Top Banner
DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97 1 BAB I 1.1 PNEUMONIA 1.1.1 Batasan Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur, atau benda asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch) (Setiawati et al., 2008). 1.1.2 Etiologi Etiologi pneumonia berdasarkan golongan umur di negara berkembang Umur Organisme yang dominan muncul** 0 1 bulan Group B streptococcus Gram negative organisms Chlamydia trachomatis Listeria monocytogenes 1 24 bulan Respiratory syncytial virus (RSV) and other viruses Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae (non typeable) Bordetella pertussis 2 5 tahun Respiratory syncytial viruses (RSV) and other viruses Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae (non typeable) 6 18 tahun Mycoplasma pneumoniae Chlamydia pneumoniae Streptococcus pneumoniae accounts for up to 30% Respiratory viruses account for < 15% of episodes **Staphylococcus aureus adalah patogen yang dapat menginfeksi pneumonia secara serius di segala golongan umur. (Drs.Best et al, 2010)
129

Laporan Kasus Pkp Rs Maria

Dec 26, 2015

Download

Documents

rtrhfg bgrjn vc dfagbfg Presentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word VersionPresentasi Metode Survei Word Version
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

1

BAB I

1.1 PNEUMONIA

1.1.1 Batasan

Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan

oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur, atau benda

asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi

dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch) (Setiawati et al., 2008).

1.1.2 Etiologi

Etiologi pneumonia berdasarkan golongan umur di negara berkembang

Umur Organisme yang dominan muncul**

0 – 1 bulan Group B streptococcus

Gram negative organisms

Chlamydia trachomatis

Listeria monocytogenes

1 – 24 bulan Respiratory syncytial virus (RSV) and other viruses †

Streptococcus pneumoniae

Haemophilus influenzae (non typeable)

Bordetella pertussis

2 – 5 tahun Respiratory syncytial viruses (RSV)

and other viruses †

Streptococcus pneumoniae

Haemophilus influenzae (non typeable)

6 – 18 tahun Mycoplasma pneumoniae

Chlamydia pneumoniae

Streptococcus pneumoniae accounts for up to 30%

Respiratory viruses account for < 15% of episodes

**Staphylococcus aureus adalah patogen yang dapat menginfeksi pneumonia

secara serius di segala golongan umur.

(Drs.Best et al, 2010)

Page 2: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

2

Bakteri penyebab pneumonia dan pilihan penggunaan antibiotika pada

pneumonia adalah sebagai berikut (Setiawati et al., 2008) :

Umur Penyebab Pilihan Antibiotika

Rawat Inap Rawat Jalan

< 3

bulan

Enterobacteriaceae

(E. Colli,

Klebsiella,

Enterobacter)

Streptococcus

pneumonia

Streptococcus

group B

Staphylococcus

Cloxacillin i.v dan

dan aminoglikosida

(gentamicin,

netromicin,

amikacin) i.v/i.m

atau

Ampicillin i.v dan

aminoglikosida atau

Cephalosporin

generasi III i.v

(cefotaxime,

ceftriaxone,

ceftazidime,

cefuroxime) atau

Meropenem i.v dan

aminoglikosida

i.v/i.m

-

3 bulan

5 tahun

Streptococcus

pneumonia

Staphylococcus

H. influenza

Ampicillin i.v dan

chloramphenicol i.v

atau

Ampicillin dan

cloxacillin i.v atau

Cephalosporin

generasi III i.v

(cefotaxime,

Amoxicillin atau

Cloxacillin atau

Co-amoxiclav atau

Erythromycin atau

Clarithromycin

atau

Azithromycin atau

Page 3: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

3

ceftriaxone,

ceftazidime,

cefuroxime) atau

Meropenem i.v dan

aminoglikosida

i.v/i.m

Cephalosporin oral

(Cefixime,

cefaclor).

> 5 tahun

Streptococcus

pneumonia

Mycoplasma

pneumonia

Ampicillin i.v atau

Erythromycin p.o

atau

Clarithromycin p.o

atau

Azithromycin atau

Cotrimoxazol p.o

atau

Cephalosporin

generasi III

Amoxycillin atau

Erythromycin p.o

atau

Clarithromycin p.o

atau

Azithromycin p.o

atau

Cotrimoxazol p.o

atau

Cephalosporin oral

(Cefixime,

cefaclor).

Pada pasien yang sehat dan tidak mempunyai penyakit penyerta,

pneumonia dapat disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Mycoplasma

pneumonia, Haemophilus influenza, Chlamydia pneumonia, dan virus pernafasan

(Influenza A dan B, adenovirus, respiratory syncytial virus, dan parainfluenza

(Gelone and O’Donnell, 2009).

1.1.3 Patofisiologi

Mikroorganisme mencapai saluran pernapasan bawah melalui tiga rute:

dapat melalui inhalasi sebagai partikel aerosol, dapat melalui aliran darah dari

tempat infeksi di luar paru, atau aspirasi dari oropharingeal. Infeksi virus pada

paru menekan aktivitas pembersihan/pengeluaran bakteri paru dengan cara

memperlemah fungsi makrofag alveol dan pembersihan oleh sel mukosiliari,

sehingga menyebabkan tahapan infeksi sekunder.

Page 4: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

4

Mayoritas kasus pneumonia yang didapat di masyarakat oleh dewasa sehat

karena S. pneumoniae (pneumococcus) atau M. pneumoniae (70% dan 10-20%

dari semua pneumonia bakterial akut di AS, berturutan).

Basil gram negatif aerobik dan S. aureus juga menjadi penyebab utama

pada pneumonia yang didapat di rumah sakit. Bakteri anaerob adalah agen

etiologi paling umum setelah aspirasi kandungan gastrik atau orofarink.

Pada kelompok usia anak, kebanyakan pneumonia terjadi karena virus,

terutama virus syncytial pernafasan, parainfluenza, dan adenovirus.

Pneumococcus adalah bakteri penyebab paling umum (Dipiro et al, 2009)

1.1.4 Manifestasi klinis

Demam yang meningkat tajam, batuk produktif sputum berwarna atau

berdarah, nyeri dada, takikardia, takipnea.

Radiografi: khas infiltrat segmental atau lobar yang padat.

Laboratorium: Leukositosis terutama sel PMN, O2 arteri rendah.

Infeksi L. Pneumophila ditandai dengan gangguan multisistem termasuk

perkembangan cepat penyakit. Onset berjenjang dengan gejala utama malaise,

letargi, lemah, anoreksia pada awalnya. Batuk kering tidak produktif. Beberapa

hari kemudian menjadi batuk produktif dengan sputum purulent. Nyeri dada

dan progesif dispnea.

Gejala ekstrapulmonal: diare, mual, mialgia, atralgia, perubahan mental selaras

dengan perjalanan penyakit. Halusinasi, grand mal, seizures

Laboratorium: Lekositosis (Dipiro et al, 2009)

1.1.5 Penatalaksanaan

1. Indikasi MRS :

a. Ada kesukaran nafas

b. Sianosis

c. Usia < 6 bulan

d. Ada penyulit, misalnya muntah-muntah, dehidrasi, empiema

e. Di duga infeksi Staphylococcus

f. Immunocompromise

Page 5: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

5

g. Perawatan di rumah kurang baik

h. Tidak respon dengan pemberian antibiotika oral

2. Pemberian oksigenasi : dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor

dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi

mekanik.

3. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu cairan parenteral). Jumlah

cairan sesuai berat badan, peningkatan suhu dan status hidrasi.

4. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui selang

nasogastrik.

5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan normal saline.

6. Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi.

7. Pemilihan antibiotika berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan dugaan

penyebab. Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila tidak ada

perbaikan klinis dilakukan penggantian antibiotika sampai pasien dinyatakan

sembuh. Lama pemberian antibiotika tergantung : kemajuan klinis pasien, hasil

laboratoris, foto toraks dan jenis kuman penyebab:

Staphylococcus : perlu 6 minggu parenteral

Haemophylus influenza / Streptococcus pneumonia : cukup 10-14 hari

Pada kondisi immunocompromise (gizi buruk, penyakit jantung bawaan,

gangguan neuromuscular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka

panjang, fibrosis kistik, infeksi HIV), pemberian antibiotik harus segera

dimulai saat tanda awal pneumonia dengan pilihan antibiotika : cephalosporin

generasi III.

Dapat dipertimbangkan juga pemberian :

Cotrimoxazole pada Pneumonia Pneumocystic Carinii

Anti viral (acyclovir, gancyclovir) pada pneumonia karena Cyto Megalo

Virus (CMV)

Anti jamur (amphotericin B, ketoconazole, fluconazole) pada pneumonia

karena jamur

Imunoglobulin

(Setiawati et al., 2008).

Page 6: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

6

1. 2 DIARE AKUT

1.2.1 Batasan

Diare akut dimulai secara tiba- tiba dan dapat berlanjut selama beberapa

hari (3-5 hari) dan kurang dari 14 hari, hal itu disebabkan oleh infeksi usus

(WHO, 2005)

1.2.2 Patofisiologi dan Patogenesis

Ketidakseimbangan pengangkutan air dan elektrolit berperan penting pada

patogenesis diare, terjadi perubahan absorbsi dan sekresi cairan dan elektrolit,

yang dapat memperparah dehidrasi. Peningkatan pengeluaran cairan dapat terjadi

oleh karena:

Sekresi meningkat (secretory diarrhea), pada diare infeksi

Tekanan osmotik oleh karena bahan-bahan dalam lumen usus

Motilitas usus meningkat

(Fardah, A., et al, 2008)

1.2.3 Etiologi

Penyebab diare antara lain :

1. Infeksi bakteri : Diarrheagenic Escherichia coli, Campylobacter jejuni,

Vibrio cholerae, V. cholerae, Shigella species, V. parahaemolyticus,

Bacteroides fragilis, C. Coli, C. Upsaliensis, Nontyphoidal Salmonellae,

Clostridium difficile, Yersinia enterocolitica,Y. Pseudotuberculosis

2. Infeksi virus : Rotavirus, Norovirus (calicivirus), Adenovirus (serotype

40/41), Astrovirus, Cytomegalovirus

3. Infeksi Parasit : Cryptosporidium parvum, Giardia intestinalis,

Microsporida, Entamoeba histolytica, Isospora belli, Cyclospora

cayetanensis, Dientamoeba fragilis, Blastocystis hominis

(World Gastroenterology Organisation, 2012)

1.2.4 Penatalaksanaan

Resusitasi cairan dan elektrolit sesuai derajat dehidrasi dan kehilangan

elektrolitnya. Dehidrasi dalam diare dibagi menjadi tiga yaitu diare tanpa

Page 7: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

7

dehidrasi, diare dengan dehidrasi ringan/sedang, dan diare dengan dehidrasi berat

(DepKesRI,2011)

Klasifikasi tanda – tanda dehidrasi

Gejala /

derajat

dehidrasi

Diare tanpa

dehidrasi

Diare

dehidrasi

ringan/sedang

Diare dehidrasi

berat

Bila terdapat dua

tanda atau lebih

Bila terdapat

dua tanda atau

lebih

Bila terdapat dua

tanda atau lebih

Keadaan

Umum

Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu,

lunglai/tidak

sadar

Mata Tidak cekung Cekung Cekung

Keinginan

untuk minum

Normal, tidak

ada rasa haus

Ingin minum

terus, ada rasa

haus

Malas minum

Turgor

Kembali segera Kembali

lambat

Kembali sangat

lambat

Rencana

Terapi

A B C

(DepKesRI,2011)

1. Rencana Terapi A

a. Beri cairan lebih banyak dari biasanya

Teruskan ASI lebih sering dan lebih lama.

Anak yang mendapatkan ASI eksklusif, berikan oralit atau air matang

sebagai tambahan

Anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, beri susu yang biasa

diminum dan oralit atau cairan rumah tangga sebagai tambahan (kuah,

sayur, air matang,dsb)

Berikan oralit sampai diare berhenti. Bila muntah, tunggu 10 menit dan

dilanjutkan sedikit demi sedikit.

Umur < 1 tahun diberi 500-100 ml setiap kali berak

Page 8: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

8

Umur > 1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali berak.

b. Anak harus diberi 6 bungkus oral (200 ml) dirumah bila telah diobati

dengan rencana B/C, atau tidak dapat kembali kepada petugas

kesehatan jika diare memburuk.

c. Beri obat Zinc

Beri Zinc 10 hari bertrut-turut walaupun diare sudah berhenti. Dapat

dibiarkan dengan cara dikunyah atau dilarutkan dalam 1 sendok air

matang atau ASI.

Umur < 6 bulan diberi 10 mg (1/2 tablet) perhari.

Umur > 6 bulan diberi 20 mg (1 tablet) per hari.

(DepKesRI,2011)

2. Rencana Terapi B

a. Diberikan oralit 75 ml x berat badan anak

Bila BB tidak diketahui diberikan oralit sesuai tabel :

Umur sampai 4 bulan 4 – 12 bulan 12 – 24 bulan 2 – 5 tahun

Berat Badan < 6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg

Jumlah

cairan

200-400 400-700 700-900 900-1400

b. Bila anak menginginkan lebih banyak oralit, berikanlah.

c. Bujuk ibu untuk meneruskan ASI

d. Untuk bayi < 6 bulan tidak mendapat ASI berikan juga 100-200 ml air

masak selama masa diare dan dehidrasi.

e. Untuk anak > 6 bulan, tunda pemberan makan selama 3 jam kecuali

ASI dan oralit.

f. Beri obat Zinc selama 10 hari berturut-turut.

(DepKesRI,2011)

Page 9: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

9

3. Rencana Terapi C

a. Beri cairan intravena Ringer Laktat atau NaCl 0,9% (bila RL tidak

tersedia) 100 ml/kg BB dibagi sebagai berikut :

UMUR Pemberian I 30 ml/kg

BB

Kemudian 70 ml/kg

BB

Bayi < 1 tahun I jam* 5 jam

Anak ≥ 1 tahun 30 menit* 2 ½ jam

*diulangi lagi bila denyut nadi masih lemah atau tidak teraba

b. Nilai kembali tiap 15-30menit. Bila nadi belum teraba, beri tetesan

lebih cepat.

c. Beri oralit (5 ml/kg/jam), bila penderita bisa minum; biasanya

setelah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak).

d. Berikan obat Zinc selama 10 hari berturut-turut

(DepKesRI,2011)

Page 10: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

10

1.3 Ensefalitis

1.3.1 Batasan

Ensefalitis merupakan infeksi virus pada parenkim otak yang ditandai

dengan gangguan akut pada status kesadaran. Ensefalitis lebih sering menginfeksi

anak-anak dan dewasa muda (Simon, R. P., 2009).

1.3.2 Etiologi

Virus penyebab ensefalitis, meliputi: Measles, Varicella, Mumps, Rubella,

Alphaviruses, Flaxiviruses, Bunyaviruses, Orbiviruses, Herpes Simplex (Type 1),

Herpes Simplex (Type 2), Rabies (Simon, R. P., 2009).

1.3.3 Patofisiologi

Infeksi virus dapat mempengaruhi fungsi CNS melalui 3 cara, yaitu:

penyebaran melalui darah dari infeksi virus sistemik (arthropod-borne viruses);

penyebaran lewat saraf dari transport akson (herpes simplex, rabies) dan

demielinasi autoimun post infeksi (varicella, influenza). Perubahan patologis dari

ensefalitis ditandai oleh adanya perivascular cuffing, infiltrasi limfosit, dan

proliferasi mikroglial yang melibatkan area gray matter subkortikal. Di samping

itu, sering terjadi inklusi intranuklear atau intrasitoplasmik (Simon, R. P., 2009).

1.3.4 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik dari ensefalitis, diantaranya demam, sakit kepala, kaku

leher, fotofobia, nyeri dengan pergerakan mata, gangguan kesadaran ringan.

Infeksi virus sistemik dapat juga menyebabkan skin rash, faringitis, limfadenopati,

pleuritis, carditis, jaundice, diare. Karena ensefalitis virus menyerang otak secra

langsung, maka akan terjadi gangguan kesadaran, kejang, dan gangguan

neurologis fokal (Simon, R. P., 2009).

Page 11: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

11

1.4 Down Syndrome

1.4.1 Batasan

Sindrom Down nerupakan kelainan genetik yang dikenal sebagi trisomi,

karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu

kromosom. Mereka mempunya 3 kromosom 21 dimana orang normal hanya

memiliki dua saja. Kelebihan kromosom ini akan mengubah keseimbangan

genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik dan kemampuan

intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh (National Down Syndrom

Society, 2007).

1.4.2 Faktor Resiko

Resiko untuk mendapatkan bayi dengan sindrom down didapatkan

meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang

hamil pada usia diatas 35 tahun. Walau bagaimanapun, wanita yang hamil pada

usia muda tidak bebas resiko mendapatkan bayi dengan sindrom down.

Kemungkinan mendapatkan bayi dengan sindrom down meningkat apabila wanita

yang hamil pernah mendapatkan bayi dengan sindrom down, dan atau jika adanya

anggota keluarga terdekat yang memiliki kondisi yang sama (National Down

Syndrom Society, 2007).

1.4.3 Patofisiologi

Kromosom 21 yang lebih akan memberikan efek kesemua sistem organ

dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat

menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses hidup

yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan menurunkansurvival prenatal

dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postprenatal. Anak – anak yang

terkena biasanya mengalami keterlambatan pertmbuhan fisik, matrasi,

pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat. Selain itu penderita

sindrom down memiliki tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental,

struktur fasial yang khas, anomali pada ekstremtas atas, dan penyakit jantung

kongenital. Abnormalitas fungsi fidiologis dapat memperngaruhi metabolisme

throid dan malabsorbsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari

Page 12: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

12

sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi dikondisi autoimun,

termasuk hipothiroidism dan penyakit Hashimoto (National Down Syndrom

Society, 2007).

1.4.4 Manifestasi Klinik

Fisikal pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek,

tubuh seingkali gemuk dan tergolong obesitas. Retardasi mental yang ringan

hingga berat dapat terjadi. IQ (intelegent quatio) mereka seing berada antara 20 –

85 dengan rata – rata 50. Mereka sering mendapat gangguan artikulasi. Penderita

sindrom Down mempunyai sikap yang spontan, ceria, cermat, sabar dan

bertoleransi. Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur,

hipogonadism, katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungan dengan

hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang, neoplasma,

penyakit vaskular degenaratif, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu, pikun,

demetia, dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada orang-orang lanjut usia.

Penderita sindorom Down seing menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi

yang rata, occipital yang agak lurus, fontela yang besar dengan perlekatan tulang

tengkorak yang lambat, tidak mempunyai sinus frontal dan spnenoid serta

hipoplasia pada sinus maksilaris.

Mata pasien sindrom down seperti tertarik ke atas, memiliki hidung yang

rata, apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, pernafasan yang

disertai air liur, bibir bawah yang merekah, gigi yang tidak terbentuk dengan

sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat, seringkali menderita otitis media dan

kehilangan pendengaran. Penderita sindrom Down mempunyai resiko tinggi

mendapkan leukimia, penyakit jantung kongenital, memiliki resiko 12 kali lebih

tinggi dibandingkan orang normal untuk mendapatkan infeksi karena mereka

mempunyai respon imun yang rendah, contohnya mereka rentan mendapat

pneumonia (National Down Syndrom Society, 2007).

Page 13: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

13

BAB II

FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN

LAPORAN KASUS

Inisial Pasien : An. RD Berat Badan : 8,1 kg

Umur : 9 bulan Tinggi Badan : 72 cm

Keluhan Utama : Diare

Diagnosis : Pneumonia + Diare Akut Dehidrasi Ringan-Sedang

Alasan MRS : Diare ± 10 kali perhari sejak pagi sebelum masuk rumah

sakit, muntah 4-5 kali perhari , panas, kejang di rumah sakit Bakti Dharma

Husada selama 5 menit dan selama perjalanan ke Rumah Sakit Dr. Soetomo,

setelah kejang pasien sadar, batuk, sesak, dan menangis.

Riwayat Penyakit : Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya

Riwayat Pengobatan :1 hari sebelum MRS pasien dibawa ke bidan dan

diberikan antibiotik dan antipiretik dalam bentuk puyer,

tetapi tidak diketahui nama obatnya dan kemudian

dibuang oleh orang tua pasien sesampainya di RS Dr.

Soetomo.

Alergi : -

Kepatuhan - Obat Tradisional -

Merokok - OTC -

alkohol - Lain-lain -

Page 14: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

14

Catatan Perkembangan Pasien

Tanggal Problem/ Kejadian/Tindakan Klinisi

18/9/2013 Pasien masuk ke IRD rumah sakit dr. Soetomo atas rujukan

dari rumah sakit Bakti Darma Husada dengan penumonia

dan diare akut dehidrasi ringan sedang. Kondisi umum

lemah, mencret > 10x/hari sejak pagi, awalnya muntah 4-

5x/hari, panas, kejang 2x di rumah sakit Bakti Darma

Husada ± 5 menit & pada perjalanan ke rumah sakit

dr.Soetomo. Setelah kejang anak sadar dengan

menangis,batuk tidak berdahak, dan sesak.

Suhu 37,5°C , Nadi 148 x/menit, RR 30 x/menit.

Pasien terbaring di tempat tidur, badan panas dan mencret ±

6x selama diruangan. Feses berbentuk ampas.

Kondisi umum lemas, nadi 140 x/menit, RR 32 x/menit,

suhu tubuh 37,9 °C, dan sesak nafas.

Diberikan infus KAEN 3B 800 cc/24 jam, Injeksi vitamin A

100.000 IU IM, Probiotik 2x1 sachet, Zink 1x20 mg, Injeksi

Ceftriakson 2x400 mg IV, Nebul PZ 3 cc + suction+ chest

fisioterapi 4-6x/hari.

Pasien dipindahkan ke ruang gastro anak pada tanggal

18/9/2013 jam 09.00 WIB.

19/9/2013 Kondisi pasien membaik namun masih lemah, suhu badan

masih tinggi, mencret 2x dalam sehari.

Nadi 124 x/menit, suhu tubuh 38 °C, RR 28x/menit.

Pasien mendapatkan terapi Infus KAEN 3B 800 cc/24 jam

untuk mengatasi dehidrasi ringan-sedang akibat diare

Probiotik 1x1 sachet dan Zink 1x20 mg sebagai terapi

diare.Injeksi Diazepam 2,5 mg iv apabila pasien kejang

namun pasien tidak mengalami kejang, Injeksi Ceftriakson 2

x 400 mg iv sebagai antibiotik untuk pneumonia pada

pasien.

20/9/2013 Kondisi umum pasien cukup baik, suhu badan relatif tinggi,

Page 15: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

15

batuk dan sesak. Pasien masih mendapatkan terapi yang

sama dengan sebelumnya, namun ditambahkan Nebul

suction 4x/hari dan O2 nasal 2 lpm untuk mengatasi batuk

dan sesak pada pasien.

21/9/2013 Kondisi pasien lemah, BAB lembek seperti bubur. Terapi

tetap .

24/9/2013 Kondisi umm pasien cukup baik. Infus KAEN 3B, probiotik

dan zink dihentikan karena diare dan dehidrasi ringan-

sedang pasien sudah dapat terehidrasi. Terapi Nebul PZ dan

O2 nasal 2lpm dihentikan karena pasien sudah tidak batuk

dan sesak.

Page 16: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

16

DOKUMEN FARMASI PENDERITA

No. RM : 12.27.45.77

Nama/Umur : An. RD/ 9 bulan

BB/TB/LPT :8,1 kg/72 cm/-

Alamat :Surabaya

Riwayat Alergi : -

Status : SKTM

Diagnosis :Pneumonia + Diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang +

suspect Ensefalitis + suspect Down Syndrome

Alasan MRS : Diare ± 10 kali perhari sejak pagi sebelum masuk rumah

sakit, muntah 4-5 kali perhari , panas, kejang di rumah sakit Bakti Dharma

Husada selama 5 menit dan selama perjalanan ke Rumah Sakit Dr. Soetomo,

setelah kejang pasien sadar, batuk, sesak, dan menangis.

Riwayat Penyakit : -

No JENIS OBAT Rute Regimen Dosis Tanggal Pemberian Obat

Nama Dagang/ Generik 18/9 19/9 20/9 21/9 22/9 23/9 24/9

1 Infus KAEN 3B Iv 800 cc/24 jam √ √ √ √ √ //

2 Vitamin A Im 100.000 IU √ //

3 Probiotik Po 2 x 1 sach √ // //

1 x 1 sach √ √ √ √ √ //

4 Zink Po 1 x 20 mg √ √ √ √ √ √ //

5 Ceftriaxone Iv 2 x 400 mg √ √ √ √ √ √ √

6 O2 nasal 2 lpm √ √ √ √ //

Page 17: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

17

Data Klinik

No DATA KLINIK

(yang penting)

Nilai Normal Tanggal

18/9 19/9 20/9 21/9 22/9 23/9 24/9

1 Suhu (º C) 37 ± 0,3 ºC 37,5 38 37 37 37,8 37,7 37

2 HR (x/menit) 89 - 151 x /menit 148 124 104 120 112 128 110

3 RR (x/menit) 25-30 x /menit 30 28 30 30 28 24 24

4 a/i/c/d -/-/-/- -/-/-/+ -/-/-/+ -/-/-/- -/-/-/- -/-/-/- -/-/-/+ -/-/-/-

5 KU/GCS Baik/456 Lemah/224 Lemah/456

6 Kejang - + - - - - - -

7 Mual/muntah -/- +/+ -/- -/- -/- -/- -/- -/-

8 Diare -- + + + + + - -

9 Batuk - + + + + + + +

10 Down Syndrome - + + + + + + +

11 Skala Nyeri 0 2 2 2 2 2 2 2

Komentar :

Pasien dirujuk oleh rumah sakit Bakti Dharma Husada ke rumah sakit dr. Soetomo, dalam perjalanan pasien mengalami kejang

selama 5 menit dan kondisi lemah.

Pasien mengalami diare < 10 x sehari pada tanggal 18/9/2013 menunjukkan bahwa pasien mengalami diare akut

Pasien mengalami mual, muntah dan diare pada tanggal 18/9/2013 memungkinkan pasien mengalami dehidrasi ringan-sedang.

Batuk dan sesak adalah diakibatkan gejala dari pneumonia pasien.

Pada tanggal 18/9/2013 dilakukan kultur dengan spesimen dahak dengan pengecatan tahan asam namun hasil negatif

Pada tanggal 19/9/2013 dilakukan kultur dengan spesimen dahak dan air kemih untuk mengetahui adanya bakteri aerob namun hasil

negatif.

Page 18: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

18

Data Laboratorium

No Data

Laboratorium

TANGGAL Komentar

normal 18/9 19/9 20/9 21/9

Pemeriksaan Darah

1 WBC (3,7-10,1 x 103 /ul) 14,9 7,36 Leukosit pasien 14.900 µl diikuti dengan peningkatan

suhu tubuh menunjukan adanya infeksi.

Nilai Hb dan ion Ca dibawah normal karena pasien

mengalami dehidrasi ringan akibat diare yang

dialaminya.

Terjadi penurunan nilai Natrium pada tanggal

19/9/2013. Hiponatremi dapat terjadi pada kondisi

hipovolemia. Hipovolemia dapat terjadi pada

penderita diare. Tanda klinik yang akut dari

penurunan elektrolit dalam tubuh adalah mual, lelah,

kram, gejala psikosis, seizures, dan koma.

2 RBC (3,6-4,69 x 106 /ul) 4,57 4,1

3 Hgb (10,8-18,0 g/dl) 12,5 10,75

4 Hct (37,7-53,7) 39,2 32,46

5 MCV (80,0-99,9 fL) 85,7

6 MCH (27,0-31,0 pg) 27,4

7 MCHC (31,8-37,0 g/dl) 31,4

8 Plt (150-450 x 103 /ul) 301 85,26

9 MPV (6,3-11,1 fL)

10 Net (50-73,7%)

11 Lymp (1,09-2,99%)

12 Mono (2-8%)

13 Eos (0,03-0,44)

14 Baso (0.00-1.7%)

15 GDA (40-121) 44

16 SGOT (15-37) 42

17 SGPT (00-45) 40

18 Albumin (3,4-5) 5,43

19 SrCr (0,6-1,3) 0,74

20 BUN (7-18mg/dl) 36,6

23 Na 136-145 144 132 127

24 K 3,5-5,1 4,7 4,6 3,9

25 Cl 98-107 118 108 100

Page 19: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

19

26 Ca 8,5-10,1 8,6 8,3

27 LED 3-30mm/jam

28 pH 7,35 – 7,45 7,2 7,45 7,46

29 PCO2 35-45 mmHg 18 17,8 31,0

30 PO2 80-107 mmHg 156 157,0

31 HCO3 21-25 mmHg 7 12,6 22,0

32 BE 1-3,5-2 mmol/L -21 -11,5 -1,8

Hasil Pemeriksaan lain :

Hasil RO : 18/9/2013 Bronchopneumonia, Penebalan hilus kanan

Hasil Kultur:

18/9/2013 Spesimen dahak, jenis kultur pengecatan tahan asam, hasil tidak ditemukan bentuk kuman batang tahan asam

19/9/2013 Spesimen air kemih, jenis kultur aerob, hasil tidak ada pertumbuhan kuman aerob

19/9/2013 Spesimen dahak, jenis kultur aerob, hasil tidak ada pertumbuhan kuman aerob

Page 20: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

20

Analisis Pengobatan

Tanggal

Pemberian

Jenis Obat Rute Dosis Frekuensi Indikasi

obat pada

pasien

Pemantauan

Kefarmasian

Komentar dan Alasan

18/9/2013 –

22/9/2013

Infus KAEN

3B

800 cc/24

jam

1 dd 1 Terapi

rehidrasi

Kadar Elektrolit Pemberian cairan dibutuhkan sebagai terapi

suportif guna menjaga keseimbangan cairan dan

elektrolit pasien (Palilingan, 2005). Pada pasien

diare, tidak hanya air yang hilang namun juga

beberapa elektrolit penting yang dibutuhkan tubuh

antara lain sodium, potasium dan bikarbonat.

Karena pada saat diare elektrolit yang akan hilang

dari tubuh adalah sekitar 10-90 mEq/L Na, 10-80

mEq/L Kalium, dan 10-110 mEq/L Cl. Sehingga

penatalaksanaan dehidrasi ringan/sedang disertai

muntah diberikan iv solution untuk

mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit

elektrolit yang hilang dengan total osmolaritas 245

mmol/L secara cepat pada pasien MRS (World

Gastroenterology Organisation, 2012).

KA-EN 3B adalah cairan fisiologis yang

mengandung Na 50 mEq, K 20 mEq, Cl 50 mEq,

Page 21: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

21

laktat 20 mEq, dan glukose 27 g tiap liter, untuk

mengganti cairan maupun elektrolit terutama

kalium yang hilang selama pasien mengalami diare

dan muntah , selain itu juga mengandung laktat dan

glukose yang cepat dimetabolisme sebagai suplai

energi diberikan selama 24 jam. Total omolaritas

pada infus KAEN 3B adalah 285 mmol/L (info

produk OTSUKA), yang diharapkan mampu

mencukupi kebutuhan elektrolit pasien.

18/9/2013 Vitamin A IM 100.000

IU

1 dd 1 Perbaikan

mukosa usus

Frekuensi BAB,

konsistensi tinja

Diare meningkatkan kebutuhan vitamin A pada

pasien karena vitamin A berperan penting dalam

mempertahankan integritas lapisan sel epitel saluran

pencernaan dan memperngaruhi sistem imun pada

pasien. Pemberian vitamin A pada pasien diare akut

diawal gejala penyakit diare adalah untuk

mengurangi durasi diare dengan mengurangi cedera

mukosa usus, dan meningkatkan perbaikan mukosa

usus. Dari beberapa penelitian RCT disebutkan

bahwa vitamin A tidak signifikan dalam menurangi

durasi diare namun efek menguntungkan terjadi

Page 22: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

22

pada pasien dengan defisiensi vitamin A dan

malnutrisi yang terkena diare. Kondisi malnutrisi

cenderung memperpanjang durasi diare (Dewan et

al, 1994). Rekomendasi pemberian vitamin A yang

dibutuhkan anak < 1 tahun adalah 400 µg dalam

sehari (World Gastroenterology Organisation,

2012)

18/9/2013 –

23/9/2013

Probiotik PO 2 x 1 sach

1 x 1 sach

2 dd 1 Untuk me-

normalkan

flora normal

usus pada

pasien dare

Frekuensi BAB Menurut WHO, probiotik mungkin bermanfaat

untuk AAD (Antibiotic Associated Diarrhea), tetapi

karena kurangnya bukti ilmiah dari studi yang

dilakukan pada kelompok masyarakat, maka WHO

belum merekomendasikan probiotik sebagai bagian

dari tatalaksanan pengobatan diare. Secara statistik

probiotik tidak memberikan efek signifikan untuk

traveller’s diare dan juga tidak memberikan efek

signifikan pada community-based diarrhea.

(DepKesRI, 2011; WHO, 2009)

Beberapa percobaan RCT yang dilakukan oleh the

American Academy of Pediatric menunjukkan

bahwa rotavirus merupakan salah satu penyebab

Page 23: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

23

infeksi diare, dan peran probiotik dalam mencegah

diare lemah, namun ada perbaikan dalam

pemberian Lactobacillus rhamnosus GG (LGG), L.

reuteri and L. Casei pada diare yang disebabkan

oleh rotavirus dibandingkan dengan diare akibat

infeksi bakteri/parasit. Dengan adanya vaksin

rotavirus, pemberian probiotik tidak

dipertimbangkan namun tidak dipungkiri bahwa

probiotik memiliki peran dalam keadaan khusus.

Sehingga the American Academy of Pediatric

menganjurkan pemberian LGG pada awal

terjadinya diare akut untuk mengurangi gejala,

keparahan, dan durasi dari diare (Ciorba, 2012)

18/9/2013 –

23/9/2013

Zink PO 1 x 20 mg 1 dd 1 Untuk

mengurangi

durasi dan

keparahan

diare

Frekuensi diare Pemberian zinc menggantikan zinc alami yang

hilang pada saat diare dan mempercepat

penyembuhan diare juga meningkatkan kekebalan

tubuh sehingga dapat mencegah resiko terulangnya

diare 2-3 bulan setelah anak sembuh. Zinc

dibutuhkan oleh berbagai organ tubuh dan dalam

fungsi imun. Jika diberikan kepada pasien dengan

Page 24: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

24

sistem imun yang belum berkembang baik (seperti

down syndrome), dapat meningkatkan kekebalan

tubuh dan melindungi anak dari infeksi, diare dan

pneumonia. Dosis yang diberikan untuk anak usia 9

bulan adalah 1 x 20 mg selama 10 hari . Pemberian

tetap diberikan meskipun diare sudah berhenti.

Pemberian zinc selama 10 hari terbukti

memperbaiki mucosa usus yang rusak dan

meningkatkan fungsi kekebalan tubuh secara

keseluruhan (DepKesRI, 2011 ; WHO, 2009)

18/9/2013 –

23/9/2013

Ceftriakson IV 2 x 400

mg

2 dd 1 Untuk

mengatasi

pneumonia

Keadaan umum,

tanda-tanda vital

(RR, nadi, TD),

suhu badan

Lab :

Leukosit, LED,

BUN, Kreatinin

Pasien dengan down syndrome lebih rentan

terinfeksi, terutama infeksi saluran pernafasan

seperti pneumonia karena sistem kekebalan tubuh

mereka belum berkembang dengan baik.

Pneumonia dapat menyerang berbagai macam usia

namun pada kondisi bayi, anak-anak, orang tua,

orang yang merokok dan orang- orang dengan

kondisi paru-paru ataupun memiliki sistem imun

yang lemah resiko terkena pneumonia meningkat

dan perlu dirawat dirumah sakit (National Health

Page 25: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

25

Service UK, 2013; CDC, 2013; National Down

Syndrom Society, 2007). Menurut Pedoman

Diagnosa dan Terapi RSUD Dr. Soetomo (2008),

pneumonia yang terjadi pada keadaan

imunokompromis seperti down syndrome harus

segera dimulai saat tanda awal pneumonia terjadi

pada pasien dengan pemberian antibiotik

Sefalosporin generasi III salah satunya adalah

Seftriakson.

20/9/2013 –

23/9/2013

O2 masker Nasal 2 lpm Untuk

mengatasi

sesak

Tanda vital

(nadi, RR),

sesak nafas,

BGA

Pemberian oksigen dilakukan sebagai terapi

suportif karena pasien menunjukkan gejala sesak

nafas. Suplai oksigen ini diharapkan dapat

mencegah hipoksia pada pasien (Palilingan et al,

2005)

Page 26: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

26

ASUHAN KEFARMASIAN Termasuk:

1. Masalah aktual & potensial terkait obat 3. Pemantauan efek obat 5. Pemilihan obat 7. Efek samping obat

2. Masalah obat jangka panjang 4. Kepatuhan penderita 6. Penghentian obat 8. Interaksi obat

OBAT*

PROBLEM

TINDAKAN (USULAN PADA KLINISI,

PERAWAT, PASIEN)

Zink Penatalaksanaan Diare Akut Dehidrasi

Ringan/Sedang Pelayanan Kesehatan Anak di

rumah Sakit oleh WHO (2009) mengatakan

bahwa Zink tablet diberikan selama 10 hari

berturut-turut, namun pada pasien hanya

diberikan selama 6 hari saja.

Direkomendasikan untuk melanjutkan terapi

Zink sampai 10 hari.

Vitamin A Pada tanggal 18/9 Pemberian vitamin A pada

pasien diberikan dengan dosis 100.000 IU,

sedangkan menurut Penatalaksanaan Diare akut

oleh Pedoman Diagnosa dan Terapi Anak

Rumah Sakit Dr. Soetomo pemberian injeksi

vitamin A pada anak dibawah 1 tahun adalah

50.000 IU.

Direkomendasikan pemberian vitamin A dosis

50.000 IU saja.

Page 27: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

27

MONITORING

PARAMETER TUJUAN

Kondisi umum

(sesak,batuk, nyeri,mual,

muntah, diare, kejang)

Untuk mengetahui efikasi dan keamanan dari terapi yang diterima oleh pasien hal yang perlu diperhatikan

adalah perubahan gejala mulai pada saat pasien MRS, seperti kejang, diare, batuk, sesak, produksi sputum,

mual, muntah, demam, serta kebutuhan oksigen.

Tanda – tanda infeksi

(Nadi, RR, Suhu tubuh,

Leukosit)

Untuk mengetahui efektifitas dari antibiotik yang diberikan apakah telah sesuai dengan kondisi dan data

kultur pasien jika setelah setelah antibiotik tidak menunjukkan adanya perubahan gejala atau bila keadaan

klinik pasien semakin memburuk, maka penggunaan antibiotik tersebut perlu dievaluasi kembali.

Pemeriksaan laboratorium

(kadar elektrolit, BGA,

SGOT/SGPT, BUN, SCr)

Infus yang digunakan mengandung cairan elektrolit untuk homeostatis pasien

Semua antibiotik yang diberikan dieliminasi melalui hati dan ginjal sehingga perlu dilakukan monitoring

terhadap fungsi hati dan ginjal dari pasien untuk mengurangi terjadi progesifitas kerusakan organ tersebut.

Page 28: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

28

KONSELING PADA PASIEN

Materi Konseling Konseling

Zink tablet Diberikan untuk menggantikan zinc alami yang hilang pada saat diare dan mempercepat penyembuhan diare

juga meningkatkan kekebalan tubuh sehingga dapat mencegah resiko terulangnya diare 2-3 bulan setelah

anak sembuh.

Tablet Zinc diberikan 1 x 20 mg sekali sehari selama sepuluh hari penuh meskipun diare telah sembuh.

Tablet dapat dilarutkan dengan air matang/ASI atau oralit

Apabila anak muntah ± 0,5 jam setelah pemberian tablet Zinc, berikan lagi tablet Zinc dengan cara

memberikan potongan lebih kecil dan bertahap hingga satu dosis penuh (Tatro, 2003)

Penyimpanan obat ini yaitu jauhkan dari cahaya matahari dan kelembaban karena dapat merusak obat

(American Society of Health-System Pharmacists, 2012)

Probiotik Diberikan untuk menormalkan keseimbangan flora usus yang terganggu saat pasien diare

Probiotik sachet diberikan 1 x sehari 1 sachet, dapat dicampur dengan susu.

Probiotik secara umum aman, meskipun belum diketahui keamanannya terhadap pasien-pasien yang sistem

kekebalam tubuhnya sangat terganggu (D’Arrigo Terri, 2008)

Vitamin A Injeksi ini digunakan untuk menurunkan keparahan diare yang dialami pasien dan meningkatkan imunitas

pasien sehingga mempercepat penyembuhan pasien

Efek samping yang dapat terjadi selama penggunaan vitamin A yaitu demam, lemas, penurunan berat

Page 29: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

29

badan, serta kulit menjadi kering dan pecah-pecah. Apabila pasien mengalami efek samping tersebut,

dianjurkan untuk segera menghubungi dokter (Lacy, 2008)

KONSELING PADA PERAWAT

Materi Informasi

Ceftriaxone Pemberian :

Injeksi Ceftriakson diberikan secara iv intermiten selama 3 menit.

Penyimpanan :

Ditempat yang terlindung cahaya ≤ 25°C. Larutan rekonstitusi stabil selama 2 hari pada suhu kamar atau 10

hari dilemari es (Lacy et al, 2009; Trissel, 2009)

Page 30: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

30

BAB 3

PEMBAHASAN

Diare merupakan penyebab utama kematian anak-anak di negara

berkembang terutama pada balita yang berusia di bawah 1 tahun (World

Gastroenterology Organisation, 2012). Pasien An. RD umur 9 bulan MRS tanggal

18/9 karena diare ± 10 kali perhari sejak pagi sebelum masuk rumah sakit,

muntah 4-5 kali perhari , panas, kejang di rumah sakit Bakti Dharma Husada

selama 5 menit dan selama perjalanan ke Rumah Sakit Dr. Soetomo, setelah

kejang pasien sadar, batuk, sesak, dan menangis.. Oleh dokter di RSUD Dr.

Soetomo didiagnosa diare akut dehidrasi sedang, pneumonia, suspect ensefalitis

dan suspect down syndrome. Pasien mengalami dehidrasi karena frekuensi

muntah dan mencretnya tidak diimbangi dengan intake cairan untuk mengganti

cairan tubuh yang hilang.

Terapi diare pada anak-anak yang paling penting adalah dengan mencegah

terjadinya dehidrasi akibat pengeluaran cairan tubuh yang berlebih. Selain itu,

pada anak-anak yang mengalami diare juga sangat diperlukan suplemen vitamin

dan mineral karena vitamin dan mineral sangat diperlukan tubuh terutama pada

masa pertumbuhan (World Gastroenterology Organisation, 2008).

Pasien pada tanggal 18/9 mendapat terapi Infus KAEN 3B untuk

mengatasi dehidrasi. Probiotik, tablet Zinc, Vitamin A p.o dan i.m. untuk

mengatasi diare. Pemberian cairan dibutuhkan sebagai terapi suportif guna

menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit pasien (Palilingan, 2005). Pada

pasien diare, tidak hanya air yang hilang namun juga beberapa elektrolit penting

yang dibutuhkan tubuh antara lain sodium, potasium dan bikarbonat. Terapi

rehidrasi pada diare diberikan oral rehydration salt atau infus elektrolit untuk

menggantikan elektrolit yang hilang dengan total osmolaritas 245 mmol/L (World

Gastroenterology Organisation, 2012).

Pemberian cairan dibutuhkan sebagai terapi suportif guna menjaga

keseimbangan cairan dan elektrolit pasien (Palilingan, 2005). Pada pasien diare,

tidak hanya air yang hilang namun juga beberapa elektrolit penting yang

Page 31: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

31

dibutuhkan tubuh antara lain sodium, potasium dan bikarbonat. Karena pada saat

diare elektrolit yang akan hilang dari tubuh adalah sekitar 10-90 mEq/L Na, 10-

80 mEq/L Kalium, dan 10-110 mEq/L Cl. Sehingga penatalaksanaan dehidrasi

ringan/sedang disertai muntah diberikan intravena solution untuk mengembalikan

keseimbangan cairan dan elektrolit secara cepat pada pasien MRS (World

Gastroenterology Organisation, 2012). KA-EN 3B adalah cairan fisiologis yang

mengandung Na 50 mEq, K 20 mEq, Cl 50 mEq, laktat 20 mEq, dan glukose 27 g

tiap liter, untuk mengganti cairan maupun elektrolit terutama kalium yang hilang

selama pasien mengalami diare dan muntah , selain itu juga mengandung laktat

dan glukose yang cepat dimetabolisme sebagai suplai energi diberikan selama 24

jam. Total omolaritas pada infus KAEN 3B adalah 285 mmol/L (info produk

OTSUKA), yang diharapkan mampu mencukupi kebutuhan elektrolit pasien.

Probiotik adalah suatu sediaan farmasi yang berisi mikroorganisme.

Tujuan pemberian pada pasien diare adalah untuk menggantikan flora normal

tubuh yang sempat menurun akibat diare. Menurut WHO, probiotik mungkin

bermanfaat untuk AAD (Antibiotic Associated Diarrhea), tetapi karena kurangnya

bukti ilmiah dari studi yang dilakukan pada kelompok masyarakat, maka WHO

belum merekomendasikan probiotik sebagai bagian dari tatalaksanan pengobatan

diare. Secara statistik probiotik tidak memberikan efek signifikan untuk

traveller’s diare dan juga tidak memberikan efekefek signifikan pada community-

based diarrhea. (DepKesRI, 2011; WHO, 2009). Beberapa percobaan RCT yang

dilakukan oleh the American Academy of Pediatric menunjukkan bahwa rotavirus

merupakan salah satu penyebab infeksi diare, dan peran probiotik dalam

mencegah diare lemah, namun ada perbaikan dalam pemberian Lactobacillus

rhamnosus GG (LGG), L. reuteri and L. Casei pada diare yang disebabkan oleh

rotavirus dibandingkan dengan diare akibat infeksi bakteri/parasit. Dengan adanya

vaksin rotavirus, pemberian probiotik tidak dipertimbangkan namun tidak

dipungkiri bahwa probiotik memiliki peran dalam keadaan khusus. Sehingga the

American Academy of Pediatric menganjurkan pemberian LGG pada awal

terjadinya diare akut untuk mengurangi gejala, keparahan, dan durasi dari diare

(Ciorba, 2012).

Page 32: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

32

Tablet Zinc merupakan suatu suplemen yang berisi mikronutrisi yang

penting bagi tubuh. Pemberian zinc menggantikan zinc alami yang hilang pada

saat diare dan mempercepat penyembuhan diare juga meningkatkan kekebalan

tubuh sehingga dapat mencegah resiko terulangnya diare 2-3 bulan setelah anak

sembuh. Zinc dibutuhkan oleh berbagai organ tubuh dan dalam fungsi imun. Jika

diberikan kepada pasien dengan sistem imun yang belum berkembang baik

(seperti down syndrome), dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan melindungi

anak dari infeksi, diare dan pneumonia. Dosis yang diberikan untuk anak usia 9

bulan adalah 1 x 20 mg selama 10 hari . Pemberian tetap diberikan meskipun diare

sudah berhenti. Pemberian zinc selama 10 hari terbukti memperbaiki mucosa usus

yang rusak dan meningkatkan fungsi kekebalan tubuh secara keseluruhan

(DepKesRI, 2011 ; WHO, 2009). Terapi probiotik dan tablet Zinc pada pasien

dihentikan pada tanggal 24/9. Panghentian penggunaan tablet Zinc kurang tepat

sebab terapi Zinc sebaiknya dilakukan selama 10-14 hari agar hasil terapi lebih

maksimal (Fontaine, 2008).

Terapi vitamin A digunakan untuk mencegah defisiensi vitamin A. Pada

pasien diare sebaiknya mendapat tambahan vitamin dan mineral agar

pertumbuhan anak tidak terganggu akibat defisiensi vitamin dan mineral yang

mungkin dapat terjadi akibat diare (World Gastroenterology Organisation, 2012).

Diare meningkatkan kebutuhan vitamin A pada pasien karena vitamin A berperan

penting dalam mempertahankan integritas lapisan sel epitel saluran pencernaan

dan memperngaruhi sistem imun pada pasien. Pemberian vitamin A pada pasien

diare akut diawal gejala penyakit diare adalah untuk mengurangi durasi diare

dengan mengurangi cedera mukosa usus, dan meningkatkan perbaikan mukosa

usus. Dari beberapa penelitian RCT disebutkan bahwa vitamin A tidak signifikan

dalam menurangi durasi diare namun efek menguntungkan terjadi pada pasien

dengan defisiensi vitamin A dan malnutrisi yang terkena diare. Kondisi malnutrisi

cenderung memperpanjang durasi diare (Dewan et al, 1994). Rekomendasi

pemberian vitamin A yang dibutuhkan anak < 1 tahun adalah 400 µg dalam sehari

(World Gastroenterology Organisation, 2012). Pada tanggal 18/9 Pemberian

vitamin A pada pasien diberikan dengan dosis 100.000 IU, sedangkan menurut

Penatalaksanaan Diare akut oleh Pedoman Diagnosa dan Terapi Anak Rumah

Page 33: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

33

Sakit Dr. Soetomo pemberian injeksi vitamin A pada anak dibawah 1 tahun adalah

50.000 IU. Vitamin A dihentikan pada tanggal 19/9 hal ini sudah tepat sebab

tujuan pemberian vitamin A pada pasien diare hanya untuk pencegahan defisiensi

vitamin. Pasien masih mencret dan muntah tetapi frekuensi sudah menurun

dibandingkan hari sebelumnya.

Penderita sindrom Down memiliki resiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan

orang normal untuk mendapatkan infeksi terutama infeksi saluran pernafasan

seperti pneumonia karena sistem kekebalan tubuh mereka belum berkembang

dengan baik. Pneumonia dapat menyerang berbagai macam usia namun pada

kondisi bayi, anak-anak, orang tua, orang yang merokok dan orang- orang dengan

kondisi paru-paru ataupun memiliki sistem imun yang lemah resiko terkena

pneumonia meningkat dan perlu dirawat dirumah sakit (National Health Service

UK, 2013; CDC, 2013; National Down Syndrom Society, 2007). Menurut Pedoman

Diagnosa dan Terapi RSUD Dr. Soetomo (2008), pneumonia yang terjadi pada

keadaan imunokompromis seperti down syndrome harus segera dimulai saat tanda

awal pneumonia terjadi pada pasien dengan pemberian antibiotik Sefalosporin

generasi III salah satunya adalah Ceftriakson.

Pada tanggal 18/9 pasien mendapat terapi injeksi Ceftriaxone untuk

mengatasi infeksi yang terjadi sebab hasil laboratorium tanggal 18/9 menunjukkan

nilai WBC 14.900 (lebih dari normal). Data klinis suhu tubuh 37,5 °C, RR 30, dan

Nadi 148. Ceftriaxone merupakan antibiotik pilihan untuk pasien pneumonia

dengan usia 3 bulan – 5 tahun yang sensitif terhadap bakteri Streptococcus

pneumoni, Staphylococcus, dan H. influenza yang biasanya menyebabkan diare

(Setiawati et al, 2008). Untuk mengetahui bakteri penyebab pneumonia dan

mementukan terapi definitifnya maka dilakukakn uji mikrobiologi klinik dengan

spesimen sputum dan air kemih. Pada tanggal 18 dan 19/9 dilakukan kultur

dengan spesimen dahak dan air kemih didapatkan hasil tidak ada pertumbuhan

kuman tahan asam dan juga aerob. Pemakaian ceftriaxone tetap dilanjutkan

sebagai antibiotik empiris.

Pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian di dunia, dimana

sekita 20% pasien pnemonia harus melakukan rawat inap, 25% dari pasien harus

mendapatkan perawatan intensif care unit (ICU), dan memiliki angka mortalitas

Page 34: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

34

antara 30 – 50% (Sibilia et al, 2008). Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya,

Pneumonia berada diperingkat ke 4 diantara puluhan penyakit terbanyak yang

dirawat pertahun. Angka kematian pneumonia pada pasien rawat inap sekitar 20-

35% (PDPI, 2003; Soedarsono, 2010).

Prioritas pertama pada pasien dengan pneumonia adalah mengevaluasi

fungsi pernafasan dan memeriksa adanya tanda-tanda penyakit sistemik

misalnya dehidrasi, sepsis yang mengganggu sirkulasi (Palilingan, 2005). Pasien

mengalami batuk tanpa dahak dan juga sesak sehingga pada tanggal 18/9

diberikan nebul PZ 3 cc suction untuk mengencerkan sputum pada paru-paru

pasien. Kemudian ditambahkan terapi O2 pada tanggal 20/9 untuk mengatasi

sesak dan mempertahankan saturasi arteri lebih dari 90%. Pada tanggal 24/9 data

sesak pada pasien sudah berkurang.

Berdasarkan hasil konseling dengan pasien yang dilakukan Apoteker

ruangan pada tanggal 24/9 keluarga pasien menginformasikan bahwa gejala diare,

mual, muntah, batuk, dan sesak sudah berkurang dan pasien telah disetujui untuk

keluar dari rumah sakit oleh dokter yang merawat tanpa membawa obat untuk

terapi lanjutan dirumah.

Page 35: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

35

DAFTAR PUSTAKA

Ciorba, M.A., 2012. A Gastroenterologist’s Guide to Probiotics. The American

Gastroenterological Association. Washington : Elsevier Inc

Departemen Kesehatan RI, 2011. Buku Saku Petugas Kesehatan : 5 Langkah

Tuntaskan Diare. Jakarta : DepKesRI

Dewan, V., Patwari, A.K., Jain, M., Dewan, N., 1994. A RANDOMIZED

CONTROLLED TRIAL OF VITAMIN A SUPPLEMENTATION IN

ACUTE DIARRHEA. New Delhi.

DiPiro, Joseph T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G.

Wells, and L. Michael Posey, 2008, Pharmacotherapy A

Pathophysiologic Approach, 7th Edition, USA : McGraw Hill

Companies Inc.

Drs. Best, B., 2010. Pneumonia. Starship Children’s Health Clinical Guideline

Fardah, A., 2008. SKFT RSUD Dr. Soetomo, 2008. Pedoman Diagnosis dan

Terapi Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Surabaya: Rumah Sakit Umum

Dokter Soetomo Surabaya

Fontaine, O., 2008. Bukti Keamanan dan Kemanjuran Suplementasi Zinc pada

Penanganan Diare. Sari Pediatri Vol.10 No.1.

Lacy, C.F; Amstrong, L.L; Goldman, M.P; Lance, L., 2009. Drug Information

Handbook, Ohio : Lexi-Comp. Inc.

National Down Syndrome Society http://www.ndss.org/ diakses November 2013

Setiawati,. 2008. SKFT RSUD Dr. Soetomo, 2008. Pedoman Diagnosis dan

Terapi Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Surabaya: Rumah Sakit Umum

Dokter Soetomo Surabaya

Otsuka, 2007. Pedoman Cairan Infus. Publisher PT. Otsuka : Indonesia

Tatro, David. 2003. A to Z Drug Facts And Comparison. USA: McGrawHill

Company

WHO. 2013. Pocket Book of Hospital Care for children : Guidelines for the

management of common childhood illnesses. Second edition. Geneva :

WHO press

Page 36: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

36

WHO, 2005. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit :

Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di

Kabupaten/Kota.

World Gastroenterology Organisation. 2008. World Gastroenterology

Organisation practice guideline : Acute Diarrhea.

World Gastroenterology Organisation. 2012. World Gastroenterology

Organisation Global Guidelines : Acute Diarrhea in adults and children : a

global perspective.

http://www.cdc.gov/ncbddd/birthdefects/DownSyndrome.html.diakses Desember

2013

http://www.nhs.uk/Conditions/Downs-syndrome/Pages/Complications.aspx

diakses Desember 2013

Page 37: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

1

BAB I

1. Batu Pyelum/Batu Staghorn

1.1 Batasan

Belum ada kesepakatan mengenai definisi batu staghorn ginjal. Namun

definisi yang sering dipakai adalah batu staghorn merupakan batu ginjal yang

mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal yang memberikan gambaran

menyerupai tanduk rusa. Istilah batu staghorn parsial digunakan jika batu

menempati sebagian cabang collecting system, sedangkan istilah batu staghorn

komplit digunakan batu jika menempati seluruh collecting system (Purnomo,B.B.,

2007)

Batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot sistem

pelvikalises dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Tenaga peristaltik ureter

mencoba untuk mengeluarkan batu hingga turun ke buli-buli. Batu yang

ukurannya kecil (<5mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang

lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi keradangan

(periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronis berupa hidroureter atau

hidronefrosis (Purnomo,B.B., 2007).

1.2 Patofisiologi dan Patogenesis

Secara teoritis, batu dapat terbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada

tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasi urine), yaitu

pada system kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada

pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis

seperti pada hyperplasia prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik

merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.

Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik

maupun anorganik yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap

berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada

keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan presipitasi kristal. Kristal- Kristal

yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang

kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga

Page 38: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

2

menjadi Kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat

Kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk

itu, agregat Kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi

kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat tersebut sehingga

membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih.

Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di

dalam urine, konsentrasi solute di dalam urine, laju aliran urine di dalam saluran

kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak

sebagai inti batu (Purnomo,B.B., 2007).

1.3 Manifestasi Klinis

Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi/letak batu,

besar batu. Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada

pinggang. Nyeri ini mungkin bisa berupa nyeri kolik ataupun bukan kolik. Nyeri

kolik terjadi karena aktivitas peristaltic otot polos system kalises ataupun ureter

meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan

peristaltic itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi

peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Nyeri non kolik

terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi

pada ginjal. Batu yang terletak disebelah distal ureter dirasakan oleh pasien

sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing (Purnomo,B.B., 2007).

1.4 Pemeriksaan

1. Fisik

Pada pemeriksaan fisik mungkin terjadi nyeri ketok pada daerah kosto-

vertebra, teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-

tanda gagal ginjal, retensi urine dan jika disertai infeksi didapatkan

demam/menggigil.

2. Sedimen Urine

Pada pemeriksaan sedimen menunjukkan adanya leukosituria, hematuria

dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu.

Page 39: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

3

3. Kultur Urine

Mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.

4. Faal Ginjal

Bertujuan untuk mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal

dan untuk mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV.

5. Kadar Elektrolit

Untuk mengetahui factor penyebab timbulnya batu saluran kemih, seperti :

kalsium, oksalat, fosfat maupun urat di dalam darah maupun di dalam

urine.

6. Foto Polos Abdomen

Bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radio opak di dalam

saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat

radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan

batu asam urat bersifat non-opak (radio-lusen)

7. Pielografi Intra Vena (PIV)

Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal.

Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non-

opak yang tidak dapat dilihat oleh otot polos perut. Jika PIV belum dapat

menjelaskan system saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal,

sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retogard.

8. Ultrasonografi

USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV,

yaitu pada keadaan seperti alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang

turun dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat

menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai

echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan ginjal

(Purnomo,B.B., 2007).

Page 40: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

4

1.5 Penatalaksanaan

1. Analgesik bila ada keluhan nyeri (NSAID), bila perlu golongan opioat :

Misal : ketoprofen 1x1 supp, pethisin 1mg/kgBB

1. Kateterisasi bila retensi urine

2. Antibiotik bila febris :

a. Golongan quinolone misal : ciprofloxacine 500mg tiap 12 jam

b. Golongan Sefalosporin generasi III misal : Cefotaxim 1g tiap 8 jam.

3. Alkalinisasi dengan Na Bic 500mg tiap 6 jam untuk batu asam urat murni

(Soebandi, M. dkk., 2008).

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih, harus

secepatnya dikeluarkan supaya tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat.

Indikasi untuk melakukan tindakan pada batu saluran kemih adalah jika batu telah

menimbulkan obstruksi atau infeksi. Batu dapat dikeluarkan dengan berbagai cara,

yaitu:

1. Medikamentosa

Terapi ini ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5mm karena

batu diharapkan dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan

untuk megurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian

diuretikum dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari

saluran kemih

2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)

Merupakan sebuah alat yang dapat memecah batu ginjal, batu ureter

proksimal atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasive dan tanpa

pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudh

dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan-pecahan batu

yang sedang keluar menimbulkan nyeri kolik dan menyebabkan hematuria.

3. Endourologi

Merupak tindakan invasive minimal untuk mengeluarkan batu saluran

kemih yang terdiri atas memecah batu dan kemudian mengeluarkannya

dari saluran kemih melalui lat yang dimasukkan langsung kedalam saluran

kemih. Alat tersebut dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil

Page 41: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

5

pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara

mekanik, dengan menggunakan energi hidraulik, energi gelombang suara

atau dengan energy laser. Beberapa tindakan endourologi tersebut adalah:

a) PNL (Percutaneus Nephro Litholapaxy)

Yaitu mengeluarkan batu yang berada di dalam saluran ginjal

dengan cara memasukkan alat endoskopi ke system kalises melalui

insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih

dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.

b) Lithotripsi

Memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat

pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu

dikeluarkan dengan evakuatoe Ellik.

c) Ureteroskopi atau uretero-renoskopi

Memasukkan alat ureteroskopi peruretram guna melihat keadaan

ureter atau system pielo-kaliks ginja. Dengan memakai energy

tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun system

pelvikalises dapat dipecah melalui tuntutan ureteroskopi atau

ureterorenoskopi ini.

d) Ekstraksi Dormia

Mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat

keranjang Dormia.

4. Bedah Laparoskopi

Bertujuan untuk mengambil batu saluran kemih, cara ini banyak digunakan

untuk mengambil batu ureter.

5. Bedah Terbuka

Macam-macam pembedahan terbuka antara lain: pielolitotomi atau

nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal dan

ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien harus menjalani

tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak

Page 42: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

6

berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis atau

mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang menimbulkan

obstruksi dan infeksi yang menahun (Purnomo,B.B., 2007).

Page 43: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

7

BAB II

FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN

LAPORAN KASUS

Inisial Pasien : Ny. S Berat Badan : 64 kg

Umur : 63 tahun Tinggi Badan : 157 cm

Keluhan Utama : Nyeri pada saat akan buang air kecil

Diagnosis : Batu Pyelum + Batu Pole Atas

Alasan MRS : keluhan ginjal kanan terasa sakit dan nyeri pinggang.

Rencana dilakukan operasi batu ginjal (ESWL)

Riwayat Penyakit : Batu Pyelum

Riwayat Pengobatan : Tidak ada riwayat pemakaian obat sebelumnya.

Alergi : -

Kepatuhan - Obat Tradisional -

Merokok - OTC -

alkohol - Lain-lain -

Page 44: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

8

Catatan Perkembangan Pasien

Tanggal Problem/ Kejadian/Tindakan Klinisi

19/8/2013 Pasien datang ke RSUD dr. Soetomo untuk rencana

dilakukan operasi batu pyelum ginjal. Kondisi umum pasien

baik, tekanan darah, nadi, suhu dan RR normal.

Tidak diberikan terapi apapun pada pasien sampai

menjelang dilakukan operasi pada tanggal 30/8/2013.

30/8/2013

Pasien direncanakan dilakukan operasi batu ginjal. Kondisi

umum pasien baik. HR 110/70; RR 16; Nadi 90; Suhu 36.

Pasien mendapat resusitasi cairan D5% ½ NS; Injeksi

Ceftriakson 2 x 1 gram; Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg; Injeksi

Ondancentron 2 x 8 mg; Injeksi Metronidazol 3 x 500 mg;

Injeksi Antrain 3 x 1 gram.

31/8/2013 Kondisi pasien baik, tanda vital normal HR 120/80; suhu

36,5; Nadi 88, RR 16, namun terjadi peningkatan nilai

leukosit yaitu 11,4.

Pemberian ondansetron dan metronidazol dihentikan.

Pasien mendapatkan terapi injeksi Asam Traneksamat 2 x

500 mg

1/9/2013 Terjadi peningkatan kadar leukosit yaitu 13,2 sehingga

terapi antibiotik ceftriakson dilanjutkan dan terapi

ditambahkan injeksi Alinamin F 2 x 1 ampul.

2/9/2013 Terapi sama dengan tanggal 1/9/2013, ditambahkan dengan

injeksi Ondancetron 2 x 8 mg karena pasien merasa mual.

3/9/2013 Kondisi pasien baik dan stabil,mual sudah berkurang terapi

pada tanggal 3/9/2013 dihentikan, diganti dengan sediaan

peroral Cefiksim 2 x 100 mg, kalnex (asam traneksamat) 3 x

500 mg, Pamol (Paracetamol) 3 x 500 mg.

4/9/2013 Kondisi pasien baik dan stabil. Terapi tetap dengan tanggal

3/9/2013.

5/9/2013 Pasien diperbolehkan untuk KRS.

Page 45: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

9

DOKUMEN FARMASI PENDERITA

No. RM : 12 24 4641

Nama/Umur : Ny. S / P

BB/TB/LPT : 64 kg/ 157 cm/26,01 m2

Alamat : Gresik

Riwayat alergi : Tidak diketahui

Status : Jamkesmas

Diagnosis :

Batu Pyelum + Batu Pole Atas

No. Nama Obat Dagang/Generik Rute Regimen Dosis 19 – 29/8

30/8

OP

31/8 1/9 2/9 3/9 4/9 5/9 6/9

KRS

1. D5% ½ NS : D5% iv 1000 cc : 1000 cc

Tidak diberikan

terapi apapun

√ √ √ √ //

2. Ceftriakson iv 2 x 1 gram √ √ √ √ //

3. Ranitidin iv 2 x 50 mg √ √ √ √ //

4. Ondansetron iv 2 x 8 mg √ √ //

5. Metronidazol iv 3 x 500 mg √ //

6. Antrain iv 3 x 1 gram √ √ √ √ //

7. Asam Traneksamat iv 2 x 500 mg √ √ √ //

8. Alinamin F iv 2 x 1 amp √ √ //

9. Cefiksim po 2 x 100 mg √ √ //

10. Asam Traneksamat (Kalnex) po 3 x 500 mg √ √ //

11. Paracetamol (Pamol) po 3 x 500 mg √ √ //

Page 46: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

10

Data Klinik

No DATA KLINIK

(yang penting)

Nilai Normal Tanggal

30/8

31/8 1/9 2/9 3/9 4/9 5/9

1 Tekanan darah 120/80 110/70 120/80 120/80 120/80 120/80 120/80

2 Suhu (º C) 37 ± 0,3 ºC 36 36,5 37 37 37 37,2

3 HR (x/menit) 80-100 x /menit 92 88 80 88 88

4 RR (x/menit) x /menit 16 16 16 16 16 16

5 KU/GCS Baik/456 Baik/456 Baik/456 Baik/456 Baik/456 Baik/456 Baik/456 Baik/456

6 Mual/muntah -/- - - - +/- - - -

7 Produksi Urine Durante op

600 cc/11

jam

1600 cc/24

jam

1800cc /24

jam

Nyeri + + - - - - -

Pendarahan - - - - - - -

8 Drain 30 34 16 minim

9 BAB - - - + - -

Komentar : Tanda vital pasien relatif normal sampai acara operasi tanggal 30/8 pasien mengalami penurunan HR. Dan nilai RR berada dibawah normal (16) namun

tidak signifikan dari semenjak awal MRS.

Page 47: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

11

Data Laboratorium

No. Data Laboratorium Normal 30/8 31/8 1/9 Komentar

1. DL : Hb 11 - 18 g/dl 12,5 10,6 10,66 Terganggunya pembentukan eritropoitin di

ginjal menyebabkan pembentukan sel darah

terhambat sehingga pasien mengalami

penurunan Hb

Leukosit pada tanggal 31/8 dan 1/9 mengalami

kenaikan diatas normal yang menunjukkan

adanya infeksi

2. Leukosit 4,5 - 10,5 x 103 /UL 7,88 11,4 13,2

3. Trombosit 150 - 450 x 103 µL 292 373

10. RBC 3,60 – 4,69.106 /UL

11. HCT 35,00-60,00 %

12. MCV 80-99,90 fL 83,4

13. MCH 27,00-31,00 pg 28,3

14. MCHC 33,00-37,00 g/dl 33,9

15. RDW 11,60-13,70 %

16. MPV 7,80-11,00 fL

PPT 30,6

Control PPT 26,3

(<2 detik) 4,3

APTT 11,5

Control APTT 11,6

(<7 detik) -0,1

19. Albumin 3,4-5,0 g/dl 2,9

31/8/2013 Hasil Kultur : Steril

Page 48: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

12

Analisis Pengobatan

Tanggal

Pemberi

an

Jenis Obat Rute Dosis Frekuen

si

Indikasi obat

pada pasien

Pemantauan

Kefarmasian

Komentar dan Alasan

30/8-2/9

D5% ½ NS :

D5% iv

1000 cc :

1000 cc

24 jam Menjaga

keseimbanga

n

hemodinamik

Kondisi

umum

Terapi cairan ini berguna untuk menjaga

keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.

30/8-2/9 Ceftriakson iv 1 gram 2 dd 1 Antibiotik

profilaksis

Monitoring

tanda – tanda

infeksi/SIRS

(Nadi, Suhu,

HR, RR dan

leukosit)

Menurut pedomana pennggunaan antibiotik

Rumah Sakit Dr. Soetomo (Ed. IV, 2009),

pemilihan antibiotik Ceftriaxon untuk

profilaksis preoperatif urologi traktus urinarius

tanpa saluran cerna sudah tepat.

Pemberian antibiotik profilaksis adalah 30 – 60

menit sebelum operasi dan diulang apabila

operasi berlangsung lebih dari 3 jam/ 2 x half

life antibiotik, diberikan 2 – 3 kali pasca bedah,

dan tidak diperlukan pemberian lebih dari 24

jam. Penggunaan lebih dari 4 hari dapat

meningkatkan frekuensi bakterimia

dibandingkan dengan yang mendapatkan

profilksis 1 hari. Operasi ESWL termasuk

dalam jenis operasi bersih terkontaminasi

karena membuka traktus urinarius dan

Page 49: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

13

memiliki kemungkinan timbul infeksi 5 – 15%

(Pedoman Penggunaan Antibiotika Profilaksis

di bidang bedah, 2005). Pada pasien ini

penggunaan antibiotik berlangsung selama 4

hari dikarenakan didapatkan peningkatan

leukosit pasien yang memungkinkan pasien

mengalami infeksi.

30/8-2/9 Ranitidin iv 50 mg 2 dd 1 Profilaksis

Stress Ulcer

Mual,

muntah,

pendarahan

GITract

Profilaksis stress ulcer diindikasikan pada

pasien dengan critical illness, pasien yang

memerlukan intensif care , dan beberapa faktor

resiko seperti adanya multiple injuries, spinal

cord injury, injury severity score lebih dari 15,

acute renal failure, and pengobatan yang

memerlukan steroid dosis tinggi. Pilihan terapi

untuk profilaksis stress ulcer antara lain

Ranitidin yang merupakan antagonis reseptor

H2 yang menghambat sekresi asam lambung

(EAST, 2008).

30/8 &

2/9

Ondansetro

n

iv 8 mg 2 dd 1 Mengatasi

PONV

(Postoerative

induce

nausea and

vomiting)

Mual,

muntah

Gejala awal mual muntah biasa muncul 0 – 6

jam postoperasi, dan berlangsung 24 – 48 jam

postoperasi. Salah satu penatalaksanaan PONV

(Postoerative induce nausea and vomiting)

adalah dengan serotonin receptor antagonist

(5HT3 antagonis) yaitu Ondancetron.

Page 50: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

14

Ondancetron sangat spesifik dan selektif untuk

mengatasi mual muntah dengan cara berikatan

dengan reseptor serotonin di chemoreceptor

trigger zone dan pada vagal aferen di jalur

gastrointestinal. Daya antimuntah pada

ondancetron lebih baik daripa daya

antimualnya dan lebih efektif diberikan pada

akhir operasi. Dosis yang direkomendasikan

untuk profilaksis adalah 4 – 8 mg secara iv

(Habib et al, 2004).

30/8 Metronida

zol

iv 1 gram 3 dd 1 Antibiotik

profilaksis

Monitoring

tanda – tanda

infeksi/SIRS

(Nadi, Suhu,

HR, RR dan

leukosit)

Meronidazol digunakan untuk antibiotik

preventif infeksi bakteri anaerob postoperasi.

Pemberian metronidazol secara iv infusion

pada preoperasi dan diulangi tiap 8 jam

(Sweetman, 2009)

30/8-2/9 Metamizole

Na (Antrain)

iv 500 mg 3 dd 1 Analgesik

post operasi

Nyeri pada

luka operasi

Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL)

merupakan jenis operasi dengan minimal

invasif. Selama dan setelah operasi antara 33%

sampai 59% pasien tidak memerlukan

analgesik. Pada pasien yang memerlukan

analgesik, penggunaan analgesik oral sudah

cukup. Analgesik yang menjadi pilihan adalah ;

NSAID, Metamizol, Paracetamol, sediaan

Page 51: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

15

kombinasi antara Paracetamol dan Codein, atau

tramadol. Obat hanya diminum apabila terdapat

rasa senyri saja. Metamizole yang diberikan

untuk postoperasi ESWL adalah dengan dosis

500 – 1000 mg peroral 4 kali dalam sehari

(European Association of Urology, 2009).

31/8 - 2/9 Asam

Traneksama

t

iv 500 mg 2 dd 1 Anti

fibrinolitik

PTT

APTT

Pendarahan

Asam traneksamat merupakan antifibrinolitik

yang menghambat pemecahan bekuan fibrin,

dengan cara menghalangi pengikatan

plasminogen dan plasmin untk menjadi fibrin.

Dosis yang diberikan adalah 1 – 1,5 gram

dalam 2- 4 kali dosis pemberian (Sweetman,

2009).

3/9 - 4/9 po 3 dd 1

1-2/9 Alinamin F®

(Tiamin

tetrahidrofurf

uril disulfide

basa 2,5mg,

glukosa

200mg tiap

ml injeksi)

iv 1 amp

(10

ml,25mg)

2 dd 1 Multivitamin Kondisi

umum

Vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh

pasien pasca operasi dan memudahkan flatus.

Fungsi alinamin F pasca bedah yaitu

mengaktifkan kembali fungsi peristaltik usus,

dan mempercepat terbentuknya flatus yang

menandakan bahwa fungsi pencernaan pasien

telah normal/peristaltik usus telah aktif

kembali.

Page 52: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

16

3-4/9 Cefiksim po 100 mg 2 dd 1 Antibiotik

postoperasi

Monitoring

tanda – tanda

infeksi/SIRS

(Nadi, Suhu,

HR, RR dan

leukosit)

Cefiksim merupakan golongan sefalosporin

generasi ke III yang diberikan untuk

menggantikan terapi Ceftriaxon sebelumnya.

Rute cefiksim peroral diberikan untuk

memudahkan pemakaian pada pasien ketika di

rumah.

3-4/9 Paracetamol

(Pamol) tab

po 500 mg 3 dd 1 Analgesik

dan

antipiretik

post operasi

Suhu

Nyeri pada

luka operasi

Paracetamol merupakan terapi analgesik

pilihan pada postoperasi ESWL. Dosis yang

diberikan adalah 500 -1000 mg yang diberikan

maksimal 4 kali dalam sehari (European

Association of Urology, 2009).

Page 53: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

17

ASUHAN KEFARMASIAN Termasuk:

1. Masalah aktual & potensial terkait obat 3. Pemantauan efek obat 5. Pemilihan obat 7. Efek samping obat

2. Masalah obat jangka panjang 4. Kepatuhan penderita 6. Penghentian obat 8. Interaksi obat

OBAT*

PROBLEM

TINDAKAN (USULAN PADA KLINISI,

PERAWAT, PASIEN)

Metamizole Na Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) merupakan

jenis operasi dengan minimal invasif. Selama dan setelah

operasi antara 33% sampai 59% pasien tidak memerlukan

analgesik. Pada pasien yang memerlukan analgesik,

penggunaan analgesik oral sudah cukup. Analgesik yang

menjadi pilihan adalah ; NSAID, Metamizol, Paracetamol,

sediaan kombinasi antara Paracetamol dan Codein, atau

tramadol. Obat hanya diminum apabila terdapat rasa

senyri saja. Metamizole yang diberikan untuk postoperasi

ESWL adalah dengan dosis 500 – 1000 mg peroral 4 kali

dalam sehari (European Association of Urology, 2009).

Pada pasien mendapatkan terapi Metamizole Na secara iv,

Direkomendasikan pemberian secara peroral

dan hanya diberikan pada saat pasien nyeri.

Page 54: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

18

MONITORING

PARAMETER TUJUAN

Nadi, RR, suhu, leukosit Mengetahui efektivitas dari terapi ceftriaxon, metronidazol, dan cefiksim yang diindikasikan untuk mencegah

infeksi yang terjadi pada pasien

Nyeri Mengetahui efektivitas dari terapi metamizol Na dan paracetamol yang diindikasikan untuk mengatasi nyeri

yang terjadi pada pasien pasca operasi

Mual muntah Mengetahui efektivitas dari terapi dari ranitidin yang diindikasikan untuk mencegah mual dan muntah

akibat sekresi asam lambung berlebih karena obat anastesi pada saat operasi atau karena kondisi psikis

pasien

Mengetahui apakah terjadi efek samping dari metamizole Na

APTT, PTT

Perdarahan

Mengetahui efektivitas dari terapi asam traneksamat yang diindikasikan untuk mencegah perdarahan pasca

operasi.

KONSELING PADA PASIEN

Materi Konseling Konseling

Paracetamol (Pamol) Paracetamol hanya diminum jika diperlukan saja yaitu bila suhu tubuh pasien lebih dari 38,50C (demam)

dan pasien mengalami nyeri. Paracetamol diminum setelah makan

Asam traneksamat Asam traneksamat diminum 3 kali sehari sebelum atau sesudah makan.

Cefiksim Cefiksim diminum 2 kali dalam sehari tiap 12 jam untuk mencegah resistensi bakteri.

Page 55: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

19

KONSELING PADA PERAWAT

Materi Informasi

Ceftriaxon Sediaan direkonstitusi dengan pelarut yang sesuai berturut-turut 10 mL dan 20 mL, kemudian dilarutkan

dengan 50-100 mL pelarut.

Diinjeksikan melalui infuse intravena selama 15-30 menit.

Larutan rekonstitusi stabil selama 3 hari dalam suhu ruangan dan 10 hari di dalam lemari es (Trissel, 2009)

Ranitidin Diberikan injeksi i.v secara langsung, biasanya 50 mg dilarutkan dalam 20 mL dengan larutan infus yang

cocok dan diberikan paling tidak selama 5 menit. Untuk infusi bertahap, 50 mg ditambahkan 100 mL larutan

yang sesuai dan infus diberikan selama 15-20 menit. Untuk infus kontinyu, 150 mg ditambahkan dilarutkan

dalam 250 mL larutan intravena dan diberikan 6,25 mg/jam selama 24 jam.

Disimpan dibawah suhu 30° C, terlindung dari cahaya. Gunakan larutan rekonstitusi dalam waktu 24 jam.

(Trissel, 2009)

Metronidazol Metronidazole tersedia dalam 100 ml single dose.

Cara pakai : IV Drip atau IV Intermittent selama 1 jam, digunakan tanpa pengenceran.

Metronidazole disimpan dalam suhu ruangan (15 to 20 °C) dan terlindung dari cahaya. Tidak disimpan dalam

lemari es karena dapat mengkristal. (Trissel, 2007)

Metamizol Na (Antrain) Pemberian injeksi antrain dapat menyebabkan syok sehingga suntikan i.v harus diberikan secara perlahan

(tidak lebih dari 1 ml/menit) (Martindale 36, 2008)

Ondancetron Sediaan : Vial 2mg/1ml

- single dose=2ml

- multiple dose=20ml

Page 56: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

20

Rute pemberian : IV bolus berlahan selama 2-5 menit

Stabilitas:

- hindarkan dari panas, beku, cahaya simpan pada suhu ruangan.

- Setelah diencerkan, ondancetron dapat stabil selama 7 hari pada suhu ruang atau pada kulkas (2-8oC) dalam

polypropylene-neoprene syringes.

Ondansetron diberikan setengah jam sebelum makan (Trisell, 2009)

Alinamin f Penyimpanan pada suhu kamar (25 - 30º C)

Page 57: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

21

BAB 3

PEMBAHASAN

Batu Saluran Kemih (BSK) adalah penyakit terdapat batu di dalam saluran

air kemih (mulai calyx sampai dengan uretra anterior) (Soebadi et al, 2008). Batu

ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih

(batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis, dan dapat

terbentuk pada ginjal (nefrolithiasis), ureter (ureterolithiasis), vesica urinaria

(vesicolithiasis), dan uretra (urethrolithiasis) (Hasan, 1985). Terbentuknya batu

saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urine, gangguan

metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan keadaan lain yang masih

belum terungkap (idiopatik) (Purnomo, 2009). Batu saluran kemih pada umumnya

mengandung unsur : kalsium oksalat atau kalsium fosfat (75%), asam urat (8%),

magnesium-amonium-fosfat (MAP) (15%), xanthyn, dan sistin, silikat dan

senyawa lain (1%) (Shires, 2000). Gejala utama penyakit batu ginjal adalah rasa

sakit yang disebabkan karena obstruksi. Rasa sakit dimulai dari pinggang bawah

menuju panggul kemuadian ke alat kelamin luar yang dapat disertai dengan mual,

muntah, dan demam. Gejala ini dinamakan kolik ginjal.

Pasien Ny. S berusia 63 tahun masuk rumah sakit pada tanggal 19 Agustus

2013 dengan keluhan ginjal kanan terasa sakit dan nyeri pinggang. Pasien

didiagnosis menderita Batu Pyelum dan Batu Pole Atas . Pasien yang rajin kontrol

ke poli ginjal dijadwalkan akan melakukan operasi ESWL. Data klinik pasien

pada awal MRS masih dalam rentang normal yaitu tekanan darah 120/80 mmHg,

nadi 88 x/menit, dan suhu 36,6oC.

Operasi dijadwalkan pada tanggal 30/8. Pasien mendapatkan infus D5% ½

NS untuk menjaga keseimbangan elektrolit pada pasien. Pasien mendapatkan

injeksi antibiotik Ceftriakson dan Metronidazol. Meronidazol digunakan untuk

antibiotik preventif infeksi bakteri anaerob postoperasi. Pemberian metronidazol

secara iv infusion pada preoperasi dan diulangi tiap 8 jam (Sweetman, 2009).

Antibiotik ceftriaxon diberikan selama 4 hari, kemudian diganti dengan Cefixim

selama 2 hari. Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin yang bekerja dengan

Page 58: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

22

menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih PBPs

(penicillin binding proteins) pada langkah akhir transpeptidasi dari sintesis

peptidoglikan sehingga biosintesis dinding sel bakteri dapat dihambat (Lacy,

2009). Menurut pedomana pennggunaan antibiotik Rumah Sakit Dr. Soetomo (Ed.

IV, 2009), pemilihan antibiotik Ceftriaxon untuk profilaksis preoperatif urologi

traktus urinarius tanpa saluran cerna sudah tepat. Pemberian antibiotik profilaksis

adalah 30 – 60 menit sebelum operasi dan diulang apabila operasi berlangsung

lebih dari 3 jam/ 2 x half life antibiotik, diberikan 2 – 3 kali pasca bedah, dan

tidak diperlukan pemberian lebih dari 24 jam. Penggunaan lebih dari 4 hari dapat

meningkatkan frekuensi bakterimia dibandingkan dengan yang mendapatkan

profilksis 1 hari (Pedoman Penggunaan Antibiotika Profilaksis di bidang bedah,

2005). Pada pasien ini penggunaan antibiotik berlangsung selama 4 hari

dikarenakan didapatkan peningkatan leukosit pasien pada tanggal 31/8 dan 1/9

yang memungkinkan pasien mengalami infeksi.

Setelah menjalani operasi, pasien mendapatkan terapi ranitidine untuk

profilaksis stress ulcer, terapi ondansetron yang bertujuan untuk mengatasi mual

muntah postoperasi, metamizole Na untuk mengatasi nyeri. Pasien tidak

mengalami mual muntah pasca operasi, terapi ranitidine terus diberikan sampai

hari ketiga post OP. Sebaiknya terapi ini hanya dihentikan pada hari kedua setelah

operasi dan diberikan jika pasien mengalami mual muntah. Pemberian

ondancetron yang semula dihentikan postoperasi kembali diberikan pada tanggal

2 september karena pasien mengalami mual.

Sehari setelah operasi pasien masih mengeluhkan rasa nyeri.

Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) merupakan jenis operasi dengan

minimal invasif. Selama dan setelah operasi antara 33% sampai 59% pasien tidak

memerlukan analgesik. Pada pasien yang memerlukan analgesik, penggunaan

analgesik oral sudah cukup. Analgesik yang menjadi pilihan adalah ; NSAID,

Metamizol, Paracetamol, sediaan kombinasi antara Paracetamol dan Codein, atau

tramadol. Obat hanya diminum apabila terdapat rasa senyri saja. Metamizole yang

diberikan untuk postoperasi ESWL adalah dengan dosis 500 – 1000 mg peroral 4

kali dalam sehari (European Association of Urology, 2009).

Page 59: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

23

Pasien mendapatkan injeksi asam traneksamat sebagai anti fibrinolitik post

operasi untuk mencegah terjadinya pendarahan. Asam traneksamat merupakan

antifibrinolitik yang menghambat pemecahan bekuan fibrin, dengan cara

menghalangi pengikatan plasminogen dan plasmin untk menjadi fibrin. Dosis

yang diberikan adalah 1 – 1,5 gram dalam 2- 4 kali dosis pemberian (Sweetman,

2009).

Pasien juga diberikan multivitamin yaitu Alinamin F yang diberikan

tanggal 1 September 2013. Pemberian multivitamin ini bertujuan untuk

meningkatkan daya tahan tubuh pasien pasca operasi.

Pada tanggal 3 September pemakaian obat sebelumnya dihentikan dan

diganti dengan pemakaian peroral analgesik paracetamol, asam traneksamat dan

cefiksim. Paracetamol Paracetamol merupakan terapi analgesik pilihan pada

postoperasi ESWL. Dosis yang diberikan adalah 500 -1000 mg yang diberikan

maksimal 4 kali dalam sehari (European Association of Urology, 2009).

Pemberian Paracetamol peroral pada pasien adalah untuk terapi analgesik

pengganti analgesik Antrain injeksi, untuk memudahkan pemakaian pada pasien

ketika dirumah.

Setiap terapi yang diterima pasien kemungkinan mengandung beberapa

permasalahan seperti masalah aktual dan potensial terkait obat, pemantauan efek

obat, pemilihan obat, efek samping obat, masalah obat jangka panjang, kepatuhan

penderita, penghentian obat, dan interaksi obat.

Masalah lain yang perlu dipantau adalah efek samping potensial dari

ketoprofen yaitu berupa ganguan GIT sehingga perlu dilakukan monitoring

kondisi klinik pasien (mual muntah). Dari monitoring yang telah dilakukan

diketahui bahwa pada pasien tidak ditemukan ESO tersebut. Selain itu juga

penggunaan ceftriaxon yang merupakan drug induce liver disease sehingga perlu

dilakukan pemantauan terhadap SGOT dan SGPT pasien. Oleh karena terapi yang

diberikan pada pasien memiliki beberapa permasalahan sehingga perlu dilakukan

monitoring untuk mengetahui efektivitas dari masing – masing terapi yang

diberikan. Selain itu juga perlu dilakukan konseling baik kepada pasien ataupun

perawat mengenai efek samping, cara penggunaan dan stabilitas obat.

Page 60: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

24

DAFTAR PUSTAKA

Bagian/SMF. Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah

Sakit Umum Dr. Soetomo, 2005. Pedoman Penggunaan Antibiotika

Profilaksis Di Bidang Bedah. Surabaya : RSUD dr. Soetomo

Eropean Association of Urology (EAU)., 2009. Guidelines on Pain

Management.

EAST Practice Management Guidelines Committee ; Guillamondegui, O.D;

Gunter, O.L, Bonadies, J.A. 2008. Practice Management Guideline for

Stress Ulcer Prophylaxis: EAST Practice Management Commitee.

Habib, A.S., Tong, J., 2004. Evidence-based management of postoperative

nausea and vomiting: a review. USA

Lacy, C.F; Amstrong, L.L; Goldman, M.P; Lance, L., 2009. Drug Information

Handbook, Ohio : Lexi-Comp. Inc.

Purnomo, B.B., 2007. Dasar – dasar Urologi, ed.2. jakarta : CV. Sagung Seto.

Soebandi, M., dkk., 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag. SMF. Ilmu

Bedah Urologi, Ed. 3. Surabaya : RSUD dr. Soetomo

Sweetman, 2009. Martindale, 36 th ed, London : Pharmacetical Press

Tjokroprawiro, Askandar, 2007. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :

Airlangga University Press

Tim Penyusun, 2009. Pedoman Penggunaan Antibiotik Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Soetomo Edisi IV. Surabaya : RSUD dr. Soetomo

Trissel, L.A. 2009. Handbook on Injectable Drugs, 15 th ed, Maryland :

American Society of Health-System Pharmacists, Inc

Page 61: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

1

BAB I

1. DECOMPENSATIO CORDIS (GAGAL JANTUNG)

1.1 DEFINISI

Gagal jantung adalah sindroma klinik yang ditandai oleh adanya kelainan

pada struktur atau fungsi jantung yang mengakibatkan jantung tidak dapat

memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan (Parker et al,

2008).

1.2 ETIOLOGI

Gagal jantung dapat disebabkan oleh semua kelainan yang mempengaruhi

kemampuan jantung untuk berkontraksi (fungsi sistolik) dan atau relaksasi

(disfungsi diastolik) penyebab paling umum dari gagal jantung dapat dilihat pada

tabel 2.1 (Parker, et al, 2008).

Tabel 2.1 Etiologi Gagal Jantung (Parker, et al, 2008)

Disfungsi sistolik Disfungsi diastolic

Penurunan massa miosit (karena

Miocardial Infark)

Kardiomiopati

Hipertrofi ventrikel

Tekanan yang berlebihan (misal

karena hipertensi, stenosis)

Volume berlebihan (misal

karena regurgitasi valvular)

Peningkatan kekakuan ventrikel

Hipertrofi ventrikular (misal

karena hipertrofi kardiomiopati)

Penyakit miokardial infiltratif

(misal : fibrosis endomiokardial)

Iskemia dan infark miokardial

Stenosis katup mitral atau trikuspid

Penyakit perikardial (misal :

perikarditis

1.3 PATOFISIOLOGI

Gagal jantung diawali oleh penurunan kemampuan jantung untuk

berkontraksi (disfungsi sistole) dan atau relaksasi (disfungsi diastolik) maupun

keduanya. Pada gagal jantung yang disebabkan oleh disfungsi sistolik terjadi

Page 62: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

2

penurunan stroke volume (SV) jantung (Kasumoto, 1995). Sedangkan gagal

jantung yang disebabkan oleh disfungsi diastolik dapat terjadi karena peningkatan

kekakuan ventrikular, hipertrofi ventrikular, penyakit miokardial infiltratif,

iskemia miokardial dan infark, stenosis katup mitral dan trikuspid, dan penyakit

perikardial (Parker et al, 2008).

Dengan menurunnya fungsi jantung, maka jantung akan melakukan

mekanisme kompensasi : (1) takikardi dan peningkatan kontraktilitas melalui

aktivasi sistem saraf simpatis; (2) mekanisme Frank-Starling, dimana peningkatan

volume preload akan meningkatkan stroke volume (volume darah yang dipompa

pada saat sistole); (3) terjadi vasokonstriksi; (4) hipertrofi ventrikular dan

remodeling. Respon kompensasi ini bertujuan untuk keseimbangan sirkulasi

setelah penurunan tekanan darah atau perfusi renal secara akut (Parker, et al,

2008).

1.4 KLASIFIKASI

Menurut NYHA gagal jantung dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi

berdasarkan tingkat keparahan penyakit yaitu gagal jantung stage I-IV. Gagal

jantung stage I merupakan tahap paling awal dimana pasien belum mengalami

keterbatasan aktivitas fisik (limitation of physical activity). Pasien dengan gagal

jantung stage II sudah mengalami sedikit keterbatasan aktivitas, sedangkan pasien

gagal jantung stage III akan mengalami keterbatasan aktivitas yang nyata dan

pasien gagal jantung stage IV tidak dapat melakukan aktvitas fisik tanpa merasa

tidak nyaman (Parker, et al, 2008).

Klasifikasi gagal jantung lainnya adalah klasifikasi yang dilakukan oleh

ACC/AHA yaitu :

1.4.1 Gagal jantung stage A

Pasien dengan resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung.

Antara lain pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes dan

lain-lain.

1.4.2 Gagal jantung stage B

Pasien dengan kelainan struktur jantung tetapi belum mengalami gejala

gagal jantung.

Page 63: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

3

1.4.3 Gagal jantung stage C

Pasien dengan kelainan struktur jantung dan menunjukkan gejala gagal

jantung

1.4.4 Gagal jantung stage D

Pasien dengan gejala gagal jantung meskipun sudah diberikan terapi medis

yang maksimal (McMurray, 2010).

Klasifikasi gagal jantung berdasarkan New York Heart Association

(NYHA) (McMurray, 2010):

Keparahan tergantung dari gejala dan aktivitas fisik.

Class I : tidak ada pembatasan dari aktivitas fisik. Biasanya aktivitas fisik

tidak menyebabkan kelelahan yang tidak semestinya, palpitasi, atau

dyspnoea.

Class II : sedikit pembatasan aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat, tetapi

biasanya aktivitas fisik menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau

dyspnoea.

Class III : ada pembatasan aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat, tetapi kurang

dari biasanya aktivitas menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau

dyspnoea.

Class IV : tidak mampu untuk melanjutkan aktivitas fisik tanpa

ketidaknyamanan. Gejala saat istirahat. Jika aktivitas fisik

dilakukan, ketidaknyamanan meningkat.

1.5 MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik setiap pasien mungkin berbeda dari asimtomatik sampai

syok kardiogenik. Gejala gagal jantung antara lain dyspnea terutama pada saat

beraktivitas, anorexia, mual, kelelahan, nocturia, edema pulmonar dan tungkai,

ekstremitas dingin, efusi pleura, takikardi, kardiomegali, hepatomegali, fibrilasi

atrial, bradikardi, serum kreatinin mungkin meningkat karena hipoperfusi,

jaundice (Parker at al, 2008).

Page 64: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

4

1.6 PENATALAKSANAAN TERAPI

Tujuan terapi pada pasien gagal jantung adalah menyembuhkan gejala dan

meningkatkan hidup, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi masuk rumah

sakit, memperlambat progresifitas penyakit dan memperpanjang hidup pasien

(Parker, et al, 2008).

1.6.1 Penatalaksanaan terapi pada pasien gagal jantung didasarkan pada

tingkat keparahan gagal jantung yaitu :

a. Stage A (pasien dengan risiko gagal jantung tinggi)

Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi dan mengubah faktor risiko

untuk mecegah perkembangan gagal jantung. Upaya yang dilakukan

meliputi penghentian merokok dan pengontrolan terhadap hipertensi,

diabetes mellitus, dan dislipidemia berdasarkan pedoman terapi masing-

masing penyakit.

b. Stage B (pasien dengan penyakit jantung struktural tetapi tanpa gejala

gagal jantung)

Target terapi adalah untuk meminimalkan injury dan mencegah atau

memperlambat proses remodelling.

c. Stage C (pasien dengan penyakit jantung struktural dengan gejala gagal

jantung)

Kebanyakan pasien harus diterapi dengan empat macam obat :

penghambat ACE, diuretik, pengeblok adrenergik β, dan digoksin. Terapi

lainnya antara lain pembatasan konsumsi natrium, imunisasi terhadap flu

dan pneumokokus, mengubah aktivitas fisik, dan menghindari pengobatan

yang dapat memperparah gagal jantung

d. Stage D (pasien dengan gejala meskipun dengan terapi medis maksimal)

Pada pasien dengan stage D harus dipertimbangkan terapi khusus seperti

terapi inotropik positif kontinyu, transplantasi jantung dan hospice care

(Parker, et al, 2008).

Page 65: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

5

1.6.2 Terapi Farmakologis

NYHA lebih ditujukan untuk mengklasifikasi gejala gagal jantung menurut

evaluasi subyektif klinisi dan tidak mengenali langkah-langkah pencegahan dan

perkembangan penyakit. Gejala pada pasien dapat sering berubah dalam waktu

singkat akibat pemberian terapi, diet, dan kambuhan penyakit. Sedangkan tahapan

ACC/AHA memiliki konsistensi dalam perkembangan penyakit gagal jantung.

Sistem ACC/AHA memberikan gambaran yang lebih komprehensif untuk

evaluasi, pencegahan dan pengobatan gagal jantung (Parker et al., 2008)

Pasien pada tahap A tidak memiliki penyakit jantung struktural atau gejala

gagal jantung tetapi beresiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung

karena adanya faktor resiko (Man, 2008). Diperlukan identifikasi dan modifikasi

faktor resiko agar tidak berkembang menjadi gagal jantung. Faktor resiko antara

lain adalah hipertensi, DM, obesitas, merokok, dan PJK. Kontrol tekanan darah

rutin, pengendalian kadar gula darah mengurangi kerusakan organ, pengobatan

hiperlipidemia dan berhenti merokok pada pasien yang merokok dapat

mengurangi resiko gagal jantung. Pemberian antihipertensi seperti Inhibitor ACE

atau ARB dan lipid-lowering therapies dapat diberikan untuk antihipertensi pada

tahap ini (Parker et al., 2008)

Pasien tahap B telah terjadi perubahan struktural pada jantungnya, tetapi

tidak mengalami gejala dari gagal jantung (Mann, 2008). Pasien ini memiliki

resiko perkembangan gagal jantung dan terapi tahap B ditujukan untuk

meminimalkan cedera dan pencegah atau memperlambat proses remodelling

jantung. Selain langkah – langkah pengobatan pada tahap A, inhibitor ACE dan β-

bloker merupakan terapi penting (Parker et al., 2008).

Pasien pada tahap C dengan perubahan struktur jantung dan memiliki gejala

gagal jantung (Mann, 2008). Pengobatan pada pasien ini memiliki tujuan

mengurangi retensi cairan, meminimalisir ketidakmampuan fisik, memperlambat

progresifitas penyakit, dan mengurangi resiko jangka panjang dari kejadian rawat

inap dan kematian pada pasien. Pada pasien ini terapi yang harus rutin diberikan

adalah diuretik untuk mengontrol keseimbangan cairan intravaskular dengan

antagonis neurohormonal untuk meminimalkan efek dari RAAS dan SNS

(Vardeny et al., 2008). Pemberian ACE inhibitor dan β-bloker. Ketiga terapi

Page 66: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

6

tersebut memperlambat perkembangan gagal jantung, mengurangi morbiditas dan

mortalitas, dan mengurangi gejala (Parker et al., 2008). Penambahan antagonis

aldosteron dan digoxin juga perlu ditambahkan apabila fungsi jantung terus

memburuk (Vardeny et al., 2008).

Pasien pada gagal jantung tahap D adalah pasien dengan gejala yang muncul

walaupun beristirahat meskipun telah diberikan terapi medikal yang maksimal

sehingga memerlukan rawat inap dan intervensi khusus (Mann, 2008). Pasien

pada tahap ini merupakan penderita gagal jantung tahap lanjut yang perlu

dipertimbangkan pemberian terapi inotropik positif secara IV, transplantasi

jantung atau perawatan rumah sakit (Parker et al., 2008). Terapi yang digunakan

secara rutin pada pasien gagal jantung antara lain diuretik, inhibitor ACE dan β-

bloker dan untuk pasien gagal jantung yang tertentu terapi gagal jantung meliputi

ARB, aldosteron antagonis, digoksin, nitrat dan hydralazine. Terapi umum yang

juga penting adalah pembatasan asupan garam, pengukuran berat badan harian,

imunisasi influenza dan pneumococcus, membatasi aktivitas berat, dan

menghindari obat-obat yang dapat memicu gagal jantung (Brunton et al., 2008).

Page 67: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

7

BAB II

FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN

LAPORAN KASUS

Inisial Pasien : Ny. FN Berat Badan : -

Umur : 27 tahun Tinggi Badan : -

Keluhan Utama : Sesak nafas

Diagnosis : Decompensatio Cordis FC IV

Alasan MRS : Sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit,

batuk kadang - kadang

Riwayat Penyakit : Cardiomegali (2010), post kuret 2 tahun yang lalu

Riwayat Pengobatan :Digoksin , Furosemid, Spironolakton, Noperten

Alergi : batuk bertambah parah setelah meminum noperten (lisinopil) sehingga

obat tidak diminum

Kepatuhan - Obat Tradisional -

Merokok - OTC -

alkohol - Lain-lain -

Page 68: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

8

Catatan Perkembangan Pasien

Tanggal Problem/ Kejadian/Tindakan Klinisi

25/11/2013 Pasien masuk ke IRD Rumkital Dr. Ramelan dengan

keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu disertai batuk dan

mual. Kemudian pasien di diagnosa Decompensatio Cordis

FC IV. Kondisi umum pasien lemah, sesak nafas, batuk dan

mual. Suhu badan pasien relatif normal yaitu 36,7 °C,

namun nilai tekanan darah relatif diatas nilai normal 130/90,

nadi 118 kali per menit, dan RR 30 x per menit.

Pasien dipindahkan ke paviliun jantung dan diberikan terapi

Lasix 3 x 20 mg, Spironolakton 1 x 25 mg dipagi hari,

Ranitidin 2 x 50 mg, Digoksin 1 x 0,25 mg, Lisinopril 1 x 5

mg, Dextrometorphan 3 x 1.

26/11/2013 Kondisi pasien membaik namun masih lemah, mual

berkurang, tekanan darah, nadi, RR dan juga suhu sudah

stabil.

Nadi 86 x/menit, suhu tubuh 36,2 °C, RR 20 x/menit.

Terapi yang diberikan tetap, namun pemberian Ranitidin

dihentikan karena pasien sudah tidak mengeluhkan mual.

27/11/2013 Kondisi umum pasien masih lemah dan pasien mengeluhkan

pusing. Suhu badan pasien 36,2 °C, RR 20 x/menit, namun

tekanan darah 110/70 dan nadi 76 x/menit. Sehingga terapi

Lasix (Furosemid) diturunkan dosisnya menjadi 2 x 20 mg,

terapi lainnya tetap.

28/11/2013 Kondisi umum pasien masih lemah dan pusing. Suhu badan,

nadi dan RR relatif normal. Namun tekanan darah pasien

menurun menjadi 90/60, sehingga terapi lasix (furosemid)

diturunkan menjadi 1 x 20 mg.

29/11/2013 Kondisi umum pasien membaik namun masih lemah. Suhu,

nadi, dan RR dalam rentang normal. Tekanan darah 110/80.

Pasien sudah tidak sesak namun masih sedikit batuk. Pasien

mengeluhkan batuk bertambah parah setelah meminum

Page 69: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

9

Lisinopril dan obat sudah tidak diminum selama 2 hari.

Sehingga terapi Lisinopril digantikan dengan Valsartan 1 x

40 mg.

Page 70: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

10

DOKUMEN FARMASI PENDERITA

No. RM : 370245

Nama/Umur : Ny. FN

BB/TB/LPT : -

Riwayat alergi : Tidak diketahui

Diagnosis :

1. Decompensatio Cordis FC IV

Riwayat Penyakit : Cardiomegali (2010), post kuret 2 tahun yang lalu

Riwayat Pengobatan : Digoksin, Furosemid, Spironolakton, Noperten

Alasan MRS : Sesak anafas 2 hari sebelum MRS, batuk kadang-kadang. Pasien

mengeluhkan batuk setelah meminum obat Noperten

No. Nama Obat Dagang/Generik Rute Regimen Dosis 25/11 26/11 27/11 28/11 29/11

1. Furosemid (Lasix) IV 3 x 20 mg √ √ 2 x 20 mg 1 x 20 mg 1 x 20 mg

2. Spironolakton PO 1 x 25 mg √ √ √ √ √

3. Ranitidin IV 2 x 50 mg √ //

4. Digoksin PO 1 x 0,25 mg √ √ √ √ √

5. Lisinopril (Noperten) PO 1 x 5 mg √ √ √ √ //

6. Valsartan PO 1 x 40 mg √

7. Dextrometorphan PO 3 x 1 √ √ √ √ √

8. GG PO 3 x 1 √ √ √ √ √

Page 71: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

11

Data Klinik

Tanda Vital Nilai Normal 25/11 26/11 27/11 28/11 29/11

Tekanan Darah (<130/80) 130/90 110/70 110/70 90/60 110/80

Suhu (37 ± 0,5) °C 36,7 36,2 36,2 36 36,2

Nadi 80-100 x/menit 118 86 76 88 76

RR 18 - 20 30 20 20 20 20

Batuk + + + + Batuk berkurang

Sesak + + - - -

Lemas + + + + +

Pusing + +

Mual + + + - -

Komentar :

Sesak, udema, dan mual yang dialami pasien merupakan gejala klinis dari penyakit gagal jantung. Sesak dikarenakan jantung tidak dapat

memenuhi kebutuhan oksigen tubuh, sedangkan mual disebabkan karena udem di usus dan perfusi ke GIT yang tidak lancar (Vardeny, et

al., 2008)).

Data klinik pasien, nadi dan RR pasien cenderung normal. Hanya pada saat MRS pasien mengalami takikardia mencapai 118 x/menit,

sehingga menunjukkan bahwa pasien mengalami sesak napas. Sedangkan TD cenderung agak tinggi.

Page 72: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

12

Data Laboratorium

No. Data Laboratorium Normal 25/11 26/11 Komentar

1. Kreatinin 0,5 – 1,5 mg/dL 1,4 Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada

hati. ALT juga terdapat pada jantung, otot dan

ginjal. ALT lebih banyak terdapat dalam hati

dibandingkan jaringan otot jantung dan lebih

spesifik menunjukkan fungsi hati daripada AST.

Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada

penyakit hepatoseluler (KemenkesRI, 2011). Pada

gagal jantung terjadi peningkatan HJR (hepato

jugular reflux) yang dapat mengakibatkan hepato

kongestif akibat perpindahan volume darah dari

abdomen ke dalam vena jugularis karena atrium

kanan tidak dapat menerima tambahan volume

darah. Hepatic congestion ini dapat menyebabkan

abnormalitas dari fungsi liver (Vardeny et al.,

2008).

Kondisi gagal jantung merupakan faktor resiko

peningkatan kadar asam urat (Wilson, 2008).

Kondisi gagal jantung dimana terjadi penurunan

cardiac output sehingga terjadi penurunan perfusi

2. BUN 10 – 24 mg/dL 20

3. Na 135 – 145 142,2

4. K 3,5 – 5 4,28

5. Cl 95 – 108 104,7

6. Hb 11 -16 11,2

7. WBC 4,0 – 10,5 10,5

8. Eritrosit 3,5 – 5,5 3,80

9. MCH 27 – 34 29,5

10. MCV 80 – 100 93

11. MCHC 32 – 36 31,7

12. HCT 37 – 54 35,3

13. SGOT/AST 0 - 34 25

14. SGPT/ALT 0 – 31 41

Page 73: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

13

15. gluc 70 – 105 74 yang dapat mengakibatkan akumulasi asam urat

(Fauci, et.al, 2008). Peningkatan asam urat juga

bisa merupakan akibat dari drug induce Furosemid

yang sebelumnya dikonsumsi pasien secara rutin

(Lacy et al, 2009)

Salah satu penyebab gagal jantung adalah CAD

(Coronary Artery Disease), peningkatan nilai

cholesterol,TG, dan LDL merupakan high risk

terjadinya CAD. Untuk pasien dengan CHD

(Chronic Heart Disease) seperti gagal jantung

diharapkan nilai LDL < 100 mg/dl (Ito, 2008).

Pada gagal jantung, hasil EKG dapat menunjukkan

normal atau berbagai kelainan termasuk perubahan

ST-T wave dari miokardial iskemia, atrial

fibrillation, bradicardia dan LV hipertrophy

(Vardeny et al., 2008). Pada pasien Ny. FN hasil

EKG menunjukkan Supraventricular Tachycardial

(AV node dependent tachycardia)

16. Chol 0 – 250 284

17 TG 30 – 150 183

18 Uric Acid 2,4 – 5,7 10,4

19 Alb 3,8 – 5,1 4,3

20 LDL-C 0 – 160 186

Hasil Pemeriksaan :

25/11 EKG : Supraventricular Tachycardial (AV node dependent tachycardia)

Page 74: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

14

Analisis Pengobatan

Tanggal

Pemberian

Jenis Obat Rute Dosis Frekuensi Indikasi obat pada

pasien

Pemantauan

Kefarmasian

Komentar dan Alasan

25/11 –

29/11 Furosemid

(Lasix)

IV 20

mg

3 dd 1

2 dd 1

1 dd 1

Mengatasi

volume overload

pada pasien gagal

jantung

Serum elektrolit

terutama

kalium, fungsi

ginjal (volume

urine, dll),

tekanan darah

Mekanisme kompensasi pada pasien gagal

jantung salah satunya adalah retensi air dan Na,

yang akhirnya juga berakibat pada kongestif di

paru dan edema alveolar yang mengakibatkan

sesak nafas. Pemberian diuretik kuat berfungsi

untuk mengontrol retensi cairan tersebut.

(Parker, et al, 2008)

Dosis intermiten bolus 20 – 200+ mg, dosis

continuous infusion (bolus/infusion) 20-40

mg/2,5-10 mg (Vardeny et al.,2008)

Dalam beberapa controlled trials pemberian

diuretik telah menunjukkan peningkatan

ekskresi natrium di urin dan penurunan tanda

tanda fisik terjadinya retensi cairan. Studi

jangka pendek menyebutkan diuretik

menyebabkan penurunan tekanan vena

jugularis, kongestif paru, edema perifer dan

berat badan. Dalam studi jangka menengah

diuretik terbukti meningkatkan fungsi jantung,

gejala, dan toleransi latihan pada pasien gagal

jantung (ACC/AHA, 2009)

Page 75: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

15

25/11 –

29/11 Spironolakton PO 25

mg

1-0-0 Antiremodeling Serum elektrolit

(kalium),

Tekanan darah

Spironolakton menghambat pembentukan

aldosteron sehingga dapat menghambat

remodeling ventrikel dan fibrosis kardial

(Parker et.al., 2008).

Dosis spironolakton untuk antagonis aldosteron

12,5 – 25 mg sekali dalam sehari. Dalam 2

clinical trial didapatkan hasil spironolakton

dosis rendah dapat mengurangi resiko kematian

dan rehospitalization pada pasien gagal jantung

(ACC/AHA, 2009)

25/11 Ranitidin IV 50

mg

2 dd 1 Mengatasi stress

ulser

Mual dan

muntah

Profilaksis stress ulcer diindikasikan pada

pasien dengan critical illness, pasien yang

memerlukan intensif care , dan beberapa faktor

resiko seperti adanya multiple injuries, spinal

cord injury, injury severity score lebih dari 15,

acute renal failure, and pengobatan yang

memerlukan steroid dosis tinggi. Pilihan terapi

untuk profilaksis stress ulcer antara lain

Ranitidin yang merupakan antagonis reseptor

H2 yang menghambat sekresi asam lambung

(EAST, 2008).

Mual yang timbul pada pasien merupakan

gejala klinis dari gagal jantung. Hal ini terjadi

karena adanya udem pada usus dan juga karena

perfusi darah yang menuju GIT terganggu

Page 76: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

16

(Parker, et al, 2008).

25/11 –

29/11 Digoksin PO 0,25

mg

1 dd 1 Atrial Fibrilasi Nadi, tanda-

tanda toksisitas

digoksin :

cardiac

arrhythmias,

gastrointestinal

symptoms,

neurological

complaints

Digoksin ditambahkan pada pasien HF yang

tetap menunjukkan gejala meskipun telah

diberikan terapi optimal ACEI, ARB, β bloker,

dan diuretik., atau dengan pasien yang

bersamaan dengan adanya atrial fibrilasi untuk

memperlambat laju ventrikel. (Parker et a.l,

2011)

Dosis digoxin dimulai dari 0,125 – 0,25 mg

perhari. Beberapa placebo-controlled trials

menyatakan bahwa terapi menggunakan

digoxin selama 1 – 3 bulan dapat memperbaiki

gejala, kualitas hidup dan toleransi latihan pada

pasien dengan gagal jantung ringan sampai

sedang (ACC/AHA,2009). Konsentrasi serum

digoksin yang diinginkan adalah 0,5 – 1 ng/mL

untuk mengurangi efek toksisitas dari digoksin

(Parker et al., 2008).

25/11 –

28/11 Lisinopril

(Noperten) PO 5 mg 1 dd 1

anti hipertensi dan

sebagai

antiremodelling

Tekanan darah,

elektrolit tubuh

(Kalium)

Lisinopril merupakan golongan ACE inhibitor

yang akan menghambat jalur perubahan

angiotensin I menjadi angiotensin II yang

merupakan vasokonstriktor poten. Angiotensin

II juga dapat menstimulasi pengeluaran

aldosteron dan arginin vasopressin, serta

Page 77: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

17

mengaktivasi sistem saraf simpatis perifer

maupun sentral. Terjadinya penghambatan oleh

ACE inhibitor akan menyebabkan penurunan

preload dan afterload. ACE inhibitor

meningkatkan harapan hidup serta menurunkan

perkembangan tingkat keparahan heart failure

(Parker, et al, 2008). Pada pasien mengalami

gejala batuk yang bertambah parah pada saat

memakai lisinopril. Efek samping ACE antara

lain batuk, rash kulit, dan angioedema (Opie,

2007). Batuk terjadi pada 40 % pasien gagal

jantung yang menerima terapi inhibitor ACE.

Akumulasi bradikinin pada penggunaan

inhibitor ACE dapat menyebabkan batuk pada

pemakaian 1 bulan pertama inhibitor ACE, dan

membaik pada 1 – 2 minggu pemberhentian

pemakaian inhibitor ACE, sehingga

penggantian inhibitor ACE dan ARB dirasa

tepat untuk pasien yang tidak dapat mentolelir

batuk (Parker et al., 2008).

29/11 Valsartan PO 40

mg 1 dd 1

- Antihipertensi

- Anti

remodelling

- Tekanan

Darah

- Serum

elektrolit

Valsartan mengantagonisasi efek dari

angiotensin II (sekresi aldosteron dan

vasokonstriksi) dengan cara mengeblok

reseptor angiotensin 2 di otot polos pembuluh

Page 78: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

18

(terutama

kalium)

darah dan kelenjar adrenal sehingga dapat

menurunkan tekanan darah (Lacy, 2009).

Pelepasan angiotensin II dapat menyebabkan

pertumbuhan sel miosit, otot polos pembuluh

darah dan peningkatan produksi kolagen.

Ketiga komponen ini yang menyebabkan

remodeling jantung (Zawawi, 2009). Valsartan

digunakan dalam managemen hipertensi untuk

menurunkan mortalitas jantung pada pasien

dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal

jantung (Sweetman, 2009).

Terapi valsartan dimulai dari dosis kecil 20-40

mg dua kali sehari kemudian untuk dosis

pemeliharaan 160 mg dua kali sehari.

Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien

yang tidak dapat diberikan terapi inhibitor ACE

karena batuk, rash kulit, dan angioedema

(Opie, 2007). Batuk terjadi pada 40 % pasien

gagal jantung yang menerima terapi inhibitor

ACE. Akumulasi bradikinin pada penggunaan

inhibitor ACE dapat menyebabkan batuk pada

pemakaian 1 bulan pertama inhibitor ACE, dan

membaik pada 1 – 2 minggu pemberhentian

pemakaian inhibitor ACE, sehingga

Page 79: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

19

penggantian inhibitor ACE dan ARB dirasa

tepat untuk pasien yang tidak dapat mentolelir

batuk (Parker et al., 2008).

25/11 –

29/11 Dextrometor

phan PO 5 mg 3 dd 1 Antitusif Batuk

Sebagai penekan batuk pada batuk non-

produktif, bekerja menekan pusat batuk di

medula (Sweetman, 2009). Namun pemberian

antitusif pada pasien kurang tepat karena jenis

batuk yang dirasakan pasien adalah batuk

produktif sehingga antitusif akan menghambat

pengeluaran sputum batuk pada pasien.

25/11 –

29/11

GG (Glyceryl

guaiacolate) /

Guaifenesin

p.o 100

mg 3 dd 1 Ekspektoran

Batuk

Sputum

Sebagai ekspektoran pada batuk produktif.

Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi

mukosa lambung secara refleks merangsang

sekresi kelenjar saluran nafas lewat saraf vagus

meningkatkan volume dan mempermudah

pengeluaran sputum, selain itu juga

menurunkan viskositas sputum (Lacy 2009).

Page 80: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

20

ASUHAN KEFARMASIAN Termasuk:

1. Masalah aktual & potensial terkait obat 3. Pemantauan efek obat 5. Pemilihan obat 7. Efek samping obat

2. Masalah obat jangka panjang 4. Kepatuhan penderita 6. Penghentian obat 8. Interaksi obat

OBAT*

PROBLEM

TINDAKAN (USULAN PADA KLINISI,

PERAWAT, PASIEN)

Lisinopril , Spironolakton, Furosemide,

Digoxin Efek hiperkalemia berpotensi terjadi pada

pasien yang menerima ACE Inhibitor

(Lisinopril) dengan diuretik hemat kalium

(Spironolakton) atau obat lain yang dapat

menyebabkan hiperkalemia seperti digoxin

(Sweetman, 2009).

Selain itu spironolakton dapat meningkatkan

level/efek dari digoxin dengan menghambat

tranport P-glycoprotein yang dapat

meningkatkan half-life dari digoxin dan

toksisitas digoxin dapat muncul.

Furosemide juga dapat meningkatkan efek dari

digoxin dengan sinergisme farmakodinamik,

kemungkinan terjadi interaksi yang signifikan,

karena keadaan hipokalemia dapat

meningkatkan efek dari digoksin.

Monitoring ketat kadar kalium dalam darah dan

tanda – tanda toksisitas digoxin (Palpitasi,

kejang, pandangan kabur, mual, muntah,

anorexia, kebingungan)

Furosemide Pada tanggal 26/11 kadar asam urat pasien 10,4 .

Peningkatan asam urat bisa merupakan drug

induced dari furosemid.

Perlu monitoring ketat kadar asam urat, apabila

terus mengalami kenaikan perlu diberikan

Allupurinol sebagai terapi mengurangi asam

urat.

Page 81: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

21

MONITORING

PARAMETER TUJUAN

Mual, muntah, nyeri

lambung

Untuk mengetahui efikasi serta efektivitas dari terapi ranitidin

Serum elektrolit kalium Untuk memantau kondisi hiperkalemia pada pasien yang disebabkan oleh interaksi lisinopril, spironolakton,

dan digoksin

Sesak Mengetahui efektifitas pemberian GG dan DMP

Udema dan volume urin Untuk mengetahui efektifitas pemberian furosemide

Nadi, tekanan darah Mengetahui efektifitas pemberian digoksin, lisinopril, spironolakton

Palpitasi, kejang,

pandangan kabur, mual,

muntah, anorexia,

kebingungan

Memantau gejala toksisita digoxin

Serum asam urat Mengetahui gejala drug induce dari furosemide

KONSELING PADA PASIEN

Materi Konseling Konseling

Spironolakton Diminum pada pagi hari satu tablet sesudah makan

Digoxin Dimunim pada pagi hari satu tablet sesudah makan

Noperten (Lisinopril) Dimunim pada pagi hari satu tablet pada perut kosong. 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan

Dextrometorphan Diminum satu tablet sesudah makan

GG Diminum satu tablet sesudah makan

Valsartan Dimunim pada pagi hari satu tablet pada perut kosong. 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan karena

Page 82: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

22

absorbsinya akan berkurang 50% apabila diminum bersamaan dengan makanan.

KONSELING PADA PERAWAT

Materi Informasi

Furosemide Inj. Lasix yang terlalu cepat dapat menyebabkan tinitus dan ketulian, lama pemberian secara i.v bolus adalah

selama 1-2 menit perlahan.

Stabilitas :

a. Disimpan pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya.

b. Sebaiknya tidak disimpan dalam kulkas karena dapat menyebabkan terbentuknya kristal.

c. Paparan terhadap cahaya dapat menyebabkan perubahan warna.

d. Jangan digunakan jika larutan sudah kuning.

(Trissel, 2009)

Ranitidin a. Injeksi diberikan selama 2-5menit. Laju maksimum 4,l/menit

b. Larutan yang berwarna kecoklatan harus dibuang

c. Simpan pada suhu 25-300

C di tempat kering dan terlindung dari cahaya.

d. Gunakan larutan rekonstitusi dalam waktu 24 jam. Larutkan 1 ampul (50mg/2ml) dengan 18 ml NS atau

D5W. Konsentrasi maksimum 2,5 mg/ml (Trissel, 2009)

Page 83: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

23

BAB 3

PEMBAHASAN

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian nomor satu dan

kecacatan di seluruh dunia. Jumlah penderita penyakit kardiovaskular

diperkirakan akan terus bertambah. WHO memperkirakan pada tahun 2030,

sekitar 23,6 juta orang akan mati karena penyakit kardiovaskular ,terutama oleh

penyakit jantung dan stroke (WHO,2011). Pasien Ny. FN berumur 27 tahun

masuk rumah sakit karena sesak nafas sejak 2 hari sebelumnya, batuk, lemas dan

mual. Dokter mendiagnosa pasien Decompensatio Cordis FC IV.

Decompensatio Cordis atau gagal jantung dengan funcional class IV

merupakan salah satu klasifikasi gagal jantung dari New York Heart Association

(NYHA) dengan funcional class IV yaitu tidak mampu untuk melakukan aktifitas

fisik tanpa ketidaknyamanan, gejala muncul ada saat istirahat dan apabila aktivitas

fisik dilakukan maka ketidaknyamanan meningkat (McMurray, 2010). Gagal

jantung dengan functional class IV sama dengan klasifikasi ACC/AHA untuk

gagal jantung stage C/D. Gagal jantung stage C yaitu gagal jantung yang telah

terjadi perubahan struktur jantung dan menunjukkan gejala gagal jantung,

sedangkan stage D adalah gagal jantung yang tetap menunjukkan gejala meskipun

telah diberikan terapi medis yang maksimal (Vardeny et al., 2008).

Pada pasien gagal jantung stage C terapi yang harus rutin diberikan adalah

diuretik untuk mengontrol keseimbangan cairan intravaskular dengan antagonis

neurohormonal untuk meminimalkan efek dari RAAS dan SNS (Vardeny et al.,

2008). Pemberian ACE inhibitor dan β-bloker. Ketiga terapi tersebut memperlambat

perkembangan gagal jantung, mengurangi morbiditas dan mortalitas, dan mengurangi

gejala (Parker et al., 2008). Penambahan antagonis aldosteron dan digoxin juga perlu

ditambahkan apabila fungsi jantung terus memburuk (Vardeny et al., 2008). Pasien

pada gagal jantung tahap D adalah pasien dengan gejala yang muncul walaupun

beristirahat meskipun telah diberikan terapi medikal yang maksimal sehingga

memerlukan rawat inap dan intervensi khusus (Mann, 2008). Pasien pada stage D

merupakan penderita gagal jantung tahap lanjut yang perlu dipertimbangkan

pemberian terapi inotropik positif secara IV, transplantasi jantung atau perawatan

Page 84: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

24

rumah sakit (Parker et al., 2008). Terapi yang digunakan secara rutin pada pasien

gagal jantung antara lain diuretik, inhibitor ACE dan β-bloker dan untuk pasien gagal

jantung yang tertentu terapi gagal jantung meliputi ARB, aldosteron antagonis,

digoksin, nitrat dan hydralazine. Terapi umum yang juga penting adalah pembatasan

asupan garam, pengukuran berat badan harian, imunisasi influenza dan

pneumococcus, membatasi aktivitas berat, dan menghindari obat-obat yang dapat

memicu gagal jantung (Brunton et al., 2008).

Pasien pada tanggal 25/11 mendapat terapi Furosemide (Lasix) 3 x 10 mg

secara iv, Spironolacton 25 mg pada pagi hari, Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg,

Digoxin tablet 1 x 0,25 mg , Lisinopril tablet 1 x 5 mg, Guaifenesin/GG 3 x 100

mg, dan Dextromethorphan 3 x 5 mg.

Pemberian diuretik furosemid merupakan pengobatan farmakologis

pertama yang digunakan untuk volume overload pada pasien dengan gagal

jantung. Pada gagal jantung, diuretik digunakan untuk mengembalikan dan

menjaga status volume pada pasien dengan gejala kongestif seperti dispnea,

orthopnea, dan edema atau tanda peningkatan tekanan pengisian (rales, edema

perifer, distensi vena jugularis). Diuretik Loop seperti furosemide bekerja pada

loop of henle dengan menginhibisi reabsorbsi Na+, K

+,dan Cl

– pada bagian

asendens pada loop of Henle. Dosis intermiten bolus 20 – 200+ mg, dosis

continuous infusion (bolus/infusion) 20-40 mg/2,5-10 mg (Vardeny et al.,2008).

Dalam beberapa controlled trials pemberian diuretik telah menunjukkan

peningkatan ekskresi natrium di urin dan penurunan tanda tanda fisik terjadinya

retensi cairan. Studi jangka pendek menyebutkan diuretik menyebabkan

penurunan tekanan vena jugularis, kongestif paru, edema perifer dan berat badan.

Dalam studi jangka menengah diuretik terbukti meningkatkan fungsi jantung,

gejala, dan toleransi latihan pada pasien gagal jantung (ACC/AHA, 2009). Efek

samping yang disebabkan oleh furosemid antara lain hipokalemia (14-60%) dan

hiperuricemia (40%), sehingga perlu monitor ketat seum kalium dan juga asam

urat (Lacy, 2009). Pada pasien ini kadar kalium masih dalam rentan normal

namun terjadi kenaikan serum asam urat. Peningkatan asam urat bisa merupakan

drug induce dari furosemide, karena pasien memiliki riwayat pengobatan rutin

salah satunya adalah furosemid.

Page 85: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

25

Spironolakton digunakan sebagai antagonis aldosterone dikombinasikan

dengan ACE inhibitor/ARB. Walaupun ACE inhibitor ataupun ARB dapat

mengurangi produksi dari aldosteron namun tidak dalam jangka panjang.

Spironolakton merupakan antagonis aldosteron yang paling banyak digunakan,

dimulai dengan dosis 12,5 mg perhari yang ditambahkan pada terapi ACE

inhibitor pada pasien dengan fnctional class IV. Resiko kematian berkurang dari

46% menjadi 35%, penurunan indikasi rawat inap sebesar 35% dan peningkatan

kelas fungsional (ACC/AHA, 2009). Spironolactone bekerja melalui blokade

reseptor mineralokortikoid sehingga dapat menghambat remodeling ventrikel dan

fibrosis kardial (Parker et.al., 2008). Dosis spironolakton untuk antagonis

aldosteron 12,5 – 25 mg sekali dalam sehari. Dalam 2 clinical trial didapatkan

hasil spironolakton dosis rendah dapat mengurangi resiko kematian dan

rehospitalization pada pasien gagal jantung. Efek samping mayor dari

penggunaan spironolacton adalah hiperkalemia karena spironolakton menghambat

ekskresi dari kalium, sehingga perlu monitoring serum kalium dan fungsi ginjal

karena gangguan ekskresi kalium (ACC/AHA, 2009).

Pemberian terapi Ranitidin untuk menangani problem medik mual pada

pasien. Ranitidin merupakan antagonis H2 dengan cara mengurangi sekresi asam

lambung sebagai akibat dari hambatan reseptor H2 (Sweetman, 2009). Mual yang

timbul pada pasien merupakan gejala klinis dari gagal jantung. Hal ini terjadi

karena adanya udem pada usus dan juga karena perfusi darah yang menuju GIT

terganggu (Parker, et al, 2008). Pada pasien gagal jantung kronik yang berat

terjadi penurunan berat badan yang akan mengakibatkan sindrom cardiac

cachexia. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti hilangnya nafsu makan,

malabsorbsi karena edema pada gastrointestinal, meningkatan metabolisme dan

level dari proinflammatory cytokin (Vardeny et al., 2008).

Digitalis memiliki efek inotropik positif digunakan untuk meningkatkan

kontraktilitas miokard. Mekanisme kerja digoksin adalah menghambat pompa Na-

K ATPase yang menghasilkan peningkatan natrium intraseluler. Mekanisme

tersebut meningkatkan cadangan kalsium intraseluler pada retikulum

sarkoplasmik pada otot jantung pada otot jantung yang akan meningkatkan

kontraksi otot. Digoksin ditambahkan pada pasien HF yang tetap menunjukkan

Page 86: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

26

gejala meskipun telah diberikan terapi optimal ACEI, ARB, β bloker, dan

diuretik., atau dengan pasien yang bersamaan dengan adanya atrial fibrilasi untuk

memperlambat laju ventrikel. (Parker et a.l, 2011). Dosis digoxin dimulai dari

0,125 – 0,25 mg perhari. Beberapa placebo-controlled trials menyatakan bahwa

terapi menggunakan digoxin selama 1 – 3 bulan dapat memperbaiki gejala,

kualitas hidup dan toleransi latihan pada pasien dengan gagal jantung ringan

sampai sedang (ACC/AHA,2009). Konsentrasi serum digoksin yang diinginkan

adalah 0,5 – 1 ng/mL untuk mengurangi efek toksisitas dari digoksin (Parker et

al., 2008). Toksisitas digoxin yang perlu di waspadai adalah cardiac aritmia,

gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, anorexia, dan gangguan

neurologikal (gangguan pengelihatan, disorientasi dan kebingungan) (ACC/AHA,

2009).

Lisinopril merupakan ACE inhbitor yang memegang peranan penting dalam

pencegahan dan pengobatan gagal jantung pada semua tahap. Pada beberapa

penelitian klinik menyebutkan bahwa pemberian inhibitor ACE terbukti dapat

mencegah dan menghambat perkembangan gagal jantung, mengurangi gejala,

meningkatkan toleransi latihan, mengurang resiko kematian jangka panjang, serta

mengurangi kejadian rawat inap berulang pada pasien gagal jantung (Mann, 2008).

Mekanisme kerja dari inhibitor ACE adalah menginhibisi enzim yang berperan

terhadap konversi angiotensin menjadi angiotensin II. Inhibitor ACE dapat

menghambat kininase II, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan bradikinin,

yang akan meningkatkan efektivitas dari supresi angiotensin. Inhibitor ACE

menstabilkan LV remodeling, meringankan gejala, mengurangi kemungkinan

opname, dan memperpanjang harapan hidup (Brunton et al., 2008). Efek samping

yang banyak terjadi pada pemberian inhibitor ACE adalah hipotensi diikuti rasa

pusing atau disfungsi renal menjadi lebih berat (Lacy et al., 2009).

Terapi pemberian GG dan Dextromethorphan untuk mengatasi problem

medik batuk pada pasien. Pasien mengeluhkan batuk berdahak, sehingga

pemberian Dextromethorphan dirasa kurang tepat karena DMP berkerja dengan

cara menghambat pusat batuk di medulla (Sweetman, 2009). Sedangkan

pemberian GG/guaifenesin digunakan untuk merangsang produksi sputum dan

menurunkan viskositas dari sputum (Lacy et al, 2009).

Page 87: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

27

Pada tanggal 26/11 tanda vital pasien membaik, pasien tidak lagi

merasakan mual namun masih sesak, batuk dan lemas. Sehingga pemberian

ranitidin dihentikan. Pada tanggal 27/11 Kondisi umum pasien masih lemah dan

pasien mengeluhkan pusing. Suhu badan pasien 36,2 °C, RR 20 x/menit, namun

tekanan darah 110/70 dan nadi 76 x/menit. Sehingga terapi Furosemide

diturunkan dosisnya menjadi 2 x 20 mg, sedangkan terapi lainnya tetap. Kondisi

umum pasien masih lemah dan pusing. Suhu badan, nadi dan RR relatif normal.

Namun tekanan darah pasien menurun menjadi 90/60, sehingga terapi Furosemide

diturunkan menjadi 1 x 20 mg.

Kondisi umum pasien membaik namun masih lemah. Suhu, nadi, dan RR

dalam rentang normal. Tekanan darah 110/80. Pasien sudah tidak sesak namun

masih sedikit batuk. Pasien mengeluhkan batuk bertambah parah setelah

meminum Lisinopril dan obat sudah tidak diminum selama 2 hari. Sehingga terapi

Lisinopril digantikan dengan Valsartan 1 x 40 mg. Sebagai Angiotensin II

Reseptor bloker, terapi valsartan dimulai dari dosis kecil 20-40 mg dua kali sehari

kemudian untuk dosis pemeliharaan 160 mg dua kali sehari. Pemakaian valsartan

harus dimonitor tekanan darah, fungsi ginjal, dan serum kalium (Parker et al.,

2008).

Angiotensin II Reseptor bloker merupakan inhibitor selektif yang

menghambat ikatan Angiotensin II dengan reseptor AT1, menghambat sistem

Renin-Angiotensin-Aldosteron, mengakibatkan vasokonstriksi, sehingga

pembuluh darah mengalami vasodilatasi. Obat ini ditoleransi dengan baik pada

pasien yang tidak dapat diberikan terapi inhibitor ACE karena batuk, rash kulit,

dan angioedema (Opie, 2007). Batuk terjadi pada 40 % pasien gagal jantung yang

menerima terapi inhibitor ACE. Akumulasi bradikinin pada penggunaan inhibitor

ACE dapat menyebabkan batuk pada pemakaian 1 bulan pertama inhibitor ACE,

dan membaik pada 1 – 2 minggu pemberhentian pemakaian inhibitor ACE,

sehingga penggantian inhibitor ACE dan ARB dirasa tepat untuk pasien yang

tidak dapat mentolelir batuk (Parker et al., 2008).

Walaupun inhibitor ACE dan ARB menghambat sistem renin-angiotensin,

kedua golongan obat ini bekerja dalam mekanisme yang berbeda. Inhibitor ACE

memblokir enzim yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi

Page 88: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

28

angiotensin II, ARB memblokir ikatan angiotensin II pada reseptor angiotensin

tipe I sehingga menyebabkan vasodilatasi, penurunan vasopresin dan mengurangi

sekresi aldosteron sehingga menurunkan retensi natrium dan air yang

mengakibatkan penurunan tekanan darah (Ghosh et al., 2010; Opie, 2007). ARB

tidak mempengaruhi jalur siklooksigenase dan tidak memproduksi bradikinin

(yang diaktifkan oleh inhibitor ACE), sehingga ARB dapat menghambat aktivasi

sistem RAAS secara lebih komplit (Thang, 2007).

Beberapa penelitian klinik menunjukkan manfaat terapeutik dari

penambahan ARB pada terapi inhibitor ACE pada pasien HF kronis. Baik

inhibitor ACE maupun ARB memiliki efek serupa terhadap tekanan darah, fungsi

ginjal, dan potasium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa (Mann,

2008). Efek samping yang biasa terjadi pada pemakaian ARB adalah hipotensi,

disertai pusing, kelelahan, hiperkalemia, dispepsia dan diare. Efek samping yang

potensial terjadi adalah infeksi saluran pernafasan atas, batuk, pusing, nyeri perut,

dispnea, angioedema (Lacy et al, 2009).

Studi Val-HeFT (Valsartan Heart Failure Trial) yang dipublikasikan oleh

New England Journal of Medicine membandingkan antara pemberian valsartan

dan placebo pada pasien gagal jantung kelas II sampai IV NYHA. Studi dilakukan

pada 5010 pasien dengan menerima terapi valsartan 160 mg atau plasebo dua kali

sehari. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian terapi valsartan menghasilkan

peningkatan perbaikan klasifikasi kelas NYHA, peningkatan EF, penurunan gejala

dan meningkatkan kualitas hidup pasien dibandingkan dengan plasebo. Hasil

penelitian menemukan bahwa pemberian valsartan mengurangi mortilitas dan

morbiditas secara signifikan dan mengurangi gejala pada pasien gagal jantung

(Cohn dan Tognoni 2001).

Pada tanggal 30/11 pasien telah mengalami perbaikan tandavital dan

keluhan berkurang sehingga diperbolehkan untuk keluar rumah sakit dengan

membawa obat Furosemide 1 x 10 mg, Spironolakton 1 x 25 mg, Digoxin 1 x 1,25

mg, dan Valsartan 1 x 40 mg.

Page 89: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

29

DAFTAR PUSTAKA

ACC/AHA,. 2009. ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and Management

of Heart Failure in Adults: A Report of the American College of

Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on

Practice Guidelines. Dallas : American Heart Association, Inc.

Brunton, L., Parker,K., Blumenthal, D., and Buxton, I., 2008. Goodman &

Gilman: Manual of Pharmacology and Therapeutics, New York : The

McGraw-Hill companies, Inc. pp 561 – 577.

Cohn,J.N., and Tognoni,G., 2001. Val-HeFT (Valsartan Heart Failure Trial

Investigators): A Randomized Trial of the Angiotensin-Receptor Blocker

Valsartan in Chronic Heart Failure. The New England Journal of

Medicine, Vol. 345, No. 23

Ghosh, S.A., Sanjeev K and G.N. Mehta., 2010. A short and efficient synthesis of

Valsartan via Negishi reaction. Beilstein of Organic Chemistry.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Pedoman Intepretasi Data

Klinik. Jakarta

Lacy, C.F; Amstrong, L.L; Goldman, M.P; Lance, L., 2009. Drug Information

Handbook, Ohio : Lexi-Comp. Inc.

*Mann, D.L., 2008, Heart Failure and Cor Pulmonale, In: Liby P, Bonow RO,

Mann DL, and Zipes, D.P., Braundwald’s Heart Disease A Textbook of

cardiovascular Medicine, 8th edition Elsevier Inc., Philadelphia, pp 509-

724.

*Mann, D.L., 2007, Management of Heart Failure Patiens with Reducted Ejection

Fraction, In: Liby P, Bonow RO, Mann DL, and Zipes, D.P., Braundwald’s

Heart Disease A Textbook of cardiovascular Medicine, th edition. USA:

Elsevier Inc.

McMurray, J.J.V., 2010. Systolic Heart Failure. The New England Journal of

Medicine, Vol. 362, No. 3

Opie, L.H., 2007, Heart Failure, In: Libby, P., Bonow, R.O., Mann, D.L., and

Zipes, D.P., BRAUNWALD’S Heart Disease : A Textbook of

Cardiovascular Medicine, 8th edition USA : Elsevier Inc.

Parker, Robert B., Rodgers, Joe., Cavallari, and Carisa H., 2008, Heart Failure, In:

Dipiro T.J, Talbert R.L, Yee G.C, Matzki, G.R., Weels, B.G., and Posey,

L.M.,, Pharmacotherapy A Pathophysiology Approach, 7th edition The

cGraw Hill Companies, Inc., New York, pp.173-216.

Page 90: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

30

Sweetman, 2009. Martindale, 36 th

ed, London : Pharmacetical Press

Tang, W.H.W., and Young, J.B., 2007, Chronic Heart Failure Management, In:

Topol EJ, Textbook of Cardiovascular Medicine, third edition, Lippincott

Williams & Wilkins, USA, pp 1373 – 1391

Trissel, L.A. 2009. Handbook on Injectable Drugs, 15 th ed, Maryland : American

Society of Health-System Pharmacists, Inc

Vardeny, O; Tien, M.H.. 2008, ‘Heart Failure’, In DiPiro, J.T., L., Yee, G.C.,

Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (eds), Pharmacotherapy: a

pathophysiologic approach, 7th ed, The McGraw-Hill Companies, Inc.,

United States of America.

Page 91: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

1

BAB 1

1.1 Sirosis Hepatik

1.1.1 Definisi

Sirosis adalah keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir

fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari

arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif (Perhimpunan Dokter

Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).

1.1.2 Etiologi

Keadaan sirosis dapat disebabkan beberapa hal, yaitu:

1. Virus hepatitis VHB dan VHC (komplikasi akhir dari penyakit ini adalah

Sirosis Hepatis).

2. Alkohol (zat toksik yang paling sering dikonsumsi dan merusak hepar).

3. Hemokromatosis (akumulasi zat besi yang berlebihan di hepar).

4. Penyakit auto imun hepar (hepatitis ‘lupoid’ dan sirosis biliaris primer).

5. Obstruksi biliaris rekuren (misalnya batu empedu).

6. Penyakit Wilson (akumulasi tembaga yang berlebihan di hepar) (Sease et al,

2008).

1.1.3 Patofisiologi

Adanya pembahasan sirosis harus didasarkan pada suatu pemahaman pasti

dari anatomi hepatik dan persediaan vaskuler. Secara konseptual, hati dapat

dikatakan sebagai suatu elaborasi filtrasi sistem penerima darah dari vena portal

dan arteri hepatik. Darah masuk hati melalui rangkaian tiga saluran portal dan

saluran melalui lobule hepatik, unit fungsional yang paling kecil dari sistem

filtrasi ini, dan ke dalam vena pusat . Lobule hepatik adalah dalam keadaan

heksagonal, disudut dimana terdapatnya lokasi rangkaian tiga saluran portal, yang

berisi cabang yang paling kecil pembuluh darah vena portal dan arteri hepatik,

seperti halnya empedu dan kelenjar lymphatik. Dalam lobule, hepatositas

individu, mengatur plat, menyebar dari peripheral ke vena pusat. Lobule hepatic

dapat menunjang zona fungsional dasar suplai oksigen relatif. Arteri hepatik

Page 92: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

2

suplai darah yang kaya oksigen pada rangkaian vena portal. Hepatocytes di

peripheral menerima lebih tinggi oksigen dibanding sel dekat vena pusat.

Arteri dan pembuluh darah vena dari tiga rangkaian portal lewat melalui

lobule hepatik pada vena pusat melalui hepatik sinusoid. Setelah melintasi lobule

hepatik, darah berkumpul di vena pusat, yang akhirnya bersatu ke dalam vena

hepatik, yang kemudian masuk ke dalam vena cava inferior.

Di area kerusakan hepatoseuler, mengabaikan sifat alami agen inciting,

stellate sel, secara normal melibatkan penyimpanan retinoid seperti vitamin A,

menjadi aktif, menghilangkan retinoid mereka, dan kembangkan bentuk fibroblas.

Mereka kemudian menjadi sumber utama kolagen dan matriks protein lain

berkembang selama fibrosis.

Peghilangan progresif dari material fibrous dalam

sinusoid mengganggu darah normal mengalir sepanjang lobule hepatik. Ketika

jaringan fibrous berkumpul, penahanan pada darah portal meningkatkan aliran,

menghasilkan persisten dan meningkatnya progresif dalam tekanan darah portal,

atau hipertensi portal ( PHT). Tekanan vena portal normal adalah 5 sampai 10

mmHg. Secara klinis PHT signifikan ketika tekanan pembuluh vena portal

meningkat sampai batas di mana 10 mmHg lebih besar dari tekanan dalam vena

cava inferior.

Ada juga bukti perubahan mediator vasodilator dan vasokonstriktor

mengatur aliran darah sinusoidal hepatik. Penurunan produksi dari nitric oksida

yang bertindak sebagai suatu vasodilator, dan suatu peningkatan di dalam level

vasokonstriktor kombinasi endotel untuk meningkatkan tahanan pada aliran darah.

Secara bersamaan, di sana juga nampak peningkatan dalam aliran darah vasculatur

splan melalui nitric oksida efek mediasi pada arteriol splan. Perubahan pisiologis

ini adalah target pendekatan terapi farmakologis.

Secara ringkas, cirrhosis mengakibatkan tingginya tekanan darah portal

karena perubahan fibrotik di dalam hepatik sinusoid, perubahan level mediator

vasodilator dan vasokonstriktor, dan peningkatan aliran darah pada vasculatur

splan.

Page 93: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

3

1.1.4 Komplikasi

a. Hipertensi portal.

Merupakan faktor pemicu untuk komplikasi dari sirosis hati penyakit

ascites, SBP), perdarahan varises, dan ensefalopati hati. Menurunkan tekanan

portal dapat mengurangi komplikasi sirosis dan penurunan morbiditas dan

mortalitas. Tekanan vena portal normal adalah antara 5-10 mmHg, sedagkan

hipertensi portal terjadi ketika tekanan vena portal melebihi 10-12 mmHg (Ryan,

2008).

Gejala sisa klinis yang paling penting dari hipertensi portal adalah

pengembangan varises atau rute alternatif aliran darah dari vena portal ke sirkulasi

sistemik. Varises dapat terjadi pada saluran pencernaan , namun rute yang paling

signifikansi yang paling klinis melalui vena lambung kiri dengan perkembangan

varises esofagus. Pasien dengan sirosis beresiko untuk perdarahan varises saat

tekanan vena portal 12 mm Hg lebih besar dari tekanan vena kava. Perdarahan

dari varises terjadi pada 25 % - 40 % pasien dengan sirosis (Sease et al, 2008).

Page 94: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

4

Gambar 1. manajemen hipertensi portal (Tsao dan Limm, 2009)

Page 95: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

5

b. Asites

Pada keadaan hipertensi portal memicu vasodilatasi pada arteri limfa dan

menurunkan resistensi perifer (pelepasan nitrit okside). Hal tersebut menyebabkan

hipotensi sistemik yang dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik dan system

renin-angiotensin sehingga meningkatkan retensi natrium dan air. Adanya

peningkatan tersebut dapat menyebabkan vasokonstriktor, tetapi terjadi

vasodilator pada limfa yang dapat meningkatkan aliran darah ke hati. Keadaan

tersebut dapat menyebabkan terjadinya hipertensi portal, sehingga cairan yang ada

di vena portal tereksavasasi ke rongga perut dan menyebabkan (Sease, et al,

2008).

Gambar 2. Patofisiologi Asites (Sease, et al, 2008)

Pada keadaan ascites sangat rentan juga terjadi Spontaneus Bacterial

Peritonitis (SBP). SBP merupakan infeksi yang terdapat pada cairan ascites.

Patogenesis SBP belum banyak diketahui. Tetapi beberapa sumber mengatakan

SBP disebabkan organisme dari usus masuk melalui aliran darah, dimana pada

kondisi ascites permeabilitas rongga peritoneal meningkat. Cairan ascites

merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri karena kadar leukosit dan

albumin yang rendah. Beberapa bakteri yang menyebabkan SBP adalah gram

negatif Enterobacteriaceae (Sease, et al, 2008).

Page 96: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

6

AASLD merekomendasi penggunaan terapi diuretik dengan spironolakton

serta furosemid. Sebelumnya, digunakan spironolakton sebagai monoterapi.

Tetapi drug-induced dari spironolakton adalah hiperkalemia, maka spironolakton

hanya direkomendasikan pada pasien dengan minimal cairan yang berlebih

(Sease, et al, 2008).

c. Perdarahan varises akut

Perdarahan pada varises secara khas menunjukkan hematemesis atau

melena. Pentingnya faktor risiko seperti penyalahgunaan alcohol, penggunaan

NSAID atau aspirin, atau riwayat perdarahan varises sebelumnya. Perdarahan

varises sekunder dengan portal hipertensi dapat terjadi pada pasien tanpa adanya

tanda penyakit hati, misalnya pada pasien dengan trombosis vena portal.

Penilaian awal dapat menetapkan keparahan perdarahan, keparahan kelainan

organ lain, dan keparahan penyakit hati (Sease, et al, 2008).

Tujuan dari pengobatan awal adalah a) resusitasi cairan yang adekuat, b)

koreksi koagulopati dan trombositopenia, c) kontrol perdarahan, d) pencegahan

perdarahan kembali, dan e) memelihara fungsi ginjal. Manajemen dari perdarahan

varises akut, adalah:

Gambar 3. Manajemen dari perdarahan varises akut (Sease, et al, 2008).

Page 97: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

7

d. Hepatic encephalopathy

Gangguan hati akan menimbulkan gangguan metabolisme protein ,

sehingga dapat menimbulkan kekacauan berfikir dan status mental, yang disebut

Hepatic encephalopathy (HE). Timbulnya HE dapat merupakan pertanda awal

terjadinya GI Bleeding, karena darah yang juga merupakan protein dipecah oleh

mikroba usus menjadi amoniak. Gejala HE dapat berupa kejang sampai penurunan

kesadaran (McPhee, 2009).Bleeding, karena darah yang juga merupakan protein

dipecah oleh mikroba usus menjadi amoniak. Gejala HE dapat berupa kejang

sampai penurunan kesadaran (McPhee, 2009).

Gambar 4. Hipotesis terjadinya HE (Frederick, 2011)

Terdapat beberapa hipotesis mengenai terjadinya HE, yaitu:

(1) Peningkatan zat toksin (amoniak) dalam tubuh; peningkatan amoniak

dapat terjadi karena intake protein yang tinggi, GI bleeding, penggunaan

TIPS (transhepatic intrahepatic portosystemic shunts).

(2) Peningkatan permeabilitas Blood brain barrier (BBB), sehingga zat-zat

toksin dapat menembus BBB dengan mudah.

(3) Peningkatan produksi Neurosteroid seperti allopregnanolon, yang dapat

memodulasi resptor gamma-aminobutyric acid (GABA)-A di otak. GABA

Page 98: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

8

merupakan inhibitor terhadap sensor, karena terdapat suatu peningkatan

pada “GABA-ergic tone”.

False neurotransmiter yaitu Indol dan oksindol diproduksi oleh bakteri,

merkaptan, short-chain fatty acids, oktopamin dan mangan. Zat-zat

tersebut menimbulkan suatu respon seperti neurotransmiter GABA,

sehingga menimbulkan peningkatan respon reseptor GABA-A

(4) Pembengkakan Astrosit. Glutamin disintesis di astrosit. Adanya jumlah

amoniak yang banyak meningkatkankan aktivitas astrosit pada

pembentukan glutamat. Hal tersebut penyebabkan pembengkakan pada

astrosit hal ini menyebabkan disfungsi oksidativ dari mitokondria (Sease

et al, 2009; Frederick, 2011).

Penatalaksanaan HE dapat dihubungkan dengan patogenesisnya, meliputi:

1. Menurunkan produksi amoniak

Amoniak dirombak dari protein di usus oleh bakteri. Penggunaan laktulosa

dan antibiotik dapat mengatasi hal ini. Bakteri penghasil urea adalah

lactobacillus acidophylus & enterococcus faecum, pemberian neomisin

dan metronidazol dapat membatasi jumlah bakteri tersebut. Pemberian

laktulosa berfungsi untuk mengasamkan usus (asam laktat), sehingga NH3+

berubah menjadi NH4+ yang tidak bisa menembus lumen usus.

2. Memodulasi neurotransmisi

Penghambatan terhadap neurotransmiter dilakukan bila memang serangan

HE sudah terjadi. Penghambat reseptor GABA seperti flumazenil,

naloxone, bromocriptine, levodopa, and AChE inhibitors dapat digunakan.

3. Mengoreksi defisiensi nutrisi

Pemberian asam amino cabang (BCAA), dilakukan untuk mencapai

keseimbangan antara BCAA dengan and asam amino aromatis (AAA).

Karena pada pasien sirosis tidak tercapai keseimbangan tersebut, jumlah

AAA jauh lebih besar (AAA merupakan zat utama pembentuk false

neurotransmiter). Bila keduanya seimbang maka false neurotransmiter

tidak terbentuk (Sease et al, 2009; Frederick, 2011).

Page 99: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

9

1.2. Stroke

1.2.1. Definisi

Penurunan neurologik fokal yang mendadak yang terjadi akibat suplai

darah ke otak yang tidak adekuat, biasanya disebabkan adanya trombotik atau

emboli arterial menuju otak. (Winkler, 2009).

1.2.2 Etiologi

Stroke iskemik disebabkan oleh pembentukan thrombus lokal atau

fenomena emboli, yang mengakibatkan kerusakan arteri cerebral. Aterosklerosis

yang terjadi pada vaskularisasi cerebral merupakan penyebab utama pada kasus

stroke iskemik. Emboli dapat meningkat baik dari arteri intrakranial atau

ekstrakranial (termasuk pembuluh darah aorta) yang merupakan 20 % kasus

stroke iskemik. Emboli kardiogenik dapat terjadi pada pasien dengan fibrilasi

atrial, penyakit jantung atau beberapa kondisi dari jantung yang dapat

menghasilkan bentukan clot (bekuan darah/trombus) (Winkler, 2009).

Faktor risiko dari stroke, yaitu (Winkler, 2009) :

Faktor resiko yang tidak dapat diubah :

- Usia - Riwayat stroke keluarga

- Jenis kelamin - Berat badan lahir rendah

- Ras

Faktor resiko yang dapat diubah :

- Hipertensi - Alkohol

- Fibrilasi atrial - Merokok

- Penyakit jantung - Terapi hormon postmenopause

- Diabetes - Obesitas

- Dislipidemia - Diet

Potensial dapat diubah :

- Kontrasepsi oral

- Migrain

- Penyalahgunaan obat dan alkohol

- Faktor hemostatik dan inflamasi

Page 100: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

10

1.2.3 Patofisiologi

Pada atherosklerosis karotid, akumulasi progresif dari lemak dan inflamasi

sel di daerah intima pada arteri, dikombinasi dengan hipertropi arteri sel otot polos

yang menghasilkan bentukan plak, rupture plak, paparan kolagen, agregasi

platelet dan pembentukan clot (bekuan darah/trombus). Clot yang tersisa pada

pembuluh darah menyebabkan oklusi lokal, atau menuju distal, lalu secepatnya

mengalir ke pembuluh darah otak. Pada akhirnya akan menurunkan aliran darah

otak dan menyebabkan iskemia. Aliran darah rata-rata ke otak adalah 50 mL/100

g per menit. Ketika aliran darah ke otak menurun di bawah 20mL/100 g per menit,

terjadilah iskemia, dan ketika menurun di bawah 12 mL/100 g per menit,

kerusakan otak pun terjadi yang disebut sebagai infark (Winkler, 2009).

1.2.4 Gejala Klinis

Pasien mengalami kelemahan pada satu sisi tubuh, ketidakmampuan

berbicara, kehilangan melihat, vertigo, atau jatuh. Stroke iskemia biasanya tidak

menyakitkan, tapi sakit kepala dapat terjadi dan lebih parah pada stroke

pendarahan. Pasien biasanya memiliki berbagai pertanda disfungsi sistem saraf

pada pemeriksaan fisik. Penurunan spesifik bergantung pada daerah otak yang

berpengaruh. Penurunan hemi- atau monoparesis dan hemisensori biasa terjadi.

Pasien dengan pengaruh sirkulasi posterior dapat mengalami vertigo dan diplipia.

Stroke sirkulasi anterior biasanya terjadi dalam aphasia. Pasien juga dapat

mengalami dysarthria, kerusakan daerah penglihatan, dan perubahan tingkat

kesadaran (De Freitas et al., 2009)

1.2.5 Penatalaksanaan Terapi

Tujuan terapi pada stroke akut adalah untuk (1) mencegah luka neurologis

(neurologic injury) lebih lanjut dan menurunkan resiko kematian dan

ketidakmampuan atau kelumpuhan jangka panjang, (2) mencegah komplikasi

sekunder karena immobilitas dan disfungsi neurologis, dan (3) pencegahan stroke

berulang (Fagan and Hess, 2008).

Penatalaksanaan terapi penderita stroke iskemik atau stroke infark

trombotik meliputi terapi umum dan penyulit akut serta melakukan terapi spesifik

akut.

Page 101: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

11

Terapi umum meliputi :

1. Memelihara jalan nafas (fungsi respiratori), misalnya dengan Head Up,

Pemberian O2.

2. Memelihara fungsi kardiovaskuler, misalnya dengan pemberian terapi anti

platelet dan anti koagulan.

3. Mengatasi febris dengan obat antipiretika, kompres dingin, dan sedapat

mungkin mengatasi sumber penyebabnya.

4. Memantau dan mengelola tekanan darah dengan berpedoman pada

konsensus, bahwa obat antihipertensi diberikan jika tekanan darah sistolik >

220 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg. Untuk menjaga

tekanan darah dan mencegah serangan stroke berulang, terapi antihipertensi

dapat diberikan dalam selang 7 hari setelah onset stroke iskemia

(PERDOSSI, 2011).

5. Memantau dan mengelola kadar glukosa darah, karena pada stroke iskemik

akut, hipoglikemia maupun hiperglikemia dapat memperburuk kondisi otak.

Hiperglikemia yang sering dijumpai pada stroke iskemik akut

mengakibatkan semakin meluasnya kerusakan sel otak karena asidosis

laktat. Karena itu, kadar gula darah di atas 200 mg% harus segera

diturunkan dengan suntikan insulin. Demikian pula setiap tindakan yang

dapat mengakibatkan hiperglikemia seperti pemberian infus dekstrose harus

dihindarkan.

Penyulit neurologik yang perlu diwaspadai pada stroke iskemik akut

terutama adalah edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, serta

transformasi perdarahan pada infark:

1. Pada stroke iskemik akut, edema otak sering terjadi pada hari 3-5 setelah

serangan dan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial.

Penatalaksanaan edema otak dengan tekanan intrakranial adalah sebagai

berikut:

a. Melakukan elevasi tempat tidur pada bagian kepala hingga 20-30 derajat

untuk memperbaiki aliran darah vena.

b. Hiperventilasi (dengan ventilator) sampai PCO2 30-50 mmHg untuk

menurunkan tekanan intrakranial, tetapi hiperventilasi ini hanya bisa

Page 102: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

12

dilakukan sementara waktu saja, karena vasokonstriksi serebral yang

ditimbulkan dapat memperburuk iskemia.

c. Osmoterapi dengan menggunakan larutan manitol 20% dengan dosis

awal 1-1,5 g/kg BB selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,25-0,5 g/kg BB

setiap 4-6 jam.

d. Tindakan bedah

2. Kejang pada umumnya terjadi sejak kurun waktu 24 jam setelah serangan

carbamazepin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengatasi

kejang pada stroke iskemik akut, akan tetapi jika kejang berlangsung parsial

atau status, pemberian injeksi fenitoin intravena lebih cepat dalam mencapai

kadar tunak dalam darah.

3. Sekitar 5% kasus stroke iskemik akut akan mengalami transformasi

perdarahan simtomatik. Penggunaan obat antitrombotik dapatdapat

meningkatkan kemungkinan terjadinya transformasi perdarahan pada infark

otak. Dalam hal tersebut, penggunaan trombolitik dan antikoagulan harus

segera dihentikan. Bila hematom sangat luas atau terjadi di serebelum, perlu

dipertimbangkan tindakan operatif.

Terapi spesifik pada stroke iskemik akut meliputi (Poerwadi et al., 2006):

1. Pemberian suntikan rtPA intravena 0,9 mg/kg BB dengan dosis maksimal

90 mg, dilakukan dengan prosedur tertentu. Berdasarkan kriteria NINDS

(National Institute of Neurologikal Disorders and Stroke), pemberian rtPA

hanya dilakukan dalam selang waktu 3 jam setelah serangan stroke iskemik

akut, gambaran CT scan kepala tidak menunjukkan adanya perdarahan,

penderita tidak pernah mengalami trauma kepala maupun stroke selama 3

bulan terakhir, serta tekanan darah sistolik < 185 mmHg dan diastolik < 110

mmHg.

2. Asetosal dosis rendah (100-300) diberikan sejak dini, yaitu sejak selang

waktu kurang dari 48 jam setelah serangan stroke iskemik akut.

3. Pemberian obat neuroprotektan, misalnya piracetam dan citicoline dan Pro 8

Gly 9-Pro 10 ACTH (4,10) yang diduga dapat melindungi neuron dari

kematian sel akibat iskemia, dapat diberikan sejak dini.

Page 103: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

13

BAB II

FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN

LAPORAN KASUS

Inisial Pasien : Tn. MT Berat Badan : 50 kg No.RM : 075409

Umur : 78 tahun Tinggi Badan : 160 cm

Keluhan Utama : mata kuning sejak 5 hari yang lalu, perut sakit, mual,

muntah

Keluhan Tambahan : mual sejak lima hari yang lalu, perut terasa sebah dan

kembung, nafas menurun.

Diagnosis : CH + ensefalopati hepatica st 1 + Jaundice

Alasan MRS : mata kuning sejak 5 hari yang lalu, makan minum

menurun, BAB tidak hitam, tidak muntah darah, post opname 1 bulan yang lalu,

perut sakit, warna kuning kemudian merata dan bicara meracau.

Riwayat Penyakit : Liver post opname 1 bulan yang lalu, Diabetes melitus

Riwayat Pengobatan :levemir, glucobay,

Alergi : -

Kepatuhan - Obat Tradisional -

Merokok - OTC -

alkohol - Lain-lain -

Page 104: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

14

Catatan Perkembangan Pasien

Tanggal Problem/ Kejadian/Tindakan Klinisi

26/11 Pasien datang dengan keluhan mata kuning sejak 5 hari yang

lalu, perut sakit, mual, muntah. Dengan kondisi klinik lemah, HR

110/70; Nadi 80; RR 20; dan suhu 37.

Pasien mendapatkan terapi infus comafusin : ivelip; antibiotik

ceftriakson, antibiotik kanamicin, sirup Dexanta, sirup Laxadin,

Pantoprazol, Grahabion serta Asam Folat. Terapi tetap sampai

tanggal 29/11

29/11 Pasien mendapatkan terapi Graphalac (lactulose).

30/11 Pasien mengalami penurunan kesadaran, sehingga

ditambahkan terapi Dopamin 400 mg dlm 500 cc NS.

2/12 Kesadaran pasien masih belum mendapatkan perbaikan

sehingga Dopamin diberikan secara drip.

3/12 Pasien tidak mengalami perbaikan kesadaran sehingga terapi

Dopamin dihentikan. Didapatkan nilai eritrosit pasien

menurun pada tanggal 2/12 sehingga dilakukan tranfusi

PRC 2 bag.

6/12 Pasien mengalami diare pada tanggal 5/12 sehingga terapi

Laxadin dihentikan. Data lab tanggal 5/12 menunjukan

terjadi hipokalemia pada pasien yaitu 2,98 sehingga

diberikan terapi KSR.. Terjadi penurunan fungsi kognitif

pasien sehingga ditambahkan Brainact (Citicolin), Plavix

(Clopidogrel), dan Profenid (Ketoprofen).

10/12 Ditambahkan injeksi KCl karena kondisi hipokalemia pasien

belum membaik (2,68). Diberikan tranfusi albumin 20%

karena terjadi hipoalbumin pada pasien pada tanggal 9/12

(2,3)

11/12 Terapi Graphalac dan Profenid dihentikan. Pasien masih

mengeluhkan nyeri sekujur badan walaupun telah diberikan

Profenid sehingga terapi digantikan dengan Durogesic

(Fentanyl)

Page 105: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

15

12/12 Grahabion digantikan oleh Sohobion. Terapi dihentikan

kecuali pemberian transfusi albumin, Brainact, Plavix, dan

kombinasi KSR dan KCl karena asien masih mengalami

hipokalemia.

Page 106: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

16

DOKUMEN FARMASI PENDERITA

No. RM : 075409

Nama/Umur : Tn. MT

BB/TB/LPT : 50 kg/ 160 cm/ -

Riwayat alergi : Tidak diketahui

Diagnosis :

CH + ensefalopati hepatica st. I + jaundice + Stroke iskemia

Riwayat Penyakit : Liver post opname 1 bulan yang lalu,

Diabetes melitus

Riwayat Pengobatan : levemir, glucobay

Alasan MRS : mata kuning sejak 5 hari yang lalu, makan minum

menurun, mual muntah, kembung, nafas menurun, BAB tidak

hitam, tidak muntah darah, post opname 1 bulan yang lalu, perut

sakit, warna kuning kemudian merata dan bicara meracau.

No. Nama Obat

Dagang/Generik Rute Regimen Dosis

26-

29/11 30/11 1/12 2/12

3-

5/12 6-

8/12 9/12 10/12 11/12 12/12

13/

12

1. Infus comafusin: ivelip Iv 100 cc : 200 cc √ √ √ √ √ √ √ √ √ //

2. Albumin 20% Iv 100 ml - - - - - - - √ √ √ √

3. Ceftriaxon Iv 2 x 1 gram √ √ √ √ √ √ √ √ √ //

4. Kanamisin Po 3 x 250 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ //

5. Dexanta sirup Po 2 x 15 ml √ √ √ √ √ √ √ √ √ //

6. Laxadyn sirup Po 3 x 15 ml √ √ √ √ √ //

7. Panlog (pantoprazol) iv 2 x 40 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ //

Page 107: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

17

No. Nama Obat

Dagang/Generik Rute Regimen Dosis

26-

29/11 30/11 1/12 2/12

3-

5/12 6-

8/12 9/12 10/12 11/12 12/12

13/

12

8. Dopamin Iv 5 mcg - √ √ √ - - - - - √

9. Grahabion (vitamin B

komplek) po 1 x 1 tablet √ √ √ √ √ √ √ √ √ //

10. Sohobion (vitamin B

komplek) po 1 x 1 tablet - - - - - - - - - √ √

11. Asam folat po 1 x 1 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ //

12. KSR Po 3 x 600 mg - - - - - √ // - - √ √

13. KCl iv

50 mg dlm

500 NS/24

jam

- - - - - - - √ √ √ √

14. Brainact (citikolin) iv 2 x 500 mg - - - - - √ √ √ √ √ √

15. Plavix (clopidogrel) po 1 x 75 mg - - - - - √ √ √ √ √ √

16. Profenid (ketoprofen) Rec

tal 2 x 100 mg - - - - - √ √ √ //

17. Graphalac po 3 x 15 ml - √ √ √ √ √ √ √ //

18. PRC Iv 2 kolf √ √

Page 108: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

18

Data Klinik

Tanda Vital Nilai

Normal 26/11 27/11 28/11 29/11 30/11 1/12 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/12

Tekanan

Darah (<130/80)

120/7

7

110/7

0

100/6

0

100/6

0 80/60

100/6

0 90/60

100/6

0

100/6

0 90/50 90/50 80/60

110/7

0 90/60

100/6

0

Suhu (37 ± 0,5) °C 36 37 36,6 37 36,6 37 36 36,6 36,8 36 36,3 37,2 38,1 37,4 36,7

Nadi 80-100

x/menit 72 80 110 105 105 90 100 100 68 104 100 80 88 97 80

RR 18 – 20

x/menit 20 20 20 20 20 22 22 20 18 24 24 22 20 24 25

GCS 456 456 456 324 456 312 446 336 436

nyeri + + + + + + + + + + + + + + +

Urine

output 600 700 600 2000 750 500 1000 400 950

Defikasi 1 x 1 x 1 x 1 x 7 x 4 x

Lemas + + + + + + + + + + +

Kuning + + + + + + + + + + +

Mual dan

sebah + +

Gelisah + + +

Komentar :

Nilai Nadi pasien mengalami fluktuatif naik turun, pada saat MRS nilai nadi turun, namun terjadi tachycardia pada tanggal 28-30/11 dan 5/12

Nilai respiratory rate pasien juga fluktuatif, dan terjadi mengalami kenaikan/tachypneu > 20 x/menit

Nilai Nadi dan RR yang mengalami kenaikan dari normal ditambah dengan peningkatan leukosit menandakan pasien mengalami infeksi.

Pasien juga mengalami penurunan kesadaran pada tanggal 29/11. Penurunan kesadaran merupakan masnifestasi klinik dari HE

Pasien juga mengalami konstipasi

Pada tanggal 29/11 kesadaran pasien juga menurun karena pada pasien HE menyebabkan penurunan kesadaran.

Page 109: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

19

Data Laboratorium

No. Data

Laboratorium Normal 26/11 27/11 2/12 5/12 6/12 7/12 9/12 12/12 Komentar

1. K 3,5-5 4,55 4,35 3,81 2,98 2,68 3,18 Pasien mengalami deplesi elektrolit

sehingga terjadi hiponatremia, hipokalemia

dan hipokalsemia.

Nilai BUN pasien meningkat hal ini

dikarenakan penurunan penurunan fungsi

metabolisme protein di hati dan penurunan

fungsi ginjal dalam mengekskresi urea.

Nilai bilirubin mengalami peningkatan

karena terjadinya kerusakan pada hepar

sehingga bilirubin tidak dapat

dimetabolisme dan kadarnya tinggi dlm

darah Sedangkan albumin menurun karena

albumin disintesa di hati sehingga apabila

fungsi hati menurun, maka sintesa albumin

juga menurun (Ryan, 2008).

Pasien mengalami anemia yang ditunjukkan

oleh penurunan kadar hemoglobin, eritrosit

dan hematokrit karena kondisi penurunan

produksi eritrosit dan hipersplenisme

(Ryan, 2008).

2. Na 135 - 145 128,4 126,8 123,3 129,4 126 128

3. Cl 95 - 108 93,2 98,6 94,6 98,2 93,2 97,5

4. BUN 10-24 16 30,1

5. SCr 0,5 – 1,5 0,9 1,0

6. T bil 0,3 – 1,1 28,3 22,9 22,8 19,8 25,2

7. D bil 0,1 – 0,4 17,7 15,2 14,6 13,7 17

8. Bilirubin

indirek <0 ,75 12,6 7,7 6,1 8,2

9. Gluc 70 - 105 102 103 85

10. Chol 0-250 132 95 81

11. Trigliserida 30-150 240 199

12. UA 3,4 – 7,0 2,8 2,3 2,8

13. Albumin 3,8 – 5,1 3,1 2,3 2,9 2,3

14.

GDA

< 200

mg/dL 142 139 103 85

15. SGOT 0 – 35 104 89 47 97 110

16. SGPT 0 - 37 76 46 79 58 63

18 Hb 11 - 16 11,4 10,3 8,4 11 10,9 10,9 12,5

19 WBC 4 – 11,3

x 103/µL 16,3 14,9 13,0 15,8 15,7 15,9 19,8

20 HCT 37 - 54 33,6 29,8 25,8 38,2

Page 110: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

20

No. Data

Laboratorium Normal 26/11 27/11 2/12 5/12 6/12 7/12 9/12 12/12

Peningkatan leukosit menandakan adanya

infeksi pada pasien.

Asam urat pasien sedikit tinggi. Hal ini

merupakan manifestasi dari ganguan fungsi

ginjal (Hepatorenal syndrome) yaitu

berkurangnya ekskresi asam urat melalui

urin.

21 MCV 80 – 100 91,5 92,4 98,6

22 MCH 27 - 34 31,1 31,9 32,1

23 MCHC 32 - 36 33,9 34,5 32,5

24 Eritrosit 4,0 – 5,0

x 106/µL 3,23 2,62 3,53 3,62 3,52 3,98

24 PLT 150 - 400 281 231 194

Hasil Pemeriksaan :

25/11 EKG : Sinus tachycardia (HR 100-130), Right Axis Deviation (Posterior Fascicular Block), probable right ventricuar hypertrophy,

anterosptal MI

Abdomen : Cembung, BU +, Hepatomegali, Spidernevi +, Caput Medusa +, Hepar teraba 2 jari di bawah procesus xypoideus

25/11 USG : hepar besar lobus kanan hepar normal, kiri membesar; disertai hypoechoic multiple ull eye’s nodul disemua segmen lobus

kiri, ginjal kiri mengecil, batu -, ectasis –

Kesan : multiple nodul di lobus kiri hepar curiga metastase proses walaupun belum menyingkirkan primer malignancy pd hepar, CKD kiri

Data lain

Child Pugh Scoring (CPS) :

Parameter Nilai Skor

Bilirubin 28,3 3

Albumin 2,3 3

Ascites none 1

HE 1 2

Nutrisi sedang 2

Jumlah 11

Kesimpulan : Child C (severe hepatic impairement)

Page 111: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

21

Analisis Pengobatan

Tanggal

Pemberian

Jenis Obat Rute Dosis Frekuen

si

Indikasi obat

pada pasien

Pemantauan

Kefarmasian

Komentar dan Alasan

26/11 –

10/12 Infus

Comfusin :

Ivelip

iv 100 cc

: 200

cc

24 jam Mengatasi

HE

Tanda-tanda

HE

(tes

kesadaran,

fungsi kognitif,

behaviour ,

fungsi motorik,

dan test

psikomotorik)

pasien

Comafusin merupakan sediaan yang mengandung asam amino

rantai cabang dalam dosis tinggi. Terapi dengan formula kaya

asam amino rantai bercabang dan rendah asam amino aromatik

didasarkan pada hipotesa bahwa penurunan kadar asam amino

rantai bercabang (leusin, isoleusin, dan valin) serta

peningkatan kadar asam amino aromatik (fenilalanin, tirosin,

dan triptofan) dapat meningkatkan risiko HE melalui produksi

neurotransmiter palsu. Pemberian terapi ini bertujuan untuk

meningkatkan jumlah asam amino bercabang dalam tubuh,

sehingga meningkatkan jumlah asam amino bercabang yang

masuk ke dalam otak dan mencegah terbentuknya

neurotransmiter palsu. Secara acak, uji coba pada pemberian

formula kaya asam amino bercabang secara parenteral hanya

memberikan perbaikan pada HE tapi tidak menurunkan laju

kematian. Meskipun hasil penelitian terbaru secara umum

tidak mendukung penggunaan asam amino rantai bercabang

sebagai terapi untuk HE, tapi agen tersebut secara spesifik

berperan dalam menyeimbangkan nitrogen tanpa memicu HE

pada pasien malnutrisi dengan sirosis yang tidak dapat

mentoleransi suplemen protein (Riordan and Williams, 1997).

Ivelip berisi soybean oil 200 g, egg phospatides 12 g, glycerol

25 g, Na Oleat 0,3 g per liter. Mengandung energi 2000K.

Digunakan untuk pasien yang membutuhkan energi dan

sumber asam lemak essensial.

Page 112: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

22

26/11 –

10/12 Ceftriaxon

iv 1 gram 2 dd 1 Terapi

antibiotik

empirik

untuk

profilaksis

SBP

Monitoring

tanda tanda

infeksi/SIRS

(Nadi, HR,

RR, Suhu,

Leukosit)

Pasien mengalami peningkatan WBC (16,3 x 103/mcL),

peningkatan suhu (37 ºC), peningkatan nadi dan RR

menandakan pasien mengalami infeksi. Pasien tidak

melakukan kultur bakteri sehingga antibiotik yang diberikan

pada pasien adalah antibiotik empiris spektrum luas yaitu

ceftriaxon. Pada pasien sirosis menunda pemberian antibiotik

dan menunggu hasil kultur tidak dianjurkan karena dapat

menyebabkan infeksi semakin berat dan juga kematian.

Diharapkan dengan pemberian antibiotik spektrum luas,

infeksi dapat teratasi. Pada pasien sirosis diberikan antibiotik

empiris yaitu sefalosporin generasi ke 3, salah satunya adalah

Ceftriakson (Sease et al., 2008). Namun, tanda-tanda infeksi

pada pasien tidak mengalami perbaikan. Disarankan

mengganti terapi antibiotik yang lebih adekuat yang sesuai

dengan peta kuman rumah sakit

26/11 –

10/12 Syr Dexanta

(Al(OH)3,

Mg(OH)2 dan

Simeticon)

po 15 ml 2 dd 1 Mengatasi

kembung

pada GIT

Kembung Pasien mengeluhkan kembung. Untuk itu, pasien diberikan

terapi Dexanta untuk mengurangi keluhan kembung.

Kandungan Al(OH)3 dan Mg(OH)2 dapat meningkatkan pH

lambung sehingga dapat menghindarkan rasa perih karena

iritasi pada lambung. Namun pemakaian antasida berpotensi

meningkatkan resiko terjadinya hemorage dan meningkatkan

resiko kematian, sehingga tidak direkomendasikan (EAST,

2008)

Page 113: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

23

26/11 –

10/12 Panlog

(Pantoprazol)

iv 40 mg 2 dd 1 Mengatasi

Stres Ulser

Mual, muntah,

nyeri bagian

perut

Pasien mengeluhkan mual muntah dikarenakan pasien

mengalami stres ulser. Profilaksis stress ulcer diindikasikan

pada pasien dengan critical illness. Beberapa studi masih

belum jelas membandingkanefektifitas antara pemakaian H2

blocker dibandingkan dengan PPI, namun PPI terbukti

menunjukkan efektifitas sebagai terapi stress ulcer

dibandingkan dengan placebo (EAST, 2008). Untuk itu,

diberikan terapi golongan PPI yang menghambat sekresi asam

lambung. Dengan terhambatnya sekresi asam lambung,

diharapkan keluhan mual muntah pasien berkurang.

10/12 –

13/12 Albumin

iv 100 ml Mengatasi

Hipoalbumin

pada pasien

Kadar

Albumin

Pada pasien sirosis, sel hepatosit kehilangan kemampuannya

untuk mensintesis albumin sehingga terjadi penurunan

albumin yang dapat menyebabkan menurunnya tekanan

onkotik intravaskular dan timbul kebocoran cairan. Albumin

bekerja dengan cara meningkatkan tekanan onkotik

intravaskular dan menyebabkan perpindahan cairan dari ruang

interstitial kedalam ruang intravaskular (Lacy et al., 2009).

26/11 –

10/12 Kanamisin

po 250 mg 3 dd 1 Antibiotik

untuk

mengatasi

HE

Tanda-tanda

HE

(tes

kesadaran,

fungsi kognitif,

behaviour ,

fungsi motorik,

dan test

psikomotorik)

pasien

Kanamycin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida

yang bekerja lokal, tidak dapat diserap melalui usus sehingga

tidak memberikan efek sistemik. Kanamycin bekerja dengan

cara mereduksi bakteri pembentuk urease di saluran usus

sehingga menghambat pemecahan protein menjadi amoniak

dan menurunkan produksi amoniak (Sease et al., 2008).

Page 114: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

24

26/11 - 3/12 Syr Laxadyn

po 15 ml 3 dd 1 Sebagai

pencahar

Frekuensi

BAB pasien

Asupan cairan pasien berkurang, sehingga pasien mengalami

susah BAB, untuk itu diberi terapi laxadyn yang dapat

merangsang peristaltik usus besar, menghambat reabsorbsi air

dan melicinkan jalannya feses. Dengan adanya terapi ini,

konstipasi pasien berkurang. Selain itu, penggunaan laxadyn

syr diperlukan untuk mencegah konstipasi karena konstipasi

tersebut dapat memperparah kondisi hepatik encepalopati

(Wright, et al., 2011). Namun pada tanggal 5/12 pasien

mengalami diare (BAB 7 x) sehingga terapi laxadyn

dihentikan.

26/11 –

2/12

Dan

6/12- 11/12

12/12 –

13/12

Grahabion

dan Sohobion

(vitamin B

komplek)

po 1 tablet 1 dd 1 Mengatasi

defisiensi

vitamin

Kondisi umum

pasien / Tanda

tanda vital

pasien

Pasien dengan gangguan fungsi liver berresiko tinggi

mengalami defisiensi vitamin B12 dikarenakan adanya

gangguan fungsi liver menyebabkan gangguan dalam

penyimpanan vitamin B12 dalam liver. Selain itu, kondisi

umum pasien yang mengalami mual, sebah dan kembung

dapat menyebabkan penurunana nafsu makan pasien sehingga

asupan vitamin dan energi dari pasien rendah. Pemberian

terapi vitamin B komplek pada pasien berfungsi untuk

memenuhi kebutuhan vitamin B pada pasien yang

kemungkinan tidak dapat terpenuhi dari asupan makanan.

26/11 –

10/11 Asam Folat

po 1 mg 1 dd 1 Mengatasi

defisiensi

asam folat

untuk

Anemia

Kadar Hb,

erirosit pada

pasien

Pasien dengan gangguan fungsi hati, beresiko tinggi

mengalami defisiensi asam folat karena gangguan

penyimpanan asam folat dalam hati. Terapi asam folat pada

pasien berfungsi untuk pencegahan terjadinya defisiensi asam

folat (McPhee & Ganong, 2005).

Page 115: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

25

30/11-

2/12 dan

12/12

Dopamin

iv 5 mcg 24 jam Meningkat-

kan tekanan

darah

Tekanan darah

pasien

Pada tanggal 30/11 tekanan darah pasien berada dibawah

normal yaitu 80/60 sehingga diberikan terapi Dopamin untk

meningkatkan tekanan darah. Dopamin yang diberikan pada

pasien adalah dopamin dengan dosis sedang, yaitu dengan

rentang 3 – 10 mcg/kg/mnt (Dipiro, 2011). Dopamin dengan

dosis sedang tersebut bekerja pada reseptor β1 dan

dopaminergik yang berfungsi untuk meningkatkan tekanan

darah dan meningkatkan cardiac output serta meningkatkan

aliran darah ke ginjal. Pemberian dopamin memberikan efek

positif yaitu peningkatan tekanan darah pada pasien.

6/12 – 8/12

Dan

12/12-

13/12

KSR po 600 mg 3 dd 1 Mengatasi

hipokalemi

Monitoring

kadar kalium

Pasien mendapatkan terapi lactulosa yang dapat menyebabkan

ketidakseimbangan elektrolit. pada sirosis ketidakseimbangan

elektrolit juga dimungkinkan terjadi karena adanya stimulasi

sekresi aldosteron yang menyebabkan meningkatnya ekskresi

kalium. KSR diberikan pada pasien ketika kadar kalium pasien

di bawah rentang normal, diharapkan dengan pemberian KSR

kadar kalium meningkat. Namun, setelah tiga hari pemberian

KSR, kadar kalium pasien tidak meningkat, sehingga

pemberian KSR dihentikan.

10/12 dan

13/12 KCL iv 50 mg

dlm

500 cc

NS

24 jam Mengatasi

hipokalemi

Monitoring

kadar kalium

Tanggal 9 /12 hasil laboratorium menunjukkan kadar kalium

pasien di bawah rentang normal meskipun telah diberi terapi

KSR, untuk itu pada tanggal 10/12 pasien diberi terapi KCl

IVFD (intravena fluid drip) untuk meningkatkan kadar

Kalium dengan cepat. Namun setelah tiga hari pemberian,

Page 116: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

26

kadar kalium pasien tetap di bawah rentang normal meskipun

telah naik (3,18 mmol/L). Untuk itu, pada tanggal 12/12,

pemberian KCl dikombinasi dengan KSR.

6/12 –

13/12 Plavix

(Clopidogrel)

po 75 mg 2 dd 1 Anti platelet Kondisi klinis

pasien

Dalam uji meta analisis penggunaan antiplatelet dapat

mengurangi resiko stroke berulang sebesar 25% pada MI, MI

akut,TIA atau stroke dan juga stroke akut. Antiplatelet

Clopidogrel dapat diberikan kepada pasien yang tidak dapat

mentoleransi pemberian Aspirin sebagai lini pertama dan

dapat dianggap sebagai lini pertama pada pasien dengan

penyakit arteri perifer. Clopidogrel sedikit lebih efektif

daripada aspirin dengan penurunan resiko relatif 7,3% lebih

dari aspirin. Dosis yang digunakan adalah 75 mg perhari

(Winkler, 2009).

6/12 –

10/12 Profenid

Supp

(Ketoprofen)

rectal 100 mg 2 dd 1 Analgesik Nyeri Pasien mengeluhkan nyeri pada seluruh tubuh. Untuk itu

diberikan analgesik golongan NSAID dan golongan non

opioid untuk mengurangi rasa nyeri yang diderita pasien.

Golongan non opioid lebih diutamakan karena analgesik

golongan opioid akan dimetabolisme pada hati, sdangkan

pasien mengalami kerusakan hati yang akan menyebabkan

gangguan metabolisme. Dengan adanya gangguan

metabolisme tersebut, akan meningkatkan kadar opioid dalam

darah yang dapat beresiko menimbulkan toksisitas.

Pada hasil USG didapatkan pasien mengalami CKD pada

ginjal kiri sehingga penggunaan NSAID dihindari karena

Page 117: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

27

dapat memperparah kondisi renal (Sease et al., 2008)

29/11 –

10/12 Graphalac

(Lactulose)

po 15 ml 3 dd 1 Mengatasi

HE Tanda – tanda

HE,

Kesadaran

pasien, Fungsi

Kognitif

pasien,

Frekuensi

BAB

Lactulosa merupakan terapi lini pertama pada pasien sirosis

dengan HE. Dalam beberapa studi klinis yang telah

diterbitkan salah satunya oleh Als-Nielsen (2004) mengatakan

bahwa Lactulase dapat mengurangi faktor resiko HE pada

penderita HE yang tidak mengalami perbaikan namun secara

statistik tidak signifikan dalam mencegah kematian akibat HE.

Studi klinis yang dilakukan Prassad (2007) mengatakan

bahwa Lactulose dapat meningkatkan fungsi kognitif dan

kualitas kesehatan pasien sirosis dengan HE minimal. Studi

klinis yang dilakukkan oleh Sharma mengatakan bahwa

lactulase efektif dalam mencegah kejadian HE berulang. Dari

studi klinis yang dilakukan oleh mereka 140 pasien pasien

sirosis sembuh dari episode HE akut (Shanyal et al,. 2010).

Lactulose berfungsi untuk menurunkan kadar amoniak dalam

darah. Amoniak dalam usus besar difermentasi oleh bakteri

anaerob menghasilkaan asam dan H+ sehingga amoniak

berikatan dengan H+ membentuk NH4 yang nantinya akan

diekskresikan sehingga tidak terjadi peningkatan kadar

amoniak (NH3) dalam darah (Wright, et al., 2011).

6/12 –

13/12 Brainac

(Citicoline)

iv 500 mg 2 dd 1 Neuroprotek-

tan

Kondisi klinis

pasien

Pasien mengalami stroke iskemia sehingga diberikan teraoi

Citicoline. Citicoline bersifat neuroprotektor, diperlukan

dalam proses pembentukan dan perbaikan dinding sel saraf

serta mengembalikan fungsinya. Selain itu, citicoline juga

membantu meningkatkan sintesis neurotransmiter asetilkolin

sehingga dapat memperbaiki fungsi memori pada pasien CVA

(Warsiki, 2004).

Pengobatan dengan oral citicoline dalam 24 jam pertama

Page 118: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

28

setelah onset pada pasien dengan stroke sedang sampai berat

meningkatkan kemungkinan pemulihan lengkap pada 3 bulan.

(Antoni Dávalos, 2002)

3-4/12 PRC iv 2 bag Mengatasi

anemia

Monitoring

kadar Hb,

Eritrosit

Pelaksanaan transfusi darah dilakukan pada pasien dengan

kadar Hb kurang dari 7 g/ dl (Retter, Andrew et al. 2012).

Sedangkan pasien mendapatkan transfusi PRC pada 3 – 4/12

dengan kadar Hb 8,4 g/ dl.

Transfusi darah tidak diperlukan karena memiliki banyak

resiko, seperti: penularan virus hepatitis, malaria dan mahal.

Penumpukan sitrat akibat transfusi dapat terjadi pada pasien

dengan gangguan fungsi hati dikarenakan metabolisme sitrat

di hati menurun. Oleh karena itu terapi post transfusi

membutuhkan Ca glukonas 10% (Pedoman Pelaksanaan

Transfusi Darah dan Komponen Darah, 1991).

Page 119: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

29

ASUHAN KEFARMASIAN Termasuk:

1. Masalah aktual & potensial terkait obat 3. Pemantauan efek obat 5. Pemilihan obat 7. Efek samping obat

2. Masalah obat jangka panjang 4. Kepatuhan penderita 6. Penghentian obat 8. Interaksi obat

OBAT*

PROBLEM

TINDAKAN (USULAN PADA KLINISI,

PERAWAT, PASIEN)

Laxadyn Terapi Laxadyn tidak diperlukan dalam mengatasi

konstipasi pada pasien HE, cukup dengan pemberian

Graphalac (lactulose) dari awal MRS sebagai terapi HE

sekaligus sebagai pencahar.

Sebaiknya terapi Graphalac (Lactulose)

diberikan dari awal MRS dan tidak

diperlukan terapi Laxadin sebagai pencahar.

Albumin Pasien mengalami penurunan albumin sejak tanggal 2-12-

2013 dengan nilai 2,3 mg/dl, namun tidak ada tindakan

medis pada tanggal tersebut. Hingga pada tanggal 9-12-

2013 dilakukan pengecekan kadar albumin ulang dengan

hasil 2,3 mg/dl. Dan terapi albumin baru diberikan pada

tanggal 10-12-2013.

Sebaiknya terapi albumin diberikan mulai

tanggal 2-12-2013

Ceftriaxon Pasien mendapat terapi ceftriakson selama 2 minggu,

namun tidak memberikan perbaikan klinis.

sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur

bakteri untuk menentukan terapi antibiotik

yang tepat

Page 120: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

30

MONITORING

PARAMETER TUJUAN

Nilai albumin Monitoring efektivitas penggunaan infus albumin untuk terapi hipoalbuminemia

Mual, muntah, dan

kembung pasien

Monitoring efektivitas penggunaan dexanta dan pantoprazole untuk mengatasi gastritis lambung (menurunkan

sekresi asam lambung)

Tanda-tanda HE

(tes kesadaran, fungsi

kognitif, behaviour ,

fungsi motorik, dan test

psikomotorik) pasien

Monitoring efektivitas penggunaan comafusin, lactulose dan kanamycin untuk pencegahan hepatik

ensefalopati

Tanda-tanda SIRS (nadi,

suhu, RR, WBC)

Monitoring efektivitas penggunaan terapi antibiotik Ceftriaxone

Tekanan Darah Pasien Monitoring efektivitas penggunaan terapi Dopamin

Kadar kalium Monitoring efektivitas penggunaan terapi KCl dan KSR

Kadar Hb, eritrosit,

MCH,MCV

Monitoring efektivitas penggunaan terapi PRC, asam folat

Skala Nyeri Monitoring efektivitas penggunaan terapi analgesik Ketoprofen

Page 121: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

31

KONSELING PADA PASIEN

Materi Konseling Konseling

Kanamisin

Obat diminum sehari 3 x 1 kapsul

Obat diberikan untuk mencegah gangguan di otak sebagai salah satu komplikasi sirosis hepatik.

Obat ini harus tetap diminum hingga obat habis (sesuai dengan resep dokter).

Dexanta sirup (100 ml) Dexanta diminum sehari 2 kali 1 sendok makan, diminum 30-60 menit sebelum makan, dan sebelum digunakan

dikocok dahulu. Dexanta digunakan untuk mengatasi kembung pada pasien (mengatasi gastritis).

Graphalac

Obat diminum sehari 3x 1 sendok makan (15 ml).

Obat diberikan untuk mencegah gangguan di otak sebagai salah satu komplikasi sirosis hepatik, serta

membantu pengeluaran darah dari saluran cerna.

KONSELING PADA PERAWAT

Materi Informasi

Ceftriaxon

Sediaan direkonstitusi dengan pelarut yang sesuai berturut-turut 10 mL dan 20 mL, kemudian dilarutkan

dengan 50-100 mL pelarut.

Diinjeksikan melalui infuse intravena selama 15-30 menit.

Larutan rekonstitusi stabil selama 3 hari dalam suhu ruangan dan 10 hari di dalam lemari es (Trissel, 2009)

Page 122: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

32

BAB 3

PEMBAHASAN

Pasien Tn. MT berusia 78 tahun masuk rumah sakit pada tanggal 26

Desember 2013 dengan keluhan keluhan mata kuning sejak 5 hari yang lalu, perut

sakit, mual, muntah. Pasien merasakan mual sejak lima hari yang lalu, perut terasa

sebah dan kembung, nafas menurun. Pasien didignosis CH, ensefalopati hepatica

st 1 dan jaundice. Pasien mendapatkan terapi infus comafusin : ivelip; antibiotik

ceftriakson, antibiotik kanamicin, sirup Dexanta, sirup Laxadin, Pantoprazol,

Grahabion serta Asam Folat.

Infus Comafusin Comafusin merupakan sediaan yang mengandung asam

amino rantai cabang dalam dosis tinggi. Terapi dengan formula kaya asam amino

rantai bercabang dan rendah asam amino aromatik didasarkan pada hipotesa

bahwa penurunan kadar asam amino rantai bercabang (leusin, isoleusin, dan valin)

serta peningkatan kadar asam amino aromatik (fenilalanin, tirosin, dan triptofan)

dapat meningkatkan risiko HE melalui produksi neurotransmiter palsu. Pemberian

terapi ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah asam amino bercabang dalam

tubuh, sehingga meningkatkan jumlah asam amino bercabang yang masuk ke

dalam otak dan mencegah terbentuknya neurotransmiter palsu. Secara acak, uji

coba pada pemberian formula kaya asam amino bercabang secara parenteral

hanya memberikan perbaikan pada HE tapi tidak menurunkan laju kematian.

Meskipun hasil penelitian terbaru secara umum tidak mendukung penggunaan

asam amino rantai bercabang sebagai terapi untuk HE, tapi agen tersebut secara

spesifik berperan dalam menyeimbangkan nitrogen tanpa memicu HE pada pasien

malnutrisi dengan sirosis yang tidak dapat mentoleransi suplemen protein

(Riordan and Williams, 1997). Ivelip berisi soybean oil 200 g, egg phospatides 12

g, glycerol 25 g, Na Oleat 0,3 g per liter. Mengandung energi 2000K. Digunakan

untuk pasien yang membutuhkan energi dan sumber asam lemak essensial.

Antibiotik Ceftriaxone diberikan pada pasien sebagai antibiotik empiris

untuk profilaksis SBP. Pasien mengalami peningkatan WBC (16,3 x 103/mcL),

peningkatan suhu (37 ºC), peningkatan nadi dan RR menandakan pasien

Page 123: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

33

mengalami infeksi. Pasien tidak melakukan kultur bakteri sehingga antibiotik

yang diberikan pada pasien adalah antibiotik empiris spektrum luas yaitu

ceftriaxon. Pada pasien sirosis menunda pemberian antibiotik dan menunggu hasil

kultur tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan infeksi semakin berat dan juga

kematian. Diharapkan dengan pemberian antibiotik spektrum luas, infeksi dapat

teratasi. Pada pasien sirosis diberikan antibiotik empiris yaitu sefalosporin

generasi ke 3, salah satunya adalah Ceftriakson (Sease et al., 2008). Namun,

tanda-tanda infeksi pada pasien tidak mengalami perbaikan. Disarankan

mengganti terapi antibiotik yang lebih adekuat yang sesuai dengan peta kuman

rumah sakit.

Antibiotik Kanamicin diberikan pada pasien untuk mengatasi HE pada

pasien. Kanamycin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang bekerja

lokal, tidak dapat diserap melalui usus sehingga tidak memberikan efek sistemik.

Kanamycin bekerja dengan cara mereduksi bakteri pembentuk urease di saluran

usus sehingga menghambat pemecahan protein menjadi amoniak dan menurunkan

produksi amoniak (Sease et al., 2008).

Pasien mengeluhkan kembung. Untuk itu, pasien diberikan terapi Dexanta

untuk mengurangi keluhan kembung. Kandungan Al(OH)3 dan Mg(OH)2 dapat

meningkatkan pH lambung sehingga dapat menghindarkan rasa perih karena

iritasi pada lambung. Pasien mengeluhkan mual muntah dikarenakan pasien

mengalami stres ulser. Profilaksis stress ulcer diindikasikan pada pasien dengan

critical illness. Beberapa studi masih belum jelas membandingkanefektifitas

antara pemakaian H2 blocker dibandingkan dengan PPI, namun PPI terbukti

menunjukkan efektifitas sebagai terapi stress ulcer dibandingkan dengan placebo

(EAST, 2008). Untuk itu, diberikan terapi golongan PPI yang menghambat

sekresi asam lambung. Dengan terhambatnya sekresi asam lambung, diharapkan

keluhan mual muntah pasien berkurang.

Asupan cairan pasien berkurang, sehingga pasien mengalami susah BAB,

untuk itu diberi terapi laxadyn yang dapat merangsang peristaltik usus besar,

menghambat reabsorbsi air dan melicinkan jalannya feses. Dengan adanya terapi

ini, konstipasi pasien berkurang. Selain itu, penggunaan laxadyn syr diperlukan

untuk mencegah konstipasi karena konstipasi tersebut dapat memperparah kondisi

Page 124: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

34

hepatik encepalopati (Wright, et al., 2011). Namun pada tanggal 5/12 pasien

mengalami diare (BAB 7 x) sehingga terapi laxadyn dihentikan.

Pasien mengeluhkan mual muntah dikarenakan pasien mengalami stres

ulser. Profilaksis stress ulcer diindikasikan pada pasien dengan critical illness.

Beberapa studi masih belum jelas membandingkanefektifitas antara pemakaian

H2 blocker dibandingkan dengan PPI, namun PPI terbukti menunjukkan

efektifitas sebagai terapi stress ulcer dibandingkan dengan placebo (EAST, 2008).

Untuk itu, diberikan terapi golongan PPI yang menghambat sekresi asam

lambung. Dengan terhambatnya sekresi asam lambung, diharapkan keluhan mual

muntah pasien berkurang.

Pasien sirosis hepatik umumnya mengalami malabsorbsi akibat terjadinya

hipertensi portal sehingga menimbulkan terjadinya defisiensi vitamin dan mineral

selain itu, gangguan fungsi liver mempengaruhi penyimpanan berbagai bahan

mineral yang bermanfaat untuk tubuh. Pasien dengan gangguan fungsi liver

memiliki resiko tinggi mengalami defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Vitamin

B12 dan asam folat diperlukan tubuh dalam proses sintesis DNA sehingga

defisiensi asam folat dan vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan sintesis

eritrosit sehingga dapat memicu terjadinya anemia makrositik. Seingga untuk

mencegah dan mengobati anemia makrositik yang kemungkinan terjadi pada

pasien sirosis hepati, pasien mendapat terapi asam folat dan Grahabion sejak

tanggal 26 November 2013 saat awal pasien masuk rumah sakit (McPhee &

Ganong, 2005 & Yunfu, 2012).

Pada kasus ini pasien mendapat terapi grahabion mulai tanggal 26

November 2013 (awal masuk rumah sakit) hingga 11 Desember 2013 dan mulai

tanggal 12 terapi grahabion diganti dengan sohobion. Grahabion merupakan

sediaan tablet vitamin B komplek sedangkan sohobion merupakan produk vitamin

B komplek untuk sediaan injeksi. Perubahan rute pemberian sediaan vitamin B

komplek pada pasien dikarenakan kondisi pasien menurun yang ditunjukkan

dengan pasien mengeluhkan nyeri mulai tanggal 11 Desember 2013. Nyeri yang

dialami pasien dapat mempengaruhi nafsu makan sehingga dapat menyebabkan

terjadinya penurunan asupan makanan sehingga asupan vitamin juga dapat

terganggu. Dengan pemberian sediaan vitamin B komplek secara injeksi

Page 125: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

35

diharapkan dapat diperoleh ketersediaan vitamin dalam tubuh yang lebih tinggi

untuk dapat memenuhi kebutuhan vitamin.

Pada tanggal 29 Desember 2013 pasien emndapatkan terapi tambahan

Graphalac (Lactulose) untuk mengatasi HE. Lactulosa merupakan terapi lini

pertama pada pasien sirosis dengan HE. Dalam beberapa studi klinis yang telah

diterbitkan salah satunya oleh Als-Nielsen (2004) mengatakan bahwa Lactulase

dapat mengurangi faktor resiko HE pada penderita HE yang tidak mengalami

perbaikan namun secara statistik tidak signifikan dalam mencegah kematian

akibat HE. Studi klinis yang dilakukan Prassad (2007) mengatakan bahwa

Lactulose dapat meningkatkan fungsi kognitif dan kualitas kesehatan pasien

sirosis dengan HE minimal. Studi klinis yang dilakukkan oleh Sharma

mengatakan bahwa lactulase efektif dalam mencegah kejadian HE berulang. Dari

studi klinis yang dilakukan oleh mereka 140 pasien pasien sirosis sembuh dari

episode HE akut (Shanyal et al,. 2010). Lactulose berfungsi untuk menurunkan

kadar amoniak dalam darah. Amoniak dalam usus besar difermentasi oleh bakteri

anaerob menghasilkaan asam dan H+ sehingga amoniak berikatan dengan H

+

membentuk NH4 yang nantinya akan diekskresikan sehingga tidak terjadi

peningkatan kadar amoniak (NH3) dalam darah (Wright, et al., 2011). Pemberian

terapi Graphalac (Lactulose) seharusnya diberikan dari awal pasien masuk sebagai

terapi HE sekaligu sebagai pencahar untuk keluhan konstipasi pasien, sehingga

tidak diperlukan terapi Laxadin.

Pada tanggal 30 Desember 2013 tekanan darah pasien berada dibawah

nilai normal yaitu 80/60 sehingga diberikan terapi Dopamin untk meningkatkan

tekanan darah. Dopamin yang diberikan pada pasien adalah dopamin dengan dosis

sedang, yaitu dengan rentang 3 – 10 mcg/kg/mnt (Dipiro, 2011). Dopamin dengan

dosis sedang tersebut bekerja pada reseptor β1 dan dopaminergik yang berfungsi

untuk meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan cardiac output serta

meningkatkan aliran darah ke ginjal. Pemberian dopamin memberikan efek positif

yaitu peningkatan tekanan darah pada pasien.

Pada tanggal 3 Desember 2013 pasien mendapatkan transfusi PRC karena

profil Hb pasien mengalami penurunan yaitu 3,23 mg/dL. Pelaksanaan transfusi

darah dilakukan pada pasien dengan kadar Hb kurang dari 7 g/ dl (Retter, Andrew

Page 126: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

36

et al. 2012). Sedangkan pasien mendapatkan transfusi PRC pada 6/11 dengan

kadar Hb 8,4 g/ dl. Transfusi darah tidak diperlukan karena memiliki banyak

resiko, seperti: penularan virus hepatitis, malaria dan mahal. Penumpukan sitrat

akibat transfusi dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati

dikarenakan metabolisme sitrat di hati menurun. Oleh karena itu terapi post

transfusi membutuhkan Ca glukonas 10% (Pedoman Pelaksanaan Transfusi Darah

dan Komponen Darah, 1991).

Data lab tanggal 5/12 menunjukan terjadi hipokalemia pada pasien yaitu

2,98 sehingga diberikan terapi KSR.. Terjadi penurunan fungsi kognitif pasien

sehingga ditambahkan Brainact (Citicolin), Plavix (Clopidogrel), dan Profenid

(Ketoprofen).

Pasien mendapatkan terapi lactulosa yang dapat menyebabkan

ketidakseimbangan elektrolit. pada sirosis ketidakseimbangan elektrolit juga

dimungkinkan terjadi karena adanya stimulasi sekresi aldosteron yang

menyebabkan meningkatnya ekskresi kalium. KSR diberikan pada pasien ketika

kadar kalium pasien di bawah rentang normal, diharapkan dengan pemberian KSR

kadar kalium meningkat. Namun, setelah tiga hari pemberian KSR, kadar kalium

pasien tidak meningkat, sehingga pemberian KSR dihentikan. Tanggal 9 /12 hasil

laboratorium menunjukkan kadar kalium pasien di bawah rentang normal

meskipun telah diberi terapi KSR, untuk itu pada tanggal 10/12 pasien diberi

terapi KCl IVFD (intravena fluid drip) untuk meningkatkan kadar Kalium dengan

cepat. Namun setelah tiga hari pemberian, kadar kalium pasien tetap di bawah

rentang normal meskipun telah naik (3,18 mmol/L). Untuk itu, pada tanggal

12/12, pemberian KCl dikombinasi dengan KSR.

Pasien mengalami stroke iskemia sehingga diberikan teraoi Citicoline.

Citicoline bersifat neuroprotektor, diperlukan dalam proses pembentukan dan

perbaikan dinding sel saraf serta mengembalikan fungsinya. Selain itu, citicoline

juga membantu meningkatkan sintesis neurotransmiter asetilkolin sehingga dapat

memperbaiki fungsi memori pada pasien CVA (Warsiki, 2004). Pengobatan

dengan oral citicoline dalam 24 jam pertama setelah onset pada pasien dengan

stroke sedang sampai berat meningkatkan kemungkinan pemulihan lengkap pada

3 bulan. (Antoni Dávalos, 2002)

Page 127: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

37

Untuk terapi stroke pasien juga mendapatkan terapi plavix (clopidogrel).

Dalam uji meta analisis penggunaan antiplatelet dapat mengurangi resiko stroke

berulang sebesar 25% pada MI, MI akut,TIA atau stroke dan juga stroke akut.

Antiplatelet Clopidogrel dapat diberikan kepada pasien yang tidak dapat

mentoleransi pemberian Aspirin sebagai lini pertama dan dapat dianggap sebagai

lini pertama pada pasien dengan penyakit arteri perifer. Clopidogrel sedikit lebih

efektif daripada aspirin dengan penurunan resiko relatif 7,3% lebih dari aspirin.

Dosis yang digunakan adalah 75 mg perhari (Winkler, 2009).

Pasien mengeluhkan nyeri pada seluruh tubuh sehingga mendapatka terapi

Profenid (Ketoprofen). Untuk itu diberikan analgesik golongan NSAID dan

golongan non opioid untuk mengurangi rasa nyeri yang diderita pasien. Golongan

non opioid lebih diutamakan karena analgesik golongan opioid akan

dimetabolisme pada hati, sdangkan pasien mengalami kerusakan hati yang akan

menyebabkan gangguan metabolisme. Dengan adanya gangguan metabolisme

tersebut, akan meningkatkan kadar opioid dalam darah yang dapat beresiko

menimbulkan toksisitas. Pada hasil USG didapatkan pasien mengalami CKD

pada ginjal kiri sehingga penggunaan NSAID dihindari karena dapat

memperparah kondisi renal (Sease et al., 2008)

Pasien mendapatkan terapi Albumin pada tanggal 10/12 karena terjadi

hipoalbumin. Pada pasien sirosis, sel hepatosit kehilangan kemampuannya untuk

mensintesis albumin sehingga terjadi penurunan albumin yang dapat

menyebabkan menurunnya tekanan onkotik intravaskular dan timbul kebocoran

cairan. Albumin bekerja dengan cara meningkatkan tekanan onkotik intravaskular

dan menyebabkan perpindahan cairan dari ruang interstitial kedalam ruang

intravaskular (Lacy et al., 2009).

Page 128: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

38

DAFTAR PUSTAKA

Antoni Dávalos, et al., 2002, Oral Citicoline in Acute Ischemic Stroke: An

Individual Patient Data Pooling Analysis of clinical trials, American

Heart Association (Downloaded from http://stroke.ahajournals.org/ by guest

on December 7, 2013)

De Freitas GR, Christoph DDH, Bogousslavsky J. Topographic classification of

ischemic stroke, in Fisher M. (ed). Handbook of Clinical Neurology, Vol.

93 (3rd series). Elsevier BV, 2009.

Frederick, T., R. 2011. ‘Current concepts in the pathophysiology and management

of hepatic encephalopathy’. Gastrolenterol Hepatol, (N Y).

Guillamondegui, O.D; Gunter, O.L, Bonadies, J.A. 2008. Practice Management

Guideline for Stress Ulcer Prophylaxis: EAST Practice Management

Commitee.

Lisman, T., Kamphuisen, P. W., Northup, P. G., & Porte, R. J. 2013. Established

And New-generation Antithrombotic Drugs In Patients With Cirrhosis-

Possibilities And Caveats, Journal of Hepatology, Vol. 59, hal.358-366

(Http://doctorsonly.co.il, 11 Desember 2013).

Mc Phee, S. J. and Ganong W.F. 2006. ‘Liver disease, In Pathophysiology of

disease 5th ed, The McGraw-Hill Companies, Inc., Fransisco California.

Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia, 2011. Guideline Stroke. Volume 38 .

Jakarta: PERDOSSI.

Poerwadi T., dkk., 2006, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu

Penyakit Saraf, RS Dr. Soetomo, Surabaya.

Riordan, S. M., and Williams, R., 1997. Treatment of Hepatic Encephalopathy.

New England Journal of Medicine, Vol. 337, No. 7, p. 473-479.

Ryan, Laurajo. 2008. ‘Portal Hypertension and Cirrhosis’. In. Chisholm-Burns,

Marie A., Wells, Barbara G., Schwinghammer, Terry L., Malone, Patrick

M., Kolesar, Jill M., Rotschafer, John C., Dipiro, Joseph T.

Pharmacotherapy Principles & Practice. USA: McGraw-Hill Medical.

Sanyal, E.J; Mullen, K.D. 2010. The Treatment of Hepatic Encephalopaty in the

Cirrhotic Patient. Gastroenterology & Hepatology, April 2010 vol. 6

Page 129: Laporan Kasus Pkp Rs Maria

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PROGRAM PKP RUMAH SAKIT PROFESI APOTEKER ANGKATAN 97

39

Sease, J.M., Timm, E. G., Stragand, J. J. 2009, ‘Portal hypertension and cirrhosis’,

In DiPiro, J.T., L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (eds),

Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach, 7th ed, The McGraw-Hill

Companies, Inc., United States of America.

Setiawan, P.B., Kusumobroto, H.O., Oesman, N., Adi, P., Nusi, I.A., and

Purbayu, H., 2007. Sirosis Hati. In : Tjokroprawiro, A., Setiawan, P.B.,

Pranoto, A., Nasronudin, Santoso, D., and Soegiarto, G., Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam, Surabaya : Airlangga University Press, p. 129-136.

Sweetman, S.C., 2009. Martindale : The Complete Drug Reference. 36th

Ed.,

London : Pharmaceutical Press.

Tsao, G.G. and Lim, Joseph., 2009. ‘Management and Treatment of Patients With

Cirrhosis and Portal Hypertension: Recommendations From the Department

of Veterans Affairs Hepatitis C Resource Center Program and the National

Hepatitis C Program’. USA: The American Journal Of Gastroenterology.

Wright, G., Chattree, A., Jalan, R, 2011, Review Article Management Of Hepatic

Encephalopathy, International Journal Of Hepatology, volume 2011, Article

ID 841407, page 1-10.

Winkler. 2009, ‘Stroke’, In DiPiro, J.T., L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G.,

Posey, L.M. (eds), Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach, 7th ed,

The McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America.