1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada tabel 1 berikut
ini.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap
IkanKelPerlakuanWarnaRasaAromaSalinitas (%)Penampakan
E1Enzim papain 0,4%++++++++++++3,70+++
E2Enzim papain 0,8%++++++++++3,50+++
E3Enzim papain 1,2%+++++++++++3,40++
E4Enzim papain 1,6%++++++++3,50++
E5Enzim papain 2,0%+++++++3,30+++
E6Enzim papain 2,5%++++++++++4,20+++
Keterangan:Warna: +: tidak coklat gelap++: kurang coklat
gelap+++: agak coklat gelap++++: coklat gelap+++++: sangat coklat
gelap
Penampakan :+: sangat cair++: cair+++: agak kental++++:
kental+++++: sangat kental
Rasa : +: sangat tidak asin ++: kurang asin+++: agak asin++++:
asin+++++: sangat asinAroma: +: sangat tidak tajam++: kurang
tajam+++: agak tajam++++: tajam+++++ : sangat tajam
Pada tabel diatas tentang pengamatan kecap ikan dapat diketahu
bahwa penambahan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda beda
pad setiap kelompok akan mempengaruhi hasil yang ada baik berupa
warna, rasa, aroma dan penampakan kecap ikan yang dihasilkan.
Jumlah enzim papain yang ditambahkan berturut-turut dari kelompok
E1 sampai dengan E6 adalah sebesar 0,4%; 0,8%; 1,2%; 1,6%; 2% dan
2,5%. Kecap ikan pada kelompok E1 dengan menggunakan konsentrasi
papain 0,4%, dihasilkan kecap ikan dengan warna coklat gelap, rasa
asin, aroma yang tajam, nilai salinitas sebesar 3,70% dan cair.
Untuk kecap ikan pada kelompok E2 dengan menggunakan konsentrasi
papain 0,8%, dihasilkan kecap ikan dengan yang memiliki warna
kurang coklat gelap, rasa yang asin, aroma yang tajam, nilai
salinitasnya 3,50% dan cair. Kecap ikan kelompok E3 dengan
menggunakan konsentrasi papain 1,2%, dihasilkan kecap ikan dengan
warna agak coklat gelap, rasa sangat asin, aroma agak tajam, dengan
nilai salinitas sebesar 3,40% dan cair. Kecap ikan kelompok E4
dengan menggunakan konsentrasi papain 1,6%, dihasilkan warna kecap
ikan kurang coklat gelap, rasa yang asin, aroma yang kurang tajam
dan nilai salinitasnya 3,50% dan cair. Kecap ikan pada kelompok E5
dengan menggunakan konsentrasi papain 2,0%, memiliki hasil kecap
ikan dengan warna tidak coklat gelap, rasa yang asin, aroma kurang
tajam, nilai salinitas sebesar 3,30% dan agak kental. Untuk kecap
ikan kelompok E6 dengan menggunakan konsentrasi papain 2,5%,
memiliki hasil kecap ikan dengan warna yang kurang coklat gelap,
rasa yang sangat asin, aroma yang agak tajam, dengan nilai
salinitas sebesar 4,20% dan agak kental.
2
1
2. 3. PEMBAHASAN
Kecap ikan adalah suatu produk hasil dari hidrolisa ikan (baik
secara enzimatis, fermentasi atau garam maupun secara kimiawi) yang
berupa cairan dan berwarna coklat jernih (Afrianto & Liviawaty,
1989). Kecap ikan yang merupakan salah satu produ hasil olahan ini
mempunyai bebrapa keunggulan, yaitu memiliki ciri khusus seperti
rasa, tekstur, bentuk dan bau (Moeljanto, 1992). Pengolahan kecap
ikan bisa menggunakan bahan baik berupa sari ikan yang secara
sengaja dibuat khusus atau dapat pula menggunakan sari daging ikan
yang merupakan produk sampingan dari proses pengolahan ikan. Kecap
ikan hanya terdiri dari satu macam yaitu kecap asin. Menurut teori
dari Afrianto & Liviawaty (1989), Kecap ikan ini biasanya
digunakan sebagai bumbu masak atau dapat pula digunakan sebagai
bahan dalam pembuatan sambal yang dicampur dengan potongan-potongan
cabe rawit.
Kecap ikan merupakan cairan bening yang memiliki warna cokelat
dengan rasa dan aroma yang khas. Pendapat dari Hjalmarsson et al.
(2007), kecap ikan merupakan salah satu produk fermentasi yang
populer di selatan timur-Asia. Proses pembuatan kecap ikan dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu baik dengan cara fermentasi
menggunakan garam atau secara enzimatis. Pembuatan kecap ikan
dengan cara fermentasi menggunakan garam membutuhkan waktu yang
cukup lama, yaitu kira kira 7 bulan lebih. Menurut pendapat dari
Astawan & Astawan (1988) prinsip pembuatannya adalah garam akan
menarik komponen-komponen ikan terutama protein. Sedangkan
fermentasi dengan cara enzimatis dapat dilakukan dengan menggunakan
enzim yang ditambahkan pada proses pembuatan kecap ikan. Enzim yang
biasanya digunakan dalam pembuatan kecap ikan adalah enzim
protease, dimana enzim ini terdapat pada parutan buah nanas muda
(bromelain) dan getah buah pepaya muda (papain). Fungsi dari enzim
papain dan bromelain ini dapat menguraikan protein menjadi komponen
yang lebih sederhana seperti peptida, pepton, dan asam amino yang
dapat saling berinteraksi untuk menciptakan rasa yang khas.
Penambahan enzim protease ke dalam proses pembuatan kecap ikan ini
dapat mempersingkat waktu fermentasi. Selain itu, nilai protein
yang dihasilkan dari kecap ikannya juga diperoleh nilai yang tinggi
(Afrianto & Liviawaty, 1989).
Sanceda et al., (2003), mengatakan bahwa cara memproduksi kecap
ikan secara tradisional dengan mencampur ikan dan garam dengan
rasio 2:1 atau 3:1 (ikan:garam), ditempatkan di lapisan dalam wadah
tertutup, difermentasi kurang lebih 12 bulan, dan cairan yang
terbentuk dikumpulkan. Aroma dari kecap ikan merupakan indikator
untuk mengukur kualitas produk karena rasa yang sangat asin
cenderung mengalahkan konstituen bumbu lainnya. Asam volatil
merupakan komponen flavor yang paling banyak dalam kecap ikan .
Asam volatil mempengaruhi preferensi konsumen terhadap kecap ikan
(Sanceda et al., 1992, 1994). Orang Jepang lebih menyukai kecap
ikan dengan konsentrasi asam volatil rendah sedangkan orang
Filipina sebaliknya. Kecap ikan yang difermentasi dengan
menambahkan histidin mengandung asam volatil yang lebih rendah
dibanding kontrol. Dalam jurnal ini, Sanceda et al. (2003)
mensubstitusikan NaCl dengan KCl untuk mempengaruhi terbentuknya
asam lemak volatil selama fermentasi kecap ikan. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa rasio 75:25 (garam alami:KCl dan
NaCl:KCl) dapat digunakan sebagai pengganti kecap ikan yang dibuat
dengan menambahkan NaCl tanpa disubstitusi dengan KCl dan berguna
untuk mencegah penyakit pembuluh darah.
Metode pembuatan kecap ikan dapat dilakukan dengan menggunakan 2
cara yaitu secara fermentasi yang menggunakan garam dan dengan cara
enzimatis. Fermentasi dengan menggunakan garam membutuhkan waktu
yang cukup lama dalam pembuatan kecap ikan yaitu sekitar 7 bulan
lebih, prinsip pembuatannya adalah penarikan komponen - komponen
ikan terutama protein oleh garam. Fermentasi tradisional ini
biasanya berlangsung selama 1 tahun atau lebih (Hariono, et al.,
2005). Salah satu faktor penentu keberhasilan fermentasi kecap
adalah kondisi fermentasi. Kondisi fermentasi ini sangat
disesuaikan dengan pertumbuhan mikroorganisme yang diharapkan dalam
pembuatan kecap ikan. Sebagai contoh, kondisi fermentasi dalam
pembuatan kecap ikan pacific whiting (Merluccius prodictus) adalah
pada kadar garam 25 % dan suhu 50oC (Lopetcharat & Park,
2002).
Pada percobaan pembuatan kecap ikan ini, dilakukan dengan
fermentasi secara enzimatis. Hal ini dilakukan dengan cara
penambahan enzim protease yaitu enzim papain. Percobaan ini telah
sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Afrianto & Liviawaty
(1989) bahwa kecap ikan dapat dibuat dengan menggunakan cara
fermentasi secara enzimatis, dimana dalam pembuatannya dilakukan
penambahan enzim protease seperti enzim papain. Enzim papain ini
dapat diperoleh dari getah buah pepaya muda. Fox (1991) menambahkan
bahwa enzim papain yang merupakan salah satu contoh dari enzim
protease mempunyai fungsi untuk menghidrolisis protein, dimana
enzim protease ini memiliki kemampuan untuk memecah ikatan peptida
pada suatu subtrat dibawah kondisi yang memungkinkan dan peristiwa
ini disebut dengan aktivitas proteolitik.
Enzim papain termasuk dalam golongan enzim protease sufhidril
(deMan, 1997). Muhidin (1999) juga menambahkan bahwa enzim papain i
sebenarnya berasal dari getah tanaman pepaya. Getah yang paling
baik terdapat pada bagian buah pepaya. Bagian buah ini memiliki
kandungan getah lebih banyak dibandingkan dengan daun maupun
batangnya karena jumlahnya cukup banyak dan daya enzimatiknya yang
cukup tinggi. Beberapa manfaat dari enzim papain adalah untuk
melunakkkan daging, pembuat konsentrat protein, penghidrolisis
protein, pelembut kulit, anti dingin, bahan obat dan bahan
kosmetik.
1. 2. 2.1. Cara Kerja dan Fungsi Penambahan Bumbu-bumbu selama
Pemanasan
Ikan yang digunakan dalam percobaan ini adalah ikan bawal.
Menurut Moeljanto (1992), pembuatan kecap ikan tidak memerlukan
jenis ikan tertentu atau dalam pembuatan ikan bisa menggunakan
jenis ikan apa saja. Ikan yang telah tidak memiliki nilai ekonomis
dapat digunakan sebagai bahan baku, bahkan ikan yang berasal dari
sisa pengolahan pun dapat pula digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan kecap ikan. Namun dalam praktikum ini digunakan ikan
bawal sebagai bahan pembuatan kecap ikan. Hal ini terjadi karena
ikan bawal memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi (Saanin,
1968). Dalam pembuatan kecap ikan ini digunakan bagian ikan yang
berasal dari limbah filet ikan bawal, seperti tulang dan ekor. Hal
ini telah sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Shih et al.,
(2003) yang mengungkapkan bahwa limbah dari ikan dapat diolah
menjadi produk kecap ikan. Pada praktikum kecap ikan, pertama-tama
tulang dan ekor ikan dihaluskan dengan blender. Penghalusan ini
dilakukan dengan tujuan meningkatkan efektivitas dari ekstraksi
akibat kerusakan sel sehingga memudahkan senyawa-senyawa pembentuk
flavor, yang biasanya terdistribusi pada bahan dan yang sebagian
terikat dengan protein, lemak atau air, untuk keluar. Dengan
penghalusan, permukaan bahan akan menjadi semakin luas dan rasio
luas permukaan terhadap volume bahan semakin meningkat sehingga
kemampuan bahan untuk melepaskan komponen flavor semakin besar
(Saleh et al., 1996). Kemudian tulang dan ekor yang sudah halus
tersebut ditimbang sebanyak 50 gram dan dimasukkan ke dalam toples.
Setelah dimasukkan ke dalam toples, ditambah dengan enzim papain
dengan konsentrasi 0,4% dari 50 gram untuk kelompok E1, 0,8% dari
50 gram (berat total sampel) untuk kelompok E2, 1,2% dari 50 gram
untuk kelompok E3, 1,6 % dari 50 gram untuk kelompok E4 dan 2% dari
50 gram untuk kelompok E5 dan 2,5% untuk kelompok E6. Penambahan
enzim papain yaitu bertujuan untuk mempercepat proses fermentasi
kecap ikan. Enzim papain ini akan menguraikan protein yang
terkandung dalam ikan menjadi beberapa komponen seperti pepton,
peptida dan asam amino yang saling berinteraksi menciptakan rasa
yang khas, sesuai teori Astawan & Astawan (1988). Kemudian
dilakukan inkubasi selama kurang lebih 3 hari. Proses inkubasi ini
berlangsung secara anaerob karena berlangsung di dalam toples yang
ditutup rapat. Setelah 3 hari, ditambahkan dengan air sebanyak 250
ml dan diaduk untuk menghomogenkan air dengan bagian ikan yang
telah difermentasi. Selanjutnya dilakukan penyaringan sehingga
diperoleh filtrat dan endapan (ampas). Filtrat diambil dan
diletakkan pada panci kemudian didihkan di atas kompor. Dengan
pendidihan, maka larutan akan mengental karena adanya proses
evaporasi (Fellows, 1990).
Saat dipanaskan, ditambahkan bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan
sebelumnya. Bumbu-bumbu tersebut meliputi 50 gram bawang putih, 50
gram garam, dan 50 gram gula jawa. Penambahan bawang putih sendiri
bertujuan untuk menambah aroma dan cita rasa kecap, juga berfungsi
sebagai pengawet alami karena bawang putih mengandung zat allicin
yang efektif membunuh bakteri, sehingga bersifat antimikrobia.
Allicin ini merupakan komponen aktif bawang yang mempunyai daya
bunuh terhadap bakteri dan daya anti radang (Santoso, 1994).
Penambahan garam akan memberikan rasa asin, menguatkan rasa,
menurunkan kelarutan oksigen serta memberikan efek pengawet karena
dapat menurunkan nilai aw dan mengganggu keseimbangan ionik sel
mikroorganisme akibat peningkatan proton di dalam sel. Selain itu,
tujuan penambahan garam yaitu untuk menjaga agar mikroba halofilik
yang menghasilkan senyawa flavor seperti Saccharomyces, Pediococcus
dan Torulopsis dapat berkembang dan menghasilkan flavor (Desrosier
& Desrosier, 1977). Sedangkan penambahan gula jawa akan
mempengaruhi cita rasa kecap ikan (Fachruddin, 1997) dengan
mengurangi rasa asin yang berlebihan dan memberikan rasa lembut
pada kecap ikan, mempengaruhi aroma kecap ikan (Fachruddin, 1997),
mempengaruhi warna kecap ikan (Fachruddin, 1997) dengan memberikan
warna coklat karamel (muncul akibat panas yang dihasilkan selama
proses pemasakan (Kasmidjo, 1990)), meningkatkan viskositas kecap
ikan serta mengawetkan kecap ikan. Kecap kemudian dimasak sampai
bumbu larut. Setelah masak, kecap ikan diamati warna, rasa, dan
aromanya.
2.2. Fungsi Penambahan Enzim Papain dengan Konsentrasi
Berbeda-beda dan Efeknya terhadap Kecap Ikan yang Dihasilkan
Dari data hasil pengamatan dapat dilihat setiap kelompok membuat
kecap ikan yang diberi perlakuan penambahan enzim papain dengan
konsentrasi yang berbeda-beda yaitu kelompok E1 0,4%, kelompok E2
0,8%, kelompok E3 1,2%, kelompok E4 1,6%, kelompok E5 2% dan
kelompok E6 2,5%. Konsentrasi enzim papain yang ditambahkan sangat
berpengaruh pada kecap ikan yang dihasilkan. Semakin besarnya
konsentrasi enzim papain yang digunakan, maka proses fermentasi
kecap pun semakin cepat. Hal ini disebabkan karena enzim papain ini
membantu pemecahan molekul protein yang akan digunakan sebagai
substrat oleh bakteri pada ikan dalam memfermentasi kecap. Enzim
protease menjadi aktif pada temperatur 50-70oC selama proses
pemasakan. Kolagen didegradasi pada temperatur yang lebih tinggi,
karena protein alami tahan terhadap proteolitis oleh papain
menghasilkan perubahan keempukan awal dan residu serabut-serabut
jaringan ikat (Fox, 1991).
Pembuatan kecap ikan kali ini diberi penambahan enzim papain.
Papain adalah enzim yang diperoleh dari tanaman pepaya. Enzim ini
mudah didapat dalam bentuk kasar yang biasanya digunakan sebagai
pengempuk daging. Papain relatif tahan terhadap panas dan bekerja
pada kisaran pH yang luas dibanding dengan enzim proteolitik
lainnya. Protease merupakan enzim yang digunakan untuk
menghidrolisis protein, di mana enzim protease mempunyai kemampuan
untuk memecah ikatan peptida pada suatu substrat di bawah kondisi
yang memungkinkan, peristiwa ini disebut juga dengan aktivitas
proteolitik (Lay, 1994).
2.3. Efek Enzim Papain Terhadap Warna Kecap Ikan
Pada kelompok E1 dengan penambahan enzim papain 0,4% dihasilkan
warna coklat gelap. Pada kelompok E2 dengan penambahan enzim papain
0,8 % dihasilkan warna kurang coklat gelap. Pada kelompok E3 dengan
penambahan enzim papain 1,2 % dihasilkan warna agak coklat gelap.
Pada kelompok E4 dengan penambahan enzim papain 1,6 % dihasilkan
warna kurang coklat gelap. Pada kelompok E5 dengan penambahan enzim
papain 2 % dihasilkan warna tidak coklat gelap. Untuk kelompok E6
dengan enzim papain 2,5% menghasilkan warna kurang coklat gelap.
Hasil ini kurang sesuai dengan teori yang ada, dimana seharusnya
warna kecap ikan yang sangat coklat gelap adalah kelompok E6 karena
penambahan enzim papain yang tertinggi yaitu 2 ,5% dan untuk warna
kecap ikan yang kurang coklat gelap seharusnya adalah kelompok E1
karena panambahan konsentrasi papain yang terendah yaitu hanya
0,4%. Seharusnya semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang
ditambahkan maka akan warna yang dihasilkan semakin coklat. Hal ini
disebabkan karena dengan banyaknya enzim yang ditambahkan, protein
akan semakin banyak dan bereaksi sehingga terjadi reaksi Maillard
yang membentuk warna coklat (Lees & Jackson, 1993). Ketidak
cocokan hasil praktikum dengan teori yang ada ini mungkin
disebabkan dari penambahan gula jawa sebanyak 1 butir pada masing
masing kelompok yang ukuran tiap gula jawa yang digunakan relatif
berbeda antar kelompoknya. Selain itu, juga disebabkan karena lama
pemasakan dan suhu pemasakan antara kelompok 1 dengan yang lainnya
berbeda-beda, dimana lamanya pemasakan dan suhu pemasakan tersebut
mempengaruhi reaksi Maillard yang dapat menyebabkan terbentuknya
warna coklat, sesuai teori Lay (1994). Pemasakan dengan suhu tinggi
dan waktu yang lama menyebabkan warna kecap semakin gelap.
Keterbatasan indera manusia dalam melakukan uji sensori juga
mempengaruhi hasil pengamatan warna kecap ikan.
Menurut Less & Jackson (1973), warna coklat pada kecap
tersebut timbul karena adanya penambahan gula jawa. Gula jawa dan
pemanasan dalam pembuatan kecap ini menyebabkan terjadinya reaksi
browning, yaitu reaksi antara gula dan komponen cita rasa lainnya
akibat adanya panas atau suhu yang tinggi. Menurut Astawan &
Astawan (1988), selama proses fermentasi kecap ikan dapat terjadi
peningkatan derajat brix atau jumlah padatan terlarut, intensitas
warna menjadi semakin coklat, dan kandungan nitrogen total juga
meningkat. Lay (1994) yang juga mengatakan bahwa selain oleh
banyaknya enzim yang digunakan, warna kecap juga dipengaruhi oleh
suhu pemanasan dan lamanya pemanasan yang dilakukan. Pemanasan yang
dilakukan dengan suhu tinggi dan waktu lama akan menyebabkan warna
kecap semakin gelap.
2.4. Efek Enzim Papain Terhadap Rasa Kecap Ikan
Pada kelompok E1 dengan penambahan enzim papain 0,4% dihasilkan
rasa kecap ikan asin. Pada kelompok E2 dengan penambahan enzim
papain 0,8 % dihasilkan rasa kecap ikan yang asin. Pada kelompok E3
dengan penambahan enzim papain 1,2 % menghasilkan kecap ikan yang
sangat asin. Kelompok E4 dan E5 dengan penambahan enzim papain 1,6
% dan 2,0 % dihasilkan rasa kecap ikan yang kurang asin. Pada
kelompok E6 dengan penambahan enzim papain 2,5 % dihasilkan kecap
ikan dengan rasa sangat asin. Menurut teori yang ada seharusnya
penambahan enzim papain dengan konsentrasi lebih tinggi akan
semakin mengurangi rasa ikannya. Semakin banyaknya enzim yang
digunakan, maka protein dalam daging ikan yang terhidrolisis oleh
enzim tersebut akan semakin banyak, padahal kandungan protein pada
daging ikan inilah yang akan memberikan kontribusi flavor (rasa)
terbesar pada daging. Jadi, jika protein pada daging ikan tersebut
banyak yang terhidrolisis, maka rasa dari ikan menjadi lemah
(berkurang). Enzim papain pada buah pepaya sangat membantu dalam
menguraikan protein menjadi beberapa komponen seperti peptida,
pepton, dan asam amino yang saling berinteraksi sehingga
menciptakan rasa yang khas. Menurut Amstrong (1995), bahwa semakin
banyak penambahan enzim maka tingkat hidrolisis protein ikan
semakin tinggi pula, sehingga akan dihasilkan asam glutamat yang
menyebabkan rasa ikan pada kecap ikan semakin lemah. Hal ini tidak
sudah sesuai dengan hasil percobaan dimana kelompok E3 dan E5
dengan penambahan enzim terbanyak yaitu 1,2% dan 2% memiliki rasa
yang paling kuat yaitu sangat asin, dibandingkan dengan kelompok
lainnya.
2.5. Efek Penambahan Enzim Papain Terhadap Aroma Kecap Ikan
Menurut jurnal yang disusun oleh Ritthiruangdej dan Thongchai
(2006), analisis sensorik adalah salah satu metode yang dapat
menggambarkan kualitas dari kecap ikan. Aroma kecap ikan dibagi
menjadi 3 kategori utama yaitu ammonical, cheesy, dan meaty.
2-methylpropanal, 2- methylbutanal, 2- pentanone, 2-ethylpyridine,
dimethyl trisulfide, 3-(methylthio)-proppanal, and 3-methylbutanoic
acid merupakan senyawa yang memberikan aroma khas pada kecap ikan.
Kecap ikan pada kelompok E1 dengan menggunakan konsentrasi papain
0,4%, dihasilkan kecap ikan dengan warna coklat gelap, rasa asin,
aroma yang tajam, nilai salinitas sebesar 3,70% dan cair. Untuk
kecap ikan pada kelompok E2 dengan menggunakan konsentrasi papain
0,8%, dihasilkan kecap ikan dengan yang memiliki warna kurang
coklat gelap, rasa yang asin, aroma yang tajam, nilai salinitasnya
3,50% dan cair. Kecap ikan kelompok E3 dengan menggunakan
konsentrasi papain 1,2%, dihasilkan kecap ikan dengan warna agak
coklat gelap, rasa sangat asin, aroma agak tajam, dengan nilai
salinitas sebesar 3,40% dan cair. Kecap ikan kelompok E4 dengan
menggunakan konsentrasi papain 1,6%, dihasilkan warna kecap ikan
kurang coklat gelap, rasa yang asin, aroma yang kurang tajam dan
nilai salinitasnya 3,50% dan cair. Kecap ikan pada kelompok E5
dengan menggunakan konsentrasi papain 2,0%, memiliki hasil kecap
ikan dengan warna tidak coklat gelap, rasa yang asin, aroma kurang
tajam, nilai salinitas sebesar 3,30% dan agak kental. Untuk kecap
ikan kelompok E6 dengan menggunakan konsentrasi papain 2,5%,
memiliki hasil kecap ikan dengan warna yang kurang coklat gelap,
rasa yang sangat asin, aroma yang agak tajam, dengan nilai
salinitas sebesar 4,20% dan agak kental. Teori Tortora et al.
(1995), mengatakan bahwa enzim protease akan memecah protein
menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana seperti kadaverin,
putresin, arginin, histidin dan amonia yang mengandung nitrogen.
Senyawa senyawa tersebut merupakan komponen penyusun flavor pada
kecap ikan. Salah satu flavor kecap yang khas dihasilkan dari
penguraian protein oleh enzim protease yaitu asam glutamat. Jadi
dapat dikatakan bahwa semakin banyak protease yang ditambahkan maka
akan semakin banyak pula protein yang terhidolisis menjadi senyawa
sederhana yang mengandung N dan memberi flavor yang kuat pada kecap
ikan dan menutupi flavor amis dari daging ikan. Proses penguraian
protein dengan bantuan enzim protease terbentuk komponen peptida
tertentu, pepton dan asam amino yang saling berinteraksi
menciptakan aroma yang khas, sehingga dengan semakin banyaknya
enzim papain yang ditambahkan maka aroma amis dari ikan akan
tertutupi/ terkaburkan. Tidak sesuainya hasil praktikum dengan
teori yang ada ini bisa terjadi karena kurang meratanya pemberian
enzim ke permukaan limbah ikan atau karena cairan enzim terendapkan
di partikel garam yang tercapur dengan limbah sehingga enzim tidak
dapat berpenetrasi ke dalam pori limbah ikan.
Jiang et al., (2008) mengatakan bahwa kecap ikan memiliki aroma
yang khas yaitu campuran dari aroma ammoniacal, cheesy, dan meaty,
dimana aroma ini diperoleh dari hidrolisa protein dan oksidasi
lemak. Aroma amoniak ini berasal dari amonia, amina, dan basa
nitrogen yang lain. Untuk aroma cheesy pada kecap ikan berasal dari
asam lemak yang memiliki berat molekul rendah. Sedangkan pada aroma
meaty diperoleh dari senyawa yang lebih kompleks, yaitu melaui
prekursor oksidasi atmosfer pada kecap ikan. Untuk mengidentifikasi
kecap ikan dapat dilakukan analisa menggunakan GC-MS (Gas
Chromatography Mass Spectrometry). Analisa ini menunjukkan bahwa
terdapat 70 senyawa volatil yang diindentifikasi dari 2 jenis kecap
ikan. Beberapa diantaranya adalah 4 karbonil, 14 hidrokarbon, 14
komponen yang mengandung nitrogen, 20 asam, 3 komponen yang
mengandung sulfur, 8 ester, 3 komponen fenolik, dan 4 furan.
Diantara beberapa senyawa volatil tersebut, dimetil sulfida,
dimetil trisulfida, 3-(metiltio)-propanol, 2 asam metilpropanoat,
asam butanoat, 2 metil asam butanoat, dan 2 metilbutenal merupakan
komponen yang paling berpengaruh pada aroma kecap ikan.
2.6. Hasil Uji Sensori & Salinitas Kecap IkanDari data hasil
pengamatan dapat dilihat, bahwa setiap kelompok membuat kecap ikan
yang diberi perlakuan penambahan enzim papain dengan konsentrasi
yang berbeda-beda yaitu 0,4, 0,8%, 1,2%, 1,6%, 2% dan 2,5%. Pada
kelompok E1 dengan penambahan enzim papain 0,4% kadar garamnya
3,70%. Pada kelompok E2 dengan penambahan enzim papain 0,8 % kadar
garamnya 3,50%. Pada kelompok E3 dengan penambahan enzim papain 1,2
% kadar garamnya 3,40%. Pada kelompok E4 dengan penambahan enzim
papain 1,6 % kadar garamnya 3,50%. Pada kelompok E5 dengan
penambahan enzim papain 2 % kadar garamnya 3,30%. Pada kelompok E6
dengan penambahan enzim papain 2,5 % kadar garamnya 4,20%. Kadar
garam yang dihasilkan tiap kelompok berbeda. Dari kelompok E1 E6
dapat dilihat kadar garamnya antara 3,30% sampai 4,20%. Dimana
kadar garam tertinggi ada pada kelompok E6 sebesar 4,20% dengan
penambahan enzim papain 2,5%. Tujuan penambahan garam yaitu untuk
fermentasi ikan, sesuai dengan teori Astawan & Astawan (1988)
yang mengatakan bahwa kecap ikan diperoleh melalui proses
fermentasi dengan garam. Selain itu, tujuan penambahan garam yaitu
untuk menjaga agar mikroba halofilik yang menghasilkan senyawa
flavor seperti Saccharomyces, Pediococcus dan Torulopsis dapat
berkembang dan menghasilkan flavor. Selain itu menurut Desroiser
(1977), garam yang ditambahkan dapat berfungsi sebagai pemberi rasa
asin, memberi efek pengawetan dan menguatkan rasa. Penambahan garam
dengan dosis tinggi dapat memberi efek pengawetan karena garam juga
mampu untuk menurunkan Aw (water activity), menurunkan kelarutan
oksigen serta mengganggu keseimbangan ionik sel mikroorganisme
karena terjadi peningkatan proton dalam sel.
Jurnal dengan judul Application of Irradiation as Pretreatment
Method in the Production of Fermented Fish Paste mengatakan bahwa
pasta ikan yang difermentasi adalah sumber protein yang bagus bagi
tubuh manusia dan selain itu memiliki nilai ekonomis yang
terjangkau. 2 spesies ikan yang digunakan dalam uji coba ini adalah
dilis dan galunggong, yang akan diiradiasi sebagai perlakuan
pendahuluan untuk memproduksi bagoong isda.
Jurnal Biochemical Properties and Consumer Acceptance of Pacific
Whiting Fish Sauce mengatakan aspek biokimia dari kecap ikan dapat
dibuat dari Pacific Whiting dan produk suriminya. Dari uji coba
yang dilakukan kecap ikan dari Pacific Whiting secara sukses dapat
mengganti kecap ikan dari ikan teri import.
Jurnal Effective removal of heavy metal in some fish sauce
products by tannin treatment mengatakan bahwa beberapa kecap ikan
memiliki kandungan logam berat didalamnya yaitu As, Hg, Cd dan Pb.
Kandungan logam berat yang ada tidak dalam jumlah yang membahayakan
bagi manusia. Dalam uji yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi
kandungan logam berat yang ada dengan cara tannin. Metodenya dengan
menambahkan 0,1% (w/v) tannin ke dalam kecap ikan setelah itu
disentrifugasi agar menghasilkan presipitat. Konsentrasi Cd (0,39
mg/100 ml) yang terdapat didalam kecap ikan akan menurun menjadi
0,03 mg/ 100 ml dengan menggunakan perlakuan tannin ini. Jurnal
dengan judul Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha
melastoma for fish sauce production membahas tentang tipe ikan yang
sangat mempengaruhi dari sifat fisikokimia pada produk kecap ikan.
Kecap ikan yang terbuat dari Ilisha melastoma memiliki sifat
biokimia yang berupa kandungan protein yang cukup tinggi selain itu
akan menjadikan kecap ikan dengan kualitas yang baik. Selain itu
penggunaan Valamugil seheli bisa dijadikan cara atau bahan
alternatif pembuatan kecap ikan dengan yield cair yang lebih
tinggi.
Jurnal Fish Sauce from Capelin (Mallotus villosus): Contribution
of Cathepsin C to the Fermentation , menyimpulkan bahwa kualitas
kecap ikan bisa didapatkan ketika pada proses pembuatan berlangsung
menggunakan bahan capelin jantan dan ketika proses fermentasi
pembuatan kecap dibantu dengan squid hepatopancreas tissue.4. 5. 6.
KESIMPULAN
Kecap ikan merupakan produk hasil hidrolisa ikan (baik secara
fermentasi/garam, enzimatis maupun kimiawi) yang berbetuk cair dan
berwarna coklat jernih. Enzim papain yang digunakan dalam praktikum
kali ini, dengan konsentrasi yang berbeda-beda yaitu 0,4%; 0,8% ;
1,2%; 1,6%; 2,0% dan 2,6% dari berat hancuran ikan. Proses
pembuatan kecap ikan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
cara fermentasi menggunakan garam dan secara enzimatis. Metode yang
digunakan dalam pembuatan kecap ikan saat praktikum ini adalah
metode enzimatis dengan menggunakan enzim papain. Dalam pembuatan
kecap ikan ini digunakan bagian ikan yang berasal dari limbah filet
ikan bawal, seperti tulang dan ekor. Enzim papain berfungsi untuk
menghidrolisis protein, dimana enzim ini memiliki kemampuan untuk
memecah ikatan peptida pada suatu subtrat dibawah kondisi yang
memungkinkan dan peristiwa ini disebut dengan aktivitas
proteolitik. Penutupan secara kencang dilakukan agar dapat
mengkondisikan lingkungan anaerob, sehingga proses fermentasi dapat
berlangsung, serta dapat mencegah terjadinya kontaminan masuk.
Penghancuran bahan dapat menyebabkan permukaan bahan menjadi
semakin luas dan rasio luas permukaan terhadap volume bahan akan
semakin tinggi, sehingga dapat menyebabkan pelepasan komponen
flavor akan semakin tinggi. Penambahan air dilakukan untuk
mengencerkan bagian ikan yang telah dicampur dengan garam dan enzim
papain. Penambahan enzim dapat menyebabkan proses fermentasi
berjalan dengan cepat dan optimal, sehingga cairan yang merupakan
bahan dasar pembuatan kecap ikan ini tersebut diperoleh dalam
jumlah yang banyak. Bawang putih dilakukan agar dapat memberikan
aroma dan cita rasa, serta dapat memberikan daya awet pada ikan
kecap. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan filtrat dari ampas
limbah ikan kakap merah. Penambahan garam dalam pembuatan kecap
ikan ini dilakukan untuk memberikan rasa asin, menguatkan rasa, dan
memberikan efek pengawetan. Enzim papain dapat menyebabkan
terbentuknya aroma yang semakin kuat dan rasa yang semakin khas,
serta warna yang semakin gelap. Warna coklat yang terbentuk pada
kecap ikan disebabkan oleh adanya reaksi browning selama proses
pemasakan. Selama proses fermentasi kecap ikan terjadi peningkatan
derajat brix, peningkatan intensitas warna kecap ikan (menjadi
semakin coklat), dan peningkatan kandungan nitrogen total. Semakin
banyak enzim papain yang ditambahkan, maka semakin banyak protein
yang terurai sehingga terbentuk larutan warna kecap yang pekat,
rasa yang semakin kuat, dan aroma semakin tajam. Komponen aroma dan
flavor dalam kecap ditentukan oleh komponen nitrogen pendukung,
seperti kadaverin, putresin, arginin, histidin, dan amonia. Tajam
atau tidaknya aroma dari kecap ikan ini dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu adanya komponen pembentuk flavor yang dihasilkan pada
saat proses hidrolisis ikan oleh enzim protease dan penambahan
berbagai bumbu.
Semarang, 21 September 2015 Asisten Dosen: Yuni Rusiana
Tirta Candra Ajiwiguna12.70.01377. DAFTAR PUSTAKA
Afiza, T, Lim Y, Muhammad A, A. G. Liong, Rosma A and Wan N.
(2011). Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma
for fish sauce production. Asian Journal of Food and Agro-Industry
(04): 247-254.
Afrianto, E. Dan Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan
Ikan, Kanisius. Yogyakarta.
Astawan, M. & M. W. Astawan. ( 1991 ). Teknologi Pengolahan
Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo.
Bogor.
Astawan, M. & M. W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan
Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pessindo. Bandung.
Desrosier, N. W. and Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan
Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Deswati & Armaini. (2004). Pemanfaatan Ikan Bernilai
Ekonomis Rendah untuk Pembuatan Kecap Ikan di Tempat Pelelangan
Ikan Gaung Kecamatan Lubuk Begalung Kota Padang. Warta Pengabdian
Andalas Volume XVI Nomor 24 Juni 2010.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius.
Yogyakarta.
Hjalmarsson, Gustaf Helgi, Jae W. Park, & Kristbergsson.
(2005). Seasonal Effects on The Physicochemical characteristics of
Fish Sauce Made From Capelin (Mallotus villous). Food Chemistry 103
(2007) 495-504. doi:10.1016/j.foodchem.2006.08.029.
http://www.elsevier.com/locate/foodchem.
Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia
Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and
Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.
Lisdiana & W.Soemadi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan
Pemasaran. CV Aneka. Solo.
Mojica, E, Alejandro Q, Maria E, Chito P, Maria L dan Custer C.
(2005). Application of Irradiation as Pretreatment Method in the
Production of Fermented Fish Paste. Journal of Applied Sciences
Research (1): 90-94.
Nybakken, W.J. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan
Ekologis.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Prihatman, K. (2000). Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Pedesaan, Bappenas. Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan
dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. TTG BUDIDAYA
PERIKANAN. http://www.ristek.go.id
Raksakulthai, N and Norman F. H. (2008). Fish Suce from Capelin
(Mallotus villosus): Contribution of Cathepsin C to the
Fermentation.
Sasaki, T, T. Michibata, S. Nakamura, T. Enomoto dan T.
Koyanagi. (2009). Effective removal of heavy metal in some fish
sauce products by tannin treatment.
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi
Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
Tungkawaghara, S, J. W. Park dan Y. J. Choi. (2012). Biochemical
Properties and Consumer Acceptance of Pacific Whiting Fish
Sauce.
Wibisono, M.S. 2004. Pengantar Ilmu Kelautan. PPPTMGB
LEMIGAS.
Winarno, F.G. (1995). Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.
8. 9. LAMPIRAN
9.1. Foto Kecap Ikan
9.2. Perhitungan %o Salinitas =
Kelompok E1%o Salinitas = = 3,7%Kelompok E2%o Salinitas = =
3,5%Kelompok E3%o Salinitas = = 3,4%Kelompok E4%o Salinitas = =
3,5%Kelompok E5%o Salinitas = = 3,3%Kelompok E6%o Salinitas = =
4,2%
9.3. Laporan Sementara (terlampir)