LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) DENGAN PENYEBAB KELAIAN GINJAL DENGAN PENATALAKSANAAN HEMODIALISA DI POLI HEMODIALISA RSD Dr. SOEBANDI JEMBER LAPORAN PENDAHULUAN disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi Ners (P3N) Stase Keperawatan Medikal Bedah (KMB) oleh Ratna Lauranita Anggraeni, S. Kep NIM 112311101029
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN PENDAHULUANASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) DENGAN PENYEBAB KELAIAN GINJAL DENGAN
PENATALAKSANAAN HEMODIALISA DI POLI HEMODIALISARSD Dr. SOEBANDI JEMBER
LAPORAN PENDAHULUANdisusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi Ners (P3N)
Stase Keperawatan Medikal Bedah (KMB)
oleh
Ratna Lauranita Anggraeni, S. KepNIM 112311101029
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERSPROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER2016
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik
dengan penyebab Kelainan Ginjal di Ruang Rawat Jalan Hemodialisa RSD dr.
Soebandi Jember yang telah disetujui dan disahkan pada:
tanggal:
tempat: Ruang Rawat Jalan Hemodialisa
Jember, …………………………
Pembimbing Klinik
……………………………………..NIP. …………………………………
Pembimbing Akademik
……………………………………..NIP. …………………………………
Kepala Poli Hemodialisa
……………………………………..NIP. …………………………………
A. Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem organ tempat terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh
tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh (Smeltzer &
Bare, 2001). Sistem perkemihan merupakan sistem yang penting untuk
membuang sisa-sisa metabolisme makanan yang dihasilkan oleh tubuh terutama
senyawaan nitrogen seperti urea dan kreatinin, bahan asing dan produk sisa
lainnya. Sampah metabolisme ini dikeluarkan (disekresikan) oleh ginjal dalam
bentuk urin. Urin kemudian akan turun melewati ureter menuju kandung kemih
untuk disimpan sementara dan akhirnya secara periodik akan dikeluarkan melalui
uretra. Sistem ini merupakan salah satu sistem utama untuk mempertahankan
homeostatis (kekonsistenan lingkungan internal) (Sloane, 2004).
1. Anatomi Sistem Perkemihan
Sistem urinaria terdiri dari dua ginjal yang memproduksi urin, dua
ureter yang membawa urin ke dalam sebuah kandung kemih untuk
penampungan sementara, dan uretra yang mengalirkan urin keluar tubuh
melalui uretra eksterna (Sloane, 2004).
Gambar 1. Anatomi Sistem Urinaria
a. Saluran Kemih Atas
Ginjal terletak di belakang peritoneum parietal (retro-peritoneal),
pada dinding abdomen posterior. Ginjal juga terdapat pada kedua sisi aorta
abdominal dan vena kava inferior. Hepar menekan ginjal kanan ke bawah
sehingga ginjal kanan lebih rendah daripada ginjal kiri. Setiap ginjal tiga
lapisan jaringan pembungkus berupa jaringan ikat yaitu fasia renal
(pembungkus terluar), lemak perirenal (lapisan kedua berupa lemak
adipose untuk membantali ginjal dan tetap pada posisinya), dan kapsul
fibrosa (lapisan yang langsung membungkus ginjal) (Baradero, et al.,
2009).
Pada bagian atas setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal. Pada
bagian medial setiap ginjal, terdapat cekungan yang disebut hilum (hilus).
Arteri renal dan saraf memasuki ginjal melalui hilum, sedangkan vena
renal, saluran limfa, dan ureter keluar dari ginjal juga melalui hilum.
Apabila ginjal dibelah membujur, akan tampak korteks dan medula.
Sebagian besar nefron (unit fungsional ginjal) terdapat pada korteks.
Bagian tengah ginjal adalah renal medula yang terdiri atas 8-10 piramid.
Sebelum masuk ginjal, ureter melebar dan membentuk pelvis ginjal. Pelvis
ginjal bercabang dan membentuk 2-3 kaliks mayor. Setiap kaliks mayor
bercabang menjadi beberapa kaliks minor. Kaliks minor inilah yang
mengumpulkan urin yang keluar dari tubulus koligentes (Baradero, et al.,
2009).
Gambar 2. Anatomi Ginjal
Nefron merupakan unit fungsional ginjal. Setiap ginjal berisi
sekitar satu juta nefron yang terdiri dari dua macam nefron, yaitu nefron
kortikal (85%) dan nefron juksta medular (15%). Nefron kortikal berperan
dalam konsentrasi dan dilusi urin. Struktur nefron yang berkaitan dengan
proses pembentukan urin adalah korpus, tubulus renal, dan tubulus
koligentes. Korpus ginjal terdiri atas glomerulus dan kapsul Bowman yang
membentuk ultrafiltrat dari darah. Tubulus renal terdiri atas tubulus
kontortus proksimal, ansa Henle, dan tubulus kontortus distal. Ketiga
tubulus renal ini berfungsi dalam reabsorpsi dan sekresi dengan mengubah
volume dan komposisi ultrafiltrat sehingga terbentuk produk akhir, yaitu
urin (Baradero, et al., 2009).
Gambar 3. Anatomi nefron
Ginjal merupakan organ yang sangat vaskular (kaya pembuluh
darah) dan mampu menerima 20% curah jantung dalam keadaan istirahat.
Ginjal mendapat suplai darah arteri dari aorta abdominal. Arteri renalis
bercabang kemudian membentuk arteri lobaris yang memberi suplai darah
pada setiap piramid. Arteri lobaris ini kembali bercabang agar darah dapat
bergerak dengan efisien melalui setiap nefron. Darah masuk ke dalam
glomerulus melalui arteri aferen dan keluar melalui arteri eferen,
kemudian darah mengalir melalui kapiler peritubular yang mengelilingi
tubula nefron. Akhirnya darah dalam kapiler peritubular masuk ke dalam
venula dan darah dikembalikan ke dalam sistem sirkulasi melalui sistem
vena ginjal. Kedua ureter merupakan kelanjutan dari pelvis ginjal dan
membawa urin ke dalam kandung kemih, khususnya ke area yang disebut
trigonum. Trigonum adalah area segitiga yang terdiri atas lapisan
membran mukus yang dapat berfungsi sebagai katup untuk menghindari
refluks urin ke dalam ureter ketika kandung kemih berkontraksi (Baradero,
et al., 2009).
Fungsi ginjal menurut Sloane (2004) yaitu sebagai berikut.
1) Pengeluaran zat sisa organik
Ginjal mensekresi urea, asam urat, kreatinin, dan produk penguraian
hemoglobin dan hormon. Sisa metabolik diekskresikan dalam filtrat
glomerular. Kreatinin diekskresikan ke dalam urine tanpa diubah. Sisa
yang lain seperti urea, menagalami reabsorpsi waktu melewati nefron.
Biasanya obat dikeluarkan melalui ginjal atau diubah dulu di hepar ke
dalam bentuk inaktif, kemudian diekskresi oleh ginjal.
2) Pengaturan konsentrasi ion-ion penting
Ginjal mensekresi ion kalium, natrium, kalsium, magnesium, sulfat,
dan fosfat. Ekskresi ion-ion ini seimbang dengan asupan dan
ekskresinya melalui rute lain, seperti pada saluran gastrointestinan
atau kulit. Salah satu fungsi penting ginjal adalah mengatur kalsium
serum dan fosfor. Kalsium sangat penting untuk pembentukan tulang,
pertumbuhan sel, pembekuan darah, respons hormon, dan aktivitas
listrik selular. Ginjal adalah pengatur utama keseimbangan kalsium-
fosfor. Ginjal melakukan hal ini dengan mengubah vitamin D dalam
usus (dari makanan) ke bentuk yang lebih aktif, yaitu 1,25-
dihidrovitamin D3. Ginjal meningkatkan kecepatan konversi vitamin D
jika kadar kalsium atau fosforus serum menurun. Vitamin D molekul
yang aktif (1,25-dihidrovitamin D3), bersama hormon paratiroid dapat
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor oleh usus.
3) Pengaturan keseimbangan asam basa tubuh
Ginjal mengandalikan ekskresi ion hidrogen (H+), bikarbonat (HCO3-),
dan amonium (NH4+), serta memproduksi urin asam atau basa,
tergantung pada kebutuhan tubuh. Agar sel dapat berfungsi normal,
perlu juga dipertahankan pH plasma 7,35 untuk darah vena dan pH
7,45 untuk darah arteri. Keseimbangan ini dapat dicapai dengan
mempertahankan rasio darah bikarbonat dan karbondioksida pada
20:1. Ginjal dan paru-paru bekerja lama untuk mempertahankan rasio
ini. Paru-paru bekerja dengan menyesuaikan jumlah karbon dioksida
dalam darah. Ginjal menyekresi atau menahan bikarbonat dan ion
hidrogen sebagai respons terhadap pH darah (Baradero, et al., 2009).
4) Pengaturan produksi sel darah merah
Ginjal memproduksi enzim yang disebut faktor eritropoietin yang
mengaktifkan eritropoietin, hormon yang dihasilkan hepar. Fungsi
eritropoietin adalah menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi
sel darah, terutama sel darah merah. Tanpa eritropoietin, sumsum
tulang pasien penyakit hepar atau ginjal tidak dapat memproduksi sel
darah merah (Baradero, et al., 2009).
5) Pengaturan tekanan darah
Ginjal mempunyai peranan aktif dalam pengaturan tekanan darah,
terutama dengan mengatur volume plasma dipertahankan melalui
reabsorpsi air dan pengendalian komposisi cairan ekstraselular (mis.,
terjadi dehidrasi). Korteks adrenal mengeluarkan aldosteron.
Aldosteron membuat ginjal menahan natrium yang dapat
mengakibatkan reabsorpsi air (Baradero, et al., 2009).
6) Pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa darah dan asam
amino darah. Ginjal melalui ekskresi glukosa dan asam amino berlebih
bertanggung jawab atas konsentrasi nutrien dalam darah.
7) Pengeluaran zat beracun.
Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambah makanan, obat-obatan, atau
zat kimia asing lain dari tubuh. Biasanya obat dikeluarkan melalui
ginjal atau diubah dulu di hepar ke dalam bentuk inaktif, kemudian
diekskresi oleh ginjal (Sloane, 2004; Baradero, et al., 2009).
8) Keseimbangan elektrolit
Sebagian besar elektrolit yang dikeluarkan dari kapsula Bowman
direabsorpsi dalam tubulus proksimal. Konsentrasi elektrolit yang telah
direabsorpsi diatur dalam tubulus distal di bawah pengaruh hormon
aldosteron dan ADH. Mekanisme yang membuat elektrolit bergerak
menyebrangi membran tubula adalah mekanisme aktif dan pasif.
Gerakan pasif terjadi apabila ada perbedaan konsentrasi molekul.
Molekul bergerak dari area yang berkonsentrasi tinggi ke area yang
berkonsentrasi rendah. Gerakan aktif memerlukan energi dan dapat
membuat molekul bergerak tanpa memperhatikan tingkat konsentrasi
molekul. Dengan gerakan aktif dan pasif ini, ginjal dapat
mempertahankan keseimbangan elektrolit yang optimal sehingga
menjamin fungsi normal sel.
b. Saluran Kemih Bawah
Kandung kemih yang terletak di belakang simfisis pubis
mengumpulkan urin. Membran mukus yang melapisi kandung kemih
tersusun berlipat dan disebut rugae. Dinding otot kandung kemih yang
elastis bersama dengan rugae dapat membuat kandung kemih berdistensi
untuk menampung jumlah urin yang cukup banyak. Otot skeletal berlapis
satu mengelilingi dasar dan membentuk sfingter urinarius eksternal. Saraf
simpatis dan parasimpatis mempersarafi kandung kemih (Baradero, et al.,
2009).
Kandung kemih atau buli-buli merupakan organ berongga yang
terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling beranyaman. Lapisan otot-otot
tersebut adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot sirkuler, dan
Kapasitas buli - buli = ( umur(tahun)+ 2 )x 30
yang paling luar adalah longitudinal mukosa vesika terdiri dari sel-sel
transisional yang sama seperti pada mukosa pelvis renalis, ureter, dan
uretra posterior. Pada dasar buli-buli, kedua muara ureter dan meatus
uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-
buli. Secara anatomis buli-buli terdiri dari tiga permukaan, yaitu
permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum,
permukaan inferoinferior, dan permukaan posterior (Muttaqin, 2009).
Gambar 4. Anatomi buli-buli
Buli-buli berfungsi menampung urin dari ureter dan kemudian
mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme berkemih. Dalam
menampung urin, buli-buli mempunyai kapasitas yang maksimal yaitu
volume untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300-450 ml, sedangkan
kapasitas buli-buli pada anak menurut formula dari koff yaitu:
Pada saat kosong, buli-buli terdapat di belakang simpisis pubis dan
pada saat penuh berada pada atas simpisis pubis sehingga dapat dipalpasi
atau di perkusi. Buli-buli yang terasa penuh memberikan rangsangan pada
saraf aferen dan menyebabkan aktivasi miksi di medulla spinalis segmen
sakral S2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot detrusor, terbukanya
leher buli-buli, dan relaksasi spingter uretra sehingga terjadilah proses
miksi (Purnomo, 2012).
2. Fisiologi Sistem Perkemihan
Dalam ginjal terjadi proses pembentukan urin yang terjadi melalui
serangkaian proses filtrasi (penyaringan) zat-zat beracun, reabsorpsi
(penyerapan kembali), dan augmentasi (penambahan zat sisa yang tidak
diperlukan lagi oleh tubuh dan tidak mungkin disimpan lagi ke dalam tubulus
distal) (Aryulina, et al., 2004).
a. Filtrasi
Pembentukan urin diawali dengan filtrasi darah di glomerulus.
Filtrasi merupakan perpindahan cairan dari glomerulus menuju ke ruang
kapsula bowman dengan menembus membran filtrasi. Membran filtrasi
terdiri dari 3 lapisan, yaitu sel endotelium glomerulus, membran basiler,
dan epitel kapsula bowman. Sel-sel endotelium glomerulus dalam badan
malpighi akan mempermudah proses filtrasi. Dalam glomerulus, sel-sel
darah, trombosit, dan sebagian besar protein plasma disaring dan diikat
agar tidak ikut dikeluarkan. Hasil penyaringan tersebut berupa urin primer
(filtrat glomerulus). Filtrat glomerulus mengandung zat yang hampir sama
dengan cairan yang menembus kapiler menuju ruang antarsel. Dalam
keadaan normal, urin primer tidak mengandung eritrosit, tetapi
mengandung protein yang kadarnya kurang dari 0,03%. Kandungan
elektrolit dan kristaloid (kristal halus yang terbentuk dari protein) dari urin
primer juga hampir sama dengan cairan jaringan. Kadar anion di dalam
urin primer termasuk ion Cl- dan ion HCO3- , lebih tinggi 5% dari pada
kadar anion plasma, sedangkan kadar kationnya lebih rendah 5% dari pada
kadar kation plasma. Selain itu, urin primer mengandung glukosa, garam-
garam mineral, natrium, kalium, dan asam amino (Aryulina, et al., 2004).
b. Reabsorpsi
Reabsorpsi merupakan proses perpindahan cairan dari tubulus renalis
menuju pembuluh darah yang mengelilinginya, yaitu kapiler peritubuler.
Sel-sel tubulus renalis secara selektif mereabsorpsi zat-zat yang terdapat
dalam urin primer. Reabsorpsi tergantung dari kebutuhan akan zat-zat
yang terdapat di dalam urin primer. Nutrisi akan direabsorpsi, sedangkan
reabsorpsi garam organik bervariasi tergantung dari kadar zat tersebut di
dalam plasma. Setelah reabsorpsi, kadar urea menjadi lebih tinggi dan zat-
zat yang dibutuhkan tidak ditemukan lagi. Urin yang dihasilkan setelah
proses reabsorpsi disebut urin sekunder (filtrat tubulus) (Aryulina, et al.,
2004).
Pada keadaan normal, hampir 99% dari air yang menembus membran
filtrasi akan direabsorpsi sebelum mencapai ureter. Persentase air yang
diserap di bagian tubulus kontortus proksimal yaitu 80%, lengkung henle
6%, tubulus distal 9%, dan saluran penampung 4%. Reabsorpsi di tubulus
kontortus proksimal dilakukan dengan proses osmosis yang disebut
dengan reabsorpsi obligat. Sebaliknya reabsorpsi air di tubulus kontortus
distal disebut dengan reabsorpsi fakultatif, yaitu reabsorpsi yang terjadi
tergantung dari kebutuhan. Jadi, jika tubuh terlalu banyak mengandung air,
tidak terjadi reabsorpsi. Sedangkan jika tubuh mengandung air dengan
jumlah sedikit, terjadilah reabsorpsi (Aryulina, et al., 2004).
Gambar 5. Mekanisme reabsorpsi air dalam ginjal
Reabsorpsi zat tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi.
Sebagai contoh pada sisi tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus
renalis terjadi difusi ion Na+, sedangkan pada sisi sel tubulus yang
berdekatan dengan kapiler terjadi transpor aktif ion Na+. Adanya transpor
aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler menyebabkan menurunnya kadar ion Na+
di sel tubulus renalis, sehingga difusi Na+ terjadi dari lumen sel tubulus
renalis. Pada umumnya zat yang penting bagi tubuh direabsorpsi secara
transpor aktif. Zat-zat penting bagi tubuh yang secara aktif direabsorpsi
adalah protein, asam amino, glukosa, dan vitamin. Zat-zat tersebut
direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal, sehingga tidak ada lagi di
lengkung Henle (Aryulina, et al., 2004).
Gambar 6. Mekanisme pembentukan urin dan proses filtrasi
c. Augmentasi
Augmentasi (sekresi tubular) adalah proses penambahan zat-zat
yang tidak diperlukan oleh tubuh dari kapiler peritubular ke lumen tubular
yang terjadi di tubulus distal. Sel-sel tubulus mengeluarkan zat-zat tertentu
yang mengandung ion hidrogen dan ion kalium kemudian menyatu dengan
urin sekunder. Penambahan ion hidrogen sangat penting karena membantu
menjaga kesetimbangan pH dalam darah. Jika pH dalam darah mulai
menurun, sekresi ion hidrogen akan meningkat sampai berada pada
keadaan pH normal (7,35-7,45) dan urin yang dihasilkan memiliki pH
dengan kisaran 4,5-8,5. Urin yang terbentuk akan disimpan sementara di
vesika urinaria untuk selanjutnya dibuang melalui uretra (Aryulina, et al.,
2004).
d. Miksi
Miksi (mengeluarkan urine) adalah suatu proses sensori-motorik yang
kompleks. Urine mengalir dari pelvis ginjal, kemudian kedua ureter
dengan gerakan peristalsis. Rasa ingin berkemih akan timbul apabila
kandung kemih berisi urine sebanyak 200-300 ml. Saat dinding kandung
kemih mengencang, baroseptor (saraf sensori yang distimulasi oleh
tekanan) akan membuat kandung kemih berkontraksi. Otot sfingter
eksternal berelaksasi dan urine keluar. Otot sfingter eksternal dapat
dikendalikan secara volunter sehingga urine tetap tidak keluar walaupun
dinding kandung kemih sudah berkontraksi (Baradero et al, 2008).
B. Konsep Teori CKD
1. Pengertian
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah
gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irevesibel dimana
kemampuan tubuh ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2001). Gagal ginjal
kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan ireversibel.
Gagal ginjal terminal adalah ketidakmampuan renal berfungsi dengan adekuat
untuk keperluan tubuh (harus dibantu dengan dialisis atau transplantasi)
(Mansjoer, et al 2001).
Gambar 7. Perbedaan Ginjal Normal dengan Ginjal dengan GGK
Kriteria penyakit GGK menurut National Kidney Foundation (2002)
yaitu sebagai berikut.
a. Terjadi kerusakan ginjal selama 3 bulan atau lebih yang ditandai oleh
abnormalitas struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (GFR), yang dimanifestasikan oleh abnormalitas
patologis atau tanda kerusakan ginjal, meliputi abnormalitas komposisi
darah atau urin, atau abnormalitas hasil tes
b. GFR< 60 ml/mnt/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa
Di dunia, sekitar 2.622.000 orang telah menjalani pengobatan End-Stage
Renal Disease (ESRD, penyakit ginjal tahap akhir) pada akhir tahun 2010.
77% diantaranya menjalani pengobatan dialisis dan 23% menjalani
transplantasi ginjal. Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%,
yang berarti terdapat 18 juta orang dewasa di Indonesia menderita penyakit
ginjal kronik (Siallagan, et al., 2012).
3. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi
terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus yang
diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibodi.
Reaksi peradangan di glomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen,
sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus dan filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma dan sel
darah merah bocor melalui glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi
dua yaitu glomerulonefritis akut dan kronis (Price, 2005).
b. Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.
Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan
hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak
ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan
hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit atau keadaan seperti
feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma
Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat
(Bakri, 2008)
Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII
c. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal)
Penyakit ginjal polikistik (PKD) adalah suatu kondisi dominan autosomal
dimana gagal ginjal terjadi akibat degenerasi kistik progresif ginjal yang
ditandai dengan kista-kista multiple, bilateral, dan berekspansi yang
lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal
akibat penekanan. Semakin lama ginjal tidak mampu mempertahankan
fungsi ginjal, sehingga ginjal akan menjadi rusak (GGK). Pasien datang
dengan keluhan utama hipertensi, nyeri perut, hematuria, atau gagal ginjal
kronis (Price, 2005).
1) Agenesis Ginjal
Agenesis ginjal adalah keadaan tidak ditemukan jaringan ginjal pada
satu sisi atau keduanya.
2) Hipoplasia Ginjal
istilah yang digunakan untuk ginjal berukuran kecil yang terjadi akibat
defisiensi perkembangan jumlah atau ukuran nefron. Ginjal kecil
dangan parenkim normal (ginjal “kerdil”) sering unilateral dan sering
kali ditemukan bersama kelainan kongenital lain.
3) Hidronefrosis
Hidonefrosis merupakan suatu keadaan pelebaran dari pelvis ginjal dan
kalises. Peningkatan tekanan ureter menyebabkan perubahan pada
filtrasi glomerular, fungsi tubular, dan aliran darah ginjal. Laju filtrasi
glomerulus (GFR) menurun secara signifikan dalam beberapa jam
setelah obstruksi akut.
4) Hipospadia
Hipospadia adalah kelainan kongenital yang meatusnya mempunyai
posisi abnormal di sebelah proksimal ujung glans.
5) Hidrokel
Hidrokel adalah akumulasi cairan di dalam tunika vaginalis dan tunika
albuginea yang membungkus testis.
d. Penyakit metabolik (Diabetes Mellitus, gout, hiperparatiroidisme,
Amiloidosis). Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam
bentuk nefropati diabetik yaitu semua lesi yang terjadi di ginjal pada
diabetes mellitus (Price, 2005).
4. Klasifikasi
CKD dapat diklasifikasikan atas dasar derajat (stage) penyakit.
Klasifikasi atas dasar penyakit dibuat berdasar GFR yang dihitung dengan
menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Berdasarkan persentase laju filtrasi
glumerolus (LFG) yang tersisa, Gagal Ginjal diklasifikasikan menjadi 4
tingkatan yaitu :
a. Gagal ginjal dini
Pada tingkat ini ditandai dengan berkurangnya sejumlah nefron sehingga
fungsi ginjal yang ada sekitar 50-80% dari normal (100 ml/menit/1,73
m2). Dengan adanya adaptasi ginjal dan respon metabolik untuk
mengkompensasi penurunan faal ginjal maka tidak tampak gangguan
klinis.
b. Insufisiensi ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal berkisar antara 25-50% dari normal. Gejala
mulai dengan adanya gangguan elektrolit, gangguan pertumbuhan dan
keseimbangan kalsium dan fosfor. Pada tingkat ini LFG berada di bawah
89 ml/menit/1,73 m2.
c. Gagal ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal berkurang hingga 25% dari normal dan telah
menimbulkan berbagai gangguan seperti asidosis metabolik, osteodistrofi
ginjal, anemia, hipertensi dan sebagainya. LFG pada tingkat ini telah
berkurang menjadi di bawah 30ml/menit/1,73m2.
d. Gagal ginjal terminal
Pada tingkat ini fungsi ginjal tinggal 12% dari normal. LFG menurun
sampai <10 ml/menit/1,73 m2 dan pasien telah memerlukan terapi dialysis
atau transplantasi ginjal.
National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) juga mengklasifikasikan CKD berdasar derajat penyakit
yang ditunjukkan pada tabel 1 (National Kidney Foundation, 2002).
GFR (ml/mnt/1.73 m2) = (140-umur) x berat badan*)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2. Klasifikasi CKD
Klasifikasi CKD berdasarkan derajat penyakitDerajat Penjelasan GFR (ml/mnt/1.73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau ↑ ≥ 902 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ ringan 60-893 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ sedang 30-594 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ berat 15-295 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber: National Kidney Foundation (2002)
5. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinik menurut Smeltzer dan Bare, (2001) antara lain:
hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin-
angiotensin-aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat
cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh
toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang,
perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi). Tanda dan gejala
penyakit gagal ginjal kronis menurut Chandrasoma (2005) adalah sebagai
berikut.
a. Keseimbangan Na+ dan status volume
Kelebihan Na+ dan air dalam derajat sedang dapat terjadi tanpa disertai
tanda-tanda objektif kelebihan CES (Cairan Ekstrasel). Namun, ingesti
Na+ yang berlebihan akan menyebabkan gagal ginjal kongestif, hipertensi,
asites, edema perifer, dan penambahan berat badan. Kehilangan mendadak
Na+ dapat mengalami deplesi CES, kolaps vaskuler dan syok. Tanda dan
gejala keringnya selaput lendir, pusing, pingsan, takikardia, dan penurunan
pengisian vena jugularis (Chandrasoma, 2005).
b. Keseimbangan K+
Hiperkalemia adalah masalah serius pada gagal ginjal kronik, khususnya
pada pasien dengan GFR yang telah menurun di bawah 5 mL/mnt
(Chandrasoma, 2005).
c. Asidosis Metabolik
Berkurangnya kemampuan pasien gagal ginjal kronik dalam
mengekskresikan asam dan membentuk penyangga menyebabkan asidosis
metabolik. Turunnya pH darah pada para pasien dapat dikoreksi dengan
20-30 mmol (2-3 g) natrium bikarbonat per oral setiap hari (Chandrasoma,
2005).
d. Mineral dan tulang
Pada gagal ginjal kronik, terjadi beberapa gangguan metabolisme fosfat,
Ca2+ dan tulang. Hipofosfatemia dan hipermagnesemia dapat terjadi akibat
pemakaian berlebihan zat pengikat fosfat dan antasid yang mengandung
magnesium. Hiperfosfatemia ikut berperan dalam terjadinya hipokalsemia
sehingga berfungsi sebagai faktor pemicu tambahan terjadinya
hiperparatiroidisme dan peningkatan kadar PTH darah (Chandrasoma,
2005).
e. Kelainan kardiovaskular dan paru
Gagal jantung kongestif dan edema paru paling sering disebabkan oleh
kelebihan cairan dan garam. Hipertensi juga terjadi akibat kelebihan cairan
dan garam, hipereninemia (Chandrasoma, 2005).
f. Kelainan hematologik
Pasien dengan gagal ginjal kronik memperlihatkan kelainan pada sel darah
merah, sel darah putih, dan trombosit. Gambaran yang sering ditemukan
adalah anemia normokromik normositik dengan gejala gelisah, mudah
lelah serta hemotokrit dalam kisaran 20-25%. Pasien gagal ginjal
memperlihatkan kelainan hemostasis yang bermanisfestasi mudah memar,
peningkatan perdarahan saat pembedahan. Uremia dilaporkan berkaitan
dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, yang disebabkan oleh
supresi leukosit oleh toksin uremik (Chandrasoma, 2005).
g. Kelainan neuromuskular
Gejala dan tanda SSP dapat berkisar dari gangguan tidur ringan, serta
penurunan konsentrasi mental, berkurangnya daya ingat, kesalahan dalam
melakukan penilaian, dan iritabilitas neuromuskular (Chandrasoma, 2005).
h. Kelainan saluran cerna
Pasien dengan uremia mengalami penyakit tukak peptik, gastroenteritis
uremik. Temuan GI non-sfesifik pada pasien uremik mencakup anoreksia,
cegukan, mual, muntah, dan divertikulosis (Chandrasoma, 2005).
i. Kelainan endokrin dan metabolik
Wanita dengan uremia memperlihatkan kadar estrogen yang rendah
sehingga terjadi peningkatan insidens amenorea dan berkurangnya
kemampuan pasien untuk hamil. Kadar testosteron yang rendah,
impotensi, ologospermia, dan dysplasia sel benih sering ditemukan pada
pria dengan gagal ginjal kronik (Chandrasoma, 2005).
j. Kelainan kulit
Pasien dengan gagal ginjal kronik mungkin tampak pucat karena anemia,
memperlihatkan perubahan waran kulit yang berkaitan dengan
penimbunan metabolit berpigmen atau kulit menjadi keabuan akibat
hemokromatosis terkait transfusi, mengalami ekimosis, dan hematoma
akibat kelainan pembekuan, serta mengidap pruritus dan ekskoriasi akibat
pengendapan Ca2+ oleh hiperparatiroidisme (Chandrasoma, 2005).
6. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang
peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Selanjutnya oleh hormon,
renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang
terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua
aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik
(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan
bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah (Levanita, 2011).
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume
cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi berkembang menjadi
hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri
kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat (Levanita, 2011).
Gambar 7. Mekanisme RAAS
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-
perubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan
hialinisasi (sklerosis) di dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah
jantung, otak, ginjal, dan mata. Hipertensi merupakan faktor pemicu utama
terjadinya penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik. Bahkan, hipertensi
merupakan penyebab kejadian gagal ginjal tahap akhir kedua terbanyak setelah
diabetes mellitus. Penyakit ginjal yang disebabkan karena hipertensi disebut
nefropati hipertensi (nefrosklerosis hipertensi) adalah penyakit ginjal yang
disebabkan karena terjadinya kerusakan vaskularisasi di ginjal oleh adanya
peningkatan tekanan darah akut maupun kronik. Nefropati hipertensi terbagi
menjadi dua yakni nefropati hipertensi benigna (nefroskelerosis benigna) dan
kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mencari adanya faktor yang reversibel, juga menilai apakah
proses sudah lanjut.
Foto polos abdomen: Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi
akan memperburuk fungsi ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal
dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
Pemeriksaan pielografi retrograd: dilakukan bila dicurigai ada
obstruksi yang reversibel.
Pemeriksaan foto dada: dapat terlihat tanda–tanda bendungan
paru akibat kelebihan cairan (fluid overload), efusi pleura,
kardiomegali dan efusi perikardial.
Pemerikasaan kardiologi tulang: mencari osteoditrofi (terutama
tulang atau jari) dan klasifikasi metastatik.
2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah
sebagai berikut (NANDA, 2013).
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan produksi
hemoglobin akibat anemia
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan peningkatan natrium dan
kalium dalam darah
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan nausea, vomiting akibat peningkatan asam lambung
d. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus
f. Intoleran aktivitas berhubungan dengan peningkatan beban kerja jantung,
penurunan suplai oksigen dalam darah
g. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gatal akibat pruritus
3) Rencana Tindakan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) Rasional1 Ketidakefektifan
pola napas berhubungan dengan penurunan produksi hemoglobin akibat anemia
NOC :a. Respiratory status : Ventilationb. Respiratory status : Airway
patencyc. Vital sign StatusSetelah dilakukan tindakan keperawatan ....x 24jam pola napas kembali efektif dengan kriteria hasil:a. Mendemonstrasikan batuk efektif
dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah (sistole 110-130mmHg dan diastole 70-90mmHg), nad (60-100x/menit)i, pernafasan (18-24x/menit))
a. Atur posisi pasien untuk memaksimalkan ventilasi
b. Anjurkan bernafas yang pelan dan dalam
c. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara nafas tambahan
d. Monitor respirasi dan oksigenasi
e. Kolaborasi pemberian oksigen yang sudah terhumidifikasi
a. Memudahkan ekspansi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas
b. Membantu keefektifan pernafasan pasien
c. Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/ luasnya keterlibatan otak
d. Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi
e. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia
2 Kelebihan volume cairan berhubungan
NOC :a. Electrolit and acid base balance
Fluid managementa. Ukur masukan dan a. Menunjukkan status volume
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) Rasionaldengan peningkatan natrium dan kalium dalam darah
b. Fluid balanceSetelah dilakukan tindakan keperawatan ....x 24jam volume cairan tubuh seimbang dengan kriteria hasil:a. Terbebas dari edema, efusi,
tekanan kapiler paru, output jantung dan vital sign dalam batas normal
e. Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau kebingungan
f. Menjelaskan indikator kelebihan cairan
haluaran, catat keseimbangan positif (pemasukan melebihi pengeluaran). Timbang berat badan tiap hari, dan catat peningkatan lebih dari 0,5 kg/hari.
b. Awasi tekanan darah dan CVP. Catat JVD/Distensi vena.
c. Auskultasi paru, catat penurunan dan terjadinya bunyi tambahan
d. Awasi disritmia jantung. Auskultasi bunyi jantung, catat terjadinya irama gallop S3/S4.
e. Kaji derajat perifer atau edema
f. Kolaborasikan dengan tim medis pemberian diuretic
sirkulasi, terjadinya atau perbaikan perpindahan cairan, dan respon terhadap terapi. Keseimbangan positif/peningkatan berat badan sering menunjukkan retensi cairan. Mengetahui pemasukan dan pengeluaran dari cairan
b. Peningkatan tekanan darah biasanya berhubungan dengan kelebihan volume cairan. Distensi juguler eksternal dan vena abdominal sehubungan dengan kongesti vaskuler
c. Peningkatan kongesti pulmonal mengakibatkan konsolidasi, gangguan pertukaran gas, dan komplikasi seperti edema paru
d. Mungkin disebabkan oleh GJK, penurunan perfusi arteri koroner, dan ketidakseimbangan elektrolit.
e. Edema terjadi akibat retensi natrium dan air, penurunan albumin, dan penurunan ADH
f. Mengontrol edema dan asites
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) Rasional3 Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nausea, vomiting akibat peningkatan asam lambung
NOC :Nutritional Status : food and Fluid IntakeSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x24 jam diharapkan pasien mempertahankan status nutrisi adekuat dengan kriteria hasil:1. Adanya peningkatan berat badan 2. Berat badan ideal sesuai dengan
tinggi badan3. Mampu mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi4. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi5. Menunjukkan peningkatan fungsi
pengecapan dari menelan6. Tidak terjadi penurunan berat
badan yang berarti
Nutrition Management1. Kaji status nutrisi pasien2. Ukur masukan diet harian
dengan jumlah kalori3. Bantu dan dorong pasien
untuk makan, jelaskan alasan tipe diet. Beri makan pasien bila pasien mudah lelah atau biarkan orang terdekat membantu pasien. Pertimbangkan pemilihan makanan yang disukai.
4. Berikan makanan sedikit tapi sering
5. Berikan makanan halus, hindari makanan kasar sesuai indikasi.
laboratorium (contoh: glukosa serum, albumin, total protein, amonia).
1. Mengetahui status nutrisi pasien
2. Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/defisiensi
3. Diet yang tepat penting untuk penyembuhan. Pasien mungkin makan lebih baik bila keluarga terlibat dan makanan yang disukai sebanyak mungkin.
4. Membantu meningkatkan nafsu makan pasien
5. Perdarahan dari varises esofagus dapat terjadi pada serosis berat.
6. Membantu pasien untuk mendapatkan BB ideal/normal.
7. Kebersihan dan kesegaran mulut dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
8. Glukosa menurun karena gangguan glikogenesis, penurunan simpanan glikogen atau masukan tak adekuat. Protein menurun karena gangguan metabolisme, penurunan sistesis hepatik, atau kehilangan ke rongga
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) Rasionalperitoneal (asites). Peningkatan kadar amonia perlu pembatasan masukan protein untuk mencegah komplikasi serius.
DAFTAR PUSTAKA
Aryulina, D et al. 2004. Biologi SMA dan MA untuk Kelas XI (Jilid 2). Jakarta: Erlangga.
Baradero, M et al. 2009. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Chandrasoma, P. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Doengoes, M. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi Ketiga. Jakarta: EGC.
Ganong, W. F. 2002. Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Muttaqin, A. 2009. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
National Kidney Foundation. 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kideny Disease: Evaluation, Classification and Stratification. New York: National Kidney Foundation, Inc.
NKF. 2006. Hemodialysis. [serial online] http://www.kidneyatlas.org [22 April 2016].
Price, SA. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi Keenam. Jakarta: EGC.
Purnomo B. 2012. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto.
Rahardjo P. et al.. 2006. Hemodialisa: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.
Siallagan, H et al. 2012. Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Dirawat Inap di RS Martha Friska Medan Tahun 2011. http://download.portalgaruda.org/ [22 April 2016].
Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S., dan Bare, BG. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC.
Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: FK UNPAD.
Suwitra, K. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.