun 2011
menjadi sebanyak 8 lembar temuan uang rupiah palsu
per satu juta lembar uang rupiah kertas yang diedarkan.
Selama tahun 2012, jumlah temuan uang rupiah palsu
dari perbankan dan Kepolisian RI lebih rendah 21,42%
dibanding tahun sebelumnya.
Berdasarkan komposisi per pecahan, temuan uang
rupiah palsu didominasi oleh uang rupiah kertas pecahan
Rp100.000 (57,40%) dan Rp50.000 (37,26%). Adapun
berdasarkan wilayah temuannya, temuan uang rupiah
palsu terbanyak selama tahun 2012 dilaporkan oleh
perbankan dan Kepolisian di wilayah DKI Jakarta &
Banten, dan wilayah Jawa Barat, masing-masing sebesar
25,69% dan 24,00% dari total temuan uang rupiah palsu.
78 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 7 Kinerja Pengelolaan Uang Rupiah dalamMendukung Kelancaran Aktivitas Perekonomian Nasional
Halaman ini sengaja dikosongkan
79Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Dalam upaya menjaga ketersediaan uang kartal sebagai alat pembayaran tunai di masyarakat, kebijakan Bank Indonesia di sepanjang tahun 2012 diarahkan untuk memenuhi misinya di bidang pengelolaan uang yaitu memenuhi kebutuhan uang rupiah dalam jumlah yang cukup, pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi layak edar.
Kebijakan tersebut ditempuh dengan mencermati perkembangan beberapa indikator ekonomi makro yang berimplikasi langsung terhadap kebutuhan uang kartal masyarakat dan isu-isu strategis yang berkembang dalam aktivitas pengelolaan uang rupiah.
Dari sisi makroekonomi, kinerja ekonomi yang baik
selama tahun 2012 berdampak pada meningkatnya
kebutuhan akan ketersediaan alat pembayaran, termasuk
alat pembayaran tunai untuk mendukung kelancaran
peningkatan aktivitas ekonomi domestik masyarakat.
Sementara itu, perkembangan berbagai isu strategis
dalam aktivitas pengelolaan uang rupiah menjadi
tantangan tersendiri bagi Bank Indonesia yang
memerlukan respon kebijakan yang tepat. Masih
kentalnya budaya masyarakat untuk memegang fisik uang
dan melakukan transaksi pembayarannya secara tunai
maupun belum meratanya ketersediaan uang rupiah layak
edar di seluruh wilayah NKRI merupakan beberapa isu
strategis dalam kegiatan pengelolaan uang rupiah yang
berkembang di tahun 2012. Disamping itu, isu mengenai
upaya untuk meningkatkan peran pihak-pihak di luar
bank sentral dalam kegiatan pengelolaan uang rupiah
juga menjadi isu strategis yang mendasari pengambilan
berbagai kebijakan di bidang pengelolaan uang rupiah
pada tahun 2012.
Demikian pula dengan diberlakukannya UU Nomor 7
Tahun 2011 tentang Mata Uang pada tanggal 28 Juni
2011 juga menjadi faktor penting yang mendasari
pengambilan kebijakan Bank Indonesia di bidang
pengelolaan uang sepanjang tahun 2012. Diberlakukannya
UU Mata Uang tersebut berimplikasi luas pada kegiatan
pengelolaan uang rupiah yang dilakukan Bank Indonesia,
baik kegiatan perencanaan, pencetakan, pengeluaran,
pengedaran, pencabutan dan penarikan maupun kegiatan
pemusnahan uang rupiah. Penambahan fungsi baru pada
kegiatan perencanaan, pencetakan dan pemusnahan uang
rupiah menuntut adanya penyesuaian mekanisme dan
alur kerja yang mengakomodir koordinasi Bank Indonesia
dengan Pemerintah yang diamanatkan oleh UU Mata
Uang. Disamping itu, berlakunya UU Mata Uang juga
berdampak pada penguatan fungsi Bank Indonesia dalam
penanggulangan peredaran uang rupiah palsu bersama
dengan BOTASUPAL1.
1 Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (BOTASUPAL) adalah lembaga non-struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden dan mempunyai fungsi sebagai koordinator pemberantasan uang rupiah palsu. Fungsi koordinator pemberantasan uang rupiah palsu adalah memadukan kegiatan dan operasi pemberantasan uang rupiah palsu yang dilakukan oleh lembaga/instansi terkait sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang masing-masing lembaga/instansi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan PengelolaanUang Rupiah Tahun 2012
Bab 8
80 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Memperhatikan perkembangan ekonomi makro, berbagai
isu startegis dan implementasi UU Mata Uang, kebijakan
pengelolaan uang rupiah tahun 2012 dijalankan dengan
mengacu pada tiga pilar kebijakan yaitu i) Tersedianya
Uang Rupiah yang Berkualitas; ii) Distribusi dan
Pengolahan Uang Rupiah yang Aman dan Terpercaya; dan
iii) Layanan Kas Prima. Berbagai kebijakan yang diambil
selama tahun 2012 tersebut selain dimaksudkan untuk
memenuhi misi Bank Indonesia di bidang pengelolaan
uang, juga berkontribusi meningkatkan efisiensi
manajemen kas perbankan maupun cash processing di
Bank Indonesia.
8.1 Tersedianya Uang Rupiah yang Berkualitas
Kebutuhan uang kartal masyarakat yang meningkat
perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah yang
berkualitas, memadai dalam jumlah nominal maupun
jenis pecahan serta tersedia secara merata di seluruh
wilayah NKRI. Bank Indonesia selalu berkomitmen
untuk menjamin ketersediaan uang rupiah berkualitas
yang dipercaya dan diterima oleh masyarakat melalui
penerapan dan penguatan berbagai strategi kebijakan di
bidang pengelolaan uang rupiah.
Selama tahun 2012, strategi kebijakan yang ditempuh
Bank Indonesia untuk menjamin tersedianya uang rupiah
yang berkualitas meliputi:
1. Melakukan Perencanaan Kebutuhan Uang dan
Perencanaan Pencetakan Uang Rupiah tahun 2012
yang dikoordinasikan dengan Pemerintah;
2. Melakukan Pengadaan Bahan Baku dan Pencetakan
Uang Rupiah tahun 2012;
3. Memperkuat Manajemen Pengadaan Uang Rupiah
tahun 2013 melalui Penyusunan Estimasi Kebutuhan
Uang (EKU) dan Rencana Cetak Uang (RCU) 2013;
4. Melakukan Pemantauan Kualitas Uang Rupiah dan
Pemantauan Pengolahan Uang Rupiah Layak Edar
(ULE) yang dilakukan oleh Perbankan dan Perusahaan
Cash in Transit (CIT);
5. Meningkatkan Upaya Penanggulangan Peredaran Uang
Rupiah Palsu.
Melakukan Perencanaan Kebutuhan Uang serta Perencanaan Pencetakan Uang Rupiah Tahun 2012 yang Dikoordinasikan dengan Pemerintah
Terus tumbuhnya jumlah UYD mengindikasikan kebutuhan
uang kartal yang masih cukup tinggi dalam aktivitas
transaksi ekonomi masyarakat. Memenuhi peningkatan
kebutuhan uang kartal ini sekaligus untuk mengganti
uang rupiah tidak layak edar yang ada di masyarakat
serta mempertimbangkan kecukupan persediaan kas
Bank Indonesia, setiap tahun Bank Indonesia melakukan
penyusunan Estimasi Kebutuhan Uang(EKU). EKU
merupakan proyeksi perhitungan tambahan kebutuhan
uang rupiah pada periode tertentu yang digunakan
sebagai acuan dalam menentukan besarnya jumlah
pengadaan bahan baku uang dan jumlah uang rupiah yang
akan dicetak. Disamping itu, EKU juga menjadi pedoman
operasional dalam melaksanakan pengiriman uang rupiah
ke seluruh Kantor Perwakilan Dalam Bank Indonesia
Negeri (KPw DN).
Berlakunya UU Mata Uang mengamanatkan Bank
Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang
untuk melakukan pengeluaran, pengedaran, dan/atau
pencabutan dan penarikan uang rupiah. Sementara untuk
pelaksanaan kegiatan pengelolaan uang rupiah lainnya
yaitu perencanaan dan pencetakan serta pemusnahan
uang rupiah, dilakukan oleh Bank Indonesia yang
berkoordinasi dengan Pemerintah. Pelaksanaan koordinasi
tersebut dilakukan dengan berpedoman pada Nota
Kesepahaman tentang Pelaksanaan Koordinasi dalam
Rangka Perencanaan dan Pencetakan, serta Pemusnahan
Uang Rupiah yang ditandatangani oleh Gubernur Bank
Indonesia dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI
selaku wakil dari Pemerintah pada tanggal 27 Juni 2012.
Perencanaan kebutuhan uang rupiah tahun 2012 yang dikoordinasikan dengan Pemerintah
Untuk menjamin ketersediaan uang rupiah layak
edar dalam jumlah yang cukup di masyarakat serta
memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk proses
pengadaan bahan baku dan pencetakan uang rupiah,
penetapan EKU 2012 telah dilaksanakan pada triwulan
81Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
III 2011. Sesuai dengan EKU ini, estimasi kebutuhan uang
rupiah ditetapkan sebesar Rp134,17 triliun untuk tahun
2012. Sebagai bentuk koordinasi antara Bank Indonesia
dengan Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh UU
Mata Uang, informasi mengenai rencana kebutuhan uang
(EKU) 2012 tersebut telah disampaikan kepada Kemenkeu
RI selaku wakil Pemerintah.
Perencanaan pencetakan uang rupiah tahun 2012 yang dikoordinasikan dengan Pemerintah
Sebagai tindak lanjut penyusunan EKU 2012, Bank
Indonesia menetapkan rencana pengadaan bahan baku
uang dan rencana cetak uang rupiah (RCU) tahun 2012.
Sebelum ditetapkan, Bank Indonesia telah menyampaikan
informasi RCU 2012 tersebut kepada Pemerintah.
Informasi yang disampaikan kepada Pemerintah antara
lain mengenai rencana macam dan harga uang rupiah,
proyeksi jumlah uang rupiah yang akan dicetak, serta
jumlah uang rupiah yang dicabut dan ditarik dari
peredaran. Penyampaian informasi ini merupakan
perwujudan dari koordinasi yang diamanatkan oleh UU
Mata Uang yang salah satunya dilakukan dalam bentuk
pemberitahuan dan tukar menukar informasi.
Review kebutuhan uang rupiah tahun 2012
Dinamika kegiatan pengelolaan uang rupiah yang
dilakukan oleh Bank Indonesia selama tahun 2012
tidak terlepas dari pola musiman kebutuhan uang
kartal ataupun kebijakan fiskal dari sisi Pemerintah.
Peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat menjelang
periode Ramadhan dan Idul Fitri, Natal dan akhir tahun,
Imlek maupun liburan sekolah dan tahun ajaran baru
merupakan pola musiman yang turut mempengaruhi
dinamika kegiatan pengelolaan uang rupiah.
Sementara dari sisi fiskal, rencana Pemerintah untuk
menaikkan harga BBM bersubsidi pada awal April 2012
yang diikuti dengan rencana pemberian bantuan langsung
sementara masyarakat (BLSM) kepada masyarakat kecil,
turut pula mempengaruhi dinamika pengelolaan uang
rupiah. Dinamikaini dipengaruhi oleh kebijakan Bank
Indonesia untuk merespon kenaikan permintaan uang
kartal yang cukup tinggi di masyarakat sebagai dampak
rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.
Mengakomodasi perkembangan ini dan dalam rangka
menjamin ketersediaan uang kartal untuk menjaga
kelancaran transaksi ekonomi masyarakat, pada bulan
Februari 2012 Bank Indonesia melakukan kegiatan review
kebutuhan uang rupiah atau review EKU tahun 2012. Pada
kegiatan ini, Bank Indonesia secara khusus melakukan
penghitungan ulang kebutuhan uang kartal untuk periode
triwulan I 2012. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan
kesiapan Bank Indonesia dalam menjamin pemenuhan
peningkatan kebutuhan uang kartal di masyarakat pra dan
pasca penerapan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Melakukan Pengadaan Bahan Baku dan Pencetakan Uang Rupiah Tahun 2012
Di tengah terus tumbuhnya penggunaan uang kartal di
masyarakat, Bank Indonesia terus berupaya mewujudkan
komitmen untuk menyediakan uang rupiah berkualitas
yang dipercaya dan diterima oleh masyarakat. Komitmen
ini salah satunya diwujudkan melalui kegiatan pencetakan
uang rupiah baik uang kertas maupun uang logam.
Kegiatan pencetakan uang rupiah ini dilakukan
berdasarkan suatu rencana cetak tahunan yang mencakup
jumlah dan jenis pecahan uang serta jadwal penerimaan
hasil cetak dari Perum Peruri 2. Tambahan pasokan uang
rupiah yang diperoleh melalui kegiatan pencetakan
tersebut akan memperkuat kemampuan Bank Indonesia
dalam memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat yang
terus meningkat.
Pengadaan pencetakan uang rupiah tahun 2012
Bank Indonesia menyadari bahwa keberhasilan upaya
pemenuhan kebutuhan uang kartal masyarakat sangat
bergantung pada manajemen pengadaan uang rupiah
yang dilakukan selama ini. Menyikapi itu, pada tahun
2 Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 UU Mata Uang, pencetakan uang rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia dengan menunjuk badan usaha milik negara sebagai pelaksana pencetakan uang rupiah. Adapun yang dimaksud dengan badan usaha milik negara adalah badan usaha milik negara yang bergerak dalam bidang pencetakan uang rupiah yaitu Perum Peruri.
82 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
2012 Bank Indonesia menempuh kebijakan penguatan
terhadap strategi manajemen pengadaan uang rupiah
yang telah ada sebelumnya. Penguatan strategi
tersebut tercermin dari upaya Bank Indonesia yang
secara intensif mengembangkan kerjasama pencetakan
uang rupiah dengan Perum Peruri maupun dengan
Kementerian BUMN yang membawahi Perum Peruri guna
meningkatkan efisiensi pengadaan uang rupiah.
Sejalan dengan upaya tersebut, pada triwulan I 2012,
Bank Indonesia dan Perum Peruri berhasil menyelesaikan
negosiasi pengadaan pencetakan uang rupiah dan
menyepakati Harga Cetak Uang Rupiah (HCU) 2012.
Kesepakatan HCU 2012 tersebut menjadi landasan bagi
penempatan pesanan cetak uang rupiah tahun 2012.
Adapun jumlah pesanan cetak uang rupiah berdasarkan
RCU 2012 adalah sebesar 4,75 miliar lembar/keping, yang
terdiri dari 3,88 miliar lembar uang rupiah kertas dan
872,66 juta keping uang rupiah logam dalam berbagai
pecahan.
Permintaan uang kartal yang meningkat selama tahun
2012 disikapi dengan upaya untuk meningkatkan
persediaan uang kartal Bank Indonesia. Untuk itu,
Bank Indonesia terus mendorong Perum Peruri untuk
meningkatkan kapasitas cetaknya. Upaya ini berhasil
meningkatkan pasokan cetak uang rupiah yang sampai
dengan akhir tahun 2012 mencatatkan realisasi
penerimaan cetak sebanyak 4,87 miliar lembar/keping.
Dari jumlah realisasi ini, terdapat sebanyak 3,96 miliar
lembar uang rupiah kertas dan uang rupiah logam
sebanyak 872,66 juta keping. Adapun realisasi pencetakan
uang rupiah tersebut mencapai 101,87% dari Rencana
Cetak Uang (RCU) 2012.
Berdasarkan denominasi, uang rupiah kertas yang paling
banyak dicetak selama tahun 2012 adalah pecahan
Rp50.000 dan Rp100.000, dengan pangsa sebesar 23,15%
dan 15,36% dari realisasi cetak. Sementara itu, pecahan
Rp500 mendominasi pencetakan uang rupiah logam
dengan pangsa sebesar 29,52%.
Pencapaian realisasi pencetakan uang rupiah ini
merupakan perwujudan komitmen Bank Indonesia untuk
senantiasa menjaga ketersediaan uang rupiah yang
berkualitas di masyarakat baik dalam jumlah nominal
maupun jenis pecahan. Pada akhir tahun 2012 telah
selesai pula kesepakatan HCU untuk pesanan cetak
tahun 2013. Hal ini juga merupakan refleksi keberhasilan
kebijakan penguatan strategi manajemen pengadaan uang
rupiah yang dilakukan sepanjang tahun 2012.
Pengadaan bahan baku uang rupiah tahun 2012
Untuk memenuhi kebutuhan pencetakan uang rupiah
tahun 2012, Bank Indonesia menetapkan rencana
pengadaan bahan baku uang rupiah. Pengadaan bahan
baku ini meliputi pengadaan kertas uang dan pengadaan
logam uang.
Berdasarkan rencana tersebut, Bank Indonesia
melaksanakan kegiatan pengadaan bahan baku uang
rupiah. Adapun jumlah pengadaan bahan baku uang
rupiah yang ditetapkan untuk tahun 2012 sebanyak 7,36
miliar lembar/keping yang terdiri dari 6,78 miliar lembar
kertas uang dan 584,33 juta keping logam uang dalam
berbagai pecahan. Sampai dengan akhir tahun 2012,
realisasi penerimaan kertas uang dan logam uang tahun
2012 masing-masing tercatat sebesar 100,00% dari jumlah
pengadaan yang ditetapkan. Dengan demikian, seluruh
pesanan bahan uang telah diterima oleh Bank Indonesia
sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
Sementara itu, diberlakukannya UU Mata Uang turut
pula mempengaruhi mekanisme dan alur kerja kegiatan
pengadaan bahan baku uang rupiah yang dilakukan
Bank Indonesia. Ketentuan Pasal 9 UU Mata Uang
mengatur bahwa bahan baku uang rupiah yang digunakan
mengutamakan produk dalam negeri dengan tetap
menjaga mutu, keamanan dan harga yang bersaing.
Ketentuan untuk mengutamakan penggunaan bahan baku
dalam negeri tersebut diakomodir pada Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Nomor 14/7/PBI/2012 dan Peraturan
Dewan Gubernur Bank Indonesia (PDG) Nomor 14/13/
PDG/2012 tanggal 27 Juni 2012 tentang Pengelolaan Uang
Rupiah. PBI ini mengatur bahwa dalam hal mutu bahan
uang telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia, keamanan proses dan prosedur
yang diterapkan oleh calon penyedia bahan baku uang
83Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
rupiah telah sesuai dengan standar internasional dan/atau
persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka:
a. dalam hal harga negosiasi terakhir yang diajukan
oleh 2 (dua) atau lebih calon penyedia bahan baku
uang rupiah adalah sama, maka pengutamaan
produk dalam negeri dilakukan berdasarkan besaran
komponen dalam negeri pada bahan baku uang rupiah
yang ditunjukkan dengan nilai tingkat komponen
dalam negeri yang tertinggi; dan/atau
b. dalam hal terdapat calon penyedia bahan baku uang
rupiah dalam negeri yang menawarkan produk dengan
nilai tingkat komponen dalam negeri sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih, maka ditentukan harga
evaluasi akhir berdasarkan harga negosiasi terakhir
dengan memperhitungkan preferensi harga paling
tinggi 15% (lima belas persen). Adapun penentuan
pemenang penyedia bahan bakuuang rupiah dilakukan
berdasarkan harga evaluasi akhir. Dalam hal terdapat
2 (dua) atau lebih calon penyedia bahan baku uang
rupiah dengan harga evaluasi akhir yang sama, maka
pemenang ditentukan berdasarkan nilai tingkat
komponen dalam negeri yang tertinggi.
Adapun penentuan nilai tingkat komponen dalam negeri
dilakukan dengan mengacu pada daftar inventarisasi
barang/jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh
Kementerian yang membidangi urusan perindustrian.
Memperkuat Manajemen Pengadaan Uang Rupiah Tahun 2013 melalui Penyusunan Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) dan Rencana Cetak Uang (RCU) 2013
Kebijakan penguatan strategi manajemen pengadaan uang
rupiah yang ditempuh Bank Indonesia untuk mewujudkan
ketersediaan uang rupiah yang berkualitas juga tercermin
dalam penyusunan EKU dan RCU. Hal ini salah satunya
terlihat dalam penyusunan EKU dan RCU 2013 yang
dilakukan oleh Bank Indonesia melalui koordinasi dengan
Pemerintah sesuai dengan amanat UU Mata Uang.
Penyusunan Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) 2013
Mengawali rangkaian proses manajemen pengadaan uang
rupiah, pada bulan Mei 2012 Bank Indonesia menetapkan
perkiraan kebutuhan uang rupiah tahun 2013 atau
Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) 2013. Penyusunan EKU
dilakukan untuk menghitung tambahan kebutuhan uang
kartal masyarakat pada periode tertentu, termasuk
tambahan kebutuhan uang kartal untuk mengganti uang
rupiah tidak layak edar yang telah dimusnahkan oleh Bank
Indonesia. Selain itu, penyusunan EKU juga dilakukan
untuk menghitung tambahan kebutuhan uang kartal yang
diperlukan untuk menjaga kecukupan persediaan uang
kartal yang dimiliki Bank Indonesia.
EKU 2013 menghitung tambahan uang rupiah yang
dibutuhkan oleh seluruh satuan kerja kas di KPBI dan
seluruh KPw DN Bank Indonesia selama tahun 2013.
Tambahan uang rupiah ini meliputi jumlah dan komposisi
pecahan uang rupiah yang dibutuhkan oleh masing-
masing satuan kerja kas. Selanjutnya, EKU ini akan
menjadi dasar dalam menetapkan kebijakan strategis
berupa penetapan rencana pengadaan bahan baku dan
RCU tahun 2013.
Penyusunan EKU 2013 dilakukan melalui forum Workshop
Perencanaan, Pengadaan dan Distribusi Uang 2013
yang diikuti oleh seluruh satuan kerja kas baik di KPBI
maupun KPw DN Bank Indonesia. Kegiatan workshop ini
diikuti pula oleh stakeholders terkait yaitu Kementerian
Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) dan Perum
Peruri selaku perusahaan pencetakan uang negara.
Kehadiran Kemenkeu RI pada workshop tersebut
selaras dengan amanat UU Mata Uang yang dituangkan
dalam Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia dan
Pemerintah sebagai wujud koordinasi dalam pelaksanaan
perencanaan uang rupiah.
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap proyeksi outflow
dan inflow uang kartal, pemusnahan uang rupiah tidak
layak edar (UTLE) serta mempertimbangkan kecukupan
persediaan uang kartal yang dimiliki, Bank Indonesia
menetapkan EKU 2013 sebesar Rp193,53 triliun. EKU
tersebut menjadi dasar bagi pemenuhan kebutuhan
seluruh satuan kerja kas Bank Indonesia serta menjadi
pedoman bagi pelaksanaan kegiatan distribusi uang
rupiah dari KPBI ke ke satuan kerja kas di KPw DN Bank
Indonesia pada tahun 2013.
84 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Penyusunan Rencana Cetak Uang (RCU) 2013
Proyeksi kebutuhan uang kartal yang diperoleh dari
penyusunan EKU 2013 menjadi dasar pijakan Bank
Indonesia dalam menghitung kebutuhan bahan baku dan
kebutuhan cetak uang rupiah atau RCU 2013. Penyusunan
RCU dilakukan dengan memperhatikan berbagai variabel
makro ekonomi, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi
dan inflasi maupun jumlah uang rupiah yang rusak dan
yang ditarik dari peredaran.
Berlakunya UU Mata Uang mengamanatkan adanya
koordinasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah
pada kegiatan pengelolaan uang rupiah yang menyangkut
rencana tentang macam dan harga uang rupiah, proyeksi
jumlah uang rupiah yang perlu dicetak, serta jumlah
uang rupiah yang rusak dan yang ditarik dari peredaran.
Koordinasi tersebut diwujudkan Bank Indonesia dalam
bentuk penyampaian informasi perhitungan sementara
RCU2013 secara tertulis kepada Kemenkeu RI pada
tanggal 5 September 2012.
Sebagai kelanjutan dari proses manajemen pengadaan
uang, pada tanggal 28 Desember 2012, Bank Indonesia
dan Perum Peruri telah menyelesaikan seluruh tahapan
kegiatan proses pengadaan pencetakan uang rupiah
dan menyepakati HCU 2013 yang akan digunakan
sebagai dasar bagi pencetakan uang rupiah. Berdasarkan
kesepakatan tersebut, selama tahun 2013 Bank Indonesia
akan menempatkan pesanan cetak uang rupiah yang
terdiri dari 5,33 miliar lembar uang rupiah kertas dan
1,68 miliar keping uang rupiah logam dalam berbagai
pecahan.
Sementara itu, untuk keperluan pencetakan uang rupiah
tahun 2013, Bank Indonesia melaksanakan proses
pengadaan bahan baku uang rupiah berupa logam uang
dan kertas uang. Seluruh rangkaian proses pengadaan
logam uang untuk pecahan Rp1.000, Rp500, Rp200 dan
Rp100 serta pengadaan kertas uang pecahan Rp100.000,
Rp50.000, Rp10.000 dan Rp5.000 telah dirampungkan
pada akhir tahun 2012. Sedangkan proses pengadaan
kertas uang pecahan Rp20.000 dan Rp2.000 akan
diselesaikan pada awal tahun 2013.
Sebagai bagian dari kebijakan penguatan strategi
pengelolaan uang rupiah, Bank Indonesia secara
intensif melakukan kerjasama dengan Perum Peruri dan
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (Kementerian
BUMN) yang membawahi Perum Peruri.Kerjasama ini
dimaksudkan untuk menyelaraskan rencana pencetakan
uang rupiah dengan kapasitas cetak Perum Peruri,
termasuk rencana investasi mesin pencetakan uang
yang akan dilakukan Perum Peruri untuk meningkatkan
kemampuan cetaknya.
Melakukan Pemantauan Kualitas Uang Rupiah dan Pemantauan Pengolahan Uang Rupiah Layak Edar (ULE) yang dilakukan oleh Perbankan dan Perusahaan Cash in Transit (CIT)
Dalam memenuhi kebutuhan uang kartal, Bank Indonesia
senantiasa mengedepankan upaya-upaya untuk menjaga
kualitas uang rupiah yang beredar di masyarakat dalam
kondisi yang layak edar. Selama tahun 2012, upaya
menjaga kualitas uang rupiah tersebut antara lain
dilakukan melalui pelaksanaan survei kualitas uang rupiah
dan pemantauan terhadap kegiatan pengolahan uang
rupiah yang dilakukan oleh perbankan dan perusahaan
Cash in Transit (CIT).
Pemantauan kualitas uang kartal yang beredar melalui survei kualitas uang rupiah
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia dengan jumlah pulau diperkirakan mencapai
17.508 terbentang di wilayah seluas 1.919.440 km²
yang sebagian besar pulaunya dipisahkan oleh lautan.
Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya Bank
Indonesia untuk memenuhi kebutuhan uang kartal layak
edar masyarakat. Ditengah tantangan kondisi geografis
tersebut, Bank Indonesia dituntut untuk mengembangkan
strategi pengelolaan uang rupiah yang mampu menjamin
ketersediaan uang kartal secara lebih merata di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dengan tetap mengedepankan kualitas uang yang layak
edar.
85Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Untuk itu, berbagai upaya memperkuat strategi
pengelolaan uang rupiah melalui penguatan layanan kas
terus dilakukan oleh Bank Indonesia. Penguatan strategi
layanan kas tersebut tercermin pada pengembangan
layanan Kas Titipan dan Kas Keliling dalam pemenuhan
kebutuhan uang layak edar masyarakat di seluruh wilayah
NKRI, disamping secara rutin melakukan pengiriman
uang rupiah ke KPw DN Bank Indonesia untuk menjaga
kecukupan persediaan uang rupiah di seluruh satuan kerja
kasnya.
Sampai dengan akhir tahun 2012, layanan kas yang
dilakukan Bank Indonesia secara umum digolongkan
menjadi layanan kas dalam kantor dan layanan kas luar
kantor. Layanan kas dalam kantor merupakan kegiatan
penerimaan setoran dan penarikan uang rupiah untuk
memenuhi kebutuhan uang kartal perbankan. Layanan ini
dilakukan di seluruh satuan kerja kas yang ada di KPBI dan
di 39 KPw DN Bank Indonesia. Sedangkan layanan kas luar
kantor yang dilakukan pada tahun 2012 meliputi layanan
kas titipan bagi masyarakat di 19 lokasi blankspot areas
serta layanan kas keliling yang dilakukan oleh seluruh
satuan kerja kas Bank Indonesia di wilayah kerjanya
masing-masing.
Untuk memperoleh gambaran tentang keberhasilan
penguatan strategi layanan kas luar kantor, terutama
layanan kas titipan dalam memenuhi kebutuhan uang
kartal masyarakat, pada tahun 2012 Bank Indonesia
melaksanakan pemantauan kualitas uang melalui
survei kualitas uang rupiah. Survei ini membandingkan
pemenuhan kebutuhan uang dan kualitas uang rupiah
yang beredar di wilayah lokasi layanan kas titipan
dengan wilayah lainnya yang belum terlayani oleh
kas titipan.Selain itu, untuk memperkaya hasil survei
dan memperoleh informasi awal tentang pemenuhan
kebutuhan dan kualitas uang rupiah, survei juga dilakukan
di beberapa wilayah yang merupakan daerah terpencil
dan terdepan NKRI. Survei dilaksanakan di 8 wilayah
yang terdiri atas 3 wilayah yang dilayani oleh kas titipan
dan 3 wilayah yang tidak dilayani oleh kas titipan, serta 2
wilayah yang merupakan daerah terpencil dan terdepan
NKRI sebagai pembanding.
Hasil survei menunjukkan beberapa informasi sebagai
berikut :
a. Dari seluruh jenis pecahan uang rupiah kertas yang
beredar di masyarakat saat ini, pecahan Rp10.000 dan
Rp5.000 merupakan pecahan yang paling dibutuhkan
untuk transaksi pembayaran masyarakat. Disisi lain
tercatat sebanyak 21,9% responden yang menyatakan
kebutuhannya terhadap uang rupiah logam pecahan
Rp500 dan sebanyak 15,1%, responden memerlukan
uang logam pecahan Rp1.000. Hasil survei juga
menunjukkan rendahnya penggunaan uang logam
pecahan Rp200 ke bawah dalam aktivitas transaksi
masyarakat.
b. Keberadaan layanan kas titipan mempengaruhi
perbedaan kebutuhan uang kartal di wilayah layanan
kas titipan dengan wilayah di luar kas titipan, namun
jumlahnya tidak signifikan. Untuk uang rupiah kertas,
kedua wilayah menunjukkan kebutuhan yang sama
akan uang rupiah pecahan kecil khususnya pecahan
Rp10.000 dan Rp5.000. Sementara untuk uang
rupiah pecahan besar atau uang pecahan Rp20.000
ke atas, responden di wilayah layanan kas titipan
menunjukkan kebutuhan akan ketersediaan uang
rupiah pecahan besar dalam denominasi yang lebih
tinggi dibanding wilayah di luar layanan kas titipan.
Uang pecahan Rp50.000 merupakan pecahan yang
paling dibutuhkan masyarakat di wilayah kas titipan,
sementara pecahan tertinggi yang paling banyak
digunakan masyarakat di luar wilayah kas titipan
adalah pecahan Rp20.000. Adapun untuk uang rupiah
logam, transaksi masyarakat di wilayah kas titipan
paling banyak menggunakan pecahan Rp1.000,
sementara sebagian besar responden di wilayah di
luar kas titipan lebih membutuhkan uang rupiah logam
dalam denominasi yang lebih rendah yaitu Rp500.
Kebutuhan akan ketersediaan uang rupiah pecahan
Rp1.000 masih cukup tinggi di kedua wilayah survei,
namun demikian terdapat preferensi yang lebih
tinggi terhadap uang rupiah kertas pecahan Rp1.000
dibandingkan uang rupiah logam dengan denominasi
yang sama. Hal ini tercermin dari jumlah penarikan
(outflow) uang rupiah kertas pecahan Rp1.000 yang
86 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
sampai dengan pertengahan tahun 2012 tercatat lebih
tinggi dibanding logam.
c. Berdasarkan kemudahan untuk memperoleh uang
pecahan tertentu, masyarakat di wilayah kas titipan
dan di luar wilayah kas titipan sama-sama merasakan
kemudahan dalam memenuhi kebutuhan uang rupiah
pecahan Rp100.000 sampai dengan uang rupiah logam
pecahan Rp500. Kesulitan pemenuhan kebutuhan
uang rupiah mulai dirasakan pada pemenuhan
kebutuhan uang rupiah kertas pecahan Rp1.000.
Sementara itu, kemudahan untuk memperoleh uang
rupiah kertas pecahan Rp20.000 sampai dengan
Rp2.000 lebih dirasakan oleh responden di wilayah
kas titipan, sedangkan uang rupiah kertas pecahan
Rp100.000, Rp50.000 dan Rp1.000 lebih mudah
dijumpai di wilayah di luar kas titipan. Seluruh
responden di wilayah layanan kas titipan, merasa
kesulitan memenuhi kebutuhan uang rupiah logam
pecahan Rp200, sementara seluruh responden baik di
wilayah kas titipan maupun di luar wilayah kas titipan
merasa kesulitan memenuhi kebutuhan uang rupiah
logam pecahan Rp50.
d. Dilihat dari sumber perolehan uang, sebagian
besar uang rupiah kertas pecahan Rp100.000 dan
Rp50.000 diperoleh dari Anjungan Tunai Mandiri
(ATM), masing-masing sebesar 49,1% dan 51,2%.
Adapun untuk pecahan Rp20.000 ke bawah,
sebagian besar responden atau lebih dari 85%
responden memperolehnya dari hasil transaksi.
Survei menunjukkan bahwa uang rupiah pecahan
besar Rp100.000 dan Rp50.000 lebih banyak
diperoleh masyarakat dari ATM dibandingkan sumber
perolehan uang lainnya seperti teller bank ataupun
transaksi masyarakat sehari-hari. Disisi lain, survei
memperlihatkan adanya ketergantungan masyarakat
di luar wilayah kas titipan yang lebih besar terhadap
teller bank dan transaksi lainnya sebagai sumber
perolehan uang dibanding masyarakat di wilayah kas
titipan.
e. Berdasarkan kualitasnya, uang rupiah kertas pecahan
Rp100.000 dan Rp50.000 yang kebanyakan diperoleh
melalui ATM memiliki kualitas yang sangat baik
dibanding kualitas pecahan lainnya yang diperoleh
melalui transaksi. Hal ini terlihat dari kualitas sebagian
besar uang rupiah kertas pecahan Rp100.000 dan
Rp50.000 yang diperoleh dari ATM yang kualitasnya
berada pada level 12 dan 14 (kondisi layak edar) atau
dengan angka indeks di atas 5 (dari maksimum 6).
Sementara itu, pecahan Rp20.000 yang diperoleh dari
transaksi, kualitasnya cukup layak yaitu pada level 8
dan 10, dengan angka indeks 3,2 (dari maksimum 5).
Angka indeks uang rupiah kertas pecahan Rp2.000
s.d Rp10.000 berada di atas 2 atau pada kualitas
level 7–8. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas
uang rupiah semakin lusuh pada pecahan dengan
denominasi yang lebih rendah. Khusus untuk pecahan
Rp1.000, sebagian besar responden menyatakan
dapat menerima dengan kualitas indeks 1,5 (lusuh).
Kualitas uang rupiah di wilayah layanan kas titipan
yang diperoleh melalui ATM dan teller bank relatif
lebih baik dibandingkan kualitas uang rupiah di luar
wilayah layanan kas titipan. Namun demikian, kualitas
uang rupiah yang diperoleh responden di luar wilayah
layanan kas titipan melalui transaksi tunai lainnya,
relatif lebih baik dibandingkan uang yang diperoleh
responden di wilayah layanan kas titipan.
f. Berdasarkan ekspektasi masyarakat, kualitas uang
rupiah kertas yang beredar untuk pecahan Rp50.000
dan Rp100.000 lebih tinggi dari ekspektasi responden.
Adapun kualitas pecahan Rp20.000 dan Rp10.000
sedikit lebih rendah dari ekspektasi masyarakat,
sementara uang rupiah kertas pecahan Rp5.000
ke bawah kualitasnya lebih rendah dari ekspektasi
masyarakat. Secara umum, kualitas uang rupiah
pecahan besar di daerah yang tidak terlayani kas
titipan lebih baik dibandingkan dengan wilayah kas
titipan. Sebaliknya, uang rupiah pecahan kecil yang
beredar di wilayah layanan kas titipan memiliki kualitas
yang lebih baik dibanding wilayah di luar kas titipan.
Memperhatikan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan
survei tersebut, Bank Indonesia menyimpulkan bahwa
secara umum penerapan strategi layanan kas titipan
di wilayah yang tidak dapat dijangkau secara langsung
oleh layanan kas Bank Indonesia cukup efektif dalam
Kondisi
87Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat khususnya
uang rupiah pecahan kecil. Hal ini terlihat dari kualitas
uang rupiah di daerah layanan kas titipan yang lebih baik
dibanding wilayah di luar kas titipan.
Pemantauan pengolahan uang rupiah layak edar (ULE) yang dilakukan oleh perbankan dan perusahaan CIT
Salah satu strategi kebijakan yang ditempuh Bank
Indonesia untuk memenuhi ketersediaan uang kartal
berkualitas dimasyarakat adalah melalui penguatan fungsi
pemantauan terhadap kegiatan cash processing yang
dilakukan oleh perbankan maupun perusahaan Cash in
Transit (CIT). Pemantauan dilakukan untuk memastikan
kesesuaian kualitas uang rupiah yang diedarkan oleh
perbankan maupun kualitas uang hasil olahan CIT
terhadap standar kualitas uang rupiah layak edar (ULE)
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Adapun penentuan
kesesuaian standar kualitas ULE mengacu pada “Buku
Panduan Ciri-ciri Keaslian dan Standar Kualitas Uang
Rupiah” yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada tahun
2010.
Melanjutkan kegiatan pemantauan yang telah
dilaksanakan pada tahun sebelumnya, pada tahun 2012
Bank Indonesia kembali melakukan pemantauan terhadap
kegiatan cash processing yang dilaksanakan oleh 3 bank
umum dan 2 CIT di wilayah kerja KPwDN Bank Indonesia
Cirebon. Pemantauan dilakukan terhadap metodologi
pengolahan uang, standar kualitas serta kualitas uang
rupiah hasil sortasi yang dilakukan perbankan maupun
CIT. Disamping itu, Bank Indonesia juga melakukan
pemantauan terhadap kondisi area kas di masing-masing
bank dan CIT.
Dari hasil pemantauan, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
a. sebagian besar bank masih melakukan pengolahan
dan sortasi uang secara manual, sedangkan
pengolahan dan sortasi uang yang dilakukan oleh CIT
telah menggunakan mesin.
b. kualitas uang rupiah hasil sortasi yang dilakukan
perbankan cukup baik dan telah sesuai dengan standar
kualitas uang rupiah yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia. Sebagain besar bank tidak membedakan
standar kualitas uang rupiah untuk kebutuhan ATM,
teller, TUKAB maupun kualitas uang rupiah yang akan
disetorkan ke Bank Indonesia, dimana seluruhnya
menggunakan standar fit.
c. ketiga bank sudah melengkapi lokasi pengolahan atau
sortasi uangnya dengan sarana security system berupa
kamera pengawas (CCTV) dan/atau tenaga pengawas.
Disisi lain, belum semua CIT melengkapi lokasi
pengolahan uangnya dengan sarana tersebut.
Meningkatkan Upaya Penanggulangan Peredaran Uang Rupiah Palsu
Berbagai tantangan dihadapi Bank Indonesia dalam
upaya untuk memenuhi ketersediaan uang kartal yang
berkualitas di masyarakat. Diantara tantangan itu salah
satunya adalah adanya risiko peredaran uang rupiah palsu
yang berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat
dalam menggunakan uang rupiah. Menyikapi hal ini,
selama tahun 2012 Bank Indonesia mengambil langkah
kebijakan untuk memperkuat strategi penanggulangan
peredaran uang rupiah palsu yang dilakukan baik secara
preventif maupun represif.
Upaya preventif penanggulangan peredaran uang rupiah
palsu dilakukan dengan meningkatkan kualitas uang
rupiah, melaksanakan kegiatan Sosialisasi Ciri-ciri Keaslian
Uang Rupiah serta menyebarluaskan informasi keaslian
uang rupiah melalui Iklan Layanan Masyarakat (ILM)
di berbagai media massa. Selain itu, upaya preventif
juga ditempuh melalui jalur pendidikan yaitu dengan
memasukkan materi ciri-ciri keaslian uang rupiah dalam
kurikulum pendidikan di berbagai jenjang pendidikan
sekolah.
Sementara itu, upaya represif penanggulangan peredaran
uang rupiah palsu dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
terus mengintensifkan koordinasi pemberantasan uang
rupiah palsu dengan institusi penegakan hukum yaitu
Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Mengacu pada UU
Mata Uang, selain menjadi bagian dari Badan Koordinasi
88 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Pemberantasan Uang Rupiah Palsu (BOTASUPAL), upaya
represif juga ditempuh Bank Indonesia melalui perannya
sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus tindak pidana
uang rupiah palsu. Disamping itu, Bank Indonesia juga
membantu Kepolisian dalam melakukan uji laboratorium
terhadap barang bukti uang rupiah palsu serta
mengakomodir pelaksanaan pemusnahan barang bukti
uang rupiah palsu yang merupakan kewenangan penuh
dari aparat penegak hukum sebagaimana yang pernah
dilakukan pada tahun 2011.
Melalui seluruh rangkaian upaya penanggulangan
peredaran uang rupiah palsu yang dilakukan Bank
Indonesia baik secara preventif maupun represif,
masyarakat diharapkan memiliki keyakinan yang tinggi
pada uang rupiah. Keyakinan ini tumbuh karena uang
rupiah yang beredar di masyarakat memiliki kualitas yang
dapat diterima,nilai ekonomi yang terpercaya, dan aman
dari pemalsuan serta mudah dikenali ciri-ciri keasliannya.
Iklan Layanan Masyarakat mengenai Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah dan Cara Memperlakukan Uang
Upaya untuk memperluas jangkauan penyebaran
informasi ciri-ciri keaslian uang rupiah juga dilakukan
dengan memanfaatkan perkembangan teknologi
komunikasi yang saat ini telah menjangkau hampir seluruh
wilayah di Indonesia. Setelah sukses memasyarakatkan
ciri-ciri keaslian uang rupiah melalui Iklan Layanan
Masyarakat (ILM) dengan tagline “Dilihat, Diraba dan
Diterawang” yang populer dengan isitilah “3D”, Bank
Indonesia mulai mengkampanyekan edukasi mengenai
cara memperlakukan uang rupiah dengan baik dan benar.
Publikasi dilakukan melalui ILM yang mengusung tagline
“Didapat, Disayang dan Disimpan “ atau “3D Generasi
Dua”.
Sosialisasi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah
Untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
masyarakat tentang ciri-ciri keaslian uang rupiah sehingga
mudah dibedakan dengan uang rupiah palsu, Bank
Indonesia terus memperluas jangkauan Sosialisasi Ciri-ciri
Keaslian Uang Rupiah ke masyarakat. Pada tahun 2012,
KPBI menandatangani Nota Kesepahaman pelaksanaan
diseminasi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah dengan Asosiasi
Perusahaan Jasa Angkut Uang Tunai dan Barang Berharga
Indonesia (APJATIN) dan Nota Kesepahaman dengan
Perhimpunan Pengusaha Hiburan dan Rekreasi Umum
(PPHRU). Sebagai tindak lanjut dari penandatangan MoU
ini, KPBI telah melaksanakan sebanyak 6 kali kegiatan
Training of the Trainers (ToT) dan 11 kali kegiatan
Sosialisasi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah.
Selain di KPBI, kegiatan ToT dan sosialisasi ciri keaslian
uang rupiah juga dilakukan oleh seluruh KPw DN Bank
Indonesia di wilayah kerjanya masing-masing. Salah
satunya dilakukan oleh KPw DN Bank Indonesia Wilayah
III (Bali dan Nusa Tenggara). Bekerjasama dengan PT.
ASDP Indonesia Ferry Cabang Padangbai, Bank Indonesia
menyelenggarakan Sosialisasi Ciri-ciri Keaslian Uang
Rupiah dan Cara Memperlakukan Uang Rupiah. Selain
diikuti oleh para pegawai PT. ASDP, kegiatan ini juga diikuti
oleh stakeholders PT. ASDP Indonesia Ferry dan instansi
lainnya yang ada di sekitar wilayah pelabuhan, seperti
Kepolisian KP3 laut Padangbai.
Memasyarakatkan ciri keaslian uang rupiah sekaligus
memamerkan produk-produk unggulan binaan Bank
Indonesia, dilakukan oleh KPw DN Daerah Istimewa
Yogyakarta. Selama 3 (tiga) hari, Bank Indonesia
melakukan sosialisasi ciri keaslian uang rupiah kepada
UMKM, koperasi maupun masyarakat umum yang
berkunjung ke Pameran Gebyar UMKM, Koperasi, PKBL
dan Produk Unggulan Daerah.
Lain lagi dengan KPw DN Bank Indonesia Wilayah I
(Sulawesi, Maluku dan Papua). Melalui kegiatan Festival
Sayang Rupiah “Rupiahku, Kebanggaanku, Ada Masalah?”,
Bank Indonesia melaksanakan sosialisasi ciri keaslian uang
rupiah dan cara memperlakukan uang rupiah kepada
siswa-siswi setingkat Sekolah Menengah Pertama di
Makassar. Selain sosialiasi, pada festival ini juga diadakan
89Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
pertunjukan bakat dan permainan pengetahuan mengenai
kebanksentralan, disamping mengkampanyekan gerakan
menabung kepada para pelajar.
Selain kegiatan ToT dan sosialisasi, penyebaran informasi
ciri keaslian uang rupiah juga dilakukan melalui kegiatan
pagelaran kesenian tradisonal. Melalui lakon tokoh dalam
kesenian tradisional seperti wayang dan opera lokal, Bank
Indonesia menyebarluaskan informasi ciri keaslian uang
rupiah dan cara memperlakukan uang rupiah ke seluruh
lapisan masyarakat. Metode sosialisasi ini juga dilakukan
sebagai bentuk partisipasi aktif Bank Indonesia dalam
melestarikan kebudayaan nasional Indonesia.
90 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
3D Generasi Dua(Didapat, Disayang dan Disimpan)Boks 8.1
Selama ini telah dikenal di khalayak umum bahwa Iklan Layanan Masyarakat (ILM) 3D atau “Dilihat, Diraba dan Diterawang” dipublikasikan sebagai bentuk tanggung jawab Bank Indonesia dalam memasyarakatkan ciri-ciri keaslian uang rupiah.Ini merupakan salah satu upaya preventif yang dilakukan Bank Indonesia dalam menanggulangi pemalsuan uang rupiah. Seiring dengan itu, dalam setiap kegiatan publikasi ciri-ciri keaslian uang rupiah yang dilakukan, Bank Indonesia juga mempublikasikan mengenai cara memperlakukan uang rupiah secara baik dan benar yang dikenal dengan “Didapat, Disayang dan Disimpan” atau “3D Generasi Dua”.
“Didapat, Disayang dan Disimpan” mengajak masyarakat untuk membiasakan diri dengan budaya menghargai uang sebagai hasil dari kerja keras yang telah dilakukan. Budaya menghargai uang ini dilakukan dengan menghindari dari segala cara memperlakukan uang yang mengarah atau dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik uang, antara lain mencoret, meremas, melipat, mengotori dan membasahi. Selanjutnya, uang disimpan secara benar pada tempatnya, antara lain dengan tidak melipat uang ketika disimpan dan menyediakan tempat penyimpanan yang dapat memuat lembaran uang. Budaya menghargai uang rupiah ini menjadi penting selain karena kedudukannya sebagai salah satu simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia, uang rupiah juga berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai alat pembayaran, uang memiliki usia edar tertentu yang dapat diperpanjang usianya apabila masyarakat menghargai dan memperlakukan uang rupiah dengan baik.
Publikasi 3D Generasi Dua “Didapat, Disayang dan Disimpan” bertujuan agar uang rupiah yang diedarkan oleh Bank Indonesia dapat lebih lama beredar dan berputar di masyarakat dengan kondisi yang layak edar. Kondisi fisik uang rupiah yang layak edar diantaranya memiliki tanda-tanda pengaman dalam kondisi yang baik dan terjaga termasuk didalamnya warna dan jenis unsur pengaman uang.Oleh karena itu uang rupiah yang diperlakukan dengan baik dan benar akan mudah dikenali ciri keasliannya sehingga pemegang uang rupiah tersebut akan terhindar dari upaya pemalsuan uang.
Evaluasi terhadap 3D Generasi Dua
Evaluasi dan survei secara cepat telah dilakukan oleh lembaga konsultan yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk mengukur efektivitas program komunikasi keaslian uang rupiah termasuk melakukan konsep tes terhadap 3D Generasi Dua (Didapat, Disayang dan Disimpan). Survei dilakukan terhadap responden yang terdiri dari masyarakat umum, kasir, merchant, guru dan pelajar dengan wilayah survei meliputi Jabodetabek, Lampung, Sukabumi dan Makassar.
Jabodetabek Masyarakat umum, Kasir, Merchant
Lampung Masyarakat umum, Kasir, Merchant
Sukabumi Masyarakat umum, Pelajar, Guru
Makassar Masyarakat umum, Kasir, Merchant
Area Survei Kelompok Respondent
91Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Hasil survei menunjukkan bahwa secara umum istilah 3D Generasi Dua ini dianggap membingungkan Kebingungan ini diakibatkan karena mayoritas responden mempersepsikan uang sebagai alat transaksi, sehingga uang seharusnya untuk digunakan bukan untuk disayang dan disimpan. Selain itu, tagline 3D Generasi Dua “Didapat, Disayang, Disayang” ini dirasakan kurang sesuai dengan message yang ingin disampaikan.
Hal lain yang turut mengemuka pada survei ini adalah bahwa penggunaan tagline 3D sudah identik di masyarakat sebagai carauntuk mengidentifikasi ciri-ciri keaslian uang rupiah, sehingga ketika digunakan juga sebagai tagline cara memperlakukan uang, istilah 3D ini dianggap tidak kreatif.
Kata-kata disayang dan disimpan membingungkan, uang untuk digunakan bukan untuk disimpan 55%
Kata-kata kurang mengena 12%
Kurang enak didengar 7%
Tidak kreatif, 3D sudah identik dengan cara mengidentifikasi keaslian uang 6%
Informasi terlalu berlebihan, orang sudah tahu cara memperlakukan uang 6%
Kata-katanya susah dimengerti 5%
Persepsi %
Namun demikian, meskipun dianggap membingungkan dan kata-katanya kurang mengena, responden menyatakan cukup setuju terhadap pesan yang ingin disampaikan mengenai cara memperlakukan uang dengan baik dan benar yang dikemas dengan tagline 3D.
Dengan pertimbangan agar uang yang ada di masyarakat dapat beredar dan berputar lebih lama, maka pesan yang terkandung dalam 3D “Didapat, Disayang, Disimpan” mengenai cara memperlakukan uang memiliki makna yang sangat penting. Agar penyampaiannya dapat lebih efektif mengena kepada masyarakat, kedepan Bank Indonesia akan mengembangkan strategi komunikasi yang lebih efektif dan mengena ke masyarakat.
92 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Rintisan Sosialisasi Keaslian Uang Rupiah melalui Jalur Pendidikan
Memenuhi amanat pasal 29 ayat (2) UU Mata Uang, Bank
Indonesia berkewajiban untuk memberikan informasi
dan pengetahuan mengenai tanda keaslian uang rupiah
kepada masyarakat. Sosialisasi ciri-ciri keaslian uang
rupiah ini disampaikan melalui berbagai metode dan
media publikasi, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Metode publikasi yang dipandang cukup efektif
untuk menyampaikan pesan mengenai keaslian uang
rupiah ini salah satunya adalah melalui jalur pendidikan.
Untuk itu, pada tahun 2012, Bank Indonesia
mengembangkan kerjasama dengan Kementerian Agama
dan Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi untuk
memasukkan materi edukasi keaslian uang rupiah dalam
kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat
termasuk Madrasah Aliyah. Sementara di Provinsi Jawa
Barat, Bank Indonesia bekerjasama dengan Kementerian
Agama Provinsi Jawa Barat mengembangkan silabus
materi ajar Kebanksentralan, termasuk di dalamnya
materi keaslian uang rupiah, bagi pelajar di seluruh
tingkatan madrasah.
Rintisan Edukasi Keaslian Uang Rupiah melalui Jalur Pendidikan – Pilot Project Edukasi Kebanksentralan di Kabupaten Sukabumi dan di Provinsi Jawa Barat
Boks 8.2
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia diamanatkan untuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian uang rupiah kepada masyarakat. Ciri-ciri keaslian uang rupiah perlu diketahui secara luas di masyarakat sebagai upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat agar terhindar dari kejahatan pemalsuanuang rupiah.
Sebagai bagian dari upaya preventif penanggulangan peredaran uang rupiah palsu, Bank Indonesia terus mengembangkan kegiatan sosialisasi keaslian uang rupiah yang diantaranya ditempuh melalui jalur pendidikan yaitu melalui kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan materi edukasi mengenai ciri keaslian uang rupiah dalam kurikulum sekolah. Disamping itu, penyebaran informasi ciri-ciri keaslian uang rupiah juga dilakukan melalui kegiatan training of trainers (ToT) kepada masyarakat pemegang uang tunai (cash handlers), perbankan dan aparat penegak hukum. Sosialisasi keaslian uang rupiah juga ditempuh melalui pengisian gap pengetahuan masyarakat dalam bentuk kesenian tradisional yang sekaligus bertujuan untuk melestarikan kebudayaan bangsa.
Selama tahun 2012, Bank Indonesiaterus mengembangkan strategi sosialisasi keaslian uang rupiah yang salah satunya ditempuh dengan strategi rintisan edukasi keaslian uang rupiah melalui jalur pendidikan. Sosialisasi melalui jalur pendidikan dipandang mempunyai keunggulan tersendiri, salah satunya yakni manfaat sosialisasi dirasakan oleh masyarakat dalam jangka waktu yang panjang. Pada usia dini masyarakat telah diajak untuk mengenali ciri-ciri keaslian uang rupiah sehingga terbentuk perilaku dan kesadaran untuk mencintai uang rupiah sebagai simbol kedaulatan Negara.
Rintisan sosialisasi keaslian uang rupiah pada tahun 2012 diwujudkan dalam dua pilot poject, yakni Pilot Project Edukasi Sekolah Menengah Atas dan Sederajat termasuk Madrasah Aliyah di Kabupaten Sukabumi dan Pilot Project Edukasi Madrasah di Provinsi Jawa Barat.
93Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Pilot Project Edukasi Sekolah Menengah Atas dan Sederajat di Kabupaten Sukabumi
Sebagai bentuk pelaksanaan pasal 29 ayat (2) UU Mata Uang, Bank Indonesia berkewajiban untuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian uang rupiah kepada masyarakat. Berbagai metode, media atau saluran digunakan untuk melakukan publikasi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu metode publikasi yang dipandang efektif untuk menyampaikan pesan mengenai tanda keaslian uang rupiah adalah melalui jalur pendidikan.
Langkah ini ditempuh oleh Bank Indonesia dengan memasukkan materi Kebanksentralan, yang mana salah satu materinya adalah mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah, ke dalam kurikulum mata pelajaran Sekolah Menengah Atas atau Sederajat. Materi Kebanksentralan ini dimasukkan dalam mata pelajaran Ekonomi pada kurikulum Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah, sedangkan di Sekolah Menengah Kejuruan materi ini disisipkan dalam mata pelajaran Kewirausahaan. Wilayah yang dipilih sebagai pilot project kegiatan ini adalah Kabupaten Sukabumi dengan mempertimbangkan kasus pemalsuan uang rupiah yang cukup menonjol di Sukabumi serta lokasinya yang cukup dekat dengan Kantor Pusat Bank Indonesia.
Pilot Project Edukasi Kebanksentralan ini diawali dengan upaya menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan (Disdik) dan Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Sukabumi untuk memasukkan materi dimaksud ke dalam silabus mata pelajaran ekonomi Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah serta mata pelajaran kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan untuk tahun ajaran 2011-2012. Tujuan kerja sama tersebut adalah agar materi Bank Indonesia dan Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah menjadi salah satu materi pelajaran yang wajib diajarkan kepada pelajar SMA, MA dan SMK di wilayah Kabupaten Sukabumi secara berkelanjutan.
Melalui kerjasama ini, sejak tahun 2011, materi Kebanksentralan termasuk materi ciri-ciri keaslian uang rupiah telah diajarkan di 174 SMA, MA dan SMK di Kabupaten Sukabumi. Selain memasyarakatkan ciri-ciri keaslian uang rupiah, dimasukkannya materi mengenai keaslian uang rupiah dalam silabus mata pelajaran untuk SMA dan Sederajat juga memberikan manfaat lain seperti :
a. Peserta didik lebih mengenal dan memahami tujuan, peran dantugas Bank Indonesia maupun perbedaan Bank Indonesia selaku bank sentral Republik Indonesia dengan bank umum.
b. Selain di sekolah, para guru dapat menjadi narasumber mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di wilayahnya.
Pilot Project Edukasi Sekolah Menengah Atas dan Sederajat di Provinsi Jawa Barat
Berkaca pada pelaksanaan pilot project edukasi di Kabupaten Sukabumi, Bank Indonesia kembali melakukan perluasan pelaksanaan pilot project edukasi untuk memberikan materi edukasi Kebanksentralan di Provinsi Jawa Barat. Materi Kebanksentralan yang diberikan merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pada tahun 2012, Bank Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia telah memulai penyusunan kurikulum Kebanksentralan untuk Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Ibtidaiah. Direncanakan pada tahun ajaran baru tahun 2013, siswa-siswa pada ketiga tingkatan madrasah tersebut telah dapat menerima materi pelajaran Kebanksentralan.
Ruang lingkup kerjasama antara Bank Indonesia dan Kemenag RI meliputi penyusunan model silabus, modul pengajaran, bahan ajar kepada pengajar, implementasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan program. Adapun cakupan materi Kebanksentralan yang dimaksudkan untuk memperkaya program tersebut diantaranya adalah program Ayo ke Bank dan materi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah untuk mata pelajaran IPS di jenjang Madrasah Ibtidaiah dan Madrasah Tsanawiah.
94 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Banyak pengalaman menarik yang diperoleh Bank Indonesia pada saat menyusun materi bahan ajar Kebanksentralan ini. Pengalaman ini tentunya memperkaya khasanah nilai-nilai dan pengetahuan mengenai Kebanksentralan yang akan diberikan kepada peserta didik. Ungkapan waktu adalah uang, seringkali kita dengar. Benarkah waktu adalah uang? Tidak selamanya waktu adalah uang, karena waktu juga dipergunakan untuk menjalin persahabatan dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan yang sungguh menyentuh ini adalah salah satu ekspresi guru Madrasah Tsanawiyah yang menjadi anggota Tim Penulisan bahan ajar materi Kebanksentralan. Makna mendalam yang terkandung dalam ungkapan ini dituangkan kembali sebagai nilai-nilai luhur yang akan memperkaya penulisan materi ajar Kebanksentralan.
Sampai dengan akhir tahun 2012, seluruh modul silabus untuk Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Ibtidaiah telah berhasil diselesaikan. Diharapkan pada tahun ajaran baru 2013 program edukasi Kebanksentralan ini sudah menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa di tiga tingkatan madrasah tersebut. Disamping itu, program edukasi Kebanksentralan ini juga diharapkan sudah diterapkan sebagai bahan ajar pada tingkat nasional. Dengan demikian, program pilot project edukasi Kebanksentralan ini menjadi jangkar penting bagi peningkatan kualitas pendidikan khususnya dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Ekonomi. Dengan bekal pengetahuan yang baik mengenai mampu menjadi motor dalam gerakan perlindungan konsumen terhadap kejahatan pemalsuan uang rupiah.
Upaya Represif Penanggulangan Peredaran Uang Rupiah Palsu sebagai Amanat UU Mata Uang
Mata uang merupakan salah satu lambang kedaulatan
suatu negara. Segala bentuk kejahatan terhadap mata
uang termasuk pemalsuan uang merupakan tindakan yang
merendahkan kehormatan negara dan menjadi ancaman
serius bagi kedaulatan suatu negara. Adanya sanksi
pidana yang tegas bagi para pelaku kejahatan pemalsuan
uang merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk
menanggulangi meluasnya peredaran uang rupiah palsu di
masyarakat.
Menyadari hal ini, Bank Indonesia terus mengembangkan
upaya-upaya represif untuk menanggulangi peredaran
uang rupiah palsu di masyarakat. Upaya ini salah
satunya ditempuh melalui koordinasi dan kerjasama
penanggulangan peredaran uang rupiah palsu dengan
aparat penegak hukum sebagai pihak yang memiliki
kewenangan penuh dalam penanganan tindak pidana
uang palsu.
Koordinasi dan kerjasama ini salah satunya diwujudkan
melalui peranan Bank Indonesia sebagai saksi ahli dalam
peradilan kasus temuan uang rupiah palsu. Peranan ini
sejalan dengan amanat Pasal 29 UU Mata Uang yang
mewajibkan Bank Indonesia untuk memberikan informasi
dan pengetahuan mengenai tanda keaslian uang rupiah
kepada masyarakat, serta memberikan klarifikasi tentang
uang rupiah yang diragukan keasliannya.
Selain itu, untuk mendukung penanganan kasus tindak
pidana uang rupiah palsu yang dilakukan oleh pihak
Kepolisian, Bank Indonesia memberikan bantuan
pemeriksaan laboratorium terhadap barang bukti uang
rupiah palsu. Hasil pemeriksaan laboratoris ini digunakan
oleh pihak Kepolisian dalam proses pelimpahan kasus
tindak pidana uang rupiah palsu ke Kejaksaan dan
melengkapi berkas perkara pada saat persidangan.
Disisi lain, untuk memenuhi amanat Pasal 28 ayat (3) UU
Mata Uang, Bank Indonesia secara aktif mengambil bagian
dalam pembentukan Badan Koordinasi Pemberantasan
Uang Rupiah Palsu (BOTASUPAL). Selain Bank Indonesia,
badan koordinasi ini terdiri dari unsur Badan Intelijen
Negara (BIN), POLRI, Kejaksaan Agung dan Kementerian
Keuangan, yang diketuai oleh Kepala BIN. Adapun
ketentuan mengenai tugas, wewenang dan tanggung
jawab Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu
95Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
tersebut diatur dalam Perpres Nomor 123 Tahun 2012
yang mulai berlaku tanggal 7 Desember 2012.
8.2 Distribusi dan Pengolahan Uang Rupiah yang Aman dan Terpercaya
Memenuhi misinya di bidang pengelolaan uang untuk
menyediakan kebutuhan uang kartal masyarakat dalam
jumlah nominal yang cukup, pecahan yang sesuai, layak
edar dan tepat waktu, Bank Indonesia menempuh
kebijakan penguatan strategi distribusi uang serta
memperkuat strategi pengolahan uang yang telah
dilakukan selama ini. Hal ini dilakukan untuk menjawab
kebutuhan masyarakat akan ketersediaan uang kartal
layak edar sebagai alat pembayaran dalam kegiatan
transaksi masyarakat secara lebih merata di seluruh
wilayah NKRI.
Selama tahun 2012, kebijakan penguatan strategi
distribusi dan pengolahan uang yang aman dan terpercaya
dalam rangka memenuhi kebutuhan uang kartal
masyarakat diwujudkan melalui :
1. Melaksanakan Distribusi Uang Secara Efektif dan
Efisien;
2. Melakukan Pemantauan Kegiatan Pengolahan Uang
dan Layanan Nasabah yang dilakukan oleh Perbankan
dan perusahaan CIT serta Menyempurnakan Cash
Processing di Bank Indonesia;
3. Melakukan Pemantauan Optimalisasi Kinerja Sarana
Pengolahan Uang.
Melaksanakan Distribusi Uang Rupiah secara Efektif dan Efisien
Kegiatan distribusi uang dilakukan Bank Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan kas seluruh satuan kerja kas di 39
KPw DN dan satuan kerja kas di KPBI. Selain itu, distribusi
uang juga dilakukan sebagai bagian dari strategi kebijakan
Bank Indonesia untuk menjaga persediaan uang masing-
masing satuan kerja kas pada level yang aman.
Seiring dengan meningkatnya penggunaan uang kartal
dalam transaksi masyarakat, kegiatan distribusi uang yang
dilakukan Bank Indonesia pun semakin meningkat.Hal ini
tercermin dari peningkatan frekuensi maupun intensitas
kegiatan distribusi uang rupiah yang dilakukan Bank
Indonesia selama tahun 2012.
Menyikapi hal tersebut, Bank Indonesia memperkuat
Rencana Distribusi Uang (RDU) yang merupakan pedoman
operasional bagi pelaksanaan pengiriman uang ke satuan
kerja kas. Penyusunan RDU tersebut mengacu pada
Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) yang telah ditetapkan
dan memuat jadwal pelaksanaan pengiriman serta jumlah
uang yang akan dikirim untuk memenuhi kebutuhan
satuan kerja kas.
Selama tahun 2012, kegiatan distribusi uang dilakukan
dari KPBI ke 11 Kantor Depot Kas (KDK) dan 5 satuan kerja
kas lain yang ada di KPw DN dan KPBI. Adapun penentuan
KDK dilakukan dengan mempertimbangkan jalur distribusi
dan ketersediaan moda transportasi di masing-masing
wilayah.
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan efektivitas
dan efisiensi serta kelancaran kegiatan distribusi uang,
Bank Indonesia menempuh strategi penguatan kerjasama
dengan operator penyedia jasa angkutan baik darat, laut
dan udara. Disamping itu, upaya peningkatan efisiensi
dan efektivitas distribusi uang juga ditempuh melalui
optimalisasi penggunaan armada transportasi milik Bank
Indonesia dalam melaksanakan kegiatan pengiriman uang
ke satuan-satuan kerja kas.
Melalui berbagai strategi tersebut, selama tahun
2012 Bank Indonesia telah merealisasikan pengiriman
uang ke 11 KDK dan 5 satuan kerja kas dengan total
pengiriman sebesar Rp141,22 triliun. Kegiatan distribusi
ini dilakukan sendiri dengan menggunakan armada milik
Bank Indonesia ataupun dengan menggunakan sarana
transportasi darat, laut maupun udara.
Melakukan Pemantauan Kegiatan Pengolahan Uang dan Layanan Nasabah yang dilakukan oleh Perbankan dan Perusahaan CIT, serta Menyempurnakan Cash Processing di Bank Indonesia
Kebutuhan akan ketersediaan uang layak edar yang
terus meningkat pada tahun 2012 berimplikasi pada
96 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
meningkatnya kebutuhan akan kegiatan pengolahan uang
yang aman dan terpercaya. Merespon hal tersebut, Bank
Indonesia secara berkesinambungan memantau kegiatan
pengolahan uang rupiah dan layanan kepada nasabah
yang dilakukan oleh perbankan dan perusahaan cash
in transit (CIT), disamping melakukan penyempurnaan
proses pengolahan uang di Bank Indonesia.
Pemantauan Kegiatan Pengolahan Uang dan Layanan Nasabah yang dilakukan oleh Perbankan dan CIT
Untuk meningkatkan kemampuan perbankan dan
CIT dalam memenuhi standar pengolahan uang yang
ditetapkan, Bank Indonesia secara rutin melakukan
pemantauan terhadap kegiatan pengolahan uang dan
layanan nasabah yang dilakukan baik oleh perbankan
maupun CIT. Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan
pemantauan ini adalah untuk meningkatkan jumlah
pasokan uang kartal layak edar di masyarakat yang berasal
dari hasil olahan perbankan dan CIT.
Penyempurnaan Kegiatan Cash Processing di Bank Indonesia
Selain meningkatkan pasokan uang kartal layak edar
melalui kegiatan pemantauan pengolahan uang yang
dilakukan oleh perbankan dan CIT, upaya peningkatan
pasokan uang kartal layak edar juga dilakukan melalui
penyempurnaan kegiatan pengolahan uang Bank
Indonesia. Penyempurnaan kegiatan cash processing ini
dimaksudkan untuk mempercepat proses pengolahan
uang yang dilakukan Bank Indonesia sehingga pasokan
uang kartal yang dimilki Bank Indonesia dapat dengan
segera memenuhi kebutuhan masyarakat.
Melalui kebijakan tersebut, kegiatan pengolahan uang
selama tahun 2012 dapat berjalan lebih baik dibandingkan
tahun sebelumnya. Hal ini tercermin pada keberhasilan
pemenuhan kebutuhan uang layak edar masyarakat
yang semakin meningkat. Kebijakan ini juga berhasil
mendorong terciptanya tingkat efisiensi yang lebih tinggi
dalam kegiatan pengolahan uang rupiah yang dilakukan
perbankan, CiT maupun Bank Indonesia.
Melakukan Pemantauan Optimalisasi Kinerja Sarana Pengolahan Uang
Keberadaan sarana pengolahan uang merupakan
salah satu faktor penentu keberhasilan Bank Indonesia
dalam memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat.
Penggunaan sarana pengolahan uang secara optimal
akan memperlancar proses handling uang yang diterima
Bank Indonesia dari setoran perbankan dan penukaran
masyarakat. Hasil pengolahan berupa uang layak edar
dapat segera dibayarkan kembali ke perbankanataupun
ditukarkan kembali ke masyarakat untuk digunakan dalam
transaksi pembayaran.
Untuk mengoptimalkan kegiatan pengolahan uang, Bank
Indonesia terus memperkuat kinerja sarana pengolahan
uang yang ada di KPw DN dan KPBI. Hal tersebut dilakukan
melalui kegiatan pemantauan sarana pengolahan uang
baik secara langsung (on-site) maupun secara tidak
langsung melalui laporan yang diterima dari satuan kerja
kas Bank Indonesia (off-site).
Dalam rangka memperoleh gambaran mengenai
kinerja dan kegiatan pengolahan uang yang dilakukan
oleh seluruh satuan kerja kas, selama tahun 2012
Bank Indonesia melakukan pemantauan on-site ke
masing-masing satuan kerja kas. Pemantauan tersebut
dimaksudkan untuk mengetahui profil perkasan tiap-tiap
satuan kerja kas yang meliputi :
a. Jenis dan jumlah peralatan kas yang terdiri
MesinSortasi Uang Kertas (MSUK), Mesin Racik Uang
Kertas (MRUK), Mesin Hitung dan Pembungkus Uang
Logam (MHPUL), Mesin Hitung Uang Kertas (MHUK),
Mesin Hitung Uang Logam (MHUL) dan Mesin Pengikat
Uang Kertas (MPgUK).
b. Kinerja MRUK dan MSUK dalam melakukan
pengolahan uang tidak layak edar
c. Kapasitas dan kondisi ruangan khasanah uang dan area
kas termasuk loket layanan kas
d. Jumlah Sumber Daya Kasir
e. Permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan
pengolahan uang
97Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Hasil pemantauan memperlihatkan bahwa berbagai
strategi kebijakan yang ditempuh selama tahun 2012
berhasil meningkatkan kinerja pengolahan uang yang
dilakukan satuan kerja kas. Hal ini tercermin dari
peningkatan utilitas dan produktivitas MSUK dan MRUK
dalam kegiatan pengolahan uang.
Utilitas atau rata-rata penggunaan MSUK dalam
melakukan pengolahan uang meningkat 20,57%
dibandingkan tahun sebelumnya. Disamping itu,
produktivitas atau rata-rata jumlah uang kertas yang
dapat diolah dengan MSUK menunjukkan peningkatan
sebesar 31,54% dibandingkan tahun sebelumnya.
Secara keseluruhan, rata-rata kinerja satuan kerja kas
dalam menggunakan MSUK pada kegiatan pengolahan
uangnya meningkat 25,93% dari rata-rata kinerja tahun
sebelumnya.
8.3 Pengembangan Layanan Kas Prima
Kegiatan layanan kas yang dilakukan oleh Bank Indonesia
meliputi skema layanan kas kepada bank umum dan
masyarakat yang dilakukan di seluruh unit kerja kas Bank
Indonesia dan layanan kas yang dilakukan di luar kantor
Bank Indonesia. Layanan kas yang dilakukan di seluruh
satuan kerja kas Bank Indonesia terdiri dari layanan
penyetoran dan penarikan perbankan, serta layanan
penukaran uang kartal layak edar kepada masyarakat.
Sementara layanan kas luar kantor Bank Indonesia
dilakukan dalam bentuk layanan kas keliling dan kas
titipan.
Dihadapkan pada peningkatan penggunaan kebutuhan
uang kartal dalam kegiatan transaksi masyarakat, Bank
Indonesia terus mengembangkan alternatif bentuk
layanan kas selain menempuh kebijakan penguatan
strategi layanan kas yang telah ada saat ini. Penguatan
strategi layanan kas tersebut dilakukan baik terhadap
kegiatan layanan penyetoran, penarikan dan penukaran
uang yang dilakukan di seluruh satuan kerja kas, maupun
terhadap layanan kas luar kantor yaitu layanan kas keliling
dan kas titipan.
Pengembangan layanan kas Bank Indonesia selama tahun
2012 diarahkan pada kebijakan untuk memperbesar porsi
keterlibatan perbankan dan instansi terkait lainnya dalam
kegiatan layanan kas yang dilakukan Bank Indonesia. Hal
ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan ketersediaan uang kartal yang merata di seluruh
wilayah Indonesia serta menjaga uang rupiah yang
beredar dalam kondisi layak edar.
Strategi kebijakan yang dilakukan pada tahun 2012 dalam
rangka pengembangan layanan kas dengan melibatkan
perbankan dan instansi terkait tersebut meliputi:
1. Menyempurnakan sistem dan prosedur layanan kas;
2. Mengoptimalkan kerjasama penukaran uang rupiah
pecahan kecil dengan perbankan dan pihak lainnya;
3. Mengembangkan strategi layanan kas pada periode
Hari Raya Keagamaan;
4. Mengoptimalkan Layanan Kas Luar Kantor Bank
Indonesia yang meliputi layanan kas keliling dan kas
titipan serta layanan kas di wilayah terpencil dan
terdepan NKRI.
Menyempurnakan Sistem dan Prosedur Layanan Kas
Dalam rangka meningkatkan pemenuhan kebutuhan
uang rupiah layak edar, Bank Indonesia terus mendorong
komitmen dan keterlibatan perbankan untuk
menyediakan uang rupiah layak edar bagi masyarakat.
Upaya ini ditempuh melalui kerjasama pengelolaan
uang kartal yang efektif, baik antar sesama bank melalui
optimalisasi Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB)
ataupun dengan perantaraan Bank Indonesia melalui
mekanisme dropshot.
Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB)
Sejalan dengan perkembangan kegiatan penarikan
dan penyetoran uang rupiah oleh bank umum dari
dan ke Bank Indonesia, penyempurnaan sistem dan
prosedur layanan kas di Bank Indonesia mutlak untuk
dilakukan. Penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengolahan uang
98 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
di Bank Indonesia serta mengoptimalkan manajemen kas
perbankan.
Pasca pemberlakuan Ketentuan Penyetoran dan Penarikan
Uang Rupiah oleh Bank Umum di Bank Indonesia pada
bulan April 2011 (Surat Edaran BI Nomor 13/9/DPU),
selama tahun 2012 Bank Indonesia terus mendorong
perbankan untuk melakukan optimalisasi TUKAB dalam
memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
Mekanisme Dropshot
Bersamaan dengan upaya optimalisasi TUKAB dalam
memenuhi kebutuhan uang rupiah perbankan, Bank
Indonesia memberlakukan penerapan kebijakan dropshot
yang merupakan mekanisme transaksi uang rupiah antar
bank dengan perantaraan Bank Indonesia.
Keberhasilan mekanisme dropshot dalam meningkatkan
efektivitas dan efisiensi layanan kas Bank Indonesia
mendorong pengembangan mekanisme dropshot yang
sebelumnya hanya dilakukan dalam satu wilayah kerja
Bank Indonesia menjadi dropshot antar wilayah kerja Bank
Indonesia. Melalui mekanisme dropshot antar wilayah
ini, pembayaran ULE hasil setoran bank dapat dilakukan
kepada bank yang sama atau kepada bank berbeda dalam
wilayah kerja KPw DN Bank Indonesia yang berbeda.
Selama tahun 2012, mekanisme dropshot antar wilayah
telah dilakukan di Sumatera dan Aceh; Jawa Timur;
Sumatera Barat; Kalimantan Selatan dan Tengah; serta
dropshot antar wilayah Bandung dan Jakarta. Melalui
kebijakan baru ini, resirkulasi uang layak edar dapat
ditingkatkan mengingat uang layak edar hasil dari setoran
perbankan dapat dibayarkan kembali oleh Bank Indonesia
kepada bank yang sama atau bank berbeda di wilayah
lain, tidak terbatas dalam satu wilayah kerja KPw DN Bank
Indonesia.
Penerapan kebijakan optimalisasi TUKAB dan dropshot
antar wilayah berhasil memenuhi peningkatan kebutuhan
uang kartal masyarakat pada tahun 2012. Disamping itu,
mekanisme ini juga membantu meningkatkan efisiensi dan
efektifas manajemen kas perbankan serta meringankan
beban pengolahan uang di Bank Indonesia. Keberhasilan
penerapan mekanisme dropshot antar wilayah pada tahun
2012 mendorong Bank Indonesia untuk mengembangkan
pemberlakuan mekanisme dropshot di tingkat nasional
yang akan mulai diterapkan pada tahun 2013.
99Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Bye-Laws Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB) Boks 8.3
Untuk memenuhi kebutuhan uang kartal perbankan dan masyarakat, modal kerja yang digunakan oleh Bank Indonesia bersumber dari penerimaan hasil cetak dari Perum Peruri dan setoran uang layak edar dari perbankan. Adapun permintaan uang kartal perbankan ini dipenuhi oleh Bank Indonesia melalui 2 mekanisme :
1. Modal kerja yang berasal dari setoran perbankan yang masih ada dalam kemasan yang utuh dan tersegel dibayarkan langsung untuk memenuhi permintaan bank tanpa terlebih dahulu diolah atau dihitung ulang secara rinci oleh Bank Indonesia. Mekanisme ini dikenal dengan istilah dropshot.
2. Modal kerja yang berasal dari setoran perbankan diolah atau disortasi terlebih dahulu oleh Bank Indonesia menggunakan Mesin Sortasi Uang Kertas (MSUK) ataupun diolah secara manual. Kegiatan sortasi dilakukan selain untuk menghitung kebenaran jumlah setoran bank, juga dilakukan untuk memisahkan uang yang diterima dari setoran bank berdasarkan klasifikasinya yaitu uang layak edar, uang tidak layak edar ataupun uang rusak serta kemungkinan terdapatnya uang rupiah palsu dalam setoran bank. Hasil olahan berupa uang layak edar kemudian dibayarkan kembali untuk memenuhi kebutuhan uang kartal perbankan.
Pemenuhan kebutuhan uang kartal perbankan melalui mekanisme tersebut berdampak pada tingginya beban pengolahan uang atau cash handling di Bank Indonesia. Beban ini diantaranya berupa beban personil dan investasi serta beban pemeliharaan peralatan kas yang tinggi. Kedepan, bebanyang ditimbulkan dari kegiatan pengelolaan uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia termasuk beban pengolahan uang akan semakin tinggi dan kompleks. Hal ini seiring dengan semakin berkembangnya perekonomian dan masih lekatnya budaya masyarakat untuk menggunakan uang tunai dalam transaksi ekonomi (cash driven).Perkembangan perekonomian tersebut telah menyebabkan peningkatan posisi jumlah uangrupiah yang diedarkan (UYD) yang pada tahun 2009 tercatat sebesar Rp279,03 triliun, pada tahun 2012 meningkat tajam menjadi sebesar Rp439,72 triliun.
Merespon perkembangan ini, upaya untuk meningkatkan efisiensi baik pada kegiatan cash handling Bank Indonesia maupun cash management perbankan senantiasa dilakukan oleh Bank Indonesia. Ketentuan setoran dan bayaran bank yang berlaku saat ini telah mampu mengakomodasi terciptanya idle money perbankan yangrelatif rendah.
Kondisi ini dimungkinkan karena bank dapat langsung menyetorkan kelebihan likuiditasnya ke Bank Indonesia ataupun memenuhi kekurangan likuiditasnya dengan melakukan penarikan uang kartal ke Bank Indonesia. Disamping itu, kelebihan ataupun kekurangan likuiditas perbankan dapat diserap atau dipenuhi melalui mekanisme transaksi uang kartal antar bank (TUKAB), sehingga kondisi idle money perbankan yang tinggi dapat diminimalisir. Kondisi idle money yang tinggi di perbankan tentunya menyebabkan cost of fund perbankan membengkak, mengingat idle money tersebut tidak dapat dioptimalkan dalam pasar uang, pembelian Surat Bank Indonesia (SBI), kredit atau piranti-piranti investasi lainnya. Di sisi lain, idle money yang berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK) tersebut memerlukan biaya bunga yang tidak kecil.
Kebijakan lain yang ditempuh Bank Indonesia untuk menciptakan efisiensi cash handling di Bank Indonesia dan efisiensi cash management di perbankan adalah melalui mekanisme dropshot dalam satu wilayah kantor Bank Indonesia. Uang Layak Edar (ULE) yang berasal dari setoran bank yang belum dilakukan penghitungan ulang secara rinci tersebut kemudian dikirimkan untuk memenuhi kebutuhan uang kartal perbankan di wilayah yang
100 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
berada dalam wilayah kerja Kantor Bank Indonesia yang sama. Saat ini, mekanisme dropshot tengah dilakukan uji coba pengembangan cakupannya sehingga dapat berlaku pula antar wilayah kantor Bank Indonesia atau disebut dengan mekanisme dropshot antar wilayah. Terobosan kebijakan ini tidak terlepas dari kenyataan terdapatnya wilayah Kantor Bank Indonesia yang memiliki karakter “Net-Inflow” atau jumlah aliran uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia lebih tinggi dari uang kartal yang keluar dan sebaliknya yang berkarakter “Net-Outflow”. Pengiriman uang (dropshot) dari Kantor Bank Indonesia yang berkarakter Net-Inflow dapat langsung dilakukan kepada Kantor Bank Indonesia terdekat yang membutuhkan likuiditas atau berada dalam kondisi Net-Outflow tanpa melalui Kantor Koordinator ataupun Kantor Pusat Bank Indonesia.
Selain itu, kebijakan dropshot dan perluasan cakupan antar wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan uang layak edar hasil setoran bank digunakan sebagai bayaran untuk memenuhi kebutuhan uang kartal bank lain. Melalui mekanisme ini, uang yang dibayarkan oleh Bank Indonesia kepada bank tidak selalu dipenuhi dengan uang rupiah hasil cetak sempurna (HCS) atau fresh money. Selama ini perbankan telah memiliki building trust diantara bank-bank di wilayahnya masing-masing, dengan melakukan TUKAB dan/atau menerima dropshot dari Kantor Bank Indonesia setempat berdasarkan Bye-Laws TUKAB di masing-masing wilayah.Oleh karena itu, pelaksanaan mekanisme dropshot antar wilayah kerja Bank Indonesia memerlukan pula building trust dan perangkat aturan main diantara bank-bank antar wilayah berupa Bye-Laws TUKAB Nasional.
Bye-Laws TUKAB sendiri merupakan kesepakatan tertulis antar bank yang mengatur pelaksanaan kegiatan transaksi uang kartal antar bank. Adapun tujuan Bye-Laws TUKAB adalah sebagai pedoman dalam memperlancar pelaksanaan kegiatan transaksi uang kartal sehingga terdapat keseragaman praktek-praktek perbankan. Semua bank wajib tunduk pada Bye-Laws ini pada saat melakukan TUKAB atau terjadinya pembayaran ULE oleh kantor Bank Indonesia yang berasal dari setoran bank lain di kantor Bank Indonesia yang ada di wilayah lain (dropshot). Ruang lingkup kegiatan yang diatur dalam Bye-Laws antara lain adalah :
1. Mekanisme pelaksanaan TUKAB dan dropshot
2. Mekanisme penyelesaian jika terjadi selisih jumlah uang yang di-TUKAB-kan atau di-dropshot-kan. Selisih dapat terjadi karena kurang, lebih atau diragukan keasliannya.
Saat ini, sedang berlangsung uji coba dropshot antar wilayah di Kantor Bank Indonesia yang meliputi 6 (enam) kesatuan wilayah, yaitu Sumatera Utara dan Aceh, Sumatera Barat dan Riau, Jakarta dan Bandung, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Jawa Timur, dan wilayah Jawa Tengah. Adapun penetapan wilayah dropshot antar wilayah ini dilakukan berdasarkan beberapa kriteria yaitu :
1. Penetapan wilayah dropshot antar wilayah memenuhi kriteria terdapatnya Kantor Bank Indonesia yang berkarakter net-inflow untuk dapat memenuhi kebutuhan Kantor Bank Indonesia lain yang wilayahnya mengalami kondisi net-outflow.
2. Kedekatan geografis antar Kantor Bank Indonesia serta adanya dukungan infrastruktur dan ketersediaan alat dan jalur transportasi yang memadai.
Secara umum, pelaksanaan uji coba pelaksanaan mekanisme dropshot antar wilayah dapat berlangsung tanpa kendala yang berarti. Keberhasilan ini mendorong rencana diberlakukannya mekanisme dropshot secara nasional pada semester II tahun 2013. Sehubungan dengan rencana pemberlakuan mekanisme dropshot nasional ini, terdapat beberapa hal yang menjadi concern Bank Indonesia. Hal yang menjadi perhatian dalam pemberlakuan mekanisme dropshot nasional terutama menyangkut standar operasi dan prosedur pelaksanaan dropshot, yang antara lain menyangkut :
101Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
1. Pengaturan setoran ULE bank yang dapat dikirimkan ke Kantor Bank Indonesia di wilayah lain untuk didropshotkan adalah setoran bank yang belum melampaui jangka waktu tertentu atau belum terlalu lama.
2. Setoran ULE bank yang dikirimkan adalah setoran ULE dalam kemasan yang utuh, tidak rusak, tersegel dan masih terdapat label bank penyetor.
3. Adanya koordinasi antara Kantor Bank Indonesia sebagai pengirim dengan Kantor Bank Indonesia penerima serta Kantor Koordinator Wilayah sebelum pengiriman setoran ULE bank di-dropshot-kan. Kantor Koordinator atau Kantor Pusat Bank Indonesia dapat bertindak mewakili kantornya ataupun sebagai pengendali dropshot antar Kantor Bank Indonesia yang ada di wilayah kerjanya.
4. Dropshot setoran ULE bank antar wilayah diprioritaskan sebagai bayaran kepada bank yang sama, untuk mempermudah penyelesaian dalam hal terdapat selisih jumlah uang yang di-dropshot-kan.
5. Adanya aturan main bagi bank penyetor dan bank penerima uang dropshot dari BI yang berlaku secara nasional. Secara prinsip aturan main TUKAB atau Bye Laws yang berlaku saat ini di satu wilayah Kantor Bank Indonesia dan wilayah antar Kantor Bank Indonesia adalah sama. Namun demikian, jika diberlakukan secara nasional maka akan ada penyesuaian-penyesuaian akibat jumah bank yang besar dan beragam serta wilayahnya yang tersebar luas di seluruh Indonesia.
������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
�������������������������������������������
��������������������������������������������
��������������
������������������������������
�����������������������
�������������������������������������������������
����������������� ������ ������
������������ �������� ������������������������
���������������
������������
�������
����� ����������
��
�����������������
�������������
������������
����������������
����� ��������
��
�����������������������
�������
�����������������������������������
��
��
�����
�����
������������ ��������
������������
�������
��������
������������������������������
������������������������
�����������������������
102 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Mengoptimalisasikan Kerjasama Penukaran Uang Rupiah Pecahan Kecil dengan Perbankan dan Pihak Lainnya
Meningkatnya penggunaan uang kartal khususnya uang
pecahan kecil dalam transaksi ekonomi masyarakat
disikapi Bank Indonesia dengan mengoptimalkan
kerjasama penukaran uang pecahan kecil yang telah
berjalan sebelumnya. Selain memudahkan masyarakat
memperoleh uang pecahan kecil, kerjasama ini juga
dilakukan sebagai bagian dari kebijakan clean money
policy untuk memenuhi ketersediaan uang rupiah dalam
kondisi layak edar di masyarakat.
Strategi kerjasama layanan penukaran uang rupiah
pecahan kecil dengan bank umum, Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) maupun perusahaan Cash In Transit (CIT)
tersebut merupakan kelanjutan dari strategi layanan
penukaran uang yang telah dirintis sejak tahun 2009 oleh
KPBI. Pada tahun 2012, kerjasama layanan penukaran
uang rupiah pecahan kecil tersebut diikuti oleh 13 bank
umum, 12 BPR dan 5 perusahaan CIT di wilayah kerja KPBI
yang meliputi wilayah JABODETABEK.
Selama tahun 2012, realisasi kerjasama layanan
penukaran uang rupiah pecahan kecil ke masyarakat
mencapai Rp774,62 miliar. Dari jumlah penukaran
tersebut, sebanyak Rp644,2 miliar (83,17%) merupakan
hasil penukaran di bank umum, Rp116,51 miliar (15,04%)
dari penukaran di perusahaan CIT dan Rp13,89 miliar
(1,79%) berasal dari penukaran di BPR.
Sementara itu, pada akhir tahun 2012 telah dilakukan
evaluasi terhadap efektivitas kerjasama layanan kas
penukaran uang rupiah pecahan kecil yang dilakukan
bersama dengan seluruh peserta kerjasama layanan.
Disimpulkan bahwa layanan penukaran uang rupiah
pecahan kecil tersebut cukup efektif dan mendapatkan
respon yang baik dari masyarakat. Respon yang sama juga
disampaikan oleh peserta kerjasama, beberapa peserta
bahkan mengajukan penambahan plafon penukaran untuk
dapat melayani masyarakat secara lebih optimal.
Berlakunya UU Mata Uang sejak tanggal 28 Juni 2011
memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan
kerjasama penukaran uang pecahan kecil antara Bank
Indonesia dengan perbankan dan instansi terkait lainnya.
Ketentuan pasal 22 ayat (4) UU Mata Uang mengatur
bahwa kegiatan penukaran uang rupiah dilakukan oleh
Bank Indonesia, bank yang beroperasi di Indonesia atau
pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Mengacu pada amanat tersebut, Bank Indonesia
memperbaharui perjanjian kerjasama penukaran
uang rupiah pecahan kecil yang berakhir pada tanggal
31 Desember 2012. Disamping itu, untuk lebih
mengoptimalkan layanan kas dalam memenuhi kebutuhan
uang rupiah pecahan kecil, Bank Indonesia menunjuk 1
mitra baru yaitu PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) sebagai
mitra kerja layanan penukaran uang rupiah pecahan kecil
untuk periode 5 tahun kedepan.
Mengembangkan Strategi Layanan Kas pada Periode Hari Raya Keagamaan
Sesuai dengan pola musiman, kebutuhan uang kartal
masyarakat cenderung tinggi selama periode keagamaan
yakni Ramadhan dan Idul Fitri, serta Natal dan akhir
tahun; ataupun pada masa libur sekolah dan tahun ajaran
baru. Bank Indonesia menempuh kebijakan penguatan
strategi layanan kas pada periode Ramadhan dan Idul Fitri
serta periode Natal dan akhir tahun 2012.
Strategi Layanan Kas pada periode Ramadhan dan Idul Fitri 2012
Sebagaimana tahun sebelumnya, untuk memenuhi
kebutuhan uang rupiah masyarakat selama periode
Ramadhan dan Idul Fitri, Bank Indonesia menempuh
2 strategi utama. Strategi tersebut yaitu strategi
pemenuhan kebutuhan uang kartal selama Ramadhan
2012 dan antisipasi arus balik uang kartal pasca Idul Fitri
2012.
Strategi pemenuhan kebutuhan uang kartal selama Ramadhan dan Idul Fitri 2012
1. Penyusunan Estimasi Kebutuhan Uang Kartal selama
Ramadhan dan Idul Fitri 2012
Pada bulan Mei 2012, Bank Indonesia melakukan
penyusunan proyeksi kebutuhan uang kartal masyarakat
103Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 2012. Hal ini
merupakan langkah antisipasi terhadap peningkatan
kebutuhan uang kartal masyarakat selama periode
dimaksud. Proyeksi yang dihasilkan merupakan hasil
penajaman terhadap estimasi kebutuhan uang pada
bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 yang sebelumnya telah
ditetapkan dalam Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) 2012.
Hasil penajaman tersebut kemudian dikomunikasikan ke
seluruh satuan kerja kas Bank Indonesia sebagai Estimasi
Kebutuhan Uang (EKU) Ramadhan dan Idul Fitri 2012.
Dengan mempertimbangkan realisasi outflow tahun
sebelumnya, Bank Indonesia menetapkan EKU Ramadhan
dan Idul Fitri 2012 sebesar Rp89,4 triliun. Proyeksi yang
dibuat meliputi jumlah penarikan dan penukaran baik
dalam nominal maupun jenis pecahan secara nasional.
Sementara itu, realisasi outflow selama periode
Ramadhan dan Idul Fitri 2012 (23 Juli s/d 16 Agustus
2012) tercatat sebesar Rp85,7 triliun atau mencapai 95,8%
dari angka proyeksi. Realisasi outflow tersebut meningkat
6,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
2. Strategi Distribusi Uang
Menghadapi peningkatan kebutuhan uang kartal
masyarakat terutama kebutuhan akan ketersediaan uang
pecahan kecil layak edar menjelang Ramadhan dan Idul
Fitri 2012, Bank Indonesia menempuh strategi kebijakan
untuk meningkatkan persediaan uang di seluruh satuan
kerja kas baik di KPw DN maupun di KPBI. Hal ini dilakukan
dengan menambah frekuensi dan kuantitas pengiriman
uang menjelang Ramadhan dan Idul Fitri 2012.
Sesuai dengan action plan EKU Ramadhan dan Idul Fitri
2012, pengaturan/penjadwalan pengiriman kebutuhan
uang bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 dari KPBI ke
seluruh satuan kerja kas sebagian besar telah diselesaikan
pada akhir bulan Juni 2012. Jadwal pengiriman uang
tersebut lebih awal dari jadwal distribusi uang yang
ditetapkan sebelumnya. Melalui strategi tersebut, uang
kartal telah tersedia di perbankan dan siap dialirkan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sementara itu, untuk memastikan kelancaran arus
distribusi uang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
selama Ramadhan dan Idul Fitri 2012, Bank Indonesia
menempuh kebijakan penguatan kerjasama dan
koordinasi baik antar KPw DN Bank Indonesia maupun
dengan penyedia jasa transportasi. Melalui kerjasama
intensif dengan PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dan PT.
Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) selaku operator
penyedia jasa transportasi darat dan laut, Bank Indonesia
mampu memenuhi peningkatan kebutuhan uang kartal
masyarakat tanpa adanya hambatan transportasi yang
berarti.
3. Strategi Peningkatan Layanan Kas
Untuk memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat
selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 2012, Bank
Indonesia juga terus melakukan peningkatan layanan kas
kepada masyarakat baik melalui layanan kas penarikan,
penyetoran dan penukaran uang rupiah pada loket-loket
layanan kas di seluruh Satuan Kerja Kas, maupun melalui
layanan kas luar kantor seperti kas keliling dan kas titipan.
Bank Indonesia bersama dengan 9 (sembilan) bank
umum nasional yaitu BCA, BRI, Bank Mandiri, BNI,
Bank Jabar Banten, Bank DKI, BTN, CIMB Niaga dan
Bank Permata, menyelenggarakan layanan bersama
penukaran uang rupiah pecahan kecil secara gratis kepada
masyarakat yang dipusatkan di Taman IRTI Monas. Selama
berlangsungnya kegiatan tersebut yaitu tanggal 23 Juli
s.d 16 Agustus 2012, total penukaran masyarakat di
outlet penukaran Bank Indonesia mencapai Rp8,92 miliar,
sedangkan total penukaran di outlet penukaran ke-9 bank
umum lainnya mencapai Rp51,0 miliar.
Pada kegiatan penukaran bersama di Taman IRTI Monas
ini, masyarakat tidak hanya dapat menukarkan uangnya
ke pecahan kecil, namun juga dapat menukarkan uangnya
ke uang elektronik (e-money) seperti Kartu Flazz, Mandiri
Pre-paid (e-toll, Indomaret Card, Gazz Card), Brizzi
dan BNI Pre-paid, secara cuma-cuma. Disamping itu,
masyarakat juga dapat melakukan penukaran uang rupiah
pecahan kecil maupun uang elektronik tersebut dengan
menggunakan kartu ATM/Debet. Hal ini dimaksudkan
104 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
untuk mendorong penggunaan uang elektronik (e-money)
dan menciptakan transaksi yang lebih aman dan efisien
menuju terciptanya less cash society.
Upaya untuk memenuhi kebutuhan uang kartal
masyarakat selama periode Ramadhan dan Idul
Fitri 2012 juga dilakukan oleh seluruh KPw DN Bank
Indonesia. Berbagai terobosan baru ditempuh untuk
dapat meningkatkan layanan kas secara langsung kepada
masyarakat di wilayah kerjanya. Salah satunya dilakukan
oleh KPw Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa Barat &
Banten) yang melayani penukaran uang masyarakat
di loket kas dan membuka fasilitas layanan drive thru
penukaran uang rupiah. Layanan ini dimaksudkan untuk
memudahkan masyarakat dalam menukar uang rupiah
selama periode Ramadhan. Fasilitas ini disediakan dengan
menggunakan outlet layanan kas berupa mobil kas keliling
yang diletakkan di halaman parkir Kantor Bank Indonesia
dari tanggal 27 Juli sampai dengan 16 Agustus 2012.
Sampai dengan 5 hari menjelang berakhirnya fasilitas
ini, tercatat 9.641 kendaraan yang telah dilayani dengan
jumlah penukaran harian tertinggi mencapai Rp2,1 miliar.
Strategi layanan kas pasca Idul Fitri 2012
Sebagaimana pola musiman, pasca berakhirnya periode
Ramadhan dan Idul Fitri ditandai dengan adanya arus
balik (inflow) yang cukup tinggi. Tingginya arus balik
tersebut disebabkan oleh kondisi likuiditas perbankan
yang secara umum mengalami excess liquidity.
Jumlah arus balik dari tanggal 24 Agustus s/d 20
September 2012 atau 1 bulan sejak berakhirnya Idul Fitri
2012 tercatat sebesar Rp68,6 triliun atau mencapai 80,1%
dari jumlah outflow selama periode Ramadhan dan Idul
Fitri 2012 (Rp85,7 triliun). Jumlah arus balik didominasi
oleh uang rupiah pecahan besar yang mencapai Rp66,7
triliun (97,1%), dan uang rupiah pecahan kecil sebesar
Rp1,9 triliun (2,9%).
Strategi Layanan Kas pada periode Natal dan Akhir Tahun 2012
Sebagaimana siklus tahunan, periode Natal dan akhir
tahun umumnya diikuti dengan peningkatan aktivitas
transaksi ekonomi masyarakat yang berimbas pada
peningkatan kebutuhan uang kartal selama periode
tersebut. Memenuhi peningkatan kebutuhan uang kartal
tersebut, Bank Indonesia menempuh beberapa strategi
kebijakan diantaranya :
1. Penyusunan Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) Natal dan
Akhir Tahun 2012
Bank Indonesia menyusun Estimasi Kebutuhan Uang
(EKU) Natal dan akhir tahun 2012 yang merupakan
proyeksi kebutuhan uang kartal selama periode tersebut.
Penyusunan EKU dilakukan pada awal triwulan IV 2012
melalui koordinasi dengan satuan kerja kas di Kantor
Pusat dan seluruh KPw DN Bank Indonesia, maupun
secara eksternal dengan stakeholders.
Dengan mempertimbangkan realisasi outflow tahun
sebelumnya, kebutuhan uang rupiah masyarakat selama
periode Natal dan akhir tahun 2012 diestimasikan
mencapai Rp66,8 triliun. Estimasi tersebut meningkat
17,9% dari tahun sebelumnya dengan angka proyeksi
sebesar Rp56,7 triliun. Peningkatan estimasi outflow
tersebut selain karena aktivitas transaksi tunai yang
cenderung naik setiap tahunnya, juga disebabkan libur
Natal dan akhir tahun 2012 lebih panjang dibandingkan
tahun sebelumnya.
Realisasi penarikan uang rupiah oleh perbankan dan
masyarakat (outflow) selama periode Natal dan akhir
tahun 2012 tercatat sebesar Rp67,7 triliun atau mencapai
101,3% dari estimasi. Realisasi outflow tersebut
meningkat 19,5% dibanding periode yang sama tahun
sebelumnya dengan realisasi penarikan sebesar Rp56,7
triliun.
2. Strategi Distribusi Uang
Meskipun terjadi kenaikan outflow yang cukup signifikan,
pemenuhan kebutuhan uang rupiah layak edar di seluruh
wilayah Indonesia selama periode Natal dan akhir tahun
2012 dapat dipenuhi dengan lancar dan tepat waktu.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari koordinasi intensif
yang dilakukan dengan seluruh Satuan Kerja Kas di KPw
105Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
DN dan KPBI, maupun kerjasama dengan pihak penyedia
jasa angkutan (PT.KAI dan PT.PELNI) untuk mendukung
kelancaran distribusi uang rupiah ke seluruh wilayah
Indonesia. Selain itu, kerjasama dan koordinasi dengan
perbankan dan mitra kerja strategis Bank Indonesia
seperti operator jalan tol, busway dan Asosiasi Pengusaha
Ritel Indonesia (APRINDO) dalam hal penyediaan dan
distribusi uang rupiah layak edar turut pula mendukung
keberhasilan pemenuhan kebutuhan uang kartal selama
periode Natal dan akhir tahun 2012.
3. Peningkatan kapasitas cetak Perum Peruri
Untuk meningkatkan pasokan uang layak edar dalam
memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat selama
periode Natal dan akhir tahun 2012, salah satu strategi
yang ditempuh Bank Indonesia adalah terus membangun
komunikasi dan kerjasama secara intensif dengan Perum
Peruri untuk meningkatkan kapasitas cetak uang rupiah.
Melalui kebijakan tersebut, Bank Indonesia merealisasikan
penerimaan cetak sebesar 101,13% dari rencana cetak
triwulan IV 2012.
4. Optimalisasi kebijakan Transaksi Uang Kartal Antar
Bank (TUKAB) dan Dropshot Antar Wilayah
Strategi lain yang memberikan kontribusi cukup besar bagi
keberhasilan layanan kas selama periode Natal dan akhir
tahun 2012 adalah optimalisasi kebijakan TUKAB dan
kebijakan dropshot antar wilayah yang mulai diterapkan
oleh Bank Indonesia pada tahun 2012. Selama periode
Natal dan akhir tahun 2012, total transaksi TUKAB di
wilayah kerja KPBI mencapai Rp55,0 triliun.
Mengoptimalkan Layanan Kas Luar Kantor Bank Indonesia yang meliputi Layanan Kas Keliling dan Kas Titipan serta Layanan Kas Keliling di Wilayah Terpencil dan Terdepan NKRI.
Keberhasilan Bank Indonesia untuk memenuhi
ketersediaan uang layak edar secara merata dan
berkualitas tidak hanya dipengaruhi oleh keberhasilan
penguatan strategi layanan kas yang dilakukan di Kantor
Bank Indonesia semata. Ditengah berbagai tantangan
yang dihadapi, strategi layanan kas luar kantor yang
dilakukan Bank Indonesia selama tahun 2012 yaitu
layanan kas keliling dan kas titipan mampu membawa
angin segar bagiupaya pemenuhan kebutuhan uang kartal
masyarakat di berbagai wilayah NKRI.
Hal ini terutama dirasakan oleh masyarakat di daerah-
daerah yang selama ini belum terjangkau oleh layanan kas
Bank Indonesia (blank spot areas) ataupun masyarakat
di wilayah terpencil dan terdepan NKRI yang mengalami
kesulitan untuk memperoleh uang kartal dalam kondisi
layak edar. Kondisi infrastruktur daerah yang kurang
memadai maupun keterbatasan jalur distribusi dan
moda transportasi menjadi hambatan utama bagi
kelancaran kegiatan pengedaran uang rupiah di daerah-
daerah tersebut. Penguatan strategi layanan kas luar
kantor inidilakukan melalui optimalisasi kerjasama Bank
Indonesia dengan perbankan dan pihak terkait lainnya
dalam bentuk perluasan kerjasama penukaran uang
rupiah pecahan kecil bagi masyarakat.
Layanan Kas Keliling
Layanan kas keliling yang dilakukan Bank Indonesia
bertujuan untuk menjangkau penyediaan uang rupiah
layak edar khususnya uang rupiah pecahan kecil di luar
kota kedudukan Kantor Bank Indonesia baik di wilayah
KPw DN maupun di wilayah kerja KPBI. Strategi layanan
kas keliling di wilayah KPBI diarahkan ke lokasi yang
memiliki tingkat kebutuhan dan perputaran uang cukup
tinggi seperti pasar tradisional dan pusat perbelanjaan.
Sedangkan di KPwDN, layanan kas keliling diarahkan ke
luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia yang belum
dapat dipenuhi oleh perbankan setempat.
Selama tahun 2012, KPBI telah melaksanakan sebanyak
525 kali kegiatan layanan kas keliling di wilayah
JABODETABEK dan wilayah lainnya seperti Serang,
Karawang, Sukabumi, Labuan, Rangkasbitung, Pandeglang
dan Cilegon. Melalui layanan kas keliling ini tercatat
jumlah transaksi penukaran uang masyarakat sebesar
Rp242,1 miliar.
Selain itu, Bank Indonesia bekerja sama dengan PT.
Jakarta International Expo (JI Expo) menyelenggarakan
106 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
layanan penukaran uang kecil tanpa biaya (free of charge)
kepada para pengunjung dan peserta pameran pada event
tahunan Jakarta Fair 2012 yang berlangsung pada tanggal
14 Juni – 14 Juli 2012. Layanan kas berlangsung setiap hari
selama berlangsungnya event dengan menyiapkan Rp500-
550 juta per hari untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Penguatan strategi layanan kas keliling juga dilakukan oleh
KPw DN Bank Indonesia sebagai upaya untuk memenuhi
ketersediaan uang layak edar di wilayah yang kebutuhan
uangnya belum dapat dipenuhi oleh perbankan setempat.
Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh KPw DN
Pematang Siantar pada tahun 2012 adalah melakukan
kegiatan layanan kas keliling penukaran uang kepada
masyarakat dan layanan kas keliling wholesale kepada
perbankan di Kisaran dan Tanjung Balai.
Disamping membantu masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan uang kartal layak edar melalui layanan
penukaran uang pecahan kecil, kehadiran layanan kas
keliling wholesale ini sangat membantu perbankan
setempat untuk menukarkan uang rupiah tidak layak edar
yang menjadi idle money di perbankan.
Selama tahun 2012, transaksi penukaran uang rupiah
layak edar masyarakat melalui layanan kas keliling yang
dilakukan oleh seluruh KPw DN Bank Indonesia mencapai
Rp1,36 triliun atau 0,32% dari total aliran uang kartal yang
keluar dari Bank Indonesia ke perbankan dan masyarakat
(outflow). Adapun jumlah nominal penukaran uang rupiah
terbesar melalui kegiatan kas keliling ini terdapat di
KPBI, KPw Bank Indonesia Wilayah II (Kalimantan) dan
KPw Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa Barat dan Banten),
masing-masing sebesar 18,84%, 18,35% dan 14,70% dari
total outflow layanan kas keliling.
Layanan Kas Titipan
Sepanjang tahun 2012 Bank Indonesia terus melakukan
perluasan layanan kas titipan khususnya di daerah blank
spot areasyang memiliki aktivitas ekonomi yang cukup
tinggi. Alternatif layanan kas ini dipandang sebagai
alternatif yang lebih efisien dibanding layanan kas
keliling sementara belum terdapat pembukaan KPw DN
Bank Indonesia untuk melayani kebutuhan masyarakat
setempat. Upaya ini dilakukan dengan meningkatkan
peran serta dan keterlibatan perbankan setempat
untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan uang kartal
masyarakat di wilayah blank spot areas baik secara jumlah
maupun kualitas.
Penguatan strategi layanan kas titipan yang dilakukan
Bank Indonesia pada tahun 2012 tercermin dari
penambahan jumlah lokasi kas titipan di berbagai blank
spot area di wilayah Indonesia. Dari 15 lokasi kas titipan
sampai dengan akhir tahun 2011, sepanjang tahun 2012
Bank Indonesia kembali melakukan pembukaan 4 lokasi
kas titipan baru. Bekerjasama dengan PT. BPD Kalteng
sebagai bank pengelola kas titipan, Bank Indonesia
membuka kas titipan baru di daerah Muara Teweh
(Kalimantan Tengah), sementara di Luwuk (Sulawesi
Tengah), kas titipan dibuka melalui kerjasama dengan
PT. BRI Sulteng selaku bank pengelola. Selain itu, untuk
mendukung kelancaran transaksi ekonomi masyarakat
dengan berkembangnya sentra-sentra ekonomi di
Kawasan Timur Indonesia (KTI), Bank Indonesia membuka
2 lokasi kas titipan baru di Waingapu dan Atambua, Nusa
Tenggara Timur, masing-masing melalui kerjasama dengan
PT. BRI NTT dan PT. BPD NTT selaku bank pengelola.
Dengan adanya pembukaan lokasi kas titipan baru
tersebut, sampai dengan akhir tahun 2012 Bank Indonesia
telah memiliki 19 lokasi kas titipan yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Selain 4 lokasi kas titipan
baru yang dibuka selama tahun 2012, lokasi kas titipan
lainnya terdapat wilayah Biak, Merauke, Sorong, Timika,
Maumere, Gorontalo, Tahuna, Sampit, Lubuk Linggau,
Pangkal Pinang, Toli-toli, Rantau Prapat, Gunung Sitoli,
Palopo dan Mamuju.
Layanan Kas Keliling di Wilayah Terpencil dan Terdepan NKRI
Bank Indonesia terus mengembangkan kegiatan layanan
kas keliling penukaran uang rupiah layak edar di wilayah-
wilayah terpencil dan terdepan NKRI yang merupakan
kelanjutan dari program kerja tahun sebelumnya. Selain
untuk menjamin penyediaan uang rupiah layak edar dan
meningkatkan layanan kas Bank Indonesia, kebijakan
107Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
ini juga ditempuh sebagai bagian dari upaya menjaga
kedaulatan negara melalui eksistensi uang rupiah di
daerah terpencil dan terdepan NKRI. Pelaksanaan layanan
kas keliling ini dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia
maupun melalui kerjasama dengan instansi terkait lainnya
seperti Kepolisian Air (POLAIR) dan TNI Angkatan Laut (TNI
AL).
Kerjasama dengan POLAIR diwujudkan pada pelaksanaan
kegiatan kas keliling penukaran uang rupiah layak edar
di di wilayah Kepulauan Seribu. Dengan menggunakan
armada speed boat dan pengamanan dari POLAIR,
layanan kas keliling Bank Indonesia berhasil menjangkau
masyarakat di 5 lokasi yaitu Pulau Tidung, Pulau Pramuka,
Pulau Untung Jawa, Pulau Panggang dan Pulau Harapan.
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan efektivitas dan
efisiensi layanan kas ini ke depan, pada 22 Februari 2012
Bank Indonesia dan TNI AL sepakat untuk meningkatkan
kerjasama yang telah dijalankan sejak tahun 2011 ke
dalam suatu Piagam Kesepakatan Bersama (PKB) dan
Perjanjian Kerja Sama (PKS). Keduanya akan menjadi
pijakan bagi pelaksanaan kerjasama distribusi dan
pengamanan layanan kas serta program kegiatan sosial
Bank Indonesia di daerah terpencil dan terdepan NKRI.
Melalui kerjasama dengan TNI AL, layanan kas keliling
Bank Indonesia telah berhasil menjangkau dan melayani
masyarakat di berbagai wilayah terpencil dan terdepan
NKRI. Wilayah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua,
Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), Kepulauan
Sangihe–Talaud (Sulawesi Utara) dan Kepulauan
Anambas–Natuna (Kepulauan Riau) merupakan daerah-
daerah terpencil ataupun terdepan NKRI yang pada tahun
2012 telah terlayani oleh layanan kas keliling ini.
Menjadi kebanggaan tersediri bagi Bank Indonesia bahwa
pelaksanaan kegiatan layanan kas keliling penukaran
uang rupiah layak edar ke berbagai daerah terpencil
dan terdepan NKRI mendapatkan apresiasi dan respon
yang positif dari berbagai kalangan masyarakat maupun
Pemerintah Daerah setempat. Apresiasi positif tersebut
terlihat dari antusiasme masyarakat pada pelaksanaan
kegiatan kas keliling di 5 daerah terpencil di Kepulauan
Maluku yaitu Pulau Geser, Pulau Tual, Pulau Larat,
Pulau Kisar dan Pulau Wetar yang dilakukan dengan
menggunakan armada KRI Untung Surapati milik TNI AL.
Masyarakat dan perbankan setempat secara antusias
melakukan penukaran uang rupiah yang sudah lusuh
dan tidak layak edar di tempat penukaran yang dibuka
Bank Indonesia. Disamping itu, masyarakat juga secara
aktif mengikuti sosialisasi ciri keaslian uang rupiah yang
dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan kas
keliling.
Apresiasi positif tersebut terlihat pula pada banyaknya
masyarakat yang mengunjungi acara “open ship” KRI
Untung Surapati selama berlabuh di pelabuhan umum
setempat. Pada acara tersebut, masyarakat dapat naik ke
atas kapal perang untuk mendapatkan informasi terkait
fungsi dan tugas TNI AL.
Melalui acara “open ship’ ini diharapkan masyarakat di
wilayah terpencil dan terdepan NKRI dapat memiliki
pemahaman yang menyeluruh terkait fungsi dan tugas
Bank Indonesia dan TNI AL dalam menjaga kedaulatan
NKRI. Hal ini sesuai dengan komitmen dari kedua lembaga
untuk menegakkan lambang negara dan menjaga
kedaulatan NKRI melalui peningkatan eksistensi Rupiah
dan fungsi hankam matra laut di daerah terpencil dan
terdepan NKRI.
Layanan kas keliling ke daerah terpencil dan terdepan
NKRI selama tahun 2012 juga dilaksanakan oleh seluruh
KPw DN Bank Indonesia, salah satunya oleh KPw DN
Provinsi Kalimantan Barat. Wilayah kerja KPwDN Provinsi
Kalimantan Barat diantaranya meliputi batas wilayah
negara yang membentang sepanjang 966 KM, dimana
terdapat 15 kecamatan dan 747 desa yang wilayahnya
berbatasan secara langsung dengan distrik-distrik di
negara tetangga Malaysia.
Secara umum, sebagian besar daerah yang ada di wilayah
perbatasan tersebut dikategorikan sebagai daerah
tertinggal, salah satunya adalah Kecamatan Paloh,
Kabupaten Sambas. Disisi lain, kondisi infrastruktur di
wilayah Malaysia yang berbatasan langsung dengan
Indonesia yaitu Sarawak sudah sangat memadai dan lebih
mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang ada di
perbatasan.
108 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Kurangnya upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat di
perbatasan serta terbukanya peluang ekonomi di negara
tetangga mendorong orientasi transaksi masyarakat
dilakukan dalam mata uang negara tetangga. Selain itu,
kemudahan akses untuk memperoleh uang ringgit dan
sulitnya memperoleh uang rupiah, menjadikan uang
ringgit lebih dominan beredar di sebagian besar wilayah
perbatasan dibandingkan dengan uang rupiah.
Merespon hal tersebut, KPw DN Provinsi Kalimantan Barat
menurunkan tim kas keliling untuk memberikan layanan
penukaran uang rupiah pecahan kecil serta penarikan
uang rupiah lusuh kepada masyarakat di Kecamatan Paloh,
yang selama ini tidak tersentuh oleh layanan perbankan.
Layanan kas keliling ini dilakukan bersamaan dengan
pembukaan Kantor Cabang Pembantu BPD Kalimantan
Barat yang merupakan bank pertama yang dimiliki oleh
Kecamatan Paloh sejak jaman kemerdekaan.
Kegiatan layanan kas keliling di wilayah terpencil dan
terdepan NKRI juga dilakukan oleh KPw DN Provinsi
Maluku di daerah Namrole, Kabupaten Buru Selatan,
yang merupakan daerah baru hasil pemekaran, yang
hanya dapat dijangkau setelah menempuh perjalanan
selama 6 jam dengan menggunakan kapal feri dari Kota
Ambon. Kondisi infrastruktur yang belum memadai
menjadi salah satu penyebab kondisi uang rupiah yang
beredar di daerah Namrole sebagian besar dalam kondisi
lusuh. Selama 3 hari, layanan kas keliling KPw DN Provinsi
Maluku melayani penukaran uang rupiah pecahan
kecil maupun uang rupiah lusuh dan rusak yang ada di
masyarakat dan dunia usaha, sertamaupun layanan kas
keliling secara wholesale kepada perbankan.
Demikian pula yang dilakukan oleh KPw DN Provinsi
Bengkulu melalui kegiatan sinergi bertajuk “BI-LANAL
Peduli Enggano”, tim gabungan KPw DN Provinsi Bengkulu
dan Pangkalan TNI AL (LANAL) Bengkulu menggelar
layanan kas keliling bagi masyarakat di Pulau Enggano.
Pulau ini merupakan pulau terluar di wilayah Indonesia
bagian barat yang berjarak sekitar 180 mil dari Pulau
Sumatera. Di tengah perkembangan aktivitas ekonomi
masyarakat dan potensi daerah yang dimiliki, transaki
barter masih lazim dijumpai di Pulau Enggano. Selain
minimnya ketersediaan infrastruktur, keterbatasan jalur
dan moda transportasi untuk menjangkau Pulau Enggano
menyebabkan masyarakat setempat masih mengandalkan
barter untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketiadaan
perbankan di pulau ini juga mengakibatkan kondisi uang
rupiah yang beredar di masyarakat sebagian besar dalam
kondisi yang lusuh.
Selain kegiatan layanan kas keliling yang melayani
penukaran uang pecahan kecil maupun uang rupiah
yang sudah tidak layak edar dan rusak, Bank Indonesia
juga melaksanakan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang
rupiah ke masyarakat. Disamping itu, Bank Indonesia dan
LANAL Bengkulu juga menggelar kegiatan sosial berupa
pembagian sembako dan layanan kesehatan gratis serta
melaksanakan penghijauan di pesisir pantai Malakoni-
Enggano.
Dari ujung barat Indonesia, kegiatan layanan kas keliling
ke daerah terpencil yang terdapat di Bumi Serambi Mekah
juga dilakukan oleh KPw DN Bank Indonesia Provinsi Aceh.
Di tengah ancaman gempa, Bank Indonesia melaksanakan
kegiatan kas keliling penukaran uang layak edar di
Kabupaten Simule, salah satu daerah terpencil di wilayah
Aceh Selatan.
Layanan kas keliling ini membuka akses penukaran uang
layak edar kepada masyarakat dan memenuhi kelangkaan
pecahan uang tertentu. Selain itu, layanan kas keliling juga
dilakukan secara wholesale untuk memenuhi kebutuhan
uang kartal perbankan setempat.
Ekspedisi Bhakti Kesejahteraan Rakyat (Bhakesra) Nusantara 2012
Komitmen Bank Indonesia untuk meningkatkan eksistensi
uang rupiah di daerah-daerah terdepan NKRI diwujudkan
pula melalui keikutsertaan Bank Indonesia dalam
pelaksanaan Ekspedisi Bhakti Kesejahteraan Rakyat
(Bhakesra) Nusantara 2012. Kegiatan ini diselenggarakan
oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
bersama dengan TNI AL dan Kementerian/lembaga
terkait, BUMN serta kalangan swasta. Ekspedisi ini
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
di pulau-pulau terpencil dan terdepan NKRI sekaligus
109Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
untuk mendukung perhelatan Sail Morotai 2012
yang merupakan salah satu agenda kegiatan tahunan
Pemerintah.
Bertolak dari pelabuhan Tanjung Priok pada tanggal 28
Agustus 2012, Bank Indonesia dan TNI AL mengarungi 7
pulau terpencil dan terdepan NKRI dengan menggunakan
KRI Banda Aceh. Selama 1 bulan, Bank Indonesia
melakukan kegiatan layanan kas keliling penukaran uang
rupiah layak edar kepada masyarakat terutama layanan
penukaran uang rupiah pecahan kecil kepada masyarakat
di Pulau Maumere, Lembata, Buru, Morotai, Marampit,
Marore dan Pulau Balabalakang. Total penukaran uang
pecahan kecil layak edar selama pelaksanaan Ekspedisi
Bhakesra Nusantara 2012 mencapai Rp17,37 miliar yang
terdiri dari uang rupiah kertas dan logam. Kondisi fisik
uang yang diterima dari masyarakat umumnya sudah
sangat lusuh.
Dalam Ekspedisi Bhakesra ini, Bank Indonesia secara
simultan juga melakukan kegiatan Sosialisasi ciri-
ciriKeaslian Uang Rupiah sekaligus melaksanakan Survei
Ketersediaan dan Penggunaan Uang Rupiah di Wilayah
Terpencil/Terdepan NKRI. Disamping itu, Bank Indonesia
juga memberikan bantuan sosial berupa 7 (tujuh) genset
diesel yang diperuntukkan bagi masyarakat dan Pos TNI
AL yang ada di masing-masing pulau sebagai bagian dari
Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) tahun 2012.
8.4 Koordinasi dalam rangka Implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
lahir dari keinginan untuk mempercepat terwujudnya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan melakukan
perubahan pengaturan mata uang yang terpisah dengan
pengaturan tentang Bank Indonesia. Hal ini mengingat
kedudukan uang sebagai salah satu simbol negara serta
perannya sebagai alat pembayaran yang sah (legal
tender). Disamping itu, UU Mata Uang lahir dari keinginan
kuat untuk menjadikan mata uang rupiah sebagai tuan
rumah di negeri sendiri.
Diberlakukannya UU Mata Uang pada tanggal 28 Juni
2011, mengharuskan Bank Indonesia untuk melakukan
penyesuaian terhadap pelaksanaan tugas dan
kewenangan di bidang pengelolaan uang. Penyesuaian
ini dilakukan sebagai pemenuhan amanat untuk
melakukan koordinasi dengan Pemerintah dalam kegiatan
perencanaan, pencetakan dan pemusnahan uang rupiah.
UU Mata Uang juga mengamanatkan penunjukan BUMN
yakni Perum Peruri sebagai satu-satunya pelaksana
pencetakan uang rupiah. Lebih lanjut, UU Mata Uang
mengamanatkan koordinasi dalam upaya pemberantasan
uang rupiah palsu melalui suatu badan yang disebut
sebagai Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu
(BOTASUPAL).
Sementara itu, memenuhi amanat pasal 42 UU Mata
Uang, Bank Indonesia akan melakukan penerbitan uang
rupiah baru yang akan ditandatangani bersama oleh
Bank Indonesia dan Pemerintah. Uang rupiah baru
tersebut akan diperkenalkan ke masyarakat sebagai alat
pembayaran yang sah pada tanggal 17 Agustus 2014.
Melakukan Koordinasi dengan Pemerintah dalam Menetapkan Estimasi Kebutuhan Uang (EKU) dan Rencana Cetak Uang (RCU)
Berdasarkan UU Mata Uang, kegiatan pengelolaan
uangrupiah terdiri dari kegiatan perencanaan,
pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan,
serta pemusnahan uang rupiah. Dalam menjalankan
kegiatan tersebut, Bank Indonesia merupakan
satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan
pengeluaran, pengedaran, dan/atau pencabutan dan
penarikan uang rupiah. Adapun pelaksanaan kegiatan
perencanaan dan pencetakan, serta pemusnahan uang
rupiah dilakukan Bank Indonesia melalui koordinasi
dengan Pemerintah dengan berpedoman pada Nota
Kesepahaman tentang Pelaksanaan Koordinasi dalam
rangka Perencanaan dan Pencetakan, serta Pemusnahan
Uang Rupiah, yang telah ditandatangani oleh Bank
Indonesia dan Kementerian Keuangan selaku wakil
Pemerintah pada tanggal 27 Juni 2012.
110 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Sesuai dengan amanat UU Mata Uang tersebut,
penyusunan EKU maupun RCU 2013 yang dilakukan Bank
Indonesia telah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan
Kementerian Keuangan sebagai wakil Pemerintah. Wujud
dari koordinasi tersebut berupa pemberitahuan dan tukar-
menukar informasi mengenai rencana, macam dan harga
uang rupiah, proyeksi jumlah uang rupiah yang perlu
dicetak, serta jumlah uang rupiah yang rusak dan yang
ditarik dari peredaran.
Penyusunan EKU 2013 telah dilaksanakan oleh Bank
Indonesia pada triwulan II 2012 melalui penyelenggaraan
Workshop Perencanaan, Pengadaan dan Distribusi Uang
Rupiah Tahun 2013. Kehadiran wakil dari Kementerian
Keuangan RI pada penyusunan EKU 2013 ini, merupakan
bentuk nyata koordinasi Bank Indonesia dan Pemerintah
dalam hal perencanaan uang rupiah. Disamping itu,
Bank Indonesia juga telah menyampaikan perhitungan
sementara RCU 2013 kepada Kementerian Keuangan c.q.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk ditanggapi
oleh Pemerintah.
Melakukan Penyelarasan Pencetakan Uang Rupiah dengan Perum Peruri dan Pemerintah
Keberhasilan Bank Indonesia untuk mewujudkan misinya
dalam memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat
sangat dipengaruhi oleh kontinuitas pasokan uang rupiah.
Dengan berlakunya UU Mata Uang, tugas pencetakan
uang rupiahyang diemban oleh Bank Indonesia
dipenuhi dengan menunjuk Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) terkait, yaitu Perum Peruri sebagai perusahaan
pencetakan uang rupiah.
Menyikapi hubungan monopolistik antara Bank Indonesia
dan Perum Peruri dalam tugas pencetakan uang rupiah
tersebut, selama tahun 2012 Bank Indonesia menempuh
upaya penyelarasan (alignment) dengan Perum Peruri
dan Kementerian Negara BUMN yang membawahi Perum
Peruri. Alignment dilakukan untuk lebih saling memahami
kepentingan masing-masing pihak sehingga terdapat
kesepahaman yang sama dalam pelaksanaan tugas
pencetakan uang rupiah.
Dampak positif pelaksanaan alignment ini dirasakan pada
seluruh tahapan proses pencetakan uang rupiah. Proses
perencanaan pencetakan uang rupiah, negosiasi hingga
pelaksanaan cetak uang rupiah di Perum Peruri untuk
memenuhi RCU 2012 dapat berjalan tanpa hambatan
yang berarti. Dampak alignment ini juga dirasakan pada
proses pengadaan pencetakan uang rupiah tahun 2013
yang berhasil diselesaikan dan disepakati bersama oleh
Bank Indonesia dan Perum Peruri pada akhir tahun 2012. Melakukan Koordinasi dengan Pemerintah dalam Pembentukan Badan Koordinasi Pemberantasan Uang RupiahPalsu
Upaya pemberantasan pemalsuan Rupiah yang dilakukan
oleh Pemerintah dan Bank Indonesia telah melalui
tahapan sejarah dan perkembangan yang cukup panjang.
Pemberantasan kejahatan terhadap mata uang ini sangat
penting dilakukan karena kejahatan tersebut ditengarai
dapat mengganggu stabilitas moneter dan perekonomian
negara, sehingga pembentukan suatu badan pada tingkat
negara sangat diperlukan. Melalui penerbitan Peraturan
Presiden Nomor 1 tahun 1971, dibentuk Badan Koordinasi
Pemberantasan Uang Palsu (BOTASUPAL) pada tanggal 22
Maret 1971.
Dalam perkembangannya, berlakunya UU Mata Uang
pada tanggal 20 Juni 2011 mengamanatkan pembentukan
Badan Koordinasi Pemalsuan Rupiah Palsu, yang juga
disingkat dengan nama BOTASUPAL. Landasan hukum ini
diperkuat dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 123 Tahun 2012 tanggal 7 Desember 2012 tentang
Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu.
Sesuai dengan ketentuan ini, BOTASUPAL memiliki fungsi
sebagai koordinator pemberantasan uang rupiah palsu,
dengan memadukan kegiatan dan operasi pemberantasan
uang rupiah palsu yang dilakukan oleh lembaga dan
instansi terkait sesuai kewenangannya masing-masing.
Unsur-unsur BOTASUPAL terdiri dari Badan Intelijen
Negara (BIN), Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung,
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Adapun
Ketua BOTASUPAL dijabat oleh Kepala BIN.
111Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Tugas BOTASUPAL (bentuk yang baru) sebagaimana
diatur dalam Perpres Nomor 123 Tahun 2012 tanggal 7
Desember 2012 diantaranya melakukan koordinasi di
bidang penyusunan kebijakan, pelaksanaan kebijakan,
analisis dan evaluasi kebijakan pemberantasan uang
rupiah palsu. Dalam pelaksanaannya, koordinasi antar
unsur BOTASUPAL dilakukan minimum dua kali dalam satu
tahun. Adapun pelaksanaan tugas dari tiap unsur-unsur
BOTASUPAL disesuaikan dengan kewenangan masing-
masing lembaga berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Sepanjang tahun 2012, kegiatan koordinasi dalam
rangka pemberantasan uang rupiah palsu dengan
unsur-unsur BOTASUPAL lainnya diwujudkan dengan
menyelenggarakan Semiloka dan Diskusi Panel dengan
tema “Arah dan Strategi Kebijakan Pemberantasan
Pemalsuan Uang rupiah setelah berlakunya Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang”.
Sementara upaya Bank Indonesia dalam penanggulangan
peredaran uang rupiah palsu salah satunya melalui
implementasi pusat data uang rupiah palsu, Bank
Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC).
Semiloka dan Diskusi Panel “Arah dan Strategi Kebijakan
Pemberantasan Pemalsuan Uang Rupiah setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011
tentang Mata Uang”
Pelaksanaan koordinasi dengan unsur-unsur BOTASUPAL
dan pihak terkait lainnya sepanjang tahun 2012 dilakukan
juga melalui penyelenggaraan kegiatan seminar. Pada
bulan Oktober 2012, Bank Indonesia menyelenggarakan
kegiatan Semiloka dan Diskusi Panel dengan tema “Arah
dan Strategi Kebijakan Pemberantasan Pemalsuan Uang
Rupiah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2011 tentang Mata Uang”. Acara Semiloka
diselenggarakan di 2 (dua) tempat, yaitu di Bandung
bertempat di KPw DN Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa
Barat & Banten) dan di Surabaya bertempat di KPw DN
Bank Indonesia Wilayah IV (Jawa Timur). Mayoritas
peserta seminar adalah aparat penegak hukum dari
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Disamping
itu, seminar dihadiri pula oleh perwakilan dari TNI,
Perbankan, Akademisi, Perbarindo (Perhimpunan Bank
Perkreditan Rakyat Indonesia, PVA (Pedagang Valuta
Asing) dan media massa.
Penyelenggaraan Semiloka dan Diskusi Panel dimaksudkan
untuk memberikan gambaran mengenai tindak pidana
pemalsuan uang rupiah yang terjadi saat ini. Selain itu,
peserta semiloka juga dibekali dengan pengetahuan
mengenai upaya-upaya penanggulangan yang telah
dilakukan serta arah dan strategi ke depan dalam
memberantas pemalsuan uang rupiah sesuai dengan
ketentuan UU Mata Uang.
Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC)
Tindak pidana uang rupiah palsu saat ini ditengarai telah
berkembang menjadi kejahatan antar wilayah, dan bahkan
di beberapa kasus telah berkembang menjadi kejahatan
trans-nasional. Menghadapi perkembangan tersebut,
BOTASUPAL secara terus-menerus mengembangkan
upaya-upaya guna memberantas kejahatan terhadap
mata uang ini. Salah satu tugas penting yang diemban
BOTASUPAL adalah pertukaran data dan informasi
mengenai pemberantasan Rupiah palsu.
Merespon hal tersebut, Bank Indonesia sebagai salah
satu unsur BOTASUPAL mengembangkan pusat database
dan laboratorium uang rupiah palsu yaitu Bank Indonesia
Counterfeit Analysis Center (BI-CAC). Database BI-CAC
merupakan pusat informasi yang memuat data tentang
Rupiah palsu yang ditemukan oleh perbankan di seluruh
Indonesia, laporan masyarakat serta kasus-kasus tindak
pidana yang berhasil diungkap aparat penegak hukum
yang diteruskan ke Bank Indonesia.
Melalui BI-CAC, Bank Indonesia mendorong penyelidikan
tindak pidana uang rupiah palsu yang selama ini masih
terpisah di setiap wilayah menjadi pengungkapan tindak
pidana antar wilayah. Dengan demikian, akan terdapat
keseragaman dalam penindakan maupun proses peradilan
terhadap para pelaku tindak pidana uang rupiah palsu
di seluruh wilayah hukum Indonesia. Kedepan, Bank
Indonesia akan terus memperkuat database ini sehingga
dapat diakses oleh aparat penegak hukum untuk
112 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
digunakan dalam upaya pemberantasan uang rupiah
palsu.
Selain digunakan untuk membantu pemberantasan
uang rupiah palsu, data dari BI-CAC juga membantu
pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam upaya preventif
penanggulangan peredaran uang rupiah palsu. Dari data
tersebut, Bank Indonesia memperoleh informasi dan
masukan berharga yang akan digunakan dalam rangka
meningkatkan fitur-fitur pengaman (security features)
uang rupiah.
Selama tahun 2012, Bank Indonesia terus melakukan
pengembangan sistem BI-CAC. Hal ini dimaksudkan
sebagai upaya memperkuat database mengenai
Rupiah palsu untuk mendukung upaya pemberantasan
uang Rupiah palsu. Mempertimbangkan semakin
pentingnya peran Kantor Perwakilan Bank Indonesia
dalam pemberantasan Rupiah palsu, BI-CAC mulai
diimplementasikan di seluruh Kantor Perwakilan
Bank Indonesia. Implementasi ini dibarengi dengan
pelaksanaan pelatihan kepada seluruh perwakilan
pegawai dari seluruh Kantor Perwakilan Bank Indonesia
yang dilakukan secara bertahap mulai bulan November
2012 sampai dengan tahap terakhir di Januari 2013.
Kepada pegawai-pegawai tersebut dibekali dengan
pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan
keaslian uang Rupiah maupun pemalsuan uang Rupiah.
Dalam pelatihan ini, BI juga bekerjasama dengan POLRI
untuk turut memberikan pembekalan dalam hal upaya-
upaya represif yang dilakukan dalam pemberantasan
Rupiah palsu. Selain itu, kepada Kantor Perwakilan BI
juga diberikan peralatan berupa mikroskop digital guna
membantu pegawai dalam menganalisis Rupiah palsu
yang ditemukan dalam kegiatan pengelolaan Rupiah,
sehingga data dan informasi yang akan dimasukkan ke
dalam BI-CAC menjadi lebih akurat.
Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC)Boks 8.4
Saat ini, strategi penanggulangan peredaran uang rupiah palsu di masyarakat dilakukan oleh Bank Indonesia melalui 2 (dua) bentuk pendekatan, yaitu pendekatan preventif atau tindakan pencegahan dan pendekatan represif melalui penegakan hukum. Kedua pendekatan ini dilakukan secara simultan sehingga upaya penanggulangan peredaran uang rupiah palsu di masyarakat menjadi semakin optimal.
Upaya preventif penanggulangan peredaran uang rupiah palsu diterjemahkan oleh Bank Indonesia kedalam upaya-upaya sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas fitur pengaman yang ada pada uang rupiah sehinggauang rupiah tidak mudah untuk dipalsukan. Fitur pengaman pada uang memiliki fungsi yang sangat penting terutama untuk memudahkan pengguna untuk membedakan uang rupiah asli dengan uang rupiah tidak asli, yang pada saat bersamaan mencegah upaya pemalsuan terhadap uang.
2. Mengembangkan strategi komunikasi massa yang efektif untuk menyebarluaskan informasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah secara massive ke masyarakat termasuk mengedukasi masyarakat tentang cara memperlakukan uang dengan baik. Komunikasi dan diseminasi ini dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung ke masyarakat. Komunikasi secara langsung dilakukan melalui tatap muka dengan masyarat pada kegiatan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah yang dilakukan oleh Bank Indonesia ataupun melalui kegiatan training of the trainers (ToT) kepada para pihak (stakesholders) termasuk kepada para aparat penegak hukum. Adapun komunikasi tidak langsung salah satunya dilakukan dengan memasang Iklan Layanan Masyarakat (ILM) baik di media elektronik maupun media cetak.
113Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Sementara itu, pendekatan represif penanggulangan peredaran uang rupiah palsu dilakukan Bank Indonesia melalui koordinasi dengan aparat penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan yang memiliki kewenangan penuh dalam menangani tindak pidana uang palsu. Koordinasi juga dilakukan oleh Bank Indonesia dengan unsur-unsur terkait lain yang tergabung dalam Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (BOTASUPAL). Selain Bank Indonesia, unsur BOTASUPAL lainnya adalah Badan Intelijen Negara (BIN), Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Kemeterian Keuangan Rebuplik Indonesia. Sebagai anggota, Bank Indonesia berperan sebagai nara sumber yang berwenang menetapkan ciri keaslian uang rupiah. Kewenangan ini sesuai dengan ketentuan pasal 29 ayat (1) UU Mata Uang.
Sejak tahun 2006, Bank Indonesia telah merintis pendirian sebuah Pusat Data dan Analisis Uang Palsu yang lebih dikenal sebagai BI-CAC (Bank Indonesia – Counterfeit Analysis Center). BI-CAC merupakan sistem aplikasi yang digunakan untuk mencatat, mengklasifikasi dan menganalisa uang rupiah palsu yang dilaporkan oleh perbankan dan masyarakat maupun uang rupiah palsu dari hasil pengungkapan kasus tindak pidana uang palsu yang dilaporkan oleh pihak Kepolisian dari waktu ke waktu. Implementasi BI-CAC di seluruh Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia telah dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012. Harapan ke depan dengan terintegrasinya data uang palsu secara nasional akan membantu pengungkapan kasus tindak pidana uang palsu oleh aparat penegak hukum.
Data yang dihasilkan oleh BI-CAC diantaranya adalah data jumlah lembar dan denominasi uang rupiah yang dipalsukan, wilayah/daerah temuan uang rupiah palsu, klasifikasi uang yang dipalsukan, kualitas pemalsuan serta pelaku tindak pidana pemalsuan uang rupiah. Adapun mekanisme pengolahan data uang rupiah palsu dapat dilihat pada Diagram 1 dan mekanisme administrasi uang rupiah palsu dapat dilihat pada Diagram-2.
Diagram-1.Pengolahan Data Uang Rupiah Palsu pada BI-CAC
�����������
��������������������
�������������
���������������������
�����������������
�����������
������������
�������������
����������
���������
�����������������������
�����������
���������������
����������
���������������
����
������
�������
�����������
�� ���������������������
�� �������������������������������
����
���
��������������������
�����������
���������������
����������������� �����������
114 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2012
Diagram-2.Gambaran Umum Administrasi UPAL pada Sistem BI-CAC
����������
���������
�����
����
���
�����������������������
�����
������
�����
�����������
������������
���������
�������������������������������������
���������
������������
�����������������������������������������������
�������� ���������
���������������������
����������
����������
115Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 9 Kegiatan dan Informasi Pendukungdalam Tugas Pengelolaan Uang
9.1 Kegiatan Museum Artha Suaka Bank Indonesia
Selain Museum Bank Indonesia yang ada di Kota Tua,
Jakarta, sebagian koleksi mata uang dan benda-benda
bersejarah yang dimiliki Bank Indonesia juga disimpan di
Museum Artha Suaka. Museum yang dapat dijumpai di
lokasi perkantoran Bank Indonesia ini menyimpan dan
mengelola koleksi mata uang yang berasal dari jaman
kerajaan di Indonesia sampai dengan mata uang yang
masih beredar di masyarakat saat ini maupun koleksi
alat-alat pembayaran yang pernah beredar di Indonesia.
Selain koleksi mata uang, dapat dijumpai pula koleksi
benda-benda bersejarah yang dimiliki oleh Bank Indonesia
seperti batu prasasti, plat cetak uang, patung dari jaman
kerajaan, ataupun patung muka yang berasal dari jaman
penjajahan Belanda.
Keberadaan Museum Artha Suaka merupakan
perwujudan dari salah satu tugas Bank Indonesia
khususnya di bidang pengelolaan uang rupiah. Selain itu,
museum ini juga merupakan bentuk nyata pengabdian
dan kontribusi Bank Indonesia kepada masyarakat melalui
upaya pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya bangsa.
Hal ini diwujudkan melalui edukasi nilai-nilai sejarah
perjuangan bangsa yang terkandung dalam koleksi mata
uang yang tersimpan di Museum Artha Suaka.
Untuk memperkenalkan koleksi uang Bank Indonesia yang
disimpan di Museum Artha Suaka, Bank Indonesia secara
rutin melaksanakan kegiatan Pameran Koleksi Uang di
berbagai wilayah di Indonesia. Kegiatan ini juga menjadi
ajang edukasi kepada masyarakat mengenai nilai-nilai
sejarah yang terkandung dalam koleksi mata uang yang
dipamerkan. Selain itu, kegiatan pameran koleksi Museum
Artha Suaka ini dilakukan dalam rangka memperkaya
dunia numismatika di Indonesia.
Sepanjang tahun 2012, Bank Indonesia telah
melaksanakan sebanyak 6 kali kegiatan Pameran Koleksi
Uang di berbagai wilayah Indonesia. Selain untuk
mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia, kegiatan
pameran koleksi uang ini juga dilakukan sebagai bentuk
partisipasi Bank Indonesia pada penyelenggaraan
berbagai event di tingkat nasional ataupun daerah, yaitu :
1. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Surabaya, Jawa
Timur. Pameran koleksi uang dilaksanakan untuk
mendukung acara peresmian Gedung Heritage Eks De
Javasche Bank sebagai salah satu cagar budaya bangsa.
Kegiatan pameran dilangsungkan di KPw DN Bank
Indonesia Wilayah IV (Jawa Timur) dari tanggal 26 s.d.
28 Januari 2012.
2. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Yogyakarta.
Pameran Koleksi Uang menjadi bagian dari rangkaian
peresmian Gedung Heritage Eks De Javasche Bank
sebagai salah satu budaya bangsa. Selama 3 hari
dari tanggal 17 s.d. 19 Februari 2012, masyarakat
dapat menikmati koleksi uang Bank Indonesia yang
Kegiatan danInformasi Pendukungdalam Tugas Pengelolaan Uang
Bab 9
116 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 9 Kegiatan dan Informasi Pendukungdalam Tugas Pengelolaan Uang
dipamerkan di KPw DN Bank Indonesia Daerah
Istimewa Yogyakarta.
3. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Yogyakarta.
Pameran koleksi uang dilakukan untuk memeriahkan
Hari Raya Idul Fitri dan penyelenggaraan Inter Central
Bank Games (ICBG) 2012 yang berlangsung dari
tanggal 16 Agustus s.d. 1 Oktober 2012. Pameran ini
merupakan kali kedua kegiatan pameran koleksi uang
dilakukan di Yogyakarta pada tahun 2012.
4. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Palembang,
Sumatera Selatan. Pameran koleksi uang dilakukan
untuk memeriahkan event “Sriwijaya International
Expo 2012” yang berlangsung dari tanggal 15 s.d. 20
Mei 2012.
5. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Solo, Jawa Tengah.
Pameran koleksi uang dilakukan untuk mendukung
penyelenggaraan acara Financial Inclusion Expo yang
dilangsungkan pada tanggal 14 s.d. 18 Juli 2012.
6. Kegiatan Pameran Koleksi Uang di Medan, Sumatera
Utara. Pameran koleksi uang yang dilangsungkan
selama 3 hari dari tanggal 19 s.d. 21 Desember 2012
ini diselenggarakan dalam rangka memberikan
edukasi kepada pelajar, mahasiswa dan masyarakat
di Kota Medan dan sekitarnya mengenai uang yang
pernah beredar di Indonesia.
9.2 Uang Rupiah yang Sudah Dicabut dan Ditarik dari Peredaran
UU Mata Uang yang mulai berlaku sejak tanggal 28 Juni
2011 memberikan mandat bagi Bank Indonesia untuk
mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah, mencabut
dan menarik uang rupiah dari peredaran serta melakukan
pemusnahan terhadap uang rupiah yang tidak layak
edar. Dalam melakukan pencabutan dan penarikan suatu
pecahan uang rupiah dari peredaran, Bank Indonesia
mempertimbangkan beberapa hal diantaranya tingkat
penggunaan suatu pecahan pada transaksi pembayaran
masyarakat ataupun kebutuhan untuk melakukan
penyederhanaan komposisi dan emisi pecahan uang
rupiah yang ada saat ini. Disamping itu, tingginya tingkat
pemalsuan terhadap suatu pecahan juga mendasari
kebijakan Bank Indonesia untuk mencabut dan menarik
pecahan uang rupiah tersebut dari peredaran. Nilai
intrinsik uang yang meliputi harga bahan baku dan biaya
pencetakan suatu pecahan yang sudah melebihi nilai
nominalnya turut pula menjadi faktor penentu dicabut
dan ditariknya suatu pecahan uang rupiah dari peredaran.
Setelah dinyatakan dicabut dan ditarik dari peredaran oleh
Bank Indonesia, selama 10 tahun berikutnya masyarakat
masih memiliki hak untuk melakukan penukaran. Pada
kurun waktu 5 tahun pertama setelah dinyatakan dicabut
dan ditarik dari peredaran, masyarakat dapat melakukan
penukaran di kantor bank umum terdekat maupun di
Tabel 9.1 Uang yang di Cabut dan Ditarik dari Peredaran
��������������� ��
��� ��������������������� �����������������
����������������
����������
�������������������������������
��������������������������������������������������������
����������������������������
�������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������� ����������� ����������� �����������
��������� ��������� ���������
��������� ��������� ���������
��������� ��������� ���������
��������� ��������� ���������
��������� ��������� ���������
��������� ��������� ���������
��������� ��������� ���������
��������� ��������� ���������
��������� ��������� ���������
117Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 9 Kegiatan dan Informasi Pendukungdalam Tugas Pengelolaan Uang
Kantor Bank Indonesia yang ada di wilayahnya. Setelah itu
untuk masa 5 tahun berikutnya, masyarakat hanya dapat
melakukan penukaran di Bank Indonesia. Pelaksanaan
pencabutan dan penarikan uang rupiah ini diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan ditempatkan dalam
Lembar Negara Republik Indonesia (LNRI).
Pemberlakuan batas waktu bagi masyarakat untuk
menuntut hak penukaran atas uang yang telah dicabut
dan ditarik dari peredaran mengandung potensi untuk
menimbulkan kerugian finansial bagi masyarakat.
Menyadari hal ini, pencabutan dan penarikan suatu
pecahan dari peredaran selalu dibarengi dengan upaya
penyebarluasan informasi ke masyarakat. Komunikasi
mengenai pencabutan dan penarikan pecahan uang
rupiah tersebut dilakukan Bank Indonesia melalui
publikasi di berbagai media massa maupun melalui
penempatan leaflet dan poster di berbagai lokasi seperti
kantor bank, tempat-tempat umum maupun di lokasi
Kantor Bank Indonesia. Disamping itu, masyarakat juga
dapat mengetahui informasi mengenai pencabutan dan
penarikan uang rupiah tersebut melalui publikasi di
website Bank Indonesia.
Sampai dengan akhir tahun 2012, tercatat sebanyak 35
jenis pecahan uang rupiah yang telah dicabut dan ditarik
dari peredaran. Dari 35 jenis pecahan tersebut, terdapat
5 jenis pecahan yang masih dapat ditukarkan di Bank
Indonesia dan bank umum, sedangkan 30 jenis pecahan
lainnya hanya dapat ditukarkan oleh masyarakat di Bank
Indonesia.
9.3 Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas (BISILK)
Bank Indonesia Sistem Informasi Layanan Kas
(BISILK) merupakan pengembangan aplikasi untuk
mengakomodasi kegiatan layanan kas Bank Indonesia
yaitu layanan Setoran dan Bayaran Bank serta transaksi
uang kartal antar bank (TUKAB). Selama ini, kegiatan
penyetoran dan penarikan bank yang antara lain
mencakup pengiriman informasi likuiditas bank, transaksi
uang kartal antar bank (TUKAB) dan rencana penyetoran/
penarikan bank masih dilakukan secara manual.
Dengan adanya otomasi proses kegiatan penyetoran
dan penarikan bank yang dikembangkan lewat aplikasi
BISILK ini, kegiatan penyetoran dan penarikan uang yang
dilakukan perbankan menjadi lebih efektif dan optimal.
Selain itu, otomasi ini juga akan mempercepat waktu
pemrosesan dan pengolahan data/informasi sehingga
informasi yang dihasilkan bersifat real time.
Pengembangan BISILK sendiri bertujuan untuk
menyediakan fasilitas serta memberikan kenyamanan dan
keamanan kepada bank dalam hal penyampaian laporan
ke Bank Indonesia disamping menjadi media transaksi
uang kartal untuk memenuhi kebutuhan likuiditas
perbankan. Dari sisi Bank Indonesia, pengembangan
aplikasi BISILK ini merupakan wujud peningkatan kualitas
layanan Bank Indonesia. Selain itu, BISILK juga menjadi
fasilitas yang lebih lebih realtimedalam melaksanakan
fungsi monitoring terhadap kegiatan TUKAB dan kegiatan
lainnya pada proses setoran bayaran bank.
118 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 9 Kegiatan dan Informasi Pendukungdalam Tugas Pengelolaan Uang
Halaman ini sengaja dikosongkan
119Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 10 Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugas di Bidang Pengelolaan Uang Rupiah
Bank Indonesia menyadari bahwa kredibilitas jangka
panjang hanya dapat terwujud jika prinsip-prinsip
good governance dan akuntabilitas terus ditegakkan
seiring dengan komitmen untuk terus meningkatkan
kapabilitas diri. Untuk itu, Bank Indonesia secara konsisten
berkomitmen untuk terus memperbaiki kinerjanya demi
mencapai tujuan menjadi lembaga yang bermanfaat bagi
masyarakat luas.
Sebagai perwujudan dari akuntabilitas dalam
pelaksanaan tugas di bidang pengelolaan uang rupiah,
Bank Indonesia secara berkala melaksanakan survei
persepsi kinerja dengan target responden yang berbeda
pada tiap periodenya. Survei ini dilakukan untuk
mengukur pencapaian sasaran-sasaran strategis yang
telah ditetapkan dalam hal pengelolaan uang rupiah.
Adapun pencapaian sasaran strategis diperoleh melalui
pengukuran tingkat kepuasan stakeholders terhadap
kinerja pengelolaan uang selama periode tertentu.
Pada tahun 2012, Bank Indonesia melaksanakan 2 kali
survei persepsi untuk mengukur kinerjanya dalam hal
pengelolaan uang rupiah. Survei yang dilakukan terdiri
dari Survei Kepuasan Perbankan terhadap Layanan Kas
di Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI) yang dilaksanakan
pada tiap akhir semester dan Survei Kepuasan terhadap
Ketersediaan Uang Rupiah Layak Edar (ULE) yang
merupakan agenda kegiatan rutin tahunan.
10.1 Survei Kepuasan Terhadap Ketersediaan Uang Rupiah Layak Edar
Untuk memberikan gambaran mengenai seberapa
jauh program kerja dan kebijakan yang diambil oleh
Bank Indonesia telah memberikan kepuasan kepada
masyarakat dalam hal ketersediaan uang rupiah layak
edar, setiap tahunnya Bank Indonesia melaksanakan
Survei Kepuasan terhadap Ketersediaan Uang Rupiah
Layak Edar (ULE). Melalui survei ini pula Bank Indonesia
dapat mengukur respon masyarakat terhadap pemenuhan
kebutuhan setiap pecahan uang rupiah yang diedarkan,
serta keberhasilan program sosialisasi Ciri-ciri Keaslian
Uang Rupiah yang dilakukan dalam rangka memberikan
informasi dan penjelasan kepada masyarakat luas
terhadap kenyamanan dan keamanan dalam memegang
dan mengenali ciri-ciri keaslian uang rupiah.
Mengacu pada hasil survei tahun sebelumnya, Bank
Indonesia terus melakukan penyelarasan terhadap
program kerja dan kebijakan pengelolaan uang rupiah
yang akan dijalankan selamatahun 2012. Hal ini dilakukan
untuk meningkatkan kepuasan stakeholders melalui
peningkatan kualitas dan ketersediaan uang rupiah layak
edar secara merata di wilayah NKRI yang disertai dengan
peningkatan kualitas dan perluasan jangkauan layanan kas
Bank Indonesia.
Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugasdi Bidang Pengelolaan Uang Rupiah
Bab 10
120 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 10 Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugas di Bidang Pengelolaan Uang Rupiah
Keberhasilan pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang
pengelolaan uang selama tahun 2012 tercermin dari
terlampauinya target hasil survei yang ditetapkan. Pada
skala penilaian 1-6, responden survei memberikan rata-
ratakepuasan sebesar 4,50 terhadap seluruh aspek yang
diukur, lebih tinggi dari target yang ditetapkan sebesar 4.
Untuk menjamin akuntabilitas dan integritas hasil survei,
pelaksanaan Survei Kepuasan terhadap Ketersediaan Uang
Layak Edar (ULE) dilakukan oleh konsultan independen
yang ditunjuk. Pada tahun 2012, survei dilaksanakan
terhadap terhadap 305 responden yang mencakup 6
kelompok stakeholders yaitu perbankan yang terdiri dari
Bank Umum, Bank Syariah dan BPR Konvensional; dunia
usaha serta masyarakat umum. Secara keseluruhan, para
responden menyatakan cukup puas dengan ketersediaan
Uang Layak Edar, hal ini terutama disampaikan oleh
responden dari kategori Bank Umum dengan tingkat
kepuasan sebesar 4,82, diikuti oleh BPR Konvensional dan
Bank Syariah dengan tingkat kepuasan 4,73 dan 4,58.
Aspek yang dinilai dalam survei mencakup 8 atribut
kepuasan, diantaranya pemenuhan uang berdasarkan
pecahan, kualitas uang dan kemudahan dalam mengenali
keaslian uang. Responden memberikan penilaian tertinggi
terhadap atribut kemudahan mengenali keaslian uang
dengan menggunakan alat deteksi uang palsu dengan
tingkat nilai kepuasan sebesar 4,74. Kemudahan
mengenali keaslian uang dengan melihat desain dan
gambar serta meraba tekstur dan menerawang uang juga
memperoleh nilai kepuasan yang tinggi dari responden,
dengan nilai keyakinan sebesar 4,65. Atribut lain yang juga
memperoleh nilai keyakinan yang tinggi dari responden
adalah terpenuhinya kebutuhan uang dalam jumlah dan
jenis pecahan dengan tingkat kepuasan 4,61. Adapun dari
hasil survei, terlihat bahwa tingkat keyakinan responden
terhadap penurunan jumlah uang palsu yang beredar
masih rendah, dengan tingkat kepuasan hanya sebesar
4,29 atau merupakan atribut dengan penilaian terendah
pada survei. Atribut lain yang dikritisi oleh responden
adalah belum memadainya informasi atau pengumuman
atas uang yang dicabut dan ditarik dari peredaran, dimana
tingkat kepuasan responden hanya sebesar 4,35.
10.2 Survei Kepuasan Perbankan atas Layanan Kas di Kantor Pusat Bank Indonesia
Kepuasan perbankan sebagai salah satu stakeholders
utama Bank Indonesia terhadap pemenuhan kuantitas
dan kualitas uang kartal yang diberikan menjadi salah
satu tolak ukur kinerja dan keberhasilan pelaksanaan
tugas Bank Indonesia. Hal ini mendorong Bank Indonesia
untuk terus mengembangkan kualitas layanan kas kepada
perbankan sesuai dengan standar layanan kas prima
yang berlaku. Untuk memperoleh gambaran tentang
tingkat kepuasan perbankan di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia (KPBI) terhadap kinerja layanan kas yang
diberikan, Bank Indonesia secara semesteran melakukan
pengukuran kepuasan perbankan melalui Survei Kepuasan
Perbankan terhadap Layanan Kas di KPBI.
Aspek yang diukur dalam survei meliputi 4 aspek
layanan yaitu keakurasian (selisih kurang/lebih) dalam
penghitungan penerimaan setoran dan pembayaran
kepada bank; kesesuaian dalam pemenuhan kebutuhan
uang perbankan; kualitas hasil cetak uang yang dibayarkan
kepada bank, serta atribut layanan kas yang meliputi
kecepatan, keamanan dan layanan dari petugas kas Bank
Indonesia selama berinteraksi dengan perbankan.
Berdasarkan hasil survei yang dilaksanakan pada tahun
2012, secara umum perbankan menyatakan kepuasannya
terhadap layanan kas Bank Indonesia. Kepuasan
perbankan tersebut tercermin dari penilaian yang
diberikan responden terhadap seluruh aspek yang diukur
dengan rata-rata kepuasan sebesar 5,0 (skala 1-6).
Hasil survei menunjukkan tingginya tingkat kepuasan
perbankan terhadap aspek layanan kas yang meliputi
atribut kecepatan dan keamanan layanan serta
keramahan, kerapihan dan ketelitian petugas Bank
Indonesia. Responden memberikan penilaian sebesar
5,1 yang merupakan pencapaian tertinggi dari seluruh
aspek yang diukur dalam survei. Keamanan pada saat
melakukan penarikan ataupun setoran ke Bank Indonesia
dinilai sebagai atribut layanan kas terbaik dengan tingkat
kepuasan responden sebesar 5,26.
121Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 10 Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugas di Bidang Pengelolaan Uang Rupiah
Survei juga mengindikasikan perlunya perbaikan aspek
kesesuaian dalam pemenuhan kebutuhan bank, dimana
aspek ini memperoleh penilaian terendah dengan tingkat
kepuasan responden sebesar 4,9. Responden menyoroti
belum optimalnya pemenuhan kebutuhan bank
berdasarkan jenis pecahan yang diminta, terutama uang
pecahan kecil. Hal ini tercermin dari penilaian responden
terhadap atribut kesesuaian pemenuhan kebutuhan uang
berdasarkan jenis pecahannya dengan tingkat kepuasan
sebesar 4,88.
Sementara itu, responden menyatakan kepuasannya
terhadap aspek keakurasian (selisih kurang/lebih) dalam
penghitungan penerimaan setoran dan pembayaran
kepada bank serta aspek kualitas hasil cetak uang. Kedua
aspek tersebut memperoleh tingkat kepuasan sebesar
5,0. Namun demikian, pada aspek keakurasian, responden
mengharapkan adanya peningkatan keakurasian pada
penghitungan uang terutama penghitungan uang yang
dikategorikan sebagai uang eks peredaran atau uang yang
berasal dari setoran masyarakat.
Aspek-aspek yang dinilaiIndeks Kepuasan
Sangat Puas (%)
Puas(%)
Cukup Puas, Kurang Puas,Tidak Puas, Sangat Tidak Puas (%)
Keakurasian (selisih kurang/lebih) eks peredaran 22 57 21
Keakurasian (selisih kurang/lebih) HCS 38 47 15
Kesesuaian dalam pemenuhan Pecahan Kecil (Rp10.000, ke bawah) 25 37 38
Kesesuaian dalam pemenuhan Pecahan Besar (Rp20.000 ke atas) 26 46 28
Kesesuaian dalam pemenuhan nominal 32 45 23
Kualitas hasil cetak 29 40 31
Kecepatan Waktu Layanan Kas 31 38 31
Keamanan selama melakukan transaksi di komplek kantor BI 40 49 11
Tabel 10. Atribut Penilaian Survei Layanan Kas di Kantor Pusat Bank Indonesia Tahun 2012
122 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 10 Penilaian Kinerja Bank Indonesia dalam Pelaksanaan Tugas di Bidang Pengelolaan Uang Rupiah
Halaman ini sengaja dikosongkan
123Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 11 Arah Kebijakan dan Rencana Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2013
Perekonomian Indonesia ke depan diperkirakan akan
mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi sejalan dengan
kinerja perekonomian dunia yang diperkirakan mengalami
peningkatan secara gradual. Di tengah berbagai tantangan
baik global maupun domestik yang bersumber dari
ketidakpastian pemulihan ekonomi maupun harga
komoditas yang dapat mempengaruhi ekspor Indonesia,
pertumbuhan perekonomian domestik tahun 2013
diperkirakan mencapai kisaran 6,3%-6,8%. Pertumbuhan
tersebut masih disumbang oleh permintaan domestik
disamping persiapan penyelenggaraan Pemilu Presiden
dan Legislatif yang akan mendorong pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi. Perkiraan pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi tersebut menjadi pijakan bagi
penetapan arah kebijakan dan rencana pengembangan di
bidang pengelolaan uang pada tahun 2013.
Disamping pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
berbagai lingkungan strategis Bank Indonesia seperti
amandemen UU Bank Indonesia, pengesahan UU lainnya
seperti UU Mata Uang serta RUU terkait dan isu-isu
strategis yang berkembang di dunia internasional,
nasional, regional serta internal Bank Indonesia turut pula
mempengaruhi peta strategi dan arah kebijakan Bank
Indonesia ke depan.
Menghadapi perkembangan tersebut, untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat,
kebijakan pengelolaan uang ke depan diarahkan untuk
memperkuat manajemen persediaan dan fungsi layanan
uang kartal, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi
distribusi uang yang telah dijalankan selama ini, dengan
tetap memperhatikan amanat UU Mata Uang dan
perkembangan lainnya. Penerbitan uang rupiah baru
pada tahun 2014 turut menjadi konsideran utama bagi
kebijakan pengelolaan uang di tahun 2013.
Memperkuat Manajemen Persediaan Uang Kartal
Tren peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat
diperkirakan masih akan terus berlanjut. Untuk itu,
kebijakan pengelolaan uang pada tahun 2013 diarahkan
untuk memperkuat manajemen persediaan uang kartal
Bank Indonesia.
Penguatan ini salah satunya ditempuh dengan menjaga
level kas minimum secara nasional pada posisi yang aman
sesuai dengan perhitungan EKU 2013. Untuk itu, Bank
Indonesia akan melakukan alignment antara rencana
kerja dan anggaran Perum Peruri dengan kebutuhan
pencetakan uang Bank Indonesia dalam jangka panjang.
Selain itu, Bank Indonesia juga akan terus meningkatkan
akurasi perencanaan kebutuhan uang baik dalam jumlah
maupun pecahan sehingga kebutuhan uang kartal
masyarakat dapat terpenuhi baik dalam jumlah nominal
maupun pecahan.
Sementara itu, untuk memperkuat persediaan uang
rupiah logam, Bank Indonesia akan mengimplementasikan
Arah Kebijakan dan Rencana Pengelolaan Uang RupiahTahun 2013
Bab 11
124 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Bab 11 Arah Kebijakan dan Rencana Pengelolaan Uang Rupiah Tahun 2013
kebijakan resirkulasi uang rupiah logam. Untuk itu, pada
tahun 2013, Bank Indonesia akan melakukan kajian
yang dapat memberikan rekomendasi bagi pelaksanaan
kebijakan resirkulasi uang logam tersebut.
Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Distribusi Uang Rupiah
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
ketersediaan uang rupiah berkualitas secara merata di
seluruh wilayah NKRI, pada tahun 2013 Bank Indonesia
akan melanjutkan upaya perluasan layanan kas titipan
di wilayah-wilayah yang belum terlayani secara optimal
oleh Kantor Perwakilan Dalam Negeri (KPw DN) Bank
Indonesia setempat. Kebijakan ini akan ditempuh dengan
memperbesar dan memperluas keterlibatan perbankan
setempat dalam memenuhi kebutuhan uang kartal
masyarakat di wilayah blank spot areas.
Sejalan dengan itu, Bank Indonesia akan terus
meningkatkan efektivitas kegiatan distribusi uang rupiah
ke seluruh satuan kerja kasnya. Hal ini diwujudkan melalui
upaya untuk meningkatkan efektivitas moda transportasi
yang digunakan dalam rangka distribusi uang. Untuk itu,
pada tahun 2013, Bank Indonesia akan mengembangkan
strategi koordinasi dan kerjasama dengan operator
penyedia jasa angkutan baik darat, laut maupun udara.
Bank Indonesia juga akan mempersiapkan mekanisme
serta memulai implementasi pengawasan kegiatan
pengolahan uang yang dilakukan oleh perbankan dan
perusahaan Cash in Transit (CIT). Pengawasan juga
akan dilakukan terhadap kegiatan cash processing
yang dilakukan oleh pengelola kas titipan. Kebijakan ini
dimaksudkan untuk menjamin kesesuaian kualitas uang
hasil olahan dengan standar kualitas uang layak edar
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan pada gilirannya
mempercepat proses distribusi uang ke masyarakat.
Kedepan, Bank Indonesia akan mempersiapkan
pengembangan Sentra Pengolahan Uang (SPU) yang
terintegrasi. Keberadaan SPU ini diharapkan mampu
menjawab kendala distribusi uang yang selama ini
dihadapi oleh Bank Indonesia, khususnya di KPBI.
Implementasi Undang-Undang Mata Uang
Memenuhi ketentuan Pasal 42 UU Mata Uang, Bank
Indonesia akan melakukan penerbitan uang rupiah baru
yang akan diperkenalkan ke masyarakat pada tanggal
17 Agustus 2014. Pada tahun 2013, Bank Indonesia
akan memulai komunikasi dengan Pemerintah sebagai
tahapan awal implementasi penerbitan uang rupiah baru.
Sejalan dengan itu, Bank Indonesia juga akan melakukan
koordinasi dengan Pemerintah mengenai desain uang
rupiah baru maupun dalam rangka penerbitan Keputusan
Presiden (Keppres) tentang Gambar Pahlawan yang akan
digunakan sebagai desain utama.
Disisi lain, untuk mendukung kelancaran tahapan
implementasi penerbitan uang rupiah baru tersebut,
kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2013 diarahkan
untuk mendukung terlaksananya pembentukan Komite
Nasional. Bank Indonesia bersama dengan Kemenkeu dan
Kemenkumham juga akan mengambil langkah-langkah
untuk mendukung proses legislasi penerbitan uang rupiah
baru ini.
Memperkuat Fungsi Layanan Uang Kartal
Melanjutkan kebijakan sebelumnya, kebijakan layanan
kas Bank Indonesia pada tahun 2013 diarahkan pada
penguatan fungsi layanan uang kartal. Penguatan ini
dilakukan melalui pembentukan fungsi pengelolaan
uang di daerah-daerah terpencil dan terdepan NKRI yang
saat ini sudah menjadi salah satu lokasi kas titipan Bank
Indonesia. Selain itu, fungsi pengelolaan uang juga akan
dibentuk di ibukota provinsi baru dimana belum terdapat
KPw DN Bank Indonesia.
125Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Daftar Singkatan
Daftar Singkatan
ACDM : ASEANCentralBanksDeputyGovernorsMeetingACH : Automated Clearing HouseACMF : ASEAN Capital Market ForumAKKI : Asosiasi Kartu Kredit IndonesiaAPMK : Alat Pembayaran dengan Menggunakan KartuAPUdanPPT : AntiPencucianUangdanPencegahanPendanaanTerorismeASPI : Asosiasi Sistem Pembayaran IndonesiaAUSTRAC : AustralianTransactionReportsandAnalysisCentreBAPEPAM-LK : Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga KeuanganBBM : BahanBakarMinyakBCM : BusinessContinuityManagementBCP : BusinessContinuityPlanBFO : BackupFrontOfficeBG : Bilyet GiroBHP : Balai Harta PeninggalanBIHARTIS : BankIndonesiaHistoricalAndRealTimeInformationSystemBIC : BankIdentifierCodeBI-CAC : BankIndonesiaCounterfeitAnalysisCenterBI-ETP : BankIndonesiaElectronicTradingPlatformBIG-eB : BankIndonesiaGovernmentElectronicBankingBI-RTGS : BankIndonesia-RealTimeGrossSettlementBISAK : Bank Indonesia Sentralisasi Administrasi KasBISILK : BankIndonesiaSistemInformasiLayananKasBISOSA : BankIndonesiaSentralisasiOtomasiSistemAkuntingBI-SSSS : BankIndonesia-ScriplessSecuritiesSettlementSystemBOTASUPAL : BadanKoordinasiPemberantasanRupiahPalsuBPR : Bank Perkreditan RakyatBSN : Badan Standar NasionalBUMN : BadanUsahaMilikNegaraCB : CertificationBodyC-Best : CentralDepositoryandBookEntrySettlementSystemC-BEST : Central Book Entry SystemCBI : CitrabaktiIndonesiaCCP : Central CounterpartyCDD : CustomerDueDiligenceCFI : ClassificationofFinancialInstrumentsCIT : CashInTransitCIV : CashinVaultCLS : ContinousLinkSettlement
126 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Daftar Singkatan
CNP : Card Not PresentCOB : CurrencyOutsideBankCPSIPS : CorePrinciplesforSystemicallyImportantPaymentSystemCPSS : CommitteeonPaymentandSettlementSystemCSDs : CentralSecuritiesDepositoriesDHN : DaftarHitamNasionalDJPU : Direktorat Jenderal Pengelolaan UtangDRC : DisasterRecoveryCenterDvP : Delivery-versus-PaymentEDD : EnhancedDueDiligenceEKU : EstimasiKebutuhanUangEMV : Europay MasterCard VisaERP : ElectronicRoadPricingFDI : ForeignDirectInvestmentFGD : ForumGroupDiscussionFI : FinancialInclusionFLI : FasilitasLIkuiditasIntrahariFLIS : FasilitasLikuiditasIntrahariSyariahFMIs : FinancialMarketInfrastructuresFtS : FailuretoSettleFX : ForeignExchangeHCS : Hasil Cetak SempurnaIOSCO : InternationalOrganizationofSecuritiesCommissionsISIN : InternationalSecuritiesIdentificationNumberingISO : InternationalStandardOrganizationKBI : Kantor Bank IndonesiaKCJ : Kereta Api Commuter JabodetabekKDK : Kantor Depot KasKemenkeu : Kementerian KeuanganKemenkominfo : KementerianKomunikasidanInformatikaKemenkumham : KementerianHukumdanHakAsasiManusiaKM : Key ManagementKPBI : Kantor Pusat Bank IndonesiaKPEI : KliringdanPenjaminanEfekIndonesiaKPw DN : Kantor Perwakilan Dalam NegeriKSEI : KustodianSentralEfekIndonesiaKTA : Kredit Tanpa AgunanKUPU : KegiatanUsahaPengirimanUangLCS : LessCashSocietyLVPS : Large Value Payment SystemMC : MemberCertificationMEA : Masyarakat Ekonomi ASEANMFS : MobileFinancialServicesMNO : Mobile Network OperatorMRT : MassRapidTransportation
127Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Daftar Singkatan
MRUK : MesinRacikUangKertasMSUK : Mesin Sortasi Uang KertasNDA : NonDisclosureAgreementNKRI : Negara Kesatuan Republik IndonesiaNPG : NationalPaymentGatewayNSICCS : NationalStaandardforIndonesiaChipCardSpecificationO/N : OvernightOJK : Otoritas Jasa KeuanganOTC : OverTheCounterPBI : Peraturan Bank IndonesiaPemprov : PemerintahProvinsiPFMIs : PrinciplesforFinancialMarketInfrastructuresPIN : PersonalIdentificationNumberPJSP : Penyelenggara Jasa Sistem PembayaranPKL : Penyelenggara Kliring LokalPKN : Pengelolaan Kas NegaraPoC : Proof-of-ConceptPPTPPU : PencegahandanPemberantasanTindakPidanaPencucianUangPPATK : Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi KeuanganPPUPK : PerusahaanPenukaranUangPecahanKecilPTD : PenyelenggaraTransferDanaPUAB : Pasar Uang Antar BankPvP : Payment versus PaymentRBC : RegionalBankChampionRCCPs : RecommendationsforCentralCounterpartiesRCU : RencanaCetakUangRDU : RencanaDistribusiUangRKU : RencanaKebutuhanUangRSSSs : RecommendationsforSecuritiesSettlementSystemsSBN : SuratBerhargaNegaraSE BI : Surat Edaran Bank IndonesiaSIPS : SystemicallyImportantPaymentSystemSKNBI : Sistem Kliring Nasional Bank IndonesiaSMM : Standar Manajemen MutuSMS : ShortMessageServiceSNA : SystemNetworkArchitectureSP : Sistem PembayaranSPAN : SistemPerbendaharaanAparaturNegaraSPN : Sistem Pembayaran NasionalSPPA : SistemPembayarandanPenyelesaianAkhirSSSs : SecuritiesSettlementSystemsSTKE : SistemTransferKreditElektronikSUN : Surat Utang Negara SWIFT : SocietyforWorldwideInterbankFinancialTelecommunicationTC : TransactionCode
128 Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Daftar Singkatan
TCP/IP : TransmissionControlProtocol/InternetProtocolTE : TahunEmisiTelco : TelecommunicationCompanyTIK : TeknologiInformasidanKomunikasiToT : TrainingforTrainersTPPU : TindakPidanaPencucianUangTPT : Tempat Penguangan TunaiTRs : Trade RepositoriesTSA : TreasurySingleAccountTUKAB : Transaksi Uang Kartal Antar BankUAT : UserAcceptanceTestUK : Uang KertasUKP-4 : Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian PembangunanUL : Uang LogamULE : Uang Layak EdarUMKM : UsahaMikro,Kecil,danMenengahUPB : UangPecahanBesarUPK : UangPecahanKecilUTLE : Uang Tidak Layak EdarUU : Undang UndangUYD : Uang kartal Yang DiedarkanWCPSS : WorkingCommitteeonPaymentandSettlementSystemsWG : Working Group
129Laporan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang 2012
Daftar Singkatan
TIM PENYUSUN
KOMITE PENGARAH
PENANGGUNG JAWAB & EDITOR
KOORDINATOR PENYUSUN
TIM PENULIS
Boedi Armanto; Lambok Antonius Siahaan
Rosmaya Hadi; Eko Yulianto
Sudarmaji; Wijayanti Yuwono; Rini Darini; Tony Noor Tjahjono; Sri Darmadi Sudibyo
Ade Yulianti Rahayu; Trifaldi Yudistira; Pramudya Wicaksana; Kiptiah Riyanti; Vitri Vidia R.I; Yulia Rosdiati;Gunawan Purbowo; Asral Mashuri; Aswin Kosotali; Hendra Nazaldi; Tri Adi Riyanto; Devy Iko Puspitosari; Rifki Muhamad; Leni Novita Aritonang; Abdul Haris; Beny Okta Tutuarima; Sithowati Sandrarini; Yudistira D Nugroho; Hugo Budi Hartoko; Firdaus P. Simatupang; Mahmudin; Witri Rahayu; Anna Setiawati