LAPORAN PRAKTIKUM KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN USAHA KONSERVASI TERHADAP TINGKAT EROSI KECAMATAN BANTARUJEG KABUPATEN MAJALENGKA, PROVINSI JAWA BARAT Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dengan dosen pengampu 1. Prof.Dr.Darsiharjo M.si 2. Drs. Jupri MT Disusun oleh: Adhi Munajar (1000920) Dini Nuraftiani (1001670) Ikbal Saeful Aziz (1005616) Mochamad Fajar I (1001776) Suyanto (1006644) Yegi PerulamaD (1001436) Yoga Hepta Gumilar (1002055) JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN PRAKTIKUM
KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN
USAHA KONSERVASI TERHADAP TINGKAT EROSI
KECAMATAN BANTARUJEG
KABUPATEN MAJALENGKA, PROVINSI JAWA BARAT
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dengan dosen pengampu
1. Prof.Dr.Darsiharjo M.si
2. Drs. Jupri MT
Disusun oleh:
Adhi Munajar (1000920)
Dini Nuraftiani (1001670)
Ikbal Saeful Aziz (1005616)
Mochamad Fajar I (1001776)
Suyanto (1006644)
Yegi PerulamaD (1001436)
Yoga Hepta Gumilar (1002055)
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas
ketersediaannya. Seperti sumber daya alam lainnya, lahan merupakan salah satu
objek pemenuhan kebutuhan manusia. Tidak ada satu pun kebutuhan manusia di
dunia ini yang tidak diperoleh dari lahan. Setiap tahunnya kebutuhan manusia
akan pangan, sandang dan papan selalu meningkat dan hampir semua yang kita
gunakan untuk kebutuhan hidup akhirnya kembali diperoleh dari alam dimana
lahan itu disediakan.
Kebutuhan dan keinginan manusia terhadap lahan merupakan sifat naluriah
dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Akan tetapi dalam pemenuhan
kebutuhannya selalu ditemukan sifat kurang puas. Sehingga mengakibatkan
terjadinya kerusakan lahan. Padahal lahan termasuk di dalamnya tanah dan air
mudah mengalami kerusakan. Kerusakan lahan tersebut ditandai dengan
hilangnya unsur hara bagi tumbuhan dan menurunnya fungsi lahan atau tanah
sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan.
Kerusakan lahan dapat terjadi secara alami, akan tetapi kerusakan lahan dapat
diakibatkan oleh aktivitas manusia. Kerusakan lahan oleh manusia diakibatkan
oleh adanya kegiatan yang secara langsung menyebabkan rusaknya daya dukung
lahan antara lain pemanfaatan lereng bukit yang tidak sesuai dengan kemampuan
peruntukkannya, untuk lahan pertanian yang tidak menerapkan teknologi
konservasi bahkan tidak sedikit yang berubah fungsi menjadi areal pemukiman.
Selain itu perambahan hutan merupakan indikasi yang jelas dari suatu kombinasi
tekanan jumlah penduduk, inkonsistensi dalam rencana tata ruang wilayah dan
rendahnya penegakkan hokum.
Dalam segi ekonomi, perubahan fungsi lahan tersebut dapat memberikan
keuntungan kepada para petani. Tetapi dilihat dari segi ekologinya, hutan lindung
Mandalawangi menjadi rusak sehingga menyebabkan ketidakseimbangan
ekosistem hutan. Perubahan fungsi lahan ini merupakan salah satu penyebab
terjadinya bencana longsor di Gunung Mandalawangi yang terjadi pada awal
tahun 2003 yang menimpa 2 desa yaitu Desa Mandalasari (Kp. Bojong Jambu,
Kp. Babakan Nenggeng dan Kp. Sindangsari), Desa Karang Mulya (Kp. Buni
Anten). Curah hujan yang tinggi, keadaan lereng yang curam dan vegetasi yang
sedikit tidak dapat menyerap dan menahan air hujan, menyebabkan air hujan
turun langsung ke kaki gunung dengan membawa lumpur dan material lainnya.
Longsor di Gunung Mandalawangi termasuk jenis longsor aliran karena pola
jaringannya yang menjari yang dipicu oleh aliran air permukaan sebagai dampak
dari kurangnya vegetasi yang berfungsi sebagai penutup lahan sehingga tidak
dapat menyerap dan menahan air hujan yang jatuh. Kurangnya vegetasi di
kawasan longsor membuat kondisi Gunung Mandalawangi terlihat gundul.
Dampak yang terjadi akibat longsor Mandalawangi ini yaitu banyaknya korban
jiwa dan kerusakan material. Selain itu, dampak dari longsor yang masih
dirasakan sampai sekarang adalah kondisi lahan bekas longsor yang menjadi
rusak, kualitas lahan pertanian yang terkena longsor menjadi jelek menyebabkan
produktivitas pertanian menurun, sumber mata air hilang sehingga penduduk yang
berada di kaki Gunung Mandalawangi sering kekurangan air bersih apalagi di
musim kemarau.
Upaya konservasi yang dilakukan setelah bencana longsor yaitu dengan
menanami tanaman pinus di kawasan hutan lindung dan buah-buahan, mahoni,
dan tanaman lain di sekitar kawasan longsoran tersebut yang merupakan lahan
milik masyarakat. Masyarakat yang memiliki lahan di sekitar longsoran tersebut
melakukan tumpangsari dengan menanami kopi, tembakau, singkong, jagung,
palawija dan tanaman musiman lainnya sehingga gunung tetap terlihat gundul.
Begitu pula dengan upaya konservasi, kebanyakan petani tidak memperhatikan
teknik konservasi yang baik untuk mencegah pengikisan air, yaitu masih
memberlakukan kemiringan lahan yang berbeda dengan teknik konservasi yang
sama. Lemahnya penerapan teknik konservasi tanah dapat menyebabkan
terjadinya longsor susulan. Petani di kawasan longsor sebagian besar
menggunakan teknik terasering tidak sempurna tanpa adanya tanaman penguat
teras.
Untuk memperbaiki lahan bekas longsor, perlu ada upaya pelestarian sumber
daya alam yaitu dengan melaksanakan kegiatan konservasi lahan. Kegiatan
konservasi lahan bertujuan untuk mencegah kerusakan lahan agar lahan dapat
terpelihara dengan baik. Jika lahan terpelihara dengan baik, maka hasil produksi
pertanian pun akan baik. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis
mencoba meneliti permasalahan tersebut dalam penelitian dengan judul Usaha
Konservasi Terhadap Tingkat Erosi Kecamatan Bantarujeg Kabupaten
Majalengka, Provinsi Jawa Barat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, untuk lebih terarahnya penelitian
maka dirumuskan pertanyaan sebagai berikut :
1. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya erosi di Desa Cigedang?
2. Bagaimanakah pengaruh bencana erosi terhadap aktivitas masyarakat?
3. Apakah teknik konservasi yang digunakan masyarakat pada lahan bekas
bencana sesuai dengan karakteristik lahan tersebut ?
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk memperoleh gambaran faktor yang menyebabkan terjadinya erosi serta
longsor di Desa Bantarujeg.
2. Untuk memperoleh gambaran sejauh mana bencana fisik (erosi, longsor,
banjir, dll) dapat mempengaruhi aktivitas masyarakat.
3. Untuk memperoleh gambaran terhadap kesesuaian teknik konservasi yang
digunakan masyarakat dengan karakteristik lahan tersebut.
D. Manfaat
Manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah :
1. Diperoleh informasi tentang pemanfaatan lahan yang sesuai dengan kaidah
konservasi di Desa Bantarujeg.
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan
dalam pelaksanaan pembangunan daerah.
3. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat dan praktisi kehutanan dalam
pengembangan dan pengelolaan lahan konservasi.
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Konservasi dan Rehabilitasi
Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas
kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai
upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara
bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang
merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi.
Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi
kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang.
Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi
dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk
sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya
alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa
batasan, sebagai berikut :
a) Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi
keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama
(American Dictionary).
b) Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang
optimal secara sosial (Randall, 1982).
c) Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme
hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia
yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai,
penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan
(IUCN, 1968).
d) Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga
dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat
diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).
Rehabilitasi upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan
fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. (PP tahun 2008 tentang
rehabilitasi dan reklamasi hutan).
B. Aspek-aspek yang mempengaruhi rehabilitasi dan Konservasi Lahan
a. Erosi Tanah
a) Pengertian Erosi
Erosi tanah adalah penyingkiran dan pengangkutan bahan dalam bentuk larutan
atau suspensi dari tapak semula oleh pelaku berupa air mengalir (aliran limpasan), es
bergerak atau angin (tejoyuwono notohadiprawiro, 1998: 74). Menurut G.
kartasapoetra, dkk (1991: 35), erosi adalah pengikisan atau kelongsoran yang
sesungguhnya merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau
kekuatan angin dan air, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat
tindakan atau perbuatan manusia.
Dua sebab utama terjadinya erosi adalah karena sebab alamiah dan aktivitas
manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena adanya pembentukan tanah dan proses
yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Sedangkan
erosi karena aktivitas manusia disebabkan oleh terkelupasnya lapisan tanah bagian
atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi
tanah atau kegiatan pembangunan yang bersifat merusak keadaan fisik tanah (chay
asdak, 1995: 441).
Lebih lanjut tentang terjadinya erosi dikemukakan oleh G.R. foster & L.D.
meyer, yaitu menjelaskan bahwa erosi akan meliputi proses-proses:
1. detachment atau pelepasan partikel-partikel tanah
2. transportation atau penghanyutan partikel-partikel tanah
3. deposition atau pengendapan partikel-partikel tanah yang telah dihanyutkan
(dalam G. kartasapoetra, dkk, 1991: 41)
b) Bentuk-bentuk erosi
G. kartasapoetra (1991: 48) menjelaskan bahwa erosi terdiri atas normal
erosion (erosi geologi) dan accelerated erosion (erosi yang dipercepat). Dari kedua
macam erosi tersebut erosi dipercepat yang perlu diperhatikan. Menurut kartasapoetra
(2000), Kirby dan morgan (1980), rahim (2000) dan van zuidam (1978), erosi yang
terjadi dapat dibedakan atas dasar kenampakan lahan akibat erosi itu sendiri. Erosi
dapat dibedakan menjadi:
erosi percik (splash erosion); terjadi karena terlepasnya butiran tanah oleh
tetesan hujan pada awal kejadian hujan.
erosi lembar (sheet erosion); terjadi jika ada genangan dengan kedalaman
tiga kali ukuran butir hujan, sulit dideteksi karena pemindahan butir-butir
tanah merata pada seluruh permukaan tanah.
erosi alur (rill erosion); dimulai dengan adanya kkonsentrasi limpasan
permukaan, aliran air akan membentuk alur-alur dangkal memanjang
pada permukaan tanah (kedalaman <50 cm).
erosi parit atau erosi selokan (gulley erosion); merupakan erosi alur yang
telah berkembang membentuk parit berbentuk huruf V dan U (kedalaman
50 – 300 cm) atau telah berkembang menjadi jurang (ravine) (kedalaman
> 300 cm).
erosi tebing sungai (stream bank erosion) atau erosi saluran (channel
erosion); umumnya terjadi pada tebing-tebing sungai yang stabil.
c) faktor yang mempengaruhi erosi
Pada dasarnya erosi adalah akibat interaksi kerja antara factor iklim, topografi,
tumbuh-tumbuhan dan manusia terhadap lahan yang dinyatakan dalam persamaan
deskriptif berikut:
E= f (i, r, v, t, m)
Dimana E adalah erosi, i adalah iklim, r adalah topografi atau relief, v adalah
vegetasi, t adalah tanah dan m adalah manusia (sitanala arsyad, 1989: 72).
a. iklim
Di daerah beriklim basah factor yang mempengaruhi erosi adalah hujan.
Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan disperse
hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan erosi.
Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu.
Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau masa tertentu
seperti perhari, perbulan, permusim atau pertahuan.
Intensitas hujan menyatakan besarnya curah hujan yang jatuh dalam suatu waktu
yang singkat yaitu 5, 10, 15, atau 30 menit, yang dinyatakan dalam millimeter per
jam atau cm per jam. Intensitas hujan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Suatu sifat hujan yang penting dalam mempengaruhi erosi adalah energi kinetis hujan
tersebut, karena merupakan penyebab pokok dalam penghancuran agregat-agregat
tanah. Kemampuan hujan untuk menimbulkan erosi atau menyebabkan erosi disebut
daya erosi atau erosivitas hujan.
b. topografi
Kemiringan lereng dan panjang lereng adalah dua unsure topografi yang
paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Selain memperbesar jumlah
aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran
permukaan dengan demikian memperbesar energi angkut air. Kemiringan lereng
dinyatakan dalam derajad atau persen. Kecuraman lereng 100% sama dengan
kecuraman 45° .
c. vegetasi
Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah menghalangi air hujan agar tidak
jatuh langsung di permukaan tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah
sangat dikurangi. Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah (1) melalui
fungsi melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, (2) menurunkan
kecepatan air larian, (3) menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya dan (4)
mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air (chay asdak, 1995:
452).
d. tanah
Tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Kepekaan
erosi tanah yaitu mudah tidaknya tanah tererosi adalah fungsi berbagai interaksi sifat-
sifat fisik dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi
adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas dan
kapasitas menahan air dan (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan
struktur tanah terhadap disperse dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan
aliran permukaan (sitanala arsyad, 1989: 96).
e. manusia
Manusialah yang menentukan apakah yang diusahakannya akan rusak dan
tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara lestari. Perbuatan manusia
yang mengelola tanahnya dengan cara yang salah telah menyebabkan entensitas erosi
semakin meningkat. Misalnya pembukaan hutan, pembukaan areal lain untuk tempat
tanaman, perladangan dan sebagainya. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri selagi
manusia tidak bersedia untuk mengubah sikap dan tindakannya sebagaimana
mestinya, demi mencegah atau menekan laju erosi (wani hadi utomo, 1989: 39).
f. pendugaan / prakiraan erosi
Suatu model parametric untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah
telah dikembangkan oleh wischmeier & smith (1965, 1978) dinamakan the universal
soil loss equation (usle). Usle memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi
suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk
setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang
mungkin dilakukan atau yang sedang dipergunakan. Persamaan yang dipergunakan
mengelompokkan berbagai parameter fisik dan pengelolaan yang mempengaruhi laju
erosi ke dalam lima peubah utama yang nilainya untuk setiap tempat dapat
dinyatakan secara numeric. Persamaan usle adalah sebagai berikut:
A = R.K.LS.C.P
A = banyaknya tanah tererosi dalam ton per hektar pertahun.
R = factor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satu indeks erosi hujan,
yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan
maksimum 30 menit (I 30).
K = factor erodibilitas tanah yaitu laju eosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu
tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang
panjangnya 72,6 kaki (22 m) terletak pada lereng 9% tanpa tanaman.
LS = factor panjang lereng dan kecuraman lereng. Factor panjang lereng yaitu nisbah
antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi
dari tanah dengan p[anjang lereng 72,6 kaki (22 m) di bawah keadaan yang identik.
Sedangkan factor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi
dari suatu tanah kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan
lereng 9% di bawah keadaan yang identik.
C = factor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman yaitu nisbah antara
besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman
tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik danpa tanaman.
P = factor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya
erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus seperti pengolahan
menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap besarnya erosi dari tanah
yang diolah searah lereng dalam keadaan yang identik.
b. Erosifitas
Erosivitas hujan adalah tenaga pendorong (driving force) yang menyebabkan
terkelupas dan terangkutnya partikel-partikel tanah ke tempat yang lebih rendah (chay
asdak, 1995: 455). Erosivitas hujan sebagian terjadi karena pengaruh jatuhan butir
hujan langsung di atas tanah dan sebagian lagi karena aliran air di atas permukaan
Jumlah dari seluruh hujan dengan spesifikasi tersebut di atas selama satu tahun
merupakan erosivitas hujan tahunan.
Pada metode usle prakiraan besarnya erosivitas hujan dalam kurun waktu
tahunan. Dalam penelitian ini menggunakan persamaan bols (1978) yang diperoleh
dari penelitian data curah hujan bulanan di 47 stasiun penakaran hujan di pulau jawa
yang dikumpulkan selama 38 tahun.
EI 30 = 6,119 (Rain) 1,21 (Days) -0,47 (Maxp) 0,53
R = curah hujan rata-rata tahunan (cm)
D = jumlah hari hujan rata-rata tahunan (hari)
M = curah hujan maksimum rata-rata 24 jam per bulan untuk kurun waktu
satu tahun (cm) (chay asdak, 1995: 457).
c. Tanah
a) Struktur Tanah
Struktur tanah merupakan sifat fisik tanah yang menggambarkan susunan
ruangan partikel-partikel tanah yang bergabung satu dengan yang lain membentuk
agregat dari hasil proses pedogenesis.
Struktur tanah berhubungan dengan cara di mana, partikel pasir, debu dan liat
relatif disusun satu sama lain. Di dalam tanah dengan struktur yang baik, partikel
pasir dan debu dipegang bersama pada agregat-agregat (gumpalan kecil) oleh liat
humus dan kalsium. Ruang kosong yang besar antara agregat (makropori)
membentuk sirkulasi air dan udara juga akar tanaman untuk tumbuh ke bawah pada
tanah yang lebih dalam. Sedangkan ruangan kosong yang kecil ( mikropori)
memegang air untuk kebutuhan tanaman. Idealnya bahwa struktur disebut granular.
Pengaruh struktur dan tekstur tanah terhadap pertumbuhan tanaman terjadi
secara langsugung. Struktur tanah yang remah (ringan) pada umumnya menghasilkan
laju pertumbuhan tanaman pakan dan produksi persatuan waktu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan struktur tanah yang padat. Jumlah dan panjang akar pada
tanaman makanan ternak yang tumbuh pada tanah remah umumnya lebih banyak
dibandingkan dengan akar tanaman makanan ternak yang tumbuh pada tanah
berstruktur berat. Hal ini disebabkan perkembangan akar pada tanah berstruktur
ringan/remah lebih cepat per satuan waktu dibandingkan akar tanaman pada tanah
kompak, sebagai akibat mudahnya intersepsi akar pada setiap pori-pori tanah yang
memang tersedia banyak pada tanah remah. Selain itu akar memiliki kesempatan
untuk bernafas secara maksimal pada tanah yang berpori, dibandiangkan pada tanah
yang padat. Sebaliknya bagi tanaman makanan ternak yang tumbuh pada tanah yang
bertekstur halus seperti tanah berlempung tinggi, sulit mengembangkan akarnya
karena sulit bagi akar untuk menyebar akibat rendahnya pori-pori tanah. Akar
tanaman akan mengalami kesulitan untuk menembus struktur tanah yang padat,
sehingga perakaran tidak berkembang dengan baik. Aktifitas akar tanaman dan
organisme tanah merupakan salah satu faktor utama pembentuk agregat tanah.
Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya
air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum
dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air
hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan
permukaan (longsor). Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan
penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan
sebagian besar menjadi aliran permukaan (longsor) Pembentukan Agregat
Menurut Gedroits (1955) ada dua tingkatan pembentuk agregat tanah, yaitu:
a. Kaogulasi koloid tanah (pengaruh Ca2+) kedalam agregat tanah mikro
b. Sementasi (pengikat) agregat mikro kedalam agregat makro.
Teori pembentukan tanh berdasarkan flokulasi dapat terjadi pada tanah yang
berada dalam larutan, misal pada tanah yang agregatnya telah dihancurkan oleh air
hujan atau pada tanah sawah. Menurut utomo dan Dexter (1982) menyatakan bahwa
retakan terjadi karena pembengkakan dan pengerutan sebagai akibat dari pembasahan
dan pengeringan yang berperan penting dalam pembentukan agregat.
Dapat diambil kesimpulan bahwa agregat tanah terbentuk sebagai akibat
adanya interaksi dari butiran tunggal, liat, oksioda besi/ almunium dan bahan organik.
Agregat yang baik terbentuk karena flokuasi maupun oleh terjadinya retakan tanah
yang kemudian dimantapkan oleh pengikat (sementasi) yang terjadi secara kimia atau
adanya aktifitas biologi.
Macam macam struktur tanah
C. Struktu tanah berbutir (granular): Agregat yang membulat, biasanya
diameternya tidak lebih dari 2 cm. Umumnya terdapat pada horizon A yang
dalam keadaan lepas disebut “Crumbs” atau Spherical.
D. Kubus (Bloky): Berbentuk jika sumber horizontal sama dengan sumbu
vertikal. Jika sudutnya tajam disebut kubus (angular blocky) dan jika
sudutnya membulat maka disebut kubus membulat (sub angular blocky).
Ukuranya dapat mencapai 10 cm.
E. Lempeng (platy): Bentuknya sumbu horizontal lebih panjang dari sumbu
vertikalnya. Biasanya terjadi pada tanah liat yang baru terjadi secara deposisi
(deposited).
F. Prisma: Bentuknya jika sumbu vertikal lebih panjang dari pada sumbu
horizontal. Jadi agregat terarah pada sumbu vertikal. Seringkali mempunyai 6
sisi dan diameternya mencapai 16 cm. Banyak terdapat pada horizon B tanah
berliat. Jika bentuk puncaknya datar disebut prismatik dan membulat disebut
kolumner.
b) Permabilitas
. Permeabilitas tanah adalah suatu kesatuan yang melipui infiltrasi tanah dan
bermanfaat sebagai permudahan dalam pengolahan tanah.(Dede rohmat, 2010)
Permeabilitas merupakan besaran yang digunakan untuk menunjukkan seberapa besar
kemampuan suatu batuan untuk mengalirkan fluida yang terkandung didalamnya.
Permeabilitas merupakan property suatu batuan berpori dan merupakan besaran yang
menunjukkan kapasitas medium dalam mengalirkan fluida.
• Jenis-jenis Permeabilitas.
1. Permeabilitas absolut (ka).
Yaitu pengukuran pada medium berpori untuk fluida satu fasa ketika medium
tersebut dialiri oleh satu jenis fluida, dimana saturasi fluida yang mengalir
bernilai 1.
2. Permeabilitas efektif (k).
Yaitu pengukuran pada medium berpori untuk fluida satu fasa ketika medium
tersebut dialiri oleh lebih dari satu jenis fluida.
3. Permeabilitas relatif (kr).
Yaitu perbandingan antara permeabilitas efektif fluida pada nilai saturasi
tertentu, terhadap permeabilitas absolut pada saturasi 100%.
• Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permeabilitas.
1. Distribusi ukuran butir.
Ukuran butiran yang semakin beragam dalam suatu batuan, maka pori-pori
akan semakin kecil dan permeabilitas juga akan semakin kecil.
2. Susunan (packing) butiran.
Susunan butiran yang semakin rapi, maka makin besar harga
permeabilitasnya.
3. Geometri butiran.
Semakin menyudut geometri butiran, maka permeabilitasnya semakin kecil.
4. Jaringan antar pori (pore network).
Semakin bagus jaringan antar pori, maka permeabilitasnya semakin besar.
5. Sementasi.
Semakin banyak semen dalam suatu batuan, maka harga permeabilitas akan
semakin kecil.
6. Clays content.
Semakin banyak mengandung clay, maka semakin kecil permeabilitas batuan
tersebut.
c) Bahan Organik
Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks
dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di
dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi
oleh faktor biologi, fisika, dan kimia (Kononova, 1961). Menurut Stevenson (1994),
bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam
tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme,
bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus.
Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan
tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah
menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga
menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk
kerusakan tanah yang umum terjadi. Kerusakan tanah merupakan masalah penting bagi
negara berkembang karena intensitasnya yang cenderung meningkat sehingga
tercipta tanah-tanah rusak yang jumlah maupun intensitasnya meningkat.
d. Kemiringan Lereng
Peta kelas lereng diperoleh melalui interpetasi pet rupa bumi Indonesia ( RBI )
dengan metode pembuatan peta lereng yang dikemukakan oleh Wenthworth dengan
rumus sebagai berikut :
(n-1) x kiS = --------------------------------- x 100% a x penyebut skala petaKeterangan :
S = Besar sudut lerengn = Jumlah kontur yang memotong tiap diagonal jaringki = kontur intervala = panjang diagonal jarng dengan panjang rusuk 1 cmKlasifikasi kemiringan lereng ini berpedoman pada penyusunan rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah sebagai berkut :
Tabel kelas kemiringan lereng dan nilai skor kemiringan lereng
KELAS KEMIRINGAN ( % ) KLASIFIKASII 0 – 8 DatarII > 8 – 15 LandaiIII >15 – 25 Agak CuramIV > 25 – 45 CuramV > 45 Sangat Curam
Sumber : Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, 1986
Tabel Pembagian kemiringan lereng berdasarkan klasifikasi USSSM dan USLE
Kemiringan lereng (°)
Kemiringanlereng (%)
KeteranganKlasifikasi
USSSM* (%)KlasifikasiUSLE* (%)
< 1 0 - 2 Datar – hampir datar 0 - 2 1 - 2
1 - 3 3 - 7 Sangat landai 2 - 6 2 - 7
3 - 6 8 - 13 Landai 6 - 13 7 - 12
6 - 9 14 - 20 Agak curam 13 - 25 12 - 18
9 - 25 21 - 55 Curam 25 - 55 18 - 24
25 - 26 56 - 140 Sangat curam > 55 > 24
> 65 > 140 Terjal
*USSSM = United Stated Soil System Management
USLE = Universal Soil Loss Equation
Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan relative terhadap bidang
datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat. Kecuraman
lereng,panjang lereng dan bentuk lereng semuanaya akan mempengaruhi besarnya
erosi dan aliran permukaan. Menurut sitanala Arsyad (1989:225) mengkelaskan
lereng menjadi seperti berikut:
KEMIRINGAN ( % ) KLASIFIKASI KELAS0 – 3 Datar A3 – 8 Landai Atau Berombak B8 – 15 Agak Miring C15 – 30 Miring D30-45 Agak Curam E45-65 Curam F>65 Sangat Curam G
\
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif,
wawancara serta observasi. Menurut Suryabrata (1983), metode deskriptif eksploratif
yaitu sebuah metode dengan tujuan untuk mendapatkan data dasar yang diperlukan
sebagai pangkalan untuk penelitian lebih lanjut ataupun sebagai dasar untuk membuat
keputusan. Metode wawancara yaitu metode yang dilakukan secara eksplisit untuk
mengetahui informasi dari informan untuk mendapatkan data dalam bentuk data
kualitatif. Metode wawancara dilakukan untuk lebih memperdalam mengenai informasi
yang telah didapatkan melalui metode deskriptif eksploratif, sehingga dengan adanya
metode wawancara dapat menambahkan informasi terhadap data yang didapat.
Metode yang terakhir yang digunakan yaitu metode observasi dimana metode ini
dilakukan untuk mendapatkan data primer dengan cara terjun langsung ke lapangan
untuk melakukan penelitian.
Melalui metode tersebut penulis akan menggali secara mendalam mengenai
tingkatan erosi yang terjadi di Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka, fenomena
longsor, kekeringan, banjir, gerakan tanah, gempa bumi, angin tornado (puyuh) serta
fenomena fisik lainnya yang terjadi di lokasi kajian.
Selain daripada mengetahui terdapat berbagai macam fenomena fisik yang secara
alami terjadi melalui alam tersebut, tidak luput penerapan teknik konservasi pada lahan
yang diterapkan masyarakat dan menilai kesesuaian teknik konservasi tersebut dengan
karakteristik lahan serta menghubungkan penerapan teknik konservasi tersebut dengan
kondisi sosial ekonomi masyarakat.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Sumaatmadja (1988:112) mengatakan bahwa “Keseluruhan gejala, individu,
kasus dan masalah yang diteliti, yang ada di daerah penelitian menjadi objek
penelitian geografi. Semua kasus, individu dan gejala yang ada di daerah penelitian
disebut populasi penelitian atau universe”.
Menurut Ridwan (2003 : 8) “Populasi merupakan objek atau subjek yang
berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan
masalah penelitian”. Populasi penelitian terdiri dari populasi wilayah dan populasi
responden. Populasi wilayah adalah seluruh lahan yang telah mengalami longsoran,
gempa, banjir, pergerakan tanah, erosi, kekeringan di Desa Bantarujeg Kabupaten
Majalengka yang merupakan lahan yang rentan terhadap terjadinya erosi yang
tinggi dan populasi responden adalah petani yang mengolah lahan tersebut.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lahan yang berada di Desa
Bantarujeg Kabupaten Majalengka yaitu :
Tabel 3.1 Penggunaan Lahan Sawah di Desa Bantarujeg
No Wilayah Penggunaan Lahan Luas (ha)
1 Desa Bantarujeg Sawah Irigasi Setengah Teknis 65
Sawah Tadah Hujan 154
Jumlah 219
Gambar 3.1 Grafik Penggunaan Lahan Sawah di Desa Bantarujeg
Berdasarkan pada data diatas, populasi wilayah penelitian ini mempunyai luas
3,60 Km2, dengan dominasi penggunaan lahannya berupa sawah dan pemukiman.
2. Sampel
Menurut Sumaatmadja (1988 : 112) “Sampel adalah bagian dari populasi
(cuplikan contoh) yang mewakili kriteria bagian ini diambil dari keseluruhan sifat
atau generalisasi yang ada pada populasi”.
Berdasarkan masalah yang akan dibahas, maka dalam menentukan sampel
penelitian ini digunakan teknik sampel wilayah (area probality sampling) yaitu
teknik sampling yang dilakukan dengan mengambil wakil dari setiap wilayah yang
terkena longsor, banjir, erosi, kekeringan, gerakan tanah serta gempa yang terdapat
dalam kawasan populasi yang menjadi objek kajian dengan pendekatan satuan
lahan yang merupakan hasil tumpangsusun peta kemiringan lereng dengan peta
penggunaan lahan dan peta jenis tanah. Jadi satuan lahan yang sama diwakili oleh
satu sampel secara acak (random). Sedangkan cara pengambilan sampel mengikuti
sampel satuan lahan yang ditentukan dengan teknik aksidental. Kawasan yang
rentan terhadap erosi, longsor, banjir di Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka.
Sampel wilayah diambil berdasarkan kemiringan lereng sebanyak 4 sampel yang
mewakili setiap daerah yang terkena banjir, longsor dan erosi berdasarkan bagian
atas, tengah dan bawah.
Satuan lahan yang telah ditentukan dapat dilihat sebarannya pada peta satuan
lahan yang disajikan pada gambar 3.1 berikut ini :
Tabel 3.1
Sampel Satuan Lahan
Sedangkan untuk sampel respondennya menggunakan teknik pengambilan
secara aksidental yaitu semua masyarakat yang ditemui pada saat penelitian
dijadikan sampel. Sampling aksidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan
faktor spontanitas, artinya siapa saja yang secara tidak sengaja bertemu dengan
peneliti dan sesuai dengan karakteristiknya, maka orang tersebut dapat digunakan
sebagai sampel (responden)”.
C. Variabel Penelitian
Menurut Rafi’i (1996 : 46), variable penelitian mengandung pengertian ukuran, sifat,
ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok atau suatu yang berbeda dengan
yang dimiliki oleh kelompok lain. Variabel penelitian dalam judul penelitian ini adalah
terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variable bebas dan terikat. Variabel bebas
terdiri dari karakteristik lahan dan respon masyarakat, karakteristik lahan meliputi
tanah, topografi, erosi dan vegetasi, sedangkan respon masyarakat meliputi kegiatan
pertanian dan pemahaman petani tentang lahan kritis. Variabel terikatnya adalah
kekritisan lahan yang terbagi menjadi lahan potensial kritis, semi kritis dan lahan kritis,
serta faktor dari teknik pertanian yang telah dipakai oleh masyarakat seperti Sistem
tanam, pola tanam, jenis tanaman, pemeliharaan tanaman, teknik konservasi yang telah
dilaksanakan oleh masyarakat terhadap lahan garapan. Untuk melihat hubungan antara
ketiga faktor ini dapat dilihat pada table 3.2 dimana terdapat hubungan antara ketiga
variable tersebut. Variabel bebas dapat mempengaruhi variable terikat dan variable
bebas dapat berdiri sendiri. Variabel bebas terdiri dari variable fisik yang merupakan
parameter tingkat kekritisan lahan, sedang variable terikatnya adalah tingkat kekritisan
lahan yang diakibatkan oleh adanya erosi, longsor, pergerakan tanah, kekeringan serta
fenomena fisik yang lainnya.
Variabel Bebas (X) Variabel terikat (Y)
Faktor Petani :
Kegiatan PetaniPemahaman petani tentang lahan kritis
Teknik Pertanian
Sistem tanamPola tanamJenis tanamanPemeliharaan tanamanTeknik konservasi
Teknik Konservasi yang dilakukan masyarakat untuk tetap menjaga
kelestarian lahan dari kerentanan terhadap bahaya erosi, banjir,
a 279 285 361 209 270 251 251 248 309 233Sumber : Dinas Pertanian Tahunan Pangan, Majalengka 2010
Dari tabel di atas diperoleh bahwa selama sepuluh tahun rata-rata
curah hujan terbanyak tiap bulan terjadi pada bulan Januari hingga bulan
April, dan bulan Oktober sampai bulan Desember. Curah hujan pada bulan
Mei sudah mulai menurun, kondisi tersebut berlangsung sampai pada
bulan September.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Bantarujeg
merupakan daerah yang memiliki karakteristik wilayah tropik,
dikarenakan jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah itu sama
sehingga cenderung kondisi wilayahnya apabila terjadi hujan, maka
cenderung debit yang turun sangat banyak dan apabila sebaliknya tidak
terjadi hujan maka bencana akan kekeringan kemungkinan akan terjadi.
Berikut adalah rata-rata jumlah hujan per bulan dalam kurun waktu 10
tahun dapat dilihat pada tabel 4.4 Di bawah ini :
Tabel 4.3
Jumlah Curah Hujan Bulanan Kecamatan Bantarujeg
Tahun 2000 sampai Tahun 2009
N Bula Jumlah Rata-rata1 Januari 470 392 Februari 447 373 Maret 416 344 April 304 255 Mei 135 116 Juni 93 77 Juli 30 28 Agustus 24 29 September 7 61 Oktober 179 11 November 250 201 Desember 352 29
Jumla 2713 212Sumber : Hasil Penelitian 2010. Djadjang Sukma
Berikut jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah tertera pada tabel
di bawah ini :
Tabel 4.4
Jumlah Bulan Kering dan Bulan Basah Kecamatan Bantarujeg