BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bayi yang baru lahir akan mengalami berbagai macam perubahan yang didapatkan di luar uterus. Perbedaan antara kondisi intrauterine dan ekstrauterine membuat bayi harus berusaha beradaptasi dengan hal tersebut. Proses adaptasi ini akan menjadi lebih sulit pada bayi risiko tinggi seperti bayi prematur. Bayi prematur adalah kelahiran bayi kurang dari 37 minggu usia kehamilan. World Health Organization (WHO) memperkirakan 15 juta bayi lahir prematur setiap tahun atau lebih dari 1:10 kelahiran. Tingkat kelahiran prematur berkisar dari 5% sampai 18% dari bayi yang lahir. Data indonesia tahun 2012 tercatat sekitar 675.700 atau 15.5 per 100 kelahiran. Indonesia menempati peringkat kelima dunia negara dengan jumlah bayi prematur terbanyak di dunia. Prematuritas adalah penyebab utama kematian pada anak di bawah usia 5 tahun (WHO, 2015). Kematian bayi prematur disebabkan sebagian besar organ tubuh yang belum matang dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan ekstrauterine. Imaturitas organ bayi antara lain fungsi metabolisme, ginjal, hati, imunologik, hematologik dan sistem saraf. Bayi 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bayi yang baru lahir akan mengalami berbagai macam perubahan yang
didapatkan di luar uterus. Perbedaan antara kondisi intrauterine dan
ekstrauterine membuat bayi harus berusaha beradaptasi dengan hal tersebut.
Proses adaptasi ini akan menjadi lebih sulit pada bayi risiko tinggi seperti bayi
prematur. Bayi prematur adalah kelahiran bayi kurang dari 37 minggu usia
kehamilan. World Health Organization (WHO) memperkirakan 15 juta bayi
lahir prematur setiap tahun atau lebih dari 1:10 kelahiran. Tingkat kelahiran
prematur berkisar dari 5% sampai 18% dari bayi yang lahir. Data indonesia
tahun 2012 tercatat sekitar 675.700 atau 15.5 per 100 kelahiran. Indonesia
menempati peringkat kelima dunia negara dengan jumlah bayi prematur
terbanyak di dunia. Prematuritas adalah penyebab utama kematian pada anak
di bawah usia 5 tahun (WHO, 2015).
Kematian bayi prematur disebabkan sebagian besar organ tubuh yang belum
matang dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan ekstrauterine.
Imaturitas organ bayi antara lain fungsi metabolisme, ginjal, hati, imunologik,
hematologik dan sistem saraf. Bayi prematur secara umum belum mempunyai
kematangan dalam sistem pertahanan tubuh untuk beradaptasi dengan
lingkungan (Prasanna & Radhika, 2013 ; Chapman & Durham, 2010).
Lingkungan yang tidak bersahabat dapat menyebabkan bayi stres. Stres
tersebut bersumber dari kebisingan yang ditimbulkan oleh inkubator,
ventilator, peralatan monitoring, percakapan para staf diruang perawatan, dan
pencahayaan ruang perawatan serta prosedur invasif; seperti pengambilan
sampel darah, pergantian popok, kegiatan membuka dan menutup inkubator
(Indriansari, 2011).
Menurut Wong et al (2009) neonatus prematur sangat sensitif terhadap
rangsang-rangsang yang dapat menimbulkan stress. Bayi prematur belum
1
mampu mengatasi dan beradaptasi dengan stress lingkungan. Stress
lingkungan umumnya berasal dari adanya perubahan drastis yang menjadi
ancaman bayi seperti kondisi suhu udara, sinar yang terang, kebisingan
lingkungan yang sangat berbeda dengan kondisi intrauterine atau rangsang
lain yang menimbulkan nyeri. Hal ini disebabkan karena immaturitas sistem
syaraf dan kurang stabilnya fisiologis bayi.
Model adaptasi Roy menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk
biopsikososial sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam memenuhi
kebutuhannya, manusia selalu dihadapkan berbagai persoalan yang kompleks,
sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi. Penggunaan koping atau
mekanisme pertahanan diri, adalah berespon melakukan peran dan fungsi
secara optimal untuk memelihara integritas diri dari keadaan rentang sehat
sakit dari keadaan lingkungan sekitarnya. Dasar teori ini adalah memandang
individu sebagai suatu sistem yang adaptif. Dikatakan adaptif karena individu
secara terus menerus akan berinteraksi dengan stimulus lingkungan baik dari
lingkungan internal maupun dengan lingkungan eksternal (Alligood & Tomey,
2006).
Melihat banyaknya dampak dari stress adaptasi terhadap lingkungan yang
dihadapi bayi prematur dari intrauterine ke ekstrauterine, maka
dikembangkanlah metode developmental care atau asuhan perkembangan
yang bertujuan untuk memfasilitasi perkembangan bayi secara normal dan
memfasilitasi keterikatan antara bayi dan ibu (Rustina, 2015). Developmental
care adalah asuhan yang memfasilitasi perkembangan bayi melalui
pengelolaan lingkungan perawatan dan observasi perilaku sehingga bayi
mendapatkan stimulus yang adekuat (Symington & Panelli, 2004). Intervensi
yang mendukung developmental care (asuhan perkembangan) meliputi:
positioning, manajemen nyeri, beri bayi minum (feeding), nesting (Rustina,
2015).
2
Hasil analisis data diperoleh jumlah rerata bayi yang dirawat di ruang Seruni
Rumah Sakit Anak Bunda Harapan Kita (RSAB Harapan Kita) sebanyak 70-
75 bayi per bulan, yang sebagian besar adalah bayi prematur. Namun
pelaksanaan asuhan perkembangan oleh perawat masih kurang karena belum
adanya kebijakan, aturan, atau panduan tertulis tentang asuhan perkembangan
diruangan. Menurut Prasanna & Radhika (2013); Chapman & Durham (2010)
Stimulasi perkembangan pada prematur perlu diperhatikan untuk peningkatan
neurofisiologis dan pertumbuhannya. Hal inilah yang mendasari keputusan
dalam menentukan prioritas masalah proyek inovasi. Proyek inovasi ini
mencoba untuk menggali respon adaptasi bayi prematur yang dirawat di
ruangan perinatologi berdasarkan pendekatan model teori adaptasi yang
dikembangkan oleh Sister Callista Roy, dengan mengaplikasikan teori
adaptasi Sister Callista Roy pada Panduan Asuhan Keperawatan (PAK)
tentang asuhan perkembangan di ruang Seruni RSAB Harapan Kita tahun
2015.
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu melaksanakan
asuhan perkembangan (developmental care) sesuai dengan Panduan
Asuhan Keperawatan (PAK).
1.2.2 Tujuan khusus
1.2.2.1 Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu memahami
konsep asuhan perkembangan sesuai dengan Panduan Asuhan
Keperawatan (PAK).
1.2.2.2 Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu
melaksanakan asuhan perkembangan sesuai dengan Panduan
Asuhan Keperawatan (PAK).
1.2.2.3 Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu melakukan
evaluasi/verifikasi terhadap Panduan Asuhan Keperawatan
(PAK) tentang asuhan perkembangan (developmental care).
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Teori Sister Callista Roy
2.1.1 Latar Belakang Dasar Pengembangan Model adaptasi Roy
Dasar teori ini adalah memandang individu sebagai suatu sistem yang
adaptif. Dikatakan adaptif karena individu secara terus menerus akan
berinteraksi dengan stimulus lingkungan baik dari lingkungan internal
maupun dengan lingkungan eksternal (Alligood & Tomey, 2006).
Melalui teori ini Roy mencoba memahami proses adaptasi individu
terhadap situasi kehidupan mereka yang sangat bervariasi (Roy &
Andrew, 1999). Dalam interaksinya dengan stimulus lingkungan secara
terus menerus, individu pada akhirnya akan memberikan respon
terhadap stimulus tersebut dan proses adaptasi pun terjadi. Respon
individu terhadap stimulus lingkungan dapat berupa respon adaptif
ataupun respon yang inefektif. Respon adaptif merupakan respon yang
dapat meningkatkan integritas dan membantu individu untuk mencapai
tujuan dari adaptasi sendiri, seperti bertahan hidup, tumbuh,
berreproduksi, penguasaan dan perubahan pada individu maupun
lingkungan. Sebaliknya, respon inefektif dapat menggagalkan atau
mengancam tujuan adaptasi (Alligood & Tomey, 2010).
2.1.2 Konsep Model Adaptasi Roy
Model Adaptasi dari Roy ini dipublikasikan pertama pada tahun 1970
dengan asumsi dasar model teori ini adalah:
1. Setiap orang selalu menggunakan koping yang bersifat positif
maupun negatif. Kemampuan beradaptasi seseorang dipengaruhi
oleh tiga komponen yaitu; penyebab utama terjadinya perubahan,
terjadinya perubahan dan pengalaman beradaptasi.
2. Individu selalu berada dalam rentang sehat – sakit, yang
berhubungan erat dengan keefektifan koping yang dilakukan untuk
memelihara kemampuan adaptasi.
4
Roy mengidentifikasi 3 tipe stimulus lingkungan yaitu fokal,
kontekstual dan residual yang dianggap sebagai kekuatan yang
mempengaruhi individu secara langsung. Menurut Fawcet (2009):
1. Stimulus fokal merupakan satu – satunya faktor yang langsung
mempengaruhi individu.
2. Stimulus kontekstual adalah stimulus lain yang berkontribusi
langsung pada respon individu.
3. Stimulus residual merupakan faktor yang tidak diketahui yang dapat
mempengaruhi individu.
Stimulus lingkungan secara langsung berhubungan dengan proses
koping, namun dapat secara langsung ataupun tidak langsung
berhubungan dengan modus adaptasi. Hubungan langsung antara
stimulus lingkungan dengan modus adaptasi dimediasi oleh proses
koping. Individu menggunakan 2 proses koping dalam menapis
stimulus lingkungan dimana proses tersebut adalah regulator dan
kognator. Proses koping regulator menekankan pada sistem syaraf,
kimiawi dan endokrin yang memproses stimulus secara otomatis dan
tidak disadari. Proses koping kognator menekankan pada jalur kognitif
emotif dalam memproses stimulus, memproses informasi/
mempersepsikan, belajar, mempertimbangkan dan emosi (Fawcet,
2009).
Roy menjelaskan bahwa proses regulator dan kognator tidak dapat
diamati secara langsung akan tetapi respon perilaku dari 2 sistem
tersebut dapat diamati secara langsung melalui 4 modus adaptasi yang
antara lain adalah fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
interdependen. Keempat modus adaptasi ini saling berhubungan melalui
persepsi. Adanya respon yang adaptif ataupun respon yang inefektif
pada satu modus akan mempengaruhi proses adaptasi pada modus
lainnya (Alligood & Tomey, 2006).
5
Modus adaptasi fisiologis merupakan cara individu berinteraksi dengan
lingkungan melalui proses fisiologis sehingga individu dapat memenuhi
kebutuhan dasar mereka yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktifitas
dan istirahat serta perlindungan. Pencapaian integritas fisiologis
merupakan respon adaptif pada modus adapatif (Alligood & Tomey,
2006). Modus adaptasi konsep diri didasari pada kebutuhan psikologis
dan spiritual, kebutuhan dalam memahami individu sebagai makhluk
yang utuh.
Terdapat dua respon adaptasi yang dinyatakan Roy yaitu:
1. Respon yang adaptif dimana terminologinya adalah manusia dapat
mencapai tujuan atau keseimbangan sistem tubuh manusia.
2. Respon yang tidak adaptif dimana manusia tidak dapat mengontrol
dari terminologi keseimbangan sistem tubuh manusia, atau tidak
dapat mencapai tujuan yang akan diraih.
Respon tersebut selain menjadi hasil dari proses adaptasi
selanjutnya akan juga menjadi umpan balik terhadap stimuli adaptasi.
6
Bagan 1 Model Adaptasi Roy
Input
Proses kontrol
Affector
Output
Bagan 2 Aplikasi Model Adaptasi Roy terhadap Developmental Care
7
BAYI PREMATUR
Imaturitas sistem respirasiImaturitas sistem kardiovaskulerImaturitas sistem termoregulasiImaturitas sistem gastrointestinalImaturitas sistem renalImaturitas sistem hepatik hematologiImaturitas sistem imunologi
Adaptasi intrauterine dengan lingkungan ekstrauterin (faktor lingkungan):suhu, suara, cahaya dan sentuhan
Stres fisiologis pada bayi prematur
DEVELOPMENTAL CARE
Respon adaptif:Pengurangan stres dan nyeriKonservasi energi dan mempercepat pemulihanMeningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan.Membantu menstimulasi perilaku pada setiap tahap kematangan perkembangan saraf.
2.2 Developmental Care
2.2.1 Definisi
Asuhan perkembangan (developmental care) merupakan asuhan individual
dengan cara mengurangi gangguan dan manipulasi pada bayi yang dilakukan
oleh pemberi asuhan dalam upaya menurunkan stres pada bayi. Penekanan
asuhan perkembangan pada minimalisasi penggunaan energi bayi dan
menurunkan stres serta mencegah komplikasi (Rustina, 2015).
Developmental care disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan toleransi
pada setiap bayi. Selama stadium awal perkembangan (terutama usia gestasi
33 minggu), rangsangan akan menghasilkan aktifitas acak, tidak
terkoordinasi, seperti ekstensi, ekstensi tungkai, hiperfleksi, dan tanda vital
yang tidak teratur. Pada tahap ini bayi perlu mendapatkan rangsangan
lingkungan minimal seperti penanganan dengan gerakan perlahan, terkontrol,
dan gerakan acak mereka dikontrol dengan anggota badan dipegang
mendekati tubuhnya selama memutar atau berubah posisi (Hockenberry &
Wilson, 2009). Pelaksanaan developmental care didasarkan pada teori bahwa
perubahan otak janin terjadi pada minggu-minggu terakhir kehamilan.
Perkembangan otak bayi in utero terhenti ketika bayi dilahirkan prematur
(Horner, 2010).
2.2.2 Tujuan
Adapun tujuan developmental care yaitu :
Bagi bayi:
a. Pengurangan stres dan nyeri
b. Konservasi energi dan mempercepat pemulihan
c. Meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan
d. Membantu menstimulasi perilaku pada setiap tahap kematangan
perkembangan saraf
8
Bagi orang tua:
a. Mendorong dan memberikan support pada orang tua dalam peran
pengasuh utama
b. Meningkatkan kesejahteraan keluarga baik secara emosional maupun
sosial
2.3 Tindakan yang mendukung Developmental Care
Memfasilitasi tidur
Memfasilitasi tidur merupakan hal penting dalam developmental care karena
tidur merupakan kebutuhan dasar manusia (Coughlin et al, 2009). Periode
tidur tidak boleh diganggu minimal selama 50 menit untuk memungkinkan
siklus tidur yang komplit (Hockenberry & Wilson, 2009). Gangguan pada
siklus tidur secara signifikan berhubungan dengan proses awal perkembangan
sensori. Terdapat bukti bahwa pertumbuhan didukung oleh kualitas tidur pada
awal perkembangan otak bayi. Hubungan kejadian antara fase tidur aktif
(Rapid Eye Movement-REM) dan fase tidur tenang (Non-REM) memiliki
batasan dalam kemampuan otak untuk menstimulasi sel saraf terhadap
berbagai pengalaman sensori. Pada usia 28-30 minggu biasanya bayi selalu
berada pada fase tidur, dengan 80-90% pada fase tidur aktif (REM) (Jenkins
et al, 2014).
2.4 Komponen Developmental Care (Altimier, Leslie; Phillips, 2013; Dulson,
2014) :
1. Pengurangan Kebisingan
2. Pengurangan Cahaya
3. Positioning
4. Minimal Handling
5. Family-centered care (Kangaroo Care)
6. Minimalisir Stres dan Nyeri
7. Feeding9
1. PENGURANGAN KEBISINGAN
Suara nyaring mempengaruhi perkembangan sistem pendengaran dan
mengganggu istirahat bayi. Selain itu, suara yang terlalu bising dapat
meningkatkan kelelahan pada bayi, status tidur terjaga bayi menjadi terganggu,
meningkatkan frekuensi jantung, meningkatkan tekanan intrakranial,
menimbulkan episode hipoksia dan bayi menjadi agitasi. Lingkungan yang
tenang bagi bayi memiliki rata-rata derajat kebisingan 45dB, dengan suara
yang masih ditolerir maksimal 65dB.
Segera setelah lahir, bayi dihadapkan pada lingkungan yang bising yang
mempunyai derajat kebisingan sekitar 70-80 dB. Beberapa alat kesehatan yang
menyumbangkan berbagai tingkatan kebisingan, seperti: 1) Pompa infus (IV
Pump) 60-78 dB; 2) Ketukan jari pada inkubator 70 – 95 dB; 3) Gelembung
dalam ventilator atau selang 62 – 87 dB; 4) Menutup pintu inkubator 80 – 111
dB; 5) Pulse oxymeter alarm 86 dB.
Intervensi perawatan untuk membantu mengurangi kebisingan:
1. Pendidikan bagi staf perawatan dan orang tua tentang efek suara dan
kebutuhan untuk tenang bagi bayi.
2. Audit secara reguler terkait tingkat kebisingan pada hari yang berbeda,
ronde bangsal dan handover, berikan umpan balik untuk staf / orang tua
3. Bicaralah dengan suara pelan
4. Tutup pintu inkubator lembut
5. Hindari menempatkan benda di atas inkubator
6. Cepat berespon terhadap bunyi alarm (Matikan Alarm)
7. Atur bunyi alarm dan telepon pada tingkat suara yang rendah
8. Tidak ada radio di ruangan
10
9. Pertimbangkan pemakaian sarung telinga selama prosedur yang terlalu
berisik
Keterangan:
1. Direkomendasikan dukungan suara antara orang tua dan bayi secara dini.
Bayi memiliki kesempatan untuk mendengar suara orang tua mereka.
2. Kebisingan mengganggu tidur yang penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan bayi.
3. Tingkat kebisingan yang tinggi dapat menimbulkan stres bagi bayi, orang
tua dan staf.
4. Awal kerusakan koklea pada orang dewasa adalah pada suara dengan
tingkat kebisingan 80dB. Koklea pada bayi prematur lebih sensitif
dibanding orang dewasa.
5. Perkembangan fungsi pendengaran berkembang pada usia kehamilan 27
minggu
2. PENGURANGAN CAHAYA
Panduan pemberian cahaya :
1. Cahaya diukur dalam tingkat 'Lux' menggunakan lightmeter. Pencahayaan
sekitarnya harus bervariasi dari 10- 600 lux.
2. Tingkat pencahayaan harus disesuaikan, memungkinkan peredupan dan
peningkatan tingkat untuk praktek kerja yang aman dan prosedural.
3. Bertujuan untuk menjaga tingkat pencahayaan rendah (300 lux)
Intervensi perawatan untuk membantu mengatur cahaya:
1. Melindungi bayi dari cahaya di bawah 25 lux sampai usia koreksi
kehamilan 32/34 minggu. Penutup inkubator atau kanopi dengan cot
terbuka.
11
2. Pada usia 32 minggu mulai memperkenalkan paparan cahaya tingkat
sedang 2 jam per hari. Tetap menggunakan penutup dan melindungi bayi
dari paparan lampu terang atau sinar matahari.
3. Secara bertahap meningkatkan pencahayaan pada usia 35-37 usia koreksi
kehamilan.
4. Lindungi bayi dari pencahayaan yang terfokus pada prosedur medis dan
pemeriksaan. Hindari penggunaan lampu penghangat yang cahayanya
disorotkan langsung ke muka bayi karena bayi akan selalu menutup
matanya karena silau.
5. Bisa menggunakan penutup mata atau tangan pengasuh.
6. Hindari menempatkan gambar yang sangat kontras pada bayi
7. Beritahukan kepada orang tua bahwa bayi mulai mengikuti garis wajah
mereka pada usia 33/34 minggu
Keterangan:
1. Refleks pupil belum efektif sebelum usia 32 minggu, bayi tidak dapat
menyesuaikan diri dengan cahaya terang. Cahaya yang terlalu terang dapat
merusak kemampuan melihat bayi. Tingkat cahaya yang lebih tinggi dapat
mengganggu siklus tidur bayi.
2. Bayi yang belum lahir menganggap cahaya sebagai rangkaian bayangan
abu-abu melalui dinding abdomen ibu. Setelah melahirkan persepsi visual
bayi berkembang lebih jauh karena mereka mengalami siklus cahaya dan
stimulasi visual lainnya. Bayi perlu secara bertahap menjadi terbiasa
dengan perubahan malam / siang, transisi normal pola tidur waktu malam.
3. Cahaya di ruang rawat bayi dapat berasal dari berbagai sumber,
diantaranya lampu tindakan dan fototerapi. Kedua sumber ini
memproduksi 300 – 400 footcandle (ftc). Sumber pencahayaan ini sangat
mengganggu karena melebihi dari cahaya yang dianjurkan oleh American
Academy of Pediatric yaitu 60 ftc.
3. DUKUNGAN POSISI (POSITIONING)
Bayi harus didukung dalam posisi nyaman yang membantu melindungi postur dan
perkembangan mereka, organisasi perilaku dan stabilitas kebutuhan mereka yang
12
akan berubah tergantung pada usia bayi (Iii, Mazoti, Barreto, Estadual, & Paraná,
2015) :
1. Supinasi
Yang dilakukan dengan memfleksikan ekstremitas bagian bawah Posisi supine
dengan posisi lurus direkomendasikan selama beberapa hari pertama kehidupan
untuk mencegah obstruksi fungsi saluran vena serebral dan mencegah
peningkatan aliran darah otak.
2. Posisi miring (side lying)
Yang dilakukan dengan memposisikan bayi ke salah satu sisi dengan
memfleksikan tangan dan kaki sehingga berada ditengah-tengah tubuh. Side-
minimal sentuhan (touching), positioning, manajemen nyeri, beri bayi
minum (feeding), nesting (Rustina, 2015).
Program inovasi aplikasi teori adaptasi Roy dengan menggunakan
Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) tentang asuhan perkembangan
(Developmental care) di Ruang Seruni RSAB Harapan Kita memiliki
peluang efektif untuk diterapkan dalam asuhan keperawatan. setelah
program selesai dilaksanakan, perawat menunjukkan perubahan tingkat
pengetahuan tentang asuhan perkembangan sehingga dapat dijadikan
panduan dalam pemberian asuhan keperawatan.
4.2 Kekurangan dan Hambatan
1. Rancangan Panduan Asuhan Perkembangan belum diuji sesuai kondisi
di lapangan (Ruang Seruni RSAB Harapan Kita)
2. Optimalisasi waktu yang diberikan sehingga belum dapat diukur
kemanfaatan dari Rancangan PAP.
4.3 Rekomendasi
1. Rancangan PAP dapat diterapkan untuk mendukung asuhan
keperawatan di ruang neonatal
2. Kebijakan atau aturan yang dibuat untuk mendukung pelaksanaan
asuhan perkembangan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Altimier, Leslie & Phillips, R. M. (2013). The neonatal integrative developmental care model: seven neuroprotective core measures for family-centered developmental care. Newborn and Infant Nursing Reviews, 13(1), 9–22.
Basavanthappa. (2007). Nursing theories. New Delhi: Jaypee.
Coughlin, M. Gibbins, S., & Hoath, S (2009). Core Measure for developmentally supportive care in neonatal intensive care unit: Theory, precedence, and practice. Journal of Advanced Nursing, 65(10)2239-2248.
Chapman, L., & Durham, R.F. (2010). Maternal-newborn nursing : The critical component of nursing care. Philadelphia : Davis Company
Dulson, P. (2014). The Northern Neonatal Network Guideline for Family Centred Developmental Care, (February), 1–23.
George, J.B. (2002). Nursing theories: Base for professional nursing. (5th Ed). Pearson Education.
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2009). Wong’s essentials of pediatric nursing (8th
ed). St. Louis: Mosby Inc.
Horner, S. (2010). Developmental care. Article of Neonatal Intensive Care Chicago Children’s Memorial Hospital. Retrieved from http://www.childrenmemorial.org/depts/neonatology/developmental.aspx
Iii, S. D., Mazoti, G., Barreto, S., Estadual, U., & Paraná, W. (2015). Validation of newborn positioning protocol in Intensive Care Unit, 68(6), 835–841.
Jenkins, D., Harigopal, S., Paterson, L., & Boyd, M. (2014). Guideline for family centred Developmental Care. Retrieved from Northern Neonatal Network website: www.nornet.org.uk
Kenner, C. & McGrath, J. M. (2004). Developmental care of newborns & infants: a guide for health proffesional. St. Louis: Mosby.
Kompas (2015). Indonesia Urutan Kelima Jumlah Kelahiran Prematur. Diakses dari
Mariyam, Rustina, Y., Waluyanti, F.T. (2013). Aplikasi teori konservasi Levine pada anak dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi di ruang perawatan anak. Jurnal Keperawatan Anak, 1.
Prasanna, K., & Radhika, M. (2013). Effectiveness of massage on weight gain and selected physiological parameters among preterm babies in selected hospital. International Journal of Science and Research. 4(4), 2319-7064
Rustina, Y. (2015). Bayi prematur: perspektif keperawatan. Jakarta: Segung Seto.
Symington, A., Pinelli, J.,(2004). Developmental care for promoting development and preventing morbidity in preterminfants. The Cochrane Database of Systematic Reviews: The Cochrane Database, (3).
Tomey, A.M., & Alligood, M. R. (2010). Nursing theorist and their work. (7th ed). St. Louis: Elsevier
WHO (2015). Preterm birth. Diakses dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs363/en/
Wong, D. L., Hockenberry, M., Eaton, Wilson, D., Winkelstein, M. L., & Schwartz, P. (2009). Buku ajar: Keperawatan pediatrik. Edisi 6. (Alih bahasa: Hartono. A., Kurnianingsih. S., & Setiawan). Jakarta: EGC.