Top Banner
1 LAPORAN TUTORIAL SKENARIO A BLOK 15 KELOMPOK IX Tutor : dr Inda Astri,Sp.KK Ramadhita Utami Falezia 4101401023 Ista Fatimah Kurnia Rahmi 4101401024 Ari Miska 4101401071 Ashita Hulwah Adwirianny 4101401073 Riska Asri 4101401075 Nabila Khairunisah Arinafril 4101401076 Novianty 4101401096 Randy Rahmat Septiandani 4101401107 Nuralisa Safitri 4101401108 Rizki Amelia 4101401109 Indah Wulandari 4101401113 Ade Kurnia Oprisca 4101401119 1
70

Laporan Sementara Tutor a Fix

Dec 10, 2015

Download

Documents

fdss
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Sementara Tutor a Fix

1

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO A BLOK 15

KELOMPOK IX

Tutor : dr Inda Astri,Sp.KK

Ramadhita Utami Falezia 4101401023

Ista Fatimah Kurnia Rahmi 4101401024

Ari Miska 4101401071

Ashita Hulwah Adwirianny 4101401073

Riska Asri 4101401075

Nabila Khairunisah Arinafril 4101401076

Novianty 4101401096

Randy Rahmat Septiandani 4101401107

Nuralisa Safitri 4101401108

Rizki Amelia 4101401109

Indah Wulandari 4101401113

Ade Kurnia Oprisca 4101401119

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG

2012

1

Page 2: Laporan Sementara Tutor a Fix

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis

dapat menyelesaikan “Laporan Tutorial Skenario A Blok 14” sebagai tugas kompetensi

kelompok. Salawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad

SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Laporan tutorial ini bertujuan untuk memenuhi tugas Blok 14 yang merupakan bagian

dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis menyadari

bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan materi dan perbaikan di masa yang akan

datang.

Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan

dan saran. Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan

kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga bermanfaat dalam

perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, 17 September 2012

Penulis

2

Page 3: Laporan Sementara Tutor a Fix

3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………….………………………………. 1

KATA PENGANTAR ..................................................................2

DAFTAR ISI .................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................... 4

1.2 Maksud dan Tujuan ........................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Skenario A Blok 15 ..........................................................5

2.2 Paparan .............................................................................

I. Klarifikasi Istilah ............................................................................6

II. Identifikasi Masalah ........................................................................6

III. Analisis Masalah ……….………………..………..………….7-15

IV. Hipotesis .......................................................................................15

V. Kerangka Konsep ...........................................................................16

VI. Learning Issues dan Keterbatasan Pengetahuan ..........................16

BAB III SINTESIS .................................................................................17- 47

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................48

3

Page 4: Laporan Sementara Tutor a Fix

4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Blok Hematology adalah Blok 14 pada Semester 5 dari Kurikulum Berbasis

Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas

Sriwijaya Palembang.

Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran

untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis

memaparkan kasus yang diberikan mengenai Seorag gadis yang datang ke RS dengan

keluhan pucat dan distensi abdomen, serta kasus juga dilengkapi dengan beberapa hasil

pemeriksaan, baik fisik maupun LAB.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum ini, yaitu :

1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem

pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis

dan pembelajaran diskusi kelompok.

3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari

skenario ini.

4

Page 5: Laporan Sementara Tutor a Fix

5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Skenario A blok 15

Seorang anak laki laki berumur 10 tahun dibawa oleh ibunya ke klnik dengan keluhan mata kanannya juling ke dalam. Keluhan ini muncul sejak mengalami kecelakaan lalu lintas 6 bulan yang lalu. Pada kecelakaan tersebut kepalanya terbentur dan penderita sempat kehilangan kesadaran selama lebih dari 30 menit.

Bersamaan dengan itu penderita mengeluh mata kanan sulit digerakkan kea rah temporal kanan dan penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat temporal kanan.

Pemeriksaan oftalmologi :AVOD : 6/6 E AVOS : 6/6 E HIschberg : ET 15ACT : shifting (+)OS mata dominanDuction dan version :WFDT : Uncrossed diplopia semakin bertambah bila melihat ke sisi mata non dominan FDT : Tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan bantuan pinset

5

Page 6: Laporan Sementara Tutor a Fix

6

2.2 PAPARAN

I. Klarifikasi istilah

1. Juling ke dalam : defiasi mata ke dalam, sumbu pandang relative berbeda dengan keadaan fisiologis

2. Penglihatan ganda : persepsi adanya dua bayangan dari satu objek

3. Pemeriksaan oftalmologi : pemeriksaan mata yang meliputi visus atau tajam penglihatan,tekanan intraocular, pemeriksaan ekstrenal mata, dan lapangan pandang

4. Uncrossed diplopia : diplopia dimana mata bayangan mata kanan tidak berpindah ke kiri pada banyangan mata kiri

5. Hischberg : pemeriksaan untuk menilai derajat pengguliran bola mata abnormal dengan melihat reflex sinar pada kornea

6. ACT : Pemeriksaan yang dilakukan untuk mellihat apakah mata dapat meilhat dengan binokuler

7. Shifting (+)

8. Avod : pemeriksaan ketajaman penglihatan pada mata kanan(acies visus oculi dextra)

9. AVOS : pemeriksaan ketajaman pada mata kiri

10. WFDT : Tes untuk penilaian strabismus dan berbagai permasalahan diplopia

11. FDT : tes untuk mengetahui apakah juling disebabkan karena otot lumpuh atau ada jaringan yang menghambat gerakan otot

12. Duction : gerakan mata kearah nasal

13. Version : gerakan perputaran bola mata kea rah yang sama

II. Identifikasi masalah

1. Seorang anak laki laki 10 tahun dibawa ke klinik dengan keluhan mata kanan juling ke dalam. Keluhan ini muncul sejak kecelakaan lalu lintas 6 bulan yang lalu.

2. Pada kecelakaan tersebut kepalanya terbentur dan hilang kesadaran selama 30 menit

3. Dia juga mengeluh mata kanan sulit sigerakan kea rah temporal kanan dan penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat ke temporal kanan

4. Pemeriksaan oftalmologi

6

Page 7: Laporan Sementara Tutor a Fix

7

III. ANALISIS MASALAH

1.a.bagaiman anatomi mata ? Sintesis

Gerakan Mata dikontrol oleh enam otot ekstrim okular yaitu :

Empat Otot rektus

Muskulus Rektus medius, kontraksinya akan menghasilkan aduksi atau menggulirnya

bola mata kearah nasal dan otot ini dipersyarafi oleh saraf ke III {Okulomotor}

Muskulus Rektus lateral, kontaksinya akan menghasilkan abduksi atau menggulirnya

bola mata kearah temporal & otot ini dipersyarafi oleh saraf ke IV {Abdusen}

Muskulus Rektus superior,kontraksinya akan menghasilkan Elevasi, Aduksi & Intorsi

bola mata dan otot ini dipersyarafi ke III

Muskulus rektus Inferior, kontraksinya akan menghasilkan depresi pada abduksi, ekstorsi

dan pada abduksi, dan abduksi 23 pada depresi otot ini dipersyarafi ke III

Dua Otot Obligus

Muskulus Obligus superior,kontraksinnya akan menghasilakn depresi intorsi bila

berabduksi 39 ,depresi sat abdusi 51 dan bila sedang depresi akan berabduksi .otot ini

dipersyarafi saraf ke IV (troklear)

Muskulus Obligus inferior ,dngn aksi primernya ekstorsi dlm abduksi sekunder oblik 

inferior adlah elevasi dlm abduksi.otot ini dipersyarafi saraf ke III

7

Page 8: Laporan Sementara Tutor a Fix

8

Fasia

Otot rektus dan oblik diselubungi fasia.didekat titik intersi otot-otot ini, Fasia

melanjutkan diri  menjadi kapsul Tenon yg terdapat diantara sklera & konjungtiva, fasia

yg menyatu dengan struktur tulang orbita berfungsi sebagai ligamen pengontrol otot-otot

ekstraokuler dan membatasi rotasi bola mata.

b.bagaimana fisiologi mata ? Sintesis

1. Aspek Motorik

Fungsi masing – masing otot :

1. Musculus Ralateralis mempunyai fungsi   tunggal untuk abduksi mata

2. Musculus Rektus medialis untk aduksi ,sedang otot yg lain mempunyai fungsi primer &

sekunder tergantung posisi bola mata.

Otot Kevia primer Kerja sekunder

Rektus lateral Abduksi -

Rektus medial Abduksi -

Rektus superior Elavasi Aduksi,intorsi

Rektus inferior Depresi Aduksi,ekstorsi

Oblik superior Depresi Intorsi,abduksi

Oblik inferior Elavasi Ekstorsi,abduksi

Pergerakan dua bola mata (Binokuler) :

Hukum Hering

Pada setiap arah gerakan mata secara sadar ,maka otot2 yg berpasangan akan terdapat sejumlah

rangsangan dalam jumlah yg sama besr sehingga menghasilkan gerakan yg tepat & lancer.

Yoke Muscles

Pada setiap gerakan mata yang terkoordinir ,otot dari satu mata akan berpasaangan dengan otot

mata yang lain untuk menghasilkan gerakan mata dalam 6 arah kordinal

8

Page 9: Laporan Sementara Tutor a Fix

9

Gangguan pergerakan :

Bila terdapat satu atau lebih otot mata yang tidak dapat mengimbabgi gerakan otot mata lainnya

maka akan terjadi gangguan keseimbangan gerakan mata sumbu penglihatan akan menyilang 

mata menjadi strabismus,diplopia.

1. Tonus yang berlebihan

2. Paretic /paralitic

3. Hambatan mekanik

2.Aspek Sensorik

Pada penglihatan binokuler yanag normal bayangan dari objek yang menjadi perhatian jatuh

pada kedua fovea mata, impuls akan berjalan sepanjang optic pathway menuju cortex talis dan

diterima sebagai bayangan tunggal.

c.bagaimana etiologi dan mekanisme juling ke dalam ?

d.apakah hubungan mata juling kedalam dengan kecelakan?

Jawaban 1.c dan 1.d :

Karena trauma kepala gangguan pada brainstem dimana terdapat saraf kranialismengenai

saraf abducens gangguan inervasi ke otot otot ekstraokuler dari mata mengenai otot rectus

lateralis otot mata cenderung kearah nasalis (medial)esotropia (juling ke dalam)

dimana bayangan yang trelihat oleh mata yang juling kedalam terletak dibagian luar sisi yang

sama benda aslinya.

2a. apa pengaruh kehilangan kesadaran lebih dari 30 menit dan kepala yang terbentur saaat kecelakaan dengan juling ke dalam ?

Pada kasus kecelakaan lalu lintas biasanya kepala yang bergerak terbentur atau terpelanting pada

benda yang diam (akselerasi) sehingga terjadi traksi terhadap saraf otak ketika otak tergeser.

Benturan kepala di bagian belakang dapat menyebabkan gangguan di daerah batang otak. Di

sepanjang batang otak terdapat substrat anatomik pusat kesadaran, yaitu formatio retikularis dan

di pons terdapat nukleus nervus abdusens (N. VI) yang bila keduanya terganggu dapat

menyebabkan penurunan kesadaran dan paralisis nervus abdusens.

9

Page 10: Laporan Sementara Tutor a Fix

10

3a. apa etiologi dan mekanisme dari bola mata yang sulit digerakan kearah temporal kanan?

Pada kasus :Karena trauma kepala gangguan pada brainstem dimana terdapat saraf kranialismengenai saraf abducens gangguan inervasi ke otot otot ekstraokuler dari mata mengenai otot rectus lateralis otot mata cenderung kearah nasalis (medial) mata sulit di gerakan ke arah temporal kanan

b. apa etiologi dan mekanisme penglihatan ganda ?

Etiologi diplopia :1. Displacement  orbital atau okuler: trauma, massa atau tumor, infeksi,oftalmopati terkait-tiroid.2. Restriksi otot ekstraokuler: oftalmopati terkait-tiroid, massa atau tumor, penjepitan otot ekstraokuler, lesi otot ekstraokuler, atau hematom karena pembedahan mata.3. Kelemahan otot ekstraokuler: miopati kongenital, miopati mitokondrial,distrofi muskuler.4. Kelainanneuromuscular junction:miastenia gravis, botulism.5.Disfungsi saraf kranial III, IV, atau VI: iskemia, hemoragik, tumor atau massa, malformasi vaskuler, aneurisme, trauma, meningitis, sklerosismutipel.6. Disfungsi nuklear saraf kranial di batang otak: stroke, hemoragik, tumor atau massa, trauma, malformasi vaskuler.7.Disfungsi supranuklear yang melibatkan jalur ke dan antara nukleus saraf kranial III, IV atau VI: stroke, hemoragik, tumor atau massa,trauma, sklerosis multipel, hidrosefalus, sifilis, ensefalopati Wernicke, penyakit neurodegeneratifMekanisme diplopia :Syarat-syarat penglihatan Binokuler normal :1. Faal masing-masing mata harus baik; besar dan ketajaman bayangan benda-benda dari masing-masing matayang difiksasi di kedua fovea adalah sama2. Faal masing-masing otot ekstra okuli berfungs inormal sehingga bayangan benda yang dilihat selalu jatuh tepat pada kedua fovea mata3. Ada kesanggupan susunan syaraf pusat untuk menyatukan/fusi bayangan dari kedua mata menjadi satu bayangan tunggalApabila salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi makan tidak akan terjadi penglihatan binokular tunggal.

Perubahan posisi anatomi mata mulai dari kornea, pupil, lensa yang membantu cahaya agar jatuh tepat di fovea, menyebabkan terjadinya deviasi sehingga cahaya tersebut gagal untuk jatuh tepat di fovea sentralis. Akibatnya aksi potensial yang akan dikirimkan melalui saraf optikus yang berlanjut akan dibawa ke korteks serebri akan diterjemahkan sebagai gambar double (penglihatan ganda / diplopia). Dimana seharusnya pada mata normal otak akan menerjemahkan gambar dari kedua mata sebagai gambar tunggal (binokular tunggal).

c. mengapa penglihatan ganda semakin bertambah ketika melihat kea rah temporal kanan?

10

Page 11: Laporan Sementara Tutor a Fix

11

Karena trauma kepala gangguan pada brainstem dimana terdapat saraf

kranialismengenai saraf abducens gangguan inervasi ke otot otot ekstraokuler dari mata

mengenai otot rectus lateralis otot mata cenderung kea rah nasalis (medial)esotropia

(juling ke dalam) dimana bayangan yang trelihat oleh mata yang juling kedalam terletak

dibagian luar sisi yang sama benda aslinya.

4a. bagaimana interpretasi dan mekanisme pemeriksaan oftalmologi ?

Pemeriksaan Kasus Keterangan

AVOD 6/6 E Normal

AVOS 6/6 E Normal

Hiscberg ET 15derajat 1 mm deviasi 7 derajat,sehingga pada

kasus deviasi 15 derajat sekitar 2 mm

ACT Shifting(+)OSmata dominan Tidak normal

Duction and version Duksi menunjukan ketidaknormalan ,

version normal

WFDT Unscrossed Diplopia Diplopia tidak bersilang,bayangan

terlihat oleh mata yang juling kedalam

terletak dibagian luar sisi yang sama

dengan benda aslinya.

FDT Tidak terdapat tahanan Normal , tidak adanya gangguan pada

kekauan jaringan

b. bagaimana cara pemeriksaan oftalmologi ? Sintesis

5.Bagaimana Diagnosis Banding pada kasus ini?

Pseudosetropia karena epikantus yang lebar

11

Page 12: Laporan Sementara Tutor a Fix

12

6.Bagainana WD dan cara penegakan diagnosis ?

ANAMNESIS

-Seorang anak laki laki berumur 10 dengan keluhan mata kanannya juling ke dalam. -Keluhan ini muncul sejak mengalami kecelakaan lalu lintas 6 bulan yang lalu.- Pada kecelakaan tersebut kepalanya terbentur dan penderita sempat kehilangan kesadaran selama lebih dari 30 menit.-Bersamaan dengan itu penderita mengeluh mata kanan sulit digerakkan kea rah temporal kanan -penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat temporal kanan.

Pemeriksaan oftalmologi :AVOD : 6/6 E AVOS : 6/6 E HIschberg : ET 15ACT : shifting (+)OS mata dominanDuction dan version :WFDT : Uncrossed diplopia semakin bertambah bila melihat ke sisi mata non dominan FDT : Tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan bantuan pinset

Pemeriksaan penunjang → a. MRI → mendeteksi lesi batang otak intraparenkim, lesi di sinus cavernosus, dan aliran vaskuler.b. CT scan → lebih sensitif dari MRI dalam melihat pendarahan subarachnoid dan kalsifikasi dalam lesi.

WD Esotropia karena paralisis Nervus VI ( abducens) akibat kecelakaan(benturan pada kepala)

7.Bagaimana epidemiologi kasus ini ?

-Strabismus bisa terjadi pada anak maupun dewasa

-Esotropia : eksotropia = 3 : 1

-Frandsen tahun1960 di Copenhagen populasi Strabismus 7% anak usia 6-7 tahun

-Graham tahun 1974 Inggris Strabismus 15% anak usia 1 tahun, 50% usia 2-3 tahun

-Hamidah di RSU Dr.Soetomo Surabaya1980-1983 50% Strabismus pada usia dibawah 5 tahun

8.Bagaimana etiologi dan factor risiko kasus ini?

Etiologi :a. Keturunan (genetic patternya belum diketahui pasti, tapi akibatnya sudah jelas)b. Kelainan anatomi- kelainan otot ekstraokuler 1. over development 2. under development

12

Page 13: Laporan Sementara Tutor a Fix

13

3. kelainan letak insersio otot- kelainan pada vascial structure kelainan hubungan vascial otot otot ekstraokuler - kelainan dari tulang orbita bentuk orbital abnormalc. Kelainan syaraf pusat yang tidak bisa mensintesa rangsangand. Fovea tidak dapat menangkap bayangane. Kelainan kuantitas stimulus pada otot bola mataf. Kelainan sensoris defek yang mencegah pembentukan bayangan di retina dengan baik : - kekeruhan media - lesi di retin - ptosis berat - anomali refraksi

g. Kelainan inervasi- gangguan transisi dan persepsi- gangguan inervasi motorik 1. insufficiency atau eccessive tonik inervation dari supranuclear 2. insufficiency atau eccessive inneration dari salah satu atau beberapa otot.

9.Bagaimana pathogenesis dari kasus ini?

TRAUMA KAPITIS & JULING KE DALAM (ESOTROPIA)

Trauma kapitis dapat menyebabkan gangguan pada saraf otak, akibat:

- trauma langsung (seperti pada fraktur komplikata) akibat peluru atau kepingan bom

- hematoma yang menekan saraf otak

- traksi terhadap saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi

- kompresi serebral trauma akut sekunder yang menekan batang otak

Pada kasus kecelakaan lalu lintas biasanya kepala yang bergerak terbentur atau terpelanting pada

benda yang diam (akselerasi) sehingga terjadi traksi terhadap saraf otak ketika otak tergeser.

Benturan kepala di bagian belakang dapat menyebabkan gangguan di daerah batang otak. Di sepanjang batang otak terdapat substrat anatomik pusat kesadaran, yaitu formatio retikularis dan di pons terdapat nukleus nervus abdusens (N. VI) yang bila keduanya terganggu dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan paralisis nervus abdusens. Paralisis nervus abdusens menyebabkan otot yang dipersarafinya, yaitu muskulus rektus lateralis menjadi ikut lumpuh sehingga kedudukan bola mata di medial dan tidak dapat atau sulit digerakkan ke arah temporal10.Bagaimana manifestasi klinis dari kasus ini ?

Gejala Subjektif : mata juling ke dalam, bisa satu mata, bisa dua mata bergantian  Gejala objektif : posisi bola mata menyimpang ke arah nasal

11.Bagaimana tata laksana pada kasus ini?

Terapi non bedah

13

Page 14: Laporan Sementara Tutor a Fix

14

1. Terapi ambliopia → eliminasi ambliopia sangat penting dalam pengobatan strabismus

2. terapi oklusi → mata yang sehat ditutup untuk merangsang mata yang ambliopia

3. Alat optic

- kaca minus → koreksi penuh miopianya → ditambah overkoreksi 0,5-0,75 dioptri →

memaksa mata berakomodasi

- Prisma terapi:

stimulasi bifoveolar

jarang digunakan sebagai solusi jangka panjang pasien eksotropia

4. Orthoptik

memperbaiki penglihatan binokuler

5. Penyuntikan toksin botulinum tipe A ke dalam otot intraocular → paralisis otot → akan

memutar mata ke bidang yang antagonis

terapi bedah

indikasi pembedahan: control deviasi yang buruk → peningkatan fase tropia.

tindakan bedah:

1. Reseksi → otot dilepaskan dari mata, diregangkan lebih panjang secaraterukur, kemudian

dijahit kembali di tempat insersi semula

2. Resesi → dibiarkan retraksi → otot jadi lebih pendek → dijahitkan kembali

3. Tindakan Faden → untuk melemahkan otot → insersi otot baru jauh dibelakang otot

semula

EDUKASI PASIEN PADA KASUS INI

1- memberi pemahaman pada pasien bahwa penyakit yang dialaminya dapat disembuhkan

bila segera diterapi oleh dokter spesialis yang relevan

2- memberi penjelasan pada pasien seputar terapi yang akan dilakukan, dengan botullinum

toxin ataupun tindakan operatif

3- memberi pemahaman pada pasien komplikasi yang mungkin dialami bila tidak segera

diterapi oleh dokter spesialis yang relevan

4- mengingatkan pasien untuk selalu berhati-hati di jalan raya dan mengenakan alat-alat

pelindung saat berkendara

12.Apa saja komplikasi yang mungkin terjadi pada kasus ini ?

14

Page 15: Laporan Sementara Tutor a Fix

15

a. supresi → usaha yang tidak disadari penderita untuk menghindari diplopia yang timbul akibat adanya deviasi.b. ambliopia → menurunnya visus pada satu atau dua mata dengan atau tanpa koreksi kacamata dan tanpa kelainan organik lain.c. anomalus retinal correspondents → suatu keadaan dimana favea dari mata yang baik menjadi sefaal dengan daerah favea mata berdeviasi.d. defek otot → perubahan sekunder dari striktur konjungtiva dan jaringan fascia yang ada di sekeliling otot menahan pergerakan normal mata.e. adaptasi posisi kepala → keadaan yang timbul karena menghindari pemakaian otot yang mengalami gangguan untuk mencapai penglihatan binokuler. Biasanya kearah aksi dari otot yang lumpuh.

13.Bagaimana prognosis kasus ini ?

dubia at bonam dengan penanganan yang baik , Semakin dini pengobatan dilakukan maka

gangguan penglihatan yang terjadi tidak terlalu berat dan respon yang diberikan akan lebih baik.

13.Apa Kompetensi Dokter Umum ?

Tingkat 2 : Mampu membuat diagnostik klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan yang diminta seperti : Laboratorium sederhana atau x-ray.Selanjutnya merujuk pada spesialis dan relevan dan menindaklanjuti sesudahnya.

IV. Hipotesis :

Anak laki laki ,10 tahun , mengalami esotropia oculi dextra karena paralisis Nervus VI ( abducens)

V.Kerangka Konsep

15

Page 16: Laporan Sementara Tutor a Fix

16

VI. Learning Issues dan Keterbatasan Pengetahuan

-Anatomi dan Fisiologi Mata-Esotropia-Pemeriksaan Ofthamologi

BAB III Sintesis

16

Pemeriksaan oftalmologi :AVOD : 6/6 E AVOS : 6/6 E HIschberg : ET 15ACT : shifting (+)OS mata dominanDuction dan version :WFDT : Uncrossed diplopia semakin bertambah bila melihat ke sisi mata non dominan FDT : Tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan bantuan pinset

ANAMNESIS

-Seorang anak laki laki berumur 10 dengan keluhan mata kanannya juling ke dalam. -Keluhan ini muncul sejak mengalami kecelakaan lalu lintas 6 bulan yang lalu.- Pada kecelakaan tersebut kepalanya terbentur dan penderita sempat kehilangan kesadaran selama lebih dari 30 menit.-Bersamaan dengan itu penderita mengeluh mata kanan sulit digerakkan kea rah temporal kanan -penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat temporal kanan.

esotropia oculi dextra karena paralisis Nervus VI ( abducens)

Page 17: Laporan Sementara Tutor a Fix

17

Anatomi dan Fisiologi

I. PENDAHULUAN

Dalam sistem visual, otot-otot ekstraokuler memegang peranan penting dalam

mempertahankan posisi binokuler untuk mencapai stereopsis, dan pergerakan dinamis yang tepat

untuk mempertahankan target visual pada fovea meskipun tubuh dan kepala dalam keadaan

bergerak. Setiap struktur otot ekstraokuler dan jaringan konektif yang berhubungan memiliki

fungsi yang unik dalam menunjang sistem okulomotor.1

Pada manusia terdapat 6 otot okulorotarius, yang bekerja berpasangan dan antagonis.

Keenam otot tersebut yaitu empat otot rektus masing-masing medialis, lateralis, superior dan

inferior. Dua otot oblik yaitu superior dan inferior. Masing-masing dari keenam otot ekstraokuler

berperan dalam menentukan posisi mata mengelilingi tiga sumbu rotasi. Kerja primer suatu otot

adalah efek utama yang ditimbulkannya pada rotasi mata. Efek yang lebih kecil disebut kerja

sekunder atau tersier. Kerja pasti setiap otot bergantung pada arah mata dalam ruang.1,2,3

Untuk memperdalam pemahaman kita mengenai bagaimana anatomi dan fisiologi dari

otot-otot penggerak bola mata maka dalam sari pustaka ini akan dibahas seluruh aspek otot

ekstraokuler mulai dari embriologi, anatomi, vaskularisasi, persarafan dan kerja motorik otot-

otot penggerak bola mata.

Gambar 1. Otot-otot Ekstraokuler tampak dari superior4

II. EMBRIOLOGI

Otot-otot ekstraokuler berasal dari sel miotomik mesodermal kranialis yang mengalami

kondensasi. Sel ini kemudian berlokasi pada mesenkim neural crest yang terdapat pada aspek

dorsal dan kaudal mata yang berkembang. Otot ekstraokuler awalnya dianggap berkembang

17

Page 18: Laporan Sementara Tutor a Fix

18

pada primitive muscle cone yang mengeliling nervus optik pada minggu ke-5 gestasi, bukti

terakhir menunjukkan bahwa otot berkembang secara in situ. Mioblast bersama myofibril dan Z

band imatur akan hilang pada minggu ke-5 gestasi. Pada saat minggu ke-7, aspek dorsomedial

otot rektus medialis membentuk otot levator, yang berkembang ke lateral dan diatas otot

rektus superior kearah palpebra. Tendon otot ekstraokuler akan berfusi ke sklera di daerah

ekuator pada akhir bulan ke-3.3

Gambar 2. Embriologi otot pada minggu ke-11 gestasi1

III. ANATOMI

Keenam otot ekstraokuler tersusun secara anatomis dan fungsional dalam 3 pasang.

Setiap otot memiliki perlekatan di sklera pada satu sisi dan sisi lainnya pada tulang orbita.

Terdapat lima otot yang berorigo pada apex orbita, sedangkan otot oblik inferior pada anterior

orbita. Keempat otot rektus yakni superior, inferior, medial, dan lateral memiliki panjang

kurang lebih 40 mm dan lebar 6 kali ketebalannya.5

Keempat otot rektus berorigo pada annulus of Zinn, suatu jaringan fibrosa berbentuk

cincin pada apex orbita dan otot-otot tersebut kemudian berjalan ke anterior seperti garis pipih

membentuk konfigurasi konal, dan mengadakan insersi pada sklera beberapa millimeter ke

posterior dari limbus. Insersi otot ini bervariasi tergantung bentuk dan lokasi insersinya. Insersi

otot rektus akan membentuk suatu kurva imajiner yang disebut sebagai spiral of Tillaux. Insersi

otot-otot rektus diandaikan berbentuk tapal kuda dengan kuda yang mengarah ke limbus. Lebar

tendon pada tempat insersinya berkisar 10 mm, dan jarak rata-rata antara insersi otot dengan

otot lainnya sekitar 6-8 mm.3,5,6

III.1. Annulus Of Zinn

18

Page 19: Laporan Sementara Tutor a Fix

19

Annulus Zinn terbentuk dari tendon orbitalis superior dan inferior mengelilingi foramen

optikum pada apeks orbita dan terletak medial dari fissura orbitalis superior. Bagian inferior dari

cincin (Zinn tendon) melekat pada dasar inferior ala parva os sphenoid dibawah foramen

optikum dan merupakan origo dari otot rektus inferior dan sebagian otot rektus medial dan

lateral. Bagian superior dari cincin melekat pada ala magna os sphenoid dan melewati fissura

orbitalis superior. Struktur yang melewati annulus antara lain nervus optik, arteri oftalmikus,

nervus abdusens, nervus okulomotorius cabang superior dan inferior dan cabang nasosiliaris

nervus oftalmikus.5

A B Gambar 4. (A) Annulus of Zinn7 (B) Spiral of Tillaux4

III.2. Otot-otot Ekstraokuler

A. Muskulus Rektus Medialis

Otot rektus medial merupakan satu dari dua rektus horizontal bersama otot rektus

lateralis. Berorigo pada annulus zinn, otot ini kemudian berjalan sepanjang dinding orbita medial

dan berinsersi ± 5.5 mm dari limbus yang merupakan insersi otot ekstraokuler terdekat

Ke limbus dibandingkan otot lainnya. Tendon otot sebelum insersi berkisar 4 mm dan

19

Page 20: Laporan Sementara Tutor a Fix

20

mm. Otot ini memiliki panjang ± 40,6 mm dan lebar 9-10 mm. Persarafan otot berasal dari

nervus abdusens yang menembus pertengahan permukaan otot.5,7

C. Muskulus Rektus Superior

Otot ini berorigo pada annulus zinn dan melalui bagian atas bola mata berjalan ke

anterior dan lateral membentuk sudut 23o terhadap aksis visual pada posisi primer. Panjang otot

± 42 mm dan lebar ± 10.6 mm. Insersi otot ini sekitar 7.7 mm dari limbus dengan panjang tendon

sebelum insersi 5.8 mm. Insersi otot rektus superior berbentuk konveks dengan sisi nasal lebih

dekat ke limbus daripada sisi temporal. Pada permukaan superior terdapat m. levator palpebra

yang juga merupakan otot ekstraokuler namun tidak berperan dalam pergerakan bola mata.3,4,7

D. Muskulus Rektus Inferior

20

berpenetrasi ke kapsula tenon sekitar 12 mm posterior dari

insersinya. Apabila perlekatan ini terlepas, retraksi posterior

akan terjadi melalui muscle sleeve dan reposisi sangat sulit

dilakukan.5,7

B. Muskulus Rektus Lateralis

Bersama rektus medialis, merupakan rektus horizontal

dengan origo pada annulus zinn dan mengadakan insersi pada

sklera ± 7 mm dari limbus dengan tendon sebelum insersi 8.8 Gambar 5. M. Rektus Medialis5

B

A

Gambar 6. (A) M. Rektus Lateral (B) M. Rektus Superior5

Page 21: Laporan Sementara Tutor a Fix

21

Otot rektus inferior sangat mirip dengan otot rektus superior kecuali insersinya dibawah

bola mata. Otot ini juga berorigo di annulus zinn, mengarah ke anterolateral di bawah bola mata

sepanjang dasar orbita membentuk sudut 23o terhadap aksis visual pada posisi primer. Insersinya

pada sklera ±6.5 mm dari limbus, dengan panjang tendon sebelum insersi sekitar 5.5 mm.

Panjang otot ini adalah ±40 mm dengan lebar ±9.8 mm.3,4,7

Gambar 7. (A) M.Rektus Inferior (B) M.Oblik Superior5

E. Muskulus Oblik Superior

Merupakan otot ekstraokuler terpanjang, yakni sekitar 60 mm. Panjangnya ±40 mm dan

lebar ±10.8mm. Otot ini berorigo pada apeks orbita, superomedial dari annulus zinn dan

m.rektus medialis. Otot ini berjalan pada daerah antara dinding medial orbita dan atap orbita.

Oleh trochlea, yang merupakan suatu struktur kartilago yang melekat pada tulang frontalis pada

orbita superonasal, diarahkan ke posterior, inferior dan lateral membentuk sudut sebesar 51o

terhadap aksis visual pada posisi primer. Tendon otot ini melakukan penetrasi pada sekitar 2 mm

kearah nasal dan 5mm posterior dari insersi bagian nasal otot rektus superior. Setelah melewati

bagian bawah otot rektus superior, tendon berinsersi pada kuadran posterosuperior bola mata.3,4,7

F. Muskulus Oblik Inferior

Merupakan satu-satunya otot ekstraokuler yang tidak berorigo pada annulus zinn

melainkan pada periosteum os maksillaris, posterior margo orbita dan lateral fossa lakrimalis.

21

Page 22: Laporan Sementara Tutor a Fix

22

III.3. Vaskularisasi & Inervasi

Gambar 5. Sistem Arteri Otot-otot Ekstraokuler3

A. Sistem Arteri

Cabang muskuler dari arteri oftalmika merupakan penyuplai darah utama untuk otot-otot

ekstraokuler. Cabang muskuler lateral mensuplai rektus lateral, rektus superior, oblik superior,

dan levator palpebra. Cabang muskuler medial mensuplai rektus inferior, rektus medial, dan

oblik inferior. Rektus lateral sebagian disuplai oleh arteri lakrimalis, arteri infraorbitalis

mensuplai oblik inferior dan rektus inferior. Cabang muskuler mempercabangkan arteri siliaris

anterior yang menyertai otot-otot rektus dimana setiap otot rektus disuplai oleh 1 hingga 3 arteri

siliaris anterior. Arteri-arteri ini kemudian melewati episklera dan akan mensuplai darah ke

segmen anterior bola mata.4,7

22

Otot ini berjalan ke arah lateral, superior dan posterior, ke arah

inferior m.rektus inferior dan berinsersi dibawah m.rektus

lateral di bagial posterolateral bola mata pada daerah macula.

Otot ini memiliki tendon dengan panjang ±37 mm dan lebar

±9.6 mm.4,7

Gambar 8. M.Oblik Inferior5

Page 23: Laporan Sementara Tutor a Fix

23

C. Inervasi

Mayoritas inervasi otot ekstraokuler berasal dari nervus okulomotorius (III). Cabang

superior N.III menginervasi otot rektus superior dan levator palpebra superior, sedangkan cabang

inferiornya menginervasi rektus medialis, rektus inferior, dan oblik inferior. Nervus trochlearis

(IV) menginervasi oblik superior dimana nervus ini menyilang sisi medial otot oblik superior

yang kemudian menembus permukaan atasnya 12 mm anterior dari origo otot-otot ekstraokuler.

Nervus abdusens (VI) menginervasi rektus lateralis.1,3,7

23

Gambar 6. Sistem Vena Otot-otot Ekstraokuler2

B. Sistem Vena

Sistem vena paralel dengan

sistem arteri dimana sistem ini

bermuara pada vena-vena orbitalis

superior dan inferior. Secara umum,

empat vena vortex terdapat pada

posterior ekuator, dimana vena-vena

ini biasanya ditemukan di dekat tepi

temporal dan nasal otot rektus

superior dan inferior. 2,4

Gambar 6. Innervasi Otot Ekstraokuler4

10

11

12

13

14

15

16

Keterangan : 1. M. Levator palpebra superior 2. M. Rektus Superior 3. Tendo Oblik Superior 4. Nn. Siliaris post.brevis 5. N. Abdusens 6. N. Okulomotorius div.inferior 7. Ganglion siliaris8. N. Trigeminus (V1)9. N. Troklearis10. Troklea11. N. Intratroklearis12. N. Etmoid Anterior13. N. Siliaris post.longus14. N. Nasosiliaris15. N. Okulomotorius div.superior16. N. Okulomotorius

123456

7

8

9

Page 24: Laporan Sementara Tutor a Fix

24

III.4. Struktur Otot Ekstraokuler

Seperti otot rangka, otot ekstrokuler merupakan otot berstria volunter. Namun, secara

perkembangan, biokimia, struktur, dan fungsinya berbeda dengan otot rangka. Otot ekstraokuler

kaya akan inervasi, dengan perbandingan serat saraf dengan serat otot hingga 10 kali lebih

banyak dari otot rangka. Rasio serat-serat saraf dengan serat otot ekstraokuler sangat tinggi,

antara 1:3 sampai 1:5 dibandingkan rasio serat saraf pada otot rangka (1:50 sampai 1:125),

sehingga memungkinkan kontrol yang akurat pada pergerakan okuler. Serat saraf pada otot

ekstraokuler merupakan perpaduan antara tonic slow type dan fast twitch type.1,3

Otot ekstraokuler memiliki dua lapis struktur otot yang berbeda yakni lapisan orbita pada

bagian luar, dimana lapisan ini hanya bekerja pada katrol otot, dan lapisan bola mata pada bagian

dalam yang berinsersi pada sklera untuk menggerakkan bola mata. Kedua struktur ini lebih lanjut

dibagi menjadi dua grup berdasarkan tipe inervasinya (tunggal atau multipel) dan konten

mitokondria-nya.1,3,4

III.5. Hubungan Orbita dan Fasia

Pada orbita, terdapat suatu kompleks musculofibroelastic yang menggantung bola mata,

menahan otot ekstraokuler, dan membentuk kompartemen jaringan lemak.3,4,5

mata berotasi, dan memisahkan lemak orbita pada muscle cone dari sklera. Posterior dari

ekuator, kapsula tenon tebal dan padat, menggantung bola mata seperti trampolin dengan cara

melekat pada jaringan periorbita.4,5,7

24

A. Kapsula Tenon

Sebagian besar sistem fasia orbita

merupakan kapsula tenon, yang membentuk

kavitas dimana bola mata bergerak didalamnya.

Kapsula tenon seperti sebuah amplop dengan

jaringan elastis yang berfusi dengan pembungkus

nervus optik di posterior dan dengan septum

intermuskularis di anterior. Bagian posterior

kapsula tenon tipis dan fleksibel, memungkinkan

pergerakan yang bebas dari nervus optik, nervus

siliaris, dan pembuluh darah siliaris ketika bola Gambar 7. Kompleks Musculofibroelastic4

Page 25: Laporan Sementara Tutor a Fix

25

Otot-otot ekstraokuler berpenetrasi pada jaringan musculofibroelastic ini sekitar 10 mm

posterior dari insersinya. Kompleks jaringan ini membentuk pembungkus kuat di sekitar tempat

penetrasi otot dan membentuk katrol yang menggantung di periorbita, yang berfungsi sebagai

origo fungsional otot. Pembungkus ini juga meluas ke anterior dan posterior membentuk

semacam tali penahan yang menstabilkan otot, mencegah pergeseran jalur otot.4,5,7

B. Sistem Katrol (Pulley)

Terdapat sistem katrol pada setiap otot rektus seperti halnya otot oblik superior dengan

troklea sebagai katrolnya. Katrol pada otot rektus mengandung otot polos, memungkinkan setiap

otot untuk berkontraksi dan relaksasi. Lapisan orbita berinsersi pada katrol ini, memungkinkan

manipulasi posisi otot dalam rongga orbita. Pada saat otot berkontraksi, katrol akan tertarik ke

belakang sehingga jarak antara lokasi katrol dengan insersi otot akan tetap konstan.4

Gambar 8. Hubungan Orbita dan Fasia5

C. Septum Intermuskularis

Keempat otot rektus dihubungkan oleh suatu lapisan tipis dari jaringan yang terletak

dibawah konjungtiva. Jaringan ini adalah septum intermuskularis, suatu membran antara otot

rektus dan berfusi dengan konjungtiva pada 3 mm posterior dari limbus. Pada posterior bola

mata, septum ini memisahkan lemak intrakonal dengan lemak ekstrakonal.4,5

D. Ligamentum Lockwood dan Ligamentum Check

Kapsul otot oblik inferior terikat pada kapsul otot rektus inferior. Fusi ini dikenal sebagai

ligamentum Lockwood, dan terhubung ke retraktor palpebra inferior. Ligamentum ini

memungkinkan rotasi bola mata dari tengah relatif lebih bebas. Pada otot rektus medial dan

lateral terdapat ligamentum check yang menempel pada permukaan luar fasia periosteum.

25

Page 26: Laporan Sementara Tutor a Fix

26

Fungsi ligamentum ini adalah mencegah retraksi bola mata dalam kavum orbita selama bola

mata bergerak.4,8

E. Kapsul Otot

Setiap otot rektus memiliki kapsul fasia di sekelilingnya yang berjalan bersama otot

mulai dari origo hingga insersinya. Pada bagian posterior, kapsul ini tipis tetapi dekat ekuator

akan menebal ketika kapsul menembus sleeve dari kapsula tenon, berlanjut ke anterior dengan

otot sebagai tempat insersinya. Pada bagian anterior ekuator diantara permukaan dalam otot dan

sklera hampir tidak terdapat fasia, hanya perlekatan jaringan konektif yang menghubungkan otot

dengan bola mata. Permukaan avaskuler halus dari kapsul otot memungkinkan otot untuk

bergeser secara halus pada bola mata.4

Gambar 9. Struktur Jaringan Konektif Orbita4

G. Jaringan Lemak

Di dalam rongga orbita, mata didukung dan dilindungi oleh jaringan lemak dengan

jumlah cukup besar. Diluar konus otot, jaringan lemak bersama otot akan mengarah ke anterior,

hingga ± 10 mm dari limbus. Jaringan lemak juga terdapat dalam konus otot, dengan kapsula

tenon memisahkannya dengan sklera.4

IV. FISIOLOGI OTOT-OTOT EKSTRAOKULER

IV.1. Prinsip Dasar

26

F. Konus Otot (Muscle Cone)

Konus otot terletak di posterior

ekuator. Konus otot terdiri atas otot-otot

ekstraokuler, pembungkus otot ekstraokuler

dan membrane intermuskuler. Konus otot

mengarah posterior ke annulus zinn pada

apeks orbita.4

Page 27: Laporan Sementara Tutor a Fix

27

Pergerakan bola mata pada titik rotasi dijelaskan secara teori oleh Fick dan Listing.

Terdapat 3 aksis dari Fick digambarkan sebagai aksis x, y, dan z.

Gambar 11. Sudut yang dibentuk otot ekstraokuler10

torsi, yaitu rotasi terhadap meridian kornea vertikal. Intorsi (insikloduksi) adalah aksi sekunder

otot rektus superior; eksotorsi (eksikloduksi) adalah aksi sekunder otot rektus inferior; dan

adduksi adalah aksi tersier dari kedua otot. Karena otot-otot oblik membentuk sudut 51o terhadap

aksis visual, torsi adalah aksi primernya. Rotasi vertikal adalah aksi sekunder dan rotasi

horizontal adalah aksi tersiernya.1,4,9

IV.2. Pergerakan Mata

27

Aksis-x adalah aksis transversal melewati titik tengah

mata pada ekuator; dimana rotasi vertikal volunter

dihasilkan pada aksis ini.

Aksis-y adalah aksis sagital melewati tengah pupil;

rotasi torsional involunter terjadi pada aksis ini.

Aksis-z adalah aksis vertikal; rotasi horizontal

volunter dihasilkan aksis ini.

Bidang ekuator Listing/Listing equatorial plane terdiri

atas pusat rotasi, aksis x dan z. Aksis-y tegak lurus

terhadap bidang Listing.4,8Gambar 10. Axes of Fick & Listing’s plane4

Page 28: Laporan Sementara Tutor a Fix

28

A. Pergerakan Mata Monokuler (Duksi)

Duksi adalah pergerakan mata monokuler, dimana adduksi adalah pergerakan mata

kearah nasal sedangkan abduksi ke arah temporal. Elevasi dan depresi dari mata disebut sebagai

sursumduksi (supraduksi) dan dorsumduksi (infraduksi). Intorsi (insikloduksi) adalah rotasi ke

arah nasal pada meridian vertikal, dan ekstorsi (eksikloduksi) adalah rotasi temporal pada

meridian yang sama. Beberapa istilah yang berkaitan pada pergerakan mata monokuler :

Agonis : gerakan otot primer mata ke arah yang diinginkan.

Sinergis : kerjasama otot-otot agonis pada mata yang sama menghasilkan satu

aksi pergerakan mata yang sama, contoh: otot oblik inferior sinergis dengan otot

rektus superior pada mata yang sama menghasilkan elevasi.

Antagonis : otot agonis pada mata yang sama memiliki aksi yang berkebalikan

dengan otot agonis lainnya; otot rektus medial dan lateral adalah antagonis.2,4

Otot-otot ekstraokuler masing-masing memiliki dua otot sinergis dan dua otot antagonis

kecuali otot rektus medial dan lateral memiliki tiga otot antagonis. Otot-otot yang sinergistik

untuk suatu fungsi mungkin antagonis untuk fungsi lain. Misalnya otot rektus superior (MRS)

dan otot oblik inferior (MOI) adalah antagonis untuk torsi karena MRS menyebabkan intorsi

sedangkan MOI ekstorsi.4,8,11

Tabel 1. Aksi Otot Ekstraokuler dari Posisi Primer4

Sherrington’s law of reciprocal innervation menyatakan bahwa peningkatan impuls saraf

dan kontraksi pada satu otot akan diikuti penurunan impuls saraf dan kontraksi dari otot

28

Page 29: Laporan Sementara Tutor a Fix

29

antagonisnya. Sebagai contoh, ketika mata kanan abduksi maka akan terjadi peningkatan impuls

saraf pada otot rektus lateral (MRL) sedangkan sebaliknya pada otot rektus medialis (MRS).4,11

B. Pergerakan Mata Binokuler

Versi

Apabila pergerakan mata binokuler berkonjugasi dan mata bergerak ke arah yang sama,

maka gerakan tersebut disebut sebagai versi. Bila pergerakan mata mengalami diskonjugasi

dan mata bergerak ke arah yang berbeda, disebut sebagai vergensi (konvergen maupun

divergen). Terdapat 6 gerakan versi seperti dibawah ini:

1. Dekstroversi : gerakan kedua mata ke arah kanan

2. Levoversi : gerakan kedua mata ke arah kiri

3. Elevasi/sursumversi : rotasi kedua mata keatas

4. Depresi/dorsumversi : rotasi kedua mata kebawah

5. Dekstrosikloversi : rotasi kedua mata dimana bagian superior meridian

vertikal kornea bergerak ke kanan

6. Levosikloversi : rotasi kedua mata dimana bagian superior meridian

vertikal kornea bergerak ke kiri 4

Istilah Yoke muscles digunakan untuk menggambarkan dua otot (satu otot pada setiap

mata) yang merupakan penggerak utama dari mata yang digerakkan ke satu posisi pandangan

yang diinginkan. Contohnya bila mata bergerak ke arah kanan, maka otot rektus lateral kanan

dan otot rektus medial kiri mengalami kontraksi sehingga kedua otot ini ‘berpasangan’.

Setiap otot ekstraokuler memiliki satu pasangan pada mata yang lainnya. Kerja primer dari

yoke muscles ini akan memberikan 6 posisi kardinal pada mata.4

29

Page 30: Laporan Sementara Tutor a Fix

30

Gambar 12. Yoke Muscles10

Hering’s law of motor correspondence menyatakan bahwa inervasi simultan pada otot-

otot berpasangan akan sama besar dan disesuaikan dengan besarnya pergerakan yang

diinginkan. Hukum ini diaplikasikan dalam mengevaluasi pergerakan mata binokuler

terutama keterlibatan otot berpasangan.3,4

Vergensi

Merupakan gerakan simultan kedua mata ke arah yang berlawanan. Konvergensi adalah

pergerakan kedua mata ke arah nasal akibat kontraksi kedua otot rektus medial. Sedangkan

divergensi adalah gerakan kedua mata ke temporal akibat kontraksi kedua otot rektus

lateral. Insklovergensi adalah rotasi kedua mata ke arah superior dimana meridian vertikal

kornea berputar ke arah bidang median. Sedangkan eksiklovergensi sebaliknya mengarah

menjauhi median.4

Beberapa konsep yang berkaitan dengan vergensi :

1. Konvergensi tonik : tonus inervasi konstan pada otot ekstraokuler ketika

seseorang sadar dan waspada.

2. Konvergensi akomodatif dari aksis visual : merupakan bagian dari sinkinesis near

reflex. Konvergensi akomodatif yang meningkat secara konsisten terjadi pada

setiap dioptri akomodasi, membentuk rasio accomodative

30

Page 31: Laporan Sementara Tutor a Fix

31

convergence/accomodation (AC/A). Rasio AC/A yang tinggi konvergensi yang

terjadi menyebabkan esotropia pada saat akomodasi terhadap target jarak

dekat. Rasio AC/A yang rendah menyebabkan mata eksotropia ketika seseorang

melihat dekat.

3. Konvergensi proximal (instrumen) : Konvergensi yang terjadi akibat

kewaspadaan psikologis, seperti saat seseorang melihat melalui mikroskop

binokuler.

4. Konvergensi fusional : refkes optomotorik untuk konvergen dan memposisikan

mata sehingga proyeksi bayangan benda sama pada area retina

korespondennya.

5. Divergensi fusional : merupakan satu-satunya divergensi yang signifikan secara

klinis. Fusi ini adalah refleks optomotorik untuk divergen dan memposisikan

mata sehingga proyeksi bayangan benda sama pada area retina

korespondennya.4

V. PENUTUP

Pergerakan kedua bola mata dimungkinkan oleh adanya kerja dari otot ekstraokuler.

Terdapat enam otot ekstraokuler yang berperanan dalam pergerakan bola mata yaitu empat

otot rektus (medialis, lateralis, superior, dan inferior) dan dua otot oblik (superior dan inferior).

Pergerakan bola mata mengelilingi 3 aksis dan satu bidang yakni listing’s plane. Kerja otot-otot

ekstraokuler berdasarkan posisi primer, sekunder dan tersier.

Pergerakan bola mata terbagi menjadi gerakan mata monokuler (duksi) dan binokuler

(versi dan vergen). Kerja otot-otot ekstraokuler berpasangan pada satu mata dengan mata

lainnya.

31

Page 32: Laporan Sementara Tutor a Fix

32

STRABISMUS ESOTROPIA

A.    Definisi

Strabismus atau juling merupakan keadaan tidak sejajarnya kedudukan kedua bola mata

karena tidak normal penglihatan binokuler atau anomali kontrol neuromuskuler gerakan okuler.

Strabismus dapat horizontal, vertikal, torsional, atau kombinasi Dari ketiganya.(1,2,5)

Esotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana salah satu

sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu penglihatan lainnya menyimpang pada

bidang horizontal ke arah medial.(2,5)

Esotropia adalah jenis strabismus yang paling sering ditemukan. Strabismus ini dibagi

menjadi dua tipe : paretik (akibat paresis atau paralysis satu atau lebih otot ekstraokular) dan

nonparetik (komitan). Esotropia nonparetik adalah tipe tersering pada bayi dan anak. Tipe ini

dapat akomodatif, nonakomodatif, atau akomodatif parsial. Strabismus paretik jarang dijumpai

pada anak tetapi merupakan penyebab tersering kasus baru strabismus pada orang dewasa.

Esotropia akuisita pada orang dewasa umumnya paretik yang disebabkan oleh kelemahan otot

rektus lateral akibat cedera saraf kranial keenam.(4)

B.     Epidemiologi

Esotropia akuisita dapat terjadi pada usia 1-8 tahun dan tidak selalu respons dengan

penggunaan kacamata jauh. Esotropia akuisita biasanya muncul usia 2-5 tahun dan sering

dihubungkan dengan penyakit penyebabnya.(3,4)

Esotropia akuisita terjadi 10,4% Dari seluruh esotropia di dunia. Adanya kelainan

organik sering menimbulkan strabismus. Hasil penelitian akhir-akhir ini menyatakan 11,52%

pasien dengan strabismus ada kelainan di segmen posterior matanya. Diagnosis yang banyak

adalah Toxoplasma khorioretinitis, morning glory anomaly, Toxocara retinopati, retinopati

premature, dan Coats disease.(4)

C.    Etiologi

Penyebab Esotropia adalah(3,6) :

·         Faktor refleks dekat, akomodatif esotropia

32

Page 33: Laporan Sementara Tutor a Fix

33

·         Hipertoni rektus medius konginetal

·         Hipotoni rektus lateralis akuisita

·         Penurunan fungsi penglihatan satu mata pada bayi dan anak

D.    Gejala Klinis

a.      Gejala Subjektif : mata juling ke dalam, bisa satu mata, bisa dua mata bergantian(6)

b.      Gejala objektif : posisi bola mata menyimpang ke arah nasal(6)

E.     Klasifikasi

Esotropia nonakomodatif

a.       Esotropia infantilis (kongenital)

"Bawaan" berarti dari lahir dan, menggunakan definisi yang ketat, sebagian besar bayi

dilahirkan dengan mata yang tidak selaras saat lahir. Hanya 23% bayi dilahirkan dengan mata

lurus. Pada kebanyakan kasus, satu mata atau yang lain benar-benar berubah ke luar selama

periode neonatal. Dalam tiga bulan pertama mata secara bertahap datang ke penyelarasan

konsisten lebih sebagai koordinasi dari dua mata bersama sebagai sebuah tim berkembang.

Hal ini umum bagi bayi untuk tampil seolah-olah mereka telah esotropia, atau berbelok

ke dalam mata, karena jembatan hidung belum sepenuhnya dikembangkan. Ini penampilan palsu

atau simulasi dari balik batin dikenal sebagai epicanthus. Selama bayi tumbuh, dan jembatan

menyempit sehingga sclera terlihat di sisi dalam, mata akan tampak lebih normal.(4,7)

Esotropia bawaan yang benar adalah berbalik ke dalam dengan jumlah yang besar, dan

terjadi pada anak-anak dengan jumlah sedikit, tetapi bayi tidak akan tumbuh dari giliran ini.

Esotropia kongenital biasanya muncul antara usia 2 dan 4 bulan(4,7)

Hampir separuh dari semua kasus esotropia termasuk dalam kelompok ini. Pada sebagian

besar kasus, penyebabnya tidak jelas. Deviasi konvergen telah bermanifestasi pada usia 6 bulan.

Deviasinya bersifat comitant, yakni sudut deviasi kira-kira sama dalam semua arahpandangan

33

Page 34: Laporan Sementara Tutor a Fix

34

dan biasanya tidak dipengaruhi akomodasi. Dengan demikian, penyebab tidak berkaitan dengan

kesalahan refraksi atau bergantung pada paresis otot ekstraokular. Sebagian besar kasus mungkin

disebabkan oleh gangguan kontrol persarafan, yang mengenai jalur supranukleus untuk

konvergensi dan divergensi serta hubungan sarafnya ke fasikulus longitudinal medialis. Sebagian

kecil kasus disebabkan oleh variasi anatomik misalanya anomali insersi otot-otot yang bekerja

horizontal, ligamentum penahan abnormal atau berbagai kelainan fasia lainya(2).

Juga terdapat banyak bukti bahwa strabismus dapat diturunkan secara genetis. Esoforia

dan esotropia sering diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Saudara kandung mungkin

mengalami deviasi mata yang sama. Sering terdapat unsur akomodatif pada esotropia comitant,

yakni koreksi kesalahan refraksi hiperopik berkurang tetapi tidak menghilangkan semua

deviasi(2).

Deviasi itu sendiri sering besar (≥40o) dan biasanya comitant. Abduksi mungkin terbatas,

tetapi dapat terjadi. Setelah usia 18 bulan, dapat diamati ada deviasi vertikal. Yakni, kerja

berlebihan otot-otot oblikus atau disosiasi deviasi vertikal. Mungkin dijumpai nistagmus,

mansfestasi maupun laten. Kesalahan refraksi yang paling sering dijumpai adalah hipertropia

sedang(2).

Mata yang tampak lurus adalah mata yang digunakan untuk melakukan fiksasi. Hampir

selalu, mata tersebut adalah mata yang memiliki penglihatan yang lebih baik atau kesalahan

refraksi yang lebih rendah (atau keduanya). Apabila terdapat anisometropia, mungkin juga

terdapat ambliopia. Apabila dalam waktu yang berlaianan mata yang digunakan untuk fiksasi

berbeda-beda, pasien dikatakan memperlihatkan fiksasi berselang seling spontan; dalam hal ini,

penglihatan kedua mata mungkin samaatau hampi sama. Pada sebagian kasus, preferensi mata

ditentukan oleh arah pandangan. Misalnya, pada esotropia skala besar, terdapat kecenderungan

pasien menggunakan mata kanan sewaktu memandang ke kiri dan mata kiri untuk memandang

ke kanan (fiksasi silang)(2)

Esotropia infantilis diterapi secara bedah. Terapi awal non bedah dapat diindikasikan

untuk memastikan hasil terbaik yang dapat dicapai. Perlu ditekankan bahwa amblioplia harus

diterapi secara penuh sebelum dilakukan tindakan bedah. Pada kesalahan refraksi hipertropik 3

D atau lebih harus dicoba penggunaan kacamata untuk menentukan apakah penurunan

akomodasi menimbulkan efek positif terhadap deviasi. Sebagai alternatif untuk penggunaan

kacamata, dapat digunakan miotika(2).

34

Page 35: Laporan Sementara Tutor a Fix

35

Tindakan bedah biasanya diindikasikan setelah terapi medis dan terapi ambliopia

dilakukan. Setelah dicapai perbaikan terukur, tindakan bedah harus segera dilakukan karena

terdapat banyak bukti bahwa semakin cepat mata disejajarkan hasil sensorik yang diperoleh

akan lebih baik. Banyak prosedur yang telah dianjurkan, tetapi 2 yang paling populer, yakni(2):

1.      Pelemahan otot rektus medialis

2.      Reseksi otot rektus medialis dan reseksi otot lateralis mata yang sama

b.      Esotropia nonakomodatif yang didapat

Jenis esotropia ini timbul pada anak, biasanya setelah usia 2 tahun. Hanya sedikit atau

tidak terdapat faktor akomodatif. Sudut strabismus sering lebih kecil daripada yang terdapat pada

esotropia infantilis tetapi dapat meningkat seiring dengan waktu. Di luar hal itu, temuan klinis

sama seperti yang terdapat pada esotropia konginetal. Terapi adalah tindakan bedah dan

mengikuti petunjuk yang samaseperti untuk esotropia konginetal2.

Esotropia akomodatif

Esotropia akomodatif terjadi apabila terdapat mekanisme akomodasi fisiologik normal

disertai respon konvergensi berlebihan tetapi divergensi fusional yang relatif inufisiensi untuk

menahan mata tetap lurus. Tetapi dua mekanisme patologik yang bekerja, bersama-sama atau

tersendiri(2) :

1.    Hiperopia yang cukup tinggi, yang memerlukan banyak akomodasi(dan dengan demikian

konvergensi) untuk memperjelas bayangan sehingga timbul esotropia

2.  Rasio KA/A yang tinggi, yang disertai hiperopia ringan samapi sedang

a.       Esotropia akomodatif hiperopia

Esotropia akomodatif akibat hiperopia biasanya mulai timbul pada usia 2-3 bulan tetapi

dapat muncul lebih dini atau lambat. Sebelum terapi, deviasi bervariasi. Kacamata disertai

refraksi sikloplegik penuh memungkinkan mata sejajar.

b. Esotropia akomodatif akiabat rasio KA/A yang tinggi

Pada esotropia akomodatif akibat rasio konvergensi akomodatif terhadap akomodasi

(rasio KA/A) yang tinggi, deviasi lebih besar pada penglihatan dekat daripada penglihatan jauh.

35

Page 36: Laporan Sementara Tutor a Fix

36

Kesalahan refraksinya adalah hiperopia. Terapi adalah kacamata dengan refraksi siklopegik

penuh ditambah bifokal atau miotik untuk menghilangkan deviasi berlebihan pada penglihatan

dekat(2).

Esotropia Akomodasi Parsial

Dapat terjadi suatu mekanisme campuran, sebagian ketidakseimbangan otot dan sebagian

ketidakseimbangan akomodasi/konvergensi. Walaupun terapi akomodasi menurunkan sudut

deviasi, namu esotropianya sendiri tidak menghilang. Tindakan bedah dilakukan untuk

komponen nonakomodatif deviasi dengan pilihan posedur bedah seperti dijelaskan untuk

esoropia infantilis(2).

Esotropia paretik (Incomitant) Kelumpuhan Abducens

Pada strabismus incomitant, selalu terdapat satu atau lebih otot ekstraokular yang paretik.

Pada kasus esotropia incomitant, paresis biasanya mengenai satu atau kedua otot rectus lateralis,

biasanya akibat kelumpuhan saraf abducens. Kasus-kasus ini sering dijumpai pada orang dewasa

yang mengidap hipertensi sistemik atau diabetes, tetapi kelumpuhan saraf abducens kadang-

kadang dapat merupakan tanda awal suatu tumor atau peradangan yang mengenai susunan saraf

pusat. Karena itu, tanda-tanda neurologik terkait sangat penting diperhatikan. Trauma kepala

adalah penyebab lain kelumpuhan abducens yang terjadi(2).

Esotropia incomitan juga dijumpai pada bayi dan anak, tetapi jauh lebih jarang

dibandingkan esotropia comitant. Kasus-kasus ini terjadi akibat cedera persalinan yang mengenai

otot secara langsung, akibat cedera pada saraf, atau tang lebih jarang, akibat anomali konginetal

otot rektus lateralis atau perlekatan fasianya(2)

Apabila otot rektus lateralis mengalami paralisis total, mata tidak dapat berabduksi

melewati garis tengah. Gambaran khas esotropia lebih besar pada jarak jauh daripada jarak dekat

dan lebih besar pada sisi yang terkena. Paresis otot rektus lateralis kanan menyebabkan

esotropia yang menjadi lebih besar sewaktu memandang ke kanan dan, apabila paresisnya ringan

sedikit atau tidak terjadi deviasi sewaktu memandang ke kiri(2).

Apabila dalam 6-8 minggu setelah onset paresis tidak terdapat tanda-tanda perbaikan,

dapat diberikan suntikan toksin botulinum tipe A ke dalam otot rektus medialis antagonis yang

mungkin bermanfaat atau bahkan menyembuhkan pada kasus-kasus ringan. Pada kasus yang

36

Page 37: Laporan Sementara Tutor a Fix

37

lebih parah, penyuntikan akan memperkecil kemungkinan kontraktur otot antagonis. Apabila

tidak timbul perbaikan setelah 6 bulan, perlu dilakukan tindakan bedah. Apabila sedikit atau

tidak terdapat kontraktur otot rektus medialis, diindikasikan tindakan rersesi otot tersebut disertai

reseksi besar otot rektus lateralis yang paresis. Untuk paralisis abduksi total, insersi otot rektus

inferior dan superior dapat diubah ke insersi otot rektus lateralis, dan otot rektus medialis dapat

diresesi atau dilumpuhkan sementara dengan toksin Bottulinum A. Penggunaan jahitan yang

dapat disesuaikan memungkinkan bedah resesi otot dilakukan secara halus sehingga diperoleh

daerah penglihatan binokular tunggal terluas. Abduksi otot yang paretik akan selalu terbatas(2).

F.     Diagnosis

  Anamnesis

Pertanyaan yang lengkap dan cermat tentang riwayat sakit sangat membantu dalam

menentukan, diagnosis, prognosis dan pengobatan strabismus. Dalam hal ini perlu ditanyakan(5) :

a. Riwayat keluarga : biasanya strabismus diturunkan secara autosomal dominan.

b. Umur pada saat timbulnya strabismus : karena makin awal timbulnya strabismus makin

jelek prognosisnya.

c. Timbulnya strabismus : mendadak, bertahap, atau berhubungan dengan penyakit

sistemik.

d. Jenis deviasi : bagaimana pasien menyadari strabismusnya? Bagaimana penglihatan

dekatnya? Kapan matanya terasa lelah? Apakah pasien menutup matanya jika terkena

sinar matahari? Apakah matanya selalu dalam keadaan lurus setiap saat? Apakah derajat

deviasinya tetap setiap saat?

e. Fiksasi : apakah selalu berdeviasi satu mata atau bergantian?

  Inspeksi

Dengan inspeksi sudah dapat ditentukan apakah strabismusnya konstan atau hilang timbul

(intermitten), berganti-ganti (alternan) atau menetap (nonalternan),dan berubah-ubah (variable)

atau tetap (konstan). Harus diperhatikan pula ptosis terkait dan posisi kepala yang abnormal.

Derajat fiksasi masing-masing secara terpisah atau bersama-sama. Adanya nistagmus

37

Page 38: Laporan Sementara Tutor a Fix

38

menunjukkan bahwa fiksasinya buruk dan tajam penglihatannya menurun.(5)

  Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan

Tajam penglihatannya harus diperiksa walaupun secara kasar untuk membandingkan tajam

penglihatan kedua mata. Kedua mata diperiksa sendiri-sendiri, karena dengan uji binokular tidak

akan bisa diketahui kekaburan pada satu mata. Untuk anak-anak yang masih sangat muda, yang

bisa dilakukan kadang-kadang hanya berusaha agar mata bisa memfiksasi atau mengikuti sasaran

(target). Sasaran dibuat sekecil mungkin disesuaikan dengan usia, perhatian, dan tingkat

kecerdasannya. Jika dengan menutup satu mata anak tersebut melawan, sedang dengan menutup

mata yang lain tidak melawan, maka mata yang penglihatannya jelek adalah yang ditutup tanpa

perlawanan. Pada uji titik (dot test), anak yang diperiksa disuruh menaruhkan jari-jarinya pada

sebuah titik yang ukurannya telah dikalibrasi. Ini adalah uji kuantitatif paling awal yang

dikerjakan secara berkala (dimulai pada umur 2-2 ½ tahun). Pada umur 2 ½ - 3 tahun anak

sudah mampu mengenali dan mengerjakan uji gambar-gambar kecil (kartu Allen). Umumnya

anak umur 3 tahun sudah bisa melakukan permainan “E” (E-game) yaitu dengan kata snellen

konvensional dengan huruf E yang kakinya ke segala arah dan sianak menunjukkan arah kaki

huruf E tersebut dengan jari telunjuknya.(5)

Tajam penglihatan dan kemampuan visual bayi lainnya dapat ditentukan dengan metode melihat

apa yang disukai anak (preferential looking method), yang didasarkan pada kebiasaan bayi yang

lebih menyukai melihat lapangan yang telah dipola (diberi corak) atau melihat lapangan yang

seragam.

   Pemeriksaan Kelainan Refraksi

Memeriksa kelainan refraksi dengan retinoskop memakai sikloplegik adalah sangat penting.

Obat baku yang digunakan agar sikloplegia sempurna adalah atropine. Bisa diberikan dalam

bentuk tetes mata atau salep mata 0,5 % atau 1 % beberapa kali sehari selama beberapa hari.

Pemberian atropine pada anak-anak usia sekolah sangat tidak disukai karena sikloplegianya

berlangsung lama sampai 2 minggu sehingga mengganggu pelajaran sekolah. Pada semua umur

bisa digunakan homatropin 5 % atau siklopentolat 1 atau 2 % dan hasilnya baik.(5,7)

   Menentukan Besar Sudut Deviasi

38

Page 39: Laporan Sementara Tutor a Fix

39

A. Uji Prisma dan Penutupan (5)

  Uji penutupan (cover test)

  Uji membuka penutup (uncover test)

  Uji penutup berselang seling (alternate cover test)

Penutup ditaruh berselang seling didepan mata yang pertama dan kemudian mata yang lain. Uji

ini memperlihatkan deviasi total (heterotropia dan heteroforia).

  Uji penutupan plus prisma Untuk mengukur deviasi secara kuantitatif, diletakkan prisma

dengan kekuatan yang semakin tinggi dengan kekuatan satu atau kedua mata sampai terjadi

netralisasi gerakan mata pada uji penutup berselang-seling. Misalnya untuk mengukur esodeviasi

penuh, penutup dipindah-pindahkan sementara diletakkan prisma dengan kekuatan base out yang

semakin tinggi didepan salah satu atau kedua mata sampai gerakan re-fiksasi horizontal dicapai

oleh mata yang deviasi.(5)

B. Uji Objektif

Uji prisma dan uji tutup bersifat objektif, karena tidak diperlukan laporan –

laporan pengamatan sensorik dari pasien. Namun diperlukan kerjasama dan tajam penglihatan

yang utuh. Uji batang Maddox bersifat subjektif, Karena nilai akhir pelaporan berdasarkan

laporan pengamatan sensorik pasien.

Pada kasus dimana pasien dalam keadaan bingung atau tidak kooperatif, mungkin

tidak respon terhadap uji ini. Cara-cara penentuan klinis posisi mata yang tidak memerlukan

pengamatan sensorik pasien (uji objektif) jauh kurang akurat, walaupun kadang-kadang masih

bermanfaat.

Terdapat dua metode yang sering digunakan yang bergantung pada pengamatan posisi

reflek cahaya oleh kornea, yakni (5):

1. Metode Hirschberg

Pasien disuruh melihat sumber cahaya pada jarak 33 cm kemudian lihat pantulan cahaya pada

kedua kornea mata.

1)      Bila letaknya ditengah berarti tidak ada deviasi

2)      Bila letaknya dipinggir pupil maka deviasinya 15 º

3)      Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka deviasinya 30 º

4)      Bila letaknya dilimbus maka deviasinya 45 º

39

Page 40: Laporan Sementara Tutor a Fix

40

2. Metode Refleksi Prisma (modifikasi uji krimsky)

Penderita memfiksasi pada cahaya dengan jarak sembarangan. Prisma ditaruh didepan mata

sedang deviasi. Kekuatan prisma yang diperlukan agar refleksi kornea pada mata yang juling

berada ditengah-tengah pupil menunjukkan besarnya sudut deviasi.

   Duksi (rotasi monokular)

Satu mata ditutup dan mata yang lain mengikuti cahaya yang digerakkan kesegala arah

pandangan, sehingga adanya kelemahan rotasi dapat diketahui. Kelemahan seperti ini bisa karena

paralisis otot atau karena kelainan mekanik anatomik.

   Versi (gerakan Konjugasi Okular)

Uji untuk Versi dikerjakan dengan mata mengikuti gerakan cahaya pada jarak 33 cm dalam 9

posisi diagnosis primer – lurus kedepan; sekunder – kekanan, kekiri keatas dan kebawah; dan

tersier – keatas dan kekanan, kebawah dan kekanan, keatas dan kekiri, dan kebawah dan kekiri.

Rotasi satu mata yang nyata dan relative terhadap mata yang lainnya dinyatakan sebagai kerja-

lebih (overreaction) dan kerja –kurang (underreaction). Konsensus : pada posisi tersier otot-otot

obliq dianggap bekerja-lebih atau bekerja-kurang berkaitan dengan otot-otot rektus pasangannya.

Fiksasi pada lapangan kerja otot paretik menyebabkan kerja-lebih otot pasangannya, karena

diperlukan rangsangan yang lebih besar untuk berkontraksi. Sebaliknya, fiksasi oleh mata yang

normal akan menyebabkan kerja-kurang pada otot yang paretik.

   Pemeriksaan Sensorik

1)      Uji stereopsis

Digunakan kaca sasaran Polaroid untuk memilahkan rangsangan. Sasaran yang dipantau secara

monokular hampir-hampir tidak bisa dilihat kedalamannya. Stereogram titik-titik acak (random

stereogram) tidak memiliki petunjuk kedalaman bila dilihat monocular. Lapangan titik-titik

secara acak (A field of random dots) terlihat oleh mata masing-masing tetapi hubungan titik ke

titik yang sesuai antara 2 sasaran adalah sedemikian rupa sehingga bila ada stereopsis akan

tampak suatu bentuk yang terlihat stereoskopis(5).

2)      Uji supresi

40

Page 41: Laporan Sementara Tutor a Fix

41

Adanya supresi bisa ditunjukkan dengan uji 4 titik Worth. Gagang pencoba dengan 4 lensa

merah didepan satu mata dan lensa hijau didepan mata yang lain. Ditunjukkan senter dengan

bulatan-bulatan merah, hijau dan putih. Bulatan-bulatan berwarna ini adalah tanda untuk persepsi

mata masing-masing dan bulatan putih yang bisa dilihat kedua mata dapat menunjukkan adanya

diplopia. Pemilahan bulatan-bulatan dan jaraknya Dari mata, menentukan luasnya retina yang

diperiksa. Daerah fovea dan daerah perifer dapat diperiksa dengan jarak dekat atau jauh(5).

3)      Uji kelainan Korespondensi retina

Kelainan korespondensi retina dapat ditentukan dengan dua cara(5) :

1.      dengan menunjukkan bahwa salah satu fovea tidak tegak lurus didepannya

2.      dengan menunjukkan bahwa titik retina perifer pada satu mata dan fovea mata lainnya

mempunyai arah yang bersamaan.

4)      Uji kaca beralur Bagolini

Uji ini merupakan uji metode yang kedua. Kaca bening dengan alur-alur halus yang arahnya

berbeda tiap-tiap mata ditempatkan didepan mata. Kondisi uji sedapat mungkin mendekati

penglihatan normal. Terlihat sebuah titik sumber cahaya dan seberkas sinar tegak lurus pada arah

alur. Jika unsur retina perifer mata yang berdeviasi menunjuk berkas cahaya melalui titik sumber

cahaya maka berarti ada kelainan korespondensi retina(5).

G.    Diagnosis Banding

Pseudosetropia karena epikantus yang lebar(4)

H.    Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatannya adalah mengembalikan efek sensorik yang hilang karena

strabismus (ambliopia, supresi, dan hilangnya stereopsis), dan mempertahankan mata yang telah

membaik dan telah diluruskan baik secara bedah maupun non bedah. Pada orang dewasa dengan

strabismus akuisita, tujuannya adalah mengurangi deviasi dan memperbaiki penglihatan

binokular tunggal.

41

Page 42: Laporan Sementara Tutor a Fix

42

  Pengobatan non-bedah

a.       Terapi oklusi : mata yang sehat ditutup dan diharuskan melihat dengan mata yang

ambliop

b.      Kacamata : perangkat optik terpenting dalam pengobatan strabismus adalah kacamata yang

tepat. Bayangan yang jelas di retina karena pemakaian kacamata memungkinkan mekanisme fusi

bekerja sampai maksimal. Jika ada hipermetropia tinggi dan esotropia, maka esotropianya

mungkin karena hipermetropia tersebut (esotropia akomodatif refraktif).

c.       Obat farmakologik

1.               Sikloplegik – Sikloplegik melumpuhkan otot siliar dengan cara menghalangi kerja

asetilkolin ditempat hubungan neuromuskular dan dengan demikian mencegah akomodasi.

Sikloplegik yang digunakan adalah tetes mata atau salep mata atropin biasanya dengan

konsentrasi 0,5% (anak) dan 1% (dewasa).(4)

2.               Miotik – Miotik digunakan untuk mengurangi konvergensi yang berlebihan pada

esotropia dekat, yang dikenal sebagai rasio konvergensi akomodatif dan akomodasi (rasio KA/A)

yang tinggi. Obat yang biasa digunakan adalah ekotiofat iodine (Phospholine iodide) atau

isoflurat (Floropryl), yang keduanya membuat asetikolinesterase pada hubungan neuromuskular

menjadi tidak aktif, dan karenanya meninggikan efek impuls saraf.(5)

3.               Toksin Botulinum – Suntikan toksin Botulinum A ke dalam otot ekstraokular

menyebabkan paralisis otot tersebut yang kedalaman dan lamanya tergantung dosisnya.

  Pengobatan Bedah

Memilih otot yang perlu dikoreksi : tergantung pengukuran deviasi pada berbagai arah

pandangan. Biasanya yang diukur adalah jauh dan dekat pada posisi primer, arah pandangan

sekunder untuk jauh, dan arah pandangan tersier untuk dekat, serta pandangan lateral ke kedua

sisi untuk dekat(4).

Reseksi dan resesi – Cara yang paling sederhana adalah memperkuat dan memperlemah.

Memperkuat otot dilakukan dengan cara yang disebut reseksi. Otot dilepaskan dari mata, ditarik

sepanjang ukuran tertentu dan kelebihan panjang otot dipotong dan ujungnya dijahit kembali

pada bola mata, biasanya pada insersi asal. Resesi adalah cara melemahkan otot yang baku. Otot

dilepaskan dari bola mata, dibebaskan dari perlekatan-perlekatan fasial, dan dibiarkan menjadi

42

Page 43: Laporan Sementara Tutor a Fix

43

retraksi. Kemudian dijahit kembali pada bola mata dibelakang insersi asal pada jarak yang telah

ditentukan.(4)

Pemeriksaan Ofthamologi

Cara Pemeriksaan Visus Dasar

1. Pasien duduk 6 meter (20 feet) dari kartu Snellen

2. Tutup mata kiri dengan okluder atau telapak tangan tanpa menekan bola mata

3. Minta pasien membaca/mengidentifikasi optotip atau pemeriksa menunjuk optotip. Dimulai

dari yang terbesar hingga yang terkecil, dari kiri ke kanan, yang masih dapat teridentifikasi

sampai hanya separuh optotip pada satu baris yang teridentifikasi dengan benar.

4. Lihat berapa tajam penglihatan pada baris tersebut.

5. Catat jumlah optotip yang salah diidentifikasi

6. Ulangi langkah 1-5 untuk mata kiri.

7. Ulangi dengan menggunakan kedua mata dan catat sebagai tajam penglihatan dua mata

Cara Pemeriksaan Low Visual Acuity

Jika pasien tidak dapat melihat huruf pada Kartu Snellen yang paling atas, maka dilakukan

pemeriksaan ini.

1. Minta pasien duduk dengan nyaman.

2. Tutup mata yang tidak diperiksa.

3. Pemeriksa berdiri 1 m dari pasien, acungkan jari pemeriksa, minta pasien menghitung jumlah

jari.

4. Bila pasien menjawab dengan benar, pemeriksa mundur ke jarak 2 m, dst, hingga jarak 6

meter.

5. Tajam penglihatan dicatat : hitung jari dari jarak 1 m = 1/60, dari jarak 2 m = 2/60, s/d 6/60.

43

Page 44: Laporan Sementara Tutor a Fix

44

6. Bila pasien tidak dapat menghitung jari dari jarak 1 m, gerakkan tangan pemeriksa dari jarak 1

m.

7. Tanyakan apakah pasien dapat melihat gerakan tangan serta arah gerakan tangan pemeriksa.

8. Bila dapat melihat gerakan tangan : tajam penglihatan dicatat sebagai hand movement atau

1/300.

9. Bila tidak dapat melihat gerakan tangan, sinari mata pasien dengan lampu senter dan tanyakan

apakah pasien dapat melihat cahaya.

10. Bila dapat melihat cahaya : tajam penglihatan dicatat sebagai light perception atau 1/~.

11. Bila tak dapat melihat cahaya disebut no light perception atau 0.

12. Ulangi langkah 11-10 untuk mata sebelahnya.

Hirschberg test

Mata disinari dengan senter → reflex sinar pada permukaan kornea. Mata normal → reflex

kedua mata sama – sama ditengah pupil.

Pasien disuruh melihat sumber cahaya pada jarak 33 cm kemudian lihat pantulan cahaya pada

kedua kornea mata.

1)      Bila letaknya ditengah berarti tidak ada deviasi

2)      Bila letaknya dipinggir pupil maka deviasinya 15 º

3)      Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka deviasinya 30 º

4)      Bila letaknya dilimbus maka deviasinya 45 º

Pemeriksaan supresi (uji empat titikWorth)

Di depan mata pasien dipasang kaca mata yang salah satu lensanya berwarna hijau dan satunya

lagi merah, pasien suruh melihat senter berisi lingkaran warna putih merah dan hijau → dapat

menandakan adanya diplopia

.

44

Page 45: Laporan Sementara Tutor a Fix

45

Krimsky test

Menggunakan prisma dengan kekuatan yang sesuai dengan beratnya juling dipegang di depan

mata berfiksasi. Kekuatan prisma yang terbesar → pada mata yang berdeviasi mata yang

berdeviasi → sampai reflex cahaya terletak disentral kornea.

Stereogram titik acak → masing--masing mata melihat suatu bidang titik--titik acak yang

korelasi setiap titik dibuat sedemikian rupa sehingga jika terdapat stereopsis pasien akan melihat

bentuk tiga dimensi

Potensial fusi → ditentukan dengan uji filter merah → suruh melihat cahaya sasaran fiksasi →

normal jika terdapat satu cahaya fiksasi berwarna merah muda → deviasi jika terlihat ada satu

cahaya merah dan satu cahaya putih

Uji duksi :

dilakukan untuk melihat pergerakan setiap otot mata menurut fungsi gerakan otot

tersebut.

Alat : Okluider, lampu fiksasi

Cara : Pemeriksaan dilakukan dalam jarak dekat 30 cm.

Mata diperiksa satu persatu.

Dilihat pergerakan mata dengan menyuruh mata tersebut mengikuti

gerakan sinar keatas, kebawah, kekiri, kekanan, temporal atas, temporal

bawah, nasal atas dan nasal bawah.

Nilai : Bila tidak terlihat keterlambatan pergerakan otot disebut fungsi otot

normal.

Uji versi :

melihat pergerakan kedua mata pada satu arah yang sama.

Alat : Obyek (lampu fiksasi), okluder

Cara : Diletakkan obyek 30cm didepan mata.

Pasien diminta tetap menegakkan kepala.

45

Page 46: Laporan Sementara Tutor a Fix

46

Dilakukan pemeriksaan dengan lampu fiksasi pada kedudukan arah

kardinal sekaligus pada kedua mata.

Pemeriksaan mengamati kemungkinan adanya aksi lebih (over aksi) pada

kedua otot oblique inferior, aksi kurang (under aksi) dan aksi lebih (over

aksi) otot kontralateral , sinergis, tarikan bola mata dan pengecilan celah

kelopak.

Nilai : Diberikan (+) bila terdapat overaksi. (-) bila terdapat underaksi.

Horizontal : dekstroversi dan levoversi

dekstroversi → kontraksi rektus medius kanan dan rektus lateral kiri.

levoversi → kontraksi rektus lateral kiri dan rektus medius kanan serta

relaksasi rektus medius kiri dan rektus lateral kanan.

Alternate Cover Test :

dilakukan untuk melihat apakah mata melihat dengan binokuler.

Cara : Pasien melihat jauh 6 meter atau dekat 30 cm.

Okuler dipindah dari satu mata ke mata lain bergantian.

Pada setiap penutupan mata diberikan waktu cukup untuk mata lain

berfiksasi.

Nilai : Bila tidak terdapat pergerakan mata berarti mata ortoforia atau ortotropia

yaitu mata normal.

Pemeriksaan ini membantu pemeriksaan cover dan cover uncover.

Bila terjadi pergerakan berarti ada tropia atau foria yaitu mata tersebut

juling atau terdapat juling laten.

WFDT :

untuk penilaian strabismus dan berbagai permasalahan diplopia.

Alat : kacamat lensa hijau dan merah

Four dots chart

Cara : Pasang kacamata ujicoba atau phoroptor dengan lensa merah dikanan dan

lensa hijau dikiri.

Minta pasien melihat objek worth four dot test.

Nilai : 2 merah dan 2 hijau → mata kanan dominan.

46

Page 47: Laporan Sementara Tutor a Fix

47

2 merah dan 3 hijau → diplopia atau dominan bergantian (bila merah lebih

menyala dan hijau lebih pudar)

1 merah 2 hijau 1 kuning → normal

1 merah 2 hijau 1 kadang kuning/merah → normal

1 merah 3 hijau → mata kiri dominan.

FDT :

untuk menentukan apakah gangguan pergerakan bola mata disebabkan gangguan

neurologis atau restriksi mekanis.

Alat : Pinset

Cara : Pinset digunakan untuk menggerakkan bola mata. Dilihat apakah ada

tahanan dari otot bola mata.

Nilai : Ada tahanan → normal (½ beban kerja)

Tidak ada tahanan → paralitik

47

Page 48: Laporan Sementara Tutor a Fix

48

DAFTAR PUSTAKA

1. Dharma S, Safwan. Juling dan hubungannya dengan berbagai macam gangguan

penglihatan pada anak. Dalam : The 4th Sumatera Ophthalmology Meeting. Padang, 4-7

Januari 2006

2. Vaughan D, Asbury T. 1992. Oftalmologi Umum. Jilid 2. Edisi II. Yogyakarta: Widya

Medika

3. Ilyas S, Mailangkay, Hilaman T dkk. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta :

Sangung Seto, 2009.

4. Pascotto A. Acquired esotropia. E-Medicine. Internet file :

http://www.emedicine.com/OPH/topic 145.htm

5.    Rusdianto. Diagnosis dan manajemen mikrostrabismus. The 4th Sumatera

Ophthalmology Meeting. Padang, 4-7 Januari 2006

6. Hamidah, Djiwatmo, Indriaswati L. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya: SMF

Ilmu Penyakit Mata RSUD Dr Soetomo, 2006

7. American Academy of Ophtalmology, Pediatric Ophtalmology and Strabismus. Section

6. San Fransisco: American Academy of Ophtalmology, 2008.

48