Top Banner
i LAPORAN LENGKAP PENELITIAN STRATEGI NASIONAL PENGEMBANGAN BUDIDAYA KEPITING BAKAU (Scylla olivacea) POLA SILVOFISHERY BERBASIS MASYARAKAT DAN BERKELANJUTAN TIM PENELITI Ketua Peneliti Prof. Dr. Ir. Muhammad Yusri Karim, M.Si./ 0008016502 Anggota Peneliti Dr. Ir. Hasni Yulianti Azis, M.P./ 0027076403 Muslimin, S.Pi., MP./ 0010126708 UNIVERSITAS HASANUDDIN NOPEMBER 2016
65

LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

May 03, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

i

LAPORAN LENGKAP

PENELITIAN STRATEGI NASIONAL

PENGEMBANGAN BUDIDAYA KEPITING BAKAU

(Scylla olivacea) POLA SILVOFISHERY BERBASIS MASYARAKAT

DAN BERKELANJUTAN

TIM PENELITI

Ketua Peneliti

Prof. Dr. Ir. Muhammad Yusri Karim, M.Si./ 0008016502

Anggota Peneliti

Dr. Ir. Hasni Yulianti Azis, M.P./ 0027076403

Muslimin, S.Pi., MP./ 0010126708

UNIVERSITAS HASANUDDIN

NOPEMBER 2016

Page 2: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

---- Prof. ~Muh. Yusri Karim, M.Si NIP. 9650108 199103 I 002

Makassar, 8 Nopember 2016

: Dinas Kelautan clan Perikanan, Propinsi Sulawesi Se Iatan

: JI. Baji Mianasa No. 12 Makassar : Ir. Sulkaf S. Latief, MM. : Tahun ke-2 dari rencana 3 tahun : Rp. 85.000.000 : Rp. 266.500.000

Mengetahtri' · .,

Dekan F .

Alamat Penanggung Jawab Tahun Pelaksanaan Biaya Tahun Berjalan Biaya Keseluruhan

Peueli ti/Pela ksa na Nama Lengkap Perguruan Tinggi NIDN Jabatan Fungsional Program Studi NomorHP Alamat sure! (e-mail)

Anggota (1) Nama Lengkap NIDN a. Perguruan Tinggi Anggota (2) - Nama Lengkap NTDN Perguruan Tinggi Institusi Mitra Nama Jnstitusi Mitra

: Muslimin, S.Pi., M.P. : 0010126708 : Politeknik Pertanian Negeri Pangkep

: Dr. Ir. Hasni Yulianti Azis, M.P. : 0027076403 : Universitas Hasanuddin

: Prof. Dr. Ir. Muhammad Yusri Karirn.M'Si. : Universitas Hasanuddin : 0008016502 : Guru Besar : Budidaya Perairan : 08524086)950

: [email protected]

: PENGEMBANGAN BUDIDA YA KEPlTlNG BAKAU (Scylla olivacea) POLA SJL VOFISHERY BERBASIS MASY ARAKA T DAN BERKELANJUT AN

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian

u

Page 3: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

iii

RINGKASAN

Pengembangan Budidaya Kepiting Bakau (Scylla olivacea) Pola Silvofishery

Berbasis Masyarakat dan Berkelanjutan Oleh MUHAMMAD YUSRI KARIM,

HASNI YULIANTI AZIS, dan MUSLIMIN.

Budidaya kepiting bakau pola silvofishery adalah suatu kegiatan budidaya

kepiting pada daerah mangrove dengan rasio perbandingan antara luas areal

pemeliharaan dengan vegetasi mangrove 20 berbanding 80%. Penelitian ini

bertujuan (1) menentukan kepadatan jenis pakan yang tepat pada budidaya

penggemukan kepiting bakau (S. olivacea) yang dipelihara pola silvofishery, dan (2)

menentukan dosis pakan yang tepat pada budidaya penggemukan kepiting bakau (S.

olivacea) yang dipelihara pola silvofishery. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Maret sampai September 2016 di kawasan mangrove Kabupaten Pangkep, Sulawesi

Selatan sebagai lokasi pemeliharaan kepiting. Analisis proksimat kepiting dilakukan

di Laboratorium Nutrisi dan Teknologi Pakan, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep,

sedangkan analisis kualitas air di lakukan di Laboratorium Kualitas Air, Jurusan

Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas.

Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau (S. olivacea) jantan

berukuran bobot 250 ± 10 g. Wadah yang digunakan adalah kurungan yang terbuat

dari bambu berukuran panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 1,0 x 1,0 x 1,0 m

yang ditempatkan di kawasan mangrove. Jenis dan dosis pakan yang diberikan

berdasarkan perlakuan dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari yakni pagi hari

sebesar 30% dan sore hari 70%.

Penelitian terdiri atas 2 tahap yang didesain menggunakan rancangan acak

lengkap (RAL) terdiri atas 4 perlakuan dan 3 ulangan. Pada tahap I dilakukan

pemeliharaan kepiting dengan 4 jenis pakan yaitu: ikan rucah laut, ikan mujair,

tiram, dan siput sawah dengan dosis 10% dari biomassa kepiting. Pada tahap II

dilakukan pemeliharaan kepiting dengan pemberian pakan dosis 7,5; 10; 12,5 dan

15% dari jenis pakan terbaik berdasarkan hasil penelitian tahap I yakni ikan mujair.

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan uji

lanjut W-Tuckey. Sebagai alat bantu untuk uji statistik tersebut digunakan paket

program SPSS versi 20.

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa perbedaan jenis pakan tidak

berpengaruh nyata (p > 0,05) pada sintasan kepiting, akan tetapi dosis pakan

berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) pada sintasan kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery. Demikian pula halnya jenis dan dosis pakan berpengaruh sangat

nyata (p < 0,01) pada pertumbuhan dan kandungan nutrien kepiting bakau

(S. olivacea). Sintasan kepiting pertinggi tertinggi dihasilkan pada dosis pakan 10-

15% dari bobot tubuh kepiting dan terendah pada 7,5%. Pertumbuhan dan

kandungan nutrient tertinggi pada jenis pakan ikan mujair dan tiram dengan dosis

10-15%, sedangkan terendah pada pakan jenis ikan rucah laut dan siput sawah dan

dosis 7,5%.

Page 4: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

iv

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat

dan taufiqNyalah sehingga penulisan laporan Penelitian Strategi Naional Tahun

Anggaran 2016dapat terselesaikan. Laporan ini disusun berdasarkan hasil penelitian

mengenai Pengembangan Budidaya Kepiting Bakau (Scylla olivacea) Pola

Silvofishery Berbasis Masyarakat dan Berkelanjutan yang dilaksanakan di kawasan

Mangrove Desa Mandalle, Kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkep yang didanai

oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi dan

Pendidikan Tinggi dengan nomor kontrak 019/SP2H/LT/DRPM/II/2016.

Sehubungan dengan penulisan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi

yang telah memberikan kesempatan pada peneliti sehingga penelitian ini dapat

dilaksanakan. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada LP2M Unhas dan

Pemerintah Kabupaten Pangkep serta semua pihak yang ikut membantu dalam

pelaksanaan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, namun

kiranya dapat memberi manfaat dan menambah khazanah pengetahuan dalam

pengembangan teknologi budidaya kepiting bakau pola slvofishery.

Makassar, 8 Nopember 2016

Tim Peneliti

Page 5: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

v

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii

RINGKASAN .................................................................................................... iii

PRAKATA ......................................................................................................... iv

DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

DAFTAR TABEL .............................................................................................. vii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... ix

I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 2

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 3

1.4. Urgensi Penelitian ................................................................................ 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5

2.1. Kepiting Bakau .................................................................................... 5

2.2. Mangrove ............................................................................................ 6

2.3. Pertumbuhan ........................................................................................ 7

2.4. Mangrove ............................................................................................ 9

2.5. Keterkaitan Antara Kepiting Bakau dan Mangrove ............................ 10

2.6. Silvofishery ......................................................................................... 10

2.5. Fisika Kimia Air ................................................................................. 12

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ................................................... 15

3.1. Waktu dan Tempat ............................................................................. 15

3.2. Materi Penelitian ................................................................................. 15

3.3. Prosedur ............................................................................................. 17

3.4. Perlakuan dan Rancangan Percobaan ................................................. 19

3.5. Parameter yang Diamati ...................................................................... 20

Page 6: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

vi

3.6. Analisis Data ...................................................................................... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 23

4.1. Penggemukan Kepiting Bakau yang Dipelihara Pola Silvofishery

dengan Jenis Pakan Berbeda ................................................................. 23

4.1.1. Sintasan ..................................................................................... 23

4.1.2. Pertumbuhan ........................................................................... 24

4.1.3. Kandungan Nutrien Kepiting .................................................. 26

4.1.4. Fisika Kimia Air ........................................................................ 28

4.2. Penggemukan Kepiting Bakau yang Dipelihara Pola Silvofishery

dengan Dosis Pakan Berbeda ............................................................. 29

4.2.1. Sintasan ..................................................................................... 29

4.2.2. Pertumbuhan ........................................................................... 30

4.2.3. Kandungan Nutrien Kepiting .................................................. 32

4.2.4. Fisika Kimia Air ........................................................................ 33

V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 34

5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 34

5.2. Saran .................................................................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 35

LAMPIRAN ...................................................................................................... 40

Page 7: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

vii

DAFTAR TABEL

No. Halaman

Teks

1. Parameter fisika kimia air yang diukur dan metode/alat yang

digunakan ................................................................................................... 22

2. Rata-rata sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan jenis pakan berbeda ........................................................................ 23

3. Rata-rata pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan jenis pakan berbeda ....................................................................... 24

4. Rata-rata kandungan nutrien kepiting bakau yang dipelihara pola

Silvofishery denga jenis pakan berbeda ...................................................... 26

5. Kisaran fisika kimia lingkungan pemeliharaan kepiting bakau selama

penelitian berlangsung ............................................................................... 28

6. Rata-rata sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan dosis pakan ..................................................................................... 29

7. Rata-rata pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan dosis pakan berbeda ....................................................................... 31

8. Rata-rata kandungan nutrien kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan dosis pakan berbeda ................................................... 32

9. Kisaran fisika kimia lingkungan pemeliharaan kepiting bakau yang

selama penelitian berlangsung ................................................................... 33

Page 8: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

Teks

1. Peta lokasi penelitian .................................................................................... 15

2. Kepiting bakau (S. olivacea) yang digunakan ............................................... 16

3. Kurungan yang digunakan untuk penggemukan kepiting ............................. 16

4. Pakan yang digunakan .................................................................................... 17

5. Tata letak wadah-wadah percobaan setelah pengacakan ............................... 20

Page 9: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

ix

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

Teks

1. Sintasan kepiting bakau dipelihara pola silvofishery dengan berbagai

jenis pakan .................................................................................................... 41

2. Analisis ragam sintasan kepiting bakau dipelihara pola silvofishery

dengan berbagai jenis pakan ........................................................................ 41

3. Laju pertumbuhan harian dan ertumbuhan mutlak dan kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan berbaga jenis pakan ........................... 42

4. Analisis ragam laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan ........................................... 42

5. Uji lanjut W-Tuckey laju pertumbuhan harian kepiting yang dipelihara

pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan ............................................. 42

6. Analisis ragam pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan ............................................ 43

7. Uji lanjut W-Tuckey pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan jenis pakan berbeda ............................................. 43

8. Hasil analisis proksimat kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan berbagai jenis pakan ......................................................................... 44

9. Hasil analisis proksimat pakan percobaan ................................................... 44

10. Analisis ragam kandungan protein kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan berbagai jenis pakan ..................................................... 45

11. Uji lanjut W-Tuckey kandungan protein kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan ............................................. 45

12. Analisis ragam kandungan lemak kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan berbagai jenis pakan ..................................................... 45

13. Uji lanjut W-Tuckey kandungan lemak kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan ............................................. 46

14. Analisis ragam kandungan energi kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan berbagai jenis pakan ..................................................... 46

15. Uji lanjut W-Tuckey kandungan energi kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan ............................................. 47

16. Sintasan kepiting bakau dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan

berbeda ......................................................................................................... 47

17. Analisis ragam sintasan kepiting bakau dipelihara pola silvofishery

dengan dosis pakan berbeda ......................................................................... 48

18. Uji lanjut W-Tuckey sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan dosis pakan berbeda ..................................................... 48

Page 10: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

x

19. Laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda ............................ 49

20. Analisis ragam laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda ............................................ 49

21. Uji lanjut W-Tuckey laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda ........................... 50

22. Analisis ragam pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda ............................................ 50

23. Uji lanjut W-Tuckey pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda ............................................. 51

24. Hasil analisis proksimat kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan dosis pakan berbeda .......................................................................... 52

25. Analisis ragam kandungan protein kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan dosis pakan berbeda ..................................................... 52

26. Uji lanjut W-Tuckey kandungan protein kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan jenis pakan berbeda ............................................. 53

27. Analisis ragam kandungan lemak kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan dosis pakan berbeda ..................................................... 53

28. Uji lanjut W-Tuckey kandungan lemak kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda ............................................. 54

29. Analisis ragam kandungan energi kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan dosis pakan berbeda ..................................................... 54

30. Uji lanjut W-Tuckey kandungan energi kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda ............................................. 50

Page 11: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan bernilai

ekonomis penting di kawasan Asia-Pasifik. Jenis kepiting ini digemari konsumen

baik di dalam maupun di luar negeri karena rasa dagingnya yang lezat dan bernilai

gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting seperti mineral dan asam

lemak -3. Selama ini kebutuhan konsumen akan kepiting bakau sebagian besar

masih dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang sifatnya fluktuatif (Catacutan,

2002; Karim, 2013).

Meningkatnya permintaan konsumen akan kepiting bakau terutama di pasar

internasional menuntut produksi kepiting yang berkesinambungan yang hanya

dapat dipenuhi melalui upaya budidaya secara intensif. Budidaya kepiting bakau

memiliki prospek yang cukup baik, pangsa pasar terbuka luas dengan nilai

ekonomis yang tinggi. Secara umum kegiatan budidaya kepiting bakau terdiri atas:

pembesaran, pengemukan, produksi kepiting bertelur, dan produksi kepiting lunak

(soft shell crab). Penggemukan kepiting bakau yaitu suatu usaha untuk menambah

bobot kepiting yang semula masih kurus menjadi kepiting yang gemuk. Usaha

penggemukan kepiting potensial untuk dikembangan karena hanya memerlukan

modal kecil, waktu pemeliharaan singkat, dan teknologi sederhana.

Upaya produksi kepiting bakau melalui kegiatan penggemukan telah

dilakukan di beberapa daerah di Indonesia seperti Pemalang, Cilacap, Rembang,

dan Demak (Akhadiyati, 2003; Putranto, 2007). Namun demikian, produksi yang

dihasilkan belum maksimal terutama pada aspek pertumbuhan dan kelangsungan

hidup kepiting karena berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan

Page 12: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

2

tersebut, diantaranya jenis dan dosis pakan yang digunakan. Dengan demikian,

untuk memecahkan permasalahan di atas maka diperlukan kajian tentang jenis dan

dosis pakan yang tepat untuk penggemukan kepiting bakau.

Selama ini budidaya kepiting bakau dilakukan di tambak-tambak, padahal

kawasan mangrove yang merupakan habitat alami kepiting potensial untuk

dijadikan areal budidaya penggemukan kepiting bakau dengan sisitem atau pola

silvofishery. Silvofishery adalah suatu kegiatan budidaya pada daerah mangrove.

Prinsip dasar sistem budidaya tersebut adalah pemanfaatan jamak atau ganda

keberadaan mangrove dengan tanpa menghilangkan fungsi ekosistemnya secara

alami sehingga didapatkan hasil perikanan dan mangrove yang masih dapat

berperan sebagai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi.

Penelitian tentang budidaya penggemukan kepiting bakau di tambak telah

dilakukan oleh Akhadiyati (2003) dan Putranto (2007), akan tetapi pada kawasan

mangrove (silvofishery) belum dilakukan. Oleh sebab itu, penelitian mengenai

sintasan, pertumbuhan, dan kandungan nutrien kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan pemberian berbagai jenis dan dosis pakan untuk penggemukan

perlu dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah

Potensi sumberdaya mangrove merupakan aset yang sangat strategis untuk

meningkatkan kemakmuran masyarakat pesisir dan pendapatan asli daerah. Aset

strategis ini akan berdaya guna bila dikembangkan secara terintegrasi dalam

pengembangan budidaya kepiting bakau pola silvofishery yang mendukung

kawasan pengelolaan mangrove.

Page 13: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

3

Budidaya kepiting bakau pola silvofishery adalah suatu kegiatan budidaya

kepiting pada daerah mangrove dengan rasio perbandingan antara luas areal

pemeliharaan dengan vegetasi mangrove 20 berbanding 80%. Prinsip dasar sistem

budidaya tersebut adalah pemanfaatan jamak atau ganda keberadaan mangrove

dengan tanpa menghilangkan fungsi ekosistemnya secara alami sehingga

didapatkan hasil perikanan dan mangrove yang masih dapat berperan sebagai fungsi

biologi, ekologi dan ekonomi. Dengan budidaya pola silvofishery diharapkan dapat

mengurangi konversi kawasan mangrove menjadi tambak yang tidak rasional yang

dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.Melalui budidaya kepiting

bakau sistem silvofishery dapat menciptakan lapangan kerja.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Menentukan jenis pakan yang terbaik dalam menghasilkan sintasan, dan

pertumbuhan kepiting bakau secara maksimal yang dipelihara pada kawasan

mangrove.

b. Menentukan dosis pakan yang terbaik dalam menghasilkan sintasan dan

pertumbuhan kepiting bakau secara maksimal yang dipelihara pada kawasan

mangrove.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai salah

satu bahan informasi tentang penggunaan pakan yang tepat pada usaha budidaya

kepiting bakau pola silvofishery khususnya untuk penggemukan pada kawasan

mangrove. Selain itu, sebagai bahan acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Page 14: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

4

1.4. Urgensi Kegiatan

Keberadaan mangrove merupakan aset strategis untuk dikembangkan

dengan basis kegiatan ekonomi untuk tujuan pemakmuran masyarakat pesisir dan

peningkatan perolehan pendapatan asli daerah. Budidaya kepiting bakau sistem

silvofishery memungkinkan dilakukan mengingat keberadaan mangrove cukup luas

yang merupakan habitat alami kepiting bakau. Oleh sebab itu, dalam rangka

pengelolaan kawasan mangrove secara sustainable diperlukan langkah-langkah

konkrit dan konstruktif. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai salah satu langkah

tepat dalam menjaga kelestarian mangrove yang secara ekologis berperanan dalam

menjaga habitat pesisir dan menghasilkan produk perikanan bernilai ekonomis

penting terutama kepiting bakau. Guna mendapatkan gambaran tentang

kemungkinan pengembangan budidaya kepiting bakau pola silvofishery pada

kawasan mangrove dengan pemberian berbagai jenis dan dosis pakan maka

dilakukan suatu kajian tentang hal tersebut.

Hasil penelitian ini memberikan kontribusi mendasar pada bidang ilmu

budidaya perairan khususnya budidaya kepiting bakau. Hasil yang didapatkan pada

penelitian ini akan menjadi dasar dalam pengembangan budidaya kepiting bakau

pola silvo fishery pada kawasan mangrove terutama tentang penggunan jenis dan

dosis yang paling tepat agar hasil yang diperoleh maksimal.

Page 15: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepiting Bakau

Secara taksonomi kepiting bakau oleh Keenan dkk.. (1998) digolongkan

kedalam phyilum Arthropoda, kelas Crustacea, subkelas Malacostraca, ordo

Decapoda, subordo Raptantia, Famili Portunidae, Genus Scylla, Species: Scylla

serrata, S. tranquebarica, S. olivacea dan S. paramamosain.

Kepiting bakau merupakan biota yang khas berada di kawasan hutan bakau.

Perkawinan kepiting di perairan dan bermigrasi ke laut untuk memijah.

Perkembangan kepiting di mulai dari telur, zoea, megalopa, kepiting muda, dan

kemudian kepiting dewasa. Pada tingkatan juvenil (muda), kepiting bakau jarang

terlihat di daerah bakau karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur,

mereka lebih menyukai tempat terlindung seperti alur-alur air laut yang menjorok

ke daratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela

akar bakau (Gunarto, 2004). Kepiting muda dan dewasa seringkali dijumpai dalam

lubang-lubang pada habitat berlumpur dan di sela-sela akar mangrove. Kepiting

jantan biasanya tetap di sekitar hutan mangrove atau estuaria, yaitu pada bagian-

bagian perairan berlumpur yang banyak tersedia makanan (Mardjono dkk., 1994;

Karim, 2005; Christensen dkk., 2005).

2.2. Pakan dan Kebiasaan Makan

Informasi mengenai pakan kepiting bakau di alam telah dilaporkan oleh

Lavina (1980 ; Kuntiyo et al.,1994 ; Catacutan, 2002). Kepiting bakau dewasa

termasuk jenis hewan pemakan segala dan bangkai (omnivorous scavenger). Pada

saat larva, kepiting bakau memakan berbagai pakan planktonik seperti diatom,

Page 16: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

6

tetraselmis, chlorella, rotifer, larva echinodermata, larva berbagai moluska, cacing,

dan lain-lain sesuai dengan ukuran bukaan mulut yang relatif masih kecil. Pada saat

juvenil menyukai detritus sedangkan kepiting dewasa menyukai ikan dan moluska

terutama kekerangan. Dalam kondisi alami, kepiting jarang sekali makan ikan

karena tidak mempunyai kemampuan menangkap ikan.

Kepiting bakau hidup di sekitar mangrove dan memakan akar-akarnya

(pheneumatophore). Selain itu, perairan di sekitar mangrove sangat cocok untuk

kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah

cukup tersedia. Serasah adalah sisa organik dari hewan dan tumbuhan yang telah

mati seperti guguran daun, bunga dan buah, kulit kayu serta lainnya yang menyebar

di permukaan tanah sebelum bahan-bahan tersebut mengelami dekomposisi.

Kepiting bakau juga memakan moluska yang sering ditemukan melekat pada akar

pohon mangrove ataupun pada substrat mangrove. Menurut Novrita (2001),

kepiting dewasa merupakan pemakan segala jenis makanan, khususnya hewan yang

bergerak lambat atau yang berada dalam keadaan diam seperti makrozoobenthos.

Hal yang sama dikemukan Moosa dkk. (1985) bahwa kepiting bakau merupakan

organisme bentik yang memakan serasah, habitatnya adalah perairan intertidal di

dekat hutan mangrove yang bersubstrat lumpur.

Selain pemakan segala dan bangkai, kepiting bakau juga dikenal sebagai

pemakan sejenis, yang dikenal dengan istilah cannibal. Jika ada kepiting lain yang

masuk ke wilayah kekuasaannya kepiting bakau akan menyerang dan memangsa

kepiting tersebut. Selain itu, pada kondisi lapar jika ketersediaan pakan kurang

maka kepiting juga akan memakan sesamanya. Biasanya kepiting yang berukuran

lebih besar akan menyerang kepiting yang lebih kecil menggunakan capitnya

Page 17: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

7

dengan merusak karapas untuk selanjutnya mengambil bagian yang lunak untuk

dimakan. Kepiting bakau merupakan organisme yang rakus dan bersifat kanibal

karena sering memakan sesamanya terutama yang sedang berganti kulit (molting),

sehingga hal ini menjadi salah satu kendala utama dalam budidayanya.

Waktu makan kepiting bakau tidak beraturan tetapi lebih aktif pada malam

hari dibandingkan siang hari sehingga kepiting digolongkan hewan nocturnal.

Menurut Mossa dkk. (1985), kepiting bakau termasuk golongan hewan nocturnal,

karena kepiting beraktivitas pada malam hari. Kepiting ini bergerak sepanjang

malam untuk mencari pakan bahkan dalam semalam kepiting ini mampu bergerak

mencapai 219-910 meter. Pada malam hari kepiting akan keluar dari lubang-lubang

persembunyiannya untuk mencari pakan dan pada pagi harinya mereka akan

kembali membenamkan diri pada lubang-lubang lumpur. Aktivitas makan kepiting

jantan lebih tinggi dari pada aktivitas kepiting betina.

2.3. Pertumbuhan

Kepiting bakau mengalami pertumbuhan dalam siklus hidupnya mulai dari

stadia larva sampai dewasa. Pertumbuhan pada kepiting bakau merupakan

pertambahan bobot badan dan lebar karapas yang terjadi secara berkala setelah

terjadi pergantian kulit atau molting. Besarnya pertumbuhan yang dialami oleh

kepiting bakau dapat dilihat dari besarnya perubahan lebar karapas dan bobot setiap

saat kepiting mengalami molting (Karim, 2013).

Pertumbuhan kepiting dibatasi oleh keberadaan eksoskeleton (kerangka

luar) yang keras. Konsekuensinya eksoskeleton tersebut secara berkala harus

diganti oleh yang baru untuk tumbuh. Pada saat kepiting ganti kulit, sebagian

Page 18: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

8

bobot hilang sebagai eksuvia. Kehilangan bobot pada setiap ganti kulit ini

mengakibatkan model pertumbuhan kepiting bakau bersifat diskontinyu karena

hanya terjadi setelah ganti kulit (Styrishave dkk., 2004).

Kulit kepiting mengandung zat kapur sehingga keras, kuat dan kaku. Kondisi

ini menyebabkan kepiting untuk melepaskan dan mengganti kulit lamanya dengan

kulit yang baru yang berukuran lebih besar agar dapat tumbuh. Proses molting pada

kepiting menempuh tiga tahap yaitu pre-ecdysis, ecdysis dan meteecdysis. Pre-

ecdysis merupakan persiapan molting, pada tahap ini otot kaki dan capit tidak

berfungsi, sebagian eksoskeleton lama terurai dan kalsiumnya diserap kembali,

sementara eksoskeleton baru dibentuk di sebelah dalam eksoskeleton lama. Pada

tahap ecdysis, terjadi pelepasan eksoskeleton lama sambil menyerap air. Pada

meteecdysis, sintesis dan klasifikasi telah sempurna dan otot capit berfungsi

kembali (Mykles, 2001).

Secara fisilogis kepiting bakau dipengaruhi oleh faktor fisiologis baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dilakukan dengan pemberian

hormon, sedangkan secara tidak langsung melalui stimulasi lingkungan dan pakan

(Bliss, 1983).

Selama masa pertumbuhan menjadi dewasa, kepiting bakau akan mengalami

beberapa kali molting yaitu berkisar 17 sampai 20 kali. Hal ini terjadi karena

rangka luar yang membungkus tubuhnya tidak dapat membesar, sehingga perlu

dibuang dan diganti dengan yang lebih besar. Setiap periode (fase intermolt) setelah

molting pertumbuhan kepiting dapat mencapai 20 sampai 30% dari ukuran semula.

Warner (1977) mengemukakan bahwa pada kepiting yang masih kecil penambahan

bobot dapat mencapai 400 persen. Secara keseluruhan, penambahan bobot pada

Page 19: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

9

setiap molting berkisar 3 sampai 44%. Menurut Lavina (1980) pertumbuhan

kepiting bakau sejak dari telur sampai dewasa dengan lebar karapas sekitar 114.2

mm memerlukan waktu minimal 369 hari.

2.4. Mangrove

Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

oleh beberapa jenis yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-

surut pantai berlumpur. Mangrove mempunyai ciri-ciri antara lain: umumnya

tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung dan

berpasir; daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang

hanya tergenang pada saat pasang purnama (Bengen, 2000).

Mangrove bersifat fakultatif halophyta, yaitu dapat tumbuh pada kondisi

salin dan tawar. Mangrove mampu beradaptasi pada kondisi salin dengan berbagai

cara yang berbeda-beda. Fungsi ekologis mangrove sangat erat kaitannya dengan

fungsi ekonomi. Berjenis-jenis biota laut hidup di sini atau dengan kata lain sangat

bergantung dengan keberadaan hutan mangrove. Perairan tempat populasi

mangrove berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan berjenis-jenis hewan air

seperti ikan, udang, kerang, dan bermacam-macam kepiting yang kesemuanya

mempunyai nilai ekonomis tinggi. Namun tak kalah pentingnya, kontribusi yang

paling penting dari ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem

pantai adalah serasah daunnya, merupakan sumber bahan organik penting dalam

peristiwa rantai makanan akuatik (Kusmana, 2005).

Page 20: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

10

2.5. Keterkaitan Antara Kepiting Bakau dan Mangrove

Kepiting bakau ditemukan melimpah di sungai-sungai pesisir, di perairan

payau, dan kawasan mangrove dengan, memakan akar-akarnya (pneumatophore)

dan merupakan habitat yang sangat cocok untuk menunjang kehidupannya karena

sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia (Christensen dkk.,

2005; Karim, 2013).

Kepiting bakau hidup di habitat intertidal dan subtidal, dimana mereka

secara dominan memangsa moluska dan invertebrata lain yang kurang bergerak,

seperti bivalvia, siput, kepiting lain, dan cacing (Warner, 1977; Keenan dkk., 1998;

Karim, 2013). Dalam habitat intertidal, kepiting bakau bersembunyi dalam lumpur

untuk mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan melindungi diri

dari predator menambahkan bahwa setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau

akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri, atau bersembunyi dalam

lobang sampai karapasnya mengeras. Melalui serasah, mangrove menyumbangkan

sumber makanan primer utama ke dalam sistem, yang dikonsumsi secara langsung

oleh herbivora, diuraikan oleh bakteri dan oleh hewan pemakan detritus (Uca spp).

Herbivora seperti Uca spp. adalah pakan alami bagi kepiting (Moosa, 1985;

Gunarto, 2004; Karim, 2013).

2.6. Silvofishery

Sistem pengelolan budidaya yang berasosiasi dengan hutan mangrove mulai

dikembangkan dan dikenal dengan istilah silvofishery atau wanamina. Silvofishery

adalah sebuah bentuk terintegrasi antara budidaya tanaman mangrove dengan

tambak air payau. Hubungan tersebut diharapkan mampu membentuk suatu

Page 21: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

11

keseimbangan ekologis, sehingga tambak yang secara ekologis mempunyai

kekurangan elemen produsen yang harus disuplai melalui pemberian pakan, akan

tersuplai oleh adanya subsidi produsen (biota laut) dari hutan mangrove

(http://answer.yahoo./question/index. 2010. Diakses 5 April 2014).

Kepiting bakau dapat berkembang dengan baik pada lingkungan di hutan

bakau atau bakau. Hutan bakau dapat diartikansebagai hutan yang tumbuh di daerah

pantai, biasanya di daerah teluk dan muara sungai yang dicirikan oleh : a) tidak

terpengaruh oleh iklim, b) dipengaruhi oleh pasang surut air laut, c) tergenang air

laut, d) tanah rendah pantai, e) hutan tidak mempunyai struktur tajuk, f) jenis

pohonnya terdiri atas api-api (Avicena sp.), pedada (Sonneratia), bakau

(Rhizoraphora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypa

sp.), dan lain-lain. Bakau adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu

tumbuhanyang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut.Hutan bakau

adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

tergenang pada saat pasang naik dan bebas genangan pada saat pasang rendah

(Trino dan Rodriguez, 2002; Gunarto, 2004).

Kawasan mangrove sebagai habitat asli kepiting bakau sangat cocok

dijadikan sebagai daerah konservasi. Di kawasan tersebut dapat ditebar krablet

kepiting bakau hasil perbenihan dan diusahakan agar kepiting bakau hidup secara

alamiah sampai kepiting berhasil memijah dan kembali ke laut untuk menetaskan

telurnya tanpa terganggu oleh aktifitas penangkapan. Upaya pembesaran ini

dilakukan secara silvofishery, yaitu bentuk pemanfaatan jamak mangrove dengan

kombinasi komoditas perikanan. Pemilihan komoditas budidaya untuk silvo-fishery

perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) Sesuai dengan habibat lahan

Page 22: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

12

mangrove sehingga mudah beradaptasi; (2) Memiliki nilai ekonomis penting baik

untuk pasar local maupun ekspor; (3) Komoditas strategis untuk pemenuhan protein

masyarakat; (4) Memiliki gerakan lincah atau pelindung sehingga tidak mudah

dimangsa predator; (5) Cepat tumbuh dan relatif tahan terhadap kondisi kurang

baik. Kepiting bakau memenuhi kesemua persyaratan tersebut dan berbagai

keunggulan komparatif untuk dikembangkan pada kawasan mangrove (Efrizal dkk.,

2001; Bulanin dan Ronal, 2005).

2.7. Fisika Kimia Air

Suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi

aktivitas, nafsu makan, kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan molting krustasea

(Kumlu dkk.. 2001; Whiteley dkk.. 2001; Hoang dkk.. 2003; Villareal dkk.. 2003;

Zacharia dan Kakati 2004; Xiangli dkk.. 2004; Kumlu dan Kir 2005). Hubungan

antara laju pertumbuhan kepiting dan suhu telah dilaporkan oleh beberapa peneliti

bahwa laju pertumbuhan proporsional dengan suhu air media. Boeuf dan Payan

(2001) mengemukakan bahwa suhu dan salinitas adalah faktor yang secara

langsung menentukan peningkatan atau penurunan pertumbuhan (Hoang dkk..

2003; Xiangli dkk.. 2004). Menurut Kuntiyo dkk.. (1994) suhu yang optimun untuk

pertumbuhan kepiting bakau adalah 26 sampai 32 oC.

Boyd (1990) mengemukakan bahwa pH yang didefinisikan sebagai

logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (H+), merupakan indikator

keasaman serta kebasaan air. Menurut Kuntiyo dkk.. (1994) dan Christensen dkk..

(2005), agar pertumbuhan maksimal, kepiting bakau sebaiknya dibudidayakan pada

media dengan pH antara 7,5 dan 8,5.

Page 23: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

13

Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat

esensial yang mempengaruhi proses fisiologis organisme akuatik (Warner 1977;

Cheng dkk.. 2003). Secara umum, kandungan oksigen terlarut rendah (< 3 ppm)

akan menyebabkan nafsu makan organisme dan tingkat pemanfaatannya rendah,

berpengaruh pada tingkah laku dan proses fisiologis seperti tingkat kelangsungan

hidup, pernafasan, sirkulasi, makan, metabolisme, molting, dan pertumbuhan

krustasea. Bila kondisi ini berlanjut untuk waktu yang relatif lama konsumsi pakan

akan berhenti dan akibatnya pertumbuhan menjadi terhenti (Boyd 1990; Cheng

dkk.. 2003). Oleh sebab itu, untuk menghasilkan pertumbuhan kepiting bakau yang

dibudidayakan secara maksimal, kandungan oksigen terlarut harus selalu

dipertahankan dalam kondisi optimun. Untuk budidaya kepiting bakau agar

pertumbuhannya baik maka kandungan oksigen sebaiknya lebih besar dari 3 ppm

(Kuntiyo dkk.. 1994; Christensen dkk.. (2005).

Amoniak merupakan senyawa produk utama dari limbah nitrogen dalam

perairan yang berasal dari organisme akuatik (Cavalli dkk.. 2000; Durand dkk..

2000; Neil dkk.. 2005). Amoniak bersifat toksik sehingga dalam konsentrasi yang

tinggi dapat meracuni organisme (Boyd 1990; Cavalli dkk.. 2000). Oleh sebab itu,

agar kepiting bakau dapat tumbuh dengan baik maka konsentrasi amonia dalam

media tidak lebih dari 0.1 ppm (Boyd 1990; Kuntiyo dkk.. 1994).

Kehadiran nitrit (NO2) di dalam air merupakan hasil nitrifikasi amonia oleh

bakteri Nitrozomonas dan Nitrobacter pada denitrifikasi nitrat (Cheng dan Chen

2002; Tsai dan Chen 200; Koo dkk.. 2005). Bagi kehidupan organisme perairan

termasuk kepiting secara langsung, nitrit ini merupakan salah satu jenis bahan yang

bersifat toksik, biasanya terbentuk pada budidaya intensif atau pada perairan yang

Page 24: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

14

tercemar (Wedemeyer 1996 ; Tsai dan Chen 2002 ; Jensen 2003). Menurut

Kuntiyo dkk.. (1994), pada budidaya kepiting bakau sebaiknya kadar nitrit tidak

melebihi 0,5 ppm.

Tingkat kekeruhan air merupakan salah satu parameter fisika yang dijadikan

indikator tingkat pencemaran perairan. Menurut Baku Mutu Air Keputusan

Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2003 tingkat kekeruhan perairan yang

diperbolehkan untuk keperluan perikanan dan peternakan ialah 25 NTU. Menurut

Asbar (2007), bila kekeruhan air sudah mencapai 50 NTU maka perairan tersebut

telah tercemar berat. Kekeruhan air umumnya disebabkan oleh bahan-bahan yang

terlarut dan tersuspensi di dalam air, misalnya partikel lumpur, bahan organik,

plankton dan mikroorganisme (Mason, 1981). Apabila kekeruhan tinggi akan

berpengaruh terhadap sintasan biota terutama yang hidup di dasar perairan karena

mengganggu pernafasan.

Page 25: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

15

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2016 di

kawasan mangrove Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan sebagai lokasi

pemeliharaan kepiting (Gambar 1). Analisis proksimat kepiting dilakukan di

Laboratorium Nutrisi dan Teknologi Pakan, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep,

sedangkan analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Kualitas Air, Jurusan

Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

3.2. Materi Penelitian

Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau (Scylla olivacea) jantan

berukuran bobot 250 ± 10 g (Gambar 2). Kepiting tersebut didatangkan dari

pengumpul kepiting di Desa Pallime, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone,

Sulawesi Selatan.

Page 26: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

16

Gambar 2. Kepiting bakau (S. olivacea) yang digunakan

Wadah yang digunakan adalah kurungan yang terbuat dari bambu berukuran

panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 1,0 x 1,0 x 1,0 m. Kurungan tersebut

ditempatkan di kawasan mangrove. Pada bagian luar kurungan dilapisi waring yang

bertujuan untuk melindungi kurungan dari sampah dan kotoran yang terbawa oleh

ombak (Gambar 3).

Gambar 3. Kurungan yang digunakan untuk penggemukan kepiting

Pakan yang digunakan untuk penelitian tahap I adalah 4 jenis yaitu: ikna

rucah laut, ikan mujair, tiram, dan siput sawah. Pada tahap II digunakan 1 jenis

Page 27: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

17

berdasarkan hasil penelitian tahap I. Pakan tersebut diperoleh di sekitar lokasi

penelitian (Gambar 4).

Gambar 4. Pakan yang digunakan (A. Ikan rucah laut; B. Ikan Mujair;

C. Tiram; dan D. Siput Sawah

3.3. Prosedur

Penelitian didahului dengan tahap persiapan yang meliputi: penyediaan

bahan dan peralatan penelitian antara lain bambu, balok dan gergaji, pembuatan

kurungan, pemasangan kurungan di kawasan mangrove, dan pengadaan kepiting.

Mula-mula bambu dibersihkan kemudian dipotong dan dibelah-belah menjadi

beberapa bagian berukuran 4 cm. Belahan-belahan bambu dirangkai secara teratur

B A

C D

Page 28: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

18

sehingga berbentuk kere, selanjutnya dilekatkan dengan cara memaku pada rangka

kurungan yang terbuat dari balok kayu.

Untuk menjaga agar sirkulasi air pada kurungan berjalan lancar maka antara

belahan bambu yang satu dengan yang lainnya diberi jarak sekitar 1 cm. Unuk

memudahkan pemberian pakan dan pengontrolan kepiting pada bagian atas

kurungan diberi pintu yang dapat dibuka setiap saat. Pada bagian luar kurungan

dilapisi waring yang bertujuan untuk melindungi kurungan dari sampah-sampah

dan kotoran lainnya.

Sebelum kepiting uji ditebar terlebih dahulu diseleksi bobotnya dan

diadaptasikan dengan kondisi lingkungan pemeliharaan selama 2 hari.

Pengadaptasian dilakukan dengan cara merendam kepiting kedalam air di sekitar

kurungan. Penimbangan bobot awal juga dilakukan sebelum ditebar dengan

menggunakan timbangan duduk berketelitian 10 g.

Selama penelitian berlangsung, kepiting uji diberi pakan berupa ikan-ikan

rucah. Dosis pakan yang diberikan 10% dari biomassa kepiting dengan frekuensi

pemberian pakan 2 kali sehari yakni pagi hari sebesar 30% dan sore hari 70%.

Untuk mengetahui kualitas air lingkungan pemeliharaan selama penelitian

berlangsung dilakukan pengukuran fisika kimia lingkungan perairan. Pengukuran

dilakukan pada pagi dan sore hari sebelum pemberian pakan.

Pada akhir penelitian dilakukan perhitungan jumlah kepiting yang hidup dan

penimbangan bobot tubuh. Selanjutnya dilakukan analisis proksimat untuk

mengetahui kandungan protein, lemak, dan energi tubuh kepiting.

Penelitian terdiri atas 2 tahap, yakni sebagai berikut:

Page 29: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

19

1. Penggemukan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery dengan berbagai

jenis pakan

2. Penggemukan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery dengan dosis

pakan berbeda.

3.4. Perlakuan dan Rancangan Percobaan

Penelitian dirancang dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL).

Untuk penelitian tahap 1 terdiri atas 4 perlakuan dan setiap perlakuan mempunyai 3

ulangan. Dengan demikian penelitian ini terdiri atas 12 satuan percobaan. Adapun

perlakuan yang dicobakan adalah perbedaan jenis pakan untuk penggemukan yang

dipelihara pola silvofishery, yaitu:

A. Ikan Rucah Laut

B. Ikan Mujair

C. Tiram

D. Siput Sawah

Adapun untuk tahap 2 penelitian merupakan aplikasi hasil terbaik penelitian

tahap I, dalam hal ini ikan mujair dan tiram. Namun pertimbangan ekonomis dan

kemudahan mendapatkan pakan tersebut maka dipilih ikan mujair. Penelitian terdiri

atas 4 perlakuan dan setiap perlakuan mempunyai 3 ulangan. Dengan demikian

penelitian ini terdiri atas 12 satuan percobaan. Adapun perlakuan yang dicobakan

adalah perbedaan dosis pakan untuk penggemukan yang dipelihara pola silvofishery

yaitu:

Page 30: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

20

A. 7,5 %

B. 10%

C. 12,5%

D. 15%

Penempatan wadah-wadah penelitian tersebut dilakukan secara acak

berdasarkan pola rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie, 1993). Adapun tata

letak wadah-wadah percobaan setelah pengacakan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Tata letak wadah-wadah percobaan setelah pengacakan

3.5. Parameter yang Diamati

Adapun parameter yang diamati pada penelitian ini adalah sintasan,

pertumbuhan dan kandungan nutrien tubuh. Sintasan dihitung dengan menggunakan

rumus Huynh dan Fotedar (2004) sebagai berikut:

Nt

S = x 100

No

C1 D1

D3

A3

A1

D2

B2

A2

B1

B3

C2

C3

Page 31: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

21

Dimana: S = sintasan kepiting (%)

No = jumlah kepiting pada awal penelitian (ekor)

Nt = jumlah kepiting pada akhir penelitian (ekor)

Pertumbuhan mutlak rata-rata kepiting dihitung dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

P = Nt - No

Dimana : P = Pertumbuhan mutlak kepiting (g)

No = bobot rata-rata kepiting pada awal penelitian (g)

Nt = bobot rata-rata kepiting pada akhir penelitian (g)

Laju pertumbuhan bobot spesifik harian kepiting dihitung dengan

menggunakan rumus (Changbo et al., 2004) sebagai berikut:

(ln Wt – ln Wo)

SGR = x 100

t

Dimana : SGR = Laju pertumbuhan spesifik harian kepiting (%/hari)

Wo = bobot rata-rata kepiting pada awal penelitian (g)

Wt = bobot rata-rata kepiting pada akhir penelitian (g)

t = lama pemeliharaan (hari)

Kandungan nutrien kepiting yang diukur adalah protein, lemak, dan energi

kepiting. Untuk mengetahui kandungan protein, lemak, dan energi kepiting bakau

dilakukan analisis proksimat. Analisis dilakukan pada akhir penelitian dengan

menggunakan metode AOAC (1990).

Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran beberapa parameter

fisika kimia air. Adapun parameter fisika kimia yang diukur serta metode

pengukurannya disajikan pada Tabel 1.

Page 32: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

22

Tabel 1 Parameter fisika kimia air yang diukur dan metode/alat yang digunakan

No. Parameter Metode/Alat

1. Salinitas (ppt) Hand-refractometer (model atago s/mill, skala

0 – 100 ppt)

2. Suhu (oC) Termometer Hg (skala –20 sampai 50

oC)

3. pH (unit) pH meter (model HI 98107 skala 1,0 – 14,0)

4. Oksigen terlarut (ppm) DO meter

5. Amonia (ppm) Spektrofotometer

6. Nitrit (ppm) Spektrofotometer

7. Kekeruhan (NTU) Spektrofotometer

Suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut dilakukan 2 kali sehari yakni pada

pagi hari (pukul 06.00) dan sore hari (pukul 17.30). Adapun amonia, nitrit, dan

kekeruhan dilakukan 3 kali selama penelitian yakni pada awal, pertengahan, dan

akhir penelitian.

3.6. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam

(ANOVA). Oleh karena hasilnya memperlihatkan pengaruh yang nyata maka

dilanjutkan dengan uji lanjut W-Tuckey. Sebagai alat bantu untuk uji statistik

tersebut digunakan paket program SPSS versi 20. Adapun data kualitas air yang

diperoleh dianalisis secara deskriptif berdasarkan kelayakan hidup kepiting bakau

(S. olivacea).

Page 33: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penggemukan Kepiting Bakau yang Dipelihara Pola Silvofishery dengan

Pakan Berbeda

4.1.1. Sintasan

Sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery dengan pakan

berbeda pada budidaya penggemukan disajikan pada Lampiran 1 dan nilai rata-

ratanya pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan jenis pakan berbeda

Jenis Pakan Sintasan (%)

Ikan Rucah Laut

Ikan Mujair

Tiram

Siput Sawah

86,67 ± 5,77a

93,33 ± 5,77a

93,33 ± 11,55a

90,00 ± 10,00a

Keterangan: tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa jenis pakan tidak

berpengaruh nyata (p > 0,05) pada sintasan kepiting bakau untuk penggemukan

yang dipelihara pola silvofishery (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian pakan berupa ikan rucah laut, ikan mujair, tiram dan siput sawah akan

menghasilkan sintasan kepiting yang sama pada budidaya penggemukan yang

dipelihara pola silvofishery.

Hal penelitian ini menggambarkan bahwa pemberian pakan berupa ikan

rucah laut, ikan mujair, tiram, dan siput sawah akan menghasilkan sintasan

kepiting bakau yang sama. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan pemeliharaan

yang optimum dan tingkat kecukupan pakan yang mendukung sintasan kepiting

bakau secara optimum. Sintasan yang dihasilkan pada penelitian ini cukup tinggi

Page 34: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

24

yakni berkisar 86,67-93,33%. Beberapa hasil penelitian tentang penggemukan

kepiting bakau dilakukan di tambak antara lain oleh Trino dan Rodrigues (2001)

memperoleh sintasan 47-56%, sedangkan Begum dkk., (2009) memperoleh

sintasan 86,25-93,75%. Semnetara itu penelitian tentang penggemukan kepiting

bakau pola silvofishery telah dilakukan mengunakan cages dan pens

mendapatkan sintasan 31,3-53,2% (David, 2009), Mirera dan Mtile (2009)

35,0-61,5%, sedangkan Karim dkk. (2015) memperoleh sintasan 61,67-93,33%

yang dipelihara pola silvofishery sistem monosex dengan kepadatan berbeda.

4.1.2. Pertumbuhan

Laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan jenis pakan berbeda disajikan pada Lampiran

3 dan nilai rata-ratanya pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan jenis pakan berbeda

Jenis Pakan Laju Pertumbuhan

Harian (%/hari)

Pertumbuhan Mutlak

(g)

Ikan Rucah Laut

Ikan Mujair

Tiram

Siput Sawah

0,67 ± 0,04b

1,19 ± 0,07a

1,20 ± 0,14a

0,88 ± 0,06b

27,00 ± 1,73b

49,50 ± 3,17a

50,17 ± 5,57a

35,27 ± 2,89b

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa jenis pakan berpengaruh

sangat nyata (p < 0,01) pada laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan mutlak

kepiting bakau (Lampiran 4 dan 6). Selanjutnya hasil uji lanjut W-Tuckey

(Lampiran 5 dan 7) memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan harian dan

pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang diberi ikan rucah laut dan siput sawah

Page 35: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

25

tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (p > 0,05) akan tetapi berbeda nyata

(p < 0,01) dengan yang diberi ikan mujair dan tiram. Demikian pula halnya laju

pertmbuhan harian dan pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang diberi ikan

mujair tidak berbeda nyata dengan tiram.

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa laju pertumbuhan harian dan

pertumbuhan mutlak kepiting bakau tertinggi pada kepiting yang diberi ikan

mujair dan tiram, sedangkan terendah pada kepiting yang diberi ikan rucah laut

dan siput sawah. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan ikan mujair dan tiram

untuk budidaya penggemukan kepiting bakau lebih baik dibandingkan ikan rucah

laut dan siput sawah. Pertumbuhan kepiting bakau yang tinggi disebabkan

kandungan nutrient berupa protein, lemak, dan energi ikan mujair dan tiram lebih

tinggi dibandingkan ikan rucah laut dan siput sawah (Lampiran 8).

Adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan yang dicobakan terhadap

laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery diduga tidak hanya disebabkan oleh tingginya kandungan

nutrient pakan berupa protein, lemak, dan energi ikan mujair dan tiram

dibandingkan dengan ikan rucah laut dan siput sawah, akan tetapi juga turut

dipengaruhi oleh tekstur dari jenis pakan yang digunakan. Ikan mujair, secara

fisik dagingnya lebih lembek dengan kadar air yang lebih tinggi memungkinkan

tingkat kecernaannya lebih mudah dan lebih cepat serta tidak memerlukan

sejumlah pembelanjaan energi dalam proses metabolismenya sehingga lebih

efisien untuk menunjang pertumbuhan kepiting bakau.

Tiram sebagai pakan pada pemeliharaan kepiting bakau dengan pola

silvofishery, merupakan pakan yang baik karena selain memiliki kandungan

Page 36: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

26

nutrient berupa protein, lemak, dan energi yang tinggi, juga lebih mudah dicerna

serta hampir keseluruhan bagian tubuhnya dapat termanfaatkan dibandingkan

dengan ikan rucah yang terdiri dari berbagai jenis ikan yang pada umumnya

memiliki banyak tulang yang tidak dapat termanfaatkan sebagai pakan. Demikian

pula halnya dengan siput sawah yang tekstur daginnya lebih keras terutama pada

bagian kakinya yang merupakan bagian anggota tubuhnya yang terbesar

dibandingkankan dengan ikan mujair dan tiram sehingga diduga akibat dari

perbedaan ketercernaan dari pakan yang digunakan sebagai perlakukan pada

penelitian ini memberikan hasil yang berbeda nyata.

Nilai laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang diperoleh pada

penelitian ini berkisar 0,67-1,20%/hari dan pertumbuhan mutlak berkisar

27,00-50,17 g. Trino dan Rodriguez (2001) mendapatkan laju pertumbuhan

kepiting bakau sebesar 0,9%/hari, sedangkan David (2009) yang dipelihara

dengan menggunakan cage dan pens sebesar 1,3 dan 0,7%/hari.

4.1.3. Kandungan Nutrient Kepiting

Kandungan nutrien kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan berbagai jenis pakan disajikan pada Lampiran 8, sedangkan nilai rata-

ratanya disjikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai rata-rata kandungan nutrient kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan jenis pakan berbeda

Jenis Pakan Kandungan Nutrien Kepiting Bakau

Protein (%) Lemak (%) Energi (kkal/g)

Ikan Rucah Laut 45,26 ± 0,28b 10,33 ± 0,18

b 3.536 ± 4,51

b

Ikan Mujair 47,53 ± 0,48a 12,57 ± 0,29

a 3.685 ± 10,07

a

Tiram 47,54 ± 0,42a 12,54 ± 0,23

a 3.657 ± 0,03

a

Siput Sawah 45,70 ± 0,33b 10,33 ± 0,08

b 3.572 ± 24,88

b

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Page 37: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

27

Hasil analisis ragam menujukkan bahwa jenis pakan berpengaruh sangat

nyata (P < 0,01) pada kandungan protein, lemak, dan energi kepiting bakau

(Lampiran 11, 13, dan 15). Hasil uji lanjut W-Tuckey memperlihatkan bahwa

kandungan protein, lemak, dan energi kepiting bakau yang diberi pakan ikan

rucah laut dan siput sawah tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (p > 0,05),

akan tetapi berbeda nyata dengan kepiting yang diberi ikan mujair dan tiram.

Demikian pula halnya antara kepiting yang diberi ikan mujair tidak

memperlihatkan kandungan nutrient yang berbeda dengan tiram.

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa kandungan protein, lemak, dan energi

kepiting bakau tertinggi dihasilkan pada kepiting yang diberi ikan mujair dan

tiram, sedangkan terendah yang diberi ikan rucah laut dan siput sawah. Adanya

perbedaan dari perlakuan ini berkaitan dengan kondisi ikan rucah laut yang

sebagian dari massa tubuhnya terdiri atas tulang sehingga hanya sebagian yang

terdiri dari daging yang teksturnya keras sehingga membutuhkan pembelanjaan

energi yang lebih banyak pada peroses metabolismenya. Demikian juga halnya

dengan siput sawah yang teksturnya lebih keras dengan nilai nutrisi yang juga

lebih rendah dibandingkan dengan ikan mujair dan tiram.

Adanya perbedaan kandungan nutrient kepiting berupa protein, lemak,

dan energi berpengaruh pada laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan mutlak

kepiting bakau. Semakin tinggi kandungan nutrient tubuh maka pertumbuhannya

semakin pesat. Pertumbuhan digambarkan sebagai peningkatan protein tubuh

(Kim dan Lall 2001). Energi adalah suatu kapasitas untuk melakukan kerja yang

diperlukan dalam semua fase metabolisme tubuh. Kebutuhan energi dipengaruhi

oleh beberapa faktor antara lain spesies, umur, ukuran, aktivitas, dan jenis pakan.

Page 38: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

28

Energi dibutuhkan untuk kontraksi (gerak) dan untuk aktivitas proses

metabolisme. Hampir 60% energi pakan yang dikonsumsi organisme digunakan

untuk memelihara tubuh dan selebihnya digunakan untuk pertumbuhan.

Kebutuhan energi kepiting harus dipenuhi melalui pemberian pakan seperti

protein, lemak, dan karbohidrat yang merupakan sumber energi. Kandungan

energi dan ukuran partikel pakan penting karena akan menentukan laju

pertumbuhan dan deposisi energi (Halver 1989; Kim dan Lall 2001).

4.1.4. Fisika Kimia Air

Kelayakan fisika kimia air dalam media percobaan berperan penting

sebagai penopang kehidupan dan pertumbuhan kepiting bakau. Cortes-Jacinto

dkk. (2005) mengemukakan bahwa aspek fisika dan kimia air mempengaruhi

fungsi fisiologis termasuk pertumbuhan. Selama penelitian berlangsung dilakukan

pengukuran beberapa parameter fisika kimi air pada lingkungan pemeliharaan

kepiting bakau. Adapun nilai kisaran fisika kimia lingkungan perairan selama

penelitian berlangsung disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kisaran fisika kimia lingkungan perairan selama penelitian berlangsung

Parameter Nilai Kisaran

Suhu (oC) 24 – 30

pH 7,13 - 7,61

Salinitas (ppt) 23 – 27

DO (ppm) 3,92 - 4,93

Amoniak (ppm) 0,004 - 0,009

Nitrit (ppm) 0,51 - 0,69

Kekeruhan (NTU) 22,0 - 29,2

Suhu lingkungan selama penelitian berkisar 25-29 oC, pH 7,23 sampai

7,48, salinitas 25-27 ppm, oksigen terlarut 4,58-4,91 ppm, amoniak 0.004-0.006

Page 39: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

29

ppm, nitrit 0,30-0,34 ppm, dan kekeruhan 26,72-29,12 NTU. Kisaran nilai-nilai

tersebut layak untuk mendukung kehidupan kepiting bakau. Suhu yang optimun

untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah 26 sampai 32 oC, pH berkisar 7.5

sampai 8.5, oksigen terlarut > dari 3 ppm, amoniak < 0,1 ppm dan nitrit < 0,5

ppm (Kuntiyo dkk. 1994; Christensen dkk. 2005). Menurut Baku Mutu Air

Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2003 tingkat kekeruhan perairan

yang diperbolehkan untuk keperluan perikanan dan peternakan ialah 25 NTU.

Menurut Asbar (2007), bila kekeruhan air sudah mencapai 50 NTU maka

perairan tersebut telah tercemar berat.

4.2. Penggemukan kepiting bakau yang Dipelihara Pola Silvofishery dengan

Dosis Pakan Berbeda

4.2.1. Sintasan

Sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery dengan dosis

pakan berbeda disajikan pada Lampiran 16, sedangkan nilai rata-ratanya pada

Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

Dengan dosis pakan berbeda

Dosis Pakan (%) Sintasan (%)

7,5

10

12,5

15

76,67 ± 5,77b

93,33 ± 5,77a

96,67 ± 5,77a

96,67 ± 5,77a

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa dosis pakan berpengaruh

sangat nyata (p > 0,01) pada sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery (Lampiran 29). Selanjutnya hasil uji lanjut W-Tuckey (Lampiran 18)

Page 40: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

30

memperlihatkan bahwa sintasan kepiting bakau yang diberi pakan dosis 7,5%

berbeda nyata (p < 0,05) dengan 10; 12,5 dan 15%, akan tetapi ketiganya tidak

memeprlihatkan perbedaan yang nyata (p > 0,05). Hal ini menunnukkan bahwa

pada penggemukan kepiting bakau dengan pola silvofishery sebaiknya

menggunakan dosis pakan antara 10 sampai 15% dari biomassa kepiting bakau.

Rendahnya sintasan yang dicapai pada dosis 7,5% dari biomassa kepiting

bakau diduga bahwa dengan dosis tersebut tidak mencukupi akan kebutuhan

pakan kepiting bakau sehingga dapat memicu sifat kanibalisme untuk memangsa

temannya sehingga pada pemberian pakan sebaiknya lebih tinggi dari dosis yang

dibutuhkan.

Pemberian dosis pakan yang sesuai kebutuhan akan memacu pertumbuhan

kepiting. Jumlah pakan harus disesuaikan dengan biomassa kepiting yang

dibudidayakan. Kekurangan pakan mengakibatkan pertumbuhan kepiting yang

lambat, tidak seragam, tubuh tampak keropos dan dapat memunculkan

kanibalisme yang akhirnya menurunkan sintasan. Darmono (1993)

mengemukakan bahwa hewan akan mengalami pertumbuhan yang baik bila

energy yang dibutuhkan untuk pertumbuhan terpenuhi.

4.2.2. Pertumbuhan

Laju pertumbuhan harian dan pertumbhan mutlak kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda disajikan pada Lampiran

19, sedangkan nilai rata-ratanya pada Tabel 7.

Page 41: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

31

Tabel 7. Rata-rata pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan dosis pakan berbeda

Dosis Pakan

(%)

Laju Pertumbuhan

Harian (%/hari)

Pertumbuhan Mutlak

(g)

7,5

10

12,5

15

0,81 ± 0,04b

1,11 ± 0,03a

1,14 ± 0,01a

1,10 ± 0,02a

33,19 ± 1,,45b

46,34 ± 1,26a

47,03 ± 0,25a

45,57 ± 0,62a

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa dosis pakan berbeda

berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) pada laju pertumbuhan harian dan

pertumbuhan mutlak kepiting bakau (Lampiran 20 dan 22). Selanjutnya hasil uji

lanjut W-Tuckey (Lampiran 21 dan 23) memperlihatkan bahwa Laju pertumbuhan

harian dan pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang diberi pakan dosis 7,5%

berbeda nyata (p < 0,05) dengan dosis 10; 12,5 dan 15%, akan tetapi ketiganya

tidak memeprlihatkan perbedaan yang nyata (p > 0,05).

Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa laju pertumbuhan dan pertumbuhan

mutlak kepiting bakau tertinggi dihasilkan pada dosis 10-15% sedangkan

terendah pada 7,5%. Hal ini menggambarkan bahwa dosis pakan memegang

peranan penting terhadap laju pertumbuhan dan pertumbuhan mutlak kepiting

bakau, dimana dosis pakan yang lebih tinggi dari 7,5% memberikan pertumbuhan

yang lebih baik.

Pada pola silvofishery, pemberian pakan memang harus melebihi dari

kebutuhan pakan yang dibutuhkan karena rentang terjadi kanibalisme terutama

pada saat air surut. Kelebihan pakan yang tidak termanfaatkan tidak dikawatirkan

akan merusak kualitas air karena terjadi pergantian air secara priodik pada saat

pasang.

Page 42: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

32

4.2.3. Kandungan Nutrient Kepiting Bakau

Kandungan nutrient kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan dosis pakan berbeda disajikan pada Lampiran 24, sedangkan nilai rata-

ratanya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata kandungan nutrient kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan dosis pakan berbeda

Dosis Pakan

(%)

Kandungan Nutrien Kepiting Bakau

Protein (%) Lemak (%) Energi (kkal/g)

7,5 45,28 ± 0,24b

11,21 ± 0,02b

3.569,67 ± 46,01b

10 47,36 ± 0,14a

12,52 ± 0,11a

3.776,33 ± 37,61a

12,5 47,24 ± 0,10a

12,49 ± 0,09a

3.779,33 ± 9,50a

15 47,31 ± 0,28a

12,65 ± 0,54a

3.781,67 ± 9,50a

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Hasil analisis ragam menujukkan bahwa perbedaan dosis pakan

berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) pada kandungan protein, lemak, dan energi

kepiting bakau (Lampiran 25, 27, dan 29). Selanjutnya hasil ui lanjut W-Tuckey

(Lampiran 26, 28, dan 30) memperlihatkan bahwa kandungan protein, lemak, dan

energi kepiting bakau yang diberi pakan dosis 7,5% berbeda nyata (p < 0,05)

dengan dosis 10; 12,5 dan 15%, akan tetapi ketiganya tidak memeprlihatkan

perbedaan yang nyata (p > 0,05). Pemberian pakan dengan dosisi 10 - 15% dari

biomassa kepiting bakau meberikan kandungan nutrient yang lebih tinggi

dibandingkan dengan dosis 7,5%.

Tingginya kandungan nutrient kepiting berkaitan dengan deposit dari

selisih energi yang telah dibelanjakan pada berbagai aktivitas. Semakin tinggi

kuantitas infut material nutrient melalui pakan maka kecenderungannya juga

menghasikan kandungan nutrient yang lebih tinggi pada kepiting bakau sepanjang

Page 43: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

33

kebutuhan dan aktivitas dari kepiting bakau itu sama pada perlakuan yang

dicobakan.

4.2.4. Fisika Kimia Air

Fisika kimia lingkungan perairan selama penelitian berlangsung disajikan

pada Tabel 9.

Tabel 9. Kisaran fisika kimia lingkungan perairan selama penelitian berlangsung

Parameter Nilai Kisaran

Suhu (oC) 25 – 30

pH 7,23 – 7,52

Salinitas (ppt) 25 – 28

DO (ppm) 4,65 – 5,01

Amoniak (ppm) 0,03 – 0,09

Nitrit (ppm) 0,45 – 0,47

Kekeruhan (NTU) 22,9 – 30,10

Suhu lingkungan selama penelitian berkisar 25-30 oC, pH 7,23 sampai

7,52, salinitas 25-28 ppm, oksigen terlarut 4,65-5,01 ppm, amoniak 0,03-0,009

ppm, nitrit 0,30-0,34 ppm, dan kekeruhan 22,9-30,10 NTU. Kisaran nilai-nilai

tersebut layak untuk mendukung kehidupan kepiting bakau. Suhu yang optimun

untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah 26 sampai 32 oC, pH berkisar 7.5

sampai 8.5, oksigen terlarut > dari 3 ppm, amoniak < 0,1 ppm dan nitrit < 0,5

ppm (Kuntiyo dkk. 1994; Christensen dkk. 2005). Nilai kekeruhan yang diperoleh

masih layak untuk kehidupan kepiting bakau (Asbar, 2007).

Page 44: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

34

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sintasan, pertumbuhan, dan kandungan nutrient kepiting bakau untuk

penggemukan yang dipelihara pola silvofishery tertinggi dihasilkan pada

ikan mujair dan tiram, sedangkan terendah pada ikan rucah laut dan siput

sawah.

2. Kepiting bakau yang diberi pakan dosis 10-15% untuk penggemukan yang

dipelihara pola silvofishery menghasilkan sintasan, pertumbuhan, dan

kandungan nutrient yang sama dan lebih tinggi dari dosis 7,5%.

5.2. Saran

Untuk penggemukan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

disarankan menggunakan pakan ikan mujair dan tiram dengan dosis 10-15%.

Namun dengan pertimbangan harga ekonomis dan kemudahan mendapatkan

disarankan menggunakan ikan mujair.

Page 45: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

35

DAFTAR PUSTAKA

Akhadiyati, D. M. 2003. Evaluasi Tingkat Keberhasilan Budidaya Penggemukan

Kepiting Bakau (Scylla serrata Forsskal) Dalam Karamba di Kabupaten

Pemalang Jawa Tengah. Tesis. Program Studi Magister Manajemen

Sumberdaaya Pantai, Program Pascasarjana, Universitas Dipanegoro,

Semarang. (Tidak Dipublikasikan).

AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of The Association of Official

Analytical Chemists. 15th

eds. Association of Official Analytical

Chemists, Arlington VA.

Asbar. 2007. Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Pengembangan

Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.

Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Tidak

Dipublikasikan).

Begum, M., M. M. R. Shah, A.A. Mamun and M. J. Alam. 2009. Comparative

Study of Mud Crab (Scylla serrata) Fattening Practices Between Two

Different Systems in Bangladesh. J. Bangladesh Agril. Univ. 7(1): 151–

156.

Bengen, D. G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL

IPB, Bogor.

Bliss, Dorothy. E. 1983. The Biology of Crustacea. Vol.8 Environmental

Adaptations. Academic Press, New York.

Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham

Publishing Co., Alabama.

Bulanin, U. dan R. Ronal. 2005. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Terhadap

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Kepiting Bakau di Laguna Gasan

Gadang. Jurnal Penelitian Mangrove dan Pesisir, 5 (1): 5-12.

Catacutan MR. 2002. Growth and Body Composition of Juvenile Mud Crab,

Scylla serrata, Fed Different Dietary Protein and Lipid Levels and Protein

to Energy Ratio. Aquaculture, 208: 113-123.

Cavalli, R.O., E. V. Berghe, P. Lavens, N.T.T.Thuy, M. Wille, and P. Sorgeloos.

2000. Ammonia Toxicity as a Criterion for The Evaluation of Larval

Quality in The Prawn Macrobrachium rosenbergii. Comp Biochem

Physiol., 125C: 333-343.

Page 46: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

36

Changbo, Z., D. Shuanglin, W. Fang, and H. Guoqiang. 2004. Effects of Na/K

Ratio in Seawater on Growth and Energy Budget of juvenile Litopenaeus

vannamei. Aquaculture, 234: 485-496.

Cheng, W., C.H. Liu, and C.M. Kuo. 2003. Effect of Dissolved Oxygen on

Hemolymph Parameters of Freshwater Giant Prawn Macrobrachium

rosenbergii (de Man). Aquaculture, 220: 843-856.

Christensen, S. M., D.J. Macintosh, and N. T. Phuong. 2005. Pond Production of

The Mud Crab Scylla paramamosain (Estampador) and S. olivacea

(Herbst) in The Mekong Delta, Vietnam, Using Two Different

Supplementary Diets. Aqua. Res., 35: 1013-1024.

Cortes-Jacinto, E., H.Villareal-Colmenares, L.E. Cruz-Suarez, R. Civera-

Cerecedo, H. Nolasco-Soria, and A. Hernandez-Llamas. 2005. Effect of

Different Dietary Protein and Lipid Levels on Growth and Survival of

Juvenile Australian Redelaw Crayfish, Cherax quadricarinatus (Von

Martens). Aqua Nutr, 11: 283-291.

Darmono. 1993. Budidaya Udang. Kanisisus, Yogyakarta.

David, M. H. O. 2009. Mud Crab (Scylla serrata) Culture: Understanding the

Technology in a Silvofisheries Perspective. Western Indian Ocean J. Mar.

Sci. Vol. 8 (1): 127-137.

Durand, F., N. Devillers, F.H. Lallier, and M. Regnault. 2000. Nitrogen

Excretion and Changes in Blood Components During Emersion of The

Subtidal Spider Crab Maia squinado (L.). Comp Biochem Physiol, 127A:

259-271.

Efrizal, Nurman, dan Novriansyah. 2001. Luas Ruang Gerak yang Berbeda

Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup kepiting Bakau, Scylla

serrata Forskal, pada Keramba Bambu Sistem Sekat. Jurnal Penelitian

Mangrove dan Pesisir, 5 (1): 13–21.

Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber

HayatiPerikanan Pantai, Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1): 15 - 21.

Hoang, T, M. B-Aarchiesis, S.Y. Lee, C.P. Keenan, and G.E. Marsden. 2003.

Influences of Light Intensity and Photoperiod on Moulting and Growth of

Penaeus merguiensis Cultured Under Laboratory Conditions. Aquaculture,

216: 343-354.

Http://id.answer.yahoo./question/index. 2010. Budidaya Kepiting Bakau di

Daerah Silvofishery. [Diakses 05 April 2014].

Page 47: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

37

Huynh, M.S. and R. Fotedar. 2004. Growth, Survival, Hemolymph Osmolality

and Organosomatic Indices of The Western King Prawn (Penaeus

laticulatus Kihinouye, 1896) Reared at Different Salinities. Aquaculture,

234: 601-614.

Jensen, F.B. 2003. Nitrite Disrupt Multiple Physiological Function in Aquatic

Animals. Comp Biochem Physiol. 135A: 9-24.

Halver JE. 1989. Fish Nutrition. Academic Press, New York. 788 p.

Karim M. Y. 2005. Kinerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata

Forskal) Pada Berbagai Salinitas Media Dan Evaluasinya Pada Salinitas

Optimum Dengan Kadar Protein Pakan Berbeda. Disertasi. Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.(Tidak dipublikasikan).

Karim, M. Y. 2013. Kepiting Bakau (Bioekologi, Budidaya dan Pembenihannya).

Penerbit Yarsif Watanpone, Jakarta.

Keenan C.P., P.J.F. Davie., and D.L Mann. 1998. A. Revision of the Genus Scylla

serrata de Haan (Crustacea: Decapoda : Branchyura : Portunidae). The

Raffles Buletin of Zoology, 46 (1) : 217-245.

Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan. 2003. Baku Mutu Air. Propinsi Sulawesi

Selatan, Makassar

Kim, J.D. and S.P. Lall. 2001. Effect of Dietary Protein Level on Growth and

Utilization of Protein and Energy by Juvenile Haddock (Melanogrammus

aeglefinus). Aquaculture 195: 311-319.

Koo, J.G., S.G. Kim, J.J. Jee, J.M. Kim, S.C. Bai, and Kang. 2005. Effect of

Ammonia and Nitrite on Survival, Growth, and Moulting in Juvenile Tiger

Crab, Orithyia sinica (Linnaeus). Aqua Res., 36: 79-85.

Kumlu, M., O.T. Eroldogan, and B. Saglamtimur. 2001. Effect of Salinity and

Added Substrates on Growth and Survival of Metapenaeus monoceros

(Decapoda: Penaeidae) Post Larvae. Aquaculture, 196: 177-188.

Kuntiyo, Z. Arifin, dan T. Supratomo. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau

(Scylla serrata) di Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya

Air Payau, Jepara.

Kusmana, C. 2005. Manajemen Hutan Mangrove Indonesia. Laboratorium

Ekologi Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Lavina F. 1980. Notes on the Biology and Aquaculture of Scylla serrata.

SEAFDEC Dept., Phillipines.

Page 48: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

38

Mardjono, M., Anindiastuti, N. Hamid, I. S. Djunaidah, dan W. H. Satyantani.

1994. Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Direktorat

Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara.

Mason, C. F. 1981. Biology Freshwater Polution. 2nd edition. Longman Scientific

and Technical, New York

Mirera, D.O. and M. Abdhallah. 2009. A Preliminary Study on The Response of

Mangrove Mud Crab (Scylla serrata) to Different Feed Types Under

Drive-in Cage Culture System. Journal of Ecology and Natural

Environment Vol. 1(1): 7-14.

Moosa, M.K. 1985. Systematical and Zoogeographical Observation the Indo-West

Pasific Portunidae. LON-LIPI, Jakarta.

Mykles, D.I. 2001. Interaction Beetwen Limb Regeneration and Molting in

Decapoda Crustacean. American Zoologist, 41: 399-406.

Neil, L.L., R. Fotedar, and C.C. Shelley. 2005. Effects of Acute and Chronic

Toxicity of Unionized Ammonia on Mud Crab, Scylla serrata (Forsskal,

1755) Larvae. Aqua Res, 36: 927-932.

Novrita. 2001. Habitat dan Kelimpahan Serta Ketersediaan Makanan Kepiting

Bakau (Scylla serrata Forsskal) di Perairan Estuari Pantai Gasan

Kabupaten Padang Pariaman. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas

Andalas, Padang.(Tidak Dipublikasikan).

Putranto, D.A. 2007. Analisis Efisiensi Produksi Kasus pada Budidaya

Penggemukan Kepiting Bakau di Kabupaten Pemalang. Tesis. Program

Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Program

Pascasarjana, Universitas Dipanegoro, Semarang. (Tidak Dipublikasikan).

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Styrishave, B., K. Rewitz, and O. Andersen. 2004. Frequency Moulting by Shore

Crabs Carcinus meanas (L.) Changes Their Colour and Their Succes in

Mating and Physiological Performance. J Exp Mar Biol Ecol 313 : 317-336.

Trino, A.V. and E. M. Rodriguez. 2002. Pen Culture of Mud Crab Scylla serrata

in Tidal Flats Reforested With Mangrove Trees. Aquaculture, 211:125-

134.

Tsai, S.J. and J.C. Chen. 2002. Acute Toxicity of Nitrate on Penaeus monodon

Juvenils at Different Salinity Levels. Aquaculture, 213: 163-170.

Warner, G.F. 1977. The Biology of Crabs. Elek Science, London.

Page 49: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

39

Wedemeyer, G.A. 1996. Physiology of Fish in Intensif Culture Systems.

Chapman & Hall., New York.

Whiteley, N.M., F.R.Robertson, J. Meagor, El Haj AJ, and E.W. Taylor. 2001.

Protein Synthesis and Specific Dynamic Action in Crustaceans: Effect of

Temperatur. Comp Biochem Physiol, 128A: 595-606.

Xiangli, T., D. Suanglin, W. Fang, and W. Lixin. 2004. The Effect of

Temperature Change on the Oxygen consumption of juvenile Chinese

shrimp Fenneropenaeus chinensis Osbeck. J Exp Mar. Biol. Ecol., 310:

59-72.

Page 50: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

40

LAMPIRAN

Page 51: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

41

Lampiran 1. Sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery dengan

berbagai jenis pakan

Jenis Pakan Nt No SR (%)

Rucah Laut (1)

Rucah Laut (2)

Rucah Laut (3)

10

10

10

8

9

9

80

90

90

Rataan 86,67 ± 5,77

Mujair (1)

Mujair (2)

Mujair (3)

10

10

10

9

9

10

90

90

100

Rataan 93,33 ± 5,77

Tiram (1)

Tiram (2)

Tiram (3)

10

10

10

8

10

10

80

100

100

Rataan 93,33 ± 11,55

Siput Sawah (1)

Siput Sawah (2)

Siput Sawah (3)

10

10

10

8

10

9

80

100

90

Rataan 90 ± 10,00

Lampiran 2. Analisis ragam sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan berbagai jenis pakan

Sumber Keragaman JK DB KT Fhitung Sig.

Perlakuan 158,333 3 52,778 0,905ns

0,480

Galat 466,667 8 58,333

Total 625,000 11

Keterangan: ns

tidak berpengaruh nyata (p > 0,05)

Page 52: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

42

Lampiran 3. Laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan mutlak kepiting bakau

yang dipelihara pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan

Jenis Pakan Bobot Awal Bobot Akhir Laju

Pertumbuhan

(%/hari)

Pertumbuhan

Mutlak (g)

Rucah Laut (1)

Rucah Laut (2)

Rucah Laut (3)

254,00

253,00

254,00

283,00

279,00

280,00

0,72

0,65

0,65

29,00

26,00

26,00

Rataan 253,67 ± 0,58 280,67 ± 2,08 0,67 ± 0,04 27,00 ± 1,73

Mujair (1)

Mujair (2)

Mujair (3)

253,00

250,00

256,00

300,00

302,50

305,00

1,14

1,27

1,17

47,00

52,50

47,00

Rataan 253,00 ± 3,00 302,50 ± 2,50 1,19 ± 0,07 49,50 ± 3,17

Tiram (1)

Tiram (2)

Tiram (3)

251,00

256,00

257,00

307,50

301,00

306,00

1,35

1,08

1,16

56,00

45,00

49,00

Rataan 254,67 ± 3,21 304,83 ± 3,43 1,20 ± 0,14 50,17 ± 5,57

Siput Sawah (1)

Siput Sawah (2)

Siput Sawah (3)

249,00

250,00

252,00

281,00

287,50

288,30

0,81

0,93

0,90

32,00

37,50

36,30

Rataan 250,33 ± 1,53 285,60 ± 4,00 0,88 ± 0,06 35,27 ± 2,89

Lampiran 4. Analisis ragam laju pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara pola

pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan

Sumber Keragaman SK DB KT F Sig.

Perlakuan 0,589 3 0,196 25,730** 0,000

Galat 0,061 8 0,008

Total 0,650 11

Keterangan: **

berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)

Lampiran 5. Uji lanjut W-Tuckey laju pertumbuhan kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan

(I) Pakan (J) Pakan Selisih (I-J) Std. Error Sig

Ikan rucah laut Ikan mujair -0,517239* 0,071320 0,000

Tiram -0,524608* 0,071320 0,000

Siput sawah -0,2014102 0,071320 0,081

Ikan mujair Ikan rucah laut -0,517239* 0,071320 0,999

Tiram -0,007370 0,071320 1,000

Siput sawah 0,313137* 0,071320 0,010

Tiram Ikan rucah laut 0,524608* 0,071320 0,000

Ikan mujair 0,007370 0,071320 1,000

Siput sawah 0,320506* 0,071320 0,009

Siput sawah Ikan rucah laut 0,204102 0,071320 0,081

Ikan mujair -0,313137* 0,071320 0,010

Tiram -0,320506* 0,071320 0,009

Keterangan:*berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Page 53: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

43

Lampiran 6. Analisis ragam pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan

Sumber Keragaman JK DB KT Fhitung Sig.

Perlakuan 1309,527 3 436,509 45,712**

0,000

Galat 76,393 8 9,549

Total 1385,920 11

Keterangan: **

berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)

Lampiran 7. Uji lanjut W-Tuckey pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan

(I) Pakan (J) Pakan Selisih (I-J) Std. Error Sig.

Ikan rucah laut Ikan mujair -21,8333* 0,071320 0,000

Tiram -24,1667* 0,071320 0,000

Siput sawah -4,9333 0,071320 0,081

Ikan mujair Ikan rucah laut 21,8333* 0,071320 0,999

Tiram 2,3333 0,071320 1,000

Siput sawah 16,9000* 0,071320 0,010

Tiram Ikan rucah laut 24,1667* 0,071320 0,000

Ikan mujair 2,3333 0,071320 1,000

Siput sawah 19,2333* 0,071320 0,009

Siput sawah Ikan rucah laut 4,9333 0,071320 0,081

Ikan mujair -16,9000* 0,071320 0,010

Tiram -19,2333* 0,071320 0,009

Keterangan:*berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Page 54: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

44

Lampiran 8. Hasil analisis proksimat kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan berbagai jenis pakan

Jenis Pakan

Komposisi (%) Energi

(Kkal/kg)

Protein Lemak

Kasar

Serat

Kasar Abu BETN Ca P

Kasar

Rucah Laut (1)

45,58 10,14 1,75 22,35 20,18 1,88 1,93 3568

Rucah Laut (2)

45,06 10,33 1,72 22,43 20,46 1,86 1,92 3611

Rucah Laut (3) 45,13 10,51 1,79 22,11 20,46 1,79 1,98 3598

Rataan 45,257 10,327 1,753 22,297 20,3667 1,843 1,943 3592

Mujair (1)

47,03 12,47 1,89 17,54 21,07 1,96 2,03 3847

Mujair (2)

47,09 12,89 1,87 17,12 21,03 1,89 1,99 3867

Mujair (3) 47,58 12,34 1,86 17,1 21,12 1,88 2,01 3820

Rataan 47,233 12,567 1,873 17,253 21,073 1,910 2,010 3845

Tiram (1)

47,06 12,58 1,98 17,46 20,92 1,94 2,17 3817

Tiram (2)

47,81 12,29 1,84 17,87 20,19 1,97 2,12 3819

Tiram (3) 47,58 12,75 1,95 17,16 20,56 1,91 2,16 3926

Rataan 47,483 12,540 1,923 17,497 20,557 1,940 2,150 3854

Siput Sawah (1)

45,77 10,91 1,77 22,93 18,62 1,78 1,94 3542

Siput Sawah (2)

45,34 10,75 1,73 22,89 19,29 1,81 1,89 3546

Siput Sawah (3) 45,99 10,85 1,69 22,32 19,15 1,86 1,93 3499

Rataan 45,700 10,8367 1,730 22,713 19,020 1,8167 1,92 3529

Lampiran 9. Hasil analisis proksimat pakan percobaan

Jenis Pakan

Komposisi (%) Energi

(Kkal/k

g) Protein Lemak

Kasar

Serat

Kasar Abu BETN Ca P

Kasar

Rucah Laut (1)

48,56 11,09 1,72 20,11 18,52 1,88 1,93 3568

Rucah Laut (2)

48,99 11,35 1,67 19,26 18,73 1,86 1,92 3611

Rucah Laut (3) 48,93 11,17 1,69 19,81 18,40 1,79 1,98 3598

Rataan 48,83 11,20 1,69 19,73 18,55 1,843 1,943 3592

Mujair (1)

50,91 12,11 1,88 16,25 18,85 1,96 2,03 3847

Mujair (2)

50,88 12,32 1,86 16,61 18,33 1,89 1,99 3867

Mujair (3) 50,68 12,14 1,88 16,41 18,89 1,88 2,01 3820

Rataan 50,82 12,19 1,87 16,42 18,69 1,910 2,010 3845

Tiram (1)

50,86 12,44 1,87 16,43 18,40 1,94 2,17 3817

Tiram (2)

49,89 12,51 1,86 16,45 19,29 1,97 2,12 3819

Tiram (3) 50,288 12,69 1,82 16,58 18,63 1,91 2,16 3926

Rataan 50,35 12,55 1,85 17,497 20,557 1,940 2,150 3854

Siput Sawah (1)

48,22 11,99 1,73 `18,50 19,56 1,78 1,94 3542

Siput Sawah (2)

48,19 11,34 1,79 18,69 19,99 1,81 1,89 3546

Siput Sawah (3) 48,24 12,68 1,79 18,32 18,97 1,86 1,93 3499

Rataan 45,700 10,8367 1,730 22,713 19,020 1,8167 1,92 3529

Page 55: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

45

Lampiran 10. Analisis ragam kandungan protein kepiting bakau yang dipelihara pola

pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan

Sumber Keragaman SK DB KT F Sig.

Perlakuan 13,026 3 4,342 29,101** 0,000

Galat 1,194 8 0,149

Total 14,210 11

Keterangan: **

berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)

Lampiran 11. Uji lanjut W-Tuckey kandungan protein kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan

(I) Pakan (J) Pakan Selisih (I-J) Std. Error Sig.

Ikan rucah laut Ikan mujair -2,27667* 0,31538 0,000

Tiram -2,28667* 0,31538 0,000

Siput sawah -0,44333 0,31538 0,530

Ikan mujair Ikan rucah laut 2,27667* 0,31538 0,000

Tiram -0,01000 0,31538 1,000

Siput sawah 1,83333* 0,31538 0,002

Tiram Ikan rucah laut 2,28667* 0,31538 0,000

Ikan mujair 0,01000 0,31538 1,000

Siput sawah 1,84333* 0,31538 0,002

Siput sawah Ikan rucah laut 0,44333 0,31538 0,530

Ikan mujair -1,83333* 0,31538 0,002

Tiram -1,84333* 0,31538 0,002

Keterangan:*berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Lampiran 12. Analisis ragam kandungan lemak kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan

Sumber Keragaman SK DB KT F Sig.

Perlakuan 12,054 3 4,018 90,544**

0,000

Galat 0,355 8 0,044

Total 12,409 11 Keterangan:

**berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)

Page 56: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

46

Lampiran 13. Uji lanjut W-Tuckey kandungan lemak kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan

(I) Pakan (J) Pakan Selisih (I-J) Std. Error Sig.

Ikan rucah laut Ikan mujair -2,24000* 0,17200 0,000

Tiram -2,21333* 0,17200 0,000

Siput sawah -0,51000 0,17200 0,070

Ikan mujair Ikan rucah laut 2,24000* 0,17200 0,000

Tiram -0,02667 0,17200 0,999

Siput sawah 1,73333* 0,17200 0,000

Tiram Ikan rucah laut 2,21333* 0,17200 0,000

Ikan mujair -0,02667 0,17200 0,999

Siput sawah 1,70333* 0,17200 0,000

Siput sawah Ikan rucah laut 0,51000 0,17200 0,070

Ikan mujair -1,73000* 0,17200 0,000

Tiram -1,70333* 0,17200 0,000

Keterangan:*berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Lampiran 14. Analisis ragam kandungan energi kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan

Sumber Keragaman SK DB KT F Sig.

Perlakuan 44034,250 3 14678,083 4,922*

0,032

Galat 23858,667 8 2982,333

Total 67892,917 11 Keterangan:

*berpengaruh nyata (p < 0,05)

Page 57: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

47

Lampiran 15. Uji lanjut W-Tuckey kandungan energi kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan berbagai jenis pakan

(I) Pakan (J) Pakan Selisih (I-J) Std. Error Sig.

Ikan rucah laut Ikan mujair -148,667* 44,589 0,042

Tiram -120,667 44,589 0,101

Siput sawah -35,667 44,589 0,853

Ikan mujair Ikan rucah laut 148,667* 44,589 0,042

Tiram 28,000 44,589 0,920

Siput sawah 113,000 44,589 0,128

Tiram Ikan rucah laut 120,667 44,589 0,101

Ikan mujair -28,000 44,589 0,920

Siput sawah 85,000 44,589 0,298

Siput sawah Ikan rucah laut 35,667 44,589 0,853

Ikan mujair -113,000 44,589 0,128

Tiram -85,000 44,589 0,298

Keterangan:*berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Lampiran 16. Sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery dengan

dosis pakan berbeda

Dosis Pakan (%) Nt No SR (%)

7,5 (1)

7,5 (2)

7,5 (3)

10

10

10

8

8

7

80

80

70

Rataan 76,67 ± 5,77

10 (1)

10 (2)

10 (3)

10

10

10

9

10

9

90

100

90

Rataan 93,33 ± 5,77

12,5 (1)

12,5 (2)

12,5 (3)

10

10

10

9

10

10

90

100

100

Rataan 96,67 ± 5,77

15 (1)

15 (2)

15 (3)

10

10

10

9

10

10

90

100

100

Rataan 96,67 ± 5,77

Page 58: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

48

Lampiran 17. Analisis ragam sintasan kepiting bakau yang dipelihara pola

silvofishery dengan dosis pakan berbeda

Sumber Keragaman SK DB KT F Sig.

Perlakuan 825,000 3 275,000 8,250**

0,008

Galat 266,667 8 33,333

Total 1091,667 11 Keterangan:

**berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)

Lampiran 18. Uji lanjut W-Tuckey sintasan kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

(I) Dosis (J) Dosis Selisih (I-J) Std. Error Sig.

7,5 10 -16,66667* 4,47105 0,031

12,5 -20,00000* 4,47105 0,012

15 -20,00000* 4,47105 0,012

10 7,5 16,66667* 4,47105 0,031

12,5 3,33333 4,47105 0,892

15 3,33333 4,47105 0,892

12,5 7,5 20,00000* 4,47105 0,012

10 3,33333 4,47105 0,892

15 0,00000 4,47105 1,000

15 7,5 20,00000* 4,47105 0,012

10 3,33333 4,47105 0,892

12,5 0,00000 4,47105 1,000

Keterangan:*berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Page 59: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

49

Lampiran 19. Laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan mutlak kepiting bakau

yang dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

Dosis Pakan

(%)

Bobot Awal Bobot Akhir Laju

Pertumbuhan

(%/hari)

Pertumbuhan

Mutlak (g)

7,5 (1)

7,5 (2)

7,5 (3)

256

255

257

289,62

289,37

288,57

0,82

0,84

0,77

33,62

34,37

31,57

Rataan 256,00 ± 1,00 289,19 ± 0,55 0,81 ± 0,04 33,19 ± 1,45

10 (1)

10 (2)

10 (3)

255

255

254

302,78

300,80

299,44

1,14

1,10

1,10

47,78

45,80

45,44

Rataan 254,67 ± 0,58 301,01 ± 1,68 1,11 ± 0,03 46,34 ± 1,26

12,5 (1)

12,5 (2)

12,5 (3)

253

253

253

300,00

299,80

300,30

1,14

1,13

1,14

47,00

46,80

47,30

Rataan 253,00 ± 0,00 300,03 ± 0,25 1,14 ± 0,01 47,03 ± 0,25

15 (1)

15 (2)

15 (3)

254

255

255

300,12

299,90

300,68

1,11

1,08

1,10

46,12

44,90

45,68

Rataan 254,67 ± 0,58 300,23 ± 0,40 1,10 ± 0,02 45,57 ± 0,62

Lampiran 20. Analisis ragam laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

Sumber Keragaman SK DB KT F Sig.

Perlakuan 0,212 3 0,071 134,915**

0,000

Galat 0,004 8 0,001

Total 0,216 11 Keterangan:

*berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)

Page 60: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

50

Lampiran 21. Uji lanjut W-Tuckey laju pertumbuhan harian kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

(I) Dosis (J) Dosis Selisih (I-J) Std. Error Sig.

7,5 10 -0,30333* 0,01871 0,000

12,5 -0,32667* 0,01871 0,000

15 -0,28667* 0,01871 0,000

10 7,5 0,30333* 0,01871 0,000

12,5 -0,02333 0,01871 0,617

15 0,01667 0,01871 0,810

12,5 7,5 0,32667* 0,01871 0,000

10 0,02333 0,01871 0,617

15 0,04000 0,01871 0,220

15 7,5 0,28667* 0,01871 0,000

10 -0,01667 0,01871 0,810

12,5 -0,04000 0,01871 0,220

Keterangan:*berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Lampiran 22. Analisis ragam pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

Sumber Keragaman SK DB KT F Sig.

Perlakuan 390,926 3 130,309 126,100**

0,000

Galat 8,267 8 1,033

Total 399,193 11 Keterangan:

*berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)

Page 61: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

51

Lampiran 23. Uji lanjut W-Tuckey pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

(I) Dosis (J) Dosis Selisih (I-J) Std. Error Sig.

7,5 10 -13,15333* 0,83001 0,000

12,5 -13,84667* 0,83001 0,000

15 -12,3800* 0,83001 0,000

10 7,5 13,15333* 0,83001 0,000

12,5 -0,69333 0,83001 0,837

15 0,77333 0,83001 0,789

12,5 7,5 13,84667* 0,83001 0,000

10 0,69333 0,83001 0,837

15 1,46667 0,83001 0,354

15 7,5 12,38000* 0,83001 0,000

10 -0,77333 0,83001 0,789

12,5 -1,46667 0,83001 0,354

Keterangan:*berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Page 62: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

52

Lampiran 24. Hasil analisis proksimat kepiting bakau yang dipelihara pola silvofishery

dengan dosis pakan berbeda

Dosis Pakan

(%)

Komposisi (%)

Energi

(Kkal/kg) Protein

Kasar

Lemak

Kasar

Serat

Kasar Abu BETN Ca P

7,5 (1)

45,56 11,18 1,72 22,53 19,01 1,38 1,61 3524

7,5 (2)

45,16 11,23 1,67 22,43 19,51 1,33 1,65 3569

7,5 (3) 45,13 11,21 1,69 22,31 19,66 1,41 1,68 3616

Rataan 45,28 11,21 1,69 22,42 19,39 1,37 1,65 3569

10 (1)

47,21 12,48 1,88 17,58 20,85 1,58 1,73 3748

10 (2)

47,49 12,64 1,90 17,62 20,35 1,62 1,67 3762

10 (3) 47,38 12,44 1,88 17,41 20,89 1,58 1,69 3819

Rataan 47,36 12,52 1,89 17,25 21,69 1,59 1,69 3776

12,5 (1)

47,16 12,56 1,89 17,49 20,90 1,63 1,69 3719

12,5 (2)

47,21 12,39 1,86 17,47 21,07 1,72 1,72 3638

12,5 (3) 47,36 12,51 1,90 17,56 20,67 1,68 1,71 3981

Rataan 47,24 12,49 1,88 17,54 20,88 1,68 1,71 3779

15 (1)

45,57 12,37 1,91 17,93 20,22 1,67 1,68 3772

15 (2)

45,34 12,31 1,87 18,18 20,30 1,65 1,72 3791

15 (3) 45,02 13,28 1,89 17,87 19,94 1,71 1,69 3782

Rataan 45,31 12,65 1,89 17,99 20,15 1,68 1,79 3781

Lampiran 25. Analisis ragam kandungan protein kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

Sumber Keragaman SK DB KT F Sig.

Perlakuan 9,212 3 3,071 74,588**

0,000

Galat 0,329 8 0,041

Total 9,341 11 Keterangan:

*berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)

Page 63: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

53

Lampiran 26. Uji lanjut W-Tuckey kandungan protein kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

(I) Dosis (J) Dosis Selisih (I-J) Std. Error Sig.

7,5 10 -2,07667* 0,83001 0,000

12,5 -1,96000* 0,83001 0,000

15 -2,02667* 0,83001 0,000

10 7,5 2,07667* 0,83001 0,000

12,5 0,11667 0,83001 0,837

15 0,05000 0,83001 0,789

12,5 7,5 1,96000* 0,83001 0,000

10 -0,11667 0,83001 0,837

15 -0,06667 0,83001 0,354

15 7,5 2,02667* 0,83001 0,000

10 -0,05000 0,83001 0,789

12,5 0,06667 0,83001 0,354

Keterangan:*berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Lampiran 27. Analisis ragam kandungan lemak kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

Sumber Keragaman SK DB KT F Sig.

Perlakuan 4,127 3 1,376 17,475**

0,001

Galat 0,630 8 0,079

Total 4,757 11 Keterangan:

*berpengaruh sangat nyata (p < 0,01)

Page 64: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

54

Lampiran 28. Uji lanjut W-Tuckey kandungan lemak kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

(I) Dosis (J) Dosis Selisih (I-J) Std. Error Sig.

7,5 10 -1,31333* 0,22009 0,002

12,5 -1,28000* 0,22009 0,002

15 -1,44667* 0,22009 0,001

10 7,5 1,31333* 0,22009 0,002

12,5 0,03333 0,22009 0,999

15 -0,13333 0,22009 0,935

12,5 7,5 1,28000* 0,22009 0,002

10 0,03333 0,22009 0,999

15 0,16667 0,22009 0,883

15 7,5 1,44667* 0,22009 0,001

10 0,13333 0,22009 0,935

12,5 -0,16667 0,22009 0,883

Keterangan:*berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)

Lampiran 29. Analisis ragam kandungan energi kepiting bakau yang dipelihara

pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

Sumber Keragaman SK DB KT F Sig.

Perlakuan 134577,583 3 44859,194 5,276*

0,027

Galat 68018,667 8 8502,333

Total 202596,250 11 Keterangan:

*berpengaruh nyata (p < 0,05)

Page 65: LAPORAN LENGKAP - Universitas Hasanuddin

55

Lampiran 30. Uji lanjut W-Tuckey kandungan energi kepiting bakau yang

dipelihara pola silvofishery dengan dosis pakan berbeda

(I) Dosis (J) Dosis Selisih (I-J) Std. Error Sig.

7,5 10 -245,333* 75,288 0,046

12,5 -243,000* 75,288 0,048

15 -245,333* 75,288 0,046

10 7,5 245,333* 75,288 0,046

12,5 2,333 75,288 1,000

15 0,000 75,288 1,000

12,5 7,5 243,000* 75,288 0,048

10 -2,333 75,288 1,000

15 -2,333 75,288 1,000

15 7,5 245,333* 75,288 0,046

10 0,000 75,288 1,000

12,5 2,333 75,288 1,000

Keterangan:*berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% (p < 0,05)