Lapor Lapor Lapor Lapor Laporan P an P an P an P an Perekonomian erekonomian erekonomian erekonomian erekonomian Daer Daer Daer Daer Daerah Istimew ah Istimew ah Istimew ah Istimew ah Istimewa a a a a Yogy ogy ogy ogy ogyakarta akarta akarta akarta akarta 2007 2007 2007 2007 2007 YOGY OGY OGY OGY OGYAKAR AKAR AKAR AKAR AKARTA
168
Embed
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007”. Laporan tahunan ini diterbitkan untuk melengkapi diseminasi informasi tentang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LaporLaporLaporLaporLaporan Pan Pan Pan Pan PerekonomianerekonomianerekonomianerekonomianerekonomianDaerDaerDaerDaerDaerah Istimewah Istimewah Istimewah Istimewah Istimewa a a a a YYYYYogyogyogyogyogyakartaakartaakartaakartaakarta
“Menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional
melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan
stabil.”
MISI BANK INDONESIA
“Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter
dan pengembangan stabilitas keuangan untuk pembangunan jangka panjang yang
berkesinambungan.”
NILAI STRATEGIS BANK INDONESIA
“Nilai-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen dan pegawai untuk bertindak dan
atau berprilaku, yang terdiri atas Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabilitas dan
Kebersamaan.”
VISI KANTOR BANK INDONESIA
“Menjadi Kantor Bank Indonesia yang dapat dipercaya di daerah melalui peningkatan peran
dalam menjalankan tugas-tugas Bank Indonesia yang diberikan.”
MISI KANTOR BANK INDONESIA
“Berperan aktif dalam dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah melalui peningkatan
pelaksanaan tugas bidang ekonomi moneter, sistem pembayaran dan pengawasan bank serta
memberikan saran kepada pemerintah daerah dan lembaga terkait lainnya”
...Memberikan saran kepada pemerintah daerah mengenai kebijakanekonomi daerah, yang didukung dengan penyediaan informasiberdasarkan hasil kajian yang akurat ...
(Salah satu dari lima tugas pokok Kantor Bank Indonesia)
Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Tim Ekonomi Moneter
BANK INDONESIA YOGYAKARTA
Jl. P. Senopati No.4-6, Yogyakarta
Telp.0274-377755 Fax.0274-371707
Dari kiri ke kanan:
ENDANG SEDYADI, Pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta
BRAMONO SIDIK, Pengawas Bank Madya
AMERIZA M. MOESA, Peneliti Ekonomi Madya
PRANOTO, Deputi Pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta
Pimpinan Bank Indonesia Pimpinan Bank Indonesia Pimpinan Bank Indonesia Pimpinan Bank Indonesia Pimpinan Bank Indonesia YYYYYogyogyogyogyogyakartaakartaakartaakartaakartaPPPPPer 31 Desember 2007er 31 Desember 2007er 31 Desember 2007er 31 Desember 2007er 31 Desember 2007
TJAHJO OETOMO K., Pemimpin Bank Indonesia Yogyakarta
(Sejak 23 April 2008)
Keterangan Tanda-tanda, Periode Laporan dan Sumber Data
Angka sementara *
Angka sangat sementara **
Angka belum tersedia ...
Angka tidak ada - -
Nol atau lebih kecil -
Dolar Amerika Serikat $ (dolar)
Periode laporan adalah 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007.
Sumber data adalah Bank Indonesia Yogyakarta, kecuali dinyatakan lain.
viiKata Pengantar
Kata PengantarKata PengantarKata PengantarKata PengantarKata PengantarPuji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Illahi Robbi karena atas rahmat dan karunia-
Nya, kami dapat menyusun dan menerbitkan kembali publikasi cetak tahunan yang berjudul
“Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007”. Laporan tahunan ini diterbitkan
untuk melengkapi diseminasi informasi tentang perkembangan perekonomian Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), yang selama ini telah kami lakukan secara triwulanan.
Penyusunan dan penerbitan laporan ini merupakan salah satu wujud akuntabilitas dan
pelaksanaan tugas Bank Indonesia di daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004. Secara lebih khusus, penerbitan laporan ini sejalan dengan salah satu
sasaran strategis Kantor Bank Indonesia, yaitu: “Mengoptimalkan hasil kajian dan penyediaan
informasi ekonomi di wilayah kerja”.
Selain dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan internal stakeholders melalui pemberian
informasi kepada Kantor Pusat Bank Indonesia sebagai dasar pengambilan kebijakan, penerbitan
laporan ini juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan external stakeholders di wilayah Provinsi
DIY khususnya dan seluruh masyarakat pada umumnya, akan informasi tentang perkembangan
ekonomi DIY secara komprehensif. Buku ini mencoba untuk menghimpun dan menjabarkan
perkembangan beberapa indikator perekonomian di DIY, antara lain: pertumbuhan ekonomi,
perkembangan harga (inflasi), ketenagakerjaan, perbankan dan sistem pembayaran serta
keuangan pemerintah daerah. Selain itu, disajikan pula beberapa boks dalam upaya memberikan
informasi terkait yang lebih spesifik dan beberapa hasil penelitian dan survei yang dilakukan
oleh Bank Indonesia Yogyakarta.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada instansi/pihak yang telah membantu dalam penyediaan data dan informasi.
Mengingat laporan ini merupakan perwujudan akuntabilitas dan upaya meningkatkan kepuasan
stakeholders, disadari bahwa laporan ini masih terdapat kekurangan disana-sini sehingga
diperlukan masukan dari seluruh pembaca untuk menyempurnakan laporan ini. Semoga Tuhan
Yang Maha Pemurah senantiasa melimpahkan ridho-Nya dan memberikan kemudahan kepada
kita semua dalam mengupayakan hasil kerja yang lebih baik.
Yogyakarta, Mei 2008
BANK INDONESIA YOGYAKARTA
Tjahjo Oetomo K.Pemimpin
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
viii
Daftar Isi
Daftar Isi
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xii
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................................. xiv
1) PDRB Harga Konstan Tahun 2000.2) %.3) Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB).
Sumber: BPS Provinsi DIY.
2004 2005
PDRB Sisi Permintaan1Tabel 1.1
PDRB
No Jenis Penggunaan2006* 2007**
6 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
masyarakat. Hal ini tercermin dari nilai komponen Investasi yang meningkat dari
Rp5.404 menjadi Rp5.553 miliar, dengan andil terhadap angka pertumbuhan sebesar
2,64% pada tahun laporan. Peningkatan daya beli masyarakat seiring dengan
peningkatan pendapatan mampu mendorong peningkatan konsumsi masyarakat.
Peningkatan kinerja perekonomian juga disebabkan oleh meningkatnya
pertumbuhan kinerja komponen Lainnya, Konsumsi Pemerintah dan Konsumsi
Rumah Tangga dibandingkan tahun sebelumnya yang masing-masing sebesar
19,20%, 7,51% dan 2,16% pada tahun laporan.
Sementara itu, komposisi sisi Permintaan PDRB DIY tahun 2007 tidak
mengalami banyak perubahan, yakni pangsa terbesar komponen Konsumsi Rumah
Tangga sebesar 44,51%, diikuti komponen Investasi sebesar 30,39%, komponen
Konsumsi Pemerintah sebesar 19,36% dan komponen Lainnya sebesar 5,74%.
Konsumsi Rumah Tangga
Pada tahun 2007 nilai riil Konsumsi Rumah Tangga tercatat sebesar Rp8.132
miliar, atau tumbuh 2,16%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan yang
terjadi pada tahun 2006 yang hanya sebesar 1,41%. Peningkatan pertumbuhan
komponen Konsumsi Rumah Tangga diprakirakan karena terjadinya peningkatan
daya beli masyarakat seiring dengan peningkatan pendapatan setelah terpuruk
pada paruh terakhir tahun 2006 akibat gempa bumi tanggal 27 Mei lalu.
Meningkatnya pertumbuhan konsumsi ini sejalan dengan hasil Survei Konsumen
yang menunjukkan bahwa nilai Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mengalami
peningkatan dari 77,58 pada tahun 2006 menjadi 77,67 pada tahun 2007. Kondisi
ini terespon juga oleh perkembangan Indeks Penjualan Eceran selama tahun
laporan yang memperlihatkan level yang cenderung meningkat, yaitu dari 98,56
pada tahun 2006 menjadi 103,79 pada tahun 2007.
Salah satu indikator peningkatan Konsumsi Rumah Tangga tercermin dari
meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor
yang cukup signifikan selama tahun 2007 (lihat Tabel 1.2). Namun, kenaikan
pertumbuhan komponen Konsumsi Rumah Tangga tidak dikuti oleh kenaikan
Konsumsi Rumahtangga
45%
Konsumsi Pemerintah
19%
PMTDB (Investasi)30%
Lainnya6%
Grafik 1.2Komposisi PDRB Sisi Permintaan
Sumber: BPS Provinsi DIY
Nilai Ptumb1 Nilai Ptumb1
1. Mobil 122.811 133.060 139.370 4,74 149.727 7,43 a. Mobil Penumpang 78.812 82.705 84.786,00 2,52 89.958,00 6,10 b. Mobil Beban 34.031 35.670 36.830,00 3,25 38.537,00 4,63 c. Mobil Bus 9.968 14.685 17.754,00 20,90 21.232,00 19,592. Sepeda motor 755.101 843.077 917.711,00 8,85 1.012.319,00 10,31
Keterangan:
1) %
Sumber: Polda Provinsi DIY.
2007
Tabel 1.2Jumlah Kendaraan Bermotor Yang Terdaftar
Unit
Uraian 2004 20052006
7Bab 1 - Kondisi Makroekonomi
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
andil dan pangsa komponen tersebut terhadap total Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) DIY. Sementara itu, pangsa Konsumsi Rumah Tangga terhadap total
(PDRB) DIY pada tahun laporan tercatat sebesar 44,51%, lebih rendah dibandingkan
periode sebelumnya yang mencapai 45,39%.
Konsumsi Pemerintah
Pada tahun laporan nilai riil Konsumsi Pemerintah tercatat sebesar Rp3.538
miliar, atau tumbuh 7,51%, sedikit lebih rendah dibanding dengan kenaikan yang
terjadi pada tahun 2006 yang mengalami pertumbuhan 7,60%. Meskipun memiliki
pertumbuhan yang sedikit menurun namun komponen Konsumsi Pemerintah
memiliki andil dan pangsa yang lebih tinggi dibanding periode sebelumnya. Relatif
tingginya andil terhadap pertumbuhan dan pangsa terhadap total PDRB DIY yaitu
masing-masing sebesar 1,47% dan 19,36% menunjukkan bahwa peran Konsumsi
Pemerintah cukup dominan dalam perekonomian DIY. Jika ditinjau dari
peruntukannya, dalam beberapa tahun terakhir sebagian besar Konsumsi
Pemerintah dihabiskan untuk Belanja Pegawai dan untuk membiayai program
tanggap darurat pasca gempa Mei 2006, sedangkan sisanya untuk Belanja Barang.
Investasi (PMTB)
Nilai riil Investasi di DIY pada tahun 2007 yang diukur oleh nilai riil
Pembentukkan Modal Tetap Bruto (PMTB) tercatat sebesar Rp5.553 miliar, atau
tumbuh 2,76%, lebih rendah dibanding tahun 2006 yang mencapai 8,70%.
Meskipun pertumbuhannya cenderung melambat, komponen Investasi masih
memberikan andil yang cukup tinggi terhadap total pertumbuhan ekonomi DIY
yakni sebesar 2,64%, meningkat dibanding periode sebelumnya sebesar 2,56%.
Sektor ini merupakan sektor dominan penopang pertumbuhan ekonomi dari sisi
permintaan. Jenis investasi pada tahun 2007 nampaknya didominasi oleh investasi
pada sektor Bangunan atau proyek pembangunan/konstruksi yang didanai oleh
Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) maupun proyek konstruksi
properti yang dilakukan oleh pihak swasta. Hal ini tercermin dari kinerja sektor
Bangunan yang tumbuh tercepat dibandingkan dengan sektor lainnya, hingga
mencapai 8,08% pada tahun laporan.
Membaiknya kinerja investasi ini menunjukkan bahwa sektor swasta telah
melakukan penyesuaian terhadap pengaruh dampak gempa bumi tanggal 27
Mei 2006. Prospek kinerja investasi khususnya investasi swasta diprakirakan akan
lebih baik, mengingat suku bunga simpanan perbankan sudah menunjukkan
penurunan sebagai respon perkembangan suku bunga BI (BI Rate) yang cenderung
menurun dan pada akhirnya suku bunga kredit diharapkan akan turun.
8 Bab 1 - Kondisi Makroekonomi
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
Lainnya
Pertumbuhan komponen Lainnya, termasuk di dalamnya ekspor-impor,
perdagangan antar wilayah dan perubahan stok, mengalami peningkatan yang
cukup signifikan selama tahun laporan, sebagaimana tercermin dari nilai angka
pertumbuhan yang mencapai 19,20%, atau nilai riil komponen ini meningkat dari
Rp880 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp1.049 miliar pada tahun laporan. Dalam
komponen ini, perdagangan antar wilayah diukur berdasarkan jembatan timbang
yang terdapat di dua wilayah, yaitu di Kulonprogo dan Sleman. Sementara itu,
andil Komponen Lainnya juga lebih baik dibandingkan dengan periode sebelumnya,
yaitu dari -0.90% pada tahun 2006 menjadi -0.85% pada tahun laporan. Kondisi
ini diduga terutama disebabkan oleh meningkatnya aktivitas ekonomi (mobilitas
barang dan jasa) pada tahun laporan karena kembali pulihnya perekonomian DIY
setelah terpuruk pada paruh terakhir tahun 2006 akibat gempa bumi tanggal 27
Mei 2006 lalu.
PDRB Sisi Penawaran
Di sisi penawaran, percepatan perekonomian tahun 2007 terjadi pada
hampir semua sektor ekonomi, kecuali sektor Pertanian, Bangunan dan Jasa-jasa.
Dibandingkan dengan periode sebelumnya, tidak ada sektor yang mengalami
kontraksi pada tahun laporan. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, sektor
Pengangkutan dan Komunikasi, serta sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan merupakan tiga sektor dominan yang tumbuh lebih cepat dibanding
dengan periode sebelumnya, yaitu mampu tumbuh masing-masing 5,57%, 6,07%
dan 4,71%. Demikian juga sektor Bangunan, meskipun pada tahun laporan tumbuh
melambat namun masih tumbuh pada level yang tinggi yaitu sebesar 8,08%.
Sektor-sektor inilah yang mampu mendongkrak perekonomian DIY hingga
diprakirakan tumbuh mencapai 4,20% pada tahun laporan.
Miliar Rp
Nilai Pangsa2 Ptumb2 Andil2 Nilai* Pangsa Ptumb² Andil2
16 Susu untuk Bayi 29.98 0.04 16 Kulkas/Lemari Es -3.84 -0.01
17 Daun Bawang 29.90 0.01 17 Personal Komputer/Desktop -3.31 -0.01
18 Emas Perhiasan 25.95 0.29 18 Lele -3.24 -0.01
19 Telur Itik 25.32 0.01 19 Disket -2.51 0.00
20 Susu untuk Balita 25.23 0.10 20 CD-Tape-Rec-Radio -2.49 0.00Sumber: BPS Provinsi DIY, diolah.
Tabel 2.4Perubahan Harga Komoditas Tertinggi dan Terendah
RankingPeningkatan Harga Tertinggi Penurunan Harga Terendah
Ranking
Kelompok Komoditas Andil Inflasi
Minyak Goreng 0.47 49.42
Bawang Merah 0.30 150.45
Mie Kering Instan 0.27 49.82
Kelapa 0.22 81.01
Daging Ayam Ras 0.15 12.04
Telur Ayam Ras 0.13 18.36
Susu Bubuk 0.11 22.34
Beras 0.11 2.26
Susu untuk Balita 0.10 25.23
Pisang 0.08 23.06
Jeruk 0.08 16.50
Nasi 0.45 11.71
Mie 0.23 9.49
Rokok Kretek Filter 0.14 7.74
Soto 0.12 11.90
Tukang Bukan Mandor 0.37 20.55
Kontrak Rumah 0.28 4.21
Pasir 0.21 40.05
Tarip Air Minum PAM 0.17 39.26
Semen 0.11 22.85
Sandang Emas Perhiasan 0.29 25.95
Kesehatan Sabun Mandi 0.06 22.55
Akademi/Perguruan Tinggi 0.78 21.49
SLTA 0.26 13.24
Sekolah Dasar 0.14 21.63
Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan Pemeliharaan/Service 0.15 40.25 Sumber: BPS Provinsi DIY, diolah.
Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar
Pendidikan, Rekreasi & Olahraga
Tabel 2.5Komoditas Pemberi Andil Terbesar terhadap Inflasi
Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau
Bahan Makanan
50 Bab 2 - Perkembangan Inflasi
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
Meskipun pada tahun 2007 perkembangan harga secara umum diwarnai
oleh tekanan inflasi yang cukup kuat, yaitu 268 komoditas dari 327 komoditas
yang disurvei mengalami peningkatan harga, namun masih terdapat 36 komoditas
yang mengalami penurunan harga, sedangkan 36 komoditas lainnya tidak
mengalami perubahan harga. Penurunan harga tertinggi pada tahun 2007 dialami
oleh Bawang Putih yaitu sebesar 40,76% (yoy), diikuti oleh Wortel sebesar 39,15%
(yoy), Cabe Merah sebesar 22,66% (yoy) dan Labu Siam/Jipang sebesar 22,51%
(yoy). Tabel 2.4 menyajikan masing-masing dua puluh komoditas yang mencatat
peningkatan harga dan penurunan harga tertinggi selama tahun laporan.
INFLASI KOTA-KOTA DI PULAU JAWA
Pada tahun 2007 Kota Yogyakarta tercatat memiliki angka inflasi kedua
tertinggi di antara kota-kota di Pulau Jawa lainnya, setelah Kota Tegal dengan
angka inflasi sebesar 8,89% (yoy). Kota di Pulau Jawa yang mengalami inflasi
tertinggi lainnya adalah Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya dan Kota Jember, masing-
masing sebesar 7,87%, 7,72% dan 7,25%. Sedangkan inflasi terendah terjadi di
Kota Surakarta yang tercatat sebesar 3,28%. Secara umum sebagian besar laju
inflasi kota-kota di Pulau Jawa relatif tinggi dibandingkan dengan inflasi nasional
2007 yang mencapai 6,59%.
Di tingkat nasional, Kota Yogyakarta berada pada peringkat ke-13 Kota
yang mengalami inflasi tertinggi. Peringkat pertama terdapat pada Kota Banda
Aceh sebesar 11,00% (yoy), berturut-turut diikuti oleh Kota Ternate sebesar 10,43%
(yoy), Kota Jayapura sebesar 10,35% (yoy) dan Kota Manado sebesar 10,13%
(yoy). 41 kota lainnya, dari 45 kota yang masuk dalam perhitungan inflasi nasional,
hanya mengalami inflasi satu digit. Tiga kota di Indonesia yang memiliki inflasi
terendah adalah Kota Pangkal Pinang sebesar 2,64% (yoy), Kota Surakarta sebesar
3,28% dan Kota Lhokseumawe sebesar 4,18%.
Grafik 2.8Inflasi Kota-kota di Pulau Jawa
6,04
7,72
5,25
7,87
6,15
3,28
6,75
8,89
7,99
7,25
6,85
5,93 6,
27
6,31
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jaka
rta
Tasi
kmal
aya
Ban
dung
Cire
bon
Purw
oker
to
Sura
kart
a
Sem
aran
g
Tega
l
Yogy
akar
ta
Jem
ber
Ked
iri
Mal
ang
Sura
baya
Sera
ng
% (yoy)
51Bab 2 - Perkembangan Inflasi
Boks:Boks:Boks:Boks:Boks:Jalur Distribusi Komoditas Penyumbang Terbesar terhadapJalur Distribusi Komoditas Penyumbang Terbesar terhadapJalur Distribusi Komoditas Penyumbang Terbesar terhadapJalur Distribusi Komoditas Penyumbang Terbesar terhadapJalur Distribusi Komoditas Penyumbang Terbesar terhadapInflasi Kota YogyakartaInflasi Kota YogyakartaInflasi Kota YogyakartaInflasi Kota YogyakartaInflasi Kota Yogyakarta
Inflasi sebagai salah satu indikator
perekonomian bermanfaat untuk formulasi
kebijakan ekonomi dalam menjaga stabilitas harga.
Dalam rangka menguji perilaku inflasi dan berbagai
faktor yang mempengaruhinya, tidak cukup
dilakukan studi dengan menggunakan berbagai
model ekonometrika melalui permintaan uang,
melainkan potensi inflasi juga dapat dicermati dari
sisi penawaran. Berkaitan dengan hal tersebut, tidak
saja dari masalah jumlah penyediaan barang dan
jasa, melainkan juga perilaku distribusinya. Nilai
tambah yang tinggi sangat terkait dengan perilaku
dan jalur distribusi dari suatu komoditas dan atau
kebijakan.
Bank Indonesia Yogyakarta melakukan survei
Jalur Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Terbesar
di Kota Yogyakarta (bekerjasama dengan Pusat
Pengembangan Ekonomi Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta) bertujuan untuk
menjelaskan mekanisme distribusi komoditas
penyumbang inflasi terbesar, memberikan informasi
proses penentuan harga dari hulu hingga hilir,
menjelaskan struktur pasar komoditas penyumbang
inflasi, serta memberikan informasi kebijakan yang
menyebabkan shock terhadap harga komoditas
penyumbang inflasi tersebut.
Responden survei adalah pelaku usaha, baik
tingkat hulu hingga hilir, termasuk konsumen yang
terkait dengan berbagai komoditas terpilih.
Penentuan responden dilakukan secara acak,
namun tetap memperhatikan sebaran wilayah
kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta.
Pengambilan sampel dimulai dari kemungkinan jalur
distribusi level paling bawah, yaitu pengecer/ritel
tingkat kampung, yaitu kios/warung.
Komoditas yang menjadi obyek pengamatan
ditentukan berdasarkan informasi dari BPS tentang
komoditas yang menyumbang inflasi cukup besar
di Kota Yogyakarta. Komoditas terdiri dari
kelompok komoditas sektor pertanian (beras, sayur,
cabe, bawang merah), komoditas sektor
peternakan (telur, daging ayam, daging sapi),
komoditas minyak goreng dan mie instan, serta
komoditas gula pasir.
Komoditas Pertanian
Alur distribusi berawal dari petani ke tengkulak
lalu ke kios/pedagang pasar dan terakhir ke warung.
Para petani menjual hasil pertaniannya lewat
tengkulak karena faktor teknis transportasi, waktu
kerja dan keterbatasan jaringan pedagang. Daerah
yang menjadi sentra untuk penyediaan komoditas
pertanian (sayur, cabe, bawang) di DIY antara lain
Bantul, Kulonprogo, Kalasan/Boyolali, Muntilan/
KONSUMEN
KIOS/WARUNG
DISTRIBUTOR BESAR
DISTRIBUTOR/PASAR
PRODUSEN
Gambar 1.1 Alur Penelusuran Nilai Tambah dan Jalur Distribusi
52 Bab 2 - Perkembangan Inflasi
Magelang dan Wonosobo. Sentra beras di DIY
banyak berasal dari Sleman (Godean dan
sekitarnya), Bantul dan Jawa Tengah bagian selatan
(Sragen dan sekitarnya). Konsumen banyak yang
memilih belanja di warung karena faktor lokasi,
kuantitas pembelian dan kebutuhan yang
mendadak. Pada pasar modern, supplier komoditas
pertanian harus memenuhi kriteria yang sudah
ditetapkan, namun pola kerjasama berlaku jangka
panjang. Penentuan harga pada komoditas
pertanian ditentukan melalui mekanisme pasar,
namun tengkulak memiliki peran sebagai price
makers.
Pasar komoditas pertanian lebih bersifat pasar
persaingan, karena jumlah produsen, tengkulak/
pedagang besar dan pedagang berjumlah banyak.
Nilai tambah terbesar dinikmati oleh para
tengkulak, karena tengkulak lebih banyak
menanggung biaya transportasi dan menanggung
risiko produk yang sangat rentan dari sisi waktu.
Komoditas Peternakan
Komoditas peternakan (daging ayam) memiliki
pola distribusi dari peternak ke pemotongan
dilanjutkan ke pedagang pasar/kios kemudian
warung. Para peternak/pedagang ayam, selain
menjual ayam sudah dalam kondisi terpotong, juga
menjual ayam kondisi hidup. Sementara itu,
komoditas daging sapi memiliki pola distribusi yang
sedikit berbeda, yaitu berawal dari peternak-
pemotongan-pedagang pasar/depo daging. Pada
komoditas ini, jalur distribusi lebih banyak terhenti
pada level pedagang pasar/depo bukan pada
warung. Hal ini lebih disebabkan karakter produk,
dimana konsumen lebih banyak para pengusaha
makanan dan relatif sedikit konsumen akhir yang
berasal dari rumah tangga. Implikasinya, pada level
warung, jarang yang menjual komoditas secara
langsung. Sentra penghasil komoditas peternakan,
untuk produk telur banyak berasal dari Kaliurang,
Kulonprogo dan beberapa daerah di Jawa Tengah.
Sementara untuk sentra ayam potong ada di
Kulonprogo dan Sleman, sedangkan untuk daging
sapi, ternak banyak berasal dari Boyolali &
sekitarnya serta Magelang & sekitarnya. Pada
komoditas telur, para peternak menjual langsung
pada para pedagang pasar/kios, namun tetap ada
para pedagang/tengkulak yang menjadi
intermediator. Mayoritas pengelola pasar modern
menyatakan sudah memiliki supplier tetap untuk
komoditas telur dan daging, sebagai upaya
keterjaminan kualitas produk (quality insurance) dan
kontinuitas penyediaan komoditas perternakan.
Harga ditentukan melalui mekanisme pasar, bahkan
pada produk telur dan daging ayam, posisi peternak
memiliki andil yang cukup besar dalam penentuan
harga. Pada pasar modern, kebijakan harga
dikonfirmasi pada pengelola pasar modern di kantor
pusat, dipengaruhi oleh harga dari pedagang besar
dan hal lain, seperti ekspektasi permintaan, seperti
momentum hari raya keagamaan.
Pasar komoditas peternakan lebih bersifat
pasar persaingan. Hal tersebut didasarkan pada
karakteristik jumlah produsen, jumlah tengkulak/
pedagang besar dan jumlah pedagang yang
kesemuanya dalam jumlah banyak. Nilai tambah
terbesar dinikmati oleh para pedagang pasar/kios
dan posisi kedua pada para tengkulak.
Komoditas Minyak Goreng dan Mie
Instan
Komoditas minyak goreng memiliki pola
distribusi dari pabrikan-distributor/agen, yang
mayoritas berada diluar DIY, yaitu dari Semarang,
Cilacap dan Surabaya, kemudian terdistribusi ke
level toko/pedagang-warung. Hal yang sama terjadi
pada komoditas mie instan, dengan agen terbesar
di DIY bahkan di Indonesia yaitu PT Indomacro. Para
agen/pedagang, selain mendistribusikan pada
pedagang pasar juga memasok pada pasar modern
53Bab 2 - Perkembangan Inflasi
juga pada level toko. Dengan demikian, margin
harga yang dinikmati relatif kecil, khususnya level
toko/pedagang pasar. Harga kedua komoditas ini
sangat dipengaruhi kebijakan harga pada tingkat
agen/distributor utama dan sangat terkait dengan
harga input pada level pabrikan dan dipengaruhi
harga input pasar internasional. Dengan demikian,
penciptaan harga pada komoditas ini menggunakan
mekanisme pasar yang lebih dikendalikan pada
level distributor utama dan atau pabrikan.
Pada komoditas minyak goreng, meskipun
harga sangat dipengaruhi mekanisme pasar, namun
untuk melindungi kepentingan konsumen domestik,
pemerintah juga melakukan intervensi dengan
menerapkan peningkatan pajak ekspor.
Pasar komoditas minyak goreng dan mie
instan lebih bersifat pasar persaingan, terkait
dengan tingkat kompetisi antar produsen serta
variasi produk.
Komoditas Gula Pasir
Komoditas gula pasir memiliki pola distribusi
dari pabrikan-distributor/pedagang besar, kemudian
terdistribusi ke level toko/pedagang-warung.
Meskipun DIY memiliki satu pabrik gula (PT
Madukismo), namun produk gula pasir yang beredar
di DIY juga berasal dari luar, termasuk gula impor.
Harga komoditas ini ditentukan dengan mekanisme
pasar. Harga pada tingkat pabrikan ditentukan
melalui mekanisme lelang tertutup. Harga pada
tingkat kios/pedagang pasar sangat dipengaruhi
oleh harga jual yang diberikan para pedagang besar,
sehingga posisi pedagang besar dalam penentuan
harga cukup besar. Selain itu, penentuan harga
komoditas ini juga terkait dengan karakteristik pasar
produk di tingkat internasional.
Pasar komoditas gula dalam konteks lokal
lebih bersifat pasar oligopoli, karena penguasaan
harga sangat ditentukan oleh peran pedagang besar
yang jumlahnya sedikit. Selain ditentukan dari
keputusan lelang, harga juga ditentukan oleh harga
komoditas yang berasal dari luar DIY, termasuk dari
impor.
Rekomendasi Kebijakan
1. Komunikasi pemangku kepentingan dengan
para pelaku bisnis pada level tersebut sangat
diperlukan, dalam rangka upaya pengendalian
harga barang.
2. Dalam pengambilan kebijakan ekonomi yang
berimplikasi pada harga suatu komoditas, seperti
harga BBM, kampanye bahaya flu burung,
subsidi minyak goreng dan kebijakan lainnya,
diharapkan mencermati aspek ketepatan waktu
sehingga kebijakan efektif dan meminimalkan
dampak pada kondisi pasar.
3. Perlu studi serupa dengan skala sampel yang
lebih luas, dengan pola pelaksanaan yang
kontinyu sehingga ada komplemen informasi
untuk pengendalian harga.
54 Bab 2 - Perkembangan Inflasi
Boks:Boks:Boks:Boks:Boks:PPPPPengaruh Suku Bunga Kengaruh Suku Bunga Kengaruh Suku Bunga Kengaruh Suku Bunga Kengaruh Suku Bunga Kebijakan terhadapebijakan terhadapebijakan terhadapebijakan terhadapebijakan terhadapPPPPPerbankan dan Inflasi di DIYerbankan dan Inflasi di DIYerbankan dan Inflasi di DIYerbankan dan Inflasi di DIYerbankan dan Inflasi di DIY
Latarbelakang Penelitian
Bank Indonesia telah mengimplementasikan
kerangka kerja kebijakan moneter dengan inflation
targeting framework dengan pendekatan jalur suku
bunga atau BI Rate sejak Juli 2005. Pengaturan suku
bunga oleh BI diharapkan dapat mempengaruhi suku
bunga perbankan dan akhirnya berdampak pada
aktivitas sektor riil yang tercermin pada aggregate
demand dan inflasi. Kebijakan suku bunga ini
diduga mempengaruhi perekonomian daerah.
Mempertimbangkan perubahan tersebut maka
Bank Indonesia Yogyakarta melaksanakan studi
untuk mengkaji bagaimana transmisi kebijakan
moneter pada perekonomian daerah khususnya
bagaimana respon suku bunga perbankan,
ekspektasi inflasi dan investasi di DIY terhadap suku
bunga kebijakan moneter di Indonesia.
Tujuan, Variabel dan Data Penelitian
Studi ini bertujuan untuk menganalisis
mekanisme transmisi suku bunga kebijakan
berdasarkan data 26 Bank Umum dan 8 Bank
Perkreditan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta
selama periode 2000 sampai 2007. Data yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan data
runtut waktu bulanan. Ruang lingkup penelitian ini
dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu: (1) Bank Umum
dan (2) Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pada lingkup
Bank Umum, penelitian ini menggunakan 2 (dua)
kelompok sampel yaitu:
1. Untuk mengkaji keterkaitan antar variabel suku
bunga (pricing) pada Bank Umum di DIY maka
digunakan sampel data yang berasal dari Bank
Pembangunan Daerah (BPD) Provinsi DIY.
2. Untuk mengkaji keterkaitan antar variabel
nominal (quantity) pada Bank Umum di DIY
maka digunakan sampel data yang berasal dari
26 Kantor Cabang Bank Umum yang bertindak
sebagai Bank Pelapor (Laporan Bank Umum) di
Provinsi DIY yang telah beroperasi sejak tahun
2000, yaitu: Bank BRI (3 kantor), Bank BBI, Bank
Mandiri, Bank Lippo, Bank BNI (3 kantor), Bank
CIC, Bank BDI, Bank BPD (6 kantor), Bank
Permata, Bank BTN, Bank BCA, Bank BTPN, Bank
BII, Bank Mega, Bank Niaga (2 kantor) dan Bank
Bukopin.
Sedangkan data dari BPR berasal dari 8
(delapan) BPR di Provinsi DIY dengan kriteria
memiliki nilai aset yang relatif besar dan telah
beroperasi sejak tahun 2000. Konsep pemodelan
menggunakan konsep Structural Vector
Autoregression (SVAR) Models yang memiliki
keunggulan penggunaan restriksi berdasarkan teori
ekonomi dalam menganalisis Impulse Response dan
Variance Decomposition serta mempertimbangkan
skema hubungan dan bentuk urutan yang dimiliki
model (ordering).
Berdasarkan model SVAR yang digunakan
dalam penelitian ini, maka variabel yang digunakan
terdiri dari:
1. Variabel suku bunga kebijakan (policy rates)
menggunakan proxy data SBI 1 bulan selama
periode sebelum Inflation Targeting dan data BI
Rate setelah diberlakukannya kerangka
kebijakan meneter Inflation Targeting.
2. Variabel suku bunga simpanan perbankan
(funding) menggunakan proxy data suku bunga
Deposito 1 bulan dan Tabungan perbankan (Bank
55Bab 2 - Perkembangan Inflasi
Umum dan BPR) di DIY. Data suku bunga
tersebut diperoleh dari laporan masing-masing
bank yang disampaikan kepada Bank Indonesia
Yogyakarta.
3. Variabel suku bunga kredit perbankan (lending)
menggunakan proxy data suku bunga Kredit
Modal Kerja dan Kredit Konsumsi perbankan di
DIY berdasarkan laporan masing-masing bank
yang disampaikan kepada Bank Indonesia
Yogyakarta.
4. Variabel kuantitas perbankan (quantity)
menggunakan proxy data posisi kredit modal
kerja dan kredit konsumsi perbankan di DIY
berdasarkan laporan masing-masing bank yang
disampaikan kepada Bank Indonesia Yogyakrta.
5. Variabel perkembangan harga (inflation)
menggunakan proxy data Indeks Harga
Konsumen (IHK) Kota Yogyakarta yang diperoleh
dari Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi DIY.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi yang dilaksanakan
selama 6 bulan mulai bulan Juli sampai dengan
Desember 2007 maka disimpulkan:
1. Perubahan suku bunga kebijakan diikuti searah
oleh perubahan suku bunga Bank Umum di DIY,
terutama pada suku bunga deposito. Cepatnya
respon penurunan suku bunga deposito tersebut
diduga terkait dengan upaya Bank Umum dalam
menurunkan cost of fund dalam menyikapi
permasalahan kelebihan likuiditas di Bank
Umum DIY.
2. Meskipun memiliki respon sesuai dengan
ekspektasi rasional, namun perubahan suku
bunga tabungan dan kredit modal kerja
membutuhkan waktu respon yang relatif
panjang (kurang responsif). Bahkan respon suku
bunga kredit konsumsi Bank Umum
menunjukkan hal yang berlawanan dengan
ekspektasi rasional, yaitu shock penurunan suku
bunga kebijakan diikuti oleh kenaikan suku
bunga kredit konsumsi. Hubungan anomali
antara suku bunga kebijakan dengan suku
bunga kredit konsumsi antara lain dipengaruhi
oleh ekspektasi rasional masyarakat yang
menilai bahwa penurunan suku bunga kebijakan
merupakan indikasi membaiknya kondisi
makroekonomi, sehingga meningkatkan
permintaan kredit konsumsi dan selanjutnya
Bank Umum menyikapinya dengan menaikkan
suku bunga kredit konsumsi.
4. Berbeda dengan kondisi pada Bank Umum,
perubahan suku bunga kebijakan tidak terlalu
mempengaruhi pergerakan suku bunga BPR
(deposito, tabungan dan kredit modal kerja),
kecuali pada suku bunga kredit konsumsi BPR
yang merespon pergerakan suku bunga
kebijakan meskipun dampaknya relatif kecil.
5. Tidak berjalannya mekanisme transmisi suku
bunga kebijakan pada BPR terutama dipengaruhi
oleh kondisi BPR yang secara umum masih
mengalami permasalahan kekurangan likuiditas,
sebagaimana tercermin dari angka LDR yang
masih tinggi (rata-rata di atas 100%). Dengan
kondisi ini, penentuan suku bunga di BPR lebih
dipengaruhi oleh tingkat likuiditasnya bukan
pada suku bunga kebijakan BI.
6. Mekanisme pasar pada bisnis perbankan DIY
(Bank Umum dan BPR) secara umum berjalan
cukup efektif, kecuali pada tabungan, dimana
penurunan suku bunga tabungan akan direspon
oleh peningkatan volume tabungan. Anomali
pada tabungan antara lain karena faktor
determinan penanaman dana pada tabungan
lebih didominasi oleh motif transaksi sehingga
keputusan nasabah tidak sensitif terhadap
perubahan suku bunga tabungan.
7. Studi ini memperoleh temuan bahwa secara
tidak langsung suku bunga kebijakan memiliki
pengaruh terhadap inflasi. Mekanisme transmisi
56 Bab 2 - Perkembangan Inflasi
dari suku bunga kebijakan sampai dengan inflasi
terutama berlangsung pada jalur kuantitas (dana
di Bank Umum), baik melalui jalur volume
deposito maupun volume tabungan. Penurunan
suku bunga kebijakan pada gilirannya
mengakibatkan terjadinya penurunan inflasi,
yang nampaknya tidak sejalan dengan standar
teori makroekonomi, dimana penurunan suku
bunga kebijakan seyogyanya akan
meningkatkan tekanan inflasi sebagai dampak
naiknya permintaan agregat. Anomali ini terjadi
antara lain karena kharakteristik perekonomian
DIY didominasi oleh sektor usaha yang bersifat
padat tenaga kerja (labor intensive) sehingga
penurunan suku bunga kebijakan yang diikuti
oleh penurunan suku bunga kredit tidak dapat
langsung mendongkrak kenaikan volume kredit,
yang pada akhirnya tidak memberi tekanan
terhadap inflasi di Kota Yogyakarta.
8. Inovasi penurunan suku bunga kebijakan
memiliki implikasi yang berbeda antara volume
deposito dengan volume tabungan, yaitu volume
deposito turun sedangkan volume tabungan
naik. Hal ini merupakan indikasi terjadinya
shifting dana simpanan di perbankan dari
deposito ke tabungan. Dugaan shifting dana
tersebut dikonfirmasi oleh data share deposito
yang cenderung menurun dari 36,82% pada
akhir tahun 2005 menjadi 33,11% pada triwulan
III tahun 2007. Terjadinya perpindahan dana ini
antara lain dipengaruhi oleh upaya bank untuk
mengurangi porsi deposito yang memiliki cost
of fund yang realatif tinggi dibandingkan dengan
cost of fund tabungan. Di lain pihak, fenomena
shifting dana juga terkait dengan preferensi
nasabah yang lebih cenderung pada tabungan
mengingat suku bunga deposito dirasa semakin
tidak menarik pada saat kecenderungan suku
bunga sedang mengalami penurunan.
57Bab 2 - Perkembangan Inflasi
Boks:Boks:Boks:Boks:Boks:Model Proyeksi Inflasi Kota YogyakartaModel Proyeksi Inflasi Kota YogyakartaModel Proyeksi Inflasi Kota YogyakartaModel Proyeksi Inflasi Kota YogyakartaModel Proyeksi Inflasi Kota Yogyakarta
Latarbelakang Penelitian
Dalam Inflation Targetting Framework (ITF),
instrumen kebijakan moneter yang digunakan
adalah suku bunga kebijakan (BI-Rate). Pengaturan
BI-rate diharapkan dapat mempengaruhi suku
bunga perbankan (pasar) yang pada gilirannya
berdampak pada aggregate demand dan inflasi.
Penetapan BI rate ini umumnya akan in-line dengan
proyeksi (target) inflasi (inflation targeting) yang
ditetapkan oleh Pemerintah. Semakin cepat respon
masyarakat terhadap arah suku bunga kebijakan,
maka diharapkan semakin kecil perbedaan antara
ekspektasi inflasi masyarakat dengan target inflasi
yang ditetapkan Pemerintah. Hal ini dapat juga
diartikan bahwa kebijakan moneter cukup efektif
mempengaruhi ekspektasi masyarakat akan arah
inflasi. Oleh karena itu, ketepatan dalam proyeksi/
penentuan target inflasi merupakan prasyarat yang
sangat penting bagi Bank Indonesia sebelum
memberi masukkan kepada Pemerintah.
Masukan dari berbagai pihak khususnya dari
kantor-kantor Bank Indonesia di daerah terkait
dengan inflasi menjadi sangat krusial, karena Inflasi
daerah memegang peran yang penting mengingat
kontribusinya yang relatif besar bagi inflasi nasional
(daerah 73%, Jakarta 27%). Disamping itu, sebagai
negara kepulauan, pembentukan inflasinya tidak
terlepas dari andil inflasi daerah, dimana inflasi
tersebut umumnya mengikuti “alur spiral”, semakin
banyak kepulaun dan semakin jauh jarak antar
pulau/daerah dengan pusat produksi maka akan
semakin berpotensi menimbulkan tekanan inflasi
(spiral inflation). Dengan kondisi ini, inflasi akan
semakin tinggi jika terjadi gangguan jalur distribusi.
Hal ini terbukti pada penelitian jalur distribusi
komoditas penyumbang terbesar Inflasi Yogyakarta
yang dilakukan Bank Indonesia Yogyakarta (2007)
dimana menunjukkan bahwa jalur distribusi
memegang peranan yang cukup besar dalam
pembentukan inflasi DIY.
Tujuan Penelitian
Dengan kondisi tersebut Bank Indonesia
Yogyakarta berinisiatif melakukan penelitian terkait
dengan karakteristik dan faktor-faktor pembentuk
inflasi Kota Yogyakarta. Penelitian ini diharapkan
memperoleh gambaran terkait faktor-faktor
determinan inflasi kota Yogykarta, melalui pengujian
faktor-faktor yang mempengaruhi Inflasi Yogyakarta
berdasarkan teori Phillips Curve; mencari model
adhoc Inflasi Kelompok Utama Pembentuk Inflasi
Yogyakarta; mencari model adhoc Inflasi Komoditas
Utama Pembentuk Inflasi Yogyakarta; dan mencari
model proyeksi univariate Inflasi Yogyakarta; serta
mencari model proyeksi multivariate Inflasi
Yogyakarta. Selanjutnya tujuan tersebut dikemas
dalam 3 (tiga) bentuk model yakni model umum,
adhoc dan model proyeksi.
Intepretasi Model
Diperoleh 5 model Inflasi Yogyakarta yakni:
(1) model OLS untuk IHK Umum yang berbasis Kurva
Phillips, (2) model inflasi pembentuk inflasi (adhoc),
yakni: (2.a) model IHK Bahan Makanan [ARCH (1)]
dan (2.b) IHK Beras (OLS), (2.c) model univariate
IHK Umum [ARIMA(1,1,1) (1,0,1)4] dan (2.d) model
multivariate IHK Umum [SVAR(1)] yang berbasis
Kurva Phillips.
58 Bab 2 - Perkembangan Inflasi
Model OLS IHK Umum Berbasis KurvaPhillips
Dalam model OLS untuk IHK Umum Kota
Yogyakarta dipengaruhi oleh Ekpektasi Inflasi (IHKt-
1), Output Gap dan Harga premium. Semua koefisien
variabel bebas menunjukkan nilai yang signifikan.
Namun terdapat satu variabel yang tidak sesuai
dengan teori yakni variabel Output Gap dimana
koefisiennya bertanda negatif. Pergerakan yang
berbeda arah ini, kemungkinan disebabkan oleh
pengaruh karakteristik ekonomi DIY yang sangat
dipengaruhi oleh faktor musiman (panen/liburan).
Ketika musim panen telah tiba, produksi pertanian
melimpah, harga-harga komoditas pertanian
menurun. Sebaliknya, ketika musim tidak panen/
kemarau produksi berkurang maka harga-harga
terdorong naik.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu
sektor dominan pembentuk PDRB DIY selain sektor
Perdagangan Hotel & Restoran dan sektor Jasa-jasa,
juga sektor Pertanian. Ketika kinerja sektor
pertanian mengalami penurunan kinerja, maka
dapat diperkirakan bahwa arah pertumbuhan PDRB
juga akan menurun.
Sedangkan beberapa komoditas sektor
Pertanian ini juga merupakan kelompok
penyumbang inflasi terbesar Kota Yogyakarta
terutama kelompok Bahan Makanan (Subkelompok
Padi-padian-Komoditas beras).
Temuan lain dari model pertama adalah
variabel ekspektasi inflasi (dihkt-1) memiliki nilai
koefisien yang paling besar. Hal ini dapat diartikan
bahwa arah inflasi Yogyakarta banyak ditentukan
oleh ekpektasi masyarakat akan inflasi. Kondisi ini
in-line dengan hasil Survei Ekspektasi Konsumen
Yogyakarta.
Model ARCH IHK Bahan Makanan
Dalam model Inflasi pembentuk Inflasi, IHK
Bahan Makanan diperoleh persamaan ARCH(1),
karena model mengandung autokorelasi,
heterokedastisitas dan terdapat efek ARCH. Dalam
model ini diperoleh hasil overfitting bahwa variabel
harga Premium dan Nilai Tukar mempunyai
pengaruh yang signifikan dan arahnya sesuai dengan
teori.
Model OLS IHK Beras
IHK Beras diperoleh model OLS dengan
variabel bebas Penyaluran Beras oleh Bulog dan
Harga Kerosene. Arah pengaruh masing-masing
variabel sudah sesuai dengan logika. Hasil ini juga
menunjukkan bahwa peran Bulog dalam periode
penelitian dapat mempengaruhi harga beras.
Model ARIMA IHK Umum
Model Univariate Time Series diperoleh model
ARIMA (1,1,1) (1,0,1) 4. Model yang terpilih ini
memiliki root mean square error (RMSE) terkecil
dan telah memenuhi prinsip parsimonious (model
yang paling sederhana).
Model SVAR IHK Umum Berbasis KurvaPhillips
Model Multivariate Time Series diperoleh
model SVAR(1). SVAR ini dikembangkan melalu
persamaan structural Kurva Phillips, dimana variabel
yang dimasukkan dalam model adalah IHK Umum,
Output Gap dan Premium. Variabel Ekpektasi Inflasi
dikeluarkan dari model, karena pergerakan datanya
identik dengan IHK Umum (near singular matrix).
Sehingga orderingnya menjadi Premium, Output Gap
dan IHK Umum. Hasil impulse response ,
menunjukkan bahwa shock variabel premium
direspon oleh variabel IHK cukup signifikan dan
lama. Sedangkan shock Output Gap, kurang
direspon oleh IHK Umum.
59Bab 2 - Perkembangan Inflasi
Kesimpulan
Secara umum, Hasil analisis menunjukkan
bahwa bentuk umum model Inflasi Yogyakarta
berjalan sesuai teori Philips Curve dimana
dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi, output gap dan
shock harga premium. Selanjutnya, model adhoc
Inflasi pembentuk inflasi Kota Yogyakarta, yakni
inflasi “Kelompok Bahan Makanan” dipengaruhi
oleh nilai tukar Rupiah dan harga premium,
sedangkan model adhoc inflasi “Komoditas Beras”
dipengaruhi oleh penyaluran beras Bulog dan harga
Kerosene. Sementara itu, model proyeksi inflasi
dengan menggunakan univariate time series yang
memiliki Root Mean Square Error (RMSE) terkecil
dan paling parsimony adalah model ARIMA (1,1,1)
(1,0,1)4, sedangkan model multivariate time series
adalah SVAR(1) dengan ordering harga premium,
output gap dan IHK Umum. Secara umum, Inflasi
Yogyakarta didominasi oleh pengaruh ekspektasi
inflasi (t-1) dan shock disisi penawaran khususnya
harga premium.
Halaman ini sengaja dikosongkan.
61Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Bab 3:Bab 3:Bab 3:Bab 3:Bab 3:PPPPPerkembangan Perkembangan Perkembangan Perkembangan Perkembangan Perbankanerbankanerbankanerbankanerbankan
GAMBARAN UMUM
Perkembangan Kelembagaan
Sampai dengan akhir tahun 2007, jumlah jaringan kantor bank, tidak
termasuk kantor kas Bank Perkreditan Rakyat, tercatat sebanyak 865 kantor, atau
mengalami penambahan sebanyak 44 kantor (6,74%) jika dibandingkan dengan
tahun 2006 yang tercatat sebanyak 757 kantor. Peningkatan jumlah jaringan kantor
ini terutama terjadi pada Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Bank Umum sebanyak
24 kantor. Hal ini merupakan bentuk realisasi komitmen perbankan dalam
memberikan fasilitas kemudahan kepada para nasabahnya dalam melakukan
transaksi perbankan. Jika ditinjau dari jenisnya, jumlah Kantor Pusat Bank Umum
adalah 1 kantor, yaitu Bank Pembangunan Daerah Yogyakarta, sedangkan Kantor
Wilayah juga masih berjumlah 1 kantor, yaitu Bank Rakyat Indonesia.
Sedangkan pada kantor Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mengalami
penurunan sebanyak 7 kantor. Pengurangan ini merupakan perubahan status kantor
beberapa bank sebagai akibat merger dan konsolidasi. Pada bulan April 2007
Posisi Ptumb1 Posisi Ptumb1
A 596 680 757 12,92 808 6,74 1 Kantor Pusat/Kantor Wilayah 2 2 2 - 2 -
a. Konvensional 2 2 2 - 2 - b. Syariah - - - - - -
D Total Kredit 4.438 5.852E Persentase thd Total Kredit 85,62 86,45 37,10 29,24 21,02 87,35 35,65 28,40 22,66 86,71
Keterangan: 1) %. Mi = Kredit Usaha Mikro (0-50 juta) K = Kredit Usaha Kecil (50-500 juta) M = Kredit Usaha Menengah (500 juta - 5 miliar)Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum
Jenis Penggunaan
2007
7.989
2006
6.616
2004
Tabel 3.9Kredit UMKM Bank Umum
No Uraian 2005
75Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
Kredit Properti Bank Umum tersebut sebesar 93,92% atau Rp1.239 miliar
diberikan kepada Konsumen dan sebesar 6,08% atau Rp80 miliar diberikan kepada
Pengembang dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 29,75% dan -54,93%.
Pertumbuhan negatif yang dialami oleh Kredit kepada Pengembang
tersebut merupakan faktor koreksi setelah pada tahun 2006 tumbuh sebesar
45,97%. Porsi penggunaan Kredit kepada Pengembang berubah pada tahun
laporan, dimana sebelumnya Kredit untuk tujuan investasi mendominasi
penyalurannya, namun pada tahun 2007 justru Kredit Modal Kerja yang
mendominasi dengan pangsa sebesar 85,61% atau Rp69 miliar. Sedangkan untuk
membiayai keperluan investasi hanya sebesar Rp12 miliar. Pengadaan barang-
barang modal memang bersifat memiliki jangka waktu yang lama, sehingga
perkembangannya juga akan memakan waktu lama.
Sedangkan Kredit Properti kepada Konsumen sebagian besar dialokasikan
untuk kepemilikan rumah di atas tipe 70, yaitu sebesar Rp617 miliar (49,76%).
Sedangkan untuk pembelian atau perbaikan rumah yang termasuk tipe sederhana,
sangat sederhana maupun kapling siap bangun (di bawah tipe 70) tercatat sebesar
Rp585 miliar (47,24%) dan pemilikan rumah dan toko (ruko) atau rumah dan
kantor (rukan) hanya sebesar Rp37 miliar (3,00%). Peningkatan penyaluran Kredit
Properti kepada Konsumen sebesar 29,75% menunjukkan bahwa trauma
masyarakat untuk tinggal DIY karena gempa, mulai berangsur menghilang.
Kualitas Kredit Properti Bank Umum pada tahun 2007 menunjukkan
perbaikan, dimana rasio NPLs total Kredit Properti yang pada tahun 2006 tercatat
Miliar Rp
Posisi Pangsa1 Ptumb1 Posisi Pangsa1 Ptumb1
A 72 122 178 100,00 45,97 80 100,00 -54,93 1 Modal Kerja 49 53 59 33,11 11,48 69 85,61 16,54 2 Investasi 24 69 119 66,89 72,37 12 14,39 -90,31 B 453 725 955 100,00 31,73 1.239 100,00 29,75 1 Kredit Rumah & Apartemen s.d Tipe 70 152 266 442 46,30 66,18 585 47,24 32,40 2 Kredit Rumah & Apartemen > Tipe 70 295 443 495 51,80 11,54 617 49,76 24,64 3 Kredit Ruko & Rukan 6 15 18 1,91 17,97 37 3,00 104,17 C Total Kredit Properti 525 847 1.133 17,12 33,78 1.319 16,51 16,45 D Total Kredit 4.438 5.852 6.616 100,00 13,07 7.989 100,00 20,74 E1 Kredit Properti kepada Pengembang 1 2 17 100,00 978,93 12 100,00 -29,68
a. Modal Kerja 1 1 6 34,10 368,71 3 24,34 -49,81 b. Investasi - 0 11 65,90 - 9 75,66 -19,26
2 Kredit Properti kepada Konsumen 4 6 51 100,00 690,49 28 100,00 -44,44 a. Kredit Rumah & Apartemen s.d Tipe 70 1 2 23 44,59 1.152,97 13 46,23 -42,40 b. Kredit Rumah & Apartemen > Tipe 70 2 5 27 53,69 490,50 14 49,75 -48,51 c. Kredit Ruko & Rukan - - 1 1,72 - 1 4,02 -
3 Total Kredit Properti 5 8 68 27,61 748,28 40 10,80 -40,68 4 Total Kredit 62 155 246 100,00 58,70 373 100,00 51,72 F1 Kredit Properti kepada Pengembang 1,85 1,32 9,73 15,17
a. Modal Kerja 2,76 2,38 10,02 4,31 b. Investasi - 0,50 9,58 79,81
2 Kredit Properti kepada Konsumen 0,83 0,88 5,30 2,27 a. Kredit Rumah & Apartemen s.d Tipe 70 0,93 0,68 5,10 2,22 b. Kredit Rumah & Apartemen > Tipe 70 0,79 1,04 5,49 2,27 c. Kredit Ruko & Rukan - - 4,79 3,04
3 Total Kredit Properti 0,97 0,95 5,99 3,05 4 Total Kredit 1,40 2,65 3,72 4,67
Keterangan:1) %.
Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum
200620052004
Rasio Non Performing Loans
Tabel 3.10Kredit Properti Bank Umum
No Uraian
Non Performing Loans
Kredit Properti kepada Konsumen
Kredit Properti kepada Pengembang
2007
76 Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
sebesar 5,99%, pada tahun laporan turun menjadi 3,05%. Perbaikan NPLs Kredit
Properti tersebut terutama didorong oleh perbaikan NPLs Kredit Properti kepada
Konsumen yang mengalami penurunan dari 5,30% pada tahun 2006 menjadi
2,27% pada tahun 2007. Perbaikan ini dialami oleh semua komponennya, yaitu
NPLs Kredit Rumah dan Apartemen di bawah tipe 70 turun dari 5,10% menjadi
2,22%, NPLs Kredit Rumah dan Apartemen di atas tipe 70 turun dari 5,49%
menjadi 2,27% dan Kredit Ruko & Rukan turun dari 4,79% menjadi 3,04%.
Perbaikan rasio NPLs ini memberikan sinyalemen bahwa dampak gempa yang
mempengaruhi kemampuan membayar telah berangsur menghilang sehingga
NPLs Kredit Konsumen mengalami perbaikan yang berarti dan berada di dalam
batas aman sebesar 5%.
Di sisi lain, rasio NPLs Kredit Properti kepada Pengembang tercatat sebesar
15,17%, terutama didorong oleh Kredit untuk tujuan Investasi, dengan rasio NPLs
sebesar 79,81%, sebaliknya Kredit Modal Kerja hanya sebesar 4,31%.
Memburuknya kualitas Kredit kepada Pengembang dengan tujuan investasi ini
merupakan dampak gempa yang baru dirasakan akibatnya oleh pengembang.
Pasca gempa, Pengembang mengalami kesulitan cash flow karena banyaknya
pembatalan yang dilakukan oleh konsumen dan penarikan modal oleh investor
luar. Di sisi lain, pengembang juga memiliki kewajiban untuk memperbaiki rumah-
rumah yang rusak akibat gempa.
Fungsi Intermediasi, Likuiditas dan Profitabilitas
Loan to Deposit Ratio (LDR) Bank Umum pada tahun 2007 naik dari
47,57% menjadi 55,07%, namun masih lebih rendah dari LDR Bank Umum yang
secara nasional tercatat sebesar 69,20%.
Jika ditinjau dari jenis usaha bank, peningkatan LDR Bank Umum didorong
oleh peningkatan LDR Bank Umum Konvensional yang naik dari 45,73% menjadi
53,67%, sebaliknya Financing to Deposit Ratio (FDR) Bank Umum Syariah turun
dari 128,08% menjadi 104,28%. Berdasarkan wilayah, semua wilayah di DIY
mengalami peningkatan LDR, dimana peningkatan tertinggi terdapat pada
Kabupaten Kulonprogo dari 71,09% menjadi 88,04%, diikuti oleh Kabupaten
Gunungkidul dari 89,67% menjadi 105,36%, Kabupaten Sleman dari 43,31%
menjadi 58,01%, Kabupaten Bantul dari 62,18% menjadi 73,83% dan Kota
Yogyakarta dari 45,03% menjadi 49,25%.
Likuiditas Bank Umum yang terdiri dari Kas, Giro dan Tabungan pada
bank lain pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp532 miliar atau turun sebesar 1,39%
dari tahun 2006 sebesar Rp540 miliar. Peningkatan ini terutama disebabkan posisi
77Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
Kas Bank Umum di DIY yang turun dari Rp537 miliar pada tahun 2006 menjadi
Rp530 miliar. Sedangkan Giro pada bank lain turun dari Rp3 miliar menjadi Rp2
miliar, dan Tabungan pada bank lain tercatat sebesar Rp1 miliar. Rasio Likuiditas
Bank Umum yang merupakan perbandingan antara Alat Likuid dengan Pendanaan
tercatat mengalami penurunan dari 3,84% pada tahun 2006 menjadi 3,38% pada
tahun 2007.
Profitabilitas Bank Umum pada tahun laporan naik 4,37% menjadi Rp153
miliar setelah sebelumnya berada pada posisi Rp146 miliar, sehingga rasio
perbandingan antara Laba yang diperoleh dengan Aset atau lebih dikenal dengan
rasio Return On Asset (ROA) turun dari 0,96% pada tahun 2006 menjadi 0,87%
pada tahun 2007. Sedangkan rasio Net Interest Margin (NIM), yang merupakan
perbandingan antara Pendapatan Bunga dengan Biaya Bunga mengalami
peningkatan dari 141,93% pada periode sebelumnya menjadi 263,17% pada
tahun 2007.
Sementara itu, efisiensi Bank Umum DIY yang tercermin dari rasio antara
Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan Operasional (BOPO)
mengalami penurunan dari 117,80% pada tahun 2006 menjadi 86,58% pada
tahun 2007.
Miliar Rp
Posisi Pangsa1 Ptumb1 Posisi Pangsa1 Ptumb1
A Aset 10.944 12.382 15.279 100,00 23,40 17.505 100,00 14,57 B Pendanaan 10.293 11.546 14.056 100,00 21,74 15.761 100,00 12,13 1 Dana Pihak Ketiga 10.215 11.464 13.908 98,94 21,32 15.382 97,60 10,60 2 Kewajiban kepada bank lain 51 31 77 0,55 145,92 170 1,08 120,37 3 Pinjaman yang Diterima & Setoran Jaminan 21 42 65 0,46 54,58 205 1,30 214,06 4 Surat Berharga yang Diterbitkan 6 8 6 0,04 -30,08 3 0,02 -41,65 C Aktiva Produktif 5.103 6.500 7.948 100,00 22,29 9.638 100,00 21,25 1 Kredit yang Diberikan 4.438 5.852 6.616 83,24 13,07 7.989 82,89 20,74 2 Penempatan pada Bank Indonesia (SBI) 482 446 1.141 14,36 155,73 1.405 14,58 23,11 3 Surat Berharga dan Tagihan Lainnya 26 34 28 0,35 -18,86 36 0,38 31,29 4 Penempatan pada bank lain 158 168 163 2,05 -2,76 208 2,16 27,42 5 Bank Garansi - - - 0,00 - - 0,00 - D Alat Likuid 311 389 540 100,00 38,70 532 100,00 -1,39 1 Kas 309 386 537 99,49 39,05 530 99,57 -1,32 2 Giro pada bank lain 2 3 3 0,51 -6,87 2 0,43 -16,39 3 Tabungan pada bank lain - - - 0,00 - 1 0,20 - E Laba / Rugi 163 159 146 100,00 -7,77 153 100,00 4,37 1 Pendapatan Operasional 886 1.092 1.259 15,27 762 -39,50 2 Pendapatan Bunga 753 947 1.102 16,43 710 -35,62 3 Beban Operasional 917 1.088 1.483 36,25 659 -55,54 4 Beban Bunga 435 541 777 43,45 270 -65,28 F Aktiva Produktif/Total Aset (%) = (C)/(A) 46,63 52,50 52,02 55,06 G Rasio Likuiditas (%) = (D)/(B) 3,02 3,37 3,84 3,38 H Rasio Rentabilitas (%) = (E)/(A) 1,49 1,28 0,96 0,87 I Rasio Net Interest Margin (%) = (E.2)/(E.4) 173,12 174,87 141,93 263,17 J Rasio BOPO (%) = (E.1)/(E.3) 103,51 99,67 117,80 86,58 K LDR (%)1 Jenis Usaha Bank 43,45 51,04 47,57 55,07
a. Konvensional 42,47 49,51 45,73 53,67 b. Syariah 96,33 125,12 128,08 104,28
2 Wilayah 43,45 51,04 47,57 55,07 a. Bantul 81,54 90,45 62,18 73,83 b. Gunungkidul 96,33 105,58 89,67 105,36 c. Kulonprogo 71,81 83,28 71,09 88,04 d. Sleman 41,69 47,87 43,31 58,01 e. Yogyakarta 39,10 46,82 45,03 49,25
Keterangan:1) %.
Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum
Tabel 3.11Rasio Keuangan Bank Umum
No Uraian2006
2004 20052007
Grafik 3.9Net Interest Margin
173,12 174,87
141,93
263,17
0
200
400
600
800
1.000
1.200
2004 2005 2006 2007
Miliar Rp
0
50
100
150
200
250
300%
Net Interest Income Net Interest Expense Rasio NIM
78 Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
Peningkatan Kompetensi Karyawan
Komitmen Bank Umum dalam meningkatkan kompetensi karyawan masih
menunjukkan peningkatan. Hal ini tercermin dari pertumbuhan Biaya Pendidikan
dan Pelatihan bagi karyawan Bank Umum yang mencapai 4.434 orang tercatat
sebesar Rp10 miliar, naik 53,52% dari tahun 2006 yang hanya tercatat sebesar
Rp6 miliar. Dengan demikian, rasio Biaya Pendidikan dan Pelatihan terhadap total
Biaya Tenaga Kerja naik dari 2,18% menjadi 5,92%. Biaya Tenaga Kerja yang
terdiri dari gaji, honorarium dan biaya tenaga kerja lainnya pada tahun 2007
tercatat sebesar Rp162 miliar.
Jika dilihat dari rata-rata biaya Tenaga Kerja per Karyawan, pada tahun
2007 terjadi penurunan sebesar -44,71% dari Rp66 juta per orang per tahun menjadi
Rp36 juta per orang per tahun. Di sisi lain, angka pertumbuhan biaya Pendidikan
dan Pelatihan per Karyawan justru mengalami pertumbuhan sebesar 50,23%,
dari Rp1,4 juta per orang per tahun pada tahun 2006 menjadi Rp2,2 juta per orang
per tahun pada tahun 2007.
Komitmen untuk peningkatan kompetensi karyawan ini hendaknya
senantiasa menjadi prioritas perbankan demi terciptanya sumber daya manusia
yang handal dan pada gilirannya dapat ikut serta menciptakan sistem perbankan
yang sehat.
BANK PERKREDITAN RAKYAT
Kelembagaan
Sampai dengan posisi akhir tahun 2007, jumlah Bank Perkredita Rakyat
(BPR) yang beroperasi di wilayah DIY secara nominal berkurang sebanyak 4 BPR
dari 64 BPR pada tahun 2006 menjadi 60 BPR pada tahun laporan. Perubahan
tersebut sebagai akibat adanya pembukaan BPR baru, proses merger dan proses
konsolidasi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Posisi Ptumb1 Posisi Ptumb1
1 Jumlah Karyawan (orang) 3.882 4.082 4.339 6,30 4.434 2,19
2 Biaya Tenaga Kerja (Miliar Rp) 207 239 286 19,64 162 -43,50
3 Biaya Pendidikan dan Pelatihan (Miliar Rp) 3 6 6 4,67 10 53,52
4 Biaya Tenaga Kerja per Karyawan (Juta Rp) 53,302 58,622 65,982 12,56 0,036 -99,94
5 Biaya Pendidikan per Karyawan (Juta Rp) 0,869 1,459 1,437 -1,53 0,002 -99,85
6 Rasio Biaya Pendidikan thd Biaya Tenaga Kerja (%) 1,63 2,49 2,18 5,92 Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum
Tabel 3.12Jumlah dan Biaya Tenaga Kerja Bank Umum
No Uraian2006
2004 20052007
Grafik 3.10Biaya Pendidikan dan Latihan Karyawan Bank Umum
1,60
2,492,18
5,92
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
2004 2005 2006 2007
Juta Rp
0
1
2
3
4
5
6
7%
Biaya Diklat per Karyawan Rasio Biaya Diklat terhadap Biaya Tenaga Kerja
79Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
Dilihat dari penyebaran jaringan kantor BPR, sampai saat ini masih
terkonsentrasi di Kabupaten Sleman sebesar 53,55% dari total jaringan kantor
BPR, kemudian diikuti oleh Kabupaten Bantul sebesar 27,10%. Sedangkan Kota
Yogyakarta, Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul masing-masing
sebesar 9,03%, 6,45% dan 3,87%.
Aset
Sampai dengan akhir tahun 2007, Aset BPR DIY tercatat sebesar Rp1.454
miliar, tumbuh 28,94% dari tahun sebelumnya sebesar Rp1.128 miliar. Angka
pertumbuhan Aset BPR di DIY ini melampaui angka pertumbuhan Aset BPR secara
nasional yaitu sebesar 20,38%.
Peningkatan Aset BPR ini didorong oleh pertumbuhan Aset BPR
Konvensional sebesar 28,30% dari Rp1.107 miliar menjadi Rp1.420 miliar dan
pertumbuhan Aset BPR Syariah sebesar 62,89% dari Rp21 miliar menjadi Rp34
miliar, sebagai akibat dari prmbukaan 3 BPR Syariah baru. Berdasarkan wilayah,
pertumbuhan tertinggi dialami oleh BPR yang berkedudukan di Kota Yogyakarta
yaitu sebesar 53,91% menjadi Rp164 miliar, diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo
sebesar 44,39% menjadi Rp167 miliar. Sedangkan Kabupaten lainnya yaitu
Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman tumbuh
masing-masing sebesar 33,07%, 26,57% dan 22,22% menjadi sebesar Rp65 miliar,
Rp319 miliar dan Rp739 miliar.
Penghimpunan Dana
Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) BPR di DIY pada tahun 2007
mencapai sebesar Rp1.067 miliar, naik 30,00% jika dibandingkan dengan tahun
2006 sebesar Rp821 miliar. Peningkatan DPK BPR ini merupakan shifting dari DPK
Bank Umum di DIY, karena suku bunga simpanan yang ditawarkan oleh BPR lebih
tinggi jika dibandingkan dengan suku bunga Bank Umum.
kriteria lama tunggakan pokok/bunga untuk kategori
kurang lancar dan macet diubah dari 5 hari menjadi
30 hari.
Menetapkan bahwa kredit usaha kecil dan
menengah dapat ditetapkan kualitasnya hanya
berdasarkan ketepatan pembayaran pokok/bunga
dengan batasan plafond kredit yang dikaitkan
dengan penilaian atas Risk Control System kredit
dan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan masing-
masing bank. Dalam ketentuan sebelumnya kredit
usaha menengah belum dapat ditetapkan
kualitasnya hanya berdasarkan ketepatan
pembayaran pokok/bunga.
Adanya penambahan item agunan yang
dapat digunakan sebagai pengurang pembentukan
PPAP: dari semula 4 item menjadi 6 item dengan
tambahan Resi Gudang dan mesin.
Selanjutnya SE 8/3/DPNP yang memberikan
bobot ATMR terhadap kredit KUK sebesar 85%, KPR
40% dan pegawai/pensiunan 50% apabila syarat
yang ditetapkan dipenuhi. Sebelumnya kredit
tersebut dibobot 100%, kecuali apabila dijamin
pemerintah/BUMN maka dibobot 0%.
87Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Resi Gudang
Ada satu item dalam ketentuan di atas yang
memberi angin segar bagi sektor pertanian. Dengan
diperhitungkannya Resi Gudang sebagai pengurang
pembentukan PPAP hingga sebesar 70%,
diharapkan akan mendorong industri perbankan
untuk membiayai sektor Pertanian, karena bank bisa
memanfaatkan Resi Gudang sebagai menjadi
agunan kredit.
Dasar hukum keberadaan Resi Gudang juga
sangat kuat, diantaranya UU No.9 Tahun 2006 :
Sistem Resi Gudang dan PP No.36 tgl 22 Juni 2007
terkait dengan barang-barang yang dapat disimpan
di gudang. Sehingga, sangat optimis implementasi
PBI No.9/6/2007 dapat terlaksana, tinggal menunggu
kesiapan SDM perbankan dalam memahami
karakteristik usaha pertanian.
Secara ringkas, Resi Gudang merupakan
tanda bukti yang dikeluarkan perusahaan
pergudangan. Resi Gudang ini bisa dijadikan agunan
untuk memperoleh kredit dengan jangka waktu
palin lama 1 tahun (tergantung komoditinya). Cara
memperolehnya :
• Setelah panen, petani bisa menyerahkan hasil
panennya ke perusahaan pergudangan yang
berhak mengeluarkan Resi Gudang. Petani nanti
memperoleh Resi Gudang sebagai tanda bukti.
• Resi Gudang ini mencantumkan kuantitas dan
kualitas barang yang disimpan.
• Ini bisa diajukan ke bank sebagai agunan.
• Bank bisa memberikan kredit atau pembiayaan
sampai 70% dari nilai agunan, tergantung jenis
dan kualitas barangnya.
Pola pembiayaan yang mirip dengan
mekanisme pembiayaan dengan agunan Resi
Gudang tersebut sebenarnya sudah banyak
dilakukan oleh beberapa bank nasional.
Pembiayaan Bank Syariah untuk Produk
Sektor Pertanian
Selain itu, masih banyak pola pembiayaan
perbankan untuk produk-produk sektor pertanian,
diantaranya adalah pembiayaan melalui perbankan
syariah.
1. Bai’ Salam (Up front financing)
Salam adalah akad jual beli muslam fiih
(barang pesanan) dengan penangguhan pengiriman
oleh muslam ilaihi (penjual) dan pelunasannya
dilakukan segera sebelum muslam fiih diterima
sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Piutang salam
harus diselesaikan dalam bentuk penyerahan barang
bukan penerimaan dalam bentuk uang tunai.
Hutang salam adalah modal usaha salam yang
diterima oleh bank sebagai penjual dari pembeli.
Harus diketahui karakteristiknya secara umum yang
meliputi jenis, spesifikasi teknis, kualitas dan
kuantitasnya.
Barang yang diterima harus sesuai dengan
karakteristik yang telah disepakati antara pembeli
dan penjual. Jika barang pesanan yang diterima
bank salah atau cacat maka penjual (supplier) harus
bertanggung jawab atas kelalaiannya. Apabila nilai
pasarnya lebih rendah daripada nilai akad maka
bank mengakui sebagai kerugian salam. Apabila
nilai pasarnya lebih tinggi daripada nilai akad maka
bank tidak mengakui sebagai keuntungan salam.
Pemesananbarangnasabahdan bayar tunai
NASABAH /PENJUAL
PEMBELI
BANK
Negosiasipesanan dengan
kriteria
Kirimdokumen
Kirim pesanan
BayarPemesanan
barangnasabahdan bayar tunai
NASABAH /PENJUAL
PEMBELI
BANK
Negosiasipesanan dengan
kriteria
Kirimdokumen
Kirim pesanan
Bayar
88 Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Bank sebagai pembeli dapat meminta jaminan
untuk menghindari risiko yang merugikan. Barang
pesanan yang disepakati antara penjual dan
pembeli harus diketahui karakterisktiknya secara
umum jenis, macam, kualitas dan kuantitasnya.
Apabila barang yang dikirim tidak sesuai
karakteristiknya maka penjual harus bertanggung
jawab.
Hutang salam merupakan kewajiban bank
yang harus diselesaikan dalam bentuk penyerahan
barang bukan pembayaran dalam bentuk uang
tunai . Spesifikasi dan harga barang harus disepakati
di awal akad dan harga barang tidak dapat berubah
selama jangka waktu akad.
Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau
penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank
bertindak sebagai penjual kemudian memesan
kepada pihak lain untuk menyediakan barang
pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut
salam paralel.
Salam paralel dapat dilakukan dengan syarat:
akad kedua antara bank dan pemasok terpisah dari
akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan
akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
2. Muzaraah
Pembiayaan ini melibatkan tiga pihak yakni
Bank, Pemilik Lahan dan Petani. Pembiayaan ini,
dana berasal dari Bank, sedangkan benih dan lahan
dari pemilik, serta benih dan ketrampilan dari petani.
3. Musaqah
Sama halnya dengan pembiayaan Muzaraah,
Pembiayaan ini juga melibatkan tiga pihak yakni
Bank, Pemilik Lahan dan Petani. Dimana dana
berasal dari Bank, sedangkan benih dan lahan dari
pemilik, serta ketrampilan dari petani.
Namun sejauh ini pembiayaan Muzaraah dan
Musaqah belum ada yang mengajukan, sehingga
aturan dari Bank Indonesia belum dikeluarkan.
Seandainya ada petani yang menginginkan
pembiayaan seperti ini untuk sementara bisa dibiayai
melalui mekanisme pembiayaan Mudharabah atau
Musyarakah.
4. Mudharabah Mutlaqah (Bagi hasil)
Pembiayaan mudharabah adalah akad
kerjasama usaha antara bank sebagai pemilik dana
(shahibul maal) dan nasabah sebagai pengelola
dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha
dengan nisbah pembagian hasil (keuntungan atau
kerugian) menurut kesepakatan dimuka.
Pembiayaan mudharabah dapat diberikan dalam
bentuk kas dan atau non-kas yang dilakukan secara
bertahap atau sekaligus. Pengembalian pembiayaan
mudharabah dapat dilakukan bersamaan dengan
distribusi bagi hasil atau pada saat diakhiri-nya akad
mudharabah.
Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan
dengan menggunakan dua metode, yaitu bagi laba
(profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue
sharing). Bagi laba dihitung dari pendapatan setelah
dikurangi beban yang berkaitan dengan
pengelolaan dana mudharabah. Sedangkan bagi
pendapatan, dihitung dari total pendapatan
pengelolaan mudharabah.
Dalam hal terjadi kerugian dalam usaha
pengelola dana (mudharib),bank sebagai pemilik
dana (shahibul maal) akan menanggung semua
kerugian sepanjang kerugian tersebut bukan
disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pengelola
dana (mudharib).
Bank (Modal 100%)
Nasabah(Ketrampilan/ Keahli
an)
Perjanjian/ Akad bagi
hasil
Proyek/ Usaha
PembagianKeuntungan
MODAL
Nisbahx%
Nisbahy%
Bank (Modal 100%)
Nasabah(Ketrampilan/ Keahli
an)
Perjanjian/ Akad bagi
hasil
Proyek/ Usaha
PembagianKeuntungan
MODAL
Nisbahx%
Nisbahy%
89Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Kelalaian atau kesalahan pengelola dana,
antara lain, ditunjukkan oleh tidak dipenuhinya
persyaratan yang ditentukan di dalam akad, tidak
terdapat kondisi force majeur dan/atau yang telah
ditentukan di dalam akad atau hasil putusan dari
badan arbitrase atau pengadilan.
Pada prinsipnya pembiayaan mudharabah
tidak mensyaratkan jaminan, kecuali dalam hal
pengelola dana tidak memenuhi syarat yang
ditetapkan. Pencairan jaminan dapat dilakukan
apabila pengelola terbukti melakukan pelanggaran
kesepakatan.
Persyaratan Mudharabah: modal berupa uang
tunai atau barang yang dapat dinilai dengan uang.
Jumlah modal harus jelas, nyata dan bisa dilihat,
harus diserahkan kepada pelaksana dan keuntungan
harus jelas pembagian keuntungannya dan
sebaiknya berbentuk nisbah.
5. Mudharabah Muqayyadah (Bagi hasil)
Pembiayaan mudharabah (muqayyadah)
adalah akad kerjasama usaha antara nasabah
pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah
pengelola dana (mudharib) dimana pihak bank
bertindak sebagai perantara pembiayaan. Pemilik
dana menetapkan pelaksanaan kegiatan dengan
syarat-sayarat tertentu berupa jenis usaha, tempat,
waktu maupun tatacara pelaksanaannya. Nisbah
pembagian hasil (keuntungan atau kerugian)
menurut kesepakatan dimuka.
Syarat-syarat lainnya mengacu kepada
Pembiayaan mudharabah. Bank dalam kegiatan ini
bertindak sebatas perantara/penghubung antar
pemilik dana dan pengelola. Oleh sebab itu
memiliki tanggung jawab yang terbatas. Apabila
bank sebagai chanelling agent maka dibukukan
dalam laporan perubahan dana investasi terikat.
Apabila sebagai executing agent maka dibukukan
sebesar porsi risiko yang ditangung bank. Sebagai
agen/perantara pembiayaan bank dapat meminta
fee sebagai imbalan.
6. Musyarakah (Perkongsian)
Musyarakah adalah akad kerjasama yang
terjadi diantara para pemilik modal (mitra
musyarakah) untuk menggabungkan modal dan
melakukan usaha secara bersama dalam suatu
kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung secara proporsional sesuai dengan
kontribusi modal.
Musyarakah dapat berupa musyarakah
permanen maupun musyarakah menurun.
Musyarakah permanen adalah musyarakah yang
jumlah modalnya tetap sampai akhir masa
musyarakah. Sedangkan di dalam musyarakah
menurun, jumlah modalnya secara berangsur
menurun karena dibeli oleh mitra musyarakah.
Nasabah(Mudharib)
Bank Perantara
Nasabah(Shahibul
Maal)
Proyek/ Usaha
PembagianKeuntungan
Nisbahx%
Nisbahy%
Perjanjian/ Akad bagi
hasilNasabah
(Mudharib)
Bank Perantara
Nasabah(Shahibul
Maal)
Proyek/ Usaha
PembagianKeuntungan
Nisbahx%
Nisbahy%
Perjanjian/ Akad bagi
hasil
Keuntungan
Bagi hasil keuntungan sesuaikesepakatan nisbah)/ kerugiansesuai porsi kontribusi modal
NASABAH parsial: asset
valueBANK
parsial: asset value
Proyek/ Usaha
Keuntungan
Bagi hasil keuntungan sesuaikesepakatan nisbah)/ kerugiansesuai porsi kontribusi modal
NASABAH parsial: asset
valueBANK
parsial: asset value
Proyek/ Usaha
90 Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Keuntungan atau pendapatan musyarakah
dibagi di antara mitra musyarakah berdasarkan
kesepakatan awal sedangkan kerugian musyarakah
dibagi diantara mitra musyarakah secara
proporsional berdasarkan modal yang disetorkan.
Pembiayaan musyarakah dapat diberikan dalam
bentuk kas, setara kas, atau aktiva non-kas,
termasuk aktiva tidak berwujud seperti lisensi dan
hak paten yang sesuai dengan syariah.
Dalam pembiayaan musyarakah setiap mitra
tidak dapat menjamin modal mitra lainnya, maka
setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk
menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan
yang di sengaja. Kelalaian atau kesalahan pengelola
dana, antara lain, ditunjukkan oleh tidak
dipenuhinya persyaratan sesuai akad; tidak terdapat
kondisi force majeur dan/atau yang telah ditentukan
di dalam akad; atau hasil putusan dari badan
arbitrase atau pengadilan
91Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Peristiwa bencana alam yang melanda
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan
daerah sekitarnya di Provinsi Jawa Tengah telah
memberikan dampak yang mengganggu
perekonomian Indonesia, khususnya di daerah yang
terkena bencana dimaksud. Nasabah debitur yang
terkena dampak bencana tersebut diperkirakan
akan mengalami kesulitan dalam melunasi
kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit.
Upaya antisipasi yang telah dilakukan oleh
Bank Indonesia adalah memberikan bantuan
kemanusian baik dalam bentuk Charity (tahap
tanggap darurat) maupun Community Development
(pengembangan komunitas). Disamping itu, dari sisi
kebijakan Bank Indonesia telah mengeluarkan
kebijakan perlakuan khusus terhadap kredit Bank
berupa kelonggaran dalam penetapan kualitas
penyediaan dana dan kredit, serta penyediaan dana
dan pemberian kredit baru kepada debitur yang
terkena dampak bencana alam dimaksud melalui
dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI)
relending yaitu dana angsuran KLBI yang belum
jatuh tempo dan Eks Relending.
Terkait dengan Charity Bank Indonesia
Yogyakarta sampai dengan 31 Maret 2007 telah
menyalurkan dana sebesar Rp7.195.940.325,00.
Dana tersebut bersumber dari partisipasi Pegawai
dan Anggota Dewan Gubernur. Sementara itu
terkait dengan Community Development, Bank
Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Daerah
(PEMDA) Kabupaten Bantul, Ikatan Sarjana
EKonomi (ISEI) DIY dan salah satu NGO
mengembangan Program Desa Kita di Dusun
Manding, Desa Sabdodadi, Kec. Bantul, Kabupaten
Bantul, yang dilaksanakan kurang lebih 2 tahun,
yaitu mencakup Pembangunan Infrastruktur Fisik,
Boks:Boks:Boks:Boks:Boks:Refleksi Satu Refleksi Satu Refleksi Satu Refleksi Satu Refleksi Satu TTTTTahun Restrukturisasi Kredit Pahun Restrukturisasi Kredit Pahun Restrukturisasi Kredit Pahun Restrukturisasi Kredit Pahun Restrukturisasi Kredit Paska Gempaaska Gempaaska Gempaaska Gempaaska Gempa
Peningkatan sumber daya dan kualitas hidup
manusia dan Penyediaan sarana dan prasarana
pendukung.
Selain itu, sebagai perwujudan rasa
kepedulian dan turut membantu pemulihan
kehidupan sosial dan ekonomi di daerah yang
terkena bencana gempa, Bank Indonesia dan
Kementrian Negara Perumahan Rakyat telah
menandatangani Nota Kesepahaman tentang Kredit
Pembangunan/Perbaikan Rumah Sederhana Secara
Swadaya untuk Daerah Gempa di Provinsi DIY dan
Jawa Tengah pada tanggal 23 Agustus 2006,
dengan jumlah dana yang siap disalurkan adalah
sebesar Rp239 miliar bersumber dari dana KLBI
relending. Penyaluran dana KLBI relending untuk
korban gempa di DIY sampai dengan 4 Juni 2007
sebanyak 1.310 debitur dengan nilai sebesar
Rp36,76 miliar.
Selanjutnya, berkaitan dengan bencana alam
yang terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Jawa Tengah, Bank Indonesia juga memberikan
insentif berupa kebijakan di bidang perbankan.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 8/10/PBI/2006 tanggal 7 Juni 2006
tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank
Pasca Bencana Alam di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya di Provinsi Jawa
Tengah.
Masyarakat perbankan DIY juga peduli
terhadap dampak gempa di Provinsi DIY dengan
melakukan berbagai upaya untuk meringankan
beban masyarakat antara lain dengan cara
melaksanakan tanggung jawab social (Corporate
Social Responsibility) dengan aktivitas CSR antara
lain ikut membantu pembangunan lebih dari 15
gedung sekolah, lebih dari 200 ruangan kelas,
92 Bab 3 - Perkembangan Perbankan
beberapa unit rumah, bantuan program pendidikan
berupa pemberian computer, beasiswa maupun
pelatihan bagi guru, pembangunan beberapa rumah
peribadatan, renovasi pasar maupun bantuan
pemberian dana dan bentuk natura lainnya. Upaya
yang telah dilakukan oleh perbankan tentu saja
bukan merupakan penyelesaian masalah secara
tuntas karena disadari bantuan tersebut sangatlah
kecil apabila dibandingkan dengan kerugian dan
penderitaan yang dirasakan masyarakat DIY
terutama di wilayah bencana. Namun demikian
perbankan bersama-sama dengan seluruh elemen
masyarakat lainnya sangat peduli dan
berkepentingan atas pulihnya kondisi perekonomian
masyarakat DIY.
Perkembangan Restrukturisasi Kredit/
Pembiayaan Paska Gempa
Untuk mempercepat pemulihan kondisi
perekonomian didaerah tersebut, Bank Indonesia
menganjurkan perbankan DIY untuk
memberlakukan debitur korban gempa sesuai PBI
No.8/10/PBI/2006. Peraturan ini memungkinkan
bank (Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Perbankan) dapat melakukan hal-hal sebagai
berikut:
a. Penilaian kualitas kredit dan penyediaan dana
lain untuk Bank Umum bagi nasabah dengan
lokasi proyek dan lokasi usaha didaerah tersebut
sampai dengan Rp 5 milyar hanya dinilai
berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/
atau bunga. Hal ini berbeda dengan ketentuan
normal yang mengharuskan penentuan kualitas
kredit dan penyediaan dana lain dengan jumlah
diatas Rp500 juta dinilai berdasarkan prospek
usaha, kondisi keuangan, dan ketepatan
pembayaran (3 pilar).
b. Restrukturisasi kredit bagi Bank Umum dan
BPR yang dilakukan untuk debitur yang terkena
dampak bencana alam tersebut langsung
dikategorikan dengan kualitas Lancar selama
3 tahun sejak ketentuan ini berlaku. Dalam
ketentuan yang berlaku untuk kondisi normal,
kualitas kredit yang direstrukturisasi harus
digolongkan Kurang Lancar dan kemudian dapat
menjadi kualitas Lancar apabila tidak terdapat
tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga
dari debitur setelah 3 kali periode pembayaran
terakhir untuk Bank Umum atau setelah periode
6 bulan untuk BPR. Kredit yang dapat
direstrukturisasi berdasarkan ketentuan ini tidak
dibatasi jumlah nominalnya.
c. Bank Umum dan BPR diperkenankan
memberikan kredit baru kepada debitur di
daerah tersebut meskipun kredit awalnya telah
bermasalah dengan adanya bencana alam
tersebut.
d. Kebijakan di atas berlaku juga bagi Bank
Umum konvensional yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah dan
BPR berdasarkan Prinsip Syariah untuk
penyediaan dana yang mencakup pembiayaan
(mudharabah atau musyarakah), piutang
(murabahah, salam, atau istishna), sewa (ijarah),
pinjaman (qardh) dan penyediaan dana lain.
e. Kebijakan tersebut diatas didasarkan kepada
pendekatan pemulihan ekonomi di daerah
bencana alam, dengan demikian debitur yang
terkena bencana maupun yang tidak terkena
bencana tetap dapat menikmati insentif tersebut.
Adapun pertimbangan bagi debitur yang tidak
terkena bencana untuk diberikan insentif adalah
karena debitur yang bersangkutan juga
mengalami kesulitan usaha karena adanya
kesulitan yang dialami produsen dan konsumen.
Namun pelaksanaan dari peraturan tersebut
terdapat beberapa kendala. Dari sisi perbankan,
kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
93Bab 3 - Perkembangan Perbankan
ini tidak diikuti oleh ketentuan yang terkait dengan
perlakuan pajak untuk kredit/pembiayaan debitur
korban gempa. Hal ini penting bagi perbankan,
karena debitur yang telah direstrukturisasi tersebut
kolektibilitasnya menjadi lancar selama 3 tahun dan
bank mencatat adanya pendapatan bunga yang
masuk (meskipun pada kenyataannya tidak ada
aliran dana karena kondisinya macet), oleh karena
pendapatan tersebut diakhir tahun otomatis akan
dikenai pajak.
Sementara itu, disisi UMKM, sebagaimana
yang diketahui banyak UMKM yang mengeluhkan
bahwa perbankan belum sepenuhnya
melaksanakan PBI tersebut dan bahkan beberapa
bank telah melakukan penyitaan jaminan.
Meskipun pengertian perbankan oleh UMKM tidak
hanya mencakup perbankan sesuai ketentuan
berlaku (Bank Umum & BPR) tapi juga non bank.
Kendala yang dihadapi UMKM ini ditindaklanjuti
oleh Bank Indonesia Yogyakarta melakukan
penelitian terkait sejauh mana pelaksanaan atas
peraturan dimaksud di lapangan termasuk kendala
yang dihadapi oleh masing-masing bank di wilayah
kerja Bank Indonesia Yogyakarta. Penelitian ini telah
dilakukan untuk data sampai dengan Desember
2006 dan sampai ini dilanjutkan kembali
penelitiannya sampai Juni 2007. Adapun hasil
penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
Debitur perbankan yang menjadi korban
gempa di DIY mencapai 31.447 debitur (60,35%
debitur Bank Umum dan 39,65% BPR) dan yang
telah direstrukturisasi sebanyak 16.340 debitur
(72,73% debitur Bank Umum dan 27,27% debitur
BPR). Hasil dari restrukturisasi tersebut terdapat
74,82% telah menjadi performing, 9,26% masih
non performing dan sisanya telah lunas. Sedangkan
bentuk restrukturisasi yang paling banyak dipilih
adalah rescheduling 80,60%, kemudian diikuti oleh
restructuring 11,64% dan sisanya reconditioning.
Bentuk dari penyelamatan kredit dapat
berupa: (a) Penjadualan kembali (rescheduling),
yaitu perubahan syarat kredit yang hanya
menyangkut jadual pembayaran dan atau jangka
waktunya. (b) Persyaratan kembali (reconditioning),
yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat
kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadual
pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan
lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan
maksimum saldo kredit. (c) Penataan kembali
(restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit
yang menyangkut (penambahan dana bank dan/
atau ; konversi seluruh atau sebagian tunggakan
bunga menjadi pokok kredit baru, dan/ atau;
konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi
penyertaan dalam perusahaan, yang dapat disertai
dengan penjadualan kembali dan/atau persyaratan
kembali.
18,977 11,884
12,470
4,456
Bank Umum BPR
Debitur Korban Gempa Yang Telah Direstrukturisasi
Korban Gempa Telah Dilakukan Restrukturisasi
Kondisi Debitur Setelah Direstrukturisasi
Performing Loan, 74.82%
Lunas, 15.93%
Non Performing Loan, 9.26%
94 Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Dengan demikian masih terdapat 15.107
debutur yang belum diputuskan untuk
direstrukturisasi. Dalam action plan perbankan
dalam tahun ini terdapat 3.020 debitur (19,27%
untuk debitur Bank Umum dan 80,73% debitur BPR)
yang direncanakan akan direstrukturisasi tahun
2007. Sedangkan yang telah diidentifikasi untuk
tidak direstrukturisasi dalam tahun ini terdapat 3.577
debitur (15,63% debitur Bank Umum dan 84,37%
debitur BPR). Alasan utama tidak akan
direstrukturisasi diantaranya karena terkait dengan
ketidakinginan debitur untuk direstrukturisasi
19,88%, terkait dengan agunan dan kondisi usaha
yang tidak mungkin direstrukturisasi 15,28%, terkait
dengan karakter yang kurang bagus 9,70%,
kolektibilitas debitur non performing sebelum gempa
terjadi 3,29%, hapus buku 1,11%, debitur
meninggal dunia 0,25% dan sisanya 50,49%
dengan alasan lain-lain.
Alasan Tidak Direstrukturisasi
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Agunan &kondisiUsaha
Karakter Tidak pingindirestruk
Bermasalahsebelumgempa
Hapus Buku Meninggaldunia
Lain-lain
95Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Boks:Boks:Boks:Boks:Boks:SurvSurvSurvSurvSurvei Pei Pei Pei Pei Persepsi Masyersepsi Masyersepsi Masyersepsi Masyersepsi Masyarararararakat Non Muslim terhadapakat Non Muslim terhadapakat Non Muslim terhadapakat Non Muslim terhadapakat Non Muslim terhadapPPPPPerbankan Syerbankan Syerbankan Syerbankan Syerbankan Syariah di DIYariah di DIYariah di DIYariah di DIYariah di DIY
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia
dalam satu dekade terakhir ini menunjukkan
kecenderungan yang melambat, sehingga target
pencapaian porsi aset terhadap perbankan nasional
belum tercapai. Hingga Juni 2007 total aset
perbankan syariah di Indonesia mencapai Rp 29,2
trilyun atau sekitar 1,65% dari aset perbankan
nasional (Investor, Oktober 2007). Fenomena
tersebut jika dikaitkan dengan tingginya penduduk
Muslim di Indonesia menjadi sangat ironis. Jumlah
penduduk Muslim di negeri ini hingga Juli 2007
diperkirakan mencapai 200 juta jiwa, dan mencapai
urutan pertama negara terbesar penduduk
Muslimnya. Di atas kertas tentu orang
memperkirakan bahwa Indonesia cukup potensial
dalam pengembangan ekonomi, keuangan, dan
perbankan Islam. Tetapi sayang peluang ini masih
sebatas potensi. Hingga kini berbagai produk syariah
(Islam) belum digarap secara maksimal, bahkan
Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara-
nagara yang potensi pasarnya di bawahnya, sebut
saja Malaysia dan Singapura.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan
suatu provinsi dengan penduduk Muslim lebih dari
90% dari sekitar 3,15 juta jiwa. Meski demikian
pencapaian pasar perbankan syariah di DIY relatif
lebih ringgi dibandingkan angka rata-rata nasional,
dimana pangsa asetnya per Agustus 2007 mencapai
2,58%. Lambatnya perkembangan perbankan
syariah dibandingkan dengan target ini diduga
disebabkan oleh beberapa hal, seperti kurangnya
jaringan perbankan syariah, kurangnya pemahaman
masyarakat tentang perbankan syariah dan
kurangnya keunggulan yang mampu ditawarkan
oleh perbankan syariah, disamping aspek regulasi
dan peran pemerintah. Nasabah perbankan syariah
juga ditemukan sebagian besar merupakan
masyarakat mengambang (floating mass), yang
selalu memandang bank syariah sebagai bank
alternatif perbankan konvensional. Kelompok
masyarakat ini menggunakan jasa perbankan
syariah dengan pertimbangan rasional dan
membandingkan dengan bank lain termasuk
dengan bank konvensional. Di sisi lain, penggunakan
istilah-istilah berbahasa Arab dalam produk maupun
proses yang ada di perbankan hingga dewasa ini
masih melekat di banyak perbankan syariah di negeri
ini. Banyak terma-terma yang dalam perbankan
konvensional telah mengalami perubahan dalam
perbankan syariah, seperti istilah pembiayaan
digunakan untuk menggantikan istilah kredit, istilah
kafalah untuk menggantikan istilah penjaminan
atau garansi, dan sebagainya.
Dari latar belakang inilah maka Bank
Indonesia Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat
Pengkajian & Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI)
– Universitas Islam Indonesia menyelenggarakan
survei persepsi masyarakat non-muslim terhadap
perbankan syariah dan preferensi mereka terhadap
penggunaan jasa perbankan syariah di masa kini
dan mendatang.
Survei ini bertujuan (1) memperoleh informasi
awal mengenai persepsi masyarakat non-muslim di
DIY terhadap bank syariah, (2) mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi masyarakat non-muslim
dalam memilih produk perbankan, dan (3)
mengetahui preferensi masyarakat non-muslim
terhadap perbankan syariah.
96 Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Survei ini ditentukan dengan pendekatan
purposive sampling, yaitu dipilih sejumlah 100
individu dan 20 lembaga dengan distribusi sebagai
berikut: nasabah (15 responden), bukan nasabah
(85 responden), institusi pendidikan (10 responden)
dan rumah sakit, asosiasi & lembaga lainnya (10
responden).
Data yang terkumpul dianalisis dengan
metode deskriptif analisis content, yaitu dengan
mengelaborasi suatu variabel yang mengungkap
jawaban atas pertanyaan bagaimana, mengapa
dan apakah kejadian yang mengikutinya. Analisis
ditekankan pada distribusi frekuensi yang dilengkapi
dengan pendekatan grafis dan statistik deskriptif.
Diharapkan dengan analisis ini diperoleh gambaran
secara umum mengenai peta persepsi dan preferensi
responden mengenai perbankan syariah.
Kesimpulan
1. Sebagian besar masyarakat non-muslim
menganggap bahwa bunga bank tidak
dipermasalahkan (dibolehkan) oleh setiap
agama. Hanya sebagian kecil (25%) masyarakat
non-muslim menganggap bahwa bunga tidak
dilarang oleh agama.
2. Informasi tentang perbankan syariah bagi
masyarakat non-muslim merupakan hal yang
relatif baru. Rata-rata masyarakat non-muslim
mendengarkan informasi tentang bank syariah
kurang dari dua tahun. Hal ini dimungkinkan
terkait dengan kebijakan Bank Indonesia baru
memberlakukan kebijakan dibolehkannya gerai
syariah (office channeling) dua tahun lalu.
Dengan kebijakan ini maka informasi dan
layanan perbankan syariah dapat dilayani oleh
bank konvensional yang satu induk.
3. Sebagian besar masyarakat non-muslim
menganggap bank syariah berbeda dengan bank
konvensional, karena penerapan prinsip tanpa
bunga, penerapan prinsip bagi hasil dan lebih
adil dalam transaksi. Hal ini mengesankan
bahwa produk-produk perbankan syariah yang
berbasis bagi-hasil, seperti mudharabah, lebih
dikenal daripada produk lainnya.
4. Secara umum, masyarakat non-muslim memiliki
pemahaman dan kesan bahwa bahwa bank
syariah hanyalah diperuntukan bagi orang Islam.
Keinginan untuk mencoba menggunakan bank
syariah terkendala oleh persepsi sekaligus
kurangnya sosialisasi oleh perbankan syariah itu
sendiri.
5. Pertimbangan utama masyarakat non-muslim
memilih suatu bank adalah (1) kemudahan akses
(2) kemudahan prosedur (3) fasilitas (4) reputasi
dan (5) kualitas layanan. Tingginya manfaat
finansial (bunga) yang ditawarkan bank adalah
juga dipertimbangkan namun hal ini bukanlah
hal utama yang menjadi bahan pertimbangan.
6. Sebagian besar masyarakat non-muslim pernah
mendengar adanya bank syariah DIY, namun
sebagian besar mereka belum berminat untuk
menggunakan jasa bank syariah.
7. Faktor utama yang mendorong rendahnya
minat terhadap bank syariah adalah (1)
kurangnya informasi tentang bank syariah (2)
layanan bank (konvensional) selama ini cukup
memuaskan dan (3) faktor kenyamanan dengan
lingkungan sosial nasabah.
8. Kurangnya informasi mengenai bank syariah
terkait dengan dominannya peran media cetak
dan elektronik nasional di daerah (DIY) yang
kurang banyak dimanfaatkan oleh perbankan
syariah (DIY) sebagai media iklan dan sosialisasi.
Disamping itu, sosialisasi pada tingkat lokal juga
belum banyak menyentuh masyarakat non-
muslim.
9. Bagi masyarakat non-muslim yang
menggunakan bank syariah, pertimbangan
utama mereka adalah sama dengan ketika
memilih bank konvensional. (1) kemudahan
97Bab 3 - Perkembangan Perbankan
prosedur (2) kemudahan akses (3) kelengkapan
fasilitas (4) keinginan uji coba serta (5) kualitas
layanan. Faktor manfaat/laba yang ditawarkan
bank adalah penting namun bukanlah hal
utama. Pelayanan dan prosedur yang nyaman
serta akses mudah yang diberikan oleh bank
syariah mampu menjadi daya pikat bagi
masyarakat non muslim.
10. Bagi masyarakat non-muslim, aspek syariah
Islam di bank syariah belum mampu dipandang
sebagai hal yang mampu membedakan antara
bank syariah dan bank konvensional
11. Sebenarnya, layanan yang diberikan oleh bank
syariah selama ini cukup kompetitif dan
memuaskan. Namun, karena kurangnya
jaringan kantor dan akses terhadap perbankan
syariah maka hal ini memposisikan bank syariah
menjadi belum banyak diminati oleh masyarakat
non-muslim.
12. Penggunaan istilah berbahasa Arab di perbankan
syariah masih dirasa kurang nyaman dan dinilai
mengurangi minat masyarakat untuk mengenali
lebih jauh terhadap bank syariah.
Rekomendasi
1. Perlu diperbanyak forum sosialisasi dan promosi
produk dan jasa perbankan syariah. Perbankan
syariah perlu merencanakan dan meningkatkan
anggaran untuk iklan dan sosialisasi yang lebih
besar pada tahun-tahun ke depan.
2. Media cetak dan elektronik berskala nasional
perlu dimanfaatkan untuk sosialisasi. Media lokal
dapat dipergunakan untuk diperkuat sosialasi
berskala nasional
3. Perlu ada penekanan dalam sosialisasi bahwa
perbankan syariah tidak hanya melayani orang
Islam, namun masyarakat semua lapisan.
Segmentasi perbankan syariah bukan hanya
orang Islam, namun siapa-pun yang cocok
terhadap prinsip dan mekanisme keuangan
syariah yang ada di perbankan syariah.
Sosialisasi terhadap prinsip dan mekanisme inilah
yang diperlukan dilakukan secara masif dan
universal.
4. Industri perbankan syariah pelu meningkatkan
akses dan jariangannya, baik melalui
penambahan jaringan kantor maupun melalui
pembukaan gerai syariah (office channeling).
5. Bahasa komunikasi perbankan syariah perlu
dikemas secara dengan mengakomodir aspek
budaya lokal, meminimisir eksklusifitas.
Penggunaan istilah-istilah berbahasa Arab perlu
lagi dipertimbangkan, tanpa menghilangkan
esensi prinsip kesyariahaan yang diterapkan.
6. Kepatuhan syariah di perbankan tidak selalu
harus diwujudkan dalam suatu hal yang visual,
seperti istilah atau penampilan, namun perlu
diwujudkan dalam bentuk produk, mekanisme
dan layanan yang diberikan ke nasabah.
98 Bab 3 - Perkembangan Perbankan
Boks:Boks:Boks:Boks:Boks:SurvSurvSurvSurvSurvei Identifikasi Sumber Pei Identifikasi Sumber Pei Identifikasi Sumber Pei Identifikasi Sumber Pei Identifikasi Sumber Pembiaembiaembiaembiaembiayyyyyaan aan aan aan aan AlternatifAlternatifAlternatifAlternatifAlternatifNon BankNon BankNon BankNon BankNon Bank
Peranan perbankan sangat diperlukan untuk
meningkatkan volume usaha sektor riil yang
selanjutnya dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Perbankan adalah salah satu sektor
kunci yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi,
yaitu menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan
dana kepada pihak yang membutuhkan dana.
Fungsi intermediasi adalah salah satu fungsi
yang penting dalam perbankan, diindikasikan
dengan Loan to Deposits Ratio (LDR), merupakan
perbandingan antara jumlah kredit yang diberikan
terhadap jumlah dana pihak ketiga yang dihimpun
dari masyarakat. Asumsinya jika LDR tinggi, berarti
banyak kredit yang terserap di masyarakat yang
selanjutnya akan meningkatkan perkembangan
sektor riil.
Namun LDR Perbankan di DIY masih berkisar
pada angka 55%, berada di bawah target nasional
sebesar 60%. Hal ini diduga akan mempengaruhi
volume usaha sektor riil yang selanjutnya dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi dan akan
menurunkan kesejahteraan masyarakat. Namun
dalam kenyataannya, pertumbuhan sektor riil di DIY
tetap menunjukkan angka + 8%, yang
menunjukkan kondisi asimetris. Ditengarai ada
peran yang cukup signifikan dari sumber
pembiayaan alternatif selain bank. Temuan ini
ditunjukkan pula oleh survei Bank Indonesia
Yogyakarta pada tahun 2005 menyatakan bahwa
masalah utama rendahnya LDR adalah karena minat
konsumen untuk meminjam di bank rendah yang
disebabkan adanya alternatif meminjam. Selain itu
memunculkan dugaan adanya masalah dalam
penyaluran kredit dari sektor perbankan, sehingga
debitur beralih ke sumber pembiayaan lain.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Bank
Indonesia bekerjasama dengan Pusat
Pengembangan Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan
melakukan survei mengenai peta pembiayaan
alternatif non-Bank di DIY serta motif pelaku
ekonomi dalam memilih lembaga pembiyaan
tersebut.
Tujuan dari survei ini adalah (1) memperoleh
gambaran mengenai peta pembiayaan alternatif
non-bank; (2) memperoleh gambaran motif nasabah
memilih lembaga/sumber pembiayaan alternatif
bukan bank; (3) memperoleh gambaran mengenai
kapitalisasi dan penyaluran dana yang dilakukan
lembaga keuangan bukan bank.
Responden survei terdiri dari 100 responden
dari pelaku usaha dan 58 lembaga pembiayaan
bukan bank. Pelaku usaha meliputi kelompok
pedagang eceran berdasar Klasifikasi Lapangan
Usaha Industri (KLUI) yaitu bahan konstruksi, suku
cadang & kendaraan, peralatan tumah tangga,
kerajinan, seni & mainan anak, makanan, minuman
& tembakau, pakaian & perlengkapannya, bahan
kimia, bahan bakar, dan peralatan alat tulis.
Sedangkan lembaga keuangan bukan bank
meliputi Leasing, BMT dan Koperasi.
Kesimpulan
1. Sumber pembiayaan alternatif non-bank di DIY
meliputi Kerabat & Rekanan (43%), BUMN
(19%), Koperasi (15%), Leasing (15%), Supplier
(6%). Hal ini menunjukkan, bahwa sumber
pembiayaan alternatif bukan bank yang paling
99Bab 3 - Perkembangan Perbankan
dominan digunakan oleh responden adalah
kerabat/rekanan.
2. Motif nasabah memilih lembaga/sumber
pembiayaan alternatif bukan bank adalah
prosedur yang mudah, pelayanan yang diberikan
memuaskan, waktu pencairan cepat, waktu
pengembalian & jumlah dana fleksibel, lokasi
yang dekat, dan agunan yang mudah dipenuhi
yaitu sertifikat dan BPKB.
3. Motif responden menggunakan modal sendiri
sebagai sumber pembiayaannya adalah karena
simpanan yang dimiliki cukup untuk membiayai
usaha responden, prosedur meminjam ke
lembaga keuangan rumit, tidak memiliki
agunan, lokasi jauh, rasa tentram karena tidak
memiliki utang dan tingkat bunga yang tinggi.
4. Keluhan yang disampaikan oleh nasabah
mengenai lembaga keuangan bukan bank
adalah tingkat bunga yang tinggi, prosedur yang
sulit, masalah agunan dan pelayanan.
5. Sumber pembiayaan lembaga keuangan bukan
bank berasal dari modal sendiri, bank, nasabah,
anggota dan lainnya.
6. Intermediasi lembaga bukan bank terlihat dari
Pembiayaan Yang Digulirkan (PYD) oleh LKM
(Koperasi dan BMT) dan Leasing. Nilainya PYD
2007 cukup tinggi yaitu 90,2%, bandingkan
dengan LDR Bank Umum yang mencapai
51,53%. Hal ini mengindikasikan adanya
substitusi antara perbankan (Bank Umum
khususnya) dengan lembaga pembiayaan
alternatif. Pada saat LDR Bank Umum rendah,
PYD lembaga pembiayaan alternatif kebetulan
menunjukkan angka yang tinggi, namun masih
perlu dibuktikan dengan uji statistik yang
memadai.
7. Pembiayaan yang diberikan sebagian besar
untuk kegiatan produktif, kemudian untuk
konsumtif. Adapun nasabah yang melakukan
pinjaman didominasi oleh wanita. Besarnya
pinjaman relatif kecil dan jangka waktu
pengembalian relatif singkat.
8. Untuk menghadapi persaingan usaha, strategi
yang dilakukan dengan cara meningkatkan
pelayanan, ekspansi cabang, promosi dan
selebihnya adalah fokus pada keunggulan,
segmentasi pasar, dan peningkatan sumber daya
manusia.
Halaman ini sengaja dikosongkan.
101Bab 4 - Perkembangan Sistem Pembayaran
Bab 4:Bab 4:Bab 4:Bab 4:Bab 4:PPPPPerkembangan Sistem Perkembangan Sistem Perkembangan Sistem Perkembangan Sistem Perkembangan Sistem Pembaembaembaembaembayyyyyarararararananananan
SISTEM PEMBAYARAN TUNAI
Aliran Uang Masuk (Inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow)
Pada tahun 2007, perkembangan transaksi tunai antara perbankan dan
Bank Indonesia Yogyakarta dibandingkan dengan transaksi tahun 2006 mengalami
penurunan baik dari sisi uang masuk maupun uang keluar. Rata-rata inflow per
bulan pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp416 miliar per bulan, turun 52,77%
dari posisi tahun 2006 yang tercatat sebesar Rp880 miliar per bulan. Sedangkan
rata-rata outflow pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp229 miliar per bulan,
mengalami penurunan yang lebih drastis sebesar 67,59% dari tahun sebelumnya
yang tercatat sebesar Rp706 miliar per bulan. Karena rata-rata inflow lebih besar
jika dibandingkan dengan rata-rata outflownya, maka pada tahun 2007 terjadi
net inflow sebesar Rp187 miliar per bulan, naik 7,46% dari net inflow pada tahun
2006 sebesar Rp174 miliar per bulan.
Kondisi penurunan aliran uang tersebut, baik inflow maupun outflow,
disebabkan telah diberlakukannya metode Setoran dan Penarikan yang baru di
Bank Indonesia Yogyakarta. Sebelumnya setoran oleh Bank Umum ke Bank
Indonesia boleh dilakukan untuk semua pecahan tanpa melihat tingkat
kelusuhannya, namun sekarang hanya boleh dilakukan untuk uang lusuh saja.
Sementara itu, untuk penarikan hanya dilakukan antar sesama perbankan saja
yang teknis pelaksanaanya diatur oleh focus group, yang sebelumnya penarikannya
hanya dilakukan di Bank Indonesia.
Selain itu yang menarik adalah pada triwulan II-2007 terjadi net outflow
sebesar Rp35 miliar, yang disebabkan oleh pencairan dana APBN maupun APBD
Miliar Rp
Trw-I Trw-II Trw-III Trw-IV Total
1 Posisi Kas 1,255 1,274 104 825 429 524 807 807 674.36
Nominal Incoming Transfer Nominal Outgoing Transfer
Warkat Incoming Transfer Warkat Outgoing Transfer
106 Bab 4 - Perkembangan Sistem Pembayaran
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
sisi nominal maupun warkat. Peningkatan ini dicerminkan melalui rata-rata transfer
masuk dan keluar yang merupakan transaksi antara wilayah DIY dan luar DIY.
Dalam hal ini, laporan transaksi sudah mengeluarkan transaksi antar bank yang
sama-sama berada di wilayah DIY.
Dari sisi nominal, rata-rata transfer masuk (incoming transfer) per bulan
naik 37,77% dari Rp4.316 miliar per bulan pada tahun 2006 menjadi Rp5.946
miliar per bulan pada tahun 2007. Sedangkan rata-rata transfer keluar (outgoing
transfer) per bulan naik 4,44% dari Rp3.418 miliar per bulan pada tahun 2006
menjadi Rp3.569 miliar per bulan pada tahun 2007. Dengan demikian maka
transfer masuk bersih (net-incoming transfer) ke sistem perbankan di wilayah DIY
mengalami peningkatan drastis sebesar 164,57% dari Rp898 miliar menjadi Rp2.376
miliar.
Di sisi warkat, rata-rata warkat masuk per bulan naik 24,13% dari 2.623
warkat per bulan pada tahun 2006 menjadi 3.256 warkat per bulan, sedangkan
rata-rata warkat keluar per bulan naik 0,30% dari 2.476 warkat per bulan pada
tahun 2006 menjadi 2.483 warkat per bulan pada tahun 2007.
Peningkatan aktivitas BI-RTGS pada tahun 2007 terutama pada transfer
masuk disebabkan masih adanya pencairan dana rekonstruksi maupun rehabilitasi
baik dari pemerintah pusat maupun lembaga donor dan meningkatnya animo
masyarakat dalam menggunakan alat transfer yang lebih cepat karena penyelesaian
yang seketika sekaligus aman karena risiko settlement-nya kecil. Dua hal ini
merupakan prasyarat penting dalam penyelesaian transaksi pembayaran dalam
mendukung kegiatan ekonomi yang bergerak cepat.
Peningkatan aktivitas BI-RTGS ini dapat dikatakan sebagai peningkatan
kepercayaan masyarakat terhadap sistem pembayaran non tunai, sejalan dengan
upaya Bank Indonesia untuk mendorong masyarakat lebih banyak melakukan
transaksi non tunai (less cash society). Peningkatan penggunaan transaksi non
tunai juga dapat dijadikan sebagai cerminan kemajuan suatu daerah, terutama
dalam menilai efisiensi dan intensitas aktivitas perekonomian.
107Bab 4 - Perkembangan Sistem Pembayaran
Boks:Boks:Boks:Boks:Boks:PPPPPeningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Peningkatan Permintaan Uang Kermintaan Uang Kermintaan Uang Kermintaan Uang Kermintaan Uang Kecil Menjelang Lebarecil Menjelang Lebarecil Menjelang Lebarecil Menjelang Lebarecil Menjelang Lebarananananan
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat
Indonesia terutama bagi mereka yang merayakan
Lebaran, untuk membagi rezeki baik dalam bentuk
zakat, infak dan shodaqoh. Pembagian rezeki ini
ditujukan bagi mereka yang berhak
mendapatkannya. Namun demikian, bagi-bagi
rezeki ini juga banyak dilakukan orang dengan
tujuan memberi sanak saudara terutama yang masih
anak-anak atau yang belum menikah dalam bentuk
‘salam tempel’. Salam tempel ini hanya bertujuan
untuk pemanis bagi perayaan Lebaran, sehingga
biasanya diberikan dalam pecahan kecil (di bawah
Rp20.000) berupa uang baru atau yang lebih dikenal
dengan istilah uang dengan kualitas Hasil Cetakan
Sempurna (HCS). Kebiasaan ini kemudian
menjadikan instansi, perusahaan swasta maupun
pemberi kerja lainnya juga memberikan Tunjangan
Hari Raya (THR) dalam bentuk pecahan kecil dengan
kualitas HCS. Kondisi ini kemudian menjadikan
kegiatan penukaran uang pecahan kecil menjadi
meningkat sejak awal bulan puasa hingga
mendekati Lebaran.
Berdasarkan catatan Kantor Bank Indonesia
Yogyakarta, sejak 13 September 2007 yang
merupakan awal puasa, kegiatan penukaran uang
pecahan kecil (denominasi Rp20.000,00 ke bawah)
mengalami lonjakan yang cukup signifikan.
Kegiatan penukaran uang pecahan kecil
selama bulan puasa (13 September sampai dengan
11 Oktober 2007) tercatat sebesar Rp49 miliar.
Jika dibandingkan dengan kondisi normal,
kegiatan penukaran uang pecahan kecil mengalami
peningkatan sebesar 867,24% dari Rp388 juta per
hari pada kondisi normal menjadi Rp4 miliar per
hari selama bulan puasa. Transaksi tertinggi terjadi
3 Belanja Tidak Terduga 85.653 41.540 42.508 -50,37 2,33
4 Transfer 248.155 243.787 - -100,00 -100,00
C SURPLUS/DEFISIT (453.121) 584.234 (235.851) -47,95 -140,37
D PEMBIAYAAN 540.992 556.421 664.847 22,89 19,49
1 Penerimaan Daerah 607.084 613.187 745.018 22,72 21,50
2 Pengeluaran Daerah 66.092 56.765 80.171 21,30 41,23
1) Sebelum Audit
Ptumb thd APBD 20071 (%) Nilai
Sumber : BPKD Prov. DIY
Tabel 6.4Rencana APBD 2008
Keterangan :
U r a i a nNo
APBD 20071
Rencana Realisasi
APBD 2008
120 Bab 6 - Prospek Perekonomian
Laporan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
Pengeluaran Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota pada tahun 2008
yang direncanakan sebesar Rp4.981 miliar, sebagian besar dialokasikan untuk
Belanja Operasi sebesar Rp4.644 miliar. Pos Belanja ini naik 33,36% jika
dibandingkan dengan RAPBD 2007 yang tercatat sebesar Rp3.483 miliar, atau
naik 47,86% jika dibandingkan dengan realisasinya. Lebih dari separuh Belanja
Operasi ini ditujukan untuk Belanja Pegawai sebesar Rp2.707 miliar.
Jika dilihat dari peningkatannya, Belanja Hibah dan Belanja Bunga
mengalami peningkatan secara drastis baik dibandingkan dengan RAPBD 2007
maupun realisasinya. Belanja Hibah mengalami peningkatan terkait dengan
perkiraan sisa alokasi dana rekonstruksi dan rehabilitasi yang masih ada. Sedangkan
peningkatan Belanja Bunga didorong oleh pinjaman pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat yang digunakan untuk pembangunan sarana daerah. Sebagai
contoh, Pemerintah Provinsi memiliki pinjaman dalam rangka pembangunan
kembali Pasar Beringharjo.
Pada RAPBD 2008, secara gabungan, pos Belanja Modal terlihat mengalami
penurunan yang drastis. Hal ini dikarenakan Pemerintah Kabupaten dan Kota
belum memisahkan rencana Belanja Modal dari kegiatan-kegiatan yang telah
dianggarkan. Belanja Modal sendiri masih termasuk ke dalam Belanja Operasi.
Namun, sebagai ilustrasi rencana peningkatan pos ini dapat dilihat dari Pemerintah
Pemerintah Provinsi yang telah melakukan pemisahan pos. Dari RAPBD 2008,
terlihat Pemerintah Provinsi merencanakan peningkatan sebesar 69,41% jika
dibandingkan dengan RAPBD 2007 atau 98,28% jika dibandingkan dengan
realisasinya. Hal ini memperlihatkan komitmen pemerintah daerah untuk
membangun daerahnya dengan melaksanakan proyek-proyek untuk fasilitas
masyarakat. Namun optimalnya komitmen ini sangat tergantung dengan waktu
pengesahannya, yang akan membawa implikasi kepada pelaksanaannya terkait
dengan pengadaan proyek-proyek pemerintah yang memerlukan waktu lama.
L a m p i r a nL a m p i r a n
Halaman ini sengaja dikosongkan.
123
Lampiran
SejarSejarSejarSejarSejarah Singkat Bank Indonesia ah Singkat Bank Indonesia ah Singkat Bank Indonesia ah Singkat Bank Indonesia ah Singkat Bank Indonesia YYYYYogyogyogyogyogyakartaakartaakartaakartaakarta
Kantor Cabang (KC) “Djokdjakarta” dibuka pada 127 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 1
April 1879, sebagai KC De Javache Bank ke-8. Pendirian KC Djokdjakarta terutama untuk
mengakomodasi usulan sebuah perusahaan yang memiliki kepentingan bisnis di daerah ini yakni
Firma Dorrepaal & Co., Semarang. Usulan tersebut langsung disampaikan kepada President De Javache
Bank ke-7, Mr. N.P. Van den BERG sekitar bulan Agustus-September 1878.
Usulan pendirian KC De Javanche Bank DIY langsung disambut baik oleh Direksi dan Dewan
Komisaris pada saat itu, mengingat volume perdagangan di daerah Yogyakarta sudah cukup besar
yang antara lain tercermin dari jumlah transfer ke Yogyakarta melalui KC Soerakarta yang mencapai
2 s.d. 3,5 juta gulden. Produksi gula per tahun pada tempo itu mencapai 300.000 pikol atau setara
dengan 2.580 ton. Pada tanggal 9 Maret 1942 kegiatan De Javache Bank sempat terhenti bersamaan
dengan dimulainya masa pendudukan tentara Jepang yang selanjutnya disusul dengan penglikuidasian
bank-bank milik Belanda, Inggris dan Cina. Bersamaan dengan itu, Nanpo Kaihatsu Ginko difungsikan
sebagai bank sirkulasi untuk wilayah P. Jawa. Pada tanggal 30 Desember 1948 KC Djokdjakarta mulai
beroperasi kembali namun tak lama kemudian ditutup kembali pada tanggal 30 Juni 1949 bersamaan
dengan masa Agresi Belanda ke-2. Akhirnya baru pada tanggal 22 Maret 1950 KC Djokdjakarta
beroperasi kembali.
Dengan diberlakukannya UU No.11/1953 pada tanggal 1 Juli 1953, De Javache Bank berubah
menjadi Bank Indonesia sehingga seluruh KC De Javache Bank berubah menjadi KC Bank Indonesia,
termasuk KC Yogyakarta. Pada awal masa peralihan KC Yogyakarta dikategorikan sebagai kantor
cabang kelas III dengan wilayah kerja DIY dan Karesidenan Kedu, yang kemudian pada tahun 1980
hanya dibatasi pada wilayah Provinsi DIY. KC Yogyakarta naik status menjadi kantor cabang kelas II
pada tahun 1986. Seiring dengan perkembangan kegiatan operasional yang meningkat, pada tanggal
4 Februari 1993 gedung baru yang bersebelahan dengan gedung lama diresmikan. Selanjutnya sebutan
Kantor Cabang Yogyakarta sejak tanggal 1 Agustus 1996 berubah menjadi Kantor Bank Indonesia
Yogyakarta atau disingkat dengan Bank Indonesia Yogyakarta.
Berikut ini daftar nama-nama pejabat yang telah tercatat sebagai pemimpin Bank Indonesia
Yogyakarta setelah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 hingga saat ini:
Periode Nama Pemimpin Periode Nama Pemimpin 1951 - 1952 C.H. de Veer 1976 - 1979 Isbianto P. 1952 – 1952 J.G.J. Wagener 1979 - 1982 Suparman Wijaya 1952 – 1954 E.A. Olive 1982 - 1983 Sukanto 1954 – 1955 R.W.L. Echter 1983 - 1985 Mohd. Kurdi 1955 – 1958 E. Soekasah S. 1985 - 1987 Aibar Durin
I. Nyoman Moena 1987 - 1993 Sri Hastjarja P. R.R. Wenas 1993 - 1996 Warsono Santoso R. Soewignjo S. 1996 - 1998 Adji Mulawarman Hasan