Situs Bersejarah di Toraja ‘Lemo’Disusun Oleh: Dwi Halima Sari Muh. Kautsar Ashari Kamelia Malik Husni Syam Fardiana Fatha Aswin Syam Muh. Yusuf Hadriah Arfah Hasti Hidayah Rahman A. Rahmayanti Agustina Fitriah Amalia Syamriani Fakultas Ilmu Sosial Pendidikan Antropologi Universitas Negeri Makassar
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang
dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa'. Jumlah liang batu kuno ada 75
buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah Diberi nama Lemo oleh karena model
liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik. Adat masyarakat Toraja
adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane).
Kuburan Batu Lemo yang terletak di Toraja, Sulawesi Selatan, merupakan kuburan tertua
nomor dua di Toraja setelah Songgi Patalo. Di situs yang dibangun sekitar abad ke-16 tersebut,
terdapat sekitar 75 lubang kuburan dan 40 patung orang yang telah meninggal, semakin tinggi
lubang kuburan maka semakin dekat dengan Tuhannya atau sebagai lambang-lambang prestise,
status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Tiap-tiap lubang merupakan
kuburan satu keluarga dan setiap orang yang meninggal dikuburkan bersama harta bendanya
seperti uang, emas, dll.
Di pemakaman Lemo kita dapat melihat mayat yanng disimpan di udara terbuka, di
tengah bebatuan yang curam. Kompleks pemakaman ini merupakan perpaduan antara kematian,
seni dan ritual. Pada waktu-waktu tertentu pakaian dari mayat-mayat akan diganti dengan
melalui upacara Ma Nene.
kuburan untuk yang meninggal dunia juga lain dari yang lain, kuburannya ada di lereng
bukit dimana dinding bukit dibuat lubang yang bisa dimasukkan peti mati. Proses sebelum
memasukkan peti mati inilah yang dipestakan besar-besaran oleh masyarakat Toraja. Karenapesta besar-besaran, maka tidak heran jika jarak antara pesta dan waktunya yang meninggal
dunia itu bisa jauh sekali bahkan sampai ada yang bertahun-tahun.
karena jika belum dipestakan si peti mati belum bisa dimasukkan ke lerangbukit, maka si
peti mati dismpan dulu sementara di Tongkonan yang berkaki empat seperti di foto dibawah ini:
Lemo adalah tempat pekuburan dinding berbatu. Letaknya di Desa Lemo. Disebut Lemo,
karena pekuburan batu utama memiliki dinding yang berkerut-kerut seperti kulit jeruk atau lemo
dalam bahasa setempat.
Di dalam lubang-lubang batu tersebut juga ditemui patung-patung dari mereka yang
sudah meninggal dan dimakamkan di sini (tau-tau). Tidak semua orang bisa dibuatkan tau-tau.Biasanya yang dari kalangan bangsawan sajalah yang dibuatkan tau-tau sesudah memenuhi
persyaratan tertentu.
Di lereng bukit setelah peti mati dimasukkan di depan lobangnya akan dipasang patung
ukiran dari kayu yang mirip dengan wajah yang meninggal dunia. Patung ini disebut juga Tau
Tau oleh orang Toraja.
Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman golongan
bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan (pelengkap upacara
acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat
penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau.
Pada jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka
almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu
dipercaya tidak akan sampai ke puyo. Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan
sesuai aluk dan berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga
sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain, semakin sempurna
upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang
mereka sebut puyo tadi.
To na indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri puyo
Pa’ Tondokkan marendeng
Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri
kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan
kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali
jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-
sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang
ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal
dunia tadi menuju ke puyo.
Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan
terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannyadalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti
dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut
kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal
luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini
tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah
beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan, dalam tradisi
penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam "penambahan" dari yang semula
lebih sederhana menjadi kompleks dan terkadang berlebihan.