1 Unggul Dalam IPTEK Kokoh Dalam IMTAQ LAPORAN HASIL PENELITIAN FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA HIPOTENSI INTRADIALITIK PADA PASIEN HEMODIALISIS DI UNIT HEMODIALISIS RS HAJI JAKARTA OLEH : SUWANTO 2013727129 PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2015
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Unggul Dalam IPTEK Kokoh Dalam IMTAQ
LAPORAN HASIL PENELITIAN
FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
TERJADINYA HIPOTENSI INTRADIALITIK PADA PASIEN
HEMODIALISIS DI UNIT HEMODIALISIS RS HAJI JAKARTA
OLEH :
SUWANTO
2013727129
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015
2
3
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
Riset Keperawatan, Maret 2015
Suwanto
4
Faktor Faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Hipotensi Intradialitik pada Pasien Hemodialisis di Unit Hemodialisis RS Haji Jakarta, 2015.
VIIbab+8xii+77 halaman+13tabel+4gambar+3skema
Abstrak
Hipotensi Intradialitik (IDH) tercatat sebagai penyulit hemodialisis kedua setelah hipertensi (IRR, 2013). Pencegahan dan penanganan IDH harus terus diperhatikan. Pentingnya mengetahui faktor penyebab IDH merupakan keahlian seorang perawat dialisis. Pada penelitian ini dengan metode deskriptif korelasi untuk mengetahui beberapa faktor pencetus IDH. 69 pasien hemodialisis di libatkan untuk mengetahui faktor Ultrafiltrasi Rate, waktu lamanya program hemodialisis, riwayat diabetes melitus, jenis dialiser yang digunakan, riwayat anemia, dan usia lanjut apakah ada hubungannya dengan kejadian IDH. Hasilnya adalah sebanyak 25 (36%) responden mengalami IDH. Dari 6 variabel yang di analisis, hanya variabel ultrafiltrasi rate dan anemia yang berhubungan dengan kejadian IDH masing masing dengan pValue =0,043 dan riwayat anemia pValue=0,033. Sementara itu faktor waktu lamanya program hemodialisis, riwayat diabetes melitus, jenis dialiser yang digunakan dan usia lanjut terbukti tidak ada hubungannya dengan kejadian hipotensi intradialitik dengan hasil pValue masing masing (0,515 ; 0,202 ; 0,756 dan 1,000). Peneliti menyimpulkan hendaknya pasien hemodialisis menghindari Ultrafiltrasi Rate > 13 mL/kg/jam dan peningkatan berat badan antar hemodialisis tidak lebih dari 5% dari berat badan kering. Kadar hemoglobin minimal mencapai 10 gr/dL sehingga dapat menurunkan angka IDH dan peningkatan kualitas pasien hemodialisis.
Kata Kunci : Hemodialisis, Hipotensi Intradialitik, Ultrafiltrasi Rate (UFR)
Daftar Pustaka : 34, Tahun : 2001-2014
5
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah
Subhana Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta nikmat sehat,
iman, islam, ilmu dan waktu sehingga saya dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian
ini. Adapun penelitian ini berjudul “ Faktor faktor Yang Berhubungan dengani Terjadinya
Hipotensi Intradialitik di Unit Hemodialisis RS Haji Jakarta” yang dilakukan untuk
memenuhi mata kuliah riset keperawatan pada Program Studi Keperawatan, Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Peneliti menyadari bahwa penyusunan proposal penelitian ini tidak dapat terlaksana tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Allah Subhana Wata’ala yang berkat rahmat, nikmat, dan rezeki-Nya peneliti
dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini
2. Bapak Dr Muhammad Hadi SKM, M.Kep selaku Dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
3. Ibu Irna Nursanti M.Kep, Sp.Mat selaku Kepala Program Studi Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
4. Ibu Ns. Diana Irawati, SKep, M.Kep, Sp KMB selaku dosen pembimbing dalam
penelitian. Terima kasih atas waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing peneliti
2008). Hipotensi juga bisa terjadi pada pasien dengan volume darah yang relatif kecil
seperti pada lansia, anak anak dan perempuan yang kecil (Kallenbach, et al, 2005).
Penatalaksanaan hipotensi intradialitik saat ini masih belum teridentifikasi dengan
baik, dimana kemampuan pengkajian kejadian hipotensi intradialitik masih kurang.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor yang
berhubungan dengan terjadinya hipotensi intradialitik pada pasien hemodialisis di unit
hemodialisis RS Haji Jakarta
1.2. Rumusan Masalah
Semakin meningkatnya gaya hidup seseorang yang tidak diimbangi dengan
pengetahuan kesehatan, akan meningkatkan kejadian penyakit kronis. Kebiasaan yang
kurang sehat meningkatkan angka kejadian penyakit pembuluh darah seperti
hipertensi dan diabetes melitus.
Penyakit hipertensi dan diabetes melitus yang tidak terkontrol merupakan penyebab
utama dari kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible (IRR, 2013). Jika
19
seseorang mengalami kerusakan ginjal dan jatuh pada tahap akhir (ERSD), maka yang
bersangkutan harus menjalani terapi pengganti ginjal yaitu melakukan dialisis ataupun
transplantasi ginjal.
Angka kejadian seseorang yang menjalani terapi pengganti ginjal dengan melakukan
hemodialisis dari tahun ketahun semakin meningkat, baik di dunia maupun di
indonesia sekalipun. WHO mencatat pada tahun 2004, di dunia pertahunnya
meningkat lebih dari 30%. Di Indonesia pada tahun 2013 jumlah pasien baru
senbanyak 15.128 pasien tetapi hanya 9.396 pasien aktif menjalani hemodialisis (IRR,
2013).
Penatalaksanaan hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal terbanyak (80%),
kemudian transplantasi ginjal sebanyak 15%, continues ambulatory peritoneal dialisys
(CAPD) 2% dan CRRT sebanyak 3% (IRR, 2013). Tingginya penatalaksanaan
hemodialisis di bandingkan dengan penatalaksanaan yang lainnya, tentu harus
diimbangi dengan keahlian petugasnya. Hal tersebut berkaitan dengan komplikasi
yang terjadi pada saat hemodialisis. Hipotensi tidak hanya menyebabkan
ketidaknyamanan tapi juga meningkatkan resiko kematian. Saat aliran dan tekanan
darah terlalu rendah, maka pengiriman nutrisi dan oksigen ke organ vital seperti otak,
jantung, ginjal dan organ lain akan berkurang bahkan akan dapat mengakibatkan
kerusakan. Hipotensi intradialisis yang tidak diatasi mengakibatkan kerusakan organ
tubuh permanen sehingga meningkatkan kematian (Cunha & Lee, dalam Armiati,
2009).
20
IRR melaporkan insiden penyulit hemodialisis pada tahun 2013 tertinggi adalah
masalah hipertensi dengan angka kejadian sebanyak 54.162 insiden dan disusul
penyulit kedua yaitu hipotensi intradialitik sebanyak 12.747 insiden (IRR,2013)
Untuk mencari jawaban atas permasalahan tersebut maka peneliti ingin mengetahui
lebih lanjut apakah faktor faktor yang berhubungan dengan terjadinya hipotensi
intradialitik pasien hemodialisis di RS Haji Jakarta.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan terjadinya hipotensi
intradialitik pada pasien hemodialisis di instalasi hemodialisis RS Haji Jakarta
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
a. Teridentifikasinya data demografi responden : jenis kelamin dan lamanya
menjalani hemodialisis pada pasien hemodialisis di RS Haji Jakarta
b. Teridentifikasinya faktor UFR yang tinggi, waktu hemodialisis yang pendek,
riwayat penyakit diabetes, jenis dialiser yang digunakan, anemia dan umur
lansia pada pasien hemodialisis di RS Haji Jakarta
c. Teridentifikasinya gambaran kejadian hipotensi pasien HD di RS Haji Jakarta
d. Teridentifikasinya hubungan antara faktor (UFR yang tinggi, waktu dialisis
yang pendek, riwayat diabetes, jenis dialiser yang digunakan, anemia dan
21
usia/umur lansia pasien hemodialisis) dengan kejadian hipotensi di unit
hemodialisis RS Haji Jakarta.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perawat dalam mengantisipasi dampak
dan melakukan tindakan asuhan keperawatan terkait komplikasi intradialitik
terutama dengan kejadian hipotensi intradialitik, sehingga perawat mampu
memberikan pelayanan yang maksimal dalam melakukan pencegahan dan
penatalaksanaan hipotensi intradialitik.
1.4.2. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Bermanfaat sebagai acuan atau sumber data untuk penelitian berikutnya dan
mendorong bagi yang berkepentingan untuk melakukan penelitian lebih lanjut
yang berhubungan dengan kejadian hipotensi intradialitik sehingga dapat
diketahuinya lebih lanjut faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian
hipotensi intradialitik
1.4.3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini menjadi masukan bagi pendidikan dalam proses pembelajaran
mahasiswa keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah dengan
peminatan perawat mahir dialisis sehingga dapat diperoleh gambaran yang nyata
penanganan hipotensi intradialitik, disamping itu pula mendukung terwujudnya
22
evidence based dalam praktik keperawatan serta menambah pengetahuan dan
wawasan perawat terutama perawatan pasien hemodialisis pada umumnya.
23
BAB II
TINJAUAN TEORI
Bab II menguraikan konsep tentang Chronic Kidney Disease (CKD), hemodialisis, dan
komplikasi intradialisis dengan Hipotensi yang dialami pasien saat menjalani
hemodialisis.
2.1. Chronic Kidney Disease (CKD)
2.1.1. Definisi
CKD adalah kerusakan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan
dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia berupa retensi ureum dan sampah nitrogen
lain dalam darah (Smeltzer, et al, 2008).
National Kidney Foundation (2009) mendefinisikan CKD sebagai kerusakan ginjal
dengan kadar filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 lebih dari 3
bulan, dimanifestasikan dengan abnormalitas patologi dan komposisi darah dan urin.
Dapat disimpulkan bahwa CKD adalah kerusakan ginjal yang permanen terjadi secara
perlahan lahan yang menyebabkan kegagalan dalam pengeluaran sisa metabolisme tubuh
dan memerlukan terapi pengganti ginjal baik dialisis maupun transplantasi ginjal. Kriteria
penyakit ginjal kronik seperti yang tertulis pada Tabel 2.1 berikut
24
Tabel 2.1
Kriteria Chronic Kidney Disease
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : - Kelainan patologis - Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests) 2. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal (Sumber : Suwitra, 2010)
Pada kelainan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih
dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk CKD.
2.1.2. Klasifikasi
Klasifikasi CKD di dasarkan atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis
etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Cockroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/men/1,73m2) = (140 – usia) x berat badan x (0,85 jika wanita)
72 x kreatinin serum
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO, 2013) Penyakit ginjal
kronik dibagi menjadi 6 stadium seperti Tabel 2.2 di bawah ini.
25
Tabel 2.2
Kategori LFG pada CKD
Kategori LFG
LFG (ml/mnt/1.73 m2)
Batasan
G1 G2 G3a G3b G4 G5
>90 60 – 89 45 – 59 30 – 44 15 – 29
< 15
Normal atau tinggi Penurunan ringan Penurunan ringan sampai sedang Penurunan sedang sampai berat Penurunan Berat Gagal Ginjal
Sumber : (KDIGO, 2013)
2.1.3. Etiologi
CKD terjadi akibat berbagai macam keadaan yang merusak nefron ginjal. CKD dapat
disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes melitus; glomerulonefritis kronik;
piolonefritis; hipertensi yang tidak dapat dikontrol; obstruksi trakstus urinarius; lesi
herediter seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler, infeksi, medikasi atau agen
toksik berupa bahan kimia (Smeltzer, et al (2008).
Sedangkan Indonesian Renal Registry (IRR) mencatat penyebab CKD yang menjalani
hemodialisis di Indonesia seperti pada Tabel 2.3 berikut
26
Tabel 2.3
Penyebab CKD yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia
Penyebab Insiden - Penyakit Ginjal Hipertensi - Nefropati Diabetik - Glomerulopati Primer - Pielonefritis Chronic - Nefropati Obstruktif - Nefropati Asam Urat - Nefropati Lupus (SLE) - Ginjal Polikistik - Lain lain - Tidak diketahui
31 % 26 % 14 % 10 % 7 % 2 % 1 % 1 % 6 % 2 %
(Sumber: Indonesian Renal Registry (IRR), 2013)
2.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi
dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertropi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nefhrons) sebagai upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin –aldosteron intra renal ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi
jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap
27
berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD adalah albuminemia, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia (Suwitra, 2010).
2.1.4. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan CKD adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Penatalaksanaan CKD dibagi menjadi dua tahap. Tahap
pertama adalah tindakan konservatif, untuk meredakan atau memperlambat gangguan
fungsi ginjal progresif, mencegah dan mengobati komplikasi yang terjadi. Penanganan
Dialisat dibuat dalam sistem air bersih dengan air keran dan bahan kimia yang disaring
dan telah mengalami pengolahan. Larutan dialisat harus diaturpada suhu antara 36,7-
37,5°C sebelum dialirkan kepada dialiser. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah
ataupun melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi (Hudak & Gallo, 2010)
2.2.3. Proses Hemodialisis
Darah yang mengalirdari tubuh melalui akses arterial menuju kedialiser sehingga
terjadipertukaran darah dan zat sisa. Darah harus dapat keluar dan masuk tubuh pasien
dengan kecepatan 200-400 ml/menit (Price & Wilson, 2005). Saat hemodialisis, darah
sebenarnya tidak mengalir melalui mesin hemodialisis, melainkan melalui selang darah
dan dialiser.
33
Gambar 2.3
Rangkaian Proses Hemodialisis
Sumber: Bieber dan Himmelfarb, 2013
2.3. Komplikasi Intradialisis
Berbagai komplikasi intradialisis dapat dialami oleh pasien saat menjalani hemodialisis.
Komplikasi intradialisis merupakan kondisi abnormal yang terjadi pada saat pasien
menjalani hemodialisis. Komplikasi yang umum terjadi saat pasien menjalani
hemodialisis adalah hipotensi, kram, mual dan muntah, headache, nyeri dada, nyeri
punggung, gatal, demam dan menggigil (Holley, et al, 2007; Barkan, et al, 2006;
Daugirdas, Blake & Ing, 2007).
34
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Daurgirdas et al., 2007). Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot,
mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil
(Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013).
Komplikasi akut dan penyebabnya dapat terlihat dalam table berikut :
Tabel 2.5
Komplikasi Akut Hemodialisis
Komplikasi Penyebab Hipotensi Hipertensi Reaksi Alergi Aritmia Kram Otot Emboli Udara Dialysis disequilibirium Masalah pada dialisat / kualitas air Chlorine Kontaminasi Fluoride Kontaminasi bakteri / endotoksin
Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi, infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu cepat, obat antiaritmia yang terdialisis Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit Udara memasuki sirkuit darah Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral. Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus, gejala neurologi, aritmia Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi dari dialisat maupun sirkuti air
Sumber : Bieber dan Himmelfarb, 2013
35
Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.6 di bawah ini.
Daugirdas, Blake & Ing, 2007;Henrich, 2008). Penyebab lain hipotensi yang terkait
hemodialisisseperti terungkap pada tabel 2.7
37
Tabel 2.7
Etiologi Hipotensi Terkait Hemodialisis
1. Etiologi Paling Sering Ditemukan
a. Penurunan volume plasma
b. Kegagalan efek vasokontriksi
Fluktuasi ultrafiltasi rate
Ultrafiltrasi rate tinggi untuk mengatasi interdialytic gain sangat berlebihan
Sasaran untuk mencapai berat badan kering (BBK) terlalu rendah
Konsentrasi Natrium dalam konsentrat dialisat rendah
Dialisat asetat
Larutan dialisat terlalu panas
Makanan selama hemodialisis terlalu banyak protein hewani
Iskemik jaringan (adenosine-mediated dipercepat penurunan hematokrit
Neuropati otonom (pasien nefropati diabetik)
Ketidaksanggupan untuk meningkatkan kardiak output disebabkan penurunan kontraktilitas miokard ; seperti pada usia lanjut, hipertensi, aterosklerosis dan kalsifikasi miokard
2. Etiologi Jarang a. Kardiovaskuler
b. Septikimia c. Reaksi terhadap
dialiser
Temponade jantung
Infark miocard
Aritmia jantung
Hemolisis
Emboli Uadara
(Sumber : Sukandar, 2006)
Beberapa faktor yang di duga mempengaruhi hipotensi saat hemodialisis adalah
sebagai berikut :
a. Ultrafiltrasi Hemodialisis
Ultrafiltrasi di sebut juga konveksi. Konveksi adalah transport simultan pelarut
(solvent) dan zat terlarut (solute) dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat
38
(dan sebaliknya yaitu backfiltration) melalui membran dialiser. (Sukandar, 2006).
Kecepatan transport konveksi tergantung dari faktor permeabilitas hidrolik, sieving
coefficient dari zat terlarut (solute) luas permukaan membran, konsentrasi zat terlarut
dalam darah dan perbedaan tekanan yang melewati membran. (Sukandar, 2006). UFR
berpengaruh terhadap terjadinya hipotensi intradialisis. Hal ini terjadi dikarenakan
terdapat permasalahan karena kontraksi berlebihan volume plasma akibat ultrafiltrasi
melebihi refilling rate dari kompartemen ekstravaskuler
ke kompartemen intravaskuler (Sukandar, 2006). IDH dapat muncul ketika terjadinya
ketidakseimbangan diantara laju ultrafiltrasi dan kapasitas plasma refilling yang tidak
bisa diatur oleh refleks kompensasi kardiovaskular (KDOQI, Jeroen, 2007).
Ultrafiltrasi merupakan salah satu komponen dari peresepan HD. Penentuan besarnya
UF harus optimal dengan tujuan untuk mencapai kondisi pasien euvolemik dan
normotensi Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah,
besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB) penderita
antar waktu HD dan target BB kering penderita (K/DOQI, 2006). Studi yang dilakukan
oleh DOPPS ( Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study Program) bahwa
insiden IDH lebih sedikit 30% pada pasien dengan laju filtrasi rate (UFR) < 11
ml/kg/jam, dibandingkan dengan UFR standar. Dan mortalitas lebih rendah pada
pasien dengan UFR < 10 ml/kg/jam. Kecepatan ultrafiltrasi (UF) dibagi menjadi 3
kategori yaitu <10 /ml/jam/kgBB, 10-13 ml/jam/kgBB, dan >13 ml/jam/kgBB. Dari
penelitian ini didapatkan bahwa UF yang lebih cepat pada pasien HD berhubungan
dengan risiko yang lebih besar terhadap berbagai sebab kematian dan kematian karena
CVD (Flythe et al., 2011).
39
b. Durasi (Lama Dialisis) dan Frekuensi
Ultrafiltrasi seiring dengan lama hemodialisis (waktu) dan ultrafiltrasi rate (UFR).
Lama durasi dialisis maka akan mempengaruhi UFR. Pemanjangan waktu dialisis atau
peningkatan frekuensi dialisis harus dipertimbangkan pada pasien yang sering
mengalami IDH. Pemanjangan waktu dialisis dapat mengurangi laju ultrafiltrasi,
sehingga penurunan volume darah tidak agresif (Ginting, 2010). Perpindahan cairan
di dalam tubuh manusia meliputi ruang intraseluler, ekstraselluler dan dan
intravaskuler. Perpanjangan waktu saat hemodialisis memberikan kesempatan
kompartemen vaskuler melakukan refilling plasma dengan ruangan interstitial untuk
mencapai keseimbangan. Rekomendasi ultrafiltrasi 10 – 13 mL/jam/Kg (Flythe et al,
2010). Pemanjangan waktu dialisis atau peningkatan frekuensi dialisis harus
dipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami IDH. Pemanjangan waktu
dialisis dapat mengurangi laju ultrafiltrasi, sehingga penurunan volume darah tidak
agresif. Suatu studi membandingkan toleransi intradialisis dengan membandingkan
dialisis selama 4 jam dan 5 jam, dengan hasil penurunan episode hipotensi pada pasien
yang menjalani dialisis selama 5 jam. Lebih jauh, efek dari pengurangan laju
ultrafiltrasi, hanya dapat dicapai dengan memperpanjang waktu dialisis, dan ini telah
dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung. Pada studi ini, penurunan tekanan
darah sistolik lebih sedikit pada pasien dengan laju ultrafiltrasi 500 dibandingkan
dengan laju ultrafiltrasi 1000 (Ginting 2010). Durasi HD disesuaikan dengan
kebutuhan individu. Tiap HD dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi 2 kali perminggu.
40
Durasi Idealnya dilakukan 10 – 15 jam / minggu dengan 3 kali perminggunya
(Konsensus PERNEFRI, 2003)
c. Riwayat Penyakit Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) sejauh ini adalah penyakit endokrin yang paling sering
ditemukan. Hal ini dikarenakan tidak adekuatnya kerja insulin. DM merupakan suatu
penyakit yang rumit yang dapat mengganggu metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein serta keseimbangan cairan dan asam basa. Penyakit ini juga dapat berdampak
pada sistem pernafasan, ginjal sirkulasi dan saraf. Terpajannya jaringan secara terus
menerus dengan peningkatan kadar gula yang lama akan menyebabkan perubahan
jaringan sebagai penyebab penyulit degeneratif vaskuler dan saraf. Glukosa di urin
menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O yang menyebabkan diuresis osmotik
yang ditandai poliuri. Besarnya cairan yang keluar dari tubuh menyebabkan dehidrasi
yang selanjutnya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena berkurangnya
volume darah (Sherwood, 2011). Hipotensi intradialitik juga dapat disebabkan oleh
ketidakmampuan vasokonstriksi dengan faktor risiko berupa kadar hematokrit rendah,
neuropati otonom pada diabetes (Henrich, 2008). Endotel memiliki peranan yang
penting pada penyakit hipertensi dan diabetes. Pada penyakit ini endotel bisa
mengalami perubahan stuktur dan fungsi sehingga menyebabkan kehilangan
peranannya sebagai barier proteksi. Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan
penting terhadap terjadinya variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume
cairan, dan rangsangan fisik maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-
faktor yang melibatkan kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang
41
terpenting adalah nitric oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, Asymmetric
dimethylarginin (ADMA) yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide synthase
dan endothelin-1 (ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat (Kandarini, 2012)
Penyakit DM memperberat disfungsi saraf otonom yang telah ada pada penderita CKD
karena uremia kronis (dimana salah satu mekanisme kompensasi terhadap penurunan
volume darah relatif ini diatur oleh saraf otonom), sehingga DM berperan pula sebagai
penyebab hipotensi intradialitik (Sato, 2001 dalam Agustriadi 2009)
.
d. Jenis Dialiser
Dialiser terdiri dari 2 kompartemen masing-masing untuk cairan dialisat dan
dialisat dan darah bercampur jadi satu (Lemone, Burke 2008)
Membran semipermeabel mempunyai lubang sangat kecil sehingga hanya substansi
tertentu yang dapat lewat, sedangkan sel-sel darah tetap berada dalam darah. Luas
permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi jumlah zat dan air yang
berpindah. Dialiser high efficiency adalah dialiser yang mempunyai luas permukaan
membran yang besar. Dialiser dengan permukaan luas digunakan untuk pasien yang
besar, atau untuk pasien yang menginginkan dialisis singkat, efisiensi tinggi dengan
peningkatan jumlah ultrafiltrasi. Sedangkan dialiser high flux adalah dialiser
yangmempunyai pori-pori besar yang dapat melewatkan molekul yang besar,dan
mempunyai permeabilitas terhadap air yang tinggi (Thomas, 2003).
42
Gambar : 2.4
Komposisi Berat Molekul yang Melewati Membran Semipermeabel
Sumber: Gambro 2005
Jenis dialiser terdiri dari dializer standard dan dialiser high. Dialiser standar ( low-flux)
dengan Kuf <15 ml/mmHg/jam, sedangkan dializer high efficiency atau high flux
mempunyai luas permukaan membran yang besar, mempunyai poripori besar yang
dapat melewatkan molekul yang lebih besar, dan mempunyai permiabilitas terhadap
air yang tinggi dengan Kuf >15 ml/mmHg/jam (Haryati, 2010). Tiap dialiser
mempunyai ukuran (total volume) yang berbeda beda. Katalog pada dialiser fresenius
type F7HPS memiliki total volume 98 mL. Pada dialiser type F8HPS memiliki total
volume sebesar 113 mL. (Fresenius Medical Care, 2010)
43
e. Riwayat Anemia
Anemia menunjukkan kemampuan darah mengangkut O2 dibawah normal dan ditandai
dengan hematokrit yang rendah. Sebagaimana fungsi primernya yaitu mengangkut O2
dan tingkat yang lebih rendah, CO2 serta ion hidrogen dalam darah. Selain mengangkut
O2, Di paru, Nitrat oksida (NO) yang bersifat vasodilator berikatan dengan
haemoglobin. NO ini dibebaskan dijaringan, tempat zat ini melemaskan dan
melebarkan arteriol lokal. Vasodilatasi ini membantu menjamin bahwa darah kaya O2
dapat mengalir dengan lancar dan juga membantu menstabilkan tekanan darah. Karena
itu hemoglobin berperan kunci dalam transpor O2 sekaligus memberi kontribusi
signifikan pada transpor CO2 dan kemampuan darah menyangga pH. (Sherwood,
2011)
f. Usia (umur) Lansia
Proses menua merupakan suatu hal yang fisiologis. Pada lanjut usia terdapat
kemunduran berbagai fungsi organ. Angka kejadian penyakit kardiovaskuler
meningkat pada populasi lanjut usia. Lanjut usia juga meningkatkan paparan terhadap
berbagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler seperti diabetes, hipertensi, dislipidemia
dan yang lainnya. Pada usia lanjut akan terjadi penebalan, kekakukan pembuluh darah
dan disfungsi endotel yang disebabkan oleh aging process (Celermajer, Sorensen,
Bull, dalam Hariawan dan Suastika, 2008). Secara fungsional akan terjadi perubahan
berupa gangguan distensi dan kekakuan pembuluh darah (Heijden, Staessen, Fagard
dalam Hariawan dan Suastika, 2008). Pembuluh darah pada usia lanjut menunjukkan
44
peningkatan permeabilitas endotel dan penurunan respon nitric oxide dependent
vasodilator terhadap asetilkolin (Taddei, Virdis, Mattei, dalam Hariawan dan
Suastika, 2008). Mekanisme kerusakan endotel pembuluh darah pada penderita DM
melalui berbagai jalur. Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan peningkatan
kadar glukosa intraselular yang akan menyebabkan pembentukan advanced glycation
end products (AGE) lewat glikosilasi non enzimatik protein intra dan ektraselular.
Pembentukan AGE akan mengakibatkan disfungsi glomerulus, mempercepat
aterosklerosis, menghambat pembentukan nitric oxide (NO), dan mempengaruhi
komposisi dan struktur matrik ekstraselular.12,15 Penurunan sintesa nitric oxide akan
menyebabkan disfungsi endotel. (Kaspal, Braunwald, Dzau dalam Hariawan dan
Suastika, 2008).
2.3.2. Patofisiologi Hipotensi Intradialitik
Penyebab dari IDH adalah multifaktorial. Pada satu sisi, kondisi pasien dapat
mencetuskan penurunan tekanan darah selama hemodialisis: umur, komorbid seperti
diabetes dan kardiomiopati, anemia, interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-
obat antihipertensi. Pada sisi lain, faktor-faktor yang berhubungan dengan dialisis itu
sendiri dapat berkontribusi terhadap instabilitas hemodinamik sesi hemodialisis yang
pendek, laju ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium
dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari membran dan lain-lain.
Faktor yang kelihatannya paling dominan dari kejadian IDH ini adalah berkurangnya
volume sirkulasi darah yang agresif, dikarenakan ultrafiltrasi, penurunan osmolalitas
ekstraselular dengan cepat yang berhubungan dengan perpindahan sodium, dan
45
ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan plasma refilling. Dari segi pandangan fisiologi,
IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskular
dalam merespon penurunan volume darah secara adequat. Respon adequatdari sistem
kardiovaskular termasuk refleks aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk takikardia dan
vasokonstriksi arteri dan vena yang merupakan respon dari cardiac underfilling dan
hipovolemia. Mekanisme kompensasi ini dapat terganggu pada beberapa pasien, yang
akan menyebabkan mereka mempunyai faktor resiko terjadinya IDH (Sulowicz et al,
2006)
Hipotensi juga bisa terjadi pada pasien dengan volume darah yang relatif kecil seperti
pada lansia, anak-anak dan perempuan yang kecil (Kallenbach, et al, 2005; Devenport,
2006). Lebih lanjut Sulowicz dan Radziszewski (2006) serta Henrich, menyebutkan
bahwa pelepasan adenosin selama iskemi organ dan kegagalan plasma dalam
meningkatkan vasopressin juga dapat menyebabkan hipotensi intradialisis. Tingginya
konsentrasi adenosin dijumpai pada pasien yang menjalani hemodialisis (Sulowicz &
Radziszewski, 2006).
Hipotensi terjadi karena dilatasi arteri pada dasar vaskuler, kehilangan volume darah
dalam jumlah besar atau kegagalan otot jantung memompa secara adekuat. Pengaruh saraf
otonom juga terkait dengan hipotensi. Adanya stimulasi saraf parasimpatis akan
menurunkan denyut jantung sehingga menyebabkan penurunan curah jantung. Stimulasi
saraf simpatis juga akan meningkatkan vasodilatasi arteriol yang selanjutnya akan
menurunkan tahanan perifer. Semua proses ini pada akhirnya akan menurunkan tekanan
darah (Sherwood, 2012).
46
Skema 2.1
Patogenesis Hipotensi Intradialitik
(Sumber : Sukandar, 2006)
2.3.2.1 Penatalaksanaan Hipotensi Intradialitik
2.3.2.1.1. Pencegahan Hipotensi Intradialitik
Pencegahan hipotensi intradialisis yang dapat dilakukan perawat dengan cara: melakukan
pengkajian berat badan kering secara regular, menghitung UFR secara tepat dan
menggunakan kontrol UFR, menggunakan dialisat bikarbonat dengan kadar natrium yang
tepat, mengatur suhu dialisat secara tepat, monitoring tekanan darah serta observasi
monitor volume darah danhematokrit selama proses hemodialisis (Kallenbach, et al, 2005;
Thomas, 2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Memberikan edukasi tentang pentingnya
Dialisat Na < 140 mmol/L Bioincompatibility (IL-1) Dialisat suhu Splanchic vasodilatasi Asetat
Hypoxemia
Drugs Myocardiopathy Arrythmia
Ultrafiltarsi rate (UFR) tinggi Target dry weight terlalu rendah
Penurunan Peripheral vaskuler resistance
Penurunan Cardiac output
Penurunan volume plasma dan ektravaskuler
Dialisis Hipotensi
47
menghindari konsumsi antihipertensi dan makan saat dialisis jugadapat mencegah
hipotensi (Daugirdas, Blake & Ing, 2007).
Tabel 2.8
Panduan Pencegahan Hipotensi Intradialitik
- Gunakan mesin hemodialisis yang dapat mengendalikan ultrafiltrasi - Interdialytic gain kurang dari satu kilogram per hari - Gunakan dialiser dengan KUF yang sesuai - Konsentrasi natrium dalam konsentrat > 140 mmol - Obat antihipertensi tidak boleh digunakan sebelum hemodialisis - Bila digunakan dialiser KUF dan QB tinggi harus digunakan bicarbonat buffered dialysate - Hindari banyak makan mengandung protein dan gula selama hemodialisis
(Sumber : Sukandar, 2006)
2.3.2.1.2. Tatalaksana Hipotensi Intradialitik
Pencegahan hipotensi intradialisis yang dapat dilakukan perawat dengan cara: melakukan
pengkajian berat badan kering secara regular, menghitung UFR secara tepat dan
menggunakan kontrol UFR, menggunakan dialisat bikarbonat dengan kadar natrium yang
tepat, mengatur suhu dialisat secaratepat, monitoring tekanan darah serta observasi
monitor volume darah danhematokrit selama proses hemodialisis (Kallenbach, et al,
1. Konseling asupan makanan (restriksi garam) 2. Menghindari asupan makanan selama dialisis 3. Pengukuran berat badan kering 4. Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialisis 5. Penggunaan temperatur dialisat 36.5oC 6. Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi
Pendekatan Lini Kedua
1. Evaluasi performa jantung 2. Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC
Berdasarkan tabel frekwensi data demografi menurut lamanya pasien sejak awal
hemodialisis dengan jumlah 69 responden dapat dilihat 21 pasien (30,4%) kurang dari
satu tahun dan 48 pasien (69%) lebih dari satu tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pasien
dengan lebih dari satu tahun adalah terbanyak menjalani hemodialisis.
5.2. Hasil Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan masing-masing variabel yaitu variabel
dependent hipotensi intradialitik dan variabel independent meliputi faktor, ultrafiltrasi
rate, lama dialisis, riwayat penyakit diabetes melitus, jenis dialiser, anemia, dan usia.
75
Tabel 5.2
Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Variabel Independen : Ultrafiltrasi Rate, Lama Dialisis, Riwayat Diabetes Melitus, Jenis Dialiser, Riwayat Anemia dan Umur
Lansia Pasien Hemodialisis Di Unit Hemodialisis RS Haji Jakarta, 2015 (n=69)
No Variabel Frekuensi Persentase 1
Ultrafiltrasi a. Ultrafiltrasi Rate Standar b. Ultrafiltrasi Rate Excessive
40 29
57,9 42,1
2 Lama Dialisis a. 4 Jam b. 4,15 jam
12 57
17,4 82,6
3 Riwayat Diabetes Melitus a. Diabetes b. Tidak Diabetes
33 36
47,8 52,2
4 Jenis Dialiser a. Dialiser F7HPS Low Flux b. Dialiser F8HPS Low Flux
13 56
18,8 81,2
5 Status Haemoglobin a. Anemia b. Tidak Anemia
52 17
75,4 24,6
6 Umur Lansia a. < 65 Tahun (Dewasa) b. ≥ 65 Tahun (Lansia)
56 13
81,2 18,8
5.2.1 Ultrafiltrasi Rate Hemodialisis
Berdasarkan tabel distribusi frekwensi menurut ultrafiltrasi rate pada 69 responden yang
menjalani hemodialisis, dapat dilihat bahwa responden yang dilakukan hemodialisis
dengan ultrafiltrasi rate yang standar ada 40 orang (57%) sedangkan 29 orang (42,1%)
responden dilakukan ultrafiltrasi rate yang excessive. Hal ini menunjukkan bahwa
ultrafiltrasi yang standar adalah terbanyak diprogram hemodialisis.
76
5.2.2. Program Waktu Hemodialisis
Berdasarkan tabel frekwensi menurut waktu yang digunakan saat hemodialisis pada 69
responden dapat dilihat bahwa 57 pasien (82,6%) diprogram waktu 4,15 jam, sedangkan
12 orang (17,4%) responden diprogram dengan waktu 4 jam. Hal ini menunjukkan bahwa
waktu yang paling banyak di gunakan pada pasien yang menjalani hemodialisis adalah
4,15 jam.
5.2.3. Riwayat Penyakit Diabetes
Berdasarkan tabel frekwensi menurut riwayat penyakit Diabetes Militus (DM) pada
pasien hemodialisis dengan jumlah 69 responden dapat dilihat bahwa 33 pasien (47,8%)
dengan riwayat DM, sedangkan 36 orang (52,2%) responden tidak memiliki riwayat
Diabetes Melitus. Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang menjalani hemodialisis
terbanyak tidak mempunyai riwayat diabetes Melitus.
5.2.4. Jenis Dialiser
Berdasarkan tabel frekwensi menurut jenis dialiser yang digunakan, pada pasien
hemodialisis dengan jumlah 69 responden dapat dilihat bahwa 13 pasien (18,8%) dengan
jenis dialiser F7HPS Low Flux, sedangkan 56 orang (81,2%) responden menggunakan
77
dialiser F8HPS Low Flux. Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang menjalani
hemodialisis terbanyak menggunakan dialiser jenis F8HPS.
5.2.5. Anemia
Berdasarkan tabel frekwensi menurut kadar haemoglobin, pada pasien hemodialisis
dengan jumlah 69 responden dapat dilihat bahwa 52 pasien (75,4%) mengalami anemia,
sedangkan 17 orang (24,6%) responden tidak mengalami anemia. Hal ini menunjukkan
bahwa pasien yang menjalani hemodialisis terbanyak mempunyai kadar haemoglobin
dibawah 10 (anemia)
5.2.6. Usia (umur) Lansia
Berdasarkan tabel frekwensi menurut usia lansia responden dengan jumlah 69 responden
dapat dilihat bahwa 56 pasien (81,2%) pada dewasa (<65 Th) dan 13 pasien (18,2%) pada
usia lansia. Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang menjalani hemodialisis terbanyak
pada rentang usia dewasa (<65 Tahun)
5.3. Hasil Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui gambaran hubungan antara variabel
independent dan dependent.
78
Tabel 5.3
Hasil Analisis Bivariat Faktor Faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Hipotensi Intradialitik Pada Pasien Hemodialisis
Di Unit Hemodialisis RS Haji Jakarta, 2015 (n=69)
Variabel Dependen
Variabel Independen
Tekanan Darah Total OR (95% CI)
P Value Hipotensi Tidak
Hipotensi n % n % N %
1. Ultrafiltrasi (UF) Rate a. UFR Standar b. UFR Excessive
10 15
25,0 51,7
30 14
75,0 48,3
40 29
100 100
0,311 (0,112 – 0,864)
0,043
2. Lama Hemodialisis a. 4 Jam b. 4,15 Jam
3 22
25,0 38,6
9
35
75 35
12 57
100 100
0,530 (0,129 – 2,175)
0,515
3. Riwayat Diabetes Melitus (DM) a. Diabetes b. Tidak Diabetes
15 10
45,5 27,8
18 26
54,5 72,2
33 36
100 100
2,167
(0,797 – 5,894)
0,202
4. Jenis Dialiser a. Dialiser F7HPS b. Dialiser F8HPS
4 21
30,8 37,5
9
35
69,2 62,2
13 56
100 100
0,741 (0,203 –
2,707
0,756
5. Riwayat Anemia a. Anemia b. Tidak Anemia
23 2
44,2 11,8
29 15
55,8 88,2
52 17
100 100
5,948 (1,233 – 28, 695)
0,033
6. Usia a. < 65 tahun (Dewasa) b. ≥ 65 tahun (Lansia)
20 5
35,7 38,5
36 8
64,3 61,5
56 13
100 100
0,889 (0,256 – 3,084)
1,000
79
5.3.1 Hubungan antara Ultrafiltrasi Rate (UFR) dengan Terjadinya Hipotensi
Intradialitik
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, hubungan antara variabel Ultrafiltrasi Rate (UFR) dengan
terjadinya hipotensi intradialitik diperoleh hasil uji statistik nilai pValue = 0,043. Secara
statistik dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang lemah antara UFR dengan
terjadinya hipotensi intradialitik. Di dapatkan Odds Ratio sebesar 0,311 yang artinya
responden yang menggunakan UFR Excessive mempunyai peluang sebesar 0,311 kali
terjadinya hipotensi intradialitik dibandingkan dengan responden yang menggunakan
program UFR standar.
5.3.2 Hubungan antara Lama (waktu) Program Dialisis dengan Terjadinya
Hipotensi Intradialitik
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, hubungan antara variabel lama (waktu) program dialisis
dengan terjadinya hipotensi intradialitik diperoleh hasil uji statistik nilai pValue = 0,515.
Secara statistik dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara lama (waktu) dialisis
dengan terjadinya hipotensi intradialitik. Di dapatkan Odds Ratio sebesar 0,530 yang
artinya responden yang lama hemodialisisnya 4,15 jam mempunyai peluang sebesar
0,530 kali terjadinya hipotensi intradialitik dibandingkan dengan responden yang lama
(waktu) hemodialisisnya 4 jam.
80
5.3.3 Hubungan antara Riwayat Diabetes Melitus dengan Terjadinya Hipotensi
Intradialitik
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, hubungan antara variabel riwayat Diabetes Melitus dengan
terjadinya hipotensi intradialitik diperoleh hasil uji statistik nilai pValue= 0,202. Secara
statistik dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat Diabetes Melitus
dengan terjadinya hipotensi intradialitik. Di dapatkan Odds Ratio sebesar 2,167 yang
artinya responden yang dengan riwayat Diabetes Melitus mempunyai peluang sebesar
2,167 kali terjadinya hipotensi intradialitik dibandingkan dengan responden yang tidak
mempunyai riwayat Diabetes Melitus.
5.3.4 Hubungan antara Jenis Dialiser dengan Terjadinya Hipotensi Intradialitik
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, hubungan antara variabel jenis dialiser dengan terjadinya
hipotensi intradialitik diperoleh hasil uji statistik nilai pValue= 0,756. Secara statistik
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis dialiser dengan terjadinya
hipotensi intradialitik. Di dapatkan Odds Ratio sebesar 0,741 yang artinya responden yang
menggunakan Dialiser F8HPS mempunyai peluang sebesar 0,741 kali terjadinya
hipotensi intradialitik dibandingkan dengandialiser F7HPS.
5.4.5 Hubungan antara Riwayat Anemia dengan Terjadinya Hipotensi Intradialitik
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, hubungan antara variabel riwayat anemia dengan terjadinya
hipotensi intradialitik diperoleh hasil uji statistik nilai pValue= 0,033. Secara statistik
81
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang sedang antara riwayat anemia dengan
terjadinya hipotensi intradialitik. Di dapatkan Odds Ratio sebesar 5,948 yang artinya
responden yang mempunyai riwayat anemia mempunyai peluang sebesar 5,948 kali
terjadinya hipotensi intradialitik dibandingkan dengan responden yang tidak mempunyai
riwayat anemia.
5.3.6 Hubungan antara Usia dengan Terjadinya Hipotensi Intradialitik
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, hubungan antara variabel umur dengan terjadinya hipotensi
intradialitik diperoleh hasil uji statistik nilai pValue= 1,000. Secara statistik dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan terjadinya hipotensi
intradialitik. Di dapatkan Odds Ratio sebesar 0,889 yang artinya responden yang usia
lebih dari 65 tahun mempunyai peluang sebesar 0,889 kali terjadinya hipotensi
intradialitik dibandingkan dengan responden yang berusia kurang dari 65 tahun.
82
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada bab enam ini menguraikan tentang pembahasan meliputi interpretasi hasil observasi
yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Pada bab ini pula dibahas tentang adanya
kesenjangan antara hasil dengan konsep teori maupun dari penelitian sebelumnya serta
adanya keterbatasan dalam penelitian
6.1. Pembahasan Hasil Penelitian
6.1.1. Hubungan antara Ultrafiltrasi Rate (UFR) dengan Terjadinya Hipotensi
Intradialitik
Hasil penelitian di dapatkan bahwa responden yang dilakukan program dialisis dengan
ultrafiltrasi rate yang standar sebanyak 40 responden (57,9%) dan responden yang
terprogram hemodialisis dengan ultrafiltrasi rate excessive sebanyak 29 responden
(42,1%). Pada hasil uji statistik nilai pValue = 0,043 lebih kecil dari pada nilai alpha.
Sehingga ada hubungan antara ultrafiltrasi rate yang tingi dengan kejadian hipotensi
intradialitik. Nilai Odds Ratio sebesar 0,311 yang artinya responden yang menggunakan
UFR Excessive mempunyai peluang sebesar 0,311 kali terjadinya hipotensi intradialitik
dibandingkan dengan responden yang menggunakan program UFR standar.
83
Sesuai dengan tinjauan teori bahwa kecepatan transport konveksi tergantung dari faktor
permeabilitas hidrolik, sieving coefficient dari zat terlarut (solute) luas permukaan
membran, konsentrasi zat terlarut dalam darah dan perbedaan tekanan yang melewati
membran. (Sukandar, 2006). UFR berpengaruh terhadap terjadinya hipotensi intradialisis.
Hal ini terjadi dikarenakan terdapat permasalahan karena kontraksi berlebihan volume
plasma akibat ultrafiltrasi melebihi refilling rate dari kompartemen ekstravaskuler ke
kompartemen intravaskuler (Sukandar, 2006).
Program ultrafiltrasi goal yang standar dipergunakan bagi pasien yang kenaikan berat
badan antara waktu hemodialisis kurang dari atau sama dengan 2,5 Kg, jika kenaikan
tersebut lebih dari 2,5 Kg maka disebut ultrafiltrasi yang excessive.
Pada penelitiannya sebelumnya yang dilakukan oleh (Handayani et al, 2013), UFR
menunjukkan nilai koefisien positif sebesar 1,262 dengan probabilitas variabel sebesar
0,043 di bawah signifikansi 0,05 (5%). Dengan demikian terbukti bahwa UFR yang tinggi
mempunyai pengaruh terhadap hipotensi intradialisis pada pasien CKD.
6.1.2. Hubungan antara Lama (waktu) Program Dialisis dengan Terjadinya
Hipotensi Intradialitik
Hasil penelitian di dapatkan bahwa hubungan antara variabel lama (waktu) program
dialisis dengan terjadinya hipotensi intradialitik diperoleh hasil uji statistik nilai pValue =
0,515. Secara statistik dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara lama (waktu)
dialisis dengan terjadinya hipotensi intradialitik.
Sesuai dengan tinjauan teori bahwa Lama durasi dialisis maka akan mempengaruhi UFR.
Pemanjangan waktu dialisis atau peningkatan frekuensi dialisis harus dipertimbangkan
84
pada pasien yang sering mengalami IDH. Pemanjangan waktu dialisis dapat mengurangi
laju ultrafiltrasi, sehingga penurunan volume darah tidak agresif (Ginting, 2010).
Perpanjangan waktu saat hemodialisis memberikan kesempatan kompartemen vaskuler
melakukan refilling plasma dengan ruangan interstitial untuk mencapai keseimbangan.
Flythe et al (2010) memberikan rekomendasi ultrafiltrasi 10 – 13 mL/jam/Kg program
UFR yang relatif aman dan maksimal UFR adalah 13 mL/jam/kg. Durasi HD disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap HD dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi 2 kali
perminggu. Durasi Idealnya dilakukan 10 – 15 jam / minggu dengan 3 kali perminggunya
(Konsensus PERNEFRI, 2003)
Durasi waktu yang diprogram saat hemodialisis 4 dan 4,15. Perbedaan waktu tersebut
hanya 15 menit sehingga perbedaannya terlalu sedikit, sehingga tidak bermakna terhadap
kejadian hipotensi intradialitik,
Beberapa studi berikut yang membandingkan dialisis selama 4 jam dan 5 jam, dengan
hasil penurunan episode hipotensi pada pasien yang menjalani dialisis selama 5 jam.
Lebih jauh, efek dari pengurangan laju ultrafiltrasi, hanya dapat dicapai dengan
memperpanjang waktu dialisis, dan ini telah dilakukan pada pasien dengan gangguan
jantung. Pada studi ini, penurunan tekanan darah sistolik lebih sedikit pada pasien dengan
laju ultrafiltrasi 500 dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi 1000 (Ginting, 2009)
.
85
6.1.3. Hubungan antara Riwayat Diabetes Melitus dengan Terjadinya Hipotensi
Intradialitik
Hasil penelitian di dapatkan antara variabel riwayat Diabetes Melitus dengan terjadinya
hipotensi intradialitik, diperoleh hasil uji statistik nilai p = 0,202. Secara statistik dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat Diabetes Melitus dengan
terjadinya hipotensi intradialitik.
Sesuai dengan tinjauan teori bahwa Endotel memiliki peranan yang penting pada penyakit
hipertensi dan diabetes. Pada penyakit ini endotel bisa mengalami perubahan stuktur dan
fungsi sehingga menyebabkan kehilangan peranannya sebagai barier proteksi. Aktivitas
dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya variasi tekanan darah
selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik maupun hormonal
menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan kontrol tekanan darah pada sel
endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah nitric oxide (NO) suatu relaksasi otot polos,
Asymmetric dimethylarginin (ADMA) yang merupakan inhibitor endogen dari nitric
oxide synthase dan endothelin-1 (ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat (Yenny, 2012)
Penyakit DM memperberat disfungsi saraf otonom yang telah ada pada penderita CKD
karena uremia kronis (dimana salah satu mekanisme kompensasi terhadap penurunan
volume darah relatif ini diatur oleh saraf otonom), sehingga DM berperan pula sebagai
penyebab hipotensi intradialitik (Sato, 2001 dalam Agustriadi 2009)
Perihal serupa dikuatkan oleh peneliti sebelumnya yang dilakukan oleh Agustriadi et al,
2012, bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat DM dengan penurunan
tekanan darah relatif dimana di dapatkan nilai pValue = 0,99
86
6.1.4 Hubungan antara Jenis Dialiser dengan Terjadinya Hipotensi Intradialitik
Hasil penelitian di dapatkan antara variabel jenis dialiser dengan terjadinya hipotensi
intradialitik diperoleh hasil uji statistik nilai pValue = 0,756. Secara statistik dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis dialiser dengan terjadinya hipotensi
intradialitik.
Jenis dialiser terdiri dari dializer standard dan dialiser high. Dialiser standar ( low-flux)
dengan Kuf <15 ml/mmHg/jam, sedangkan dializer high efficiency atau high flux
mempunyai luas permukaan membran yang besar, mempunyai poripori besar yang dapat
melewatkan molekul yang lebih besar, dan mempunyai permiabilitas terhadap air yang
tinggi dengan Kuf >15 ml/mmHg/jam (Gatot, 2003) Tiap dialiser mempunyai ukuran
(total volume) yang berbeda beda. Katalog pada dialiser fresenius type F7HPS memiliki
total volume 98 mL. Pada dialiser type F8HPS memiliki total volume sebesar 113 mL.
(Fresenius Medical Care, 2010).
Peneliti belum menemukan adanya perbedaan total volume dengan penurunan tekanan
darah saat hemodialisis, akan tetapi beberapa penelitian yang menggambarkan tentang
dialiser adalah kemampuan dialiser untuk membuang zat toxic yang berdampak pada
residual ureum yang berdampak pada kulitas hidup pasien hemodialisis. Seperti pada
penelitian yang dilakukan oleh (Gulay et al, 2013) tentang dampak permeabilitas
membran dialiser terhadap gangguan kardiovaskuler. Dimana penggunaan dialiser high-
flux menurunkan resiko gangguan kardiovaskuler dengan pValue = 0.03.
87
Pada penelitian lain yang di sampaikan oleh Gatot, 2003, tentang Adequasi Hemodialisis
yang membandingkan 2 jenis dialiser seri 2,10 dengan 2 dialiser seri 0,9 dengan seri 1,2
tidak mempunyai perbedaan yang bermakna dikarenakan masih satu golongan low flux.
6.1.5 Hubungan antara Riwayat Anemia dengan Terjadinya Hipotensi Intradialitik
Hasil Penelitian antara variabel riwayat anemia dengan terjadinya hipotensi intradialitik
diperoleh hasil uji statistik nilai pValue = 0,033. Secara statistik dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan antara riwayat anemia dengan terjadinya hipotensi intradialitik. Di
dapatkan Odds Ratio sebesar 5,948 yang artinya responden yang mempunyai riwayat
anemia mempunyai peluang sebesar 5,948 kali terjadinya hipotensi intradialitik
dibandingkan dengan responden yang tidak mempunyai riwayat anemia.
Pada tinjauan teori, haemoglobin rendah (anemia) menunjukkan kemampuan darah
mengangkut O2. Di paru paru, Nitrat oksida (NO) yang bersifat vasodilator berikatan
dengan haemoglobin. NO ini dibebaskan dijaringan, tempat zat ini melemaskan dan
melebarkan arteriol lokal. Vasodilatasi ini membantu menjamin bahwa darah kaya O2
dapat mengalir dengan lancar dan juga membantu menstabilkan tekanan darah. Karena
itu hemoglobin berperan kunci dalam transpor O2 sekaligus memberi kontribusi
signifikan pada transpor CO2 dan kemampuan darah menyangga pH. (Sherwood, 2011)
Anemia sebagai penyebab IDH didukung oleh penelitian sebelumnya. Pada salah satu
studi di India dengan metode observasi pada 100 responden pasien hemodialisis
ditemukan 18 pasien mengalami IDH, yang salah satu penyebab IDH adalah anemia
sebanyak 6%. (Pavan et al, 2011)
88
6.1.6 Hubungan antara Umur dengan Terjadinya Hipotensi Intradialitik
Hasil penelitian antara variabel umur dengan terjadinya hipotensi intradialitik diperoleh
hasil uji statistik nilai pValue= 1,000. Secara statistik dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara usia dengan terjadinya hipotensi intradialitik.
Secara tinjauan teori bahwa proses menua merupakan suatu hal yang fisiologis. Pada
lanjut usia terdapat kemunduran berbagai fungsi organ. Angka kejadian penyakit
kardiovaskuler meningkat pada populasi lanjut usia. Pada usia lanjut akan terjadi
penebalan, kekakukan pembuluh darah dan disfungsi endotel yang disebabkan oleh aging
process (Celermajer, Sorensen, Bull, dalam Hariawan dan Suastika, 2008).
Pada penelitian sebelumnya mengalami perbedaan bahwa variabel usia menunjukkan
nilai pValue= 0,009 di bawah signifikansi 0,05 (5%). Dengan demikian usia mempunyai
pengaruh terhadap hipotensi intradialisis pada pasien CKD (Handayani, 2013).
6.2. Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini peneliti memiliki keterbatasan antara lain
6.2.1. Waktu /lamanya Program Hemodialisis dan Management Ultrafiltrasi
Lamanya (waktu) program hemodialisis merupakan bagian dari ultrafiltrasi rate yang
tidak dipisahkan. Dimana jika seseorang menjalani hemodialisis semakin lama waktu
yang digunakan maka ultrafiltrasi rate akan berkurang. Peneliti menjumpai ultrafiltrasi
yang excessive (lebih dari 1000 ml/jam) dengan lama hemodialisis yang pendek (4 jam).
89
Penggunaan profile ultrafiltrasi baik natrium maupun ultrafiltrasi cairan dan penggunaan
suhu temperatur dialisat jarang dipergunakan sebagai pencegahan terhadap hipotensi
intradialitik, sehingga angka penurunan tekanan darah saat hemodialisis mencapai 35
persen dari total responden.
6.2.1. Koreksi Kadar Hemoglobin
Peneliti menemukan kadar haemoglobin rata rata responden adalah 9,34 gr/dL. Status
anemia pada pasien CKD dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskuler, seperti
pembesaran pada ventrikel kiri, angina pada penyakit jantung koroner, terutama pasien
usia lanjut. Hal ini akan berdampak pada kualitas hidup pasien hemodialisis seperti
kelelahan mental dan fisik, penurunan kapasitas latihan, gangguan fungsi kognitif,
penurunan libido dan fungsi seksual. Oleh karena itu evaluasi kadar hemoglobin
meruapakan suatu yang mendasar.
90
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
7.1.1. Data demografi pasien hemodialisis yang berjenis kelamin perempuan dan laki laki
hampir sama jumlahnya. Sementara itu pasien yang menjalani hemodialisis
terlama adalah lebih dari satu tahun.
7.1.2. Hasil data univariat responden berdasarkan variabel independen : sebagian besar
(lebih dari 50%) terdapat pada variabel yang ultrafiltrasi dengan UFR standar,
lama dialisis 4.15 jam, tidak mempunyai riwayat diabetes, jenis dialiser F8HPS,
status hemoglobin yang anemia dan usia kurang dari 65 tahun.
7.1.3. Hasil data analisis bivariat berdasarkan variabel independen yang dihubungkan
dengan variabel dependen, faktor UFR yang tinggi (excessive) dan anemia yang
terbukti ada hubungannya dengan kejadian hipotensi intradialitik. sedangkan
faktor waktu hemodialisis yang pendek, riwayat penyakit diabetes, jenis dialiser
yang digunakan dan umur lansia tidak ada hubungannya dengan kejadian
hipotensi intradialitik pada pasien hemodialisis di Unit Hemodialisis RS Haji
Jakarta.
91
7.2. Saran
7.2.1. Bagi Pelayanan Kesehatan
a. Kejadian hipotensi intradialitik sebenarnya bisa di antisipasi. Salah satunya
dengan melakukan evaluasi ulang yang berkaitan dengan waktu / lamanya
program hemodialisis. Peneliti menyarankan agar waktu yang digunakan dalam
satu sesi hemodialisis minimal 4,5 sampai 5 jam.
b. Program hemodialisis sebaiknya memanfaatkan teknologi yang telah tersedia,
sebagai contoh hendaknya dipergunakan program profile ultrafiltrasi,
penggunaan suhu dialisat di bawah 37 oC, dan perlunya penggunaan program
profile natrium pada jam pertama lebih dari 140 mmol.
c. Pada pasien yang mempunyai riwayat kadar haemoglobin yang rendah (anemia)
dimana jumlah Hb < 10 gr%, hendaknya ketika melakukan program dialisis
UFR tidak boleh melebihi 13 ml/jam/kg, lakukan dengan QB yang rendah
(maksimal 200 ml/menit) dan pemberian oksigen saat hemodialisis perlu
dipertimbangkan. Pasien dengan kadar haemoglobin yang rendah hendaknya
dilakukan evaluasi secara menyeluruh diantaranya kecukupan zat besi (SI,
TIBC) maupun saturasi transferin dan pemberian hormon eritropoetin sehingga
kualitas pasien hemodialisis dapat meningkat.
92
7.2.2. Bagi Penelitian Lebih Lanjut
a. Peneliti menyarankan agar ada penelitian ulang mengenai waktu 4,5 dan 5 jam
untuk mengurangi kejadian hipotensi intradialitik. penelitipun menyarankan
agar kenaikan berat badan antar hemodialisis yang banyak, perlunya
mempertimbangkan hemodialisis 3 kali dalam seminggu
b. Untuk memaksimalkan penggunaan profile ultrafiltrasi peneliti menyarankan
agar ada penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas profile ultrafiltrasi dan
membandingkan jenis profile sesuai sehingga dapat merekomendasikan jenis
profile bagi pasien yang sering mengalami hipotensi maupun dengan
ultrafiltrasi yang excessive.
7.2.3. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Perawat professional hendaknya dalam melaksanakan asuhan keperawatan melihat dan
mempertimbangkan karakteristik pasien karena setiap individu itu unik, sehingga dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang menjalani hemodialisis hendaknya
mempertimbangkan penyakit lain yang menyertainya.
93
DAFTAR PUSTAKA
Adelman, A.M. & Daly, M.P (2001), 20 Common Problem in Geriatric, New York MC Graw-Hill Publishing
Armiyati, Yunie. (2009). Hipotensi Dan Hipertensi Intradialisis Pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) Saat Menjalani Hemodialisis Di RS PKU. http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/504/553 diperoleh tanggal 12 Desember 2014
Indonesian Renal Registry (IRR), (2013) 5th Report of Indonesian Renal Registry 2011. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
Barkan, R, Mirimsky, A, Katzir, Z & Ghicavii, V. (2006), Prevention of hypotension and stabilization of blood pressure in hemodialysis patients. http://www.freshpatents.com/
Bieber, S.D and Himmelfarb, J. (2013) Hemodialysis In;Schrier’s Disease Of the Kidney, 9th Edition Coffman, Lippincott Williams & Wilkins Philadelphia
Black., J. M, & Hokanson, J.H. (2014), Keperawatan Medical Bedah, Elsiever, Edisi Bahasa Indonesia Jakarta
Bradshaw, W. (2014), Intradialytic Hypotention : a Literature Review, Renal Society of Australasia Journal, 10(1), 22-29
Brunner & Suddarth’s. (2004). Textbook of Medical Surgical Nursing, Lippincott Williams Wilkins.
Daugirdas, J.T., Blake, P.B., & Ing, T.S. (2007). Handbook of dyalisis. 4th edition. Philadelphia: Lipincot William & Wilkins.
Fresenius Medical Care (2010) Consumable and Product Hemodialisis, Jerman
Hastono, S.P. (2007) Analisis data Kesehatan, Jakarta: FKM UI
Haryati, & Eko (2010) Prinsip dan Proses Hemodialisa, Surakarta: http : // hemodialisa.wordpress.com / 2015/01/25/.
Hariawan, N & Suastika, H (2008) Hubungan Kendali Glikemik dengan Asymmetric Dimethylarginin Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Lanjut Usia, SMF Ilmu Penyakit Dalam, RS Sanglah Denpasar Bali
Henrich, W.L (2008) Intradialytic Hypotension : a Insight to an old problem, American Journal of Kidney Disease, 52(2), 209-10
Holley, J.F, Berris, J.S & Post, T.N (2007) Acute Complication During Hemodialysis http://www.update.com/patient/conten/topic.do?
Jeroen Kooman et al, (2007), European Best Practice Guidelines (EBPG) Guideline on haemodynamic instability: Nephrology Dialysis Transpant Oxford University Press, pg ii22-ii4\
Ginting, Ananda W. & Lubis, Harun R., (2010). Hipotensi Intradialisis. Divisi Nefrologi
Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam, FK USU/RSUP H. Adam Malik/RSU. Dr Pirngadi Medan
Kallenbach et al. (2005) Review of hemodialysis for nursing and dialysis personnel 7th
Edition. Elsevier Saunders. St Louis Missouri Kandarini, Y (2012), Peranan Ultrafiltrasi Terhadap Hipertensi Intradialitik dan
Hubungannya dengan Perubahan Endhothelin-1, Asymmetric Dimethylarginin dan Nitric Oxide, RSUP Sanglah Denpasar Bali
KDOQI (2013) Clinical Practice Guidelines for Cardiovascular Disease in Dialysis patients: NKF KDOQI Guidelines, National Kidney Foundation Inc
KDIGO, (2013) Clinical Practice Guidelines for the Evaluation ang Management of Chronic Kidney Disease
Lauralee Sherwood, (2012), Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, Jakarta, EGC
Le Mone, P., & Burke, K.M. (2008). Medical surgical nursing: critical thinking in client care. 6th edition. New Jersey: Prentice Hall Health
National Kidney Foundation. (2002). KDOQI Clinical practice guidelines for cardiovascular disease in Dialysis Patients. New York: NKF
National Kidney Foundation. (2009). KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Desease, New York: NKF
Nursalam, & Batticaca, (2008), Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan, Salemba Medika, Jakarta
Nursalam, (2014), Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 3, Salemba Medika, Jakarta
PERNEFRI, Konsensus Dialisis, Perhimpunan Nefhrologi Indonesia, 2003
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2005). Patofisiology; Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC.
Rekam Medik (2014), Data Internal ICD Code N189, EDP, RS Haji Jakarta
Sarafino, E.P. (2006), Health Psychology : Biopsychosocial Interactions. Fifth Edition. USA : Jakarta: EGC
96
Sastroasmoro, S & Ismael, S (2008), Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi ke-3 Jakarta, Sagung Seto.
Setiadi. (2007). Konsep dan penulisan riset keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu
Smeltzer, Suzanne C. (2008), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata & Setiati. (2007) Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
Sugiyono, (2005) Statistik untuk Penelitian, PT Rineke Cipta, Jakarta
Sukandar, Enday. (2006), Nefrologi Klinik, Pusat Informasi Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Hasan Sadikin, Bandung
Sukiman, (2014), Pengaruh Profilling Natrium dan Suhu Terhadap Episode Hipotensi Intradialysis Pada Pasien CKD di Unit Hemodialisis RSUD AL Ihsan Provinsi Jawa Barat.
Suwitra, Ketut (2009), Penyakit Ginjal Kronik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Edisi 5 Interna Publishing, Jakarta
Thomas, N. (2003), Renal nursing, 2nd edition, Philadelphia: Elsevier Science.
United States Renal Data System (USRDS) (2011), Annual Data Report: Atlas of Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease in the United States, National Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, Bethesda, MD, 2011.
Sulowicz, W. et al, (2006), Pathogenesis and treatment of dialysis hypotension: International Society of Nephrology
97
SURAT PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Suwanto
Alamat : Jl. Elang Jatisampurna Bekasi
NPM : 2013727129
Status : Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta
Akan mengadakan penelitian yang berjudul “Faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya
Hipotensi Intradialitik di Instalasi Hemodialisis RS Haji Jakarta” Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui faktor faktor apa saja yang menyebabkan penurunan Tekanan Darah
(Hipotensi) pada saat klien menjalani hemodialisis.
Bersama ini saya sebagai peneliti mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk bersedia menjadi
responden pada penelitian ini. Penelitian ini tidak menimbulkan kerugian dan tidak akan
menimbulkan resiko apapun bagi Bapak/Ibu sebagai responden. Penelitian ini diharapkan
dapat meningkatkan pengetahuan di pelayanan keperawatan khususnya perawat dialisis
sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.
98
Tahap penelitian yang akan dilakukan adalah :
1. Sebelum penelitian Bapak/Ibu/saudara yang berpartisipasi dalam penelitian ini akan di
wawancarai terkait dengan karakteristik (usia, riwayat penyakit diabetes, berat badan
kering).
2. Peneliti akan melakukan pemeriksaan tanda vital (tekanan darah dan nadi) sebelum
pelaksanaan HD, setiap jam selama HD dan setelah HD
3. Peneliti juga akan melakukan pengamatan selama proses dialisis berlangsung dan
mengobservasi : lama HD, UFR, QB, dan melakukan pengukuran tekanan darah setiap
jamnya
4. Hasil wawancara dan pemeriksaan akan di dokumentasikan untuk keperluan penelitian
Saya sangat menghargai hak Bapak/Ibu sebagai responden. Identitas dan data/informasi
yang Bapak/Ibu berikan akan dijaga kerahasiaannya.
Demikian surat permohonan ini peneliti sampaikan. Atas perhatian dan kerjasama
Bapak/Ibu peneliti ucapkan terima kasih.
Jakarta, Februari 2015
Hormat saya,
Suwanto
99
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Setelah membaca surat permohonan dan mendapat penjelasan tentang penelitian yang
dilakukan oleh saudara Suwanto, mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta, saya dapat memahami dan mengerti tujuan dan
manfaat penelitian yang akan dilakukan ini. Saya mengerti dan yakin peneliti akan
menghormati hak hak saya dan kerahasiaan saya sebagai responden. Saya mengetahui ini
dapat meningkatkan kualitas pelayanan pasien hemodialisis yang diberikan oleh perawat.
Dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, saya bersedia menandatangani lembar
persetujuan untuk menjadi responden dalam penelitian yang berjudul “Faktor faktor
yang berhubungan dengan terjadinya Hipotensi Intradialitik di Unit Hemodialisis
RS Haji Jakarta”.
Jakarta, Februari 2015
Responden,
100
(.......................................)
Ya Tdk F7HPS F8HPS
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Riwayat Diabetes Melitus
Jenis DialiserUFR
TD Pre HD
INSTRUMEN OBSERVASIFAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA HIPOTENSI INTRADIALITIK