1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Public Relation atau dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai hubungan masyarakat (Humas), telah merupakan profesi yang lahir pada awal abad ke-20. Salah satu pionirnya adalah Ivy Ledbetter Lee, seorang direktur biro publisitas pada Pennsylvania Railroad. Ivy mempengaruhi evolusi press agentry dan publisitas dalam bidang PR dengan mengeluarkan “Declration of Principles”. Inti Declaration of Principles adalah sebagai berikut : Ringkasnya, rencana kami adalah, secara terus terang dan terbuka, atas nama kepedulian bisnis dan institusi publik, memberikan kepada pers dan publik AS. Informasi yang segera dan akurat berkenaan dengan subjek-subjek yang berharga dan menarik perhatian publik untuk diketahui. (morse dalam cutlip 2009 :115) inti dari pernyataan ini adalah penentangan terhadap penipuan dan pengabaian publik yang jamak dilakukan oleh para pers agentry di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Alasan mengapa publik harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan dikarenakan publik -atau bisa kita sebut sebagai khalayak- menjadi elemen terpenting dari profesi ini. Penulis menggunakan kata terpenting dikarenakan tujuan utama humas adalah untuk membangun hubungan baik antara menciptakan hubungan yang saling mengerti antara organisasi dan khalayaknya. British Institute of Public Relation dalam jefkins mendefinisikan humas sebagai keseluruhan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkesinambugan dalam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Public Relation atau dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai hubungan
masyarakat (Humas), telah merupakan profesi yang lahir pada awal abad ke-20.
Salah satu pionirnya adalah Ivy Ledbetter Lee, seorang direktur biro publisitas
pada Pennsylvania Railroad. Ivy mempengaruhi evolusi press agentry dan
publisitas dalam bidang PR dengan mengeluarkan “Declration of Principles”. Inti
Declaration of Principles adalah sebagai berikut :
Ringkasnya, rencana kami adalah, secara terus terang dan terbuka, atas nama kepedulian bisnis dan institusi publik, memberikan kepada pers dan publik AS. Informasi yang segera dan akurat berkenaan dengan subjek-subjek yang berharga dan menarik perhatian publik untuk diketahui. (morse dalam cutlip 2009 :115)
inti dari pernyataan ini adalah penentangan terhadap penipuan dan pengabaian
publik yang jamak dilakukan oleh para pers agentry di Amerika Serikat pada
akhir abad ke-19.
Alasan mengapa publik harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan
dikarenakan publik -atau bisa kita sebut sebagai khalayak- menjadi elemen
terpenting dari profesi ini. Penulis menggunakan kata terpenting dikarenakan
tujuan utama humas adalah untuk membangun hubungan baik antara menciptakan
hubungan yang saling mengerti antara organisasi dan khalayaknya. British
Institute of Public Relation dalam jefkins mendefinisikan humas sebagai
keseluruhan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkesinambugan dalam
2
rangka menciptakan dan memelihara nat baik (good will) dan saling pengertian
antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya.
Khalayak disini tidak didefinisikan sebagai masyarakat umum akan tetapi
pihak-pihak yang berhubungan dengan organisasi. Frank Jefkins mendefinisikan
khalayak atau publik sebagai kelompok atau orang-orang yang berkomunikasi
dengan suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal. Jika kita kaitkan
dengan definisinya maka Humas dari sebuah organisasi dituntut mampu menjalin
hubungan baik dengan khalayaknya. Salah satu caranya adalah mengetahui apa
yang publik inginkan dari organisasi.
Penciptaan hubungan baik ini dapat dilakukan dalam berbagai cara. IPRA
lebih lanjut mendefinisikan 15 tugas pokok PR oleh dalam Nova (2009:39) antara
lain :
1. Memberikan konseling yang didasari pemahaman masalah perilaku
manusia
2. Membuat analisis “trend” masa depan dan ramalan akan sebab-akibatnya
bagi manusia
3. Melakukan riset pendapat, sikap dan harapan masyarakat terhadap institusi
dan memberikan saran tindakan-tindakan yang diperlukan institusi untuk
mengatasinya.
4. Menciptakan dan membina komunikasi dua arah berlandaskan kebenaran
dan informasi yang utuh.
5. Mencegah konflik dan salah pengertian.
6. Meningkatkan rasa saling hormat dan tanggung jawab sosial.
7. Melakukan penyerasian kepentingan institusi terhadap kepentingan umum.
3
8. Meningkatkan itikad baik institusi terhadap anggota, pemasok dan
konsumen.
9. Memperbaiki hubungan industrial.
10. Menarik tenaga kerja yang baik agar menjadi anggota dan mengurangi
keinginan anggota untuk keluar dari institusi.
11. Memasyarakatkan produk atau layanan.
12. Mengusahakan perolehan laba yang maksimal.
13. Menciptakan jati diri institusi
14. Memupuk minat mengenai masalah-masalah nasional maupun
internasional
Meningkatkan pengertian mengenai demokrasi
Meskipun Humas baru menjadi suatu profesi khusus dengan tugas yang
didefinisakan diatas pada awal abad ke-20, namum kegiatan Humas telah
dilakukan berabad-abad silam. Basham dalam Cutlip menjelaskan bahwa mata-
mata raja India, selain melakukan tugas spionase mereka juga menjaga agar raja
bisa mengetahui opini publik, mendukung raja di hadapan publik, dan
menyebarkan rumor yang mendukung pemerintahan. Begitu pula pada era modern
ini, sebuah organisasi perlu untuk mengetahui opini publik terhadap organisasi.
Tak terkecuali lembaga pemerintahan dan lembaga milik negara, salah satunya
adalah Bank Indonesia (BI).
Bank Indonesia yang ditetapkan sebagai badan hukum publik sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, mempunyai otonomi penuh dalam
4
merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya. Hal tersebut
mengakibatkan Bank Indonesia bebas intervensi dari pihak manapun dalam
melaksanakan tugasnya yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Dalam pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia berwenang menetapkan
peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang
yang mengikat seluruh masyarakat luas. Walaupun mempunyai kekebalan
terhadap intervensi pihak luar namun Bank Indonesia tidak serta merta buta dan
tuli terhadap pendapat stakeholder-nya. Hal tersebut tertuang dalam salah satu
sasaran strategisnya yaitu memperkuat institusi melalui good governance,
akses ke laman pada tanggal 21 September 2010, pukul 10.12 WIB).
Dalam upaya mencapaian sasaran strategis ini Bank Indonesia membagi
tugas kepada beberapa satuan kerja salah satunya Biro Humas Bank Indonesia.
Biro Humas Bank Indonesia tergabung dalam Direktorat Perencanaan Strategis
dan Humas (DPSHM). Biro Humas Bank Indonesia terbagi menjadi empat bagian
antara lain tim internal, relasi eksternal dan tim riset.
Keempat tim dalam Biro Humas BI bekerja saling berkesinambungan
dalam melaksanakan manajemen PR agar meraih tujuannya. Denny Griswold
dalam (Nova, 2009 :33) mendefenisikan manjemen PR sebagai berikut :
Hubungan masyarakat adalah fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap publik, mempelajari kebijakan dan prosedur individual atau organisasi sesuai dengan kepentingan publik, dan menjalankan program untuk mendapatkan pemahaman dan penerimaan publik.
Cutlip menggambarkan lebih lanjut 4 tahapan manajemen PR sebagai berikut:
1. Mendefinisikan problem
5
2. Perencanaan dan pemrogaman
3. Mengambil tindakan dan berkomunikasi
4. Mengevaluasi program
Pelaksanaan manajemen PR yang efektif akan memudahkan Biro Humas BI untuk
membuat sebuah strategi komunikasi. Hal ini dikarenakan melalui manajemen PR
strategi komunikasi tentunya dapat dirancang dengan matang bila didukung oleh
data yang akurat. Data tersebut dapat diperoleh melalui riset kehumasan.
Riset PR secara garis besar merupakan sebuah kegiatan untuk
menghimpun, mencatat, dan menganalisis data. Menurut Mubaraq Ishak & Simon
Koh Siew leng dalam Ruslan pengertian PR adalah :
Process of gathering, recording and analysing relevant facts about any problem in any branch of human activity. It refers to a critical and searching study and investigation of a problem, a proposed course of action, a hypothesis of or theory.
Kegiatan riset dapat dilakukan diawal proses manajemen PR atau akhir
manajemen PR. Hal tersebut dikarenakan fungsi riset PR mencakup proses untuk
mengetahui informasi tentang publik hingga untuk megevaluasi kinerja. Seperti
yang diungkapkan oleh kriyantono (2007:289) :
1. Membantu mengantisipasi munculnya masalah.
2. Mengevaluasi program kerjanya.
3. Melakukan tes awal mengenai keefektifan alat-alat komunikasi yang
digunakannya.
4. Memperoleh profil publik beserta sikap mereka.
5. Mengakumulasi informasi tentang keefektifan penggunaan media.
6. Melakukan evaluasi terhadap keseluruhan program dan kampanye
public relation.
6
Pada Biro Humas BI, terdapat bagian khusus untuk melakukan kegiatan
Riset PR. Tugas tersebut diamanatka pada tim riset dan analisis kehumasan. Tim
ini secara khusus bertugas untuk memantau, menganalisis, dan menjaga
keseimbangan pemberitaan harian terkait bank Indonesia di media massa.
1.2 Alasan Pemilihan Tempat
Setelah menasionalisasi De Javeniche Bank (DJB) pada 1 Juli 1953, BI
telah melewati puluhan tahun untuk melaksanakan tugasnya. Berbagai krisis pun
telah dilewati dan terbukti perekonomian Indonesia mampu kembali berdiri pasca
krisis moneter 1998 bahkan pada krisis perekonomian global pada 2008 silam,
perekonomian Indonesia pun tetap tegar meski diterpa badai. Hal ini
membuktikan bahwa Bank Indonesia mempunyai kredibelitas dalam
melaksanakan tugasnya.
Pada 2009 Bank Indonesia diberi kepercayaan penuh oleh pemerintah
untuk melaksanakan tugasnya secara indipenden. Pemberian kepercayaan ini
tentunya menuntut adanya tanggung jawab terhadap tugas yang diemban. Oleh
karena itu Bank Indonesia sebagai badan hukum publik dituntut untuk mampu
menjaga akuntabilitas lembaganya.
Mengingat betapa banyak pengalaman yang dimiliki oleh BI atas tugas
yang diembannya, penulis tertarik untuk memilih BI sebagai tempat pelaksanaan
PKN. Terlebih BI jakarta merupakan tempat dimana kebijakan perekonomian
Indonesia dibuat tentunya akan sangat banyak pengalaman yang diperoleh
penulis. Tentunya pengalaman ini akan sangat berharga, karena penulis ikut ambil
bagian dalam beberapa kegiatan BI.
7
1.3 Tempat dan Waktu Kegiatan Magang
Tempat kegiatan magang yang dipilih adalah Bank Indonesia yang terletak
di Jl. M.H. Thamrin no.2 Jakarta Pusat Kegiatan PKN berjalan selama satu bulan,
dimulai sejak
tanggal 16 Agustus 2010 sampai dengan 17 September 2010.
1.4 Tujuan
Kegiatan Praktek Kerja Nyata ini bertujuan :
1. Memberikan pembelajaran dan pembekalan langsung kepada mahasiswa
mengenai situasi kerja sesungguhnya dalam sebuah instansi.
2. Agar memiliki bekal dalam menghadapi permasalahanpermasalahan yang akan
muncul nanti saat benar-benar terjun di dunia kerja yang sesungguhnya.
1.5 Manfaat
1. Manfaat bagi Mahasiswa
Dengan melaksanakan kegiatan program kerja nyata, diharapkan
mahasiswa bisa mendapatkan pengalaman berharga mengenai dunia kerja tempat
aplikasi ilmu yang didapat mahasiswa di kampus. Sehingga nantinya, mahasiswa
telah siap menjadi tenaga profesional muda ketika harus terjun dalam dunia kerja.
Selain memberikan pengalaman, program magang ini dapat menambah
pengetahuan dan melatih cara berpikir mahasiswa serta soft skill mahasiswa.
Dalam dunia kerja nyata, mahasiswa akan banyak berhadapan dengan realitas
lapangan yang lebih kompleks serta tantangan yang lebih berat.
8
2. Manfaat bagi Fakultas
Mahasiswa PKN di tiap institusi merupakan wakil civitas akademika
tempat mahasiswa berkuliah. Tentunya apa yang mereka lakukan selama PKN
akan mencitrakan civits akademika yang mereka wakili secara langsung kepada
pihak luar.
Kegiatan ini bisa menjadi alat publisitas universitas di dunia kerja. Tanpa
mengeluarkan biaya, universitas bisa mempromosikan dirinya melalui peserta
didiknya. Tentunya bila mahasiswa telah dididik dengan baik oleh pihak
universitas maka citra diri universitas menjadi baik.
3. Manfaat bagi Lembaga
Sebagi lembaga yang menerima para mahasiswa magang, BI dapat
menyeleksi dan memperoleh tenaga profesional muda tanpa mengadakan proses
rekruitmen formal. Hal ini akan jauh lebih efisien bagi institusi tersebut. Selama
jangka waktu program magang, perusahaan magang mendapatkan bantuan
personil dalam pelaksanaan aktivitas sehari-harinya.
9
BAB II
KERANGKA KONSEP KEGIATAN
Salah satu tujuan kegiatan PKN menurut buku pedoman PKN Fakultas
Ilmu Sosial dan Imu Politik Universitas Brawijaya, adalah untuk menghasilkan
sarjana yang menghayati permasalahan masyarakat dalam konteks
pembangunan dan mampu memecahkannya secara pragmatis. Dalam
hubungan ini, PKN memberikan pengalaman belajar tentang masyarakat
kepada mahasiswa sekaligus memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Intinya mahasiswa dituntut untuk mampu menyelesaikan masalah yang
dihadapi dalam dunia kerja berbekal dari ilmu yang telah ditimbanya saat
mengenyam bangku kuliah.
Ada pepatah mengucapkan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik.
Sesuai dengan tujuan dari PKN, pengalaman yang didapat selama menjalani
kegiatan tentunya akan memberikan pelajaran berharga bagi mahasiswa. Hal ini
disebabkan karena mahasiswa akan mendapatkan pengalaman baru yang belum
pernah didapatkan selama mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan formal.
Dalam upaya untuk meraih tujuan tersebut, maka mahasiswa memilih Bank
Indonesia sebagai lokasi PKN.
Lokasi PKN yang diambil penulis menyandang status badan hukum publik
mulai 2009. Sehingga penulis akan mendapatkan pengalaman baru dalam
menangani kegiatan kehumasan dalam Badan Hukum Publik. Status Badan
10
Hukum Publik ini juga menuntut lembaganya untuk mewujudkan prinsip
akuntabilitas. Hal ini tertuang dalam salah satu kebijakan strategis BI yaitu
memperkuat institusi melalui good governance, efektivitas komunikasi dan
kerangka hukum
Demi memenuhi prinsip akuntabilitas, efektivitas komunikasi mutlak
dibutuhkan oleh BI, karena publik mereka yang mencakup seluruh elemen
masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh salah satu prinsip komunikasi yaitu
semakin mirip latar belakang budaya maka komunikasinya semakin efektif.
Sehingga sangat beragamnya latar belakang budaya masyarakat Indonesia
menuntut pengemasan pesan yang efektif, agar pesan dapat diterima dengan baik.
Dalam 15 tugas pokok PR yang didefinisikan oleh IPRA, salah satu poin
tugas PR adalah untuk menciptakan dan membina komunikasi dua arah
berlandaskan kebenaran dan informasi yang utuh. Maka bagian Biro Humas BI
bertanggung jawab untuk membuat dan memberikan pesan sefektif mungkin agar
fungsi memasyarakatkan produk -dalam hal ini kebijakan- dapat dimengerti dan
difahami secara baik pula oleh semua khalayak. Akan tetapi apabila ada beberapa
pihak yang kurang paham atau ingin memberikan counter opini terhadap pesan
yang diberikan, Biro Humas BI wajib untuk menanganinya agar resiko timbulnya
krisis dapat diminimalisir.
Dalam pembuatan pesan, tentunya pihak Biro Humas BI tidak bisa
sembarangan melakukannya. Butuh sebuah manajemen khusus agar pesan yang
dibuat bisa seefektif mungkin. Maka manajemen PR sangat dibutuhkan dalam
bidang ini. Melalui prinsip R-A-C-E yang dikemukakan oleh John Marston, dari
keempat langkah manajeman PR maka langkah yang didahulukan adalah riset.
11
Hal ini dikarenakan riset akan memberikan informasi dan data yang akurat kepada
pengambil keputusan dalam menjalankan manajemen PR.
Mengingat betapa pentingnya kegiatan riset bagi MPR maka penulis akan
memfokuskan pada kajian riset PR. Terlebih selama mengikuti kegiatan PKN
penulis ditempatkan di tim riset Biro Humas BI. Dalam tim riset ini, penulis
terbantu untuk melaksanakan salah satu fungsi PR menurut Cutlip, Center and
Broom yakni memantau kesadaran, pendapat, sikap dan perilaku di dalam dan
diluar organisasi; dan menganalisis dampak kebijaksanaan, prosedur, dan tindakan
terhadap masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan media
monitoring yang dilakukan penulis selama mengikuti kegiatan PKN. Ringkasnya,
dalam penyusunan laporan ini, penulis ingin menjelaskan fungsi riset PR berupa
media monitoring yang dilakukan Biro Humas BI sebagai sebuah instrumen untuk
menganalisis dan mendefinisikan masalah yang terjadi dan menjadikan hasil
tersebut sebagai bahan pembuatan kebijakan strategi komunikasi BI dalam
menghadapi sebuah isu.
Riset PR mengambil peranan penting dalam kegiatan manajemen PR. Hal
ini dikarenakan informasi dan data akurat sebagai dasar pengambilan langkah
berikutnya dapat diperoleh dari kegiatan riset. Hal tersebut terlihat pada salah satu
tugas pokok PR menurut IPRA yaitu melakukan riset pendapat, sikap dan harapan
masyarakat terhadap institusi dan memberikan saran tindakan-tindakan yang
diperlukan institusi untuk mengatasinya.
Kegiatan riset pada proses MPR mengambil peran pada proses fact finding
dan evaluasi. Pada kedua tahap tersebut riset dapat dilakukan baik menggunakan
metode informal dan formal. Pada laporan ini penulis memfokuskan diri pada
12
kegiatan riset media monitoring dikarenakan jenis riset tersebutlah yang rutin
dilakukan oleh penulis. Selain itu riset media monitoring juga sangat membantu
tugas yang diamanantkan kepada tim riset dan analisis kehumasan dimana penulis
tergabung selama mengikuti kegiatan PKN. Melalui laporan ini penulis juga dapat
semakin memahami pentingnya riset dalam proses MPR, bagaimana riset media
monitoring ini dilakukan, apa keluaran yang dihasilkan, dan bagaimana keluaran
dari riset ini dilaksanakan oleh BI.
13
BAB III
KEGIATAN MAGANG
3.1 Profil Bank Indonesia
Kemerdekaan yang diraih Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak serta
merta membuat Republik muda ini mempunyai struktur kenegaraan yang lengkap.
Butuh waktu untuk menata struktur lembaga negara. Kondisi negara yang tidak
menentu pada era 10 tahun awal kemerdekaan juga turut menghambat Republik
Indonesia (RI) untuk berkembang. Pada era ini Indonesia masih belum punya
sebuah lembaga yang dikelola oleh putra bangsa untuk menangani kebijakan
ekonomi.
Perjuangan untuk memperoleh kedaulatan penuh butuh perjuangan baik di
medan perang atau meja perundingan. Puncaknya melalui Konferensi Meja
Bundar, Indonesia akhirnya memperoleh kedaulatan penuh atas wilayah Aceh
hingga Maluku. Melalui perundingan ini pula De Javasche Bank (DJB) ditetapkan
sebagai Bank Sirkulasi dan Bank Sentral Indonesia.
DJB tidak secara otomatis menjadi milik RIS, Karena DJB masih tunduk
pada Oktroi. Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam
menjalankan usahanya dalam hal ini menjadi dasar DJB untuk menjalankan
organisasinya. Sehingga perlu untuk mengganti peraturan ini. Perombakan
Oktrooi ini dilakukan dengan mengganti De Javasche Bank Wet 1922 serta
Undang-Undang tanggal 31 Maret 1922 (Staatsblad 1922 No. 181). Dalam upaya
untuk menasionalisasi DJB pemerintah segera mengagendakan pembahasan
14
Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953 (UUP BI). UUP BI ini akhirnya
diumumkan dalam lembaran Negara No. 40. Dengan demikian UUP BI telah
mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953 yang menyatakan “Dengan nama Bank
Indonesia, didirikan suatu Bank yang bermaksud menggantikan De Javasche Bank
dan bertindak sebagai Bank Sentral Indonesia. Semenjak itulah Bank Indonesia
menjadi Bank Sentral resmi Indonesia. “
Puluhan tahun berlalu dan babak baru pun dimulai. Bank Indonesia
mendapatkan status sebagai Bank Sentral yang independen melalui UU No.
23/1999 tentang Bank Indonesia. UU tersebut berlaku mulai 17 Mei 1999 dan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/
2009. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan bagi BI sebagai
suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali
untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.
BI mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan
setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang
tersebut. Pihak luar tidak seharusnya mencampuri pelaksanaan tugas BI, dan BI
juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk
apapun dari pihak manapun juga.
Penetapan status dan kedudukan khusus tersebut sangat diperlukan oleh
BI. Sehingga BI dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas
moneter secara lebih efektif dan efisien. Status Bank Indonesia baik sebagai badan
hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan oleh undang-undang.
Sebagai badan hukum publik BI berwenang menetapkan peraturan-peraturan
15
Gambar 3.1 tiga pilar bidang tugas Bank Indonesia
hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh
masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum
perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam
maupun di luar pengadilan.
BI sendiri mempunyai visi untuk menjadi Lembaga Bank Sentral yang
dipercaya secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai
strategis yg dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. Secara umum
misi utama yang diemban BI adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan
nilai Rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan
stabilitas sistem keuangan. Tugas tersebut bertujuan untuk pembangunan nasional
jangka panjang yang berkesinambungan.
Dalam upaya meraih dan memelihara kestabilan nilai rupiah, terdapat tiga
bidang tugas BI yaitu :
1. Penetapan dan melaksanakan kebijakan moneter
2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
3. Mengatur dan Mengawasi Bank
16
3.1.2 Visi dan Misi Bank Indonesia
1. Visi BI
Menjadi Lembaga Bank Sentral yang dipercaya secara nasional
maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki
serta pencapaia inflasi yang rendah dan stabil.
2. Misi BI
Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui
pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem
keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang
berkesinambungan.
3.1.3 Logo Bank Indonesia
Gambar 3.2 Logo Bank Indonesia
3.1.4 Struktur Organisasi Bank Indonesia
Sebuah organisasi tentunya butuh sebuah struktur dalam melaksanakan
tugasnya. Berikut ini adalah struktur organisasi BI :
17
Berada di puncak pimpinan terdapat Dewan Gubernur yang terdiri dari
seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior dan 4 hingga 7 orang Deputi
Gubernur yang diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam upaya meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparasi dan
kredibilitas Bank Indonesia, dibentuklah Badan Supervisi. Badan Supervisi ini
akan membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawan di bidang tertentu
terhadap BI. Tugas dari badan ini adalah :
a. Telaah atas laporan keuangan tahunan BI;
b. Telaah atas anggaran operasional dan investasi BI;
c. Telaah atas prosedur pengambilan keputusan kegiatan operasional diluar
kebijakan moneter atas pengelolaan asset BI.
Secara garis besar, tugas BI dilaksanakan melalui 4 sektor satuan kerja
(yaitu sector moneter, sektor perbankan, sektor sistem pembayaran, dan sector
manajemen intern). Keempat sektor tersebut terbagi menjadi direktorat-direktorat
yang mempunyai tugas lebih spesifik lagi antara lain :
1. Sector moneter terbagi menjadi lima direktorat, yaitu :
- Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (DKM),
Gambar 3.3 Struktur Organisasi Bank Indonesia
18
- Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter (DSM),
- Direktoat Pengelolaan Moneter (DPM),
- Direktorat Pengelolaan Devisa (DPD) dan,
- Direktorat Internasional (Dint).
2. Sektor Perbankan terbagi menjadi sembilan direktorat, yaitu :
- Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP),
- Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP),
- Direktorat pengawasan Bank 1 (DPB 1),
- Direktorat Pengawasan Bank 2 (DPB 2),
- Direktorat pengawasan Bank 3 (DPB 3),
- Direktorat Kredit, BPR, dan UMKM (DKBU),
- Direktorat Inestigasi dan Mediasi Perbankan (DIMP) dan
- Direktorat Perbankan Syaria (DPbS)
3. Sektor Sistem Pembayaran terbagi menjadi dua sector yaitu :
- Direktorat Pengendaran Uang (DPU) dan
- Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran (DASP)
4. Sektor Manajemen Internal dibagi menjadi sepuluh direktorat yaitu :
- Direktorat logistic dan Pengamanan (DLP),
- Direktorat Teknologi Informasi (DTI),
- Direktorat Sumber Daya Manusia (DSDM),
- Direktorat Keuangan Intern (DKI),
- Direktorat Pengawasan Intern (DPI),
- Direktorat Hukum (DHk),
- Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK),
19
- Unit Khusus Manajemen Informasi (UKMI),
- Direktorat Perencanaan Strategi dan Hubungan Masyarakat (PSHM)
dan
- Biro Kesentralan (BSk).
Dalam penjelasan diatas dapat kita lihat, posisi Biro Humas BI berada dibawah
naungan Direktorat Perencanaan Strategi dan Hubungan Masyarakat (DPSHM).
Berikut adalah struktur keorganisasian DPSHM :
Gambar 3.4 Struktur Organisasi Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan
Masyarakat Bank Indonesia
Posisi Biro Humas BI yang berada dibawah direktorat PSHM tidak mengurangi
pentingnya keberadaan Biro Humas dalam struktur kelembagaan BI. Hal tersebut
dapat kita lihat dalam visi dan misi Biro Humas sebagai berikut :
1. Visi
a. Mendukung visi bank Indonesia melalui citra lembaga
20
b. Kantor bank Indonesia dan kantor perwakilan bank Indonesia yang
melaksanakan kegiatan kehumasan, serta satuan kerja yang
membidangi kegiatan kehumasan di kantor pusat bank Indonesia
wajib mengembangkan nilai-nilai transparasi, akurasi, tepat waktu,
konsisten dan beroperasi pada kepentingan stakeholder
2. Misi
Mencapai dan meningkatkan citra bank Indonesia melalui rangkaian
kegiatan komunikasi yang efektif kepada stakeholder untuk menciptakan
iklim yang kondusif dalam melakukan pelaksaan misi bank Indonesia
Biro Humas bertanggung jawab untuk memberikan informasi kepada publik baik
internal maupun eksternal tentang kegiatan-kegiatan BI. Sehingga tujuan untuk
menjadi penghubung dan penyampaian informasi untuk memperoleh saling
pengertian antara publik dan lembaga. Secara khusus Fungsi dari kegiatan
kehumasan bank Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Sebagai juru bicara bank Indonesia
b. Sebagai fasilitator antara bank Indonesia dan stakeholders
c. Sebagai penasihat kehumasan bagi anggota dewan gubernur bank
Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan saling pengertian
antara bank Indonesia dan stakeholdersnya
Ketiga fungsi tersebut bertujuan untuk menciptakan hubungan baik antara
lembaga atau instansi dengan publik internal maupun publik eksternal.
Pelaksanaan ketiga tugas tersebut dalam ruang lingkup kegiatan kehumasan yang
mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
21
a. Menganalisis kondisi umum lingkungan di sekitar bank Indonesia
yang berkaitan dengan perilaku dan opini dari masing-masing
kelompok stakeholders serta pengaruhnya terhadap bank Indonesia
b. Mengantisipasi hal-hal yang menjadi ketakutan, keterbatasan,
peluang dan tantangan bank Indonesia dalam berhubungan denga
stakeholders
c. Melaksanakan langkah-langkah strategi kehumasan
d. Melaksanakan kegiatan-kegiatan serta kebutuhan masing-masing
kelompok stakeholders termasuk pelaksanaan fungsi pendidikan
bagi masing-masing kelompok stakeholders
e. Mengevaluasi hasil pelaksanaan kegiatan dan melaksanakan
perbaikan sepanjang diperlukan
Melihat pentingnya terciptanya hubungan saling pengertian, BI senaniasa
bekerja sama dan berkoordinasi dengan berbagai lembaga. Baik lembaga-lembaga
negara hingga unsur-unsur masyarakat lainnya. Hubungan dan kerjasama ini perlu
dijaga dengan baik dan seimbang. Hal ini dilakukan agar dukungan dari bebagai
pihak dapat diraih. Sebagai lembaga yang independen, BI berhubungan dengan
lembaga lain untuk menciptakan sinergi. Selain itu hubungan ini dapat
menjelasan pembagian tugas antar lembaga serta mendorong penegakan hukum
yang lebih efektif.
Dalam upaya mencapai tujuanya secara efektif, Biro Humas BI
membentuk tiga tim yang bekerja secara berkesinambungan. Ketiga tim tersebut
terdiri dari tim relasi eksternal, tim riset dan analis serta tim relasi internal dan
22
publikasi. Setiap tim mempunyai tugas masing-masig berikut ini job description
dari tiap tim :
1. Tim eksternal
a. Melakukan pemantauan dan analisis pemberitaan harian terkait
bank Indonesia di media massa (issue management)
b. Memberikan rekomendasi kepada dewan gubernur mengenai isu2
strategis terkini yang diperoleh dari media massa yang dapat
mempengaruhi citra bank Indonesia
c. Menjadi fasilitator bagi media massa dalam memenuhi kebutuhan
informasi mengenai kebijakan bank Indonesia
d. Mengelola pemberitaan di media massa
e. Melaksanakan program kehumasan yang disusun oleh tim riset dan
analisis kehumasan bersama kelompok relasi media guna
peningkatan citra bank Indonesia melalui pembinaan hubungan
dengan media massa (jejaring)
f. Mengkomunikasikan kebijakan dan produk Bank Indonesia kepada
masyarakat melalui media massa
g. Melakukan pemantuan dan analisa pendangan/harapan lembaga
tinggi negaran dan pemerintaha terhadap kebijakan bank Indonesia
dan produk hokum yang berkaitan dengan bank Indonesia serta
merekomendasikan tindak lanut kepada dewan gubernur
h. Menjadi fasilitator bagi lembaga tinggi negara dan pemerintah
dalam memenuhi kebutuhan informasi mengenai kebijakan bank
Indonesia
23
i. Menyusun dan melaksanakan program guna peningkatan citra bank
Indonesia melalui pembinaan hubungan dengan lembaga tinggi
negara dan pemerintah
j. Mengkomunikasikan kebijakan bank Indonesia kepada lembaga
tinggi Negara dan pemerintah
k. Melakukan pemantauan dan analisis pandangan stakeholders di
luar pemerintah, lembaga tinggi Negara dan media massa terhadap
kebijakan bank Indonesia serta merekomendasikan tindak lanjut
kepada dewan gubernur
l. Mengkomunikasikan dan menjadi fasilitator bagi stakeholders
diluar lembaga tinggi Negara, pemerintah dan media massa dalam
rangka memenuhi kebutuhan informasi, pemgetahuan dan
kebijakan Bank Indonesia
m. Membina hubungan dengan stakeholders di lembaga tinggi Negara,
pemerintah dan media massa
2. Tim internal dan publikasi
a. Mengelola, memelihara dan mengembangkan informasi situs bank
Indonesia (content management system) untuk memenuhi
kebutuhan stakeholders
b. Melaksanakan program peningkatan pelayanan penyediaan
informasi public termasuk melakukan kerjasama dengan pihak
penyedia jasa informasi lainnya
24
c. Memberikan respon terhadap permintaan informasi melalui
layanan hotline Bank Indonesia seperti telepon, fax, surat, dan e-
mail
d. Menyusun, menerbitkan, dan mendistribusikan publikasi Bank
Indonesia untuk keperluan public seperti media massa, akademisi,
pakar dan pihak lainnya dalam upaya pemberian pemahaman
tentang Bank Indonesia
3. Tim riset dan analisis kehumasan
a. Melakukan pemantauan dan analisis pemberitaan harian terkait
bank Indonesia di media massa
b. Menganalisa keseimbangan pemberitaan terkait kebijakan di
bidang stabilitas moneter dan stabilitas sistem perbankan
3.2 Kegiatan Harian PKN
Dalam melakukan Praktek Kerja Nyata (PKN), penulis berkewajiban
melakukan beberapa aktivitas baik yang berhubungan dengan kegiatan PR
maupun tidak. Pada hari pertama mengikuti kegiatan PKN, penulis sangat
antusias untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukan
tugas tersebut. Penulis pun belajar banyak dari rekan sesama mahasiswa yang
lebih dulu melakukan kegiatan magang di BI. Melalui mereka pula penulis
mengerti bagaimana dan untuk apa tugas tersebut dilakukan. Pihak Biro Humas
juga menerima baik kami sehingga penulis tidak mendapatkan kesulitan untuk
beradaptasi dengan lingkungan kerja. Selama mengikuti kegiatan PKN penulis
ditempatkan di tim riset dan analisis kehumasan. Meskipun penulis ditempatkan
25
di tim riset dan analisis kehumasan, kegiatan yang penulis lakukan tidak hanya
berkutat dalam kegiatan pemantauan dan analisi pemberitaan harian saja.
Selama 16 Agustus 2010 hingga 17 september 2010 Penulis juga
mempraktikan konsep-konsep PR yang selama ini diperlajari. Adapun kegiatan
yang dilakukan secara rutin adalah sebagai berikut :
a. Kegiatan Riset
• Melakukan media tracking seputar pemberitaan mengenai BI, baik
secara harian, mingguan maupun bulanan.
• Membantu mensortir pemberitaan OJK.
• Membantu membuat transkrip pidato gubernur BI.
b. Kegiatan Relasi Eksternal
• Turut membantu konferensi pers yang digelar oleh Biro Humas BI
terkait Sosialisasi BI Rate bulan September.
• Mendampingi Kepala Biro Humas dalam talk show di Sun TV.
• Membantu acara buka bersama wartawan di lobi ruang pers room.
• Membantu Tim Relasi Eksternal melaksanakan pembagian ta’jil
bagi pengendara kendaraan bermotor di sekitar lingkungan BI
dalam rangka safari ramadhan.
• Membantu mendampingi wartawan harian KOMPAS dan
KONTAN untuk melakukan pemotretan kegiatan kliring pasca
liburan
c. Kegiatan Relasi Internal • Mengikuti kegiatan rutin sharing issue pemberitaan dominan dalam
sepekan ‘Ngoran’ di Humas BI.
• Mengikuti kegiatan halal bihalal pasca libur hari raya ‘idul fitri
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Riset PR Sebagai Bagian dari Proses MPR
Riset secara umum bertujuan untuk untuk menghimpun, mencatat, dan
menganalisis data. Memang bagi orang awam hal ini terlihat remeh. Akan tetapi
bila seorang praktisi PR mengabaikan proses riset saat dia merancang sebuah
program PR atau kebijakan lainnya bisa dipastikan produk kebijakan tersebut
tidak akan efektif. Dapat dianalogikan praktisi tersebut bagaikan orang buta yang
disuruh menjelaskan apa itu gajah. Orang buta tersebut hanya bisa meraba-raba,
saat ia meraba belalainya maka mereka akan mengatakan bahwa gajah itu seperti
ular. Sama halnya dengan praktisi PR yang mencoba menjelaskan situasi tanpa
didukung data akurat. Mereka hanya bisa meraba kondisi lapangan hanya
berdasarkan intuisi. Maka dalam proses MPR kegiatan riset tidaklah bisa
diabaikan.
Sebuah kebijakan strategi komunikasi tidaklah bisa dibuat sembarangan
karena komunikasi bukanlah proses yang simpel. Sekali saja kesalahan terjadi,
maka efek yang terjadi bisa sangat destruktif. Sebaliknya bila sebuah kebijakan
strategi dibuat dengan data riset yang akurat maka efek yang didapatkan akan
sangat efektif.
Dalam proses pembuatan strategi dan program komunikasinya, BI
memiliki bagian khusus yaitu Biro Humas BI yang tergabung dalam Direktorat
Humas dan Perencanaan Strategis. Terdapat tiga macam produk kebijakan strategi
dan program komunikasi BI yaitu :
27
1. Strategi dan program komunikasi kebijakan.
2. Strategi dan program komunikasi isu strategis.
3. Strategi dan program komunikasi isu kritikal.
Dalam pembuatan ketiga strategi dan program komunikasi tersebut, Biro Humas
BI membuatnya tidak hanya berdasarkan intuisi tapi berdasarkan fakta akan
situasi yang sedang terjadi. Fakta tersebut diperoleh dari hasil riset yang dilakukan
oleh tim riset dan analisis kehumasan Biro Humas BI. Tim riset dan kehumasan
BI akan memberikan data akurat tentang objek sasaran atau deskripsi inti masalah
kepada pembuat kebijakan melalui riset.
Dalam kasus orang buta dan seekor gajah, terlihat bahwa memiliki
informasi tentang objek sasaran sangatlah penting. Sama halnya pada proses
MPR, sebelum sebuah kebijakan dibuat seorang praktisi PR membutuhkan
dukungan data yang didapat dari riset. Tanpa riset seorang praktisi tidak bisa
mengatakan mereka tahu situasi lingkungan sasaran dan bisa merekomendasikan
sebuah usulan. Cutlip, Center & Broom (2007:323) menjelaskan tentang
pentingnya sebuah proses riset :
Dengan riset dan analisis, mereka bisa menyajikan dan mengajukan proposal yang didukung oleh bukti dan teori. Dalam konteks ini, riset adalah pengumpulan informasi secara sistematis untuk mendeskripsikan dan memahami situasi dan untuk mengecek asumsi tentang publik dan konsekuensi PR. Ini adalah alternatif ilmiah untuk intuisi dan otoritas. Tujuan utamanya adalah mengurangi ketiakpastian dalam pembuatan keputusan. Kendati tidak bisa menjawab semua pertanyaan atau memengaruhi semua keputusan, riset yang sistematis dan metodis adalah dasar dari PR yang efektif.
Dapat kita simpulkan bahwa melalui riset, biro Humas BI dapat memberikan
rekomendasi kepada top manager atau tim Humas lainnya tentang situasi yang
terjadi. Sehingga kebijakan strategi komunikasi dapat dibuat seefektif mungkin.
28
Jika efektifitas strategi komunikasi dapat dicapai maka tujuan utama dari riset
yaitu untuk mengurangi ketidakpastian dalam pembuatan kebijakan dapat
tercapai.
Banyak ahli yang menekankan pentingnya riset dalam proses MPR. Ann
H. Barkelew, senior vice president of Fleisman-Hillard’s Minneapolis Office
dalam Kriyantono (2007:7) menekankan pentingnya riset PR : You cannot
practice public relations today succesfully or effectifully without research. Begitu
pentingnya riset bahkan kegiatan ini tak hanya dilakukan di awal saja. Hal
tersebut dinyatakan oleh Doug Newson, Alan Scott & Judy turk dalam
kriyantono (2007:7) :
If you’re a skillful PR practicioner, you do research first for backgrounding and planning. Then you continue the research process to monitor what you are doing. And finally you measure your work’s effectiveness to find out how well it turned out. Research and honest evaluation make the practice or PR more precise
Secara singkat proses riset dilakukan pada awal perencanaan program, memonitor
bagaimana program berjalan hingga mengevaluasi program tersebut melalui riset.
Dapat kita simpulkan posisi riset dalam MPR berada di tahapan fact finding dan
evaluasi. Hal ini diperjelas oleh pernyataan Kriyantono (2007:289) bahwa proses
MPR diawali dan diakhiri oleh riset.
Begitu halnya yang terjadi di Biro Humas BI. Setiap kegiatan yang
dilakukan oleh Biro Humas BI selalu didasari oleh data yang didapat melalui riset.
Misalnya saja saat Biro Humas BI diminta oleh salah satu stasiun televisi untuk
menjadi narasumber dalam suatu acara talkshow terkait dengan topik kebijakan
OJK. Maka kepala Biro Humas BI akan turun dan memberikan statement yang
29
tentunya didapatkan dari hasil riset monitor lingkungan dan arah strategi dan
program komunikasi kebijakan.
Riset monitor lingkungan dibutuhkan BI untuk mengeksplorasi dan
mengumpulkan informasi agar inti permasalahan dapat diketahui. Riset ini
umumnya dilakukan pada tahapan fact finding atau pencarian fakta. Riset pada
tahapan fact finding digunakan untuk mengumpulkan informasi secara sistemtis
untuk menjelaskan dan memahami inti permasalahan yang sedang terjadi. Dalam
tahapan ini seorang praktisi PR dituntut untuk mampu ‘mendengarkan’ secara
efektif. Mendengar dalam konteks ini tidak kita artikan secara harfiah sebagai
kegiatan untuk menerima rangsangan suara melalui indra pendengaran. Kegiatan
‘mendengar’ dalam hal ini adalah upaya untuk menerima umpan balik atau
feedback dari pihak lain. Internasional Listening Association dalam Cutlip,
Center, & Broom (2007:324) menjelaskan bahwa mendengar merupakan proses
menerima, mengkonstruksi makna dari, dan merespons pada pembicara dan/atau
pesan nonverbal.
Feedback dari pihak lain atas tindakan lembaga terkadang berupa berita
yang termuat di media massa atau surat. Lalu apa pentingnya kita harus
memahami feedback dari pihak lain? Wilbur Schramm menjelaskan pentingnya
feedback sebagai berikut :
Feedback adalah alat yang amat berguna. Ketika umpan balik tidak ada atau ditunda atau meredup... maka akan muncul situasi keraguan dan kekecewaan di antara para komunikator, dan lalu muncul frustasi dan bahkan terkadang permusuhan. (cutlip, :324)
dapat kita simpulkan apabila feedback ini tak dihiraukan maka akan muncul benih-
benih krisis.
30
Apabila BI tak mau memperdulikan feedback yang diberikan oleh publik,
bisa jadi krisis akan membesar dan mengakibatkan efek yang merugikan
organisasi. Misalnya pada wacana redenomisasi, publik sangat ramai
membicarakan wacana ini. Banyak bermunculan opini pro dan kontra. Pihak
pemerintah pun seakan ingin lepas tangan dengan menyatakan bahwa wacana ini
tidak akan pernah masuk agenda pembahasan oleh pemerintah. Opini kontra pun
banyak mempertanyakan kebijakan ini. Maka melalui riset pada tahapan fact
finding maka pihak Biro Humas pun dapat merekomendasikan langkah-langkah
yang harus diambil oleh Dewan Gubernur dalam menghadapi masalah ini.
Selain menemukan masalah dan merekomendasikan langkah
penyelesaiannya, feedback juga membantu agar penyelesaian konflik semakin
efektif. John Fiske menyatakan bahwa feedback akan membantu komunikator
menyesuaikan pesannya kebutuhan dan respons dari penerimanya. (2005:35).
Dapat kita simpulkan bahwa seandainya BI tidak peduli dan tak mau mendengar
maka penanganan krisis juga tidak akan efektif karena organisasi tidak mengetahui
inti permasalahan yang ada. Selain itu langkah-langkah penyelesaikan masalah
juga tidak tepat karena organisasi tidak mampu membuat pesan yang sesuai
dengan kebutuhan dan respons penerimanya.
Memang kegiatan ‘mendengar’ ini tidak mudah tapi bila dapat dilakukan
secara efektif maka krisis dapat dimimalisir. Hal tersebut dikarenakan dengan
‘mendengar’ maka organisasi dapat mengetahui inti permasalahan sehingga
langkah-langkah untuk menghadapinya pun dapat dibuat sefektif mungkin.
Kegiatan ‘mendengar’ ini dapat dilakukan organisasi dengan berbagai cara, salah
satunya adalah riset. Cutlip, Center, & Broom (2007:326) menjelaskan bahwa
31
dengan riset maka kegiatan ‘mendengar’ ini dapat dikembangkan secara
sistematis dalam proses komunikasi. Lebih lanjut Cutlip, Center, & Broom
menjelaskan bahwa dengan mendengarkan secara sistematik melalui riset akan
memungkinkan organisasi mendapatkan umpan balik yang dapat dipercaya.
Maksud dari umpan balik yang dapat dipercaya adalah umpan balik
tersebut didapatkan melalui metode-metode yang telah ada. Melalui metode yang
digunakan maka umpan balik dapat diolah oleh tim riset dan analisis kehumasan
BI dan diinformasikan kepada Dewan Gubernur sistematis dan dapat dipercaya.
Sehingga BI tidak bertindak berdasarkan kabar burung semata, tapi berdasarkan
informasi yang terjaga kebenarannya.
Jika pada tahapan factfinding, riset diposisikan sebagai alat untuk
digunakan untuk mengumpulkan informasi agar organisasi mampu memahami inti
permasalahan, maka berbeda halnya pada proses evaluasi. Riset pada tahapan
evaluasi digunakan untuk mengetahui hasil akhir dari sebuah program. Cutlip,
Center, & Broom (2007:416) menekankan manfaat riset ini hanya dipakai untuk
mempelajari apa yang terjadi dan mengapa, bukan untuk membuktikan atau
melakukan sesuatu. Evart G. Routzahn dalam Cutlip, Center, & Broom (2007:417)
menambahkan bahwa hasil riset tersebut dapat digunakan oleh praktisi PR sebagai
pelajaran untuk diaplikasikan pada proyek berikutnya. Maksudnya adalah, hasil
yang didapat dari riset evaluasi tersebut akan menjadi acuan bagaimana program
selanjutnya dilakukan.
Seitel dalam ruslan (2006:53) mendefinisikan riset evaluasi sebagai berikut :
Riset evaluatif ini juga disebut summative research (riset sumatif) yang merupakan riset untuk menentukan apakah program PR/Humas tersebut memiliki pengetahuan mengenai sasaran yang dicapai (goals), dan tujuan (objective) tertentu secara jelas dan efektif.
32
dalam riset evaluasi ini kita juga dapat mengetahui bagaimana sebuah program
berjalan. Dari sini kita juga dapat mengetahui perkembangan dari program
tersebut.
Riset evaluasi juga dilakukan oleh tim riset dan analisis kehumasan BI.
Seperti yang telah disebutkan, riset evaluasi digunakan untuk mengetahui
bagaimana sebuah program berjalan. Misalkan saja saat awal bulan Biro Humas
BI rutin mengadakan konferensi pers untuk mensosialisasikan penetapan BI rate
dan tingkat inflasi kepada media massa. Dalam kegiatan ini tim riset dan analisis
kehumasan bertugas untuk melihat bagaimana dampak pesan yang telah
disampaikan terhadap pemberitaan media massa. Apakah pemberitaan lebih
condong ke sisi negatif, positif atau berimbang/netral.
Melalui riset dalam proses MPR, Biro Humas BI dapat mengevaluasi
program komunikasinya dan melakukan fact finding atas masalah yang terjadi.
Kedua fungsi tersebut dijalankan oleh tim riset dan analisis kehumasan BI. fungsi
evaluasi dan factfinding dilakukan tim riset dan analisis kehumasan BI melalui
kegiatan sebagai berikut :
a. Melakukan pemantauan dan analisis pemberitaan harian terkait bank
Indonesia di media massa
b. Menganalisa keseimbangan pemberitaan terkait kebijakan di bidang
stabilitas moneter dan stabilitas sistem perbankan
Kedua tugas yang diemban oleh tim riset dan analisis kehumasan BI ini
ditujukan untuk mendapatkan data tentang situasi sekitar terkait kebijakan BI.
Sehingga Biro Humas BI ‘mendengarkan’ dan mengamati bagaimana publik
bersikap atas kebijakan BI. Misalkan saja pada isu redonomisasi. Saat isu ini
33
mencuat dihadapan publik, muncul pro dan kontra atas isu ini. Di satu sisi
mendukung karena akan meningkatkan derajat mata uang rupiah serta
menyederhanakan proses akuntansi. Akan tetapi bagi pihak yang kontra, mereka
berpendapat bahwa redenomisasi sama saja dengan sanering sehingga mereka
menolak usulan ini. Pemerintah pun tak mau ambil resiko dengan menyatakan
redonomisasi tidak akan masuk agenda pemerintahan. Melalui riset maka BI dapat
mengetahui fakta tersebut dan memilih langkah apa yang akan diambil.
Mendengar dan mengamati sikap publik sangatlah penting. Hal ini
disebabkan feedback dari publik terkait kebijakan BI dapat berupa opini yang
termuat di pemberitaan media massa. Apabila feedback melalui media massa ini
diabaikan maka efeknya tentu akan berbahaya. Mengapa dikatakan berbahaya?
Karena feedback yang diutarakan melalui media massa dapat dikatakan inilah
dasarnya berkaitan dengan upaya mengukur opini publik. Sehingga melalui riset
opini publik dapat diawasi dan dikontrol.
Biro Humas BI dalam melaksanakan riset pada kedua tahapan tersebut
dapat melakukan riset PR dengan menggunakan berbagai jenis metode riset PR.
Praktisi PR dapat memilih pendekatan dan metode tergantung pada problem apa
yang ditangani. Secara garis besar metode riset PR dibagi menjadi dua
berdasarkan sifatnya yaitu riset informal dan formal. Secara umum riset PR dibagi
menjadi dua macam berdasar sifatnya yaitu riset formal dan informal. Menurut
kriyantono (2007:290) metode riset formal merupakan riset yang menggunakan
prosedur-prosedur ilmiah baik itu secara kualitatif maupun kuantitatif. Sedangkan
34
riset informal merupakan riset yang dilakukan tanpa dibatasi oleh aturan-aturan
baku dalam riset-riset ilmiah.
Kedua sifat riset ini mempunyai kelemahan dan kelebihan. Riset informal
tidak dapat digunakan sebagai bahan dasar perencanaan sebuah program. Hal ini
disebabkan penggunaan sampel yang diragukan untuk dapat mewakili opini
mayoritas. Cutlip, Center, & Broom menegaskan bahwa metode informal hanya
cocok untuk mencari tahu kondisi publik jika dilihat sebagai metode yang baik
untuk mendeteksi dan mengeksplorasi situasi problem dan untuk uji awal riset dan
strategi program, maka metode informal sangatlah berguna (2007:334). Termasuk
didalam riset metode informal adalah Publicity Analysis. Riset ini merupakan riset
untuk mengetahui seberapa sering media massa memberitakan lembaganya dan
berita apa saa yang terkait dengan BI.
Biro Humas BI mengimplementasikan metode Publicity Analysis dengan
mengkliping pemberitaan sehari yang terkait dengan kebijakan BI. Pemberitaan
sehari ini akan dikompilasi menjadi satu laporan bulanan dengan dilengkapi
analisis seberapa sering pemberitaan tentang BI beserta bagaimana kecenderungan
pemberitaan terkait BI. Tahap analisis data ini tidak lagi menggunakan metode
yang bersifat informal tapi formal, karena hasil analisis tersebut harus dapat
dipertanggung jawabkan sehingga dapat menjadi dasar perencanaan.
Jika BI ingin menjadikan hasil riset sebagai bahan dasar perencenaan
sebuah program maka metode formalah yang cocok. Hal ini dikarenakan metode
formal ini dilengkapi alat pencari fakta baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Sesuai dengan tujuan dari metode formal adalah untuk mengumpulkan data dari
sampel ilmiah. Sehingga metode formal ini mampu menjawab pertanyaan tentang
35
situasi yang tidak dijawab dengan memuaskan bila kita menggunakan metode
informal. Termasuk dalam riset formal adalah analisis isi. Riset tersebut
digunakan untuk menentukan secara objektif apa yang dilaporkan dalam media.
Analisis ini digunakan oleh BI saat melakukan pantauan terhadap pemberitaan
sehari.
Kedua macam sifat metode riset tersebut ini juga dilakukan oleh tim riset
dan analisis kehumasan BI, yaitu berupa kegiatan media monitoring baik secara
harian, mingguan atau bulanan. Setiap hari Biro Humas BI mendapatkan kliping
pemberitaan sehari dari konsultan PR yang disewanya. Data berupa kliping
tersebut telah diolah dan ditentukan arah pemberitaannya. Pada akhirnya kilping
berita selama sebulan akan menjadi bahan rekomendasi arah kebijakan strategi
komunikasi BI yang ditentukan oleh Dewan Gubernur.
4.2 Media monitoring sebagai bagian dari riset PR
Bagaimana proses media monitoring tersebut berjalan? Mengapa data
yang didapat bisa jadi bahan rekomendasi arah kebijakan strategi komunikasi BI?
Sebelum menjawab kedua pertanyaan tersebut, akan lebih baik bila kita menilik
terlebih dahulu seperti apakah kegiatan media monitoring. Kegiatan media
monitoring ini dilakukan untuk mengevaluasi program yang telah berjalan,
terutama kegiatan media relations. Wardhani (2008:139) menjelaskan bahwa
program yang dievaluasi adalah keseluruhan aktivitas mulai dari pengiriman
siaran pers,konferensi pers, kunjungan pers, resepsi pers dan lainnya.
Kegiatan pengiriman siaran pers, konferensi pers, kunjungan pers
ditujukan untuk memberikan informasi langsung kepada pers tentang program
36
yang dilakukan oleh organisasi. Harapannya informasi tersebut akan termuat
dalam media massa dan dapat tersampaikan kepada publik. Iriantara (2005:29)
menjelaskan bahwa kegiatan inti kegiatan media relations adalah mempromosikan
organisasi melalui media massa. Melalui media relations pula organisasi dapat
berkomunikasi dengan publiknya. Maka diperlukan usaha khusus yaitu dengan
media relations untuk mempelihara arus informasi kepada publik ini.
Pada Biro Humas BI, kegiatan ini dilaksanakan oleh kelompok media
yang tergabung dalam tim relasi eksternal. Kelompok ini bertugas untuk meng-
handle media massa melalui kunjungan pers, konferensi pers, pers release, atau
memberikan konfirmasi kepada media. Kelompok ini tak bekerja sembarangan,
akan tetapi kinerja mereka di-back up oleh tim riset dan analisis kehumasan. Tim
riset dan analisis kehumasan ini membantu kelompok media dalam hal
pengawasan pemberitaan media massa dan membuat program kehumasan guna
peningkatan citra bank Indonesia melalui pembinaan hubungan dengan media
massa (jejaring).
Kegiatan media relations yang dilakukan Biro Humas BI ini tak hanya
sekedar mempromosikan organisasi, tapi juga mengolah feedback yang muncul.
Melalui pemeliharaan arus informasi yang tepat maka pesan yang di berikan oleh
BI melalui berbagai media akan mendapatkan feedback. Feedback ini haruslah
diolah, Oemi dalam Irianta (2005:30) menekankan bahwa organisasi harus pandai
menerima informasi. Konsekuensi dari pernyataan bagi BI adalah Biro Humas BI
harus mengikuti dan mengelola informasi yang masuk. Hal ini ditujukan agar
tercipta komunikasi dua arah yang efektif.
37
Informasi yang masuk dapat berupa tanggapan terhadap pesan yang
disampaikan organisasi dalam pernyataan langsung maupun kinerja organisasi.
Feedback ini dapat berupa pernyataan aspirasi, harapan, keinginan bahkan kritik.
Feedback dari publik dapat muncul dikarenakan stakeholder ingin memberikan
opininya terhadap organisasi baik tentang kelembagaan atau kinerjanya.
Tidak terkecuali BI, sebagai lembaga pembuat kebijakan ekonomi maka
BI tidak bisa tuli terhadap umpan balik yang diberikan publiknya terkait dengan
kebijakan yang dibuat atau kelembagaan BI. Misalnya pada kebijakan (Loan to
Deposit Rasio-Giro Wajib Minimum (LDR-GWM) yang cukup memancing
kontroversi. Kebijakan yang ditujukan agar dunia perbankan lebih terbuka dalam
memberikan pinjaman ini banyak ditentang oleh bank-bank besar. Hal tersebut
dikarenakan rasio yang ditetapkan oleh BI dirasa sangat memberatkan. Melalui
komunikasi yang dibuka secara dua arah oleh BI maka BI dapat
mempertimbangkan aspirasi berbagai bank sehingga penetapan LDR-GMW tidak
terlalu memberatkan dunia perbankan.
Selain membuka arus informasi kepada stakeholder BI juga membuka arus
informasi kepada media massa. Irianta menjelaskan bahwa kegiatan media
relations terkait dengan pemberian informasi atau memberi tanggapan pada
media. Pemberian tanggapan ini dilakukakan sebagai lanjutan proses pengelolaan
informasi yang masuk. Disinilah riset media monitoring mengambil peran.
Melalui riset ini tim riset dan analisis kehumasan BI dapat memperhatikan dengan
seksama apa isi feedback yang termuat di berita. Setelah itu feedback diolah bisa
menjadi bahan rekomendasi tim riset dan analisis kehumasan untuk membuat
38
program komunikasi ataukah langsung memberi tanggapa atas pemberitaan yang
kurang berkenan.
Melalui kegiatan media monitoring ini kelompok media tim relasi
eksternal dapat memberikan jawaban atas feedback yang masuk melalui media
massa. Bisa melalui pers release, wawancara langsung, pers conference atau
menjadi narasumber pada acara talkshow di stasiun TV. Hal ini ditujukan untuk
membangun komunikasi dua arah yang efektif. Misalnya saja saat menghadapi isu
uang palsu menjelang hari raya ‘idul fitri. Kelompok eksternal mendapatkan
informasi tentang isu tersebut dari tim riset dan analisis kehumasan. Lalu
kelompok eksternal berupaya untuk mengatasi isu tersebut dengan memberikan
konfirmasi di acara Apa Kabar Indonesia di TV One. Lalu kelompok ini
menghubungi pejabat dari sektor sistem pembayaran untuk menjadi narasumber
dan mendampingi narasumber tersebut saat memberikan informasi pada acara
yang disiarkan langsung tersebut.
Selain sebagai salah satu upaya dalam membangun komunikasi dua arah,
media monitoring juga menjadi sarana evaluasi program. Tim riset dan analisis
kehumasan tentunya tidak membiarkan saja program kehumasan yang telah
dibuatnya berjalan begitu saja. Sesuai dengan tahapan MPR, setelah pelaksanaan
maka langkah selanjutnya adalah evaluasi melalui riset. Hal ini dikarenakan
dengan melakukan riset evaluasi maka dapat diketahui seberapa efektifkah
program media relations ini berjalan.
Tentunya dalam sebuah riset evaluasi butuh sebuah skala pengukuran
apakah program tersebut berjalan efektif atau tidak. Wardhani (2008:139)
menjelaskan bahwa tolak ukur keberhasilan program media relations ini diukur
39
dari publikasi yang optimal. Kata optimal disini berarti publikasi tersebut sesuai
dengan media dan target sasaran khalayak yang diinginkan, isi
pemberitaan/tulisan membentuk image positif dan dukungan publik yang baik
terhadap organisasi yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Melalui media monitoring inilah pengukuran tersebut dapat dilakukan.
Riset media monitoring ini cukup unik. Hal tersebut dikarenakan riset ini
menggunakna metode formal dan informal. Dikatakan seperti itu karena, media
monitoring diawali dengan proses pengklipingan berita yang terkait dengan
kinerja organisasi. Setelah itu kliping tersebut akan dianalisis menggunakan
metode analisis isi. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui isi pemberitaan dan
kecenderungan pemberitaan media. dan mengetahui citra organisasi di mata
publik.
Melalui riset media monitoring ini tentunya tujuan Biro Humas BI untuk
Mencapai dan meningkatkan citra Bank Indonesia melalui rangkaian kegiatan
komunikasi efektif dapat tercapai karena didukung dengan data yang akurat. Data
tersebut lalu akan diolah menjadi program dan strategi komunikasi baik dalam
jangka pendek atau jangka panjang. Secara garis besar Wardhani (2008:140)
mendefinisikan upaya-upaya dalam mengevaluasi dan memonitoring media
sebagai berikut :
1. Menghitung media yang mempublikasi
2. Melihat posisi letak halaman
3. Melihat luas kolom publikasi
4. Metode analisa isi
40
Akan tetapi pada pelaksanaan media monitoring oleh BI, poin ketiga yaitu melihat
luas kolom publikasi tidak dilakukan. Tim riset BI lebih memfokuskan pada
jumlah pemberitaan, porsi pemberitaan yang termuat dalam media, siapa opinion
leader-nya, arah kecenderungan pemberitaan, dan isu dominan.
4.3 Media Monitoring dan Opini Publik
Secara garis besar opini publik merupakan kumpulan pandangan publik
terhadap isu yang sama. Opini tersebut diungkapkan oleh pihak yang dianggap
mewakili keseluruhan publik. Menurut Wlliam Albiq dalam Helena Olii dan Lidia
Evelina, opini publik merupakan suatu jumlah dari pendapat individu-individu
yang diperoleh melalui perdebatan dan opini publik merupakan hasil interaksi
antar individu dalam suatu publik. Dapat disimpulkan bahwa opini publik muncul
karena ada masalah tertentu sehingga bermunculanlah pendapat-pendapat yang
saling bertentangan akibat interaksi antar individu.
Feedback berupa opini publik telah berulang kali didapatkan oleh BI. Baik
pada kasus Bail-Out Bank Century hingga yang terbaru adalah isu redenomisasi.
Isu-isu tersebut menimbulkan pro dan kontra. Media pun dengan senang hati
memblow-up isu tersebut karena the bad news is a good news. Semakin
kontroversial sebuah isu semakin menarik isu tersebut dan publik yang ingin tahu
tentu akan semakin banyak pula. Saat isu tersebut diangkat oleh media massa
maka terbentuklah opini pro dan kontra terhadap BI terkait isu tersebut.
Pendapat-pendapat yang saling bertentangan tersebut dapat dipertemukan
dalam media massa. Baik dalam acara talkshow atau dalam berita. Dalam
pemberitaan atau talkshow tentunya akan dilakukan secara cover both side,
41
sehingga opini pro dan kontra pun bertemu. Bertemunya kedua macam opini ini
dapat mempengaruhi publik. Hal tersebut dikarenakan media massa mempunyai
kemampuan untuk menciptakan persepsi tentang dunia di sekitar masyarakat.
Kebanyakan dari anggota publik tidak punya akses langsung untuk
mengetahui kondisi ‘dunia’ di sekitar mereka. Maksudnya adalah banyak orang
yang tidak bisa secara langsung mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ketidak
tahuan ini ‘dimanfaatkan’ media massa untuk menciptakan apa yang disebut oleh
Lippman dalam Cutlip, Center dan Broom (2007:234) sebagai gambaran yang
terpercaya atas dunia yang berada di luar jangkauan dan pengalaman langsung
publik.
Nolle-Neumann dalam West-turner (2007:127) menambahkan penciptaan
gambaran atas dunia yang berada diluar jangkauan publik ini diperkuat oleh tidak
diberikannya interpretasi peristiwa dalam berita yang luas dan seimbang kepada
publik oleh media massa. Nolle-Neumann berpendapat bahwa media massa
memberi publik pandangan mengenai realitas yang terbatas. Sehingga melalui
pendekatan yang terbatas ini maka persepsi seseorang dapat dipersempit.
Pada awal munculnya wacana redenomisasi, media massa langsung mem-
blow up wacana tersebut dengan mengangkat opini tentang masyarakat yang tidak
memahami apa arti redenomisasi sesungguhnya dan menyamakannya dengan
sanering. Sehingga seolah-olah masyarakat panik dan keseluruhannya menentang
wacana tersebut. Ditambah lagi dengan pemunculan opinion leader yang kontra
terhadap wacana tersebut. Sehingga anggota publik dalam hal ini masyarakat dapat
beranggapan bahwa hampir semua orang menganggap negatif wacana ini.
42
Media massa juga kurang memberikan ruang terhadap opini yang pro
terhadap wacana redenomisasi. Langkah ini tentunya semakin mempersempit
persepsi masyarakat terhadap wacana redenomisasi. Hal tersebut dikarenakan
media massa tidak memberikan ruang yang cukup agar opini yang pro terhadap
wacana tersebut untuk berkembang.
Pengaruh media massa terhadap opini publik ini diperkuat dengan adanya
tiga karakteristik media yaitu ubiquity, cumulativeness, dan consonance
menyebabkan media semakin kuat mempengaruhi publik. Noelle & Noeman
dalam West & Turner (2007:127) menjelaskan maksud ketiga karateristik tersebut
sebagai berikut :
1. Ubiquity : merupakan keyakinan bahwa media ada dimana-mana dan
banyak orang yang bergantung pada media saat ingin mendapatkan
informasi. Misalnya saja saat isu redonomisasi mencuat. Banyak
masyarakat yang ingin mengetahui apa itu redonomisasi, bagaimana
efek yang akan terjadi saat kebijakan ini terealisasi, mengapa BI perlu
melakukan kebijakan ini, dan kapan kebijakan ini akan dilaksanakan.
Maka masyarakat akan mencaritahu informasi terkait redonomisasi ke
media massa, karena hal tersebut lebih terjangkau daripada bertanya
langsung ke BI.
2. Cumulativeness : media selalu mengulangi dirinya sendiri. Maksudnya
adalah berita yang dimuat oleh media massa terkadang sama dan
diulang-ulang. Sehingga dapat muncul pembenaran akan informasi
tersebut. Hal tersebut dikarenakan kebenaran dapat ditarik dari
informasi yang konsisten membahas suatu hal. Misalkan pada
43
pemberitaan pengadaan kas keliling menjelang hari raya ‘idul fitri.
Pada tahun-tahun sebelumnya masyarakat selalu kesusahan saat ingin
menukarkan uangnya menjelang hari karena harus mengantri berjam-
jam bahkan ada yang harus sampai menginap hanya untuk menukarkan
uang. Pada saat kebijakan ini dikeluarkan mungkin beberapa pihak
meragukan program tersebut berhasil. Akan tetapi dengan publikasi
berulang kali melalui media massa diikuti dengan kinerja yang
maksima,l maka opini keraguan tersebut dapat dibalik menjadi opini
positif terhadap BI.
3. Consonance : keyakinan bahwa semua media massa sama dalam hal
sikap, nilai dan keyakinan. Sehingga publik yang mempunyai opini
sama dengan yang diungkapkan oleh media akan merasa dirinya berada
pada posisi mayoritas karena semua menganggap semua media massa
sama. Noelle-Neumann juga menjelaskan bahwa media akan berfokus
pada opini mayoritas dan tidak mengindahkan opini minoritas.
Contohnya pada saat kasus Bail-Out Bank Century mencuat, opini
publik yang berkembang adalah BI dinilai gegabah dalam pemberian
kucuran dana tersebut. Publik yakin bahwa pemerintah salah karena
menganggap semua media massa juga menyalahkan kedua lembaga
pemerintahan itu. Opini publik negatif ini menjadi dominan saat
hampir semua media massa membahas kasus ini dan beramai-ramai
menyalahkan pemerintah dan BI. Sehingga publik merasa mendapatkan
pembenaran dari media massa menyajikan opini negatif yang
merupakan opini mayoritas.
44
Luasnya jangkauan media massa menyebabkan opini yang diangkat
melalui pemberitaan media tersebut akan disebarkan ke masyarakat luas. Sehingga
peluang opini ‘mayoritas’ dalam media massa akan mempengaruhi masyarakat
semakin banyak. West-turner menyatakan bahwa karena kekuasaan media massa
yang begitu besar, media memiliki dampak yang awet dan mendalam terhadap
opini publik. Media massa bekerja secara berkesinambungan dengan menyuarakan
opini mayoritas untuk membungkam opini minoritas. (2007:121).
Inilah yang dimaksud dengan spiral keheningan. Spiral keheningan ini
diciptakan oleh media massa sehingga opini mayoritas pun berkuasa atas opini
minoritas. Dalam kasus Hal ini diperkuat dengan pernyataan Nancy Erickson dan
Paul Turman dalam West-Turner (2007:126) mereka yakin bila media massa
adalah pihak yang memberikan dorongan di balik spiral keheningan. Hal tersebut
disebabkan karena media merupakan alat komunikasi satu arah. Sehingga publik
yang mendapatkan pesan tidak langsung tersebut tak mampu untuk memberikan
respon.
Pada kasus Bail-Out Bank Century suara-suara yang membela pemberian
bail-out tersebut seolah tenggelam. Hal ini dikarenakan media massa lebih
memihak kepada opini mayoritas yaitu opini yang kontra terhadap kebijakan ini.
Efeknya hanya orang-orang dengan pendirian kuat dan memiliki pengetahuan
tentang kasus tersebut yang berani menyatakan mendukung kebijakan tersebut.
Contohnya saja politisi-politisi partai demokrat.
West-turner menjelaskan bagaimana semena-menanya media massa dalam
membentuk persepsi publik. Selain dengan tidak memberikan informasi secara
lengkap, media massa juga men-setting agenda apa yang ingin dibahas. West-
45
Turner (2007:122) menjelaskan bahwa sering kali media menentukan subjek apa
yang menarik bagi publik dan media sering membuat suatu subjek menjadi
kontroversial. Contohnya saja isu redonomisasi, penukaran uang menjelang
lebaran dan peredaran uang palsu. Pada Agustus ketiga isu yang termasuk pada
topik sistem pembayaran ini mendominasi pemberitaan tentang BI di media massa.
Sebanyak 360 berita membahas ketiga isu tersebut dan yang paling kontroversial
adalah isu redonomisasi.
Melihat bagaimana media massa dapat mempengaruhi opini publik melalui
spiral keheningan maka citra sebuah lembaga berada dalam ancaman. Selain
jangkauannya yang luas, media massa juga mampu memainkan opini publik.
Maka diperlukanlah sebuah alat yang dapat menjadi instrumen untuk mengatasi
masalah ini.
Media Monitoring yang dilakukan Biro Humas BI mampu menjawab
tantangan ini. Hal ini dikarenakan riset ini memiliki metode formal yaitu analisis
isi yang hasilnya dapat dipertanggunggjawabkan. Melalui riset ini tim riset dan
analisis kehumasan dapat mengawasi bagaimana opini publik yang berkembang
dalam pemberitaan sehari-hari. Selain itu Biro Humas BI dapat memberikan
konfirmasi tentang informasi yang benar tentang sebuah isu. Kedua hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk menangani opini publik yang berkembang di mata
masyarakat. Helena Olii dan Lidia Evelina menjelaskan bahwa Humas harus
memberikan publik lebih banyak keterangan atau penjelasan tentang hal-hal
kontroversial. Selain itu Humas juga dituntut untuk mampu menimbulkan
perhatian yang lebih besar pada individu-individu sebagai kelompok yang
menghadapi hal-hal yang bersifat kontroversial.
46
Sejelek apapun opini yang berkembang, Biro Humas BI dituntut agar dapat
bersikap secara rasional dalam menghadapi opini negatif tersebut. Helena Olii dan
Lidia Evelina (2006:60) menjelaskan bahwa Humas harus mampu untuk
mengembangkan strategi dan program komunikasi dalam menghadapi opini
negatif secara rasional bukan hanya berdasar emosi. Maka inilah tugas
sesungguhnya yang harus diemban oleh tim riset dan analisis kehumasan BI. Hal
tersebut dikarenakan program dan strategi komunikasi yang akan dilaksanakan
oleh tim eksternal dan internal bersumber dari hasil kerja tim riset dan analisis
kehumasan BI. Apabila program dan strategi komunikasi dapat dilaksanakan
dengan efektif sehingga tujuan Biro Humas untuk menyokong visi BI melalui citra
positif dapat tercapai.
4.4 Opini Publik dan Citra
Proses pembungkaman opini minoritas dalam spiral keheningan ini terkait
upaya media massa untuk membentuk persepsi publik. Bicara tentang persepsi,
tentu kita tak jauh-jauh bahasan tentang citra. Hal ini dikarenakan citra lahir dari
persepsi publik tentang apapun kegiatan BI. Seperti yang dikatakan Kriyantono
dalam buku Public Relations Writing :
citra adalah gambaran yang ada dalam publik tentang perusahaan. Citra adalah persepsi publik tentang perusahaan menyangkut pelayanannya, kualitas produk, budaya perusahaan, perilaku perusahaan, atau perilaku individu-individu dalam perusahaan dan lainnya. (2008 : 8).
Dapat kita lihat bahwa dengan adanya persepsi ini akan lahirlah sebuah citra
tentang organisasi di mata publik padahal persepsi dapat dengan mudah
dipengaruhi oleh media massa. Hal ini dikarenakan media massa hanya
memberikan ruang terbatas kepada publik terkait apa yang sebenarnya terjadi.
47
Jumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang akan menentukan
bagaimana persepsinya terhadap suatu objek. Frank Jefkins menjelaskan (2003:20)
ada beberapa jenis citra yang mungkin terbentuk akibat jumlah informasi yang
ada. sebagai berikut :
• Citra bayangan (mirror image)
Citra ini melekat pada anggota-anggota organisasi mengenai anggapan
pihak luar tentang organisasinya. Seringkali citra ini tidak tepat karena
tidak memadainya informasi, pengetahuan atau pemahaman yang dimiliki
pihak internal terhadap pendapat atau pandangan pihak luar.
• Citra yang berlaku (current image)
Citra ini adalah suatu citra atau pandangan yang dianut oleh pihak-pihak
luar mengenai suatu organisasi. Namun sama halnya dengan citra
bayangan, citra yang berlaku tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini
dikarenakan minimnya informasi yang didapatkan pihak luar mengenai
organisasi. Citra yang berlaku ini dapat terlihat pada opini publik terhadap
BI. Terbatasnya informasi yang didapat oleh publik tentang BI
mengakibatkan persepsi publik menjadi negatif.
• Citra yang diharapkan (wish images)
Citra ini adalah citra yang diinginkan oleh pihak manajemen. Biasanya
citra yang diharapkan lebih baik daripada citra yang berlaku. Biasanya citra
yang diinginkan ini dibentuk dan diterapkan untuk sesuatu yang baru.
• Citra perusahaan (corporat images)
Merupakan citra yang terbentuk dari berbagai hal seperti sejarah
perusahaan, prestasi, kualitas produk, hubungan dengan stakeholder yang
48
baik. Citra perusahaan atau lembaga yang baik tentunya akan mendukung
kinerja lembaga tersebut.
Dalam upaya membentuk dan menciptakan citra, BI melalui Biro Humas-
nya bekerja secara berkesinambungan melalui ketiga timnya. Tim riset dan analisis
kehumasan BI bertugas untuk mengetahui opini publik dan citra yang berlaku di
masyarakat terhadap BI. Melalui tim ini maka Biro Humas BI akan memperoleh
data tentang bagaimana persepsi publik terhadap BI. Data tersebut lalu diolah dan
didistribusikan kepada tim relasi eksternal, tim relasi internal dan kepada Dewan
Gubernur.
Tim relasi eksternal akan menindak lanjuti pemberitaan dengan
memberikan pernyataan yang berupaya untuk memberikan informasi kepada
publik sehingga citra negatif yang berlaku dapat ditangani. Rekomendasi kepada
Dewan Gubernur akan diolah sehingga melahirkan tiga macam strategi dan
program komunikasi. Ketiga macam strategi tersebut lalu akan didistribusikan
oleh tim relasi internal agar citra bayangan yang dimiliki oleh internal BI dapat
mendekati kenyataan. Maksudnya adalah agar pegawai BI memahami apa yang
sedang terjadi pada lembaganya dan dapat meluruskan pemahaman yang kurang
tepat.
4.5 Implementasi Media Monitoring di Bank Indonesia
Dalam pelaksanaan media monitoring, Biro Humas BI punya tim khusus
untuk melaksanakannya. Adalah tim riset dan analisis kehumasan yang bertugas
untuk melakukan riset ini. Riset media monitoring digunakan karena riset ini
dapat mempermudah tugas tim riset kehumasan yaitu untuk memantauan dan
49
analisis pemberitaan harian terkait bank Indonesia di media massa. Selain itu
metode ini juga digunakan tim riset dan analisa kehumasan untuk menganalisa
keseimbangan pemberitaan terkait kebijakan di bidang stabilitas moneter dan
stabilitas sistem perbankan.
Terdapat berbagai macam hasil keluaran akhir dari kegiatan media
monitoring antara lain strategi & program komunikasi kebijakan, isu strategis dan
isu kritikal. Hasil keluaran tersebut dibuat berdasarkan data yang telah diolah
dengan cara kodifikasi, interpretasi data, grup diskusi dan analisis isi. Data yang
didapat akan diolah lebih lanjut melalui MPR.
4.5.1 Proses awal : Mapping Berita Harian
Media monitoring ini difungsikan tim riset dan analisis kehumasan BI
sebagai riset evaluasi. Riset ini digunakan untuk mempelajari dan mengeksplorasi
bagaimana situasi yang terjadi. Cutlip, Center & Broom (2007:423) proses ini
biasanya dilakukan dengan cara menghitung jumlah publikasi cetak; news release
yang didistribusikan; berita yang ditempatkan di media; dan pembaca, pemirsa,
atau pendengar. Dapat disimpulkan tahapan riset evaluasi ini adalah menghitung
pesan yang didistribusikan, jumlah pesan yang termuat di media massa, jumlah
orang yang mungkin menerima pesan program dan jumlah orang yang
memperhatikan pesan.
Akan tetapi dikarenakan dalam media monitoring ini menggunakan
metode analisis isi, maka proses untuk mengetahui jumlah jumlah orang yang
mungkin menerima pesan program dan jumlah orang yang memperhatikan pesan
ditiadakan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Cutlip, Center & Broom
50
(2007:345) bahwa analisis isi hanya menjelaskan apa yang dicetak atau disiarkan,
bukan apa yang dibaca atau didengar. Analisis isi tidak mengukur apakah audien
memahami atau percaya kepada isi pesan itu atau tidak.
Proses media monitoring yang dilakukan oleh tim riset dan analisa
kehumasan dimulai dengan melakukan mapping berita harian. Pada pagi hari Biro
Humas BI akan menerima kliping pemberitaan di media cetak hari ini dan
beberapa pemberitaan media elektronik pada hari kemarin. Kliping ini dikirim
beserta news alert dari konsultan PR yang disewanya yaitu Fortune PR. Ini
merupakan riset yang bersifat informal dikarenakan tidak dibatasi oleh aturan
baku riset ilmiah.
Tim riset dan analisa kehumasan BI lebih memilih untuk memonitor
pemberitaan di media cetak daripada media elektronik. Hal ini dikarenakan untuk
mengawasi media cetak lebih mudah dikarenakan fisiknya yang mudah dibawa
dan sifatnya yang dapat dibaca berulang kali kapan saja tanpa menggunakan alat
khusus. Dibandingkan dengan media cetak, pemberitaan di media elektronik lebih
susah dilakukan karena berita yang termuat di televisi atau radio tidak dapat
diulang sehingga butuh alat khusus untuk merekamnya. Selain itu Biro Humas BI
belum membuat klasifikasi penilaian khusus untuk memonitor pemberitaan di
media elektronik, seperti rating, jam tayang, durasi dan sebagainya.
51
Sedangkan pemberitaan di new media juga susah dilakukan karena sifat
beritanya yang selalu update setiap waktu dan jumlah medianya sangat banyak
sehingga terlalu susah untuk diamati. Sehingga kliping tentang pemberitaan di
media elektronik –yang berupa transkrip- dan media internet hanya menjadi data
pembanding saja.
Kliping pemberitaan harian pada media cetak yang telah diterima lebih
lanjut oleh tim riset dan analisis kehumasan akan diolah. Pengolahan data ini
menggunakan pengelompokan jenis berita beserta analisis kecenderungan
pemberitaan di media tersebut. Berikut adalah contoh pengolahan data yang
dilakukan oleh tim riset dan analisis kehumasan Biro Humas BI :
Tabel 4.1 : contoh kliping dalam bentuk soft copy oleh Fortune PR. Selain mendapatkan kliping dalam bentuk soft copy BI juga mendapatkan kliping pemberitaan harian dalam bentuk hard copy
52
Dalam gambar diatas dapat kita amati beberapa kategori yang digunakan untuk
proses pengelompokan ini antara lain :
1. Kategori berita
Setiap hari jumlah kliping berita cukup bervariasi mulai puluhan
hingga ratusan. Tergantung isu yang sedang diangkat oleh media.
Semakin hangat isu terkait BI yang diangkat maka semakin banyak
pemberitaan di media massa. Maka diperlukan upaya untuk
mengklasifikasikan jenis topik berita agar mudah untuk diamati.
2. Nama media
Biro Humas telah memilih media mana saja yang beritanya akan
dikliping. Pemilihan ini dilakukan dikarenakan tidak semua media
cetak akan dimonitor akan tetapi hanya media-media yang dipandang
punya target pembaca yang diinginkan oleh BI. Seperti halnya yang
dikatakan oleh wardhani (2008:140) bahwa pemilihan media ini
didasarkan pada target sasaran dari organisasi.
3. Judul berita
Tabel 4.2 : contoh data kliping pemberitaaan harian yang telah dikelompokkan dalam berbagai kategori dan dinilai oleh tim riset dan analisis kehumasan Biro Humas BI
53
Pengklasifikasian judul berita ini akan membantu praktisi PR dalam
mengkatagorikan topik berita. Misalnya pada berita berjudul “Di
Depan Kuasa Modal, Hilang Daulat Negara” maka tim riset dan
analisis kehumasan akan memasukkan berita tersebut pada kategori
topik makro ekonomi karena membahas masalah arus investasi.
4. Halaman
Posisi berita ditampilkan akan berpengaruh pada tingkat
keterbacaannya. Hal ini dikarenakan posisi berita yang terpasang di
halaman kedua tidak sestrategis berita pada halaman pertama koran.
5. Summary (kesimpulan berita)
Penarikan kesimpulan ini dibutuhkan untuk menentukan
kecenderungan pemberitaan oleh media. Sehingga anggota tim riset
tak perlu lagi membaca seluruh berita untuk menentukan
kecenderungan berita.
6. Tone (kecenderungan berita)
Kesimpulan berita yang telah dibuat lalu dianalisis dan ditentukan
apakah berita ini bersifat netral, negatif atau positif.
7. Kutipan, pada kolom ini dibedakan menjadi empat yaitu :
a. Key opinion leader (narasumber inti)
Pada laporan pemberitaan harian, tim riset akan menentukan siapa
narasumber dari berita tersebut. Hal ini akan memudahkan tim riset
untuk mengetahui siapakah yang dijadikan media sebagai opinion
leader terkait isu tertentu.
b. Jabatan
54
Tim riset dan analisis kehumasan BI menilai bahwa jabatan dan
lembaga yang diwakilinya akan menentukan krebilitas opini yang
dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari pemberian nilai pada kolom
kredibilitas narasumber. Misalkan saja direktur Bank BCA dengan
direktur Bank BII saat ditanyai oleh media cetak terkait isu
redonomisasi. Keduanya memiliki jabatan yang sama, akan tetapi
tim riset BI memberi nilai lebih terhadap direktur Bank BCA yaitu
1,5 pada kolom penilaian sedangkan direktur Bank BII hanya 0,75.
c. Statement dari narasumber
Statement narasumber dibutuhkan untuk menentukan
kecenderungan opininya serta pemberitaan oleh media. Selain itu
dengan pencantuman statement ini maka tim riset dapat mudah
mengawasi statement dari narasumber.
d. Tone (kecenderungan opini narasumber)
Statemen yang telah dicantumkan lalu dianalisis dan ditentukan
apakah berita ini bersifat netral, negatif atau positif.
8. Penilaian berita, kolom ini dibutuhkan agar tim riset dapat
mengklasifikasikan berita mana yang patut diperhitungkan. Hal ini
dikarenakan seringkali pemberitaan media tidak menggunakan
narasumber, hanya berdasar data statistik lapangan. Ada enam macam
penilaian yaitu :
a. Messege Accuracy
55
Tim riset akan menilai apakah berita tersebut berkaitan dengan
kebijakan atau tidak. Tim riset akan memberi nilai antara 1 hingga
3 pada kriteria penilaian ini.
b. Klasifikasi media
Media yang telah dipilih tim riset untuk dimonitor lebih lanjut akan
diklasifikasikan sesuai kredibilitas media dan ketepatan sasaran
target. Nilai yang diberikan adalah 1 hingga 3.
c. Posisi artikel
Posisi artikel akan mempengaruhi keinginan orang untuk membaca
berita tersebut. Wardhini (2008) menjelaskan bahwa bila berita
berada pada posisi yang strategis maka akan mudah mendapat
perhatian dari pembaca. Posisi yang strategis juga akan
memberikan dampak yang kuat bagi pembaca. Nilai yang
diberikan adalah 0.5, 0.75, atau 1.5.
d. Eksistensi foto
Adanya foto atau grafik tentunya akan lebih menarik minat
pembaca dibanding dengan berita tanpa foto. Nilai yang diberikan
adalah 0.25, 0.5, atau 0.75.
e. Kredibilitas narasumber
Kredibilitas narasumber ini ditentukan oleh jabatan dan lembaga
apa yang diwakilinya. Nilai yang diberikan adalah 0.25, 0.5, atau
0.75.
f. Jumlah nilai
56
Setelah semua penilaian dilakukan maka akan ditotal. Penjumlahan
nilai ini akan membantu tim riset nanti pada saat membuat monthly
report. Berita dengan nilai kurang dari 6 berita tersebut tidak akan
dimasukkan hitungan karena efeknya dianggap lemah.
Melalui kegiatan pengolahan data berita harian akan menghasilkan produk