BAB I PENDAHULUAN 1.1. Prinsip percobaan 1. zat konvulsi yang di suntikan secara i.p kepada mencit dapat menginduksi adanya konvulsi 2. obat antikonvulsan digunakan untuk melawan kritis konvulsi yang timbul pada hewan tersebut dan dapat menghambat kematian yang di timbulkan 1.2. Tujuan percobaan 1. diharapkan mahasiswa dapat memahami akibat yang ditimbulkan karena srimulasi yang berlebihan pada sistem saraf 2. mahasiswa dapat memahami kerja obat antikolvulsai dan dapat memahami cara mengatasi konvulsi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Prinsip percobaan
1. zat konvulsi yang di suntikan secara i.p kepada mencit dapat
menginduksi adanya konvulsi
2. obat antikonvulsan digunakan untuk melawan kritis konvulsi yang
timbul pada hewan tersebut dan dapat menghambat kematian
yang di timbulkan
1.2. Tujuan percobaan
1. diharapkan mahasiswa dapat memahami akibat yang ditimbulkan
karena srimulasi yang berlebihan pada sistem saraf
2. mahasiswa dapat memahami kerja obat antikolvulsai dan dapat
memahami cara mengatasi konvulsi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejang
Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.
Secara pasti, apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian otak
yang memiliki muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang
sempit, maka penderita hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika
melibatkan daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di
seluruh tubuh. Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran,
kehilangan kesadaran, kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan
menjadi linglung. (Medicastore, 2008)
Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi
dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau
berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak
dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu
serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal
secara berlebihan. (Mardjono, 1988)
Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi.
Timbulnya parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai
manifetasi epileptic. Tetapi suatu manifestasi motorik dan sensorik ataupun
sensomotorik ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba dan berkala adalah
epilepsi. (Mardjono, 1988)
Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan
letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus
dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan
neuron epileptic yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptic.
Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi. (Utama dan Gan,
2007)
Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum)
Bangkitan tonik-konik (epilepsi grand mall)
Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)
Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik,
bangkitan klonik, bangkitan infantile
2. Bangkitan pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)
Bangkitan parsial sederhana
bangkitan parsial kompleks
Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II)
(Utama dan Gan, 2007)
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adaalah karena
adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan
melampaui ambang inhibisi neuron disekitarnya., kemudian menyebar melalui
hubungan sinaps kortiko-kortikal. Kemudian, cetusan korteks tersebut
menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus
subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi.
Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke focus korteks asalnya
sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan
listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal
sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu terjadi
diensefalon. (Utama dan Gan, 2007)
Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi eua
fase, yakni fase inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan
potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan
Na+ serta hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor
GABA atau ion K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang
mendepolarisasi neuron di sekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre
sinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor
eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi
oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan
penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsy
umum/epilepsy sekunder. (Utama dan Gan, 2007)
B. Striknin
Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi
dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara
obat yang bekerja secara sentral. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif
terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan
pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat
pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di SSP. (Louisa dan
Dewoto, 2007)
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini
merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan
coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak.
Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang
merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin
ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan
sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini
juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin
ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek
striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya
disebut konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang
menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung
mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi
perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat
vasomotor. Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral
striknin.pada hewan coba dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran
cerna. Striknin digunakan sebagai perangsanmg nafsu makan secara irasional
berdasarkan rasanya yang pahit. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera
meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih
daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh enzim
mikrosom sel hati dan Necel 4 diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap
dalam waktu 10 jam, sebagian dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka
dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik
hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi,
akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap
hiperekstensi (opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang
menyentuh alas tidur. Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas
terhenti karena kontraksi otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini
terjadi berulang; frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya
perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat, dan
pesien takut mati dalam serangan berikutnya. Kematian biasanya disebabkan
oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan napas. Kombinasi
dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang hebat dapat menimbulkan
asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat; yang terakhir ini mungkin
akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma. (Louisa dan Dewoto,
2007)
Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV,
sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap
depresi post ictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau
obat penekan ssp non-selektif lain. Kadang-kadang diperlukan tindakan
anastesia atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan
yang hebat. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan
membantu pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untuk
memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan kurariform
untuk mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga
masih ada striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung
digunakan larutan KMnO4 0,5 ‰ atau campuran yodium tingtur dan air
(1:250) atau larutan asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya
rangsangan sensorik. (Louisa dan Dewoto, 2007)
C. Pentetrazol
Pentetrazol adalah obat yang dipakai sebagai stimulan peredaran darah dan
pernafasan. Dosis tinggi menyebabkan kejang, seperti yang ditemukan oleh
ahli saraf Hungaria-Amerika dan psikiater Ladislas J. Meduna tahun 1934.
Telah digunakan dalam terapi kejang, tetapi tidak pernah dianggap efektif, dan
efek samping seperti kejang yang sulit untuk dihindari.
Pentetrazol dianggap sebagai antagonis GABA. Mekanisme aksi
epileptogenik dari pentetrazol pada tingkat saraf seluler masih belum jelas.
Studi elektrofisiologi telah menunjukkan ia bertindak pada tingkat membran
sel mengurangi waktu pemulihan antara potensial aksi dengan meningkatkan
permeabilitas kalium dari akson. Studi-studi lain telah menggejala
peningkatan arus membran beberapa ion lainnya, seperti natrium dan kalsium,
yang menyebabkan peningkatan secara keseluruhan dalam rangsangan
membran neuron.
Pentetrazol telah digunakan secara eksperimental untuk mempelajari
fenomena penyitaan dan untuk mengidentifikasi obat-obatan yang dapat
mengontrol kerentanan kejang. Pentetrazol juga merupakan obat anxiogenic
prototipikal dan telah banyak digunakan pada model binatang kecemasan.
Pentetrazol menghasilkan stimulus diskriminatif handal yang sebagian besar
dimediasi oleh reseptor GABA.
Baru-baru ini, peneliti dari Universitas Stanford telah memperbaharui
minat Pentetrazol sebagai calon pengobatan farmakologis sindrom Down.
Diterbitkan dalam edisi April 2007 Nature Neuroscience, komunikasi singkat
mereka diuraikan percobaan yang dirancang untuk menguji teori yang
mendasari diusulkan untuk menjelaskan kemanjuran yang diklaim sebagai
GABA antagonis dalam memulihkan defisit memori deklaratif terkait dengan
model tikus Down Syndrome manusia. Ts65Dn tikus yang disuntik dengan 2
minggu resimen salah satu dari dua senyawa picrotoxin atau bilobalide
(keduanya antagonis GABA) menunjukkan perbaikan yang ditandai di kedua
eksplorasi dan pengakuan benda baru atas kontrol disuntik dengan hanya
garam. Hasil ini digandakan dalam percobaan kedua dengan tikus yang diberi
susu baik polos atau kombinasi susu dan dosis non-epileptogenik pentetrazol
setiap hari selama 17 hari. Tikus pentetrazol-makan mencapai skor tugas objek
baru sebanding dengan tikus wild type (normal). Perbaikan ini berlangsung
setidaknya 1 sampai 2 bulan setelah resimen pengobatan. Tidak
mengherankan khasiat senyawa 'disertai dengan normalisasi potensiasi jangka
panjang dalam dentate gyrus satu bulan setelah akhir pengobatan, lanjut
menunjukkan perbaikan obat dimediasi gigih dalam belajar dan memori.
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Alat yang digunakan :
1. Timbangan mencit
2. Alat suntik
3. Sonde oral
3.2 Bahan yang digunakan
1. Pentetrazol larutan 0,75%
2. Fenitoin 100 mg
3. Na CMC
4. Luminal
3.3 Prosedur
1. Hewan ditimbang dan dikelompokan menjadi 4 kelompok, kelompok
kontrol diberi pembawa ( Na CMC ), kelompok pembanding diberi obat
fenitoin 100mg, kelompok uji 1 diberi luminal 30mg dan kelompok uji 2
di beri luminal 100mg
2. Semua kelompok diberi obat secara peroral catat waktu pemberian obat.
3. Setelah 30 menit hewan diberi zat penginduksi, konvulsi yaitu pentetrazol
4. Segera setelah pemberian zat penginduksi di catat waktu timbulnya
konvulsi, rentang waktu timbulnya konvulsi, dan lamnya konvulsi yang
terjadi, juga waktu terjadinya kematian hewan percobaan.
5. Data yang diperoleh ditabulasi dan di analisis secara statistik dengan
menggunakan, analisis fariansi dan kebermaknaan antara kelompok
kontrol dan kelompok uji dianalisis dengan student test
6. Buat grafik hasil percobaan
7. Bahas hasil percobaan anda.
BAB IV
HASIL PERCOBAAN
TABEL HASIL PENGAMATAN DATA KELAS
KELOMPOK UJI KONTROL
No
Mencit
Bobot
Badan (g)
Onset (s) Durasi (s) Frekuensi Keterangan
Kejang
1 31 180 0 0 Kejang, Mati
2 27 94 60 9 Kejang, Mati
3 23 232 163 5 Kejang, Mati
4 23 10 33 1 Kejang, Mati
5 26 339 1291 141 Kejang, Sehat
6 26 115.6 375 1 Kejang, Mati
7 21 562 23 1 Kejang, Mati
8 27 80 650 37 Kejang, Mati
Rata-rata 201.575 324.375 24.375
KELOMPOK UJI PEMBANDING FENITOIN 100MG/DOSIS MANUSIA
No
Mencit
Bobot
Badan (g)
Onset (s) Durasi (s) Frekuensi Keterangan
Kejang
1 27 360 500 7 Kejang, Hidup
2 26 96 3602 64 Kejang, Sehat
3 24 440 733 8 Kejang, Sehat
4 27 120 600 2 Kejang, Mati
5 30 520 896 269 Kejang, Sehat
6 26 109.5 792.5 7 Kejang, Mati
7 26 472 746 26 Kejang, Sehat
8 18 90 945 27 Kejang, Hidup
Rata-rata 275.9375 1101.8125 51.25
KELOMPOK UJI I LUMINAL 30MG/DOSIS MANUSIA
No
Mencit
Bobot
Badan (g)
Onset (s) Durasi (s) FrekuensiKeterangan
Kejang
1 27 600 960 13 Kejang, Hidup
2 26 82 1400 57 Kejang, Sehat
3 25 610 1020 15 Kejang, Sehat
4 28 72 74 2 Kejang, Mati
5 25 413 322 36 Kejang, Mati
6 26 178.5 892.5 5 Kejang, Mati
7 27 572 253 15 Kejang, Sehat
8 25 930 1831 16 Kejang, Hidup
Rata-rata 432.1875 844.0625 19.875
KELOMPOK UJI II LUMINAL 100MG/DOSIS MANUSIA
No
Mencit
Bobot
Badan (g)
Onset (s) Durasi (s) Frekuensi Keterangan
Kejang
1 28 726 801 10 Kejang, Mati
2 27 0 0 0 Kejang, Sehat
3 28 742 818 11 Kejang, Sehat
4 25 358 105 1 Kejang, Mati
5 28 615 119 109 Kejang, Sehat
6 21 945 1605 17 Kejang Hidup
7 25 660 180 6 Kejang, Sehat
8 29 0 0 0 Kejang, Hidup
Rata-rata 505.75 453.5 19.25
BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan pengamatan efektifitas obat antikonvulsi
terhadap rangsangan konvulsi yang diberikan. Obat yang di uji adalah
Fenobarbital/Luminal dalam dua dosis yang berbeda yaitu 30 mg dan 100 mg.
Sebagai pembandingnya digunakan Fenitoin 100 mg.
Hasil dari percobaan ini didapatkan bahwa pembanding memiliki onset
kejang yang lebih rendah dari pada obat uji dengan dosis yang sama, tetapi
memiliki durasi kejang yang lebih panjang.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan mekanisme dan durasi kerja dari
masing-masing obat yang bersangkutan. Fenitoin memiliki efek stabilisasi pada
membran karena blokade kanal Na+. Fenitoin memiliki indeks terapi yang sempit,
konsentrasi terapeutiknya dalam plasma darah adalah 5-20 µg/mL, konsentrasi
maksimal dalam plasma setelah 3-12 jam, diabsorbsi lambat setelah pemberian
oral sebanyak 70-90%, ikatan obat-protein plasma sekitar 90%. Karena obat ini
termasuk obat kerja cepat, onset kejangnyapun lebih singkat dari obat uji yang
merupakan obat kerja panjang. Pada hasil percobaan, obat ini dapat memberikan
efek yang lebih cepat tetapi tidak bertahan lama.
Fenobarbital/Luminal memiliki mekanisme kerja meningkatkan efek
penghambatan GABA dengan cara berikatan pada kompleks reseptor GABA-
kanal klorida. Konsentrasi plasma terapeutik Luminal adalah 10-40 µg/mL,
konsentrasi plasma maksimal setelah 6-18 jam. Lebih dari 80% obat diabsorpsi
lambat setelah pemberian oral. Ikatan obat dengan protein plasma sekitar 50-60%.
Obat ini dapat memberikan efek antikonvulsi yang lebih panjang karena sifatnya
yang bertahan lebih lama dalam sirkulasi.
Luminal dengan dosis oral 30 mg tidak berfungsi sebagai antikonvulsi,
karena dosis yang memberikan efek antikonvulsi adalah 60-180 mg, dengan dosis
awal 100 mg.
Dosis awal Fenitoin adalah 150-300 mg, dengan dosis pemeliharaan 100
mg setelah 6-8 jam. Diperlukan dosis pemeliharaan karena sifatnya yang bekerja
cepat, sehingga perlu tambahan dosis untuk menjaga konsentrasi tetapnya dalam
plasma. Dosis fenitoin yang diberikan dalam percobaan kurang tepat sehingga
hasil percobaan menunjukkan fenitoin memberikan hambatan konvulsiv yang jauh
lebih rendah dari fenobarbital.
Pentetrazon (Pentylenetetrazol) adalah suatu stimulansia yang dalam dosis
tinggi dapat menyebabkan kejang, obat ini dalam percobaan antikonvulsi
digunakan sebagai penginduksi kejang, ia memiliki mekanisme sebagai antagonis
GABA.
Kelompok lain, melakukan induksi kejang terhadap hewan percobaan
dengan Strichnin. Hasil yang diberikan yaitu; Strichnin memberikan efek kejang
yang lebih ringan terhadap hewan percobaan dari pada Pentetrazol, hal ini
mungkin disebabkan oleh mekanisme Strichnin yang hanya menyebabkan kejang
otot berbeda dengan Pentetrazol yang bersifat menghambat GABA secara
langsung (suatu neurotransmitter yang terdapat pada otak) atau mungkin juga
karena perbedaan dosis yang diberikan.
BAB VI
KESIMPULAN
Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa :
- Obat antikonvulsi adalah obat-obat yang dapat menyebabkan
penghambatan terhadap kejang.
- Mekanisme dan durasi kerja obat antikonvulsi berbeda-beda.
- Perbedaan mekanisme dan durasi kerja obat antikonvulsi harus
diperhatikan untuk tujuan pengobatan terhadap jenis kejang/epilepsi yang
berbeda, juga berguna untuk penentuan dosis pemakaian obat.
DAFTAR PUSTAKA
Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta, hal.
354-356
Louisa M & Dewoto HR . 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat . Dalam :
Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 247-248
Mardjono, M. 1988. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat : Jakarta, hal. 439-441;
444
Medicastore. 2008. Kejang. Apotek Online dan Media Informasi Obat Penyakit.
(online), (http://www.medicastore.com, diakses 4 Mei 2008)