-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan daerah perkotaan pada dasarnya
ditentukan
oleh tiga faktor, yaitu faktor manusia, faktor aktivitas
manunsia, dan faktor
pergerakan manusia (Tamin, 2000). Ketiga faktor tersebut akan
mendorong
terjadinya perkembangan kebutuhan ruang yang ditunjukkan dengan
adanya
perubahan penggunaan lahan. Selanjutnya perkembangan kebutuhann
ruang
tersebut juga akan disertai dengan semakin meningkatnya
interaksi antar ruang
kegiatan yang dicerminkan oleh peningkatan intensitas pergerakan
penduduk.
Kegiatan pergerakan inilah yang disebut kegiatan perangkutan,
yaitu kegiatan yang
terjadi karena adanya perpindahan manusia atau barang dari suatu
tempat ke
tempat lainnya.
Seiring dengan peningkatan pergerakan barang dan orang, maka
tuntutan dalam
penyediaan jaringan jalan akan semakin meningkat pula baik dari
segi kualitas
maupun kuantitas. Peningkatan jaringan jalan tersebut tentunya
harus mampu
mengimbangi peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang relatif
lebih cepat. Bila
tidak terdapat keseimbangan, seringkali akan menimbulkan masalah
lalu lintas. Jika
kapasitas jalan tetap, sedangkan jumlah pengguna jalan meningkat
maka akan
menimbulkan kemacetan lalu lintas.
Masalah kemacetan lalu lintas seringkali terjadi pada kawasan
yang mempunyai
intensitas kegiatan dan penggunaan lahan yang tinggi. Selain itu
kemacetan lalu lintas
terjadi karena volume lalu lintas tinggi yang disebabkan
bercampurnya lalu lintas
menerus (through traffic), lalu lintas regional dan lokal.
Apabila sifat kemacetan lalu
lintas tersebut merupakan suatu kejadian yang rutin, akibatnya
bukan saja akan
mempengaruhi ketidakefisienan penggunaan sumber daya, tetapi
juga dapat
mengganggu kegiatan di lingkungan yang ada. Selain itu,
berdampak luas pula
terhadap kelancaraan kegiatan sosial ekonomi kota.
-
2
Untuk menanggulangi masalah kemacetan lalu lintas di daerah
perkotaan,
diperlukan intervensi ahli perencana perangkutan yang secara
keilmuan dapat
menemukan dan mencari berbagai alternatif pemecahan masalah lalu
lintas.
Menurut Richard Barrett dalam Setiawan (1993), terdapat tiga
tingkatan dasar dari
perencanaan perangkutan di daerah perkotaan, yaitu:
1. Perencanaan operasional, meliput perencanaan persimpangan
jalan, marka
jalan, pembatasan parkir, penyebrangan jalan, dan lain-lain.
2. Perencanaan taktis, yaitu pengembangan pola sirkulasi lalu
lintas, penentuan
prioritas rute angkutan umum, penentuan daerah pejalan kaki, dan
lain-lain.
3. Perencanaan strategis, yang berkaitan dengan perencanaan
struktur dan
kapasitas jaringan jalan serta sistem angkutan umum, penataan
guna lahan
dan keterhubungan pernagkutan dan keseimbangan antara permintaan
dan
penyediaan angkutan umum.
Kota Bandung sebagai simpul jasa distribusi memiliki tingkat
pertumbuhan
penduduk yang tinggi. Di sisi lain intensitas pelayanan Kota
Bandung dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan yang cukup besar. Kedua hal tersebut
berimplikasi
pada tingginya mobilitas penduduk., barang dan jasa. Kegiatan
dan aktivitas ekonomi
yang tinggi memberikan suatu potensi bagi perkembangan suatu
kota. Dengan
demikian Kota Bandung yang terus berkembang akan dihadapkan
dengan
permasalahan perkotaan diantaranya permasalahan
transportasi.
Jalan Cihampelas yang terletak di Bandung bagian barat merupakan
jalan
kolektor sekunder yang menghubungkan bagian utara dan pusat kota
Bandung.
Lokasi kawasan yang sangat strategis serta adanya kegiatan
perdagangan dan jasa
yang sangat berkembang secara intensif pada daerah ini telah
menjadikan kawasan
ini sebagai salah satu pusat niaga penting di Kota Bandung.
Permasalahan yang dihadapi oleh kawasan Jalan Cihampelas sebagai
pusat
kegiatan perdagangan dan jasa di Kota Bandung diantaranya adalah
padatnya arus
pergerakan kendaraan dan pejalan kaki yang semakin lama semakin
bertambah
besar, karena adanya peningkatan jumlah penduduk dan kendaraan
di Kota
Bandung, serta intensitas kegiatan di kawasan tersebut,
sedangkan prasrana
-
3
pergerakan yang disediakan relative tidak bertambah.
Permasalahan-permasalahan
di atas berujung pada terjadinya peningkatan kemacetan di daerah
ini.
1.2 Rumusan Masalah
Persoalan empiris yang ada saat ini di kawasan Jalan Cihampelas
yaitu besarnya
tingkat kemacetan yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh
prasarana pergerakan yang
ada tidak mampu mendukung jumlah arus pergerakan yang melewati
daerah ini
sehingga pada akhirnya mengakibatkan timbulnya tingkat kemacetan
yang tinggi.
Beradasarkan persoalan yang terjadi di lapangan, maka muncul
sebuah
permasalahan penelitian yaitu belum adanya upaya-upaya
penanganan persoalan
lalu lintas untuk mengurangi tinkat kemacetan yang terjadi di
kawasan Jalan
Cihampelas. Untuk dapat menjawab persoalan penelitian tersebut,
maka perlu
diketahui bagaimana sistem trasnportasi yang terdiri dari
subsistem jaringan,
subsitem pergerakan, dan subsitem aktivitas yang ada di Jalan
Cihampelas.
1.3 Tujuan dan Sasaran
Berdasarkan latar belakang dan rumusan persoalan di atas, maka
penelitian ini
bertujuan untuk memberikan beberapa usulan tindakan untuk
menanggulangi
masalah kemacetan lalu lintas di kawasan Jalan Cihampelas agar
tingkat pelayanan
jalan dapat diperbaiki. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
ditetapkan sasaran-
sasaran dari penelitian ini, yaitu:
1. Teridentifikasinya kondisi subsistem jaringan Jalan
Cihampelas
2. Teridentifikasinya kondisi subsistem pergerakan yang melewati
Jalan
Cihampelas
3. Teridentifikasinya kondisi subsitem aktivitas yang ada di
Jalan Cihampelas
4. Teridentifikasinya persoalan-persoalan pada masing-masing
subsistem
tersebut
5. Terumuskannya beberapa solusi penanganan persoalan lalu
lintas di Jalan
Cihampelas
-
4
1.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu
lingkup materi dan
lingkup wilayah.
1.4.1 Lingkup Materi
Fokus pembahasan dalam penelitian ini dititikberatkan pada
kajian penelitian
sistem trasportasi yang dibatasi pada sub sistem jaringan, sub
sistem pergerakan, dan
sub sistem aktivitas yang ada di Jalan Cihampelas. Setelah
melakukan analisis
terhadap ketiga sub sistem tersebut, kemudian selanjutnya
memberikan alternatif
penanganan persoalan lalu lintas.
1.4.2 Lingkup Wilayah
Wilayah yang menjadi bagian utama dalam linkup penelitian ini
adalah
kawasan Jalan Cihampelas yang merupakan tempat terkonsentrasinya
berbagai
kegitaan perdagangan dan jasa. Batas-batas wilayah penelitian
adalah sebagai
berikut:
- Utara : Jalan Bapak Husen
- Selatan : Jalan Pasteur
- Barat : Bangunan Kegiatan Pergadangan dan Jasa
- Timur : Perumahan Penduduk
Sedangkan wilayah eksternal dari penelitian ini yaitu kawasan
Jalan Cipaganti
dan sekitarnya, Jalan Setiabudi dan sekitarnya, serta Jalan
Pasteur. Pemilihan wilayah
studi yang hanya mengambil beberapa ruas Jalan Cihampelas saja
didasarkan kepada
konsentrasi kegiatan perdagangan dan jasa yang tinggi pada
ruas-ruas tersebut,
sehingga peneliti tidak mengambil seluruh Jalan Cihampelas
sebagai wilayah
penelitian. Ruas jalan yang dijadikan wilayah studi yaitu
penggal Jalan Bapak Husen-
Prof. Eyckman dan Jalan Prof. Dr. Eyckman-Pasteur, untuk
selanjutnya kedua penggal
jalan ini tetap disebut sebagai Jalan Cihampelas.
1.5 Metodologi
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibagi
menjadi dua
bagian, yaitu metode analisis dan metode pengumpulan data.
-
5
1.5.1 Metodologi Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan melalui survey, baik survey
primer
dengan melakukan pengamatan dan perolehan data langsung di
lapangan, maupun
survey sekunder dengan melakukan pencarian data pada
instansi-instansi terkait
serta studi literature untuk mendapatkan data sekunder.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Survey Primer
a. Pengamatan untuk melakukan pengukuran kondisi geomterik
jalan.
b. Pengamatan kondisi eksisting guna lahan dan bentuk-bentuk
gangguan samping terhadap kondisi lalu lintas.
c. Melakukan traffic counting untuk memperoleh data volume
lalu
lintas. Waktu pengumpulan data volume kendaraan dibagi
menjadi
tiga bagian yaitu pagi hari (07.00-08.00), siang hari
(12.00-13.00), dan
sore hari (17.00-18.00) pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu.
Waktu
yang dipilih merupakan waktu yang diasumsikan merupakan
jam-jam
puncak (peak hours).
d. Melakukan pedestrian counting untuk memperoleh data
volume
pergerakan pejalan kaki. Waktu pengumpulan data volume
pejalan
kaki dibagi menjadi tiga bagian yang sama seperti waktu
pengumpulan
data volume lalu lintas.
2. Survey Sekunder
a. Studi literatur
Kegiatan ini dilakukan untuk mencari dan menggali informasi
mengenai permasalahan-permasalahan transportasi di daerah
perkotaan, serta bagaimana cara penanggulangannya.
b. Studi instansi
Kegiatan ini dilakukan untuk mencari dokumen rencana atau
laporan
hasil pekerjaan yang mencakup data-data rencana pengembangan
kota, karakteristik jaringan jalan, kapasitas jalan, dan
sebagainya.
-
6
1.5.2 Metode Analisis
Dalam studi ini, analisis yang dilakukan adalah analisis
kualitatif dan
kuantitatif. Analisis kualitatif yang dilakukan yaitu berupa
analisis deskriptif terhadap
sistem trasnportasi yang terdapat di koridor Jalan
Cihampelas.
Sedangkan analisis kuantitatif yang dilakukan yaitu:
a. Analisis VCR
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pelayanan
koridor Jalan
Cihampelas. Analisis ini dilakukan dengan cara menghitung
volume
pergerakan yang terjadi dengan kapasitas jalan, sehingga
diperoleh nilai
VCR.
b. Analisis kecepatan
Kecepatan yang dihitung yaitu kecepatan arus bebas dan
kecepatan
perjalanan. Analisis yang dilakukan terhadap kecepatan ini
bertujuan
untuk mengetahui seberapa besar kecepatan arus bebas dan
perjalanan
yang dapat dicapai oleh kendaraan ketika melewati Jalan
Cihampelas. Dari
hasil analisis terhadap VCR dan kecepatan ini maka dapat
ditentukan Level
of Service (LOS) dari koridor Jalan Cihameplas, sehingga pada
akhirnya
dapat diketahui tingkat pelayanan koridor jalan ini.
c. Analisis perhitungan kebutuhan parkir
Analisis ini dilakukan dengan membandingkan jumlah ruang parkir
yang
dibutuhkan di sepanjang Jalan Cihampelas, yang kemudian
dibandingkan
dengan jumlah ruang parkir yang ada saat ini. Perhitungan
terhadap
kebutuhan parkir dilakukan dengan membagi jumlah luas seluruh
lantai
setiap bangunan, kemudian dikalikan dengan standar
masing-masing
guna lahan tersebut. Standar parkir yang digunakan yaitu
berdasarkan
Perda DKI Jakarta No. 7 Tahun 1991.
d. Analisis terhadap bangkitan dan tarikan pergerakan
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui jumlah bangkitan dan
tarikan
pergerakan yang ada di Jalan Cihampelas, dengan cara mengalikan
jumlah
luas seluruh lantai setiap bangunan dengan standar trip rate
berdasarkan
BNI City dalam Susanti (1997).
-
7
1.6 Sistematika Penulisan
Penyusunan laporan penelitian ini terdiri dari 5 bab, dengan
perincian masing-
masing bab adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memberikan penjelasan mengenai latar belakang
penelitian, rumusan
permasalahan, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup
penelitian yang
terdiri dari linkup materi dan lingkup wilayah, serta metodologi
yang
digunakan dalam penelitian ini.
BAB II TINJAUAN TEORI
Bab ini berisis mengenai tinjauan-tinjauan teoritis dari para
ahli mengenai
sistem transportasi dan penanganan terhadap persoalan lalu
lintas.
BAB III GAMBARAN UMUM KORIDOR JALAN CIHAMPELAS
Bab in berisi gambaran kawasan Jalan Cihampelas yang mencakup
gambaran
umum Kota Bandung, kebijakan dan kedudukan Jalan Cihampelas
dalam
lingkup Kota Bandung, serta karakteristik Jalan Cihampelas.
BAB IV ANALISIS SISTEM TRASPORTASI JALAN CIHAMPELAS
Bab ini memaparkan penjelasan mengenai analisis terhadap sub
sistem
jaringan, sub sistem pergerakan, dan sub sistem aktivitas,
serta
permasalahannya. Kemudian pada akhir bagian ini, akan
dipaparkan
mengenai beberapa usulan penanganan terhadap persoalan lalu
lintas di
Jalan Cihampelas.
BAB V KESIMPULAN
Bab ini berisi mengenai beberapa temuan penelitian,
kesimpulan,
rekomendasi, kelemahan penelitian, dan studi lebih lanjut yang
diperlukan
sehubungan dengan penelitian ini.
-
8
BAB II
TINJAUAN TEORI
Bab ini berisi landasan teori mengenai transportasi secara umum
dan
penjelasan mengenai moda angkutan darat. Dibahas pula mengenai
faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap pemilihan moda dan penjelasan mengenai
metode-
metode yang digunakan.
2.1 Sistem Transportasi dan Pendekatan Perencanaan
Transportasi
Transportasi merupakan aktivitas pemindahan barang maupun
penumpang dari
suatu tempat ke tempat lainnya (Salim, 2004). Transportasi
merupakan kebutuhan
turunan (derived demand), bukan sebagai tujuan akhir. Pergerakan
timbul karena
adanya kebutuhan akan barang dan jasa tidak bisa dipenuhi di
tempat kita berada.
Sistem transportasi meliputi beberapa sistem yang saling
berkaitan dan saling
berpengaruh satu sama lain. Sistem-sistem yang membentuk sistem
transportasi
antara lain sistem pergerakan, sistem jaringan, dan sistem
aktivitas. Selain itu,
terdapat pula sistem kelembagaan yang berfungsi sebagai
penunjang dan yang
mempengaruhi hubungan berbagai sistem tersebut. Sistem
kelembagaan ini
dituangkan dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan
(Fadiah, 2003).
Keseluruhan komponen tersebut juga dipengaruhi oleh
karakteristik lingkungan yang
meliputi aspek fisik, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi
dimana sistem
trasnportasi tersebut berada. Lingkup perwilayahan yang meliputi
wilayah kota,
regional, nasional, dan internasional juga berpengaruh besar
terhadap sistem
transportasi (Kusbiantoro, 1996 dalam Fadiah, 2003).
Sistem kegiatan merupakan perwujudan dari ruang dan isinya,
terutama
manusia dengan segala aktivitasnya yang dilakukan di suatu guna
lahan (Zacky,
2005). Untuk memenuhi kebutuhan dan menunjang aktivitasnya
tersebut, manusia
membutuhkan perjalanan dengan menggunakan sistem transportasi.
Semakin tinggi
kuantitas dan kualitas penduduk di suatu wilayah dengan
kegiatannya, semakin
tinggi pula pergerakan yang dihasilkan, baik dari segi jumlah
atau volume, frekuensi,
-
9
jarak, moda, maupun tingkat pemusatan temporal dan atau spasial
(Kusbiantoro dkk,
2005).
Sistem jaringan merupakan sarana dan prasarana transportasi yang
mendukung
terjadinya sistem pergerakan. Sistem jaringan meliputi jaringan
infrastruktur, antara
lain jalan raya, rel kereta api, terminal, stasiun, pelabuhan,
dan bandara serta
pelayanan transportasi yang meliputi pelayanan angkutan umum,
angkutan
paratransit, dan berbagai moda transportasi lainnya. Semakin
tinggi kuantitas dan
kualitas jaringan infrastruktur serta pelayanan transportasi,
maka akan semakin
tinggi pula kualitas dan kuantitas pergerakan yang dihasilkan
(Kusbiantoro dkk,
2005).
Sistem kelembagaan yang berkaitan dengan sistem transportasi
meliputi aspek
legal (kesesuaian Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, RTRW,
maupun kebijakan
insentif dan disinsentif dalam penyelenggaraan transportasi),
aspek organisasi
(kesiapan organisasi pemerintah, masyarakat, maupun swasta
dalam
penyelenggaraan transportasi termasuk kejelasan pembagian tugas
dan koordinasi
antarorganisasi), aspek sumberdaya manusia (merupakan kesiapan
sumberdaya
manusia yang terdiri dari operator, user, non-user, regulator,
dan sebagainya dalam
penyelenggaraan transportasi), serta aspek keuangan.
Keterkaitan antara sistem jaringan, pergerakan, dan kativitas
dalam sistem
transportasi dapat dinyatakan dengan makin tinggi kuantitas dan
kualitas sistem
kegiatan dan sistem jaringan, makin tinggi pula kuantitas dan
kualitas pergerkaan
yang dihasilkan. Smeentara itu, bila kuantitas dan kualitas
pergerakan di suatu
wilayah semakin meningkat, maaka dampak lain yang ditimbulkan
terhadap sistem
kegiatan juga akan meningkat (Kusbiantoro dkk, 2004). Dampak
baru terhadap
sistem kegiatan antara lain tumbuhnya guna lahan baru dan
peningkatan nilai lahan
di sepanjang jaringan jalan baru maupun jalan lama yang
mengalami peningkatan
kualitas. Sedangkan dampak baru terhadap sistem jaringan
sehubungan dengan
meningkatnya sistem pergerakan adalah berkurangnya tingkat
pelayanan, misalnya
timbulanya kemacetan dan kerusakan jalan akibat intensitas
pergerakan kendaraan
yang cukup tinggi.
-
10
Gambar 2.1 Sistem Transportasi
Sumber : Kusbiantoro, 1996
Untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul akibat
meningkatnya
aktivitas dan pergerakan manusia maupun barang, maka dibuthkan
suatu
perencanaan sistem transportasi. Perencanaan transportasi
merupakan proses yang
bertujuan mengembangkan suatu sistem yang memungkinkan manusia
dan barang
bergerak atau berpindah tempat dengan aman dan murah (Pignataro,
1973 dalam
Tamin, 1997). Selain aman dan murah, disebutkan pula bahwa
transportasi harus
cepat dan nyaman, terutama bila digunakan untuk mengangkut
manusia (Tamin,
1997).
Kajian perencanaan transportasi memiliki ciri dasar yang berbeda
dengan bidang
kajian lain. Hal ini disebabkan karena kajian perencanaan
transportasi memiliki objek
yang cukup luas dan beragam serta melibatkan aspek yang beragam
pula. Ciri dasar
kajian perencanaan transportasi ditandai dengan adanya
multimoda, multidisiplin,
multisektoralm dan multimasalah (Tamin, 1997).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu ciri
dasar
perencanaan transportasi adalah adanya jaringan multimoda. Hal
ini membuktikan
bahwa kajian perencanaan transportasi selalu melibatkan lebih
dari satu moda
transportasi. Transportasi intermodal adalah pengangkutan barang
atau penumpang
dari tempat asal ke tempat tujuan dengan menggunakan lebih dari
satu moda
transportasi tanpa terputus dalam hal biaya, pengurusan
administrasi, dokumentasi,
dan adanya satu pihak yang bertanggung jawab sebagai pengangkut.
Pelayanan
transportasi intermodal kadang disebut juga pelayanan dari pintu
ke pintu (Abbas
-
11
Salim, 1993). Dalam transportasi intermodal ada tiga aspek yang
perlu diperhatikan,
antara lain:
a. Aspek teknis
Harus adanya hubungan tiap moda dengan fasilitas yang digunakan
untuk
menangani jenis barang atau masa yang dibawa secara teknis.
b. Aspek dokumentasi
Dalam transportasi intermodal hanya terdapat satu macam
dokumen
pengangkutan yaitu yang dikeluarkan oleh pihak yang bertindak
sebagai
operator.
c. Aspek tanggung jawab
Dalam pelaksanaan intermoda transportation hanya ada satu pihak
yang
bertanggungjawab terhadap terselenggaranya transportasi.
Peningkatan kebutuhan transportasi intermodal antara lain
disebabkan oleh
pendeknya jangka waktu yang dibutuhkan karena pelaku perjalanan
tidak perlu
mengurus dokumen perjalanan seperti tiket dan sebagainya untuk
berganti moda,
rendahnya biaya transportasi secara total dan terkendalinya
biaya, keselamatan,
serta kepastian jadwal pelaksanaan angkutan dari satu moda ke
moda lainnya
(kendala moda transportasi).
2.2 Karakteristik Perangkutan Darat
Di Indonesia, sistem perangkutan darat lebih sering diartikan
sebagai
perangkutan yang menggunakan prasarana jalan raya. Padahal,
selain perangkutan
menggunakan jalan raya, lingkup dari sistem perangkutan darat
juga mencakup
perangkutan dengan menggunakan jalan rel (Dewi, 2005). Definisi
lain
mengemukakan bahwa secara keseluruhan, perangkutan darat
mencakup lingkup
yang lebih luas, yaitu angkutan yang menggunakan prasarana jalan
raya, jalan rel
(kereta api, monorel, trem), dan kabel (angkutan gantung), dan
angkutan pipa
(Warpani, 1990). Angkutan yang menggunakan pipa digunakan khusus
untuk
mendistribusikan barang cair seperti BBM, air, atau gas.
Sementara itu, perangkutan darat di Indonesia dibagi ke dalam
tiga bagian, yaitu
angkutan jalan raya, angkutan jalan rel, serta nagkutan sungai,
danau, dan
penyebrangan (ASDP) (Salim, 1993). Masing-masing angkutan dalam
sistem
-
12
perangkutan darat tersebut memiliki fungsi dan peran yang
berbeda, namun masih
memiliki satu tujuan yang kurang lebih sama, yaitu menyediakan
keselamatan,
kenyamanan, serta keamanan dalam perjalanan (Salim, 1993).
Perangkutan darat merupakan sistem yang paling mendominasi dalam
angkutan
perkotaan. Sistem angkutan umum perkotaan, yang merupakan bagian
dari
perangkutan darat, dibagti ke dlaam dua sub sistem dengan
beberapa jenis moda
angkutan massal yaitu sub sistem berbasis jalan raya dengan moda
bus konvensional
maupun bus rapid transit dan sub sistem berbasis jalan rel
dengan moda kereta api.
Kedua sistem transportasi darat tersebut memiliki perbedaan
karakteristik yang
menunjukkan kelebihan dan kekurangannta masing-masing.
2.2.1 Sistem Transportasi
Pengertian transportasi berasal dari kata Latin, yaitu
transportare, di mana
trans berarti seberang atau sebelah lain dan portare berarti
mengangkut atau
membawa. Jadi, transportasi berarti mengangkut atau membawa
(sesuatu) ke
sebelah lain atau suatu tempat ke tempat lainnya. Transportasi
dapat didefinisikan
sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang
dan/atau
penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Ahmad Munawar
mendefinisikan
transportasi hampir sama dengan Rustian Kamaluddin, beliau
mendefinisikan
transportasi sebagai kegiatan pemindahan penumpang dan barang
dari satu tempat
ke tempat lain. Untuk setiap bentuk transportasi terdapat empat
unsur pokok
transportasi, yaitu: jalan, kendaraan dan alat angkutan, tenaga
penggerak, dan
terminal. Ahmad Munawar menjelaskan dalam bukunya bahwa ada lima
unsur pokok
dalam sistem transportasi yaitu :
1. Orang yang membutuhkan.
2. Barang yang dibutuhkan.
3. Kendaraan sebagai alat angkut.
4. Jalan sebagai prasarana angkutan.
5. Organisasi yaitu pengelola angkutan
Kelima hal di atas, yang dikemukakan oleh Ahmad Munawar,
sedikit
berbeda dengan pendapat Rustian Kamaluddin. Menurut pendapat
penulis dalam
-
13
usaha memperlancar sistem transportasi sebaiknya semua elemen
dimasukkan
dalam unsur pokok sistem transportasi yang terdiri dari:
1. Penumpang/barang yang akan dipindahkan.
2. Kendaraan/alat angkutan sebagai sarana.
3. Jalan sebagai prasarana angkutan.
4. Terminal.
5. Organisasi sebagai pengelola angkutan.
Pengangkutan atau pemindahan penumpang/barang dengan
transportasi
adalah untuk dapat mencapai tempat tujuan dan
menciptakan/menaikkan utilitas
atau kegunaan dari barang yang diangkut. Utilitas yang dapat
diciptakan oleh
transportasi atau pengangkutan tersebut, khususnya untuk barang
yang diangkut
ada dua macam, yaitu:
1. Utilitas tempat atau place utility
Merupakan kenaikan/tambahan nilai ekonomi atau nilai kegunaan
dari suatu
komoditi yang diciptakan dengan mengangkutnya dari suatu
tempat/daerah,
di mana barang tersebut mempunyai kegunaan yang lebih kecil
ke
tempat/daerah di mana barang tersebut mempunyai kegunaan yang
lebih
besar. Dalam hubungan ini, place utility yang diciptakan
biasanya diukur
dengan uang (in terms of money) yang pada dasarnya merupakan
perbedaan
dari harga barang tersebut pada tempat di mana barang itu
dihasilkan atau di
mana utilitasnya rendah untuk dipindahkan ke suatu tempat di
mana barang
tersebut diperlukan atau 121 mempunyai utilitas yang lebih
tinggi dalam
memenuhi kebutuhan manusia.
2. Utilitas waktu atau time utility
Transportasi akan menyebabkan terciptanya kesanggupan dari
barang untuk
memenuhi kebutuhan manusia dengan menyediakan barang yang
bersangkutan tidak hanya di mana mereka dibutuhkan, tetapi juga
pada
waktu yang tepat bilamana diperlukan. Hal ini adalah sehubungan
dengan
terciptanya utilitas yang disebut sebagai time utility atau
utilitas waktu. Time
utility berarti dengan transportasi tersebut akan dapat
diusahakan agar
-
14
barang-barangnya dapat dipindahkan secepat-cepatnya atau
disampaikan ke
tempat tujuan (konsumen) tepat pada waktunya.
2.2.1.1 Klasifikasi Transportasi
Transportasi dapat diklasifikasikan menurut macam atau moda
atau
jenisnya (modes of transportation) yang dapat ditinjau dari segi
barang yang
diangkut, dari segi geografis transportasi itu berlangsung, dan
dari sudut teknis serta
alat angkutnya.
1) Dari segi barang yang diangkut dibagi tiga, yaitu:
a. angkutan umum (passenger),
b. angkutan barang (goods),
c. angkutan pos (mail).
2) Dari sudut geografis transportasi dibagi enam, yaitu:
a. angkutan antar benua,
b. angkutan antar kontinental,
c. angkutan antar pulau,
d. angkutan antar kota,
e. angkutan antar daerah,
f. angkutan di dalam kota.
3) Dari sudut teknis dan alat pengangkutannya transportasi dapat
dibagi enam,
yaitu:
a. Angkutan jalan raya atau highway transportation (road
transportation),
seperti pengangkutan dengan menggunakan truk, bus, dan
sedan.
b. Pengangkutan rel (rail transportation), yaitu angkutan kereta
api, trem
listrik, dan sebagainya. Pengangkutan jalan raya dan rel
kadang-kadang
keduanya digabungkan dalam golongan yang disebut rail and
road
transportation atau land transportation (transportasi
darat).
c. Pengangkutan melalui air di pedalaman (inland
transportation), seperti
pengangkutan sungai,kanal, danau dan sebagainya.
d. Pengangkutan pipa (pipe line transportation), seperti
transportasi untuk
mengangkut atau mengalirkan minyak tanah, bensin, dan air
minum.
-
15
e. Pengangkutan laut atau samudera (ocean transportation), yaitu
angkutan
dengan menggunakan kapal laut yang mengarungi samudera.
f. Pengangkutan udara (transportation by air or air
transportation), yaitu
pengangkutan dengan menggunakan kapal terbang yang melalui
jalan
udara.
Klasifikasi transportasi dapat ditinjau dari ketiga segi atau
unsur
sebagaimana dikemukakan di atas, namun seringkali orang
mengklasifikasikannya
dihubungkan dengan empat unsur transportasi, yaitu:
1) Jalan (The Way)
Jalan merupakan suatu kebutuhan yang paling esensial dalam
transportasi.
Tanpa adanya jalan tak mungkin disediakan jasa transportasi bagi
pemakainya.
Jalan ditujukan dan disediakan sebagai basis bagi alat angkutan
untuk bergerak
dari suatu tempat asal ke tempat tujuannya. Unsur jalan dapat
berupa jalan raya,
jalan kereta api, jalan air, dan jalan udara. Jalan dapat pula
diklasifikasikan
menurut jalan alam (natural) dan jalan buatan (artificial).
Jalan alam merupakan
pemberian alam dan karenanya tersedia bagi setiap orang tanpa
(atau hampir
tidak) adanya suatu beban ongkos bagi pemakainya, seperti: jalan
setapak,
sungai, danau, dan (jalan) udara. Sedangkan jalan buatan adalah
jalan yang
dibangun melalui usaha manusia secara sadar dengan sejumlah dana
investasi
bagi pembiayaan tertentu untuk membuat konstruksinya dan
pemeliharaannya.
2) Alat Angkutan (The Vehicle)
Kendaraan dan alat angkutan pada umumnya merupakan unsur
transportasi
yang penting lainnya. Perkembangan dan kemajuan jalan dan alat
angkutan
merupakan dua unsur yang saling memerlukan atau berkaitan satu
sama lainnya.
Alat angkutan ini dapat dibagi dalam jenis-jenis alat angkutan
jalan darat, alat
angkutan jalan air, dan alat angkutan udara.
3) Tenaga Penggerak (Motive Power)
Yang dimaksud dengan tenaga penggerak adalah tenaga atau energi
yang
dipergunakan untuk menarik atau mendorong alat angkutan. Untuk
keperluan
ini dapat digunakan tenaga manusia, binatang, tenaga uap, batu
bara, BBM,
tenaga disel, dan tenaga listrik bahkan juga tenaga atom, dan
tenaga nuklir.
-
16
4) Tempat Pemberhentian atau Terminal Terminal
Merupakan tempat di mana suatu perjalanan transportasi dimulai
maupun
berhenti atau berakhir sebagai tempat tujuannya. Karena itu, di
terminal
disediakan berbagai fasilitas pelayanan penumpang, bongkar dan
muat, dan lain-
lain.
Sehubungan dengan keempat unsur di atas, maka transportasi
dapat
diklasifikasikan dari sudut jalan atau permukaan jalan yang
digunakan, alat angkutan
yang dipakai dan tenaga penggerak yang digunakan, sebagai
berikut:
1. Transportasi darat atau land transportation transportasi
darat ini terdiri atas:
a. Transportasi jalan raya dalam transportasi jalan raya (road
transport), meliputi
transpor yang menggunakan alat angkutan yang berupa manusia,
binatang,
pedati, andong, sepeda, sepeda motor, becak, bus, truk, dan
kendaraan
bermotor lainnya. Jalan yang digunakan untuk tranpor ini adalah
jalan setapak,
jalan tanah, jalan kerikil, dan jalan aspal. Sedangkan tenaga
penggerak yang
digunakan di sini adalah tenaga manusia, tenaga binatang, tenaga
uap, BBM,
dan disel.
b. Transportasi jalan rel dalam transportasi jalan rel (rail
transport) ini digunakan
angkutan berupa kereta api, yang terdiri dari lokomotif, gerbong
(kereta
barang), dan kereta penumpang. Jalan yang dipergunakan berupa
jalan rel baja,
baik dua rel maupun monorel. Tenaga penggeraknya disini berupa
tenaga uap,
disel, dan tenaga listrik.
2.3 Guna Lahan dan Interaksinya dengan Transportasi
Guna lahan untuk fasilitas transportasi cenderung mendekati
jalur pergerakan
barang dan orang sehingga dekat dengan jaringan transportasi
serta dapat dijangkau
dari kawasan permukiman dan tempat kerja. Fasilitas pendidikan
cenderung
berlokasi pada lokasi yang mudah dijangkau (Chapin,1979:80).
Secara umum jenis
guna lahan suatu kota ada 4 jenis, yaitu: permukiman, jaringan
transportasi, kegiatan
industri/komersial, dan fasilitas layanan umum (Chapin,
1979:120).
Interaksi guna lahan dan transportasi merupakan interaksi yang
sangat dinamis
dan kompleks, interaksi ini melibatkan berbagai aspek kegiatan
serta berbagai
-
17
kepentingan. Perubahan guna lahan akan selalu mempengaruhi
perkembangan
transportasi dan sebaliknya. Didalam kaitan ini Black menyatakan
bahwa pola
perubahan dan besaran pergerakan serta moda pergerakan merupakan
fungsi dari
adanya pola perubahan lahan diatasnya. Sedangkan setiap
perubahan guna lahan
dipastikan akan membutuhkan peningkatan yang diberikan oleh
sistem transportasi
dari kawasan yang bersangkutan (Black, 1981:99). Untuk
menjelaskan interaksi yang
terjadi, Mejer menunjukkan kerangka sistem interaksi guna lahan
dan transportasi.
Perkembangan guna lahan akan membangkitkan arus pergerakan,
selain itu
perubahan tersebut akan mempengaruhi pula pola persebaran dan
pola permintaan
pergerakan. Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut adalah
adanya kebutuhan
sistem jaringan dan prasarana transportasi. Sebaliknya
konsekuensi dari adanya
peningkatan penyediaan sistem jaringan serta sarana transportasi
akan
membangkitkan arus pergerakan baru, (Meyer dan Meler,
1984:63).
Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan
tata guna
lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi
yang
menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan
atau
kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu
sama lain dan
mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui sistem
jaringan transportasi
(Black dalam Tamin, 2000:32).
Pola penyebaran tata guna lahan dapat diprediksikan sebagai
berikut:
Intensitas (tingkat penggunaan) lahan: semakin berkurang/rendah,
dengan
semakin jauh jaraknya dari pusat kota.
Kepadatan (banyak kegiatan/jenis kegiatan): semakin
berkurang/sedikit
atau homogen, semakin jauh jarak kegiatan tersebut dari pusat
kota.
Kajian-kajian dalam perencanaan transportasi
1) Bangkitan Perjalanan (Trip Generation) Bangkitan perjalanan
dapat diartikan
sebagai banyaknya jumlah perjalanan/pergerakan/lalulintas
yang
dibangkitkan oleh suatu Zona (kawasan) persatuan waktu. Dari
pengertian
tersebut, maka bangkitan perjalanan merupakan tahap
pemodelan
transportasi yang bertugas untuk memperkirakan dan meramalkan
jumlah
(banyaknya) perjalanan yang berasal (meninggalkan). Keputusan
pemilihan
-
18
lintas pergerakan Keputusan berlokasi oleh lembaga /individu
Pola guna
lahan Kebutuhan sarana dan prasarana transportasi Penambahan
prasarana
dan saranan transportasi Perkembangan lahan dari suatu
zona/kawasan/petak lahan dan jumlah perjalanan yang
datang/tertarik ke
suatu zona pada masa yang akan datang persatuan waktu. Dalam
prosesnya
dianalisis secara terpisah menjadi 2 bagian yaitu:
a. Produksi Perjalanan/Perjalanan yang di hasilkan (Trip
Production).
b. Penarik perjalanan/ Perjalanan yang tertarik (Trip
Atraction).
2) Sebaran Perjalanan (Trip Distribution) Sebaran perjalanan
merupakan
jumlah (banyaknya) perjalanan/yang bermula dari suatu zona asal
yang
menyebar kebanyak zona tujuan atau sebaliknya jumlah perjalanan/
yang
datang mengumpul ke suatu zona tujuan yang tadinya berasal dari
sejumlah
zona asal (Fidel Miro, 2002:150).
2.4 Pemilihan Moda dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh
Pemilihan moda (modal split) dapat didefinisikan sebagai
pembagian secara
seimbang jumlah seluruh pelaku perjalanan kedalam berbagai
metode perjalanan
atau moda transportasi (Bruton, 1985 dalam Sihombing, 1990).
Pada dasarnya,
pemilihan moda angkutan oleh pelaku perjalanan merupakan akibat
dari adanya
transaksi antara kegiatan penyediaan dan permintaan (Kanafani,
1983). Beberapa
pendapat menyatakan bahwa hinggasaat ini pemilihan moda
transportasi
merupakan tahap penting sekaligus menjadi tahap tersulit dalam
perencanaan
transportasi (Dewi, 2005).
Pemilihan moda transportasi oleh masyaraakat akan sangat
dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain karakteristik pergerakan,
karakteristik pelaku perjalanan,
dan karakteristik sistem perangkutan (Bruton 1975). Dalam
memilih moda angkutan,
masyarakat akan menilai atribut pelayanan moda yang ditawarkan
namun tetap
sesuai dengan kondisi sosial ekonominya. Selain itu, dalam
memutuskan suatu
pilihan moda angkutan, pelaku perjalanan juga dipengaruhi oleh
dorongan yang
bersifat situasional dan bersifat pribadi. Yang dimaksud dengan
dorongan bersifat
situasional adalah faktor lingkungan pada saat pelayanan
transportasi diberikan serta
tingkat pelayanan moda transportasi tersebut. Sedangkan dorongan
bersifat pribadi
-
19
sangat dipengaruhi oleh gaya hidup maupun status sosial
masyarakat yang sulit
untuk dikuantitatifkan (Manheim, 1979).
Beberapa contoh studi mengenai pola pemilihan moda dan
sensitivitas
masyarakat terhadap atribut layanan moda antara lain studi yang
dilakukan oleh
Siahaan (1986) yang menyatakan bahwa untuk menarik golongan
masyarakat
berpendapatan menengah-rendah agar menggunakan sarana
transportasi umum,
maka perlu dilakukan peningkatan atribut pelayanan moda. Tidak
sama dengan
halnya bagi pengguna kendaraan pribadi. Bagi penggguna kendaraan
pribadi,
perbaikan tingkat pelayanan moda transportasi tidak terlalu
mempengaruhi
perpindahan moda. Perpindahan moda dari kendaraan pribadi ke
kendaraan umum
harus dilaksanakan dengan cara meningkatkan pelayanan kendaraan
umu sekaligus
memberi tekanan atau paksaan kepada pengguna kendaraan pribadi.
Misalnya,
pembangunan sistem angkutan umum massal yang nyaman dan cepat,
diiringi
dengan kebijakan kenaikan tarif parkir. Pembatasan kendaraan
pribadi semacam ini
lebih dikenal dengan istilah travel demand management (TDM).
Pemilihan moda transportasi di Indonesia dibedakan ke dalam dua
jenis moda
pokok, yaitu kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Kendaraan
umum dibedakan
menjadi kendaraan jalan raya dan jalan rel, sedangkan kendaraan
pribadi terdiri dari
mobil pribadi dan sepeda motor. Masyarakat Indonesia cenderung
lebih menyukai
bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi karena berbagai
alas an, antara
lain karena kendaraan umum di Indonesia dianggap masih jauh dari
kenyamanan,
keamanan, dan diragukan ketepatan waktunya. Selain itu,
penggunaan kendaraan
pribadi juga masih dianggap memiliki status sosial yang lebih
tinggi dan guna
memenuhi gaya hidup masyarakat masa kini.
-
20
Gambar 2.2 Pola Pemilihan Moda Transportasi di Indonesia
Sumber : Tamin, 1997
2.5 Tingkat Pelayanan Moda Transportasi
Tingkat pelayanan (level of service) moda transportasi merupakan
salah satu
faktor penting bersifat situasional yang mempengaruhi pemilihan
moda oleh pelaku
perjalanan. Faktor bersifat situasional ini disebut juga faktor
internal karena
dipengaruhi secara langsung oleh pemberi jasa angkutan. Lain
halnya dengan faktor
lingkungan yang disebut juga dengan faktor eksternal. Faktor
eksternal atau
lingkungan berada di luar kendali penyedia jasa angkutan.
Tingkat pelayanan moda yang mempengaruhi pemilihan moda
transportasi bagi
pelaku perjalanan meliputi:
-
21
a. Atribut pelayanan biaya perjalanan
Atribut biaya perjalanan meliputi seluruh ongkos yang
dikeluarkan oleh
pelaku perjalanan seperti biaya bahan bakar, biaya parkir, biaya
tol dan biaya
perawatan kendaraan bagi pengguna kendaraan pribadi. Sedangkan
bagi
pengguna kendaraan umum, ongkos yang dikeluarkan antara lain
tarif moda
angkutan, dan biaya angkutan pengumpan (feeder) dari tempat asal
ke
pangkalan atau terminal angkutan.
b. Atribut pelayanan waktu perjalanan
Atribut waktu perjalanan terdiri dari waktu tempuh primer
(in-vehicle travel
time) dan waktu tempuh sekunder (out-of-vehicle travfel time).
Waktu
tempuh primer merupakan waktu yang dibutuhkan selama pelaku
perjalanan berada dalam kendaraan. Waktu tempuh primer ini
sangat
bergantung pada kecepatan rata-rata kendaraan da nada tidaknya
hambatan
dalam perjalanan. Sedangkan waktu tempuh sekunder merupakan
waktu
yang dibutuhkan pelaku perjalanan diluar kendaraan, misalnya
waktu
memarkir kendaraan, waktu tempuh dari lokasi awal ke tempat
memperoleh
kendaraan umum dan sebaliknya, serta waktu tunggu kendaraan
umum.
c. Atribut pelayanan kemudahan
Atribut pelatanan ini meliputi kemudahan pelaku perjalanan
dalam
mengakses terminal atau lokasi keberangkatan dan kedatangan moda
serta
kemudahan dalam memperoleh pelayanan angkutan. Kemudahan
mengakses terminal atau moda angkutan utama dipengaruhi oleh
aksesibilitas lokasi terminal tersebut da nada tidaknya angkutan
pegumpan.
Sedangkan kemudahan mendapatkan pelayanan angkutan umum
dipengaruhi oleh tingkat keterisian moda dan ffrekuensi
keberangkatan.
d. Atribut pelayanan kenyamanan
Atribut pelayanan kenyamanan meliputi kenyamana yang dilihat
secara fisik
dan psikis. Atribut ini sulit untuk diukur karena menyangkut
unsur
subjektivitas. Namun, atribut pelayanan kenyamanan dalam
moda
transportasi minimal adalah ketersediaan tempat duduk. Hal ini
juga
dipengaruhi oleh tingkat keterisian dan frekuensi
keberangkatan.
-
22
Menurut Schumer (1997) secara lebih rinci atribut-atribut
tingkat pelayanan pada
sistem transportasi yang efisien dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
a. Kecepatan, merupakan periode waktu yang dilalui oleh pengguna
jaasa dalam
melakukan perjalanan dari tiiti awal sejak memulai perjalanan
hingga tiba di
tempat tujuan.
b. Keselamatan dan keamanan, yang dimaksud dengna keselamatan
adalah
terhindarnya perjalanan dari kecelakaan yang disebabkan oleh
factor
internal. Sedangkan keamanan adalah terhindarnya perjalanan
dari
gangguan-gangguan bersifat ekternal, baik gangguan alam maupun
ulah
manusia.
c. Kapasitas, merupakan keteraturan kedatangan dan keberangkatan
moda
transportasi dalam jangka waktu tertentu.
d. Frekuensi, merupakan keteraturan kedatangan dan keberangkatan
moda
transportasi dalam jangka waktu tertentu.
e. Keteraturan, yang diartikan bahwa pergerakan moda
transportasi terjadi
pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan jadwal dan peraturan
perjalanan.
f. Kekomprehensifan, yaitu adanya keterkaitan antar moda
(multimoda).
g. Tanggung jawab, yaitu kualitas pelayanan yang diinginkan
tetapi dapat
dikondisikan dengan pertanggungjawaban yang sah atas pengusahaan
alat
transportasi dan kemampuannya untuk membayar kompensasi jika
terjadi
klaim dari pengguna.
h. Kenyamanan dalam perjalanan, merupakan terwujudnya ketenangan
dan
ketentraman bagi penumpang selama dalam perjalanan. Kenyamanan
disimi
melipputi tempat vduduk, sirkulasi dan pengaturan temperature
udara, serta
fasilitas perjalanan jarak jauh, seperti pelayanan konsumsi,
hiburan, dan
fasilitas akomodasi.
i. Tarif yang wajar, merupakan penetapan tariff betas ataas dan
batas bawah
yang wajar dan sesuai dengan tingkat pelayanan yang ditawarkan
serta dapat
diterima oleh pengguna jasa.
Agar moda transportasi yang dioperasikan tidak sia-sia, dalam
artian tingkat
keterisian (occupancy rate) yang kecil, maka atribut pelayanan
moda transportasi
-
23
yang ditawarkan harus sesuai dengan keinginan pelaku perjalanan.
Menurut Meyer
dan Miller (1984), penyediaan pelayanan moda transportasi dapat
dilihat dari dua
perpektif, yaitu perspektif pengguna dan perspektif operator.
Jika dilihat dari sisi
pengguna, maka atribut pelayanannya harus sesuai dengan
kebutuhannya, misalnya
cepat, nyaman, jadwal yang diandalkan dan frekuensi
keberangkatan (headway)
yang cukup. Sedangkan dari sisi operator, pelayanan moda
nagkutan meliputi
frekuensi perjalanan, kapasitas, biaya operasional, dan sistem
penjadwalan.
2.6 Metode Analisis dalam Penelitian
Berikut akan diuraikan metode-metode analisis yang digunakan
dalam penelitian
ini. Metode analisis yang digunakan antara lain adalah metode
analisis deskriptif
untuk mengetahui karakteristik reponden dan mengetahui tingkat
ketersediaan
responden untk menggunakan koridor Jalan Cihampelas.
-
24
BAB III
GAMBARAN UMUM KAWASAN
3.1 Gambaran Umum Kota Bandung
Dalam konteks nasional, kota bandung memiliki peran dan
kedudukan yang
strategis. Dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang
RTRWN, Kota
Bandung ditetapkan sebagai salah satu pusat kegiatan nasional
(PKN), selain itu
dalam RTRWN tersebut, kota Bandung dan sebagian wilayah
kabupaten bandung
ditetapkan sebagai Kawasan Andalan Cekungan Bandung dan
sekitarnya dengan
sektor unggulan industri, pertanian tanaman pangan, pariwisata
dan perkebunan.
Wilayah Kota Bandung dengan luas 16.729,65 Ha, terbagi menjadi 6
Wilayah
pengembangan dan 30 Kecamatan. Jumlah penduduk Kota Bandung
diperkirakan
sebesar 2.4 juta kiwa dengan kepadatan penduduk sekitar 13.748
jiwa/km2 . jumlah
dan kepadatan penduduk ini semakin bertambah setiap tahunnya,
selain itu pola dan
persebaran jumlah penduduk di kota bandung tidak merata sehingga
berimplikasi
pada intensitas kegiatan dan mempengaruhi pergerakan penduduk
dan kebutuhan
transportasi di kota bandung. Apabila pergerakan yang terjadi
tidak seimbang
dengan kapasitas jalan maka akan menimbulkan persoalan lalu
lintas di ruas-ruas
jalan tertentu.
Pergerakan lalu lintas di kota bandung yang sebagian besar
menuju pusat kota /
perdagangan di sekitar jalan Dewi Sartika, Asia-Afrika, Merdeka,
Diponegoro,
Cihampelas dan lain sebagainya juga karena adanya pergerakan
arus yang memasuki
kota bandung pada hari libur.
Pola perjalanan di Kota Bandung menunjukkan bahwa pergerakan
penduduk
dari luar kota bandung cukup besar. Hal ini disebabkan banyaknya
penduduk di luar
Kota Bandung yang bekerja di Kota Bandung. Sedangkan untuk pola
perjalanan
internal Kota Bandung pada umumnya dibangkitkan dari kawasan
perumahan
menuju pusat kota. Pola jaringan transportasi di Kawasan Kota
Bandung
menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
-
25
1. Pola jaringan cenderung membentuk pola kombinasi radial
konsentris
sesuai dengan pola guna lahannya dengan beberapa poros utama
kota,
serta pada sebagian besar ruas jalan utama terdapat
interaksi
(simpangan) dengan jarak sangat dekat.
2. Pola jaringan pada kawasan perluasan (internal kota)
membentuk pola
radial untuk mengarahkan arus pergerakan tidak melalui pusat
kota.
3. Pola jaringan pada kawasan pinggiran (luar kota) dilayani
dengan jaringan
jalan tol untuk memisahkan arus pergerakan regional tidak
bercampur
dengan pergerakan internal kota
Jaringan jalan di Kota Bandung terdiri dari jaringan jalan
primer dan jalan
sekunder, total jaringan jalan di Kota Bandung pada tahun 2000
adalah 1139 km yang
terdiri dari arteri primer sepanjang 42 km, arteri sekunder
sepanjang 23 km, kolektor
primer sebesar 31 km, kolektor sekunder sebesar 37 km dan jalan
lokal sepanjang
1005 km.
Secara umum, tempat-tempat kegiatan seperti pertokoan belum
menyediakan
lahan parkir, akibatnya untuk beberapa jalur jalan tertentu
parkir kendaraan masih
menggunakan badan jalan sebagai sarana parkir. Hal diatas
merupakan salah satu
penyebab terjadinya kemacetan lalu-lintas kota karena ruas jalan
menjadi sangat
terganggu.
3.2 Kebijakan dan Kedudukan Jalan Cihampelas dalam Lingkup Kota
Bandung
Jalan Cihampelas yang merupakan jalan kolektor sekunder, adalah
salah satu
jalur yang menghubungkan bagian utara dengan pusat kota.
Dalam
perkembangannya jalan Cihampelas ini tumbuh pesat menjadi salah
satu kawasan
perdagangan dan jasa di Kota Bandung.
Menurut RTRW Kota Bandung tahun 2013, kawasan perdagangan adalah
lokasi
yang ditetapkan untuk transaksi langsung antara pembeli dan
pedagang. Wadah fisik
dari kegiatan transaksi ini adalah pertokoan, pasar atau pusat
belanja. Sedangkan
kawasan jasa adalah lokasi yang ditetapkan untuk
menyelenggarakan berbagai
kegiatan pelayanan dengan wadah fisiknya berupa perkantoran
dengan kegioatan
ekonomi atau serangkaian kegiatan yang umumnya tidak kasat mata,
dan tidak
-
26
berdampak kepada kepemilikan apapun, yang ditawarkan satu pihak
kepada orang
lain, yang produknya dinikmati pada saat diproduksi, serta
mempunyai nilai tambah
dalam berbagai bentuk (kenyamanan, hiburan, kemudahan, atau
kesehatan).
Arahan pengembangan kawasan dan kegiatan perdagangan dan jasa
berdasarkan
RTRW Kota Bandung 2013, antara lain adalah merevitalisasi atau
meremajakan
kawasan pasar yang tidak tertata dan/atau menurun kualitas
pelayanannya dengan
tanpa mengubah kelas dan/atau skala pelayanannya yang telah
ditetapkan.
Kebijakan lainnya yaitu mengendalikan kegiatan perdagangan dan
mengarahkan
perkembangannya ke lokasi yang sesuai dengan peruntukannya.
Sedangkan untuk
kegiatan jasa, arahan pengembangannya antara lain yaitu
mewajibkan penyediaan
parkir dan prasarana yang memadai bagi pengembangan kegiatan
jasa.
3.3 Karakteristik Jalan Cihampelas
Daerah sepanjang Jalan Cihampelas yang berfungsi sebagai jalan
kolektor
sekunder merupakan suatu kawasan yang termasuk ke dalam
Wilayah
Pengembangan (WP) Cibeunying. Secara administratif, wilayah
studi penelitian ini
termasuk ke dalam Kelurahan Cipaganti, Kecamatan Coblong.
Sedangkan secara fisik
geografis, Jalan Cihampelas dimulai dari persimpangan Jalan Dr.
Setiabudi dan Jalan
Ciumbuleuit di sebelah utara, sampai ke persimpangan Jalan
Pajajaran dan Jalan
Cicendo di sebelah selatan yang terbagi ke dalam 6 ruas jalan
yaitu:
1. Ruas jalan antara Jalan Lamping dan Jalan Dr. Setiabudi
2. Ruas jalan antara Jalan Bapak Husen dan Jalan Lamping
3. Ruas jalan antara Jalan Prof. Eyckman dan Jalan Bapak
Husen
4. Ruas jalan antara Jalan Pasteur dan Jalan Prof. Eyckman
5. Ruas jalan antara Jalan Abdul Rivai dan Jalan Pasteur
6. Ruas jalan antara jalan Pajajaran dan Jalan Abdul Rivai
Dari keenam ruas jalan tersebut, daerah yang diambil sebagai
wilayah studi
hanya 2 (dua) ruas jalan saja, yaitu ruas jalan antara Jalan
Prof. Eyckman dan Jalan
Bapak Husen, serta antara Jalan Pasteur dan Jalan Prof. Eyckman
yang selanjutnya
akan tetap disebut Jalan Cihampelas.
-
27
3.3.1 Pola Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di kawasan jalan Cihampelas didominasi oleh
kegiatan
perdagangan dan jasa. Pembagian lokasi pengamatan dibagi menjadi
2
kelompok, yaitu:
1. Kawasan penggal jalan Bapak Husen dan Jalan Prof. Eyckman
penggunaan lahan di ruas ini yaitu perkantoran, pendidikan,
rumah sakit,
penginapan, perdagangan dan pusat perbelanjaan (mall).
2. Kawasan penggal jalan Prof. Eyckman dan jalan Pasteur
Penggunaan lahan di kawasan ini berupa perumahan, perdagangan,
dan
jasa, restoran, pusat perbelanjaan dan bengkel.
Gambar 3.1
Pembagian Ruas Jalan Cihampelas
Sumber: Peta Guna Lahan Kota Bandung Tahun 2014
3.3.2 Karakteristik Fisik di Jalan Cihampelas
Jalan Cihampelas merupakan jalan satu arah dengan dua lajur tak
terbagi
dengan proporsi jalur yang sama besar (50-50). Median jalan
berupa marka garis
putus-putus. Kelengkapan jalan yang ada meliputi rambu dilarang
berhenti, papan
-
28
penunjuk arah jalan, area penyeberangan (zebra cross), rambu
forbidden, lampu
pengatur lalu lintas, dan lampu jalan. Keadaan fisik koridor
wilayah studi pada Ruas
1 (penggal jalan antara Jalan Bapak Husen dan Jalan Prof.
Eyckman) adalah sebagai
berikut:
1. Panjang jalan kurang lebih 675 meter.
2. Lebar badan jalan rata-rata 7 meter.
3. Lebar efektif jalan rata-rata 6 meter.
4. Lebar bahu jalan efektif rata-rata dibawah 0,5 meter.
5. Lebar trotoar sebelah timur jalan rata-rata 1 meter.
6. Lebar trotoar sebelah barat jalan rata-rata 1,5 meter.
Sedangkan karakteristik fisik pada Ruas 2 (penggal jalan antara
Jalan Prof.
Eyckman dan Jalan Pasteur) adalah sebagai berikut:
1. Panjang jalan kurang lebih 825 meter.
2. Lebar badan jalan rata-rata 8 meter.
3. Lebar efektif jalan rata-rata 7 meter.
4. Lebar bahu jalan efektif rata-rata dibawah 0,5 meter.
5. Lebar trotoar sebelah timur jalan rata-rata 1 meter.
6. Lebar trotoar sebelah barat jalan rata-rata 1,5 meter.
3.4 Kondisi Jalan Cihampelas
3.4.1 Volume Kendaraan
Menurut Pignataro dalam Malvina (2005), yang dimaksud dengan
volume
kendaraan adalah jumlah kendaraan yang melewati titik tertentu
pada waktu
tertentu atau jumlah kendaraan yang melewati ruas jalan tertentu
pada waktu
tertentu. Sedangkan volume maksimum pada saat jam puncak
didefinisikan sebagai
jumlah volume yang terjadi pada suatu ruas jalan pada waktu jam
sibuk (peak hour).
Di sepanjang Jalan Cihampelas yang menjadi objek pengamatan
yaitu ruas 1 (penggal
jalan antara Jalan Bapak Husen - Jalan Prof. Eyckman) dan ruas 2
(penggal jalan antara
Jalan Prof. Eyckman - Jalan Pasteur), terjadi percampuran jenis
kendaraan yang
melintas, yaitu mulai dari kendaraan sepeda motor, kendaraan
ringan (light vehicle)
seperti sedan, minibus, jip, dan kendaraan lain yang sejenis,
kendaraan berat (heavy
-
29
vehicle) seperti bis, truk, serta kendaraan tidak bermotor
(unmotorized vehicle)
seperti sepeda dan gerobak. Kendaraan yang mendominasi
penggunaan Jalan
Cihampelas adalah jenis kendaraan ringan dan sepeda motor. Untuk
lebih jelasnya,
maka dapat dilihat dalam tabel volume kendaraan sebagai
berikut:
Tabel 3.1
Volume Kendaraan Yang Melewati Jalan Cihampelas Ruas 1 dan 2
Hari Waktu
Volume Kendaraan (Kendaraan/jam)
Total Sepeda Motor
Kendaraan Ringan
Kendaraan Berat
Kendaraan Tak
Bermotor
Sabtu, 1
November 2014
07.00-08.00
820 1200 36 24 2080
12.00-13.00
908 1656 76 4 2644
17.00-18.00
1344 1776 64 16 3196
Sumber: Hasil Pengamatan Lapangan, 2014
Tabel 3.2
Volume Kendaraan Yang Melewati Jalan Cihampelas Ruas 1 dan 2
Hari Waktu
Volume Kendaraan (Satuan Mobil Penumpang/Jam)
Total Sepeda Motor
Kendaraan Ringan
Kendaraan Berat
Sabtu, 1 November
2014
07.00-08.00 205 1200 72 1477
12.00-13.00 227 1656 152 2035
17.00-18.00 336 1776 128 2240
Sumber: Hasil Pengamatan Lapangan, 2014
3.4.2 Kapasitas Jalan Cihampelas
Berdasarkan kondisi geometrik Jalan Cihampelas dan faktor-faktor
yang
mempengaruhi kapasitas jalan maka kapasitas Jalan Cihampelas
pada ruas 1 (penggal
jalan antara Jalan Bapak Husen Jalan Prof. Eyckman) yaitu
sebesar 2216 smp/jam
dan untuk ruas 2 (ruas jalan antara Jalan Prof. Eyckman Jalan
Pasteur), diperoleh
kapasitas jalan sebesar 2409 smp/jam.
3.4.3 Kecepatan Perjalanan
Kecepatan perjalanan merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh untuk
menggambarkan kinerja suatu jaringan jalan dalam menampung arus
lalu lintas.
Kecepatan perjalanan dihitung berdasarkan data hasil survei
primer dengan
-
30
menggunakan kendaraan ringan melalui pencatatan waktu perjalanan
dari awal
hingga ujung akhir ruas jalan termasuk semua waktu tundaan yang
terjadi. Menurut
Warpani dalam Malvina (2005), untuk menghitung kecepatan
perjalan digunakan
rumus kecepatan perjalanan sebagai berikut:
Kecepatan Perjalanan = Jarak/Waktu Tempuh
Jalan Cihampelas merupakan jalan kolektor sekunder yang
memiliki
kecepatan rencana serendah-rendahnya 20 km/jam. Namun pada
umumnya
berdasarkan hasil pengamatan, kecepatan perjalanan memiliki
nilai < 20 km/jam.
Tabel berikut memperlihatkan data bahwa pada ruas 1 dan 2
sebaian besar
kecepatan kendaraan pada peak hours berada di bawah standar
kelas jalan kolektor
sekunder.
Tabel 3.3
Kecepatan Kendaraan Di Jalan Cihampelas Ruas 1
Ruas Waktu Panjang (m)
Waktu tempuh (detik) Kecepatan (km/jam)
1
07.00-08.00
675
90 27.00
12.00-13.00
128 18.98
17.00-18.00
165 14.73
Sumber: Hasil Pengamatan Lapangan, 2014
Tabel 3.4
Kecepatan Kendaraan Di Jalan Cihampelas Ruas 2
Ruas Waktu Panjang (m)
Waktu tempuh (detik) Kecepatan (km/jam)
2
07.00-08.00
825
95 31.26
12.00-13.00
130 22.85
17.00-18.00
215 13.81
Sumber: Hasil Pengamatan Lapangan, 2014
3.4.4 Kondisi Pedestrian di Jalan Cihampelas
3.4.4.1 Kondisi Pedestrian Di Ruas 1
Jalur pejalan kaki Jl. Cihampelas ruas 1 terdiri dari jalan
pedestrian yang
posisinya terdapat di sebelah barat dan timur Jl. Cihampelas
ruas 1 ( 675 m). untuk
pedestrian bagian barat memiliki lebar 100-150 cm dan pedestrian
bagian timur
-
31
100 cm. jalur pedestrian ini kondisinya rusak di beberapa titik
dan di titik-titk seperti
di depan sentra Jeans pedestrian sebelah barat digunakan oleh
pkl dan disebelah
timur digunakan sebagai area parker sehingga pejalan kaki
terpaksa turun ke jalan
dan menimbulkan hambatan samping. Selain itu Tidak terdapat
jalur penyebrangan
atau zebra cross disepanjang ruas 1 sehingga menyebabkan
aktivitas menyebrang
dilakukan dimana saja.
3.4.4.2 Kondisi Pedestrian di Ruas 2
Jalur pejalan kaki Jl. Cihampelas ruas 2 terdiri dari jalan
pedestrian yang
posisinya terdapat di sebelah barat dan timur Jl. Cihampelas
ruas 1 ( 825 m). Untuk
pedestrian bagian barat memiliki lebar 100-150 cm dan pedestrian
bagian timur
150-200 cm. jalur pedestrian ini kondisinya cukup baik dan lebar
sehingga
masyarakat dan pengunjung dapat berjalan kaki dengan nyaman.
Namun pedestrian
sebelah timur di bagian utara ruas 2 pada saat-saat weekend
digunakan menjadi
tempat parker sehingga menimbulkan hambatan samping berupa
pejalan kaki yang
masuk ke median jalan. Selain itu, jalur penyebrangan/ zebra
cross disepanjang ruas
2 hanya terdapat di perempatan antara jl. Pasteur dengan jalan
Cihampelas sehingga
menyebabkan aktivitas menyebrang di ruas 2 dilakukan dimana
saja.
3.4.5 Karakter Aktivitas Pedestrian di Koridor Jalan
Cihampelas
3.4.5.1 Karakter Aktivitas Pedestrian di Ruas 1
Berdasarkan pengamatan lapangan, dapat digambarkan pola
aktivitas pejalan
kaki yang didapat melalui jumlah pejalan kaki yang melewati
jalur pedestrian tepi
jalan raya dan menyeberang/melintas jalan raya (di sisi timur
dan barat Jl.
Cihampelas ruas 1). Gambaran tentang jumlah pejalan kaki
tersebut dapat dilihat
dalam uraian sebagai berikut :
Setiap hari pejalan kaki mempunyai aktivitas di Jl. Cihampelas,
mulai pagi
sampai malam.
Kepadatan akan semakin bertambah pada saat hari libur atau hari
Minggu.
Pejalan kaki lebih dominan berjalan di sisi sebelah timur.
Pada hari sabtu, minggu atau libur, pejalan kaki akan mulai
padat dari pagi
hari sampai malam hari.
-
32
3.4.5.2 Karakter Aktivitas Pedestrian di Ruas 2
Berdasarkan pengamatan lapangan, dapat digambarkan pola
aktivitas pejalan
kaki yang didapat melalui jumlah pejalan kaki yang melewati
jalur pedestrian tepi
jalan raya dan menyeberang/melintas jalan raya (di sisi timur
dan barat Jl.
Cihampelas ruas 1). Gambaran tentang jumlah pejalan kaki
tersebut dapat dilihat
dalam uraian sebagai berikut :
Setiap hari pejalan kaki mempunyai aktivitas di Jl. Cihampelas,
mulai pagi
sampai malam.
Jumlah pejalan kaki yang beraktivitas di ruas 2 lebih sedikit
daripada di ruas 1
Kepadatan akan semakin bertambah pada saat hari libur atau hari
Minggu.
Pejalan kaki lebih dominan berjalan di sisi sebelah timur.
Pada hari sabtu, minggu atau libur, pejalan kaki akan mulai
padat dari pagi
hari sampai malam hari.
3.4.6 Kelengkapan Jalur Pedestrian di Jalan Cihampelas
3.4.6.1 Kelengkapan Jalur Pedestrian di Ruas 1
Beberapa elemen yang terdapat di ruas 1 antara lain:
Pepohonan
Tempat sampah
Lampu jalan
Tiang listrik
Rambu-rambu lalulintas
Peletakan elemen-elemen pelengkap jalan ini peletakannya belum
tertata kecuali
tempat sampah, sehingga elemen-elemen tersebut mengganggu
dimensi efektif
pemanfaatan Jalur Pedestrian.
3.4.6.2 Kelengkapan Jalur Pedestrian di Ruas 2
Beberapa elemen yang terdapat di ruas 2 antara lain:
Pepohonan
Tempat sampah
Lampu jalan
Bangku
-
33
Tiang listrik
Zebra Cross
Rambu-rambu lalulintas
Peletakan elemen-elemen pelengkap jalan ini peletakannya lebih
tertata
dibandingkan ruas 1, sehingga elemen-elemen tersebut tidak
mengganggu dimensi
efektif pemanfaatan Jalur Pedestrian.
-
34
BAB IV
ANALISIS
Pada bagian ini terdiri atas analisis sub sistem jaringan,
analisis sub sistem
pergerakan, analisis sub sistem aktivitas, analisis
permasalahan, serta analisis
penanganan persoalan lalu lintas.
4.1 Analisis Subsistem Jaringan
Pada bagian ini akan dibahas mengenai anallisis sub sistem
jaringan jalan yang
akan menjelaskan karakteristik jaringan jalan, pengaturan lalu
lintas yang berada di
Jalan Cihampelas, dan tingkat pelayanan jalannya.
4.1.1 Jaringan Jalan
Jalan Cihampelas merupakan jalan yang memiliki fungsi sebagai
jalan kolektor
sekunder. Sebagai jalan kolektor, maka jaringan Jalan Cihampelas
melayani angkutan
pengumpul dari jalan lokal ke jalan arteri dengan ciri-ciri
perjalanan jarak sedang,
kecepatan sedang, dan jumlah jalan dibatasi secara efisien.
Sedangkan jaringan jalan
sekunder menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi
primer, fungsi
sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga
dan seterusnya
hingga ke perumahan. Dengna kata lain sistem jaringan jalan
kolektor sekunder
menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder
kedua atau
menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder
ketiga.
Jalan Cihampelas memiliki lebar perkerasan 7 meter pada ruas 1
dan 8 meter
pada ruas 2, dengan masing-masing ruas jalan memiliki 2 buah
lajur. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2006, lebar perkerasan jalan
yang seharusnya
dimililki oleh jalan kolektor sekunder adalah 9 meter. Oleh
karena itu, lebar jalan
yang dimiliki oleh Jalan Cihampelas masih berada di bawah
standar teknis, yaitu 2
meter untuk ruas 1 dan 1 meter pada ruas 2.
Daerah di sisi-sisi ruas Jalan Cihampelas merupakan daerah yang
strategis
untuk melakukan kegiatan produktif, seperti perdagangan dan
jasa. Hal ini cukup
berpengaruh terhadap kondisi lalu lintas di sepanjang ruas
tersebut dengan
-
35
banyaknya hambatan terhadap pergerakan lalu lintas. Hambatan ini
menyebabkan
rendahnya kecepatan perjalanan dan adanya tundaan lalu lintas.
Untuk itu
diperlukan adanya upaya penataan prasarana jaringan jalan
sehingga dapat
menyelenggarakan lalu lintas yang efektif dan efisien.
4.1.2 Pengaturan Lalu Lintas
Peraturan lalu lintas adalah seperangkat peraturan lalu lintas
yang
dimaksudkan untuk mengontrol kelancaran dan keselamatan lalu
lintas. Bentuk
pengaturan lalu lintas dapat berupa rambu-rambu lalu lintas,
lampu lalu lintas, pulau
lalu lintas, dan marka jalan. Rambu lalu lintas secara umum
dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga jenis, yaitu rambu peringatan (warning signs), rambu
petunjuk atau
informasi (guide or information signs), serta rambu pengaturan
(regulatory signs).
Berdasarkan pengamatan lapangan, rambu-rambu lalu lintas di
sepanjang
Jalan Cihampelas jumlahnya sangat minim. Selain itu kondisi
fisik rambu-rambu
tersebut sudah tidak berfungsi dengan baik lagi. Untuk
pengaturan angkutan umum
juga tidak terdapat pengelolaan yang baik. Hal ini terlihat
ddari kurangnya prasarana
untuk pemberhentian angkutan umum, sehingga menyebabkan angkutan
umum
dapat berhenti di sembarang tempat di sepanjang Jalan
Cihampelas. Kurangnya
peraturan untuk pejalan kaki juga seringkali menyebabkan para
pejalan kaki
menyebrang di sembarang tempat. Hal tersebut tentu saja dapat
menyebabkan
terjadinya tundaan terhadap pergerakan lalu lintas yang ada.
Secara umum, bentuk pengaturan lalu lintas yang ada di Jalan
Cihampelas
saat ini masih belum mampu mendukung pergerakan lalu lintas yang
ada dengan
ditunjukkannya tingkat pelayanan jalan yang rendah dan munculnya
konflik antar
moda di sepanjang Jalan Cihampelas. Untuk itu diperlukan bentuk
pengaturan lalu
lintas yang lebih optimal untuk meningkatkan tingkat pelayanan
jalan.
4.1.3 Tingkat Pelayanan Jalan
Analisis tingkat pelayanan jalan bertujuan untuk melihat sejauh
mana suatu
jalan mampu menjalankan perannya dalam melayani arus kendaraan
dan juga unutk
mengetahui sejauh mana tingkat persoalan lalu lintas yang
terjadi pada suatu ruas
jalan. Tingkaat pelayanan jalan dapat ditentukan dengan
menghitung rasio antar
-
36
volume lalu lilntas dengan kapasitas jalan. Apabila rasio antara
volume dan kapasitas
jalan mendekati angka 1, maka ruas jalan tersebut dapat
dikatakan memiliki tingkat
pelayanan yang buruk. Kondisi ini biasanya ditandai dengan mulai
tidak stabilnya arus
lalu lintas yang tercermin dari terjadinya penurunan kecepatan
kendaraan dan
peningkatan waktu tempuh.
Jalan kolektor sekunder adalah jalan yang idesain untuk memiliki
kecepatan
minimum 20km/jam. Berdasarkan pada tingkat pelayanan jalan yang
dikembangkan
oleh IHCM (Indonesia Highway Capacity Manual) 1997, maka tingkat
pelayanan jalan
yang ideal bagi jalan kolektor sekunder adalah tingkat pelayanan
C, dengan
perbandingan volume dan kapasitas jalan 0,80 dan kecepatan
berkisar antara 32-
40 km/jam.
Setelah mengetahui volume kendaraan yang melintas dan kapasitas
Jalan
Cihampelas, maka selanjutnya adalah menghitung rasio antara
volume dan kapasitas
(VCR). Nilai VCR ini berguna untuk mengetahui tingkat pelayanan
jalan (level of
service) dari ruas jalan tersebut. Selain itu faktor kecepatan
juga menjadi tolak ukur
mengetahui tingkat pelayanan suatu ruas jalan.
Tabel 4.1 Pelayanan Jalan Cihampelas pada Ruas 1
Hari Waktu Volume Kapasitas
VCR Kecepatan
LOS (smp/jam) (smp/jam) Perjalanan (km/jam)
Jumat
07.00-08.00 1509.2 2216.28 0.6809 24.8 C
12.00-13.00 1899.4 2216.18 0.857 19.92 C
17.00-18.00 2156.6 2216.18 0.973 15 E
Sabtu
07.00-08.00 1450.6 2216.18 0.6545 27 C
12.00-13.00 1974.6 2216.18 0.8909 18.98 D
17.00-18.00 2185.6 2216.18 0.9861 14.73 E
Minggu
07.00-08.00 1445.8 2216.18 0.65235 27 C
12.00-13.00 1933.4 2216.18 0.88878 18.69 D
17.00-18.00 1963.2 2216.18 0.8858 15.68 D
Sumber : Hasil analisis, 2014
Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa Jalan Cihampelas
pada ruas 1
memiliki fungsi tingkat pelayanan jalan yang sangat buruk,
berkisar antara C-F.
Standar ideal tingkat pelayanan jalan untuk jalan kolektor
sekunder adalah C ( 0,80),
sedangkan secara umum tingkat pelayanan Jalan Cihampelas masih
berada di bawah
C, hanya pada saat pada saat-saat tertentu saja tingkat
pelayanan Jalan Cihampelas
-
37
masih berada pada tingkat C. Dari tabel tersebut juga dapat
dilihat bahwa kecepatan
kendaraan (kendaraan ringan) yang melewati ruas 1 Jalan
Cihampelas secara umu
masih di bawah kecepatan standar minimal untuk jalan kolektor
sekunder yaitu 20
km/jam. Jika melihat berdasarkan unsur kecepata, maka tingkat
pelayanan Jalan
Cihampelas pada ruas 1 lebih buruk daripada tingkat pelayanan
jalan yang tertera
pada tabel tersebut, dikarenakan oleh aktivitas hambatan samping
yang
mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap pergerakan kendaraan
yang melalui
ruas ini dan menyebabkan kecepatan perjalanan menjadi rendah.
Jika dilihat
berdasarkan sisi kecepatan perjalanan, maka Jalan Cihampelas
ruas 1 ini memiliki
tingkat pelayanan jalan berkisar antara E-F.
Tabel 4.2 Pelayanan Jalan Cihampelas pada Ruas 2
Hari Waktu Volume Kapasitas
VCR Kecepatan
LOS (smp/jam) (smp/jam) Perjalanan (km/jam)
Jumat
07.00-08.00 1515.2 2409 0.629 29.7 C
12.00-13.00 1904.4 2409 0.7905 23.76 D
17.00-18.00 2157.6 2409 0.8956 18.33 D
Sabtu
07.00-08.00 1466.4 2409 0.6087 31.26 C
12.00-13.00 1992.8 2409 0.8272 22.85 D
17.00-18.00 2190.6 2409 0.9093 13.81 E
Minggu
07.00-08.00 1445.8 2409 0.6002 30.62 C
12.00-13.00 1928.4 2409 0.8005 22.5 D
17.00-18.00 1989.8 2409 0.8257 17.47 D
Sumber : Hasil analisis, 2014
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa tingkat
pelayanan Jalan
Cihampelas pada ruas 2 berkisar antara C-E. Tingkat pelayanan
jalan pada ruas 2 ini
secara umum masih berada di bawah standar teknis tingkat
pelayanan jalan untuk
jalan kolektro sekunder, meskipun nilai LOS yang diperoleh
relatif lebih baik daripada
nilai LOS pada ruas 1. Hal ini dikarenakan lebar efektif jalan
pada ruas 2 ini sedikit
lebih besar dibandingkan dengan lebar efektif jalan pada ruas 1
sehingga kapasitas
jalan yang diperolehnya pun lebih besar.
Sama halnya dengan ruas 1, jika dilihat berdasarkan sisi
kecepatan
perjalanan, maka nilai LOS yang diperoleh lebih rendah daripada
nilai LOS yang
tertera pada tabel tersebut. Adanya aktivitas hambatan samping
menyebabkan
kecepatan perjalanan yang diperoleh lebih rendah daripada nilai
LOS yang tertera
-
38
pada tabel tersebut. Adanya aktivitas hambatan samping
menyebabkan kecepatan
perjalanan yang diperoleh lebih rendah daripada nilai LOS yang
tertera. Jadi jika
dilihat berdasarkan unsur kecepatan perjalanan, maka nilai level
of service Jalan
Cihampelas pada ruas 2 berkisar antara D-F.
4.2 Analisis Subsitem Pergerakan
Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik
pergerakan lalu lintas
serta bangkitan dan tarikan pergerakan yang dihasilkan oleh
kegiatan perdagangan
dan jasa yang ada di sepanjang Jalan Cihampelas.
4.2.1 Karakteristik Lalu Lintas
Karakteristik lalu lintas yang melalui Jalan Cihampelas secara
umum dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Lalu lintas lokal, yaitu lalu lintas yang mempunyai asal dan
tujuan di daerah
Jalan Cihampelas.
2. Lalu lintas regional, yaitu lalu lintas antar daerah yang
mempunyai asal atau
tujuan Jalan Cihampelas.
3. Lalu lintas menerus, yaitu lalu lintas yang melewati Jalan
Cihampelas tetapi
tidak mempunyai asala atau tujuan di daerah ini.
Bercampurnya ketiga jenis pergerakan lalu lintas tersebut
mengakibatkan
volume lalu lintas tersebut mengakibatkan volume lalu lintas
meningkat terutama
pada jam-jam sibuk (pick hours). Dari Tabel 4.3 dapat dilihat
bahwa proporsi terbesar
jenis pergerakan pada Jalan Cihampeas adalah pergerakan
regional, sedangkan
proporai terkecil adalah pergerakan lokal. Tingginya pergerakan
regional ini tidak
terlepas dari fungsi Jalan Cihampelas sebagai salah satu pusat
perdagangan dan jasa
di Kota Bandung, sehingga banyak terdapat pusat kegiatan yang
menarik penduduk
dari dalam maupun dari luar Kota Bandung untuk datang ke Jalan
Cihampelas ini.
Pergerakan lalu lintas menerus memliki proporsi terbesar kedua.
Hal ini disebabkan
karena lokasi Jalan Cihampelas yang sangat strategis yang
menghubungkan bagian
utara dengan pusat Kota Bandung sehingga banyak sekali kendaraan
yang
menjadikan jalan ini sebagai jalur utama menuju ke tempat tujuan
mereka di pusat
Kota Bandung.
-
39
Tabel 4.3 Pergerakan Lalu Lintas Lokal, Regional, dan
Menerus
di Ruas Jalan Cihampelas pada Tahun 2014
Jenis Lalu Lintas Volume LHR (kendaraan/hari) Persentase (%)
Lokal 3612 5.46
Regional 36623 55.4
Menerus 25881 39.14
Jumlah 66116 100
Sumber : Hasil analisis, 2014
4.2.2 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan
Bangkitan dan tarikan pergerakan pada suatu wilayah tidak dapat
terlepas
dari sistem aktivitas wilayah tersebut. Secara umum pola
penggunaan lahan di Jalan
Cihampelas bersifat kegiatan komersial. Kegiatan-kegiatan yang
berkembang di
sepanjang Jalan Cihampelas antara lain perdagangan, kantor,
restoran, bank,
sekolah/kampus, rumah sakit, bengkel, dan lain-lain. Pesatnya
kegiatan yang
berkembang di sepanjang ruas Jalan Cihampelas berpengaruh
terhadap pergerakan
karena memberikan tarikan dan bangkitan yang cukukp besar,
sehingga berdampak
pada penurunan tingkat pelayanan Jalan Cihampelas.
Untuk menghitung bangkitan dan tarikan yang dihasilkan oleh
kegiatan
perdagangan dan jasa yang ada di Jalan Cihampelas, maka perlu
diketahui terlebih
dahulu jumlah luas lantai bangunan dari setiap kegiatan
perdagangan dan jasa
tersebut untuk kemudian dikalikan dengan standar trip rate untuk
masing-masing
jenis kegiatan itu. Tabel berikut ini berisikan standar trip
rate untuk masing-masing
jenis guna lahan.
Tabel 4.4 Tingkat Bangkitan/Tarikan Lalu Lintas (smp/100m2)
Waktu
Perkantoran Hotel Pertokoan
Masuk Keluar Total Masuk Keluar
Total Masuk Keluar
Total
07.00-08.00 0.73 0.27 1 0.41 0.23 0.64 0.04 0.02 0.06
12.00-13.00 0.23 0.22 0.45 0.24 0.27 0.51 0.78 0.65 1.42
17.00-18.00 0.2 0.51 0.71 0.29 0.31 0.6 0.5 0.95 1.45
Sumber : Hasil analisis, 2014
-
40
Setiap karakteristik kegiatan atau guna lahan mencerminkan
besaran
bangkitan/tarikan pergerakan yang berbeda. Besarnya bangkitan
atau tarikan lalu
lintas yang ditimbulkan oleh setiap guna lahan dapat dihitung
dari masing jumlah luas
lantai guna lahan tersebut. Tabel berikut berisi mengenai jumlah
luas lantai untuk
masing-masing guna lahan yang berada di sepanjang Jalan
Cihampelas.
Tabel 4.5 Luas Lantai Bangunan
Bangunan Luas Lantai Dasar
Jumlah Lantai Luas Seluruh Lantai
Bangunan (mkuadrat) Bangunan (mpersegi)
RS. Advent 3816.69 5 19083.47
Dealer Honda 542.18 2 1084.36
Wisma Dirgantara 835.18 1 835.18
Skaters Shop 176.69 3 530.08
Bank Niaga 180.22 2 360.44
Puma Hotel 708.93 1 708.93
Warung Gaul 635.42 2 1270.84
Superhero 622.39 2 1244.78
Tatto Shop 135.67 2 271.34
Blue Island 132.93 2 265.86
Toko Jeans 130.11 2 260.22
Premier Plaza 1235.29 6 7411.71
Tropicana Hotel 1125.96 6 6755.74
The Prominade 1278.99 3 3836.98
Elizabeth 335.23 3 1005.68
Ayam Goreng Jakarta 459.07 1 459.07
Sapu Lidi 489.21 1 489.21
Bank BNI 159.51 2 319.02
Asuransi 147.89 2 295.77
Hanaya 175.67 1 175.67
Bengkel 157.88 1 157.88
Sari Raos 178.62 1 1020.64
Dealer Yamaha 510.32 2 1487.53
Gamo 1487.53 1 932.75
Ampera 275.89 1 551.78
Hotline 200.39 2 200.39
Mayasari 223.49 1 223.49
Xpose Jeans 199.23 1 199.23
Pertokoan Jeans 1550.49 1 1550.49
IBC Jeans FO 200.59 1 200.48
Bandung Jeans 210.89 1 210.89
Edward Forrer 297.92 1 595.85
Rumah Snack 200.59 2 200.59
Toko CIA 125.37 1 125.37
-
41
Bangunan Luas Lantai Dasar
Jumlah Lantai Luas Seluruh Lantai
Bangunan (mkuadrat) Bangunan (mpersegi)
Tarzan Jeans 400.46 1 400.46
Studio Jenas 245.87 1 245.25
Rambo 410.13 1 820.25
Aztec 397.46 2 794.91
Perahu 475.99 2 1427.98
Arum Manis 935.78 3 935.78
Westpack 155.37 1 310.73
Ciwalk 6877.82 2 20633.47
Ultraman 337.45 1 337.45
Toko Jeans 1557.35 1 1557.35
Toko CIA 119.48 1 119.48
Bank Mandiri 125.73 2 251.46
PVJ FO 445.62 1 445.62
Ruko 488.33 3 1464.99
Megalife 143.68 3 431.04
Bank Permata 155.78 2 311.56
STBA 2110.62 4 8422.5
Sumber : Raka Kersa, 2013
Setelah diketahui jumlah luas seluruh lantai dari masing-masing
guna lahan,
selanjutnya dikalikan dengan standar trip rate untuk
masing-masing guna lahan
tersebut. Tabel 4.6 dan Tabel 4.7 berikut berisi mengenai jumlah
bangkitan dan
tarikan yang dihasilkan oleh setiap jenis guna lahan yang ada di
sepanjang Jalan
Cihampelas.
Secara keselurahan dapat dikatakan bahwa kegiatan perdagangan
dan jasa
mendominasi di sepanjang ruas Jalan Cihampelas dengan pusat
perbelanjaan
Cihampelas Walk yang menjadi daya tarik utama kawasan ini.
Berdasarkan tabel-
tabel tersebut, maka jumlah bangkitan terbesar yang dihasilkan
oleh kegiatan-
kegiatan di sepanjang Jalan Cihampelas terjadi pada pukul 12.00
sebesar 518,74
smp/jam.
Berkembangnya kegiatan di ruas Jalan Cihampelas telah
menimbulkan
berbagai dampak baik itu dampak positif maupun dampak negative.
Dampak positif
yang dihasilkan dari adanya kegiatan komersial yang berkembang
pesat di Jalan
Cihampelas antara lain memberikan kemudahan bagi penduduk
sekitar dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari karena dengan berkembangnya
berbagai jenis
kegiatan di ruas Jalan Cihampelas antara lain memberikan
kemudahan bagi
-
42
penduduk sekitar dengan pemenuhan kebuthan sehari-hari karena
dengan
berkembangya berbagai jenis kegiatan di ruas Jalan Cihampelas.
Dapat mengurangi
volume pergerakan ke pusat Kota Bandung. Selain itu juga harga
lahan di sekitar
kawasan komersial menjadi naik karena lokasi yang strategis.
Sedangkan dampak negative yang dihasilkan dari pesatnya
perkembangan
kegiatan di ruas Jalan Cihampelas antara lain semakin
meningkatnya volume
pergerakan kendaraan yang membebani ruas jalan ini sehingga
menambah
kepadatan arus lalu lintas. Selain itu juga akibat dari
tingginya intensitas penggunaan
lahan menyebabkan besarnya hambatan samping yang dihasilkan
seperti banyaknya
aktivitas PKL yang menggunakan trotoar, tingginya pergerakan
pejalan kaki, aktivitas
keluar masuk parkir, serta konflik antara kendaraan dan pejalan
kaki, yang
kesemuanya itu dapat mengakibatkan kemacetan lalu lintas di ruas
Jalan Cihampelas.
Tabel 4.6 Bangkitan Setiap Guna Lahan di Jalan Cihampelas
Bangunan Jumlah Luas Seluruh Bangkitan (smp/jam)
Lantai Bangunan 07.00 12.00 17.00
RS. Advent 19083.47 43.89 51.53 59.16
Premier Plaza 7411.71 1.48 48.18 70.41
Tropicana Hotel & hotel lainnya 8299.84 19.09 22.41
25.73
The Pomade 3836.98 0.77 24.94 36.45
Cihampelas Walk 22700.50 4.54 147.55 215.65
STBA 8445.50 22.80 18.58 43.07
Bengkel 1645.41 4.44 3.62 8.39
Bank & Perkantoran 3713.86 10.03 8.17 18.94
Pertokoan lainnya 20360.97 4.07 132.35 193.43
TOTAL 111.11 457.33 671.23
Sumber : Hasil analisis, 2014
Tabel 4.7 Tarikan Setiap Guna Lahan di Jalan Cihampelas
Bangunan Jumlah Luas Seluruh Bangkitan (smp/jam)
Lantai Bangunan 07.00 12.00 17.00
RS. Advent 19083.47 78.24 45.80 55.34
Premier Plaza 7411.71 2.96 57.81 37.06
Tropicana Hotel & hotel lainnya 8299.84 34.03 19.92
24.07
The Pomade 3836.98 1.53 29.93 19.18
Cihampelas Walk 22700.50 9.08 177.06 113.5
STBA 8445.50 61.65 19.42 16.89
Bengkel 1645.41 12.01 3.78 3.29
Bank & Perkantoran 3713.86 27.11 8.54 7.43
-
43
Bangunan Jumlah Luas Seluruh Bangkitan (smp/jam)
Lantai Bangunan 07.00 12.00 17.00
Pertokoan lainnya 20360.97 8.14 158.82 101.8
TOTAL 234.75 521.08 378.56
Sumber : Hasil analisis, 2014
4.2.3 Sistem Parkir di Jalan Cihampelas
Adanya kegiatan di suatu tempat menimbulkan tarikan pergerakan
penduduk
ke tempat-tempat tersebut dan setiap pergerakan pada suatu saat
akan berhenti.
Demikian pula halnya dengan pusay perbelanjaan yang menjadi
penarik pergerakan
menimbulkan kebutuhan akan lahan parkir sebagai tempat akhir
perjalanan. Sarana
parkir merupakan salah satu bagian yang penting dari sistem
transportasi suatu
kawasan. Kegagalan dalam menyediakan sarana parkir yang memadai
akan
menimbulkan bertumpuknya kendaraan, sehingga pada akhirnya akan
menimbulkan
kemacetan di kawasan tersebut. Semakin besar suatu kegiatan maka
semakin besar
pula daya tariknya. Dalam hal ini, salah satu ukuran besarnya
suatu kegiatan adalah
luas lantai bangunan tersebut. Oleh karena itu, penentuan
kebutuhan parkir
ditentukan oleh luas lantai bangunan.
Dalam kaitannta dengan kebutuhan ruang parkir di pusat
perbelanjaan
sampai saat ini belum ada standar yang dimiliki oleh Kota
Bandung. Namun mengacu
pada Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 7 Tahun 1992 tentang
Pedoman Perencanaan
Tata Bangunan bahwa setiap 60 m2 luas lantai bangunan
perdagangan diperlukan
satu petak parkir masing-masing jenis guna lahan berdasarkan
Perda DKI Jakarta No.
7 Tahun 1992:
- Pertokoan : satu petak parkir untuk setiap 60 m2 lantai
bruto
- Perkantoran : satu petak parkir untuk setiap 100 m2 lantai
bruto
- Rumah makan : satu petak parkir untuk setiap 20 m2 lantai
bruto
- Lainnya : satu petak parkir untuk setiap 60 m2 lantai
bruto
Tabel berikut ini berisi mengenai perbandingan antara kebutuhan
parkir
dengan kapasitas parkir yang ada saat ini di sepanjang Jalan
Cihampelas.
-
44
Tabel 4.8 Perbandingan Kapasitas Parkir dan Kebutuhan Parkir
di Jalan Cihampelas
Bangunan
Kapasitas Parkir Luas Seluruh Kebutuhan Parkir
(SRP) Lantai
Bangunan (SRP)
RS. Advent 110 19083.47 319
Dealer Honda 6 1084.36 11
Wisma Dirgantara 7 835.18 14
Skaters Shop 2 530.08 9
Bank Niaga 2 360.44 4
Puma Hotel 11 708.93 12
Warung Gaul 6 1270.84 22
Superhero 3 1244.78 21
Tatto Shop 0 271.34 5
Blue Island 0 265.86 5
Toko Jeans 0 260.22 5
Premier Plaza 25 7411.71 124
Tropicana Hotel 35 6755.74 113
The Prominade 28 3836.98 64
Elizabeth 6 1005.68 17
Ayam Goreng Jakarta 6 459.07 23
Sapu Lidi 2 489.21 25
Bank BNI 2 319.02 4
Asuransi 2 295.77 3
Hanaya 2 175.67 3
Bengkel 2 157.88 2
Sari Raos 2 178.62 3
Dealer Yamaha 8 1020.64 11
Gamo 25 1487.53 15
Ampera 22 932.75 16
Hotline 8 551.78 28
Mayasari 9 200.39 4
Xpose Jeans 7 223.49 4
Pertokoan Jeans 37 199.23 4
IBC Jeans FO 9 1550.49 26
Bandung Jeans 7 200.48 4
Edward Forrer 8 210.89 4
Rumah Snack 9 200.59 10
Toko CIA 1 125.37 4
Tarzan Jeans 4 400.46 7
Studio Jenas 2 245.87 4
Rambo 4 820.25 14
Aztec 4 794.97 14
Perahu 5 1427.98 16
-
45
Bangunan
Kapasitas Parkir Luas Seluruh Kebutuhan Parkir
(SRP) Lantai
Bangunan (SRP)
Arum Manis 53 935.78 24
Westpack 0 310.73 6
Ciwalk 800 22700.50 378
Ultraman 0 337.45 6
Toko Jeans 7 1557.35 26
Toko CIA 2 119.48 2
Bank Mandiri 2 251.46 3
PVJ FO 35 445.62 8
Ruko 10 1464.99 25
Megalife 2 431.04 5
Bank Permata 2 311.56 4
STBA 35 8442.50 85
TOTAL 1376 94902.47 1565
Sumber : Raka Kersa, 2013
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa terjadi perbedaan
antara
kebutuhan parkir dengan kapasitas parkir yang ada saat ini,
dimana kebutuhan parkir
memerlukan lebih banyak 183 petak parkir dibandingkan dengan
kapasitas parkir
yang ada saat ini. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kapasitas
parkir yang ada sekarang
masih belum dapat memenuhi satuan ruang parkir yang dibutuhkan
oleh seluruh
kegiatan di sepanjang Jalan Cihampelas.
4.2.4 Pergerakan Angkutan Umum
Untuk mendukung analisis mengenai pengaruh kegiatan
berhentinya
angkutan umum terhadap terjadinya kemacetan lalu lintas di
sepanjang Jalan
Cihampelas, maka dilakukan pengamatan terhadap 30 kendaraan
angkutan umum.
Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui frekuensi dan lamanya
berhenti
angkutan umu dengan pertimbangan bahwa jenis kendaraan ini
memberi pengaruh
yang cukup besar dalam menciptakan masalah lalu lintas.
Dari tabel tersebut diperoleh bahwa setiap angkutan umum yang
melewati
Jalan Cihampelas memililki rata-rata frekuensi berhenti sebanyak
12 kali dengan rata-
rata lama berhenti sebuah angkutan umum menghabiskan waktu
selama 288 detik
atau 4,8 menit.
-
46
Tabel 4.9 Frekuesi dan Lama Berhenti Angkutan Umum
di Jalan Cihampelas
Frekuensi Jumlah Lama
Berhenti Jumlah
Lama Berhenti
Jumlah
Berhenti Kendaraan (detik) Kendaraan (detik) Kendaraan
8 1 18 2 27 1
9 4 19 4 28 3
10 3 20 3 29 1
11 5 21 4 30 1
12 6 23 1 31 1
13 5 24 4 32 1
14 2 25 2 36 1
15 4 26 1
Sumber : Hasil analisis, 2014
Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa terutama pada pick
hours,
kegiatan berhentinya angkutan umum ini dapat menghambat
kelancaraan arus lalu
lintas di belakangnya sehingga hal tersebut merupakan salah satu
penyebab
kemacetan lalu lintas yang terjadi di Jalan Cihampelas ini.
Kegiatan berhenti dilakukan angkutan umum tersebut adalah
untuk
manaikkan dan menurunkan penumpang. Titik berhentinya pada
umumnya adalah
di sekitar daerah pertokoan terutama Cihampelas Walk, pertokoan,
sekolah, dan
persimpangan. Saat ini di Jalan Cihampelas hanya terdapat 2 buah
tempat
pemberhentian angkutan umu yang terletak di dekat Sekolah Tinggi
Bahasa Asing
Yapari dan di Sekolah Dasa Cihampelas 1 dan 2. Itupun dalam
kondisi yang kurang
memadai bahkan dijadikan tempat untuk berjualan oleh pedagang
kaki lima.
Akibatnya banyak angkutan mumu yang menaikkan dan menurunkan
penumpang
dengan sembarangan menyebabkan kemacetan lalu lintas. Oleh
karena itu, sangat
diperlukan tempat pemberhentian angkutan umum sehingga ketika
kendaraan
angkutan umum menaikkan dan menurunkan penumpang tidak akan
mengganggu
kelancaran lau lintas di belakangnya. Tempat pemberhentian
angkutan umum dapat
dilengkapi dengan tempat duduk beratap, sehingga memberikan
kenyamanan bagi
para penumpang yang menunggu angkutan umum.
-
47
4.2.5 Pergerakan Pejalan Kaki dan Pedagang Kaki Lima
Terbatasnya prasarana yang tersedia bagi para pejalan kaki
mengakibatkan
pergerakan pejalan kaki menggunakan sebagian badan jalan. Pada
ruas 1 Jalan
Cihampelas (ruas Jalan Bapak Husen Jalan Prof. Eyckman), tidak
tersedianya
fasilitas trotoar yang memadai sepanjang 675 meter di bagian
timur jalan dan 400
meter di bagian barat jalan, tentunya keadaan ini dapat
mengganggu arus lalu lintas
karena salin dapat membahayakan jiwa pejalan kaki, juga dapat
menyebabkan
pengurangan pemakaian badan jalan sehingga jalan tersebut
tidak